i
DEPRESI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh:
FERNANDA ARIFTA HUTAMA 20130310028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
i
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN
DEPRESI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh:
FERNANDA ARIFTA HUTAMA 20130310028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
ii
DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY
Disusun Oleh:
FERNANDA ARIFTA HUTAMA 20130310028
Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 21 Desember 2016
Dosen Pembimbing Dosen Penguji
dr. Ida Rochmawati, M. Sc. Sp. KJ (K) dr. Warih Andan P., M. Sc. Sp. KJ (K)
NIK: NIK: 173042
Mengetahui
Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
iii
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Fernanda Arifta Hutama
NIM : 20130310028
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis
ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah
ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, 14 Desember 2016
Yang membuat pernyataan,
iv
Alhamdulillahhirobbil’alamin, penulis mengucapkan puji syukur kehadirat
Allah SWT atas berkat, kasih, karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ilmiah berjudul “Hubungan Antara Faktor Demografi dengan Depresi
Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY” sebagai
persyaratan untuk memperoleh derajat sarjana kedokteran pada Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulisan karya tulis ilmiah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan banyak ucapan
terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga
pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
dengan baik.
2. dr. H. Ardi Pramono, SpAn. M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. dr. Ida Rochmawati, M. Sc, Sp. KJ (K) selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktunya, pengalaman, ilmu, bantuan
pemikiran dan bimbingan yang sangat berguna dalam proses
v
meluangkan waktu dan memberikan masukan yang sangat membantu
dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
5. Hj. Badingah S. Sos, M. Ap selaku bupati Kabupaten Gunungkidul
DIY sekaligus eyang tercinta, terima kasih telah memberi dukungan
dan kemudahan bagi kami saat melakukan penelitian.
6. Kedua orang tua saya, M. Setyo Wibowo, A.md dan Evi Danoor
Wibawati, S.H. yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan
doa.
7. Teman sepenelitian saya, Nindya Putri Prasasya dan Dimas Adhi
Pradita atas kerjasama, bantuan, pengetahuan dan pengalaman yang
diberikan selama penelitian.
8. Terima kasih untuk orang-orang tersayang, sahabat dan teman-teman
yang selalu mendampingi saya dan selalu ada di hari-hari saya.
9. Segenap dosen, staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
10.Semua rekan seperjuangan, teman-teman Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah angkatan 2013 atas kebersamaannya.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan pada
penulisan karya tulis ilmiah ini, sehingga penulis sangat mengharapkan masukan
vi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kedokteran. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 14 Desember 2016
vii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR GRAFIK ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRACT ... xii
INTISARI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Keaslian Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 7
B. Kerangka Teori... 23
C. Kerangka Konsep ... 24
D. Hipotesis ... 25
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 26
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28
D. Variabel Penelitian ... 29
E. Definisi Operasional... 29
F. Instrumen Penelitian... 31
G. Jalannya Penelitian ... 32
H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 33
I. Analisis Data ... 34
J. Kesulitan Penelitian ... 34
K. Etika Penelitian ... 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
A. Hasil ... 36
B. Pembahasan ... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46
A. Kesimpulan ... 46
B. Saran ... 46
viii
Tabel 3. Sebaran Depresi Secara Umum Pada Penderita Diabetes Melitus di
Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016 ... 36
Tabel 4. Hasil Hubungan Jenis Kelamin Dengan Depresi Pada Pederita Diabetes
Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September - Oktober
2016 ... 37
Tabel 5. Hasil Hubungan Kelompok Umur Dengan Depresi Pada Pederita
Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September -
Oktober 2016 ... 38
Tabel 6. Hasil Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Depresi Pada Pederita
Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September -
Oktober 2016 ... 38
Tabel 7. Hasil Hubungan Jenis Pekerjaan Dengan Depresi Pada Pederita Diabetes
Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September - Oktober
2016 ... 39
Tabel 8. Hasil Hubungan Status Pernikahan Dengan Depresi Pada Pederita
Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September -
ix
Gambar 1. Kerangka Teori ... 23
xi
Lampiran 1. Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2. Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden
Lampiran 3. Kuisioner Beck Depression Inventory
xii
may arise include the disruption of retinopathy with potential blindness, nephropathy disorders that can lead to kidney failure. These conditions lead to diabetes mellitus have psychological disorders such as depression. Depression can be caused by biological factor, genetic factor and psychosocial factor, but it is also because of demographic factor, such as gender, age group, education level, occupation and marital status. These factors can influence each other. Therefore, research on the relationship between demographic factor with depression in diabetes mellitus’s patient in Gunungkidul DIY is very important to do.
Method : This study is a non-experimental with cross sectional approach. As 36 diabetes mellitus patients are measured the depression score using a Beck Depression Inventory (BDI) questionnaire. Purposive sampling technique is used so that we got 36 patient as samples. Then the data will be analyzed using chi-square test.
Results : From 36 sample, showed that 27,8% patient with diabetes mellitus patient are depressed. The result of normal/minimal is 72,2%, mild depression is 16,7%, moderate depression is 8,3%, and severe depression is 2,8%. The results of chi-square test showed that demographic factors (education level) is associated with depression, with p value= 0,04 (significant), where p<0,05, but the another demographic factor (gender; age group; occupation and marital status) is not associated with depression, with p value= 0,185; 0,520; 0,089; and 0,875 (not significant), where p> 0,05.
Conclusion : The study shows that there is no significant relationship between demographic factor with depression in hypertension’s patient in Gunungkidul DIY, except the education level.
xiii
Latar Belakang : Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan di Indonesia karena jumlahnya terus meningkat. Diabetes melitus akan menimbulkan komplikasi jangka panjang jika tidak ditangani dengan benar, beberapa komplikasi yang akan timbul diantaranya adalah terjadi gangguan retinopati dengan potensi kebutaan, gangguan nefropati yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan penderita diabetes melitus mengalami gangguan psikologis seperti depresi. Depresi dapat disebabkan karena adanya faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial, selain itu juga karena adanya faktor demografi, seperti jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status pernikahan. Faktor-faktor tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita diabetes melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian studi non-ekperimental dengan metode pendekatan cross sectional. 36 penderita diabetes melitus diukur skor
depresi menggunakan kuisioner Beck Depression Inventory (BDI).
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling hingga didapat jumlah sampel sebanyak 36 orang. Data kemudian dianalisis menggunakan uji
chi-square test.
Hasil : Dari 36 sampel yang didapatkan hasil sebanyak 27,8% pasien diabetes melitus mengalami depresi. Dengan hasil 72,2%, depresi ringan 16,7, depresi sedang 8,3% dan depresi berat 2,8%. Hasil uji chi-square test menunjukkan bahwa faktor demografi (tingkat pendidikan) berhubungan dengan depresi dengan nilai p= 0,04 (signifikan) dimana p< 0,05, sedangkan faktor demografi lain (jenis kelamin; kelompok umur; tingkat pendidikan; jenis pekerjaan dan status pernikahan) tidak berhubungan dengan depresi dengan nilai p= 0,185; 0,520; 0,089; and 0,875 (tidak signifikan), dimana p >0,05.
Kesimpulan : Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY, kecuali pada tingkat pendidikan.
Background : Diabetes Mellitus is a serious health problem in Indonesia, because the amount of patient is continuously rise. Diabetes mellitus will cause long-term complications if not handled properly, some of the complications that may arise include the disruption of retinopathy with potential blindness, nephropathy disorders that can lead to kidney failure. These conditions lead to diabetes mellitus have psychological disorders such as depression. Depression can be caused by biological factor, genetic factor and psychosocial factor, but it is also because of demographic factor, such as gender, age group, education level, occupation and marital status. These factors can influence each other. Therefore, research on the relationship between demographic factor with depression in diabetes mellitus’s patient in Gunungkidul DIY is very important to do.
Method : This study is a non-experimental with cross sectional approach. As 36 diabetes mellitus patients are measured the depression score using a Beck Depression Inventory (BDI) questionnaire. Purposive sampling technique is used so that we got 36 patient as samples. Then the data will be analyzed using chi-square test.
Results : From 36 sample, showed that 27,8% patient with diabetes mellitus patient are depressed. The result of normal/minimal is 72,2%, mild depression is 16,7%, moderate depression is 8,3%, and severe depression is 2,8%. The results of chi-square test showed that demographic factors (education level) is associated with depression, with p value= 0,04 (significant), where p<0,05, but the another demographic factor (gender; age group; occupation and marital status) is not associated with depression, with p value= 0,185; 0,520; 0,089; and 0,875 (not significant), where p> 0,05.
Conclusion : The study shows that there is no significant relationship between demographic factor with depression in hypertension’s patient in Gunungkidul DIY, except the education level.
komplikasi yang akan timbul diantaranya adalah terjadi gangguan retinopati dengan potensi kebutaan, gangguan nefropati yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan penderita diabetes melitus mengalami gangguan psikologis seperti depresi. Depresi dapat disebabkan karena adanya faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial, selain itu juga karena adanya faktor demografi, seperti jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status pernikahan. Faktor-faktor tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita diabetes melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian studi non-ekperimental dengan metode pendekatan cross sectional. 36 penderita diabetes melitus diukur skor
depresi menggunakan kuisioner Beck Depression Inventory (BDI).
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling hingga didapat jumlah sampel sebanyak 36 orang. Data kemudian dianalisis menggunakan uji
chi-square test.
Hasil : Dari 36 sampel yang didapatkan hasil sebanyak 27,8% pasien diabetes melitus mengalami depresi. Dengan hasil 72,2%, depresi ringan 16,7, depresi sedang 8,3% dan depresi berat 2,8%. Hasil uji chi-square test menunjukkan bahwa faktor demografi (tingkat pendidikan) berhubungan dengan depresi dengan nilai p= 0,04 (signifikan) dimana p< 0,05, sedangkan faktor demografi lain (jenis kelamin; kelompok umur; tingkat pendidikan; jenis pekerjaan dan status pernikahan) tidak berhubungan dengan depresi dengan nilai p= 0,185; 0,520; 0,089; and 0,875 (tidak signifikan), dimana p >0,05.
Kesimpulan : Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY, kecuali pada tingkat pendidikan.
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan di Indonesia karena
jumlahnya terus meningkat. World Health Organization (WHO)
memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia akan meningkat
hingga tiga kali lipat pada tahun 2030 mencapai 21,3 juta orang. Indonesia
adalah salah satu negara dengan penderita diabetes terbanyak nomor 4 di dunia
dengan jumlah 8,4 juta orang (Wahdah, 2012). Data penderita diabetes melitus
di Kabupaten Gunungkidul DIY tercatat 1262 orang terhitung dari bulan
Januari-Desember 2015 (Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, 2015).
Diabetes melitus akan menimbulkan komplikasi jangka panjang jika tidak
ditangani dengan benar. Beberapa komplikasi yang akan timbul diantaranya
adalah terjadi gangguan retinopati dengan potensi kebutaan, gangguan
nefropati yang dapat menyebabkan gagal ginjal, amputasi, gangguan neuropati
otonom yang dapat mengganggu sistem gastrointestinal, genitourinaria,
gangguan kardiovaskuler, jantung, stroke, serta disfungsi seksual dan gangguan
neuropati perifer dengan resiko terjadinya ulkus kaki yang berujung amputasi
(American Diabetes Assotiation, 2013). Berbagai kondisi tersebut
menyebabkan penderita diabetes melitus mengalami gangguan psikologis
seperti depresi.
Kadang sulit mendeteksi apakah seseorang itu mengalami depresi karena
umumnya komorbid (tumpang tindih) dengan gangguan mood. Depresi lebih
sulit didiagnosis bila seseorang memiliki penyakit fisik lainnya (Rochmawati,
2009). Oleh karena itu, kita harus melihat penyakit secara holistik, tidak hanya
secara fisik namun juga dari sisi psikis.
Prevalensi depresi pada beberapa penyakit kronis termasuk diabetes
melitus memberikan gambaran bahwa depresi perlu mendapatkan perhatian
dan terapi yang adekuat karena kasusnya cukup banyak. Menurut Silverstone
(1996), diabetes melitus memiliki risiko dapat menyebabkan depresi sebesar
9-27%, sedangkan menurut Cavanaugh (1998), risiko depresi yang disebabkan
oleh diabetes melitus sebesar 8,5-27,3%. Dari data tersebut dapat dikatakan
bahwa diabetes melitus memiliki komorbiditas dengan gangguan depresi
(Mudjaddid, 2001).
Di Kabupaten Gunungkidul selama tahun 2015 tercatat 860 kasus
gangguan depresi. Depresi menduduki peringkat ke empat pada prevalensi
gangguan jiwa setelah somatoform, skizofrenia dan penyakit YDK (yang
diklasifikasikan di tempat lain). Hal tersebut berhubungan dengan tingginya
prevalensi penyakit kronik diabetes melitus di Kabupaten Gunungkidul yang
memiliki komplikasi gangguan jiwa depresi (Dinas Kesehatan Kabupaten
Gunungkidul, 2015). Dari data tersebut dapat kita ketahui secara nyata bahwa
kasus depresi banyak terjadi dan masih banyak juga yang tidak terdeteksi
karena berbagai faktor.
Depresi merupakan tindakan yang di larang oleh Allah SWT sebagaimana
Ingatlah, sesungguhnya para kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Faktor risiko terjadinya depresi dapat dikelompokkan menjadi beberapa
faktor, antara lain: faktor psikososial, faktor biologis, karakteristik personal,
faktor medikasi dan faktor demografi. Faktor psikososial dapat meliputi stress
kehidupan, seperti: kesedihan, masalah finansial dan kesepian. Faktor biologis
atau genetik dapat meliputi: jenis kelamin, defisiensi folat dan vitamin B12 dan
penyakit kronis. Karakteristik personal, antara lain: sifat ketergantungan,
pesimis dan rendah diri. Sedangkan faktor medikasi dapat meliputi penggunaan
obat anxiolytics tranquilizers, anti inflamasi dan sebagainya, selain itu jenis
kelamin, usia, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, status pernikahan
merupakan beberapa faktor demografi yang turut berperan dalam terjadinya
depresi (Mudjaddid, 2001).
Dari uraian fakta di atas, dikhawatirkan faktor demografi berhubungan
dengan depresi pada penyakit diabetes melitus. Untuk itu peneliti merasa
tertarik untuk mengetahui hubungan antara faktor demografi dengan depresi
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah faktor demografi berhubungan dengan depresi
pada penderita diabetes melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan faktor demografi dengan depresi pada
penderita diabetes melitus.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui hubungan faktor demografi dengan depresi pada
penderita diabetes melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
1) Menjadi bahan referensi untuk bahan belajar selanjutnya.
2) Mengetahui apakah ada hubungan antara faktor demografi dengan
depresi pada penderita diabetes melitus.
b. Bagi Mahasiswa Kedokteran
1) Sumber data untuk penelitian selanjutnya.
2) Diharapkan bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahun, khususnya di
c. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor yang
meningkatkan depresi pada individu maupun keluarga, terutama
pengetahuan mengenai hubungan faktor demografi dengan depresi pada
penderita diabetes melitus, sehingga dapat memberikan informasi dalam
terlaksananya kemandirian penanggulangan maupun pencegahan sedini
mungkin.
2. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
dalam ilmu pengetahuan di bidang kedokteran khususnya psikiatri.
b. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi
penelitian selanjutnya di bidang kedokteran.
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1. Keaslian Penelitian Nama
Peneliti/Publikasi/Tahun
Judul Penelitian Metode Penelitian Perbedaan
Dewi Erna Susilowati.
accidental sampling dengan 30 responden. Metode
purposive sampling dengan 59 responden. Metode penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan desain cross sectional.
Variabel, subjek Lanjut Usia di Kecamatan Karangasem Bali.
Teknik pengambilan sample menggunakan
multistage random sampling dengan 163 responden. Metode penelitian cross sectional.
7
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka
1. Faktor Demografi
Demografi adalah ilmu yang memberikan gambaran secara statistik
tentang penduduk. Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi tinggi
rendahnya statistik data penduduk, yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi
(Hanum, 2000).
Beberapa faktor demografi yang berpengaruh pada depresi sebagai
berikut:
a. Umur
Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Umur
adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
berulang tahun. Umur merupakan salah satu variabel penting dalam
bidang penelitian komunitas. Umur dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan penyakit secara langsung atau tidak
langsung bersama dengan variabel lain sehingga menyebabkan
perbedaan diantara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau
sekelompok masyarakat (Chandra, 2008).
b. Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh
pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan
kesadaran melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung
lama (long lasting) dan menetap karena didasari oleh kesadaran.
Kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya
lama karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada
umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2010).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan
tingkat pendidikan formal yang lebih rendah karena akan lebih mampu
dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan
pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
c. Jenis Kelamin
Menurut Hungu (2007), jenis kelamin (seks) adalah perbedaan
antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.
Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur
dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui.
Harista dan Lisiswanti (2015) menyatakan bahwa perempuan lebih
rentan daripada laki-laki untuk mengalami depresi yang dipicu oleh stres
emosional, sehingga jarang menggunakan logika atau rasio yang
membuat perempuan lebih sulit menghadapi stres.
d. Pekerjaan
Menurut Notoatmodjo (2010), mengatakan pekerjaan adalah
aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh responden sehingga
memperoleh penghasilan.
Menurut Safitri (2013), depresi cenderung ditemukan pada
responden yang berpenghasilan rendah, penghasilan rendah akan
menyebabkan seseorang dihadapkan dengan berbagai permasalahan
dalam hidupnya, kebutuhan pokok yang tidak dapat tercukupi sehingga
akan mempengaruhi kondisi psikis responden dan dapat terjadi depresi.
e. Status Pernikahan
Pernikahan adalah satu bentuk interaksi antara manusia,
ditambahkan bahwa menikah juga didefinisikan sebagai hubungan pria
dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, saling mengetahui
tugas masing-masing sebagai suami dan istri dan sebagai upacara
pengakuan dan pernyataan menerima kewajiban baru dalam tata susunan
masyarakat (Hanum, 2000).
2. Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.
Selain ini, ada beberapa ahli yang mengungkapkan tentang depresi, sebagai
berikut:
a. Definisi Depresi
Seseorang yang mengalami depresi dapat mengalami kesedihan,
kecemasan, kekosongan, tidak ada harapan, khawatir, merasa diri tidak
berguna, sensitif, tersakiti dan kesalahan. Seseorang yang mengalami
depresi juga dapat kehilangan minatnya terhadap sesuatu yang
menyenangkan, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya, kesulitan
berkonsentrasi, mengingat sesuatu, ataupun mengambil keputusan, serta
dapat sampai kepada pemikiran ataupun percobaan bunuh diri (National
Institute of Mental Health, 2012).
World Health Organization (WHO) (2010) menambahkan bahwa
depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya
gejala penurunan mood, perasaan bersalah, gangguan tidur dan
kehilangan energi.
b. Etiologi Depresi
Faktor biologis, terdapat monoamine neurotransmitter yang
berperan dalam terjadinya gangguan depresi seperti norephinefrin yang
berperan dalam penurunan sensitivitas dari reseptor α2 adrenergik dan
penurunan respon terhadap antidepresan, dopamin, serotonin yang
ditemukan pada pasien percobaan bunuh diri mempunyai kadar serotonin
uptake serotonin pada platelet dan histamin. Ada pula gangguan
neurotransmitter lainnya yakni pada neuron-neuron yang terdistribusi
secara menyebar pada korteks cerebrum terdapat Acethilkholine (Ach).
Neuron-neuron yang bersifat kolinergik terdapat hubungan yang
interaktif terhadap semua sistem yang mengatur monoamine
neurotransmitter. Kadar kolin yang abnormal yang dimana merupakan
prekursor untuk pembentukan Ach ditemukan abnormal pada
pasien-pasien yang menderita gangguan depresi (Sadock dan Sadock, 2010).
Hormon telah diketahui berperan penting dalan gangguan mood,
khususnya gangguan depresi berdasarkan segi neuroendokrin. Sistem
neuroendokrin meregulasi hormon-hormon penting yang berperan dalam
gangguan mood, yang akan mempengaruhi fungsi dasar, seperti:
gangguan tidur, makan, seksual dan ketidakmampuan dalam
mengungkapkan perasaan senang. Tiga komponen penting dalam sistem
neuroendokrin yaitu hipotalamus, kelenjar pituitari dan korteks adrenal
yang bekerja sama dalam feedback biologis yang secara penuh
berkoneksi dengan sistem limbik dan korteks serebral (Sadock dan
Sadock, 2010).
Studi neuroimaging, menggunakan Computerized Tomography
(CT) Scan, Positron-Emission Tomography (PET), dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) telah menemukan abnormalitas pada 4 area
otak pada individu yang mengalami gangguan mood. Area-area tersebut
amigdala. Reduksi dari aktivitas metabolik dan reduksi volume dari gray
matter pada korteks prefrontal, secara partikuler pada bagian kiri
ditemukan pada individu dengan depresi berat atau gangguan bipolar
(Sadock dan Sadock, 2010).
c. Gejala Depresi
Depresi dapat dikelompokkan berdasarkan gejala utama seperti
mood depresi, hilangnya minat atau semangat, dan mudah lelah, gejala
tambahan seperti konsentrasi menurun, harga diri berkurang, perasaan
bersalah, pesimis melihat masa depan, ide bunuh diri atau menyakiti diri
sendiri, pola tidur berubah dan nafsu makan menurun. Depresi ringan
bila terdapat minimal 2 gejala utama dan 2 gejala tambahan, depresi
sedang bila terdapat minimal 2 gejala utama dan 3-4 gejala tambahan,
depresi berat bila terdapat minimal 3 gejala utama dan 4 gejala tambahan
(Mudjaddid, 2001).
PPDGJ-III juga menyatakan bahwa episode depresif terbagi
menjadi beberapa gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat
yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas. Ada pula
gejala lainnya, seperti konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri
dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak
atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu,
nafsu makan berkurang.
Episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
1) Episode Depresif Ringan
Pedoman diagnosik:
a) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas.
b) Ditambah sekura:ng-kurangnya 2 dari gejala lainnya.
c) Tidak boleh adanya gejala yang berat di antaranya.
d) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar
2 minggu.
e) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukan.
2) Episode Depresif Sedang
Pedoman diagnosik:
a) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan.
b) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
d) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
3) Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik:
a) Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
b) Ditambah sekurang-kurannya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat.
c) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikmotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
d) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejalanya amat berat dan beronset sangat
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam
kurun waktu kurang dari 2 minggu.
e) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegitan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
4) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik:
Pedoman diagnostik:
b) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).
5) Episode Depresif Lainnya.
6) Episode Depresif YTT.
d. Klasifikasi Depresi
Gangguan depresi terdiri dari berbagai jenis, yaitu gangguan
depresi mayor yang ditandai dengan adanya perubahan dari nafsu makan
dan berat badan, perubahan pola tidur dan aktivitas, kekurangan energi,
perasaan bersalah dan pikiran untuk bunuh diri yang berlangsung
setidaknya kurang lebih 2 minggu (Sadock dan Sadock, 2010), gangguan
distimik yang bersifat ringan tetapi kronis (berlangsung lama) distimia
bersifat lebih berat yang mana penderita masih dapat berinteraksi dengan
aktivitas sehari-harinya, gangguan depresi minor yang bersifat lebih
ringan dan atau berlangsung lebih singkat (National Institute of Mental
Health, 2010).
Tipe lain dari gangguan depresi yaitu gangguan depresi psikotik
halusinasi dan delusi, gangguan depresi musiman yang muncul pada saat
musim dingin dan menghilang pada musim semi dan musim panas
(National Institute of Mental Health, 2010).
3. Diabetes Melitus
Diabetes melitus atau sering disebut kencing manis, merupakan
penyakit kronis yang sering terjadi. Penyakit ini ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa dalam darah. Beberapa ahli mengungkapkan
sebagai berikut:
a. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang dikarakterisasi
dengan adanya hiperglikemi akibat dari kerusakan insulin, aksi insulin,
atau keduanya. Hiperglikemi kronik pada diabetes dapat menyebabkan
komplikasi yang berupa gangguan, disfungsi, dan kegagalan pada organ
lain, terutama seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
(ADA, 2013).
Nugroho (2012) menjelaskan bahwa pada diabetes melitus, glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel untuk dimanfaatkan sebagai energi,
sehingga glukosa akan menumpuk dan meningkat kadarnya dalam darah
(hiperglikemi). Kadar glukosa pada orang normal adalah <120 mg/dL
pada kondisi puasa dan <140 mg/dL saat 2 jam setelah makan. Pada
pasien diabetes melitus kadar glukosa darah >120 mg/dL pada kondisi
puasa dan >200 mg/dL saat 2 jam setelah makan.
b. Klasifikasi Diabetes Melitus
1) Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus tipe I disebut juga sebagai Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (diabetes tergantung insulin) akibat adanya
autoimun seluler dari kerusakan pada sel β pankreas. Terjadi
autoantibodi diinsulin, autoantibodi di GAD (GAD65), dan
autoantibodi di tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2β. Diabetes tipe ini
banyak dialami pada usia anak-anak dan orang dewasa <30 tahun
akibat faktor lingkungan dan predeposisi genetik. Dalam hal ini sel β
pankreas mensekresi sedikit insulin atau tidak dapat mensekresi
insulin sehingga tidak dapat mengontrol glukosa dalam darah dan
terjadi hiperglikemi. Manifestasi klinik diabetes tipe I yaitu
ketoasidosis, jadi pasien sangat tergantung pada insulin (ADA, 2013).
ADA (2013) menyatakan jika pasien diebetes tipe 1 juga cenderung
untuk mengalami gangguan autoimun yang lain, misalnya Grave’s
disease, Hashimoto’s thyroiditis, Addison’s disease, vitiligo, celiac
spure, autoimun hepatitis, myasthenia gravis, dan pernicious anemia.
Diabetes tipe 1 juga dapat disebabkan oleh penyebab yang tidak
diketahui (idiopatik). Pasien secara permanen mengalami
insulinopenia dan cenderung ketoasidosis, tetapi tidak terbukti bahwa
terjadi autoimun. Meskipun penderita diabetes tipe 1 yang termasuk
dalam kategori ini sangat sedikit, tetapi pada keturunan ras Afrika atau
diabetes kategori ini adalah insulin karena sama seperti diabetes yang
disebabkan oleh autoimun, penderita sangat tergantung dengan insulin
(ADA, 2013).
2) Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin atau terjadi
gangguan sekresi insulin. Diabetes tipe ini dapat diakibatkan oleh
obesitas, karena pada orang obesitas terjadi penumpukan lemak dan
mengakibatkan resistensi insulin terhadap glukosa yang masuk ke
dalam tubuh. Risiko terjadinya komplikasi pada diabetes ini adalah
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler, komplikasi
mikrovaskuler diantaranya neuropati, nefropati dan retinopati.
Sedangkan komplikasi makrovaskuler terjadi komplikasi pada
penyakit kardiovaskuler, seperti gagal jantung, stroke, dislipidemia
dan lainnya (ADA, 2013).
Secara spesifik diabetes dapat disebabkan karena genetik,
hubungannya dengan gangguan monogenetik pada fungsi sel β
pankreas, terjadi mutasi pada kromosom 12 pada faktor transkriptase
hepatic menjadi hepatocyte nuclear factor (HNF)-1α. Selain itu akibat
dari mutasi gen glukokinase pada kromosom 7p dan hasilnya akan
terjadi gangguan pada molekul glukokinase. Karakter dari diabetes
yang disebabkan oleh genetik yaitu terjadi hiperglikemia diusia yang
3) Diabetes Melitus Spesifik
Penyebab lain atau diabetes sekunder, sebagai contoh adanya
kelainan genetik yang menyebabkan penurunan fungsi sel β pankreas,
menurunkan aksi insulin, penyakit eksokrin pankreas, obat atau bahan
kimia, infeksi, akibat imunologi dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan diabetes melitus (RodBard, dkk., 2007).
4) Diabetes Gestasional
Penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kenaikan kadar
gula darah yang didiagnosis pada saat kehamilan, biasanya terjadi
pada usia kehamilan 24 minggu dan setelah melahirkan kadar gula
darah kembali normal (RodBard, dkk., 2007).
c. Faktor Risiko Diabetes Melitus
Beberapa faktor resiko pada diabetes melitus (Rodbard, dkk., 2007
dalam Puspita, 2013) yaitu riwayat diabetes melitus dalam keluarga,
riwayat diabetes gestasional, melahirkan dengan berat badan bayi >4 kg,
kista ovarium (PCOS), obesitas (jika berat badan >120% berat badan
ideal), usia (pada usia 20-59 tahun 8,7% dan >65 tahun 18%), hipertensi,
hiperlipidemia dan faktor lainnya, seperti kurang olahraga dan pola
makan yang tidak sehat.
d. Etiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus dapat disebabkan oleh pola hidup seseorang yang
jarang berolahraga, terlalu banyak makan makanan yang mengandung
diabetes melitus, berusia >45 tahun, berat badan melebihi batas normal
(Soegondo, 2008).
e. Komplikasi Diabetes Melitus
Jika konsentrasi gula darah tetap tinggi dalam jangka waktu yang
lama akan dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti
retinopati (kerusakan retina mata) yang disebabkan oleh terganggunya
peredaran darah karena kadar gula dalam darah tinggi, nefropati
(kerusakan ginjal) yang berujung pada rutinitas pencucian darah,
neuropati (kerusakan syaraf) yang dapat menyebabkan penurunan
sensitivitas pada ujung kaki sehingga berisiko terjadi luka dan akan
berakhir dengan amputasi (Soegondo, 2008).
f. Epidemiologi Diabetes Melitus
Menurut berbagai penelitian eidemiologi menunjukkan
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di
berbagai penjuru dunia. WHO (World Health Organization)
memprediksi meningkatnya jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia
dari 8,4 juta ditahun 2000 menjadi 21,3 juta orang pada tahun 2030.
Badan Pusat Statistik (2003) memperkirakan penduduk Indonesia yang
berusia diatas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Prevalensi DM di
daerah urban 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Dalam jumlah
penderita DM pada tahun 2000 Indonesia menduduki peringkat ke-4
oleh WHO tetap menduduki peringkat yang sama (Staff Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM, 2012).
4. Hubungan Diabetes Melitus Dengan Depresi
Stres dan diabetes melitus memiliki hubungan yang sangat erat.
Penderita diabetes melitus harus mengalami banyak perubahan dalam
hidupnya, mulai dari pengaturan pola makan, olah raga, kontrol gula darah,
dan lain-lain yang harus dilakukan secara rutin sepanjang hidupnya.
Perubahan hidup yang mendadak membuat penderita DM menunjukkan
beberapa reaksi psikologis yang negatif diantaranya kecemasan yang
meningkat dan depresi. Stres pada penderita DM berakibat gangguan pada
pengontrolan kadar gula darah (Roupa, 2009).
Soegondo (2008) menegaskan bahwa depresi dengan diabetes
melitus tipe 2 dapat memengaruhi satu sama lain. Sebuah artikel
menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki risiko
sedikit lebih besar 15% menderita depresi dibandingkan dengan orang tanpa
diabetes melitus. Sementara itu orang dengan depresi memiliki 60% risiko
lebih besar menderita diabetes melitus tipe 2.
Risiko depresi pada penderita diabetes melitus dapat disebabkan
oleh stresor psikososial kronik karena mengidap penyakit kronik.
Sebaliknya, depresi dapat menjadi faktor risiko diabetes melitus.
Mekanisme yang mendasari depresi menjadi faktor risiko diabetes melitus
sekresi dan aksi hormon kontra-regulasi, perubahan fungsi transport
glukosa, dan peningkatan aktivasi inflamasi (Soegondo, 2008).
Respon-respon hormonal lain diluar kortisol juga berperan dalam
keseluruhan respon metabolik terhadap stres. Sistem saraf simpatis dan
epinephrine yang dikeluarkan menyebabkan hambatan pada insulin dan
merangsang glukagon. Perubahan-perubahan hormonal ini bekerja sama
untuk meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah. Epinephrine dan
glukagon, yang kadarnya meningkat selama stres, meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati. Namun insulin yang sekresinya
tertekan selama stres mempunyai efek yang berlawanan terhadap
glikogenolisis di hati. Apabila insulin tidak dengan sengaja dihambat
selama respon stres, akibatnya peningkatan kadar glukosa darah tidak dapat
B. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
Faktor tidak terkontrol:
1. Keturunan/genetik 2. Usia
Penyebab:
1. Biologi 2. Genetika 3. Kepribadian 4. Psikodinamika 5. Kognitif 6. Psikososial 7. Usia
8. Jenis kelamin 9. Pendidikan 10.Pekerjaan
11.Status Pernikahan
Depresi berat
Depresi sedang
Depresi ringan
Depresi
Diabetes Melitus Faktor terkontrol:
C. Kerangka Konsep
Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 2. Kerangka Konsep
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Status Pernikahan Depresi
Ringan
Sedang
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan
antara faktor demografi dengan depresi pada penderita diabetes melitus di
26
Jenis penelitian ini adalah penelitian studi non-eksperimental dengan
rancangan penelitian cross sectional.
Sastroasmoro dan Ismael (2011) menjelaskan bahwa cross sectional study
hanya merupakan salah satu studi observasional untuk menentukan hubungan
antara faktor risiko dan penyakit. Dalam arti kata luas, cross sectional study
mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran variabelnya dilakukan
hanya satu kali pada satu saat yang bertujuan menguraikan dan menjelaskan
suatu keadaan dan situasi di dalam komunitas subyek penelitian diukur atau
dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu bersamaan.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita diabetes melitus di
Kabupaten Gunungkidul DIY.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasi. Sampel dalam penelitian ini
adalah penderita diabetes melitus di Puskesmas Wonosari. Pemilihan
sampel dalam penelitian ini menggunakan cara purposive sampling. Adapun
a. Kriteria Inklusi
1) Penderita diabetes melitus di Puskesmas Wonosari.
2) Penderita diabetes melitus di Puskesmas Wonosari yang menderita
diabetes melitus >6 bulan.
3) Penderita diabetes melitus di Puskesmas Wonosari yang menderita
diabetes melitus dengan usia >40 tahun.
4) Penderita diabetes melitus di Puskesmas Wonosari yang menderita
diabetes melitus tanpa komplikasi lain.
5) Mampu berkomunikasi, tidak ada keterbatasan dalam hal pendengaran
dan penglihatan.
b. Kriteria Eksklusi
1) Riwayat diabetes melitus dengan komplikasi penyakit kronis lain.
2) Penderita diabetes melitus yang mengalami buta huruf.
3) Penderita diabetes melitus yang sedang dalam perawatan di rumah
sakit.
3. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel untuk penelitian analitik numerik ditentukan dengan
rumus Slovin menurut Akdon dan Ridwan (2005), sebagai berikut:
Taraf kepercayaan yang diambil adalah 95% dan batas eror
penaksiran maksimal 5%, maka jumlah sampel sebanyak 40 orang.
Keterangan:
N: Populasi= 40.
d: Nilai Presisi 95% atau sig.= 0,05.
Jadi, perhitungannya:
n = 36,4 ≈ 36
Sampel penelitian ini akan dipakai sebanyak 36 orang dengan skor
depresi oleh pasien diabetes melitus yang memenuhi kriteria yang
ditentukan.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian adalah
Puskesmas Wonosari, sedangkan untuk waktu penelitian pada bulan
Tabel 2. Time Table Kegiatan Karya Tulis Ilmiah.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel tergantung dan variabel
bebas, sebagai berikut:
1. Variabel tergantung.
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah depresi.
2. Variabel bebas.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor demografi.
E. Definisi Operasional
Budiarto (2002) definisi operasional sebagai batasan semua konsep yang
ada dalam penelitian agar tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan.
1. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang dimiliki oleh subyek penelitian.
Variabel ini berupa skala nominal; laki-laki dan perempuan.
2. Umur adalah usia subyek penelitian saat pengisian kuisioner sesuai dengan
tanggal kelahiran di KTP. Variabel ini berupa skala ordinal, dinyatakan
sebagai dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir
(56-65 tahun) dan manula (>65 tahun).
3. Pendidikan adalah tahapan pembelajaran yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik. Variabel ini berupa skala ordinal,
dinyatakan sebagai tidak sekolah, SD, SMP dan SMA.
4. Pekerjaan adalah pekerjaan pokok subyek penelitian saat pengisian
kuisioner. Variabel ini berupa skala ordinal, dinyatakan sebagai ibu rumah
tangga, petani, buruh, pensiunan dan wiraswasta.
5. Status pernikahan adalah status pernikahan subyek penelitian saat pengisian
kuisioner. Variabel ini berupa skala nominal, dinyatakan sebagai menikah
dan tidak menikah.
6. Skor depresi merupakan kondisi mental dengan gejala utama afek depresif,
hilangnya minat dan kegembiraan dan keadaan mudah lelah yang
dinyatakan dalam skor. Dalam penelitian ini, depresi dinilai dengan
kuisioner Beck Depression Inventory (BDI) yang mana instrumen tersebut
digunakan pada semua rentang umur.
7. Diabetes melitus adalah kondisi penyakit kronis yang ditandai dengan kadar
glukosa darah puasa (GDP) plasma ≥126 mg/dL, kadar glukosa darah
toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL yang didapatkan dari catatan
rekam medis atau berdasarkan keterangan pasien dan keluarganya.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Beck Depression Inventory (BDI) merupakan instrumen self administered
yang dirancang untuk menilai intensitas depresi pada pasien psikiatri,
penapisan di dalam komunitas maupun untuk penelitian klinik dengan nilai
sensitivitas 83% dan spesifisitas 82%. Beck Depression Inventory (BDI)
terdiri dari 21 pertanyaan yang mengevaluasi gejala depresi, seperti: suasana
perasaan hati, rasa pesimis, perasaan gagal, rasa ketidakpuasan akan dirinya,
perasaan bersalah, perasaan dihukum, perasaan benci pada dirinya,
menyalahkan diri sendiri, ide bunuh diri, menangis, mudah tersinggung,
kehilangan minat, tidak dapat membuat keputusan, pandangan perubahan
bentuk tubuh, kesulitan kerja, gangguan tidur, kelelahan, kehilangan nafsu
makan, penurunan berat badan, preokupasi somatik dan libido. Beck
Depression Inventory (BDI) terdiri dari 21 item pertanyaan yang diberi
skala 0-3 dengan nilai maksimal 63 dan minimal 0. Penilaian skala
pengukuran BDI juga dikemukakan oleh Beck, A.T. (1996), seperti 0-13:
normal, 14-19: depresi ringan, 20-28: depresi sedang dan 29-63: depresi
berat. Pada penelitian ini dilakukan uji validitas internal dan didapatkan
semu butir pertanyaan berkorelasi positif dengan skor depresi (rentang r=
0,344-0,845; p= 0,000-0,024). Uji reliabilitas untuk semua butir pertanyaan
Setiap pertanyaan yang dijawab akan dicatat skornya dan akan
diakumulasi dari semua pertanyaan yang dijawab. Akumulai skor tersebut
akan menjadi skor depresi.
2. Diabetes melitus didapatkan dari riwayat catatan rekam medis yang ada dan
wawancara atau keterangan pasien dan keluarga.
G. Jalannya Penelitian
1. Prosedur Persiapan
Peneliti menyusun proposal penelitian dan melakukan survei
mengenai skor depresi pada penderita diabetes melitus di Dinas Kesehatan
Kabupaten Gunungkidul dan menentukan lokasi penelitian di Kabupaten
Gunungkidul DIY.
2. Prosedur Administrasi
Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada
Dekan Fakultas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang diajukan
kepada Kepala Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu, Kepala
Puskesmas Wonosari.
3. Prosedur Teknis
a. Peneliti meminta persetujuan dari Kepala Puskesmas Wonosari untuk
melakukan penelitian di Puskesmas Wonosari yaitu dengan
memberikan surat permohonan izin sebagai tempat dilakukannya
b. Peneliti menemui Kepala Puskesmas Wonosari untuk
menginformasikan dan menjelaskan bahwa akan melakukan
pengambilan data.
c. Peneliti menemui calon responden dan meminta kesediaan untuk
berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi lembar informed
consent apabila responden bersedia.
d. Peneliti membagi lembar kuisioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya kepada responden secara bertahap. Pengisian kuisioner
dilakukan dalam waktu maksimal 30 menit (termasuk pengisian
identitas responden).
e. Setelah kuisioner diisi oleh responden, peneliti juga melakukan
wawancara kepada responden dan setelah semua teknik pengambilan
data selesai, peneliti langsung mengambil kembali kuisioner tersebut
dan selanjutnya dicek kelengkapan data, jika ada yang tidak lengkap,
maka peneliti akan meminta kepada responden untuk melengkapi
kembali, jika responden bersedia.
f. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang dibutuhkan untuk
keperluan penelitian, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data.
H. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan kevalidan atau
kesahihan suatu instrumen. Pengujian validitas ini mengacu pada sejauh mana
instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur
(Sugiyono, 2008).
Sugiyarto (2006) menjelaskan bahwa uji reliabilitas adalah ketetapan atau
keajegan alat tersebut dalam mengukur apa yang diukurnya, artinya, kapan pun
alat ukur tersebut digunakan akan memberikan hasil ukur yang sama.
1. Beck Depression Inventory (BDI).
Kuisioner ini telah diuji validitas dan reliabilitasnya oleh Karl Pearson
dengan teknik korelasi product moment dan didapatkan nilai Alpha
Cronbach 0,923, hal ini berarti Beck Depression Inventory (BDI) sangat
reliabel (Aditomo dan Retnowati, 2004).
I. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini akan menggunakan uji analisis
tingkat signifikansi (p value) menggunakan tes kuadrat kai (chi-square
test) pada tingkat kemaknaan 95%. Dalam hal ini, peneliti ingin
mengetahui apakah faktor demografi berpengaruh dengan depresi pada
penderita diabetes melitus. Program yang digunakan adalah SPSS versi 15.
J. Kesulitan Penelitian
Kesulitan dan keterbatasan penelitian yang dialami penulis selama
melakukan penelitian ini yaitu:
1. Kuisioner ini menggunakan Bahasa Indonesia dan sebagian responden
hanya bisa berbahasa Jawa, sehingga membutuhkan penjelasan dari
pihak ke-3.
3. Dalam pengamatan peneliti, pertanyaan depresi pada kuisioner Beck
Depression Inventory (BDI) merupakan hal yang bersifat sensitif
sehingga membuat responden kurang nyaman. Hal ini ditandai dengan
responden tampak ragu dalam mengisi kuisioner.
4. Ada waktu pengambilan data pada sebagian responden yang bersamaan
dengan waktu responden berobat, sehingga responden tidak dapat fokus
hanya pada pengisian kuisioner saja.
K. Etika Penelitian
Etik penelitian meliputi:
1. Peneliti menjelaskan secara lisan terhadap responden maksud, tujuan
dan prosedur pengambilan data penelitian ini.
2. Lembar Persetujuan (informed consent).
Peneliti membuat surat pernyataan yang berisi penjelasan tentang
penelitian, meliputi topik penelitian, tujuan dan cara pengambilan data.
Setelah calon responden memahami atas penjelasan peneliti terkait
penelitian ini, calon responden sebagai sampel penelitian kemudian
menandatangani imformed consent tersebut.
3. Kerahasiaan Informasi (confidentiality).
Informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijaga
kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk kepentingan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Wonosari Kabupaten
Gunungkidul DIY pada bulan September-Oktober 2016. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuisioner dengan
jumlah responden 36 orang. Didapatkan hasil sebagai berikut:
2. Depresi Pada Subjek
Pada penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Sebaran Depresi Secara Umum Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016.
Tingkat Depresi Jumlah Prosentase
Normal atau Minimal 26 72,2%
Depresi Ringan 6 16,7%
Depresi Sedang 3 8,3%
Depresi Berat 1 2,8%
Total 36 100%
Grafik 1. Sebaran Depresi Secara Umum Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016.
Tabel dan grafik di atas dapat diketahui bahwa pasien diabetes melitus
yang mengalami depresi sebesar 27,8%, yang terdiri dari tingkat depresi
ringan, sedang dan berat.
3. Faktor Demografi Dengan Depresi
Ditinjau dari jenis kelamin, penderita diabetes melitus yang mengalami
depresi di Kabupaten Gunungkidul DIY pada bulan September-Oktober 2016
sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Hubungan Jenis Kelamin dengan Depresi Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016. Karakteristik
Kabupaten Gunungkidul DIY bulan September-Oktober 2016 yang
mengalami depresi lebih banyak pada perempuan dibanding pada laki-laki.
Berdasarkan uji analisis menggunakan chi-square-test menunjukkan nilai
signifikasi 0,185 (p>0,05) artinya hubungan antara jenis kelamin dengan
depresi pada penderita diabetes melitus adalah tidak signifikan.
Penderita diabetes melitus yang mengalami depresi di Kabupaten
Gunungkidul tidak hanya monopoli lanjut usia. Rentang pelaku dari dewasa
awal (36-45 tahun) sampai manula (>65 tahun). Selengkapnya, distribusi
penderita depresi pada diabetes melitus berdasarkan kelompok umur adalah
Tabel 5. Hasil Hubungan Kelompok Umur dengan Depresi Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016. Karakteristik Tabel di atas menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus yang
mengalami depresi prosentase paling banyak pada kelompok usia 56-65
tahun, kemudian disusul oleh kelompok umur lain yang jumlahnya sama rata.
Berdasarkan uji analisis menggunakan chi-square-test menunjukkan nilai
signifikasi 0,520 (p>0,05) artinya hubungan antara kelompok umur dengan
depresi pada penderita diabetes melitus adalah tidak signifikan.
Jika ditinjau dari tingkat pendidikan, penderita diabetes melitus di
Kabupaten Gunungkidul DIY pada bulan September-Oktober 2016 yang
mengalami depresi sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Depresi Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016. Karakteristik
Tabel yang tertera di atas menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus
yang mengalami depresi paling banyak pada tingkat pendidikan SD.
signifikasi 0,040 (p<0,05) artinya hubungan antara tingkat pendidikan dengan
depresi pada penderita diabetes melitus adalah signifikan.
Ditinjau dari sisi pekerjaan, penderita diabetes melitus yang mengalami
depresi di Kabupaten Gunungkidul DIY pada bulan September-Oktober 2016
sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Depresi Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016. Karakteristik
Tabel di atas menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus yang
mengalami depresi di Kabupaten Gunungkidul DIY pada bulan
September-Oktober 2016 lebih banyak dialami oleh petani. Berdasarkan uji analisis
menggunakan chi-square-test menunjukkan nilai signifikasi 0,089 (p>0,05)
artinya hubungan antara jenis pekerjaan dengan depresi pada penderita
diabetes melitus adalah tidak signifikan.
Mengenai status pernikahan, penderita diabetes melitus di Kabupaten
Gunungkidul DIY pada bulan September-Oktober 2016 yang mengalami
Tabel 8. Hasil Hubungan Status Pernikahan dengan Depresi Pada Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016. Karakteristik
Dapat dilihat dari tabel dan grafik di atas, ditinjau dari status pernikahan,
penderita diabetes melitus yang mengalami depresi di Kabupaten
Gunungkidul DIY pada bulan September-Oktober 2016 terlihat lebih banyak
pada orang yang telah menikah. Berdasarkan uji analisis menggunakan
chi-square-test menunjukkan nilai signifikasi 0,875 (p>0,05) artinya hubungan
antara status pernikahan dengan depresi pada penderita diabetes melitus
adalah tidak signifikan.
Dapat disimpulkan pada penelitian ini, bahwa hipotesis ditolak karena
p>0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor
demografi dengan depresi pada penderita diabetes melitus di Kabupaten
Gunungkidul DIY, kecuali pada tingkat pendidikan.
B. Pembahasan
Hasil penelitian ini terdapat 27,8% penderita diabetes melitus yang
mengalami depresi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Igwe, dkk.
(2013) bahwa terdapat 27,8% penderita diabetes melitus yang mengalami
depresi, diperkuat oleh penelitian Silverstone (1996), diabetes melitus
memiliki risiko dapat menyebabkan depresi sebesar 9-27%, lalu menurut
penelitian Cavanaugh (1998), risiko depresi yang disebabkan oleh diabetes
Lisiswanti (2015) bahwa risiko depresi pada penderita diabetes melitus
disebabkan oleh stresor psikososial kronik karena mengidap penyakit kronik.
Sebaliknya, depresi dapat menjadi faktor risiko diabetes melitus. Secara teori,
hal ini diakibatkan dari proses peningkatan sekresi dan aksi hormon
kontra-regulasi, perubahan fungsi transpor glukosa dan peningkatan aktivasi
inflamasi. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Mudjaddid (2001) yang
menyatakan bahwa depresi dan diabetes melitus saling berkomorbid
(tumpang tindih).
Penelitian ini ditemukan bahwa pasien diabetes melitus yang mengalami
depresi lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Didukung dengan
hasil penelitian Harista dan Lisiswanti (2015) yang menyatakan bahwa
responden perempuan yang menderita diabetes melitus memiliki tingkat
kejadian depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, Harista dan
Lisiswanti (2015) juga menyebutkan beberapa faktor yang berkaitan dengan
rentannya perempuan mengalami depresi, diantaranya adalah faktor genetik,
kerentanan fluktuasi hormonal, serta sistem saraf pusat yang peka terhadap
perubahan hormonal. Selain itu, faktor psikososial, seperti peran perempuan
dalam masyarakat, kebiasaan memendam perasaan dan status sosial yang
kurang menguntungkan juga dapat berperan dalam kerentanan perempuan
terhadap depresi. Perempuan juga lebih rentan daripada laki-laki untuk
mengalami depresi yang dipicu oleh stres karena perempuan cenderung
menggunakan perasaan atau lebih emosional, sehingga jarang menggunakan
Sadock dan Sadock (2010) juga menegaskan bahwa kejadian cemas dan
depresi pada perempuan lebih banyak dibandingkan pada pasien diabetes
melitus laki-laki, dari hasil analisis penelitian ini tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin dengan depresi, sejalan dengan
penelitian Wulandari (2011) bahwa antara jenis kelamin dengan depresi tidak
ada hubungan yang signifikan jika dilihat dari sudut pandang statistik, hal ini
dikarenakan antara laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang sama untuk
mengalami depresi, dimungkinkan adanya faktor lain yang lebih berpengaruh
terhadap depresi yaitu ketersediaan dukungan sosial, dalam penelitian
Wulandari (2011) juga didapatkan data yang sama dengan penelitian ini
bahwa depresi lebih banyak pada perempuan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus yang
mengalami depresi lebih banyak pada kelompok umur 56-65 tahun. Demikian
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2013) yang menemukan
bahwa penderita diabetes melitus dengan depresi lebih banyak pada usia
45-60 tahun, karena pada usia >45 tahun tubuh mengalami banyak perubahan
terutama pada organ pankreas yang memproduksi insulin dalam darah dan
berperan dalam kontrol penyakit diabetes melitus, dari hasil analisis
penelitian ini didapatkan bahwa usia tidak berhubungan dengan depresi,
sejalan dengan penelitian Wulandari (2011) bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara usia dengan tingkat depresi, dalam penelitian tersebut juga