• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawin paksa sebagai pemicu perceraian (analisis putusan perkara no: 0131/Pdt. G/2008/PAJS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kawin paksa sebagai pemicu perceraian (analisis putusan perkara no: 0131/Pdt. G/2008/PAJS"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )

Disusun oleh:

HANINA

NIM : 105044201454

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI ) Oleh:

HANINA

NIM : 105044201454

Di Bawah Bimbingan Pembimbing:

Drs.H.A. Basiq Djalil,SH, MA. NJP. 19500306 197603 1 001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 18 Maret 2010 Dekan;

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 19550511982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 197202241998031003

3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP: 195003061976031001

4. Penguji I : Dra. Azizah, MA NIP. 196304091980022001

(4)

i

Tiada kata yang pantas diucapkan selain mengucapkan untaian puji dan syukur kepada Allah SWT. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa berlimpah kepada penulis, sehingga diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang senatiasa memberikan cahaya dan rahmat bagi semua sekalian alam.

Kini tiba yang dinanti-nanti sebuah perjalanan yang penuh dengan lika-liku kehidupan pendidikan kadang senang, kadang susah itulah hidup, tapi sebagai umat yang taat tidak harus menyerah terus berusaha dan jangan lupa berdo’a kepada Allah SWT. Walaupun dengan tertatih-tatih dan melelahkan akhirnya penulis mampu menyelesaikan studi di kampus Universita Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini menyadari banyak sekali kesulitan dan hambatan yang dihadapi, serta saat ini juga masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yaitu tempatnya salah dan lupa .

Atas bimbingan dan pengasuhan yang diberikan, Penulis mengucapkan ribuan terima kasih yaitu kepada :

(5)

ii

memberikan bimbingan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

4. Pimpinan Perpustakaan beserta para stafnya, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

5. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Drs. Chotman Jauhari, MH dan Drs. Nurhafizal, SH. MH yang telah meluangkan waktunya untuk bisa di wawancara oleh penulis, dan panitera muda hukum Drs. Mohammad Taufik yang telah memberikan data kepada penulis untuk di jadikan bahan skripsi.

6. Skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda tercinta (Alm) Drs. H. Abdul Hadi Nazir, & Ibunda tercinta Hj. Siti Fatimah yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya.

7. Suamiku tersayang ” Didi Junaidi” yang telah memberikan nasihat, semangat, dan dukungan serta setia menemani penulis sehingga penulis semangat dalam menyusun skripsi ini.

8. Keluarga besar Hj. Noni dan H. Munirih Yang telah memberikan kasih sayang,

dukungan, dan doa’nya setiap hari agar penulis dapat cepat selesai secara baik

(6)

iii

buat temen-temenku yang baik-baik Ahmadi, Zul, fikri, deby yang telah membantu banyak memberikan saran buat penulis.

Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh balasan pahala yang berlimpah ganda (Amin). Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja. Walaupun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis, khususnya pembaca pada umumnya.

Jakarta, 26 Februari 2010 M

(7)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 26 Februari 2010 M

(8)

v

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 5

E. Metode Penelitian... 6

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian ... 11

B. Dasar Hukum Perceraian... 15

C. Sebab-sebab terjadinya Perceraian ... 18

D. Perbedaan Cerai Talak, Cerai Gugat, dan prosedur Perceraian .... 36

BAB III: TINJAUAN HUKUM TENTANG KAWIN PAKSA A. Pengertian Kawin Paksa ... 48

(9)

vi

A. Peta Sosio Demografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 73 B. Kronologi Putusan Perceraian Perkara

No. 0131/Pdt.G/2008/PAJS ... 84 C. Analisis Putusan ... 91

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran-saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN :

(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-undang Perkawinan No: 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan yang dibangun diatas nilai-nilai sakral (suci), sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian perkawinan harus disertai totalitas kesiapan dan keterlibatan lahir-batin, sebagai tanda bahwa seorang telah memasuki tahap baru dalam hidup yang akan menentukan keberadaannya dikemudian hari, termasuk dalam kaitannya dengan akhirat kelak, suami akan menjadi pemimpin rumah tangga dan penanggung jawab nafkah lahir maupun batin bagi istri dan anak-anaknya, sebaliknya istri akan menjadi ratu rumah tangga, pendamping suami, pengatur ketertiban rumah tangga yang akan membelanjakan pemberian sang suami dengan sebaik-baiknya, sekaligus menjadi ibu bagi anak-anaknya1. Selain itu juga perkawinan merupakan

suatu ketentuan-ketentuan Allah didalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan yang bersifat umum dan menyeluruh, itu salah satu cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk memperoleh anak dan memperbanyak

1

(11)

keturunan, serta melangsungkan kehidupan manusia, itu semua tidak akan tercipta jika pada awalnya tidak ada rasa kecocokan (terpaksa).

Berawal dari sebuah fenomena masyarakat Indonesia yang selama ini masih sering terjadi dalam rangka melangsungkan perkawinan kehidupan ini, dimana acapkali sebuah perkawinan adalah sepenuhnya tanggung jawab orangtua si calon mempelai, anak dalam hal ini tidak dapat berperan serta dalam memutuskan pasangan hidup yang akan dipilihnya, sehingga yang ada adalah sebuah keterpaksaaan.

Dalam menjalani bahtera rumah tangga tersebut, sering kali pasangan yang dipaksa ataupun yang terpaksa tidak terelakan bahwa rumah tangganya selalu diliputi oleh rasa ketidakharmonisan, dimana keduanya atau salah satu diantara mereka tidak mempunyai rasa cinta mencintai, yang disebabkan oleh rasa keterpaksaaan yang diakibatkan oleh pihak yang menekan mereka dan kalau pun ada yang timbul adalah perasaaan ketakutan.

(12)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah maka penulis membatasi permasalahan hanya pada penerapan masalah alasan kawin paksa dalam perceraian dan pengaruhnya terhadap hakim dalam memutuskan perkara perceraian sebagai metode penetapan hukum dari awal persidangan sampai pada pengambilan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini penulis merumuskan masalah berikut: Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan kitab-kitab fiqih, Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, diantaranya bahwa antara Suami Istri tidak dapat hidup rukun, sedangkan alasan yang sah telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 tahun 1974 Pasal 9, dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan fenomena di lapangan masih terdapat putusan perkara kawin paksa sebagai alasan perceraian, seperti tercantum dalam putusan perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 0131/Pdt.G/2008/PAJS, yang dilihat dalam Undang Undang tidak termasuk sebagai alasan yang sah untuk melakukan perceraian. Hal ini yang penulis ingin telusuri dalan penulisan skripsi ini.

(13)

1. Apa saja alasan perceraian menurut Undang Undang Perkawinan No: 1 Tahun 1974 ?

2. Apakah kawin paksa dapat dijadikan alasan perceraian ?

3. Apa saja landasan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara perceraian yang diakibatkan kawin paksa ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah penelitian ini dimaksudkan untuk:

1. Untuk mengetahui alasan-alasan Perceraian yang ada dalam Undang- Undang Perkawinan No: 1 Tahun 1974

2. Untuk mengetahui apakah alasan perceraian yang disebabkan kawin paksa bisa dijadikan alasan perceraian.

3. Untuk mengetahui landasan hukum yang diambil hakim dalam perkara perceraian yang disebabkan kawin paksa.

[image:13.612.116.540.54.476.2]
(14)

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Perceraian Karena Perselingkuhan Studi Kasus Pada Peradilan Agama

Jakarta Selatanskripsi yang ditulis oleh Herdianto, Fakultas syariah dan hukum tahun 2007. Dalam skripsi tersebut membahas tentang pengertian perceraian, masalah percerain yang diakibatkan oleh perselingkuhan. faktor-faktor utama terjadinya perselingkuhan dan bagaimana majelis Pengadilan Agama menjelaskan prosedur perceraian karena perselingkuhan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Penyebab Perceraian Pada Pasangan Dini (Studi Kasus Pada Peradilan

Agama Jakarta Selatan) skripsi yang ditulis oleh Muhammad Lutfi dalam skripsi tersebut membahas tentang pengertian perceraian, macam-macam perceraian, faktor-faktor penyebab perceraian, akibat perceraian, pasangan dini, problem pasangan dini, pernikahan ideal menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pernikahan ideal menurut hukum Islam, gambaran wilayah, penyebab perceraian pasangan dini, dan analisis putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Kawin paksa menurut hukum islam dan hukum positif ( UU No.1 tahun

1974 ). Pada Tahun 2002 oleh Yahya Bachtiar, Nim : 1974313761.Bahwa didalam penulisan skripsi ini hanya membahas dan mendasar pada teorinya saja, hanya mengacu pada penelitian studi pustaka dengan menganalisa persamaan dan perbedaan pandangan hukum Islam dan hukum positif.

(15)

persoalan kawin paksa sebagai alasan perceraian dengan melakukan telaah terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan syariah dan hukum belum pernah diteliti oleh penulis lainnya. Dalam skripsi ini melakukan penelitian yang menggunakan studi analisis pada putusan hakim dalam kasus kawin paksa, beda dengan skripsi sebelumnya yang hanya mengunakan studi pustaka saja dalam penelitiannya.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan metode:

1. Metode dan Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu cara mendekati masalah yang diteliti dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan dalam penulisan skripsi ini diaplikasikan model pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau pelaku yang diamati2.

2

(16)

2. Jenis penelitian

Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum

kepustakaan), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder. Dalam penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan data sebanyak-banyaknya kemudian diolah menjadi satu kesatuan data untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan di bahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, lalu dikomparasikan yaitu dari sumber data primer, sekunder, dan tersier. Sumber data tersebut diklasifikasi untuk memudahkan dalam menganalisis.3 Menurut Maelong penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas objektif, mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan.4

3. Sumber data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a) Data primer

3

Sojono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:PT Raja Grafindo Persa, 2004) cet ke-8, h.251

4 Sojono Soekamto,

(17)

Data primer terdiri dari Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 0131/Pdt.G/2008/PAJS. dan Undang Undang Perkawinan No: 1 tahun 1974.

b) Data sekunder

Data sekunder diantaranya adalah bahan kepustakaan berupa kitab-kitab, buku-buku, dan literatur-literatur yang ada kaitanya dengan permasalahan yang berkaitan tentang perkawinan dan perceraian serta kawin paksa. 4. Teknik pengumpulan data

Dalam upaya pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut:

a. Observasi adalah metode atau cara-cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung.

b. Wawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer). Dalam hal ini adalah hasil wawancara dengan hakim dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

c. Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, dan sebagainya. 5. Teknik Analisis Data

(18)

sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.5

Dalam penelitian ini teknis analisis data yang digunakan adalah content analisis. Content analisis adalah teknik analisis dalam menarik kesimpulan dengan cara mengidentifikasi dari sebuah pesan secara objektif dan sistematis.6

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman kepada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman

penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi menjadi lima bab, perinciannya sebagai berikut :

Bab Pertama : Berisi Pendahuluan, yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

5

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, ( Bandung: Alfabeta, 2004 ) h.224

6 Sojono Soekamto,

(19)

Bab kedua : Berisi Tinjauan Umum Tentang Perceraian, yang berisikan Pengertian Perceraian, Dasar Hukum Perceraian dan Alasan Perceraian.dan Perbedaan Cerai Talak, Cerai Gugat, dan Prosedur Perceraian.

Bab ketiga : Berisi Tinjauan Umum Tentang Kawin Paksa, yang berisikan Pengertian Kawin Paksa, dan Dasar Hukum Kawin Paksa. Serta Alasan-alasan Kawin Paksa.

Bab keempat : Berisi Akibat Hukum dari Perceraian Karena Kawin Paksa, yang tediri dari Peta Sosial Demografis Pengdilan Agama Jakarta Selatan, Kronologi Putusan Perceraian No:0131/Pdt.G/2008/PAJS, Serta Analisis Penulis.

(20)

11

A. Pengertian Perceraian

Perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak”

berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “Furqah” berarti

“bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan

istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami-isteri7. Ta’rif talak menurut bahasa Arab mempunyai arti bercerai perempuan dari suaminya atau melepaskan ikatan.8 Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan.9 Sedangkan menurut istilah, talak adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami-isteri.10 Sedangkan perceraian menurut bahasa Indonesia adalah perpisahan; prihal bercerai (antara suami-isteri); proses; perbuatan; cara menceraikan.11

Namun penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang

7

Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. Ke-2, h.156.

8

Muhamad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayakarya Agung, 1989), h.239.

9

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriya, 1976), cet. Ke-6, h.376.

10

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.192.

11

(21)

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 38 hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:

1. karena kematian. 2. karena perceraian.

3. karena atas putusan pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh Undang-Undang Perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukan aturan-aturan yang lebih rinci. Kompilasi Hukum Islam memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113.12 kemudian perkawinan dapat putus disebabkan perceraian yang terdapat pada pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, pertama perceraian disebabkan karena talak dan kedua perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian. Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal (129), (130), dan (131).13 Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang tidak mengenal istilah talak.

12

Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena : 1. Kematian; 2. Perceraian; 3. Atas putusan pengadilan.

13

(22)

Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Tampaknya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada pasal 66 ayat 1 yang menyatakan bahwa seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.14

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama juga menjelaskan dan menegaskan bidang apa yang dapat diselesaikan tercantum dalam pasal 49 adalah Pengadilan Pasal 130: Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.

.

Pasal 131:

1. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil permohon dan isterinya untuk menerima penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan agama menjatuhkan keputusan tentang izin bagi suami untuk mengikrar talak. 3. Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrar talaknya didepan sidang

Pengadilan Agama, dihadiri isteri dan kuasanya.

4. Jika suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrar talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.

5. Setelah sidang penyasian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami-isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami-isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

14

(23)

Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.15

Perlu kiranya penulis mengemukakan pendapat para sarjana sebagai pegangan tentang pengertian perceraian yang dikutip oleh Zakiah Darajat didefinisikan menurut Abu Zakaria Al-Anshari ialah:

16

Artinya:

”Melepaskan tali akad nikah dengan kata-kata talak dan yang semacamnya.”

Al-Jaziry mendefinisikan:

17

Artinya:

”Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan

ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.

Jadi, talak itu menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah ikatan perkawinan hilang isteri tidak lagi halal bagi suami, dan ini terjadi dalam hal talak

ba’in,18 sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah

15

Artikel diakses pada 24 juli 2009 dari http://www.Legalitas.org.

16

Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid II, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.173.

17

Abdurahman Al-Jaziri, al-Fiqih’ala al-mazahib al-Arba’ah, (Mesir: Dar al-Irsyad,t.th), Jilid ke-7, h.249.

18Talak ba’in adalah talak yang ketiga kalinya, talak sebelum isteri dikumpuli, dan talak d

engan tebusan oleh isteri kepada suaminya. talak bain juga di bagi menjadi dua yaitu talak bain sughra (talak

(24)

berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu terjadi dalam talak raj’i.19

B. Dasar Hukum Perceraian

Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami-isteri adalah

tujuan utama adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syari’at

Islam. Akad perkawinan mempunyai tujuan untuk hidup, agar suami-isteri menjadikan rumah tangga sebagai tempat berteduh yang nyaman dan permanen. dalam perlindungan rumah tangga serta keduanya dapat menciptakan iklim rumah tangga yang memungkinkan terwujud dan terpiliharanya anak keturunan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu maka syari’at menjadikan pertalian suami-isteri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh, sebagaimana

Al-qur’an memberikan istilah pertalian itu dengan miitsaq ghalizhan (janji yang

kukuh).20 firman Allah SWT dalam surat An-nisa’ ayat: 21

menghalalkan bekas suami rujuk lagi dengan bekas isterinya kecuali isterinya kawin dengan laki-laki lain dan pernah disetubuhi kemudian cerai, maka bekas suami yang tertalak bain kubro boleh rujuk tetapi harus dengan akad dan mahar baru). Lihat Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.Ke-2, hal.66-68.

19

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.192.

20

(25)





















Artinya:

”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah

bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka

(isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(Q.S. An-nisa: 21)”

Namun tidak sedikit halangan yang dihadapi oleh suami-isteri, bahkan hal yang terburukpun dapat terjadi dalam rumah tangga bila tidak ada kata sepakat lagi yaitu; terjadinya perceraian sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan kedua belah pihak. Mengenai dasar hukum perceraian penulis, akan mencantumkan ayat-ayat Al-qur’an serta Hadits yang menjadi landasan hukum perceraian antara lain :

Surat Al-baqarah ayat 229-230:

(26)

Artinya:

"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara

yang ma'ruf21 atau menceraikan dengan cara yang baik22 tidak halal bagi

kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang

melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang

zalim.Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah

hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)

Mengetahui."(Q.S. Al-baqarah: 229-230).

Dalam surat At-thalaq ayat 1:







































































Artinya:

"Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan

21Cara yang ma’ruf, dengan cara meminta izin dahulu kepada si istri dengan ucapan

(bil qauli)

baru dengan perbuatan (bil fi’li). Agar istri merasa dihargai untuk diminta dahulu izinnya suami untuk kembali.

22

(27)

janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali

Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru". (Q.S.At-thalaq: 1)

Selain ayat-ayat Al-qur’an di atas ada pula hadits yang berkenaan dengan dasar hukum perceraian. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang berbunyi:

:

.

.

)

23

(

Artinya:

Dari Ibnu Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW; “Perkara halal

yang sangat dibenci oleh Allah ialah talaq” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan

Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Hakam dan dirajihkan oleh Abu Hasyim

kemursalannya”).

C. Sebab-sebab Terjadinya perceraian

Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian dalam Hukum Islam perceraian terjadi karena khulu’, zhihar, ila dan li’an berikut ini penjelasan masing-masingnya:

1. Khulu’

Kata Khulu’ berasal dari kata khala’a, yakhla’u, khulu’an yangartinya

”mencabut”24

, khulu’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari

23

Ibnu Hajar Al-Asqalani, diterjemahkan oleh A. Hassan, Terjemahan Bulughul Maram,

(Diponogoro, 1596), cet XXVII, h.476.

24Munjid fillughati wala’lam.

(28)

kata-kata khala’a ats-tsauba, artinya: menanggalkan pakaian karena perempuan sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki pun pakaian bagi perempuan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 187:





















































Artinya:

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af

kepadamu ...( Q.S. Al-baqarah 1 :187)

Khulu dinamakan juga tebusan. Karena isteri menebus dirinya dari suami dengan mengembalikan apa yang telah diterima sebagai mahar kepada suaminya. Menurut ahli fiqih, khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi yang disebut dengan iwad. Dasar pengertian ini

ialah hadits riwayat Bukhari dan Nasa’i dari Ibnu Abbas, ia berkata:

25

25

(29)

Artinya:

Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada rasulullah SAW. Sambil berkata: Hai Rasulullah! saya tidak mencela akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW: maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit,suaminya)?. Jawabnya: mau. Maka Rasulullah SAW.bersabda: “terimalah (Tsabit) kebun itu dan thalaqlah

ia satu kali”(H.R Bukhari dan Nasai).

2. Zhihar

Zhihar menurut bahas Arab, berasal dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami-isteri, zhihar adalah ucapan suami kepada isteri yang berisi menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibunya, seperti ucapan suami kepada isteri: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.26 Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah SWT. Surat Al-mujadilah ayat 2-4:

(30)

Artinya:

"Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat

pedih. ( Q.S. Al-mujadilah: 2-4)

3. iIla’

Kata ila’ menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-yakli

i’laan” sewazan dengan a’tha yu’thi itha’an, yang artinya sumpah.27 menurut

istilah Hukum Islam, Ila’ ialah ”sumpah suami dengan menyebut nama Allah

SWT atau sifat-Nya yang bertujuan kepada isterinya untuk tidak mendekati isteri. baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya atau dibatasi empat bulan atau lebih.28 Dasar hukum pengaturan ila’ ialah firman Allah SWT surat Al-baqarah ayat 226-227:

27

Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.200.

28

(31)













































Artinya:

"Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha

mendengar lagi Maha Mengetahui". (Q.S.Al-baqarah: 226-227).

Allah SWT menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang

meng ila’ isterinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun isteri.

Suami menyatakan ila’ kepada isterinya pastilah karena kebencian yang

timbul antara keduanya. Bagi suami yang meng-ila’ isterinya wajib meninggalkannya selama empat bulan karena dalam waktu tersebut akan timbul rasa rindu diantara keduanya dan bisa saling mengkoreksi diri untuk melakukan perubahan-perubahan sikap dan sifat menjadi lebih baik. Kemudian apabila ingin kembali suami wajib membayar kaffarah sumpah karena telah menggunakan nama Allah SWT untuk keperluan dirinya. Kaffarah yang harus dibayar adalah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-mai’dah ayat 89:

(32)























































Artinya:

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan

kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)".

(Q.S.Al-maidah: 89).

4. Li’an

Li’an berasal dari kata la’a. Sebab suami-isteri yang bermula’anah

pada ucapan yang kelima kalinya berkata: ”sesungguhnya padanya akan jatuh

laknat Allah SWT, jika ia tergolong orang yang berbuat dusta”.29

Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.30

29

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.126.

30

(33)

Dasar hukum pengaturan lian bagi suami yang menuduh isterinya berbuat zina ialah firman Allah SWT surat An-nur ayat 6-7:



























































Artinya:

"Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa

la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta".(Q.S.

An-nur: 6-7)

Terhadap tuduhan suami, isteri dapat menyangkal dengan kesaksian sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya. pada sumpah kesaksianya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-nur ayat 8-9:







































Artinya:

"Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika

(34)

Dengan terjadinya sumpah lian ini maka terjadilah perceraian antara suami-isteri tersebut dan antara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya.31 Dimana terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:

)

32

(

Artinya:

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi s.a.w bersabda: ”suami-isteri yang telah

bermula’anah bila telah berpisah, maka mereka tidak dapat kembali

selama-lamanya”. ( H.R. Daraquthni).

5. Sebab-sebab yang lain.

a. Putusnya perkawinan sebab syiqaq.

Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami-isteri sedemikian rupa sehingga antara suami-isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran yang menjadi suami-isteri yang tidak mungkin dipertemukan dan dipersatukan lagi.

Firman Allah SWT. Surat An-nisa ayat 35 menyatakan :

















































31

Ibid, h.239-240.

32

(35)

Artinya:

”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Menurut firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami-isteri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadinya syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikan, atau mengambil kesimpulan bahwa lebih baik adanya perceraian dari pada perkawinan ini terus berjalan tetapi bisa mengakibatkan kemudharatan bagi suami-isteri. Maka kesimpulan putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.

Terhadap kasus syiqaq ini, kedua hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya, sebab musabab timbulnya persengketaan, berusaha untuk mendamaikan kembali agar suami-isteri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika perdamaian tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya. kemudian atas dasar hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut.33 Kedudukan cerai

sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in artinya antara bekas suami-isteri

33

(36)

hanya dapat kembali sebagai suami-isteri dengan akad dan mahar yang baru.34

b. Putusnya perkawinan sebab pembatalan.

Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaanya ternyata ada larangan perkawinan antara suami-isteri. Sebab-sebab pembatalan karena pertalian darah, pertalian susuan, pertalian semenda, atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya rukun dan syarat, maka perkawinan menjadi batal demi hukum dengan melalui proses pengadilan dan hakim membatalkan perkawinan dimaksud.35

Mengenai pembatalan perkawinan ini. Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab IV pasal 22 sampai 28 memuat ketentuan yang isi pokoknya sebagai berikut:36

Pertama, Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Kedua, Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

34

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.243.

35

Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.205-206.

36

(37)

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Ketiga, Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan

salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4.

Keempat, Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada

Pengadilan daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami-isteri.

Kelima, Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat

perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalan, oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Keenam, Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan

(38)

ancaman yang melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Ketujuh, Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Putusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

(39)

pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 70 sampai dengan 71 yang isi pokoknya sebagai berikut:37

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;

b. Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;

c. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.38

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri.

37

Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia, 2005), h.25-27.

38

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 8 yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. 2. Berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

(40)

Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 menyebutkan bahwa suatu perkawinan juga dapat dibatalkan karena peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi

isteri pria lain yang mafqud.

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.39

Kompilasi Hukum Islam Pasal 73 yaitu: bahwa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami / isteri;

39

Kompilasi Hukum Islam pasal 72 yaitu:

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri

(41)

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang- Undang.

d. Para pihak yang berkepentingan untuk mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang–Undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

c. Putusnya perkawinan sebab fasakh.

Hukum Islam mewajibkan suami menunaikan hak-hak isteri dan memilihara isteri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya isteri dan menimbulkan kemudharatan terhadapnya. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan isteri dan mensia-siakan haknya.40 Firman Allah SWT surat Al-baqarah ayat 231 menyatakan:



























































































40
(42)

Artinya:

”Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir

iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah

bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. AL-baqarah:

231)”.

Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang saling menimbulkan kemudharatan. Menurut Qaidah Hukum Islam, bahwa setiap kemudharatan wajib dihilangkan, sebagaimana qaidah menyatakan:

ٌلازي ررُّلا

41 Artinya:

”kemudharatan harus dihilangkan”.

Berdasarkan firman Allah SWT dan qaidah tersebut para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami-isteri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada keadaan salah satu pihak, maka pihak yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa

41

(43)

untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita.42

d. Putusnya perkawinan sebab meninggal dunia.

Jika salah satu dari suami-isteri meninggal dunia, atau kedua suami-isteri itu bersama-sama meninggal dunia maka putuslah perkawinan mereka. Yang dimaksud dengan mati sebab putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi baik mati secara fisik, yakni, memang dengan kematian itu diketahui jenazahnya, sehingga kematian itu benar-benar biologis, maupun kematian secara yuridis, yaitu dalam kasus suami yang mafqud (hilang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia), lalu melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami tersebut.43

Mengenai putusnya perkawinan ini, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu: kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Dalam pasal 39 juga menegaskan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan antara kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup sehingga dapat

42

Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 208.

43

(44)

dijadikan landasan yang wajar bahwa antara suami-isteri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami-isteri.

Alasan dimaksud dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawina ini diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menyatakan bahwa sebab-sebab perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainya sebagaimana yang sukar disebutkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampunya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pilak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.

(45)

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan rumah tangga.44

D. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat serta Prosedur Perceraian

1. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat

Cerai talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan atau perceraian yang dilakukan atas kehendak suami. Sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 pada pasal 66 ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.45

Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 117 yaitu talak ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal (129), (130) dan (131). Cerai talak ini hanya dapat dilakukan oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak istrinya, sedangkan isteri tidak berhak mentalak suaminya. bagi suami yang mengajukan talak maka suami harus melengkapi persyaratan administrasi sebagai berikut :

44

Pasal 116 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

45

(46)

1. Kartu tanda penduduk .

2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah. 3. Kutipan akta nikah (model NA).

4. Membayar uang muka biaya perkara.

5. Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/Polri.46

Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak isteri hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat (1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam cerai gugat juga diatur pada pasal 132 ayat (1) yaitu : Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.

Perkara cerai gugat, seorang isteri diberikan suatu hak gugat untuk bercerai dari suaminya, karena dalam cerai talak haknya hanya dimiliki oleh suami. Akan tetapi, bukan berarti cerai talak haknya mutlak milik suami

46

(47)

karena apabila suami melanggar alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam pasal 116 kompilasi hukum Islam dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. maka isteri berhak mengajukan gugat cerai. Dengan demikian masing-masing pihak telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menentukan perceraian.47

Hukum Islam juga tidak mengenal istilah cerai gugat karena cerai gugat hanyalah istilah hukum yang digunakan dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi dalam hukum Islam mengenal khulu, yang mempunyai persamaan dengan cerai gugat dan tetap ada perbedaannya yaitu juga dalam khulu itu ada iwadl yang harus dibayar oleh isteri, dan yang mengucapkan kalimat perceraian (talak) adalah suami setelah adanya pembayaran iwadl tersebut. Sedangkan cerai gugat tidak ada pembayaran iwadl serta yang memutuskan perceraian adalah hakim.48

Selain itu dalam cerai talak apabila suami ingin mengajukan ikrar talak, suami tidak mengajukan gugatan melainkan mengajukan permohonan kepada isteri, karena dalam Islam isteri meminta izin untuk mengucapkan ikrar talak di Pengadilan Agama. Karena talak itu ada ditangan suami. Berbeda dengan cerai gugat yaitu isteri harus minta cerai dulu kepada suami,

47

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), cet Ke-1, hal. 232.

48

(48)

karena dalam Islam isteri tidak punya hak untuk menceraikan suami serta mengembalikan iwadl kepada suami. Hal inilah yang menjadi perbedaan antara cerai talak dengan cerai gugat. Perkara cerai gugat, juga ada persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam mengajukan gugatan cerai sebagai berikut :

1. Kartu tanda penduduk .

2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah. 3. Kutipan akta nikah (model NA).

4. Mem

Gambar

gambaran kepada masyarakat maupun akademis khususnya mahasiswa yang

Referensi

Dokumen terkait

3* Li)t yang digunakan dan %aktu penggunaannya ditetapkan >* 9alur masuk6keluar bebas dari puing -tidak ber.e.eran/ ;* $lat angkut puing harus tertutup. D* rosedur pembuangan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah serta hasil penelitian maka hipoteses tindakan yang berbunyi “Mengembangkan Kemampuan Menyimak Melalui Bercerita

Dari program yang berjalan di Koperasi Unit Desa Mina Karya Bahari adalah TPI (tempat pelelangan ikan) dan jasa penyaluran BBM; Melalui analisis kinerja balanced scorecard

Bola digiring sambil memantul-mantulkan ( dribble ) ke segala arah”. Bola basket merupakan olahraga permainan beregu yang dapat dimainkan baik putra maupun putri. Permainan

Berikut dipaparkan pelbagai kajian yang telah mengintegrasikan reka bentuk kejuruteraan ke dalam pengajaran dan pembelajaran sains di peringkat sekolah rendah dan

sangat ketat, perusahaan harus mampu memberikan harga dan kualitas produk yang berkualitas terhadap pembelinya karena perusahaan dikatakan berhasil mencapai

Beberapa penelitian menyatakan bahwa masalah gizi pada bayi dan anak terjadi karena kebiasaan pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat dari segi kualitas

Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan representasi matematis mahasiswa dalam pembelajaran dengan model PBL