• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Komponen Serat Rumput Laut Caulerpa Sp. (Dari Perairan Tual, Maluku) Akibat Proses Perebusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Komponen Serat Rumput Laut Caulerpa Sp. (Dari Perairan Tual, Maluku) Akibat Proses Perebusan"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KOMPONEN SERAT RUMPUT LAUT

Caulerpa

sp. (DARI PERAIRAN TUAL, MALUKU)

AKIBAT PROSES PEREBUSAN

RUDY CHRYSTIAWAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA

PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Komponen Serat Rumput Laut Caulerpa sp. (dari Perairan Tual, Maluku) Akibat Proses Perebusan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

RUDY CHRYSTIAWAN. Perubahan Komponen Serat Rumput Laut Caulerpa sp. (dari Perairan Tual, Maluku) Akibat Proses Perebusan. Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES MARDIONO JACOEB.

Rumput laut Caulerpa sp. dikenal sebagai sumber serat. Asupan serat dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, diabetes melitus, obesitas, gangguan pencernaan, menurunkan tekanan darah tinggi, dan mengendalikan kadar gula darah. Rumput laut Caulerpa sp. banyak ditemukan di pesisir pantai Indonesia, salah satunya di perairan Tual, Maluku Tenggara. Rumput laut ini sering dikonsumsi segar oleh masyarakat pesisir ataupun direbus terlebih dahulu. Perebusan bertujuan untuk menginaktifkan enzim dan menurunkan jumlah mikroba, namun dikhawatirkan dapat mempengaruhi komponen serat yang terkandung pada rumput laut. Tujuan penelitian ini adalah menentukan perubahan kadar serat pangan (serat pangan larut dan tak larut), serat kasar, dan komponen serat (selulosa, hemiselulosa, lignin) akibat proses perebusan pada suhu 90 ºC selama 5 menit. Hasil penelitian menunjukkan perebusan tidak mempengaruhi kadar lignin. Perebusan meningkatkan kadar serat pangan tak larut sebesar 1,25%, selulosa sebesar 13,91%, hemiselulosa sebesar 11,4%, dan menurunkan kadar serat pangan total sebesar 3,8%, serat pangan larut sebesar 5,05%, dan serat kasar sebesar 0,85%.

Kata kunci: Caulerpa sp., komponen serat, perairan Tual, perebusan.

ABSTRACT

RUDY CHRYSTIAWAN. The Change in Fiber Components of Caulerpa sp. Seaweeds (from Tual Waters of Maluku) Due to Boiling Process. Supervised by NURJANAH and AGOES MARDIONO JACOEB.

Caulerpa sp. seaweeds is known as a source of fiber. Fiber intake may reduce the risk of coronary heart disease, stroke, diabetes mellitus, obesity, digestive disorders, high blood pressure, and control blood sugar levels. Caulerpa sp. are found on the coast of Indonesia, one of them in the waters of Tual, Southeast Maluku. This seaweed is often consumed fresh or boiled first by coastal communities. Boiling aim to inactivate the enzyme and decrease the number of microbes, but it is feared could affect the components of fiber contained in seaweed. The purpose of this study was to determine changes in levels of dietary fiber (soluble and insoluble dietary fiber), crude fiber, and fiber components (cellulose, hemicellulose, lignin) as a result of the boiling process at a temperature of 90 °C for 5 minutes. The results showed boiling did not affect the lignin content. Boiling increased the levels of insoluble dietary fiber 1.25%, cellulose 13.91%, hemicellulose 11.4%, and decreased the levels of total dietary fiber 3.8%, soluble dietary fiber 5.05%, and crude fiber 0.85%.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

PERUBAHAN KOMPONEN SERAT RUMPUT LAUT

Caulerpa

sp. (DARI PERAIRAN TUAL, MALUKU)

AKIBAT PROSES PEREBUSAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, hidayah, karunia dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Perubahan Komponen Serat Rumput Laut Caulerpa sp.

(dari Perairan Tual, Maluku) Akibat Proses Perebusan”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, terutama kepada:

1 Prof Dr Ir Nurjanah MS selaku dosen pembimbing I, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2 Dr Ir Agoes Mardiono Jacoeb Dipl-Biol selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis. 3 Dr Tati Nurhayati SPi MSi dan Dr Desniar SPi MSi sebagai dosen

penguji dan komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan atas masukan dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

4 Ibu Ninik yang membantu dalam pengambilan sampel dari perairan Tual, Maluku Tenggara.

5 Anggota tim penelitian, yaitu Bagja Adhitia Putera, Diah Asih Asmara, dan Afifatunisa Luthfiyah, yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian.

6 Teman-teman HKRB (Himpunan Keluarga Rembang di Bogor) terutama angkatan 2011 yang telah membantu dalam melaksanakan penyusunan skripsi ini.

7 Teman-teman THP (Teknologi Hasil Perairan) angkatan 48 yang telah membantu dalam melaksanakan penyusunan skripsi ini.

8 Beasiswa BIDIK MISI yang telah membiayai kuliah dari semester awal hingga akhir.

9 Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan membutuhkan.

Bogor, Agustus 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Analisis Kadar Karbohidrat Metode Luff Schoorl ... 6

Analisis Serat Pangan Metode Enzimatis ... 7

Komposisi Kimia Rumput Laut Caulerpa sp. ... 10

Karakteristik Serat Rumput Laut Caulerpa sp. ... 13

(16)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia rumput laut Caulerpa sp. ... 11

2 Komposisi kimia dan mineral beberapa rumput laut Genus Caulerpa ... 13

3 Komposisi serat rumput laut Caulerpa sp. ... 14

4 Klasifikasi pati resisten ... 15

5 Komponen serat rumput laut Caulerpa sp. ... 16

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian ... 4

2 Morfologi rumput laut Caulerpa sp. ... 10

3 Bagan umum komponen serat suatu bahan ... 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian ... 25

2 Tabel luff schoorl ... 26

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara maritim dan memiliki sumberdaya perairan cukup besar yang belum dimanfaatkan secara optimal, salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut yang digunakan dalam penelitian adalah Caulerpa sp. dari perairan Tual, Maluku Tenggara. Luas perairan Tual mencapai 98,67% dari total luas wilayah Kota Tual. Jumlah produksi rumput laut di daerah Tual, Maluku Tenggara terus mengalami peningkatan, pada tahun 2009 sebesar 3.285 ton, tahun 2010 sebesar 4.872,9 ton, tahun 2011 sebesar 7.947,4 ton, dan tahun 2012 sebesar 8.953,32 ton rumput laut kering (BPS 2013). Rumput laut hijau di Indonesia terdapat 203 spesies, yang terdiri dari 7 ordo, 19 famili, dan 48 genus. Salah satu genusnya yakni Caulerpa terdiri dari 34 spesies (Atmadja dan Willem 2011).

Menurut Fithriani (2009), rumput laut Caulerpa racemosa dapat dikonsumsi sebagai sayuran segar atau lalapan. Rumput laut ini juga dikonsumsi mentah sebagai lalapan atau dijadikan urap oleh masyarakat pesisir di bagian utara pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah yaitu di Jepara, Pati, Juwana, dan Rembang, namun masyarakat pesisir di Bali umumnya mengonsumsi rumput laut ini dengan cara direbus terlebih dahulu. Menurut Santoso et al. (2004), rumput laut yang dapat dikonsumsi mengandung insoluble dietary fiber (serat makanan tak larut) yang terdiri dari selulosa dan hemiselulosa. Burtin (2003) menyatakan bahwa kandungan serat rumput laut mencapai 30-40% berat kering. Menurut Matanjun et al. (2009), rumput laut Caulerpa lentillifera dari perairan Semporna, Malaysia mengandung serat pangan total sebesar 32,99±2,07%, serat larut sebesar

17,21±0,87%, dan serat tak larut sebesar 15,78±1,20%. Sanchez et al. (2004)

menyatakan bahwa kandungan karbohidrat pada rumput laut umumnya berbentuk serat yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan manusia, sehingga hanya memberikan sedikit asupan kalori dan cocok sebagai makanan diet.

Ortiz et al. (2006) menyatakan bahwa rumput laut dikenal sebagai sumber serat dan dapat digunakan sebagai makanan fungsional untuk mencegah obesitas dan penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif disebabkan oleh akibat kurangnya konsumsi serat, diantaranya hipertensi, stroke, obesitas, jantung koroner, dan diabetes melitus. Prevalensi penyakit degeneratif di Indonesia semakin meningkat, diantaranya prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun keatas sebesar 31,7%. Prevalensi nasional obesitas penduduk diatas usia 15 tahun sebesar 10,3%, prevalensi stroke sebesar 8,3%, prevalensi penyakit jantung sebesar 7,2%, dan prevalensi diabetes melitus sebesar 1,1% (DEPKES 2008). Konsumsi serat di Indonesia hanya 10,5 gram per hari. Hal ini menunjukkan konsumsi serat di Indonesia masih dibawah anjuran gizi, yaitu 20-35 gram per hari. Menurut Anderson et al. (2009), asupan serat dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diantaranya dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner, stroke, diabetes melitus, obesitas, gangguan pencernaan, menurunkan tekanan darah tinggi, dan mengendalikan kadar gula darah.

(18)

2

dilakukan Santoso et al. (2004) menunjukkan hasil 64,9±4,9% dan 61,8±1,1%, namun informasi mengenai komponen serat Caulerpa sp. akibat proses perebusan belum dilaporkan. Proses perebusan dapat menginaktifkan enzim dan menurunkan jumlah mikroba, namun dikhawatirkan dapat mempengaruhi komponen serat yang terkandung pada rumput laut tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk menentukan perubahan serat pangan (serat pangan larut dan tak larut), serat kasar, dan komponen serat (selulosa, hemiselulosa, lignin) akibat proses perebusan.

Rumusan Masalah

Konsumsi serat di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini mengakibatkan meningkatnya beberapa penyakit degeneratif, diantaranya diabetes melitus, hipertensi, stroke, dan jantung koroner. Rumput laut Caulerpa sp. dikenal sebagai sumber serat. Rumput laut Caulerpa sp. biasa dikonsumsi oleh masyarakat pesisir secara mentah sebagai lalapan maupun direbus terlebih dahulu. Proses perebusan dikhawatirkan dapat mempengaruhi komponen serat yang terkandung pada Caulerpa sp.. Informasi mengenai perubahan komponen serat Caulerpa sp. akibat proses perebusan belum dilaporkan. Hasil informasi ini harapannya dapat memberikan manfaat khususnya dalam bidang pangan untuk pemanfaatan rumput laut Caulerpa sp. agar lebih optimal.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menentukan perubahan serat rumput laut Caulerpa sp. yang meliputi serat pangan (serat pangan larut dan tak larut), serat kasar, komponen serat (selulosa, hemiselulosa, lignin) akibat proses perebusan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan komponen serat rumput laut Caulerpa sp. akibat proses perebusan dan harapannya dapat memberikan manfaat, khususnya dalam bidang pangan untuk mengatasi masalah beberapa penyakit degeneratif akibat kurang mengonsumsi serat.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai bulan April 2015. Sampel rumput laut Caulerpa sp. dikirim dari Perairan Tual, Maluku Tenggara sebanyak dua kali, yaitu tanggal 22 Desember 2014 dan 22 Maret 2015. Preparasi dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nawa Agna, Cilendek Timur, Bogor. Analisis komponen serat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut Caulerpa sp. dari perairan Tual, Maluku Tenggara dan air mineral merk Aqua. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah akuades, H2SO4 (Emsure), NaOH (Centipur), H3BO3 (Centipur), HCl (Emsure), larutan n-heksana (Emsure), Pb asetat (Emsure), Na2HPO4 (Emsure), Na3PO4 (Emsure), larutan Luff Schoorl, petroleum eter (Emsure), buffer natrium fosfat (Emsure), enzim termamyl (Sigma), enzim pepsin (Sigma), enzim pankreatin (Sigma), etanol (Emsure), aseton (Emsure), larutan NDS (Neutral Detergent Solution), larutan ADS (Acid Detergent Solution).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi gelas ukur 100 mL (Pyrex), gelas piala 2 L (Herma), oven (Memmert), desikator, tabung soxhlet, tanur (Memmert), selongsong lemak, timbangan digital (Quattro), kertas saring Whatman No.42, labu Kjeldahl, labu erlenmeyer 500 mL (Herma), termometer, alumunium foil (Klin Pak), cawan kaca masir G3, dan kompor listrik (Maspion). Dokumentasi alat yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Prosedur Penelitian

(20)

4

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 22 Desember 2014 digunakan untuk uji proksimat dan uji serat dan sampel kedua diambil pada tanggal 22 Maret 2015 digunakan untuk uji komponen serat. Sampel rumput laut Caulerpa sp. diambil dari perairan Tual, Maluku Tenggara dalam keadaan segar, kemudian dikemas menggunakan toples plastik yang bertutup dan dikirim menuju Institut Pertanian Bogor, Bogor menggunakan moda transportasi udara.

Preparasi Sampel

Sampel rumput laut dibersihkan dari kotoran dan pasir yang melekat, tanpa dilakukan pencucian. Sampel dibedakan menjadi dua, yakni sampel segar dan sampel rebus. Sampel rebus diperoleh dengan cara merebus menggunakan air mineral dengan perbandingan rumput laut sebesar 4:1 pada suhu 90 ºC selama 5 menit dalam kondisi gelas piala terbuka (mengacu penelitian Putera 2015). Mekanisme perebusan yakni air mineral dimasukkan dalam gelas piala berukuran 2 L, kemudian dimasak menggunakan kompor listrik, setelah suhu air 90 ºC, kemudian ditambahkan rumput laut. Perebusan selama 5 menit dihitung setelah penambahan rumput laut pada suhu 90 ºC.

Gambar 1 Diagram alir penelitian

Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis proksimat, serat, dan komponen serat terhadap sampel Caulerpa sp. segar dan rebus. Analisis proksimat yang dilakukan, meliputi kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat. Analisis serat yang dilakukan, meliputi kadar serat pangan (serat

Caulerpa sp.

Preparasi

Perebusan suhu 90 ºC selama 5 menit

Sampel rebus Sampel segar

Pengeringan oven dan pemblenderan

Analisis proksimat Analisis

proksimat

(21)

5

pangan larut dan tak larut), kadar serat kasar, serta komponen serat (selulosa, hemiselulosa, dan lignin).

Analisis Kadar Air (AOAC 2005)

Uji kadar air dilakukan dengan mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 20 menit. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 5 jam. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar air ditentukan dengan rumus:

Kadar air (%)

=

x

100%

Keterangan :

B0 = Berat cawan kosong (gram)

B1 = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

B2 = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

Analisis Kadar Protein (AOAC 2005)

Tujuan analisis protein, yaitu untuk menentukan kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahapan yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

(a) Tahap destruksi

Sampel sebanyak 0,4 gram dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl 100 mL, kemudian ditambah 0,4 gram selenium dan 10 mL H2SO4 pekat. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat destruksi selama 1 jam pada suhu 400 ºC. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna hijau jernih.

(b) Tahap destilasi

Larutan hasil destruksi dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 10 mL lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambah 10 mL NaOH 40%. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi larutan 50 mL H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan bromo cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh larutan berwarna hijau kebiruan.

(c) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan dalam erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran yang diperoleh kemudian dibaca dan dicatat. Kadar protein ditentukan dengan rumus :

Protein (%) = ( – )

x 100%

Analisis Kadar Lemak (AOAC 2005)

(22)

6

lemak kemudian didestilasi hingga menguap sempurna, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, kemudian labu lemak dimasukkan ke dalam desikator sampai beratnya konstan dan ditimbang (W3). Kadar lemak

Analisis Kadar Abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan hingga tidak berasap, kemudian dimasukkan dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C selama 6 jam kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%)

=

x 100%

B0 = Berat sampel awal (gram) B1 = Berat cawan kosong (gram)

B2 = Berat cawan dengan sampel setelah ditanur (gram)

Analisis Kadar Karbohidrat Metode Luff Schoorl (Sulaeman et al. 1993)

(23)

7

sambil diaduk dan ditambah 50 gram asam sitrat monohidrat yang dilarutkan ke dalam 50 mL akuades. Larutan kemudian ditambah 25 gram CuSO4.5H2O yang dilarutkan ke dalam 100 mL akuades, kemudian campuran larutan tersebut dipindahkan ke dalam labu ukur 1 L dan ditera dengan akuades dan dikocok.

X = Nilai pada tabel luff schoorl (dapat dilihat pada Lampiran 2) Y = Faktor pengenceran

a = Berat sampel (mg)

Analisis Serat Pangan Metode Enzimatis (Asp et al. 1992)

Sampel segar dan rebus dikeringkan dengan oven pada suhu 60 ºC selama 21 jam. Sampel kering sebanyak 2 gram diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit kemudian sampel dimasukkan ke dalam oven selama 12 jam pada suhu 105 °C. Sampel sebanyak 1 gram (w) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 mL, kemudian ditambah 25 mL buffer natrium fosfat 0,1 M dengan pH 6, kemudian ditambah 0,1 mL enzim α-amylase (termamyl) dan ditutup alumunium foil dan diinkubasi pada suhu 100 ºC selama 15 menit, kemudian ditambah 20 mL akuades dan pH diatur menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M, kemudian ditambah 100 mg pepsin, ditutup alumunium foil dan diinkubasi pada suhu 40 ºC dan diagitasi selama 60 menit dan ditambah 20 mL akuades dan pH diatur menjadi 6,8; kemudian ditambah 100 mg pankreatin, ditutup alumunium foil dan diinkubasi pada suhu 40 ºC dan diagitasi selama 60 menit, kemudian pH diatur dengan HCl 4 M menjadi 4,5. Larutan kemudian disaring dengan cawan kaca masir G3 yang telah ditimbang bobotnya dan dicuci dua kali dengan akuades.

a) Residu (serat pangan tak larut/IDF)

Residu dicuci dengan 2x10 mL etanol 78% dan 2x10 mL aseton, dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 12 jam, dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (D1), kemudian diabukan dalam tanur pada suhu 500 ºC selama 5 jam, dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (I1). b) Filtrat (serat pangan larut/SDF)

Volume filtrat diatur dengan menambahkan akuades sampai 100 mL, kemudian ditambah 400 mL etanol 78% hangat (suhu 60 ºC), diendapkan 1 jam. Larutan kemudian disaring menggunakan cawan kaca masir G3 dan dicuci dengan 2x10 mL etanol 78%, 2x10 mL aseton, dan dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 105 ºC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (D2). Ekstrak kering kemudian diabukan dalam tanur pada suhu 500 ºC selama 5 jam, dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (I2).

c) Serat makanan total/TDF dan blanko

(24)

8

Nilai blanko untuk IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama, namun tanpa menggunakan sampel (B1 dan B2). Nilai blanko ini sewaktu-waktu harus dicek. Kadar serat ditentukan dengan rumus:

Nilai IDF (%) = ((D1 –I1 –B1)/w) x 100% Nilai SDF (%) = ((D2 –I2 –B2)/w) x 100%

Nilai TDF (%) = Nilai IDF + SDF

Analisis Kadar Serat Kasar (AOAC 1995)

Sampel segar dan rebus dikeringkan dengan oven pada suhu 60 ºC selama 21 jam. Sampel kering sebanyak 2 gram diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit kemudian sampel dimasukkan ke dalam oven selama 12 jam pada suhu 105 °C. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 mL dan ditambah 100 mL H2SO4 0,325 N. Campuran tersebut dihidrolisis dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 °C, kemudian ditambah 50 mL NaOH 1,25 N dan dihidrolisis dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 °C. Larutan kemudian disaring dengan cawan kaca masir G3 yang telah diketahui bobotnya. Cawan kaca masir kemudian dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 mL H2SO4 0,325 N, air panas, dan 25 mL etanol 78%. Cawan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat kasar ditentukan dengan rumus:

Kadar serat kasar (%)

=

x

100% Keterangan:

A = Berat sampel (gram)

B = Berat cawan kaca masir kosong (gram) C = Berat cawan dan residu kering (gram)

Analisis Komponen Serat (Van Soest 1963)

a. Analisis kadar hemiselulosa

Analisis kadar Neutral Detergent Fiber (NDF) menggunakan larutan NDS (Neutral Detergent Solution). Pembuatan larutan NDS dengan mencampurkan 18,61 gram EDTA dan 6,81 gram Na2B4O7.10 H2O ke dalam gelas piala 1 L, kemudian ditambah 30 gram sodium lauril sulfat dalam 20 mL 2-etoksietanol. Na2HPO4 sebanyak 4,56 gram dimasukkan ke dalam gelas piala lain dan ditambah akuades sedikit demi sedikit, dan dipanaskan hingga larut, kemudian dimasukkan ke dalam campuran sebelumnya dan ditambah akuades hingga volumenya 1 L. Larutan tersebut kemudian diukur pH-nya pada kisaran 6,9-7,1.

Sampel sebanyak 0,5 gram (A) dimasukkan ke dalam gelas piala 600 mL, kemudian ditambah 100 mL larutan NDS dan dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Larutan tersebut kemudian disaring menggunakan cawan kaca masir G3 yang telah ditimbang sebelumnya (B), kemudian residu dibilas menggunakan air panas dan aseton, dan dikeringkan dalam oven suhu 105 °C selama ±4 jam sampai beratnya stabil dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar NDF ditentukan dengan rumus:

(25)

9

Analisis kadar Acid Detergent Fiber (ADF) menggunakan larutan ADS (Acid Detergent Solution). Pembuatan larutan ADS dengan melarutkan 20 gram CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) ke dalam 27,5 mL H2SO4 1 N dan ditambah akuades hingga volumenya menjadi 1 L.

Sampel sebanyak 0,5 gram (A) dimasukkan ke dalam gelas piala 600 mL, kemudian ditambah 100 mL larutan ADS dan dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Larutan tersebut kemudian disaring menggunakan cawan kaca masir G3 yang telah ditimbang sebelumnya (B), kemudian residu dibilas menggunakan air panas dan aseton, dan dikeringkan dalam oven suhu 105 °C selama ±4 jam sampai beratnya stabil dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar ADF ditentukan dengan rumus:

ADF (%) =

x

100% Kadar hemiselulosa ditentukan dengan rumus:

Hemiselulosa (%) = % NDF - % ADF b) Analisis kadar selulosa

Analisis selulosa merupakan lanjutan dari analisis ADF. Sampel analisis ADF yang sudah ditimbang (C) ditambah larutan H2SO4 72% sampai terendam selama 3 jam, kemudian disaring menggunakan cawan kaca masir G3. Filtrat kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama ±4 jam sampai beratnya stabil dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (D). Kadar selulosa ditentukan dengan rumus:

Selulosa (%) =

x 100%

c) Analisis kadar lignin

Analisis lignin merupakan lanjutan dari analisis ADF dan residu selulosa. Residu kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama ±4 jam sampai beratnya stabil, kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (D). Residu yang kering kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 2 jam dan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (E). Kadar lignin ditentukan dengan rumus:

Lignin (%) = x 100%

Analisis Data

(26)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi Rumput Laut Caulerpa sp.

Rumput laut Caulerpa sp. pada penelitian ini tergolong rumput laut hijau yang tumbuh dengan akar menancap pada substrat pasir atau menempel pada bebatuan dan termasuk famili Caulerpaceae. Morfologi rumput laut ini adalah thalus berdiameter ±1,4 mm dengan jumlah ramuli sebanyak 24-31 dan berwarna hijau tua. Rumput laut tersebut memiliki kemiripan ciri morfologi dengan rumput laut Caulerpa lentillifera yang memiliki ramuli membentuk bulatan kecil merapat teratur menutupi percabangan sepanjang ±3-5 cm. Thalus berdiameter 1-2 mm dan berwarna hijau tua (Kadi 1996). Menurut Tampubolon et al. (2013), rumput laut Caulerpa lentillifera memiliki thalus dengan cabang bulat yang merambat dan cabang-cabang seperti anggur dengan ramuli sebanyak 17-31 buah dan diameter thalus 1,26 mm, sedangkan rumput laut Caulerpa racemosa memiliki jumlah ramuli sebanyak 8-16 buah dan diameter thalus 2,92 mm. Morfologi rumput laut Caulerpa sp. dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Morfologi rumput laut Caulerpa sp.

Rumput laut Caulerpa sp. tumbuh bergerombol, sehingga disebut anggur laut. Rumput laut ini memiliki sebutan yang berbeda-beda di setiap daerah, diantaranya di Sulawesi Selatan disebut lawi-lawi, di Bali disebut bulung boni, dan di Jawa disebut latoh. Masyarakat pesisir biasa mengonsumsi rumput laut ini dalam kondisi mentah sebagai lalapan atau urap maupun direbus terlebih dahulu.

Komposisi Kimia Rumput Laut Caulerpa sp.

(27)

11

Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut Caulerpa sp. Komposisi kimia (%) direbus menjadi 78,36±0,19%. Aisyah et al. (2014) menyatakan bahwa perebusan bahan pangan yang mengandung serat pangan tinggi, dapat meningkatkan kadar air. Hal ini disebabkan oleh serat pangan yang memiliki kemampuan menyerap air saat proses perebusan. Wong dan Cheung (2001) menyatakan bahwa rumput laut banyak mengandung polisakarida non pati atau serat. Menurut Chaidir (2006), serat pangan memiliki daya serap air yang tinggi. Hal ini disebabkan serat pangan memiliki ukuran polimer yang besar, struktur yang kompleks, dan banyak mengandung gugus hidroksil. Santoso et al. (2006) menyatakan bahwa kadar air Caulerpa racemosa sebesar 88,8±0,5% dan Caulerpa sertularoides sebesar 82,4±0,6%. Hasil kadar air yang diperoleh lebih rendah dibandingkan literatur. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penguapan pada Caulerpa sp. selama proses transportasi dari Maluku Tenggara menuju Bogor. Transportasi dapat memicu proses transpirasi, sehingga mempercepat proses penguapan air pada bahan yang menyebabkan rendahnya kadar air suatu bahan (Widjanarko 2012).

Perebusan selama 5 menit pada suhu 90 ºC tidak menyebabkan perubahan kadar protein. Santoso et al. (2006) menyatakan bahwa kadar protein rumput laut Caulerpa racemosa sebesar 1,5±0,2% dan Caulerpa sertularoides sebesar 3,1±0,2%. Hasil kadar protein yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan literatur. Protein tersusun atas beberapa asam amino dengan ikatan peptida. Menurut Ratana dan Chirapart (2006), tinggi rendahnya kadar protein dapat dihubungkan dengan asam amino yang terkandung dalam bahan, semakin tinggi kandungan asam amino, maka kadar protein yang terkandung juga semakin tinggi. Perbedaan kadar protein pada rumput laut disebabkan oleh perbedaan spesies, musim, dan kondisi geografis.

(28)

12

berbanding terbalik dengan kadar lemak, sehingga semakin rendah kadar lemak suatu bahan maka kadar air yang terkandung semakin tinggi (Yunizal et al. 1998). Perebusan selama 5 menit pada suhu 90 ºC tidak menyebabkan perubahan kadar abu. Santoso et al. (2006) menyatakan bahwa kadar abu rumput laut Caulerpa racemosa sebesar 2,1±0,2% dan Caulerpa sertularoides sebesar 2,9±0,2%. Bahan pangan terdiri atas 96% zat organik dan air, serta 4% terdiri atas unsur mineral atau zat anorganik. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Menurut Ratana dan Chirapart (2006), tinggi rendahnya kadar abu dapat dihubungkan dengan jumlah unsur mineral yang terkandung dalam bahan, semakin tinggi kandungan mineralnya, maka kadar abu yang terkandung semakin tinggi. Menurut Ruperez (2002), kandungan mineral rumput laut dipengaruhi oleh spesies, faktor fisiologis, dan kondisi geografis. Kandungan abu rumput laut lebih tinggi dibandingkan tanaman air, misalnya genjer. Nurjanah et al. (2014) menyatakan bahwa kadar abu tanaman genjer sebesar 0,70±0,14% (berat basah).

Perhitungan kadar karbohidrat umumnya dengan metode by difference. Metode ini memiliki kelemahan hasil yang kurang akurat, sehingga diperlukan pengujian dengan metode Luff Schoorl. Hasil karbohidrat metode by difference sebelum direbus sebesar 19,6±0,03% dan setelah direbus menjadi 16,69±0,12%. Hasil penentuan kadar karbohidrat metode Luff Schoorl sebelum direbus sebesar 18,97% dan setelah direbus menjadi 16,25%. Metode Luff Schoorl memiliki kadar karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan metode by difference. Menurut Whelan dan Pirt (2006), metode by difference memiliki kesalahan positif karena tidak dapat membedakan komponen non karbohidrat, diantaranya asam organik, tanin, dan lignin, sehingga komponen tersebut ikut terhitung sebagai karbohidrat. Kadar karbohidrat yang dianalisis dengan metode Luff Schoorl memperoleh hasil yang lebih rendah dibandingkan metode by difference, karena adanya tahapan hidrolisis pada metode Luff Schoorl menggunakan HCl 25% dan dilakukan pemanasan pada suhu 70 ºC selama 10 menit.

Penurunan kadar karbohidrat setelah perebusan disebabkan komponen karbohidrat, salah satunya pati mengalami gelatinisasi saat perebusan pada suhu 90 ºC selama 5 menit dan beberapa komponen karbohidrat yang larut dalam media air, diantaranya pektin, gum, mucilage, dan komponen monosakarida lainnya (Robinson 1995). Menurut Santoso et al. (2006), kadar karbohidrat by difference Caulerpa racemosa sebesar 7,1% dan Caulerpa sertularoides sebesar 9,3%. Hasil kadar karbohidrat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan literatur. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan musim pemanenan rumput laut, pemanenan saat musim panas maka intensitas cahaya matahari semakin tinggi dan mengakibatkan tingginya kandungan karbohidrat. Intensitas cahaya matahari digunakan rumput laut untuk fotosintesis dan menghasilkan karbohidrat atau polisakarida. Menurut Marinho-Soriano et al. (2006), kandungan karbohidrat rumput laut dipengaruhi temperatur, salinitas, dan intensitas cahaya matahari.

(29)

13

Tabel 2 Komposisi kimia dan mineral beberapa rumput laut Genus Caulerpa Komponen gizi

Berat kering

C. lentillifera* C. lentillifera** C. racemosa*** C.sertularioides***

Protein (%)

** Ratana-Arporn dan Chirapart (2006)

*** Santoso J, Gunji S, Yoshie Y, Suzuki T (2006) **** Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T (2004)

Karakteristik Serat Rumput Laut Caulerpa sp.

Serat adalah bagian dari komponen tumbuhan yang tidak dapat diserap oleh tubuh. Serat umumnya terbagi menjadi dua, yakni serat pangan dan serat kasar. Serat pangan merupakan serat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Serat pangan berdasarkan kelarutannya terhadap air terbagi dua, yakni serat pangan larut (soluble dietary fiber/SDF) yang terdiri dari pektin dan turunannya, gum, serta mucilage dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber/IDF) yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat pangan tersusun atas polisakarida dengan ikatan β (1-4) yang tidak dapat dicerna oleh enzim amilase yang disekresikan oleh kelenjar saliva dan pankreas, namun dapat dimetabolisme oleh bakteri yang terdapat pada usus besar dan menghasilkan asam lemak rantai pendek atau short chain fatty acid (SCFA), diantaranya asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis dengan asam kuat selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga terjadi kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa 85%. Kadar serat pangan selalu lebih tinggi dibandingkan serat kasar (Wildman dan Medeiros 2000).

(30)

14

Tabel 3 Komposisi serat rumput laut Caulerpa sp.

Komposisi serat (%) Caulerpa sp. CR (a) CS (a) CL (b)

CR= Caulerpa racemosa; CS= Caulerpa sertularoides; CL= Caulerpa lentillifera

Sumber:(a) Santoso et al. (2004); (b) Matanjun et al. (2009)

(c) Ma’ruf et al. (2013); (d) Ratana-Arporn dan Chirapart (2006)

Serat pangan berperan dalam metabolisme glukosa dan lemak, memperlancar buang air besar, menstimulasi aktivitas metabolisme bakteri, dan detoksifikasi terhadap zat yang berada dalam kolon (Guillon et al. 2000). Hasil serat pangan total sebelum direbus sebesar 43,97±0,38% dan setelah direbus menjadi 40,17±0,52%. Hal ini menunjukkan perebusan selama 5 menit pada suhu 90 ºC menyebabkan penurunan kadar serat pangan total. Kadar serat pangan total diperoleh dari hasil penjumlahan serat pangan larut dan tak larut. Menurut Pangastuti et al. (2013), serat pangan total pada tepung kacang merah mengalami penurunan setelah direbus selama 90 menit. Kadar serat pangan total Caulerpa sp. segar tergolong tinggi, yakni 43,97%. Menurut Wong dan Cheung (2001), rumput laut banyak mengandung polisakarida non pati atau serat.

Menurut Matanjun et al. (2009), kandungan serat Caulerpa lentillifera dari perairan Semporna, Malaysia yakni serat pangan total sebesar 32,99±2,07%, serat pangan larut sebesar 17,21±0,87%, dan serat pangan tak larut sebesar

15,78±1,20%. Hal ini menunjukkan kadar serat pangan total, serat pangan larut,

dan serat pangan tak larut Caulerpa sp. yang diperoleh dari perairan Tual, Maluku

Tenggara lebih tinggi daripada Caulerpa lentillifera dari perairan Semporna,

Malaysia. Perbedaan kandungan serat pangan pada rumput laut dipengaruhi oleh habitat, musim, dan jenis spesies. Hal ini didukung Ortiz et al. (2006) bahwa kandungan serat rumput laut dipengaruhi oleh musim, lokasi geografi, jenis spesies, umur panen, dan kondisi lingkungan.

Serat pangan total, dibagi dua kelompok yakni serat pangan larut dan tak larut. Serat tak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air dan juga dalam saluran pencernaan. Serat tak larut air memiliki kemampuan menyerap air dan meningkatkan volume tinja sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Serat ini berfungsi mempercepat waktu transit makanan dalam usus dan meningkatkan berat tinja, memperlancar buang air besar, mengurangi risiko wasir, dan kanker usus (Chaidir 2006).

(31)

15

meningkatkan serat tak larut akibat pembentukan pati tak tercerna. Asp (1995) menyatakan bahwa pati atau produk degradasi pati yang tidak dapat dicerna oleh usus manusia disebut pati resisten atau resistant starch (RS). Pembentukan resistant starch dalam bahan pangan dapat disebabkan oleh pemanasan. Resistant starch ini tahan terhadap dispersi dalam air mendidih dan tidak dapat dihidrolisis oleh enzim amilase, pankreatin, dan pullulanase, tetapi dapat didispersi dalam larutan KOH dan dapat dihidrolisis oleh enzim amiloglukosidase. Pengujian serat pangan metode Van Soest (1963) tidak menggunakan enzim amiloglukosidase, sehingga kemungkinan RS yang terbentuk selama perebusan tidak dapat terhidrolisis, sehingga terukur sebagai kadar serat pangan tak larut. Klasifikasi pati resisten dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi pati resisten

Pati yang secara fisik sulit dicerna (ukurannya besar) Granula pati resisten

Pati retrogradasi (resisten karena proses pengolahan) Pati termodifikasi

Sumber: Nugent (2005)

Resistant starch yang terbentuk setelah proses perebusan, tergolong RS-3 yakni sebagai pati retrogradasi. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali dan pembentukan matrik pati yang telah mengalami gelatinisasi akibat pengaruh suhu. Kadar serat pangan larut sebelum direbus sebesar 21,09±0,13% dan setelah direbus menjadi 16,04±0,63%. Serat pangan larut air yaitu serat yang dapat larut dalam air dan larut dalam saluran pencernaan, namun dapat membentuk gel dengan cara menyerap air. Menurut Chaidir (2006), serat pangan larut berfungsi memperlambat kecepatan gula darah sehingga kebutuhan energi akan menurun, memberikan rasa kenyang lebih lama, membantu mengendalikan berat badan, meningkatkan kesehatan pencernaan, mengurangi risiko sakit jantung, mengikat asam empedu, mengikat kolesterol dan mengeluarkan melalui tinja. Penurunan kadar serat pangan larut selama perebusan disebabkan oleh hancurnya dinding sel rumput laut, sehingga memudahkan perpindahan komponen serat pangan larut air ke dalam media air panas. Widagdo (2007) menyatakan bahwa proses pemasakan suatu bahan menyebabkan kandungan serat makanan bermigrasi karena adanya media air panas, sehingga komponen serat larut air yang terkandung dalam bahan akan larut dengan air panas dan mengakibatkan kandungan serat pangan larut menurun.

Kadar serat kasar rumput laut sebelum direbus sebesar 2,47±0,03% dan setelah direbus menjadi 1,62±0,1%. Menurut Kusumawati et al. (2012), kadar serat kasar tepung biji nangka mengalami penurunan setelah dilakukan blanching pada suhu 80 ºC selama 10 menit. Menurut Suprapto (2004), penurunan serat kasar setelah blanching disebabkan oleh dinding sel bahan yang larut dalam air selama proses pengolahan. Penurunan serat kasar dipengaruhi oleh suhu dan lama blanching, karena struktur gel pektin akan rusak oleh pemanasan selama blanching. Menurut Matanjun et al. (2009), kadar serat kasar Caulerpa lentillifera sebesar 1,91±0%. Menurut Ratana dan Chirapart (2006), kadar serat kasar Caulerpa lentillifera sebesar 3,17±0,21%. Hal ini menunjukkan kadar serat kasar

(32)

16

daripada Caulerpa lentillifera dari perairan Semporna, Malaysia dan lebih rendah

daripada Caulerpa lentillifera dari perairan Amphor-BanLam, Petchburi.

Perbedaan kadar serat kasar dipengaruhi oleh habitat, musim, dan jenis spesies.

Komponen Serat Rumput Laut Caulerpa sp.

Polisakarida rumput laut tersusun dari hidrokoloid penyusun dinding sel dan bahan pengisi ruang antara sel, misalnya karaginan dan agar-agar. Menurut Vera et al. (2011), jenis rumput laut hijau lebih banyak mengandung polisakarida xilan dan ulvan. Wong dan Cheung (2001) menyatakan bahwa perbedaan kandungan polisakarida pada rumput laut disebabkan oleh perbedaan kadar sulfat pada struktur utama monosakarida penyusunnya dan jenis spesies rumput laut. Hasil komponen serat Caulerpa sp. segar dan rebus dibandingkan hasil penelitian Santi et al. (2012) mengenai komponen serat Caulerpa crassa dan Ulva lactuca yang diambil dari perairan Ujung Genteng, Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komponen serat rumput laut Caulerpa sp.

Komponen serat (%) Caulerpa sp. Caulerpa crassa (a) Ulva lactuca (a)

Segar Rebus

Sampel rumput laut yang digunakan untuk pengujian komponen serat diambil pada bulan Maret atau musim pancaroba, yakni musim peralihan dari musim hujan menuju musim kemarau. Hasil pada Tabel 5 menunjukkan kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada Caulerpa sp. rebus apabila dijumlahkan kadarnya, melebihi kadar serat pangan total pada Caulerpa sp. rebus yang diambil pada bulan Desember. Hal ini menunjukkan perbedaan musim dapat mempengaruhi kadar serat pangan total yang terkandung pada rumput laut, ketika musim hujan maka intensitas cahaya berkurang, sehingga menurunkan laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat.

Rumput laut Caulerpa sp. yang diambil pada bulan Maret memiliki kadar serat pangan total lebih tinggi dibandingkan pengambilan bulan Desember, kemungkinan karena pada bulan Maret tergolong musim kemarau dan rumput laut akan lebih aktif melakukan fotosintesis dibandingkan bulan Desember yang tergolong musim hujan, sehingga kadar serat pangan total yang terkandung lebih tinggi. Rumput laut dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil, berupa klorofil a, klorofil b, xantofil, dan karotenoid pada organel kloroplas. Proses fotosintesis rumput laut berlangsung di dalam plastid. Plastid merupakan organel utama yang hanya ditemukan pada tumbuhan dan alga. Plastid berfungsi untuk fotosintesis dan sintesis asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan sel tumbuhan. Hasil reaksi fotosintesis rumput laut, berupa karbohidrat terutama polisakarida atau hidrokoloid (Aslan 1998).

(33)

17

metode Van Soest merupakan metode pengujian kimia untuk mengukur kadar komponen serat menggunakan pelarut detergen. Neutral Detergent Fiber (NDF) merupakan semua komponen karbohidrat struktural yang terkandung pada dinding sel tumbuhan, meliputi selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Kadar NDF rumput laut sebelum direbus sebesar 17,7±0,19% dan setelah direbus menjadi 42,65±0,48%. Acid Detergent Fiber (ADF) merupakan komponen yang terdiri dari selulosa dan lignin. ADF juga didefinisikan banyaknya fraksi yang tidak terlarut setelah proses pelarutan dengan larutan Acid Detergent Solution (ADS). Kadar ADF rumput laut sebelum direbus sebesar 11,3±0,25% dan setelah direbus menjadi 24,85±0,96%. Bagan umum komponen serat pada suatu bahan (Van Soest 1963) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Bagan umum komponen serat suatu bahan (Van Soest 1963) Selulosa bersifat tidak larut dalam air dingin maupun air panas, dan alkali panas. Selulosa merupakan komponen penyusun dinding sel tanaman bersama-sama dengan hemiselulosa, pektin, dan protein. Selulosa merupakan polimer dari glukosa berantai lurus dengan ikatan ß (1-4) glukosidik dengan jumlah glukosa sampai 10.000 unit (Tensiska 2008). Selulosa merupakan komponen struktural utama dinding sel. Selulosa dapat dihidrolisis menggunakan enzim selulase. Enzim tersebut tidak dimiliki oleh tubuh manusia, sehingga selulosa tidak dapat dicerna oleh pencernaan tubuh manusia.

Kadar selulosa rumput laut sebelum direbus sebesar 8,7±0,32% dan setelah direbus menjadi 22,61±0,76%. Menurut Yuanita (2006), kadar selulosa kacang panjang meningkat setelah direbus pada suhu 100 ºC selama 5 menit. Menurut Nyman (1995), perebusan dapat meningkatkan kadar pati tak tercerna yang terukur sebagai selulosa, sehingga kadar selulosa meningkat. Hal ini didukung Yuanita (2006), proses perebusan menyebabkan pembengkakan dinding sel, sehingga terjadi pembebasan pati dan lipid dan terjadi pembentukan senyawa

(34)

18

kompleks hasil ikatan pati dan lipid yang bersifat sebagai pati tidak tercerna. Menurut Santi et al. (2012), kadar selulosa Caulerpa crassa sebesar 25,5% dan Ulva lactuca sebesar 19,58%. Hal ini menunjukkan kadar selulosa Caulerpa sp. yang diperoleh dari perairan Tual, Maluku Tenggara lebih rendah daripada

Caulerpa crassa dan Ulva lactuca dari perairan Ujung Genteng, Sukabumi. Menurut Diharmi et al. (2011), perbedaan kadar selulosa pada rumput laut dipengaruhi oleh spesies rumput laut, habitat, dan musim.

Hemiselulosa merupakan polisakarida heteropolimer yang memiliki rantai cabang tidak seragam dan merupakan komponen penyusun dinding sel yang saling berikatan dengan selulosa dan lignin. Perbedaan selulosa dengan hemiselulosa yaitu hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi yang rendah (50-200 unit) dan hemiselulosa mudah larut dalam alkali (Tensiska 2008). Hemiselulosa juga larut dengan pelarut deterjen asam. Hemiselulosa dapat dihidrolisis menggunakan enzim hemiselulase (xylanase). Enzim tersebut tidak dimiliki oleh tubuh manusia, sehingga hemiselulosa tidak dapat dicerna oleh pencernaan tubuh manusia.

Kadar hemiselulosa sebelum direbus sebesar 6,4±0,08% dan setelah direbus menjadi 17,8±0,54%. Kadar hemiselulosa diperoleh dari selisih NDF dan ADF. Yuanita (2006) menyatakan bahwa hemiselulosa tahan terhadap suhu pemasakan dengan media air pada pH netral, sehingga saat perebusan hemiselulosa tidak terhidrolisis. Hemiselulosa berikatan kuat dengan komponen lignin, sehingga mempersulit proses hidrolisis. Hemiselulosa dapat terhidrolisis pada suhu pemanasan 121 ºC dengan pelarut asam sulfat. Hemiselulosa memiliki kemampuan yang kuat dalam mengikat molekul air selama perebusan. Molekul air yang terikat dengan hemiselulosa akan menghalangi afinitas asam, sehingga hemiselulosa tidak terhidrolisis selama proses perebusan. Santi et al. (2012) menyatakan bahwa kadar hemiselulosa rumput laut Caulerpa crassa sebesar 43,73% dan Ulva lactuca sebesar 16,42%. Hal ini menunjukkan kadar

hemiselulosa Caulerpa sp. yang diperoleh dari perairan Tual, Maluku Tenggara

lebih rendah daripada Caulerpa crassa dan Ulva lactuca dari perairan Ujung

Genteng, Sukabumi. Perbedaan kadar hemiselulosa pada rumput laut dipengaruhi oleh spesies rumput laut, habitat, dan musim.

Lignin merupakan polimer non karbohidrat yang memiliki banyak cabang dan ikatan silang yang bersifat tidak larut air dan sebagian besar pelarut organik. Lignin merupakan heteropolimer yang sebagian besar monomernya berupa hidroksifenilpropana dan lignin mengandung koniferil alkohol. Lignin tersusun dari tiga senyawa fenilpropanoid, yaitu alkohol komaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil. Senyawa penyusun lignin tersebut, tersusun secara acak dan membentuk polimer lignin yang tidak beraturan. Lignin merupakan salah satu polimer fenilpropanoid yang sulit dirombak atau dicerna. Hal ini disebabkan oleh strukturnya yang heterogen dan sangat kompleks. Lignin tahan terhadap hidrolisis asam kuat atau alkali dan tidak terdegradasi oleh bakteri dalam kolon. Lignin juga tahan terhadap degradasi kimia maupun degradasi enzimatik. Hal ini dikarenakan lignin memiliki ikatan yang kuat dengan polisakarida tumbuhan dan protein dinding sel, sehingga komponen lignin tidak dapat dicerna (Robinson 1995).

(35)

19

Caulerpa sp. yang diperoleh dari perairan Tual, Maluku Tenggara lebih rendah

daripada Caulerpa crassa dan Ulva lactuca dari perairan Ujung Genteng,

Sukabumi. Perbedaan kadar lignin pada rumput laut dipengaruhi oleh spesies rumput laut, habitat, dan musim. Kadar lignin pada rumput laut lebih rendah dibandingkan tanaman darat. Menurut Burtin (2003), rumput laut bukan sebagai sumber lignin. Hal ini didukung Sutiya et al. (2012), kadar lignin pada tanaman alang-alang dari Kabupaten Takisung, Kalimantan Selatan sebesar 31,29%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Rumput laut Caulerpa sp. dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sumber serat. Perebusan pada suhu 90 ºC selama 5 menit tidak mempengaruhi kadar lignin. Perebusan meningkatkan serat pangan tak larut sebesar 1,25%, selulosa sebesar 13,91%, hemiselulosa sebesar 11,4%, dan menurunkan kadar serat pangan total sebesar 3,8%, serat pangan larut sebesar 5,05%, dan serat kasar sebesar 0,85%.

Saran

Berdasarkan penelitian ini, disarankan untuk menganalisis kadar serat pangan berdasarkan metode AOAC (1995) menggunakan enzim amiloglukosidase, karena enzim tersebut mampu menghidrolisis pati resisten yang terbentuk selama proses perebusan.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah Y, Radiansyah, Muhaimin. 2014. Pengaruh pemanasan terhadap aktivitas pada beberapa jenis sayuran. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia 6(2):1-6.

Anderson JW, Baird P, Davis Jr, Ferreri S, Knudtson M, Koraym A, Waters V, Williams CL. 2009. Health benefits of dietary fiber. Internasional Life Sciences Institute 67(4):188-205.

[AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analitycal of Chemists. Arlington, Virginia, (US): Association of Official Analitycal Chemist, Inc.

________________________________. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analitycal of Chemists. Arlington, Virginia, (US): Association of Official Analitycal Chemist, Inc.

(36)

20

Asp NG, Schweizer TF, Southgate DAT, Theander O. 1992. Dietary Fiber Analysis. London (GB): Springer.

Asp NG. 1995. Classification and methodology of food carbohydrates as related to nutrional effects. American Journal Clinical Nutrition 61:930-937.

Atmadja WS dan Willem FPVR. 2011. Checklist of the Seaweed Species Biodiversity of Indonesia. Jakarta (ID): LIPI.

[BPS] Badan Pusat Statistik Maluku Tenggara. 2013. Maluku Tenggara Dalam Angka 2013. Maluku Tenggara (ID): Badan Pusat Statistik.

Burtin P. 2003. Nutritional value of seaweeds. Electronic Journal of Environmental, Agriculture Food Chemistry 2(4):498-503.

Chaidir A. 2006. Kajian rumput laut sebagai sumber serat alternatif untuk minuman berserat. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[DEPKES] Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan.

Diharmi A, Fardiaz D, Andarwulan N, Heruwati ES. 2011. Karakteristik komposisi kimia rumput laut merah (Rhodophyceae) Eucheuma spinosum yang dibudidayakan dari perairan Nusa Penida, Takalar, dan Sumenep. Berkala Perikanan Terubuk 39(2):61-66.

Fithriani D. 2009. Potensi antioksidan Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun Lampung. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Guillon F, Champ M, Thibault JF. 2000. Dietary Fiber Functional Product. Di dalam: Gibson GR dan Williams CM (editor). Functional Foods: Concept to Product. England (GB): Woodhead Publishing Limited.

Jung GHJ. 1997. Analysis of forage fiber and cell walls in ruminant nutrition. Journal Nutritional 127:810-813.

Kadi A. 1996. Pengenalan Jenis Algae Hijau (Chlorophyta). Jakarta (ID): Puslitbang Oseanologi LIPI.

Kusumawati DD, Amanto BS, Muhammad DRA. 2012. Pengaruh perlakuan pendahuluan dan suhu pengeringan terhadap sifat fisik, kimia, dan sensori tepung biji nangka (Artocarpus heterophyllus). Jurnal Teknosains Pangan 1(1):41-48.

Ma’ruf WF, Ibrahim R, Dewi EN, Susanto E, Amalia U. 2013. Profil rumput laut

Caulerpa racemosa dan Gracilaria verrucosa sebagai edible food. Jurnal Saintek Perikanan 9(1): 68-74.

(37)

21

Matanjun P, Mohamed S, Mustapha NM, Muhammad K. 2009. Nutrient content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum. Journal of Applied Phycology 21:75-80.

Nugent AP. 2005. Health properties of resistant starch. Bulletin Foundation Nutrition 30:27-54.

Nurjanah, Jacoeb AM, Nugraha R, Permatasari M, Sejati TKA. 2014. Perubahan komposisi kimia, aktivitas antioksidan, vitamin c dan mineral tanaman genjer (Limnocharis flava) akibat pengukusan. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan 3(3): 185-195.

Nyman M. 1995. Effects of processing on dietary fibre in vegetables. European Journal Clinical Nutrition 49(3):215-218.

Ortiz J, Romero N, Robert P, Araya J, Lopez HJ, Bozzo C, Navarrete E, Osorio A, Rios A. 2006. Dietary fiber, amino acid, fatty acid and tocopherol contents of the edible seaweeds Ulva lactuca and Durvillaea antarctica. Food Chemistry 99:98-104.

Pangastuti HA, Affandi DR, Ishartani D. 2013. Karakterisasi sifat fisik dan kimia tepung kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) dengan beberapa perlakuan pendahuluan. Jurnal Teknosains Pangan 2(1):20-29.

Putera BA. 2015. Aktivitas antioksidan rumput laut Caulerpa sp. segar dan rebus. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ratana-Arporn P, Chirapart A. 2006. Nutritional evaluation of tropical green seaweeds Caulerpa lentillifera and Ulva reticulate. Kasetsart Journal (National Science) 40:75-83.

Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung (ID): ITB Press.

Ruperez P. 2002. Mineral content of edible marine seaweeds. Food Chemistry 79: 23-26.

Sanchez MDJ, Lopez C, Lopez HJ, Paseiro LP. 2004. Fatty acids, total lipid, protein and ash contens of processed edible seaweeds. Food Chemistry 85: 439-444.

Santi RA, Sunarti TC, Santoso D, Triwisari DA. 2012. Komposisi kimia dan profil polisakarida rumput laut hijau. Jurnal Akuatika 3(2):105-114.

Santoso J, Gunji S, Yoshie Y, Suzuki T. 2006. Mineral contents of Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking. Food Science Technology 12(1):59-66.

Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T. 2004. Mineral, fatty acid and dietary fiber compositions in several Indonesian seaweeds. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 11(1):45-51.

(38)

22

Suprapto. 2014. Pengaruh Lama Blanching Terhadap Kualitas Stik Ubi Jalar (Ipoema batatas L.) dari Tiga Varietas. Malang (ID): Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Sutiya B, Istikowatio WT, Rahmadi A, Sunardi. 2012. Kandungan kimia dan sifat serat alang-alang (Imperata cylindrica) sebagai gambaran bahan baku pulp dan kertas. Bioscientiae 9(1):8-19.

Tampubolon A, Gerung GS, Wagey B. 2013. Biodersivitas alga makro di Lagun Pulau Pasige, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Sitaro. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis 2(1):35-43.

Tensiska. 2008. Serat makanan. [makalah]. Bandung (ID): Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung.

Van Soest PJ. 1963. Use of detergent in the analysis of fibrous feed, II. A rapid method for the determination of fiber and lignin. Journal Association Official Agriculture Chemistry 46(5):829-835.

Vera J, Castro J, Gonzalez A, Moenne A. 2011. Seaweed polysaccharides and derived oligosaccharides stimulate defense responses and protection against pathogens in plants. Marine Drugs 9:2514-2525.

Whelan WJ, Pirt SJ. 2006. The determination of starch by acid hydrolysis. Journal of the Science of Food and Agriculture 2(5):224-228.

Widagdo K. 2007. Pengaruh perlakuan pemanasan terhadap kadar amilosa dan serat pangan beras merah organik. [skripsi]. Semarang (ID): Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, UNIKA.

Widayanti NP, Rita WS, Ciawi Y. 2013. Pengaruh konsentrasi ammonium sulfat ((NH4)2SO4) sebagai sumber nitrogen tehadap produksi bioetanol berbahan baku Gracilaria sp. Jurnal Kimia 7(1):1-10.

Widjanarko SB. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pascapanen. Malang (ID): UB Press.

Wildman REC, Medeiros DM. 2000. Advanced Human Nutrition. Boca Raton, Florida (US): CRC Press.

Wong KH, Cheung PCK. 2001. Nutritional evaluation of some subtropical red and green seaweeds Part II. Invitro protein digestibility and amino acid profiles of protein concentrates. Food Chemistry 72:11-17.

Yuanita L. 2006. The effect of pectic substances, hemicellulose, lignin and cellulose content to the percentage of bound iron by dietary fiber macromolecules: acidity and length boiling time variation. Indonesian Journal Chemistry 6(3):332-337.

(39)

23

(40)
(41)

25

Lampiran 1 Dokumentasi penelitian

Caulerpa sp. segar Caulerpa sp.rebus Preparasi sampel

Timbangan Desikator Tanur

Blender bumbu Oven Cawan masir G3

(42)

26

Lampiran 2 Tabel luff schoorl (perhitungan karbohidrat luff schoorl)

Na2S2O3 0,1 N (ml) Glukosa (mg)

1 2,4

2 4,8

3 7,2

4 9,7

5 12,2

6 14,7

7 17,2

8 19,8

9 22,4

10 25,0

11 27,6

12 30,3

13 33,0

14 35,7

15 38,5

16 41,3

17 44,2

18 47,1

19 50,0

20 53,0

21 56,0

22 59,1

(43)

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang, pada tanggal 27 Maret 1994. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan bapak Sukasip dan ibu Siti Markhamah. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai di SDN Padaran pada tahun 1999 hingga tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun yang sama di SMPN 3 Rembang hingga tahun 2008 lalu melanjutkan pendidikannya di SMAN 2 Rembang dan lulus pada tahun 2011. Tahun 2011 Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan.

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Gambar 2 Morfologi rumput laut Caulerpa sp.
Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut Caulerpa sp.
Tabel 2 Komposisi kimia dan mineral beberapa rumput laut Genus Caulerpa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa grafik panjang mooring line dan kedalaman memiliki korelasi yang sangat kuat, begitu juga pada hasil analisa grafik tension maximum dan kedalaman

Laporan Keuangan Publikasi ini disusun berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.6/POJK.03/2015 tanggal 31 Maret 2015 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank, dan

Perbedaan yang ada pada sungai alami dan sungai terusik terjadi bagian sekitar sabo dam, yang meliputi sebelum mencapai sabo dam yang mengalami peluapan

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menjelaskan peningkatan keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran bahasa Indonesia melalui model Talking Stick berbantuan

Tujuan diterbitkannya majalah itu antara lain untuk mendorong bangsa-bangsa timur dalam memperbaiki keadaan, mencapai kemenangan dan menghilangkan rasa putus asa,

pendapatan bunga lebih besar dari pada penurunan biaya bunga maka ROA akan. menurun dan pengaruh IRR terhadap ROA adalah

Adapun judul skripsi ini adalah “ Sikap dan Perilaku Konsumen Terhadap Produk Olahan Durian (Kasus: Pancake Durian Produksi Mei Cin Pancake)” yang merupakat syarat untuk dapat