• Tidak ada hasil yang ditemukan

Talqin mayit setelah penguburan (analisis sanad dan matan hadis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Talqin mayit setelah penguburan (analisis sanad dan matan hadis)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I)

Ismail

NIM: 105034001174

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ismail

NIM: 105034001174

Di bawah Bimbingan

Dr. M. Isa HA Salam, MA.

NIP. 1953 1231 198603 1 010

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Juni 2010

(4)

di uji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqasyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I) Program Srata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 16 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Sekretaris, Merangkap Penguji II

Dr. M. Suryadinata, MA Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP. 1960 0908 1989903 1 005 NIP. 19770120 200312 1 003

Anggota

Penguji I

Dr. Atiyatul ‘Ulya, MA NIP. 19700112 199603 2 001

Pembimbing

(5)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji milik Allah, penulis memuji, memohon pertolongan dan

ampunan-Nya. Dan juga berlindung dari kejelekan amal-amal dan keburukan diri

peribadi. Bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan

Allah dan bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu adalah hamba dan

Rasul-Nya.

Dengan berkat taufiq dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang diinginkan, ini semua tidak

akan dapat terwujud tanpa adanya dukungan dari beberapa pihak yang telah

dengan senang hati memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhinga

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir

(6)

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, pimpinan

dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan Perpustakaan umum dan Perpustakaan Ushuluddin beserta staff,

yang telah memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis

menjalani dan mengakhiri kuliah jenjang S1 ini.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Sarda dan Ibunda Siti Nurjanah. Terima

kasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada penulis.

Serta dukungan moril, materil dan juga tenaga sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi yang kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan

materi, hanya do’alah yang dapat penulis berikan. Serta saudara-saudaraku

yang tercinta, Kakakku Nasihin, Kulsumawati, Joko, dan Suwita yang

telah memberikan dukungan serta do’a kepada penulis.

8. KH. Drs. Najib al-Ayyubi, Drs. H. Ujang Jufri, Ust. Maulana Sufyan Hadi,

dan al-Habib al-Idrus ibn Ali al-Habsyi, terima kasih atas bantuan dan

do’anya buat penulis.

9. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005 diantaranya Th.a: Marullah,

S.Th.I, Syarif, Hasan, Rizki, S.Th.I ,Hafidz, S.Th.I, Ubay, S.Th.I, Sahal,

S.Th.I, Aqib, Hendri, Amar, S.Th.I, Zaenal, S.Th.I, Agus, S.Th.I, Rahman,

(7)

kepada para dosen yang telah memberikan pendidikan kepada kami, sehingga

ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat dan barokah. Semoga kita semua senantiasa

selalu dalam bimbingan, Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 16 Juni 2010

(8)

ا

Tidak dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te dan es

ج

j je

ح

h ha dengan garis di bawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r er

ز

z zet

س

s es

ش

sy es dan ye

ص

s es dengan garis di bawah

ض

d de dengan garis di bawah

ط

t te dengan garis di bawah

ظ

z zet dengan garis di bawah

ع

' koma terbalik di atas, menghadap ke kanan

غ

g ge

ف

f ef

ق

q ki

ك

k ka

ل

l el

م

m em

ن

n en

      

Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), 2007.

(9)

ي

Vokal

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin keterangan

ي

ai a dan i

و

au a dan u

Vokal Panjang (Madd)

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin keterangan

â a dengan topi di atas

î i dengan topi di atas

û u dengan topi di atas

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

(10)

Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (

لا

),

dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukanar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Ta Marbūtah

No Kata Arab Alih Bahasa

1

ﺔﻘ ﺮﻃ

tarîqah

2

ﺔ ﻣ ﺳ ا

ﺔﻌﻣﺎ ﻟا

al-jâmi’ah al-islâmiyyah

3

دﻮ ﻮﻟا

ةﺪﺣو

wahdat al-wujûd

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …. ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian ……….... ... 13

D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian... 14

E. Tinjauan Kepustakaan ……. ... 14

F. Metodologi Penelitian ……. ... 15

G. Sistematika Penulisan …….. ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQIN SERTA KEWAJIBAN TERHADAP ORANG MATI A.Pengertian Talqin ... 18

1. Menurut Bahasa ... 18

2. Menurut Istilah ... 18

B.Sejarah Perkembangan Talqin 1. Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat ... 19

2. Perkembangan Talqin pada Masa kini ... 22

C. Pendapat Para Ulama Tentang Talqin ... 24

(12)

c. Kritik Sanad …….... ... 39

B. Hadis Kedua ... 42

a. Penelitian Sanad Hadis Kedua ... 44

b. I’tibar Sanad ……... ... 45

c. Kritik Sanad …….... ... 48

C. Kritik Matan ……….... ... 60

a. Hadis ke-1 ………… ... 61

b. Hadis ke-2 ………… ... 64

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan………. …. ... 67

B. Saran ……….. ... 68

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN 

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya

bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam

menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada

perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan

juga seringkali muncul berbagai macam fenomena keagamaan, sehingga

terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan dalam kehidupan

bermasyarakat, salah satunya adalah masalah talqîn mayit.

Fenomena itu sering menjadi bahan perdebatan ditengah masyarakat,

khususnya antara kalangan Islam tradisionalis dengan Islam reformis. Semua

perdebatan yang muncul mengarah pada aspek hukum talqîn. Satu pihak menyatakan bahwa talqîn merupakan budaya yang baik dan berguna yang perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan karena sangat berguna bagi simayit.

Sedangkan kelompok lain menganggap bahwa talqîn merupakan salah satu bentuk penyimpangan (bid’ah) dalam Islam karena tidak ada dalilnya dan sekalipun ada dalilnya itu sangat lemah.

Secara umum talqîn mayit itu ada dua, pertama ada talqîn mayit sebelum meninggal, yaitu ketika si mayit sedang mengadapi naza’ (sakaratul maut). Sebagaimana dalam suatu riwayat, ‘Umâr bin al-Khattab r.a berkata: “

(14)

Ilâha illallâh, karena sesungguhnya mereka melihat apa yang kalian tidak lihat. “Ajaran untuk men-talqîn-kan itu bersumber dari petunjuk Nabi Saw. sebagaimana diriwayatkan antara lain oleh Imam Muslim melalui Abû Sa’îd

al-Khudrî r.a1 :

ﱠﻟا

ﱠ إ

ﻟإ

آﺎ ﻮﻣ

اﻮ ﻘﻟ

Talqîn-kanlah orang yang mati diantaramu dengan lâ Ilâha illallâh”2

Kedua, talqîn mayit setelah meninggal, talqîn inilah yang telah banyak menimbulkan khilafiah (perbedaan pendapat) dikalangan para ulama. Menurut keterangan yang sudah lama ada, bahwa talqîn mayit itu sudah ada dari zaman para sahabat Nabi, zaman Tâbi’în dan Tâbi’î Tâbi’în kemudian diteruskan oleh

ulama-ulama salâf dan khalâf, bahwa semua orang meninggal itu di-talqîn-kan, keterangan ini berdasarkan pendapat seorang ulama besar yang dijuluki Hujjâtul Islam yaitu Imam Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Fatâwâ al-Kubrâ3, beliau berkata: “bahwa talqîn mayit ini sudah dimulai sejak zaman sahabat-sahabat Nabi Saw., bahwasanya mereka memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû

Umâmah r.a dan sahabat-sahabat lainnya dan mereka juga telah meriwayatkannya

dari Nabi Saw.,:

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

      

1

, M.Qurais Sihab, Kehidupan Setelah Kematian,(Tangerang, Lentera Hati, 2008), Cet.2, h.34 

2

Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, Sahîh Muslim,( Beirut, Dar al-Jayl) Juz.3, h.37 

3

(15)

Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan naza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Digolongkan saja ia kepada ibunya Siti Hawa (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr)5

      

4

Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 

5

(16)

Maksud hadis diatas seolah-olah mengindikasikan bahwa hendaklah

orang yang baru meninggal itu diberikan ketetapan dan ketabahan hati dengan

jalan diingatkan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jawaban-jawaban

yang semestinya, yang harus dijawabnya kepada malaikat-malaikat penanya, yaitu

Munkar dan Nakir, dengan harapan agar si mayit dapat melalui masa-masa

tersebut dengan kesuksesan dan kebahagiaan.

Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ,6 bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama

sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh).

Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara

para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para

sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎﻘ

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

7

“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau):”Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”

Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik,8 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah       

6

Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 

7

(17)

pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling

adil.9

Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita

tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan

manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzab

dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya.10 Sekitar pada abad 14 H., seorang ulama Ahli hadis kontemporer yang

bernama Nasîruddîn al-Albânî, menyanggah pendapat diatas dengan berkata:

“Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin

Sakan, dan dikatakan oleh al-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. Bahkan

Al-Haitsami juga mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”

Beliau juga berkomentar: “talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”

Inilah yang menjadi perhatian penulis dalam rangka menyusun skripsi ini.

Hadis yang telah disepakati oleh sebagian ulama salâf boleh untuk diamalkan karena ada hadis pendukung yang memperkuat nilai hadis tersebut, dan bahkan

sudah sejak lama diamalkan oleh mayoritas kaum muslimin, namun pada kasus ini

seorang ahli hadis yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkomentar: “Hal ini        

8

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 

9

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 

10

(18)

jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan

dalam fadail a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bila tidak demikian

maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah,

dan hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan

dalam agamanya.”11 Akan tetapi pendapat beliau ini juga bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu bahwa hadis lemah bisa digunakan

dalam fadail a’mal. Dalam kaitannya dengan permasalahan hadis, disini penulis merasa perlu untuk melakukan analisis sanad dan matan hadis tentang talqin agar

mendapatkan pemahaman yang komprehensif.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap

hadis-hadis talqîn baik untuk dilakukan. Selajutnya penulis mengangkatnya sebagai judul skripsi:Talqîn Mayit Setelah Penguburan” (Analisis Sanad dan Matan Hadis)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam mengkaji dan menganalisa suatu masalah baik berupa data-data

atau yang lainnya, diperlukan pembatasan dan perumusan masalah untuk

mengindari kekeliruan dan kerancuan dalam pembahasan, maka disini penulis

telah membatasi masalah yang akan dikaji dengan mencoba menganalisa dengan

metode takhrîj terhadap sebagian hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan. Diantara batasan dalam penilitiannya sebagai berikut;

Penulis telah meneliti semua hadis-hadis yang berkaitan dengan talqîn mayit setelah penguburan dari berbagai kitab hadis, akan tetapi sejauh penelitian

       11

(19)

ini dilakukan, disini penulis hanya menemukan tiga hadis yang cocok dengan

judul diatas, dan diantara hadisnya ada yang merupakan hadis pendukung,

misalnya disini penulis menemukan salah satu hadis yang bersumber dari kitab

Sunan Abî Dâwud, kemudian hadis tersebut telah dikomentari oleh salah seorang ulama hadis yaitu Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, bahwa hadis tersebut merupakan pendukung dari hadis Abû Umâmah, sehingga hadis

tersebut merupakan diantara salah satu hadis yang akan penulis teliti dari

hadis-hadis yang lain. Dan dibawah ini adalah hadis-hadis-hadis-hadis yang akan diteliti, yang telah

penulis temukan dari berbagai kitab-kitab hadis, sebagai berikut:

1. Kitab Sahîh Muslim Karya Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisâbûrî. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,),

Juz.1, h.78

2. Kitab Sunan Abî Dâwud Karya Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‘ats as-Sijistany, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166.

3. Kitab al-Mu’jam al-Kabîr Karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyûb Abû Al-Qasim Al-Tabrânî. (Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1983.M/ 1404.H

), Juz.8, h.249.

(20)

لﺎ

طﺮ

اذﺎ

.

نأ

ﻰﻟ

.

لﺎ

ﺎﻣأ

ﱠنأ

م ﺳ ا

مﺪﻬ

ﺎﻣ

نﺎآ

ﱠنأو

ةﺮ ﻬﻟا

مﺪﻬ

ﺎﻣ

نﺎآ

ﺎﻬ

ﱠنأو

ﱠ ﻟا

مﺪﻬ

ﺎﻣ

نﺎآ

.

ﺎﻣو

نﺎآ

ﺪﺣأ

ﱠ ﺣأ

ﱠﻰﻟإ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﷲا

ﺳو

و

ﱠ أ

ﺎﻣو

آ

ﻃأ

نأ

ﻣأ

ﱠﻰ

إ

ﻮﻟو

نأ

أ

ﺎﻣ

ﻘﻃأ

آأ

ﻣأ

ﱠﻰ

ﻮﻟو

لﺎ ﻟا

تﻮ ﺮﻟ

نأ

نﻮآأ

هأ

ﺔﱠ ﻟا

ﺎ ﻟو

ءﺎ أ

ﺎﻣ

ىردأ

ﺎﻣ

ﻰﻟﺎﺣ

ﺎﻬ

اذﺈ

ﺎ أ

ﺔ ﺎ

و

رﺎ

اذﺈ

ﻰ ﻮ د

اﻮ

ﱠﻰ

باﺮ ﻟا

ﺎً

اﻮ أ

لﻮﺣ

ىﺮ

رﺪ

ﺎﻣ

روﺰ

ﻘ و

ﺎﻬ ﻟ

ﻰﱠﺣ

ﺄ ﺳأ

ﺮﻈ أو

اذﺎﻣ

ارأ

ﺳر

ﻰ ر

12        12
(21)

”Telah bercerita kepada kami Muhammad ibn al-Mutsannâ al-‘Anazî dan Abû Ma’in al-Raqqâsyî dan Ishâq ibn Mansûr, mereka semua dari Abî ‘Âsim dan lafadz oleh Ibn Mutsannâ, Ia bercerita kepada kami al-Dahhâq, yaitu Abû ‘Âsim ia berkata: Mengabarkan kepada kami Haiwah ibn Syuraîh, ia berkata: Telah bercerita kepada kami Yazîd ibn Abî Habîb dari Ibn Syumâsah al-Mahriyyî r,a., katanya “Kami menyaksikan Amru Ibn ‘Âs ketika dia hendak meninggal. Dia lama menangis sambil mengadapkan mukanya ke dinding. Karena itu anaknya berujar, “wahai ayahku,! Bukankah Rasulullah saw telah menyampaikan berita gembira bagi ayah, begini dan begitu. ( Kenapa ayah masih menangis?)” Lalu Amru Ibn ‘As menengok kepada anaknya sambil berkata : “sesungguhnya perbekalan kita yang paling utama adalah syahadat : Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Aku ini telah mengalami tiga zaman. Pertama, aku menyadari, tidak ada orang yang paling benci kepada rasulullah Saw, melebihi benciku. Ketika itu tidak ada yang lebih kuinginkan kecuali menangkapnya lalu membunuhnya. Kalaulah aku meninggal ketika itu, tentulah aku masuk neraka. Kedua, tatkala Allah menanamkan Islam ke dalam dadaku, aku datangi Nabi Saw. lalu aku berujar, “Ulurkanlah tangan anda, aku hendak berjanji setia dengan anda” beliau mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku sambil berkata, “ Apa maksudmu hai ‘Amr?” Jawabku “aku hendak masuk Islam dengan syarat” Tanya beliau “ apa syarat yang hendak engkau pinta?” jawabku “ supaya dosaku diampuni” kata beliau “ apakah engkau belum tahu, bahwa islam mengapus segala dosa yang sebelumnya?” semenjak itu aku merasakan tidak ada orang yang paling cinta kepadaku melebihi cinta Rasulullah Saw. dan tidak ada orang yang paling terhornat melebihi beliau. Sebab itu aku tak kuasa demi untuk memuliakannya. Sehingga aku diminta orang untuk menggambarkan bentuk beliau, aku tak sanggup, karena aku tak pernah mengangkat pandanganku kepada beliau. Kalaulah aku mati ketika itu, sungguh besar harapanku bahwa aku masuk surga. Ketiga, kemudian aku menjabat berbagai jabatan pemerintah, dimana aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya keadaanku selama dalam jabatan-jabatan itu. Karena itu, jika aku mati, janganlah jenazahku diantar para wanita peratap dan jangan pula membawa api. Apabila aku telah dikubur, timbunlah jenazah ku dengan rata, kemudian tunggulah kira-kira selama orang menyembelih kurban dan membagi-bagikan dagingnya, supaya aku tidak kesepian bersamamu, tatkala aku memikirkan jawaban tehadap malaikat yang dikirim Tuhanmu untuk menanyaiku”13

      

13

(22)

Hadis ke-2

ﺎ ﱠﺪﺣ

ﻮ أ

أ

ﺎﻟﻮ ﻟا

ﺪﱠ ﻣ

هاﺮ إ

ءﺎ ﻌﻟا

ﻟا

ﺎ ﺳإ

شﺎ

ﷲا

ﺪﱠ ﻣ

ﺮﻘﻟا

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

:

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

ﻮﻜ

ن

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

14

“Telah bercerita kepada kami Abû ‘Uqail Anas ibn Sallim Khaulânî, bercerita kepada kami Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ’i al-Hamsî, bercerita kepada kami ‘Iyâsy, bercerita kepada kami ‘‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qursî dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan       

14

(23)

nazza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr)15

Hadis ke-3

ﺎ ﱠﺪﺣ

هاﺮ إ

ﻰﺳﻮﻣ

ئزاﱠﺮﻟا

ﺎ ﺪﺣ

مﺎ ه

ﷲا

نﺎ ر

ﺎه

ﻰﻟﻮﻣ

نﺎ

نﺎ

نﺎﱠ

لﺎ

:

نﺎآ

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎﻘ

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

16

“Telah bercerita kepada kami Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzî, telah bercerita kepada kami Hisyâm, dari ‘Abdillâh ibn Buhair ibn Raisân dari Hânî Maula ‘Utsmân dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, Ia berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit       

15

Sirajuddin,Abbas 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 

16

(24)

berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah, karena ia sekarang akan ditanya.

Pada hadis yang pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab

Sahîh-nya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir semua ahli hadis dari kalangan ulama Sunni sepakat bahwa hadis-hadis yang termuat dalam Kitab

Sahîh Muslim itu sudah diakui ke-sahîh-an sanad-nya. Oleh karena itu penulis tidak akan meneliti hadis tersebut.

Dalam penilitian sanad ini penulis Hanya terfokus pada dua hadis saja, yaitu hadis kedua dan hadis ketiga, yang masing-masing berada dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr dan Sunan Abî Dâwud yang keduanya merupakan kumpulan dari kitab-kitab hadisdan Kutub al-Tis’ah

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis merumuskan

permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan?

2. Kalau ternyata ada hadis daif lalu apakah ada hadis yang lain yang dapat mendukung kelemahannya (mutabî’ dan syahîd)17 dalam kitab lain.

      

17

(25)

3. Bagaimana pemahaman hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan? Dan bisakah hadis tersebut dijadikan Hujjah dalam beramal?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kualitas hadis yang menjadi pembahasan

2. Bisakah hadis tersebut dijadikan hujjah dalam beramal

3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I),

program Strata satu (S1) dari jurusan Tafsir HadisFakultas Usuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian

Penulis berharap skripsi ini sangat berguna serta bermanfaat bagi

masyarakat pada umumnya perihal tentang talqîn mayit, karena dalam agama Islam kita sangat dianjurkan ketika dalam setiap menjalankan ibadah harus

memiliki landasan bahwa ibadah yang sedang kita jalankan itu memang

bersumber dari al-Qur’an dan sunnah (hadis) Rasulullah Saw. Mudah-mudahan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan kepada

masyarakat bahwa talqîn mayit setelah penguburan yang selama ini mereka jalankan itu bukan hanya sekedar adat istiadat belaka tetapi memang benar-benar

ada sumber rujukannya berupa hadis Nabi Saw. Penulis juga berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna khususnya buat pribadi penulis sendiri

yang sekarang sedang mengarungi bahtera keilmuan, juga bagi para pelajar

(26)

dalam penulisan skripsi ini bisa menambah wawasan serta pengetahuan bagi para

pembacanya.

E. Tinjauan kepustakaan

Untuk mengindari duplikasi penelitian, sebelumnya penulis melakukan

survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di

Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat serta di Perpustakaan utama

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, setelah penulis melakukan

pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, ternyata penulis Hanya

menemukan satu judul skripsi melalui katalog yang ada di PU (Perpustakaan

Utama) yang kayaknya pembahasannya hampir mirip dengan judul yang penulis

angkat, yaitu Arat al-Fuqâhâ fî talqîn al-Mayyît wa ziarah al-Qubur. Karya Zainuri, Tahun 2004. Tetapi sayangnya setelah melakukan pencarian lebih lanjut

penulis tidak menemukan skripsi tersebut untuk dijadikan sebagai bahan

perbandingan. Akantetapi secara sepintas kalau kita melihat kepada judul skripsi

diatas seolah-olah penelitiannya lebih cenderung kepada hukum talqin itu sendiri,

berbeda halnya dengan judul yang penulis buat, penelitiannya Hanya terfokus

kepada analisis sanad dan matan hadis talqîn setelah penguburan.

Adapun dari buku-buku edaran pun sebenarnya penulis masih sedikit

kesulitan dalam mencari buku-buku khusus yang Hanya memuat satu tema sesuai

dengan judul diatas. Akan tetapi ada beberapa buku yang sudah penulis temukan

(27)

Di dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa men-talqîn-kan mayit itu hukumnya sunnah, karena hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., ketika anak

kesayangannya yang bernama Ibrâhîm meninggal dunia kemudian beliau

men-talqîn-kannya dengan disaksikan oleh para sahabat beliau diantaranya ‘Umâr bin Khattab r.a. Pendapat beliau ini merujuk kepada pendapat Imam Al-Suyûtî dalam

salah satu kitabnya Al-Hawî li al-Fatâwâ li al-Suyûtî, Juz.2, h.176-177.

F. Metodologi Penelitian

Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Dengan merujuk

kepada sumber-sumber primer seperti kitab-kitab hadis dan sekunder lainya yang

mengandung dan berkaitan dengan masalah yang dibahas

Adapun metode dalam kegiatan penilitian hadis ini yaitu :

1. Melakukan Takhrîj hadis dari sanad dan matan hadis yang telah disebutkan pada judul, langkah pertama penilitian hadis ini merujuk

melalui lafadz hadis dengan menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahrâs li alfâz al-Hadis al-Nabawî dan yang kedua melalui awal

matan dengan menggunakan Kitab Mausû’at Atrâf Hadis al-Nabawî al-Syarîf.

2. Mencari data yang sudah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk

(28)

3. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) hadis dari data yang diambil dalam kitab asli untuk kemudian menentukan kedudukan

hadis

4. Melakukan penilitian matan

5. Memberi kesimpulan dari hasil penilitian di atas

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis membagi

pembahasan menjadi beberapa bab sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah, Pembatasan

dan perumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan atau manfaat penelitian,

Tinjauan kepustakaan, Metodologi penelitian, Sistematika penulisan.

Bab II. Membahas tinjauan umum mengenai talqîn yang meliputi : Pengertian talqîn, Sejarah perkembangan talqîn, Pendapat para ulama tentang

talqîn dan Kewajiban orang yang hidup terhadap orang yang sudah meninggal. Bab III. Analisis hadis-hadis tentang talqîn yang meliputi : Analisis hadis, Teks hadis dan terjemahnya, i’tibâr sanad, Penelitian sanad, kritik sanad dan Penelitian matan.

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQÎN

A. Pengertian Talqîn

a. Menurut bahasa

Secara bahasa talqîn berasal dari bahasa Arab, yaitu “tafhîm” artinya memahamkan atau memberi faham18, arti yang lain adalah pengajaran atau

peringatan19, makna yang lebih luas adalah memberi peringatan dengan mulut

secara berhadap-hadapan.20 Sedangkan dalam konteks religious talqîn berarti pengajaran atau peringatan spiritual. Dalam komunitas sufi, kegiatan pengajaran

      

18

Firuzabadi, Qâmus al-Muhît (Kairo: Husainiyah, 1344.H) Juz IV, h.268 

19

Mahmud Yunus., Kamus Arab-Indonesia (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an),h. 400 

20

(30)

terkadang disebut talqîn sebagai padanan dari ta’lim pada dunia pengajaran yang lebih umum.21

b. Menurut Istilah

Secara Istilah talqîn memiliki dua makna (arti), pertama; adalah mengajarkan kepada orang yang akan meninggal dengan kalimat tauhid, yaitu “ ilâha Illallâh”, Yang kedua; adalah mengingatkan kepada orang yang sudah meninggal dan baru saja dimakamkan akan beberapa hal yang penting baginya

untuk mengadapi Malaikat Munkar dan Nakir yang akan datang menanyainya22.

Kegiatan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Muslim, Nasa’i dan

Tirmidzi yang berbunyi:

أ

ﺪ ﻌﺳ

لﺎ

لﺎ

لﻮﺳر

ﷲا

ﷲا

ﺳو

:

اﻮ ﻘﻟ

آﺎ ﻮﻣ

ﻟإ

إ

ﷲا

“Ajarilah orang-oranng mati di antara kamu dengan kalimat ilâha Illallâh (tiada tuhan selain Allah)”.

Terdapat dua pemahaman utama terhadap kata mauta dalam hadis tersebut di atas.23 Ada yang menganggapnya berarti orang yang dekat atau menjelang

kematian. Ada pula yang mengambil makna literalnya, yakni orang mati, dan

berpandangan bahwa orang yang sudah wafat pun masih mungkin diberi

pengajaran, yaitu talqîn. Inilah yang menjadi landasan praktek membacakan atau membisikan kalimat syahadat ke telinga orang yang sedang sakit keras dan

menjelang kematian. Tujuannya tentu saja ingin mengingatkan kepada orang yang       

21

Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jak-Tim, Prenada Media, cet.1, 2003), h.425 

22

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.71 

23

(31)

menjelang kematian tersebut hakikat paling mendasar dari keimanan , yaitu

pengakuan akan keesaan Allah SWT. Bagi mereka yang meyakini bahwa talqîn

masih mungkin dilakukan bahkan setelah kematian, ada yang mempraktekkan

melakukan hal tersebut setelah jenazah dikuburkan24 Dan inilah yang akan penulis

bahas saat ini.

B. Sejarah Perkembangan Talqîn

1. Pada Masa Rasulullah dan Para Sahabat

Salah satu langkah yang ditempuh oleh para Muhadisin untuk melakukan

penelitian matan hadis adalah dengan cara mengetahui sejarah yang

melatarbelakangi munculnya suatu hadis.25 Oleh karena itu pada bab ini penulis

akan menyoroti permasalahan talqîn dari sudut pandang sejarah. Kendatipun sebenarnya disini penulis belum mendapatkan data yang akurat tentang sejarah

perkembangan talqîn mayit pada masa Rasulullah dan para sahabat, akan tetapi penulis mencoba mengutip salah satu perkataan salah seorang ulama yaitu Iman

Al-Suyûtî dalam salah satu bukunya Al-Hawî li al-Fatâwâ al-Suyûtî26,

menurutnya: “Teks lengkap mengenai talqîn ini seperti dalam salah satu riwayat, bahwa Rasulullah pada saat menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau mengatakan:

“Katakanlah: Allah Tuhanku….. sampai kata-kata: Hal itu menunjukan atas

benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw.,

sesungguhnya saat beliau menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau berdiri diatas

      

24

Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, h.425 

25

Bustamin, M.Isa H.A Salâm, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.85 

26

(32)

kubur dan bersabda: “Hai anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata,

dan aku tidak akan berkata yang menyebabkan Allah marah kepadaku. Wahai

anakku, katakanlah Allah itu Tuhanku, Islam agamaku, dan Rasulullah itu

bapakku!”. Para sahabat ikut menangis, bahkan ‘Umâr bin Khattab menangis

sampai mengeluarkan suara yang keras.27

Ibn Taimiyyah pernah ditanya tentang permasalahan talqîn dalam salah satu bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, maka beliau berkomentar bahwa talqîn ini benar-benar pernah dilakukan oleh sebagian kelompok para sahabat, dan mereka

pernah memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû Umâmah al-Bâhilî r.a

dan sahabat-sahabat yang lainnya.28

Seorang pakar tafsir dan hukum Islam, Imam al-Qurtubî, beliau berkata

juga dalam bukunya al-Tadzkirah. Menurutnya, ada riwayat yang bersumber dari sahabat Nabi Saw., yaitu Abû Umâmah al-Bahîlî, yang berkata bahwa Rasulullah

Saw pernah bersabda: Apabila ada salah seorang diantara kamu meninggal dunia

dan dikuburkan lalu telah tertutupi oleh tanah, maka hendaklah salah seorang

berdiri di arah kepala orang yang meninggal itu dan berkata: “Hai si’ fulan putra

si’ fulan,” Ketika itu ia mendengar tetapi tidak dapat menjawab, Kemudian sekali

lagi ia memanggilnya, Ketika itu ia dalam keadaan duduk, Kemudian ia

memanggilnya kembali untuk yang ketiga kalinya, maka ketika itu ia akan

berkata: Berilah aku tuntunan semoga Allah merahmati kamu,” Dia berkata

demikian walau kamu tidak mendengarnya. Maka hendaklah kamu berkata:

      

27

Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, cet. VI, 2008), h.257 

28

(33)

“Ingatlah saat engkau keluar meninggalkan dunia, tentang kesaksian bahwa Ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Pesuruh Allah) dan bahwa engkau telah rela (menerima

dengan tulus) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai Agama, Muhammad sebagai

Nabi, al-Qur’an sebagai Imam (pedoman),” karena jika demikian, ketika itu

malaikat Munkar dan Nakir, masing-masing mundur dan berkata: “Ayo kita

meninggalkannya, untuk apa kita duduk disini, sedang ia telah dibisikan

jawabannya.”29

Betapapun, persoalan ini menjadi salah satu yang ramai diperselisihkan

oleh para ulama dikarenakan lemah sanadnya. Kendati demikian, diperkuat oleh

riwayat lain yang terdapat dalam Kitab Sunan Abû Dâwud bahwa: Sahabat Nabi Saw., Utsmân bin Affân ra., meriwayatkan bahwa apabila telah selesai

penguburan seseorang, Nabi Muhammad Saw. berdiri sejenak dan bersabda:”

Mohonlah pengampunan untuk saudara kalian, mohonlah untuknya kiranya Allah

memantapkan jiwanya, karena saat-saat ini ia ditanya.”30

Dari beberapa riwayat di atas nampaknya sudah dapat diambil kesimpulan

bahwa permasalahan talqîn mayit tersebut sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah dan para sahabat beliau, akan tetapi karena sudah terlalu jauh waktu

yang terlewat antara masa Rasulullah dengan masa sekarang seolah-olah

permasalahan talqîn itu adalah sesuatu yang baru muncul, bahkan termasuk kegiatannya pun seperti Hanya berlaku dinegara kita saja, tidak ada dinegara lain,

ternyata kenyataannya tidak demikian.       

29

M.Qurais Sihab, , Kehidupan Setelah Kematian (Ciputat, Tangerang, Lentera Hati, 2008), h.86 

30

(34)

2. Perkembangan Talqîn Pada Masa Kini

Berbicara tentang sejarah perkembangan talqîn di Indonesia, pada dasarnya penulis belum mendapatkan informasi yang valid dari beberapa sumber

buku yang penulis dapatkan, khususnya mengenai kapan dan pada tahun berapa

awal mulanya talqîn di Indonesia itu mulai berkembang, akan tetapi disini penulis akan mencoba mengambil beberapa data dan informasi yang ada yang sudah

penulis temukan dari berbagai macam sumber.

Bila kita mempelajari sejarah, maka kita dapatkan bahwa dalam kurun

waktu yang panjang, ajaran Islam telah dipentaskan diatas panggung dunia dengan

berbagai macam keragaman dan konpleksitasnya. Tercatat dalam sejarah

semenjak masa Nabi Muhammad Saw., sampai dengan sekarang bahwa

pelaksanaan dari ajaran Islam tidak mengambil dari satu bentuk tetapi secara

dinamis berkembang dan berimprovisasi. Islam Hanya memberikan

prinsip-prinsip saja sedangkan tatanan operasional diserahkan sepenuhnya pada umat

Islam dengan tetap berpegang pada semangat al-Qur’an dan hadîs. Islam telah

memberikan hukum yang konprehensif untuk membimbing umat manusia.

Hukum ini secara aktual dan dominan telah mengontrol dan membimbing

kehidupan berbudaya diatas dunia lebih dari seribu lima ratus tahun lamanya dan

sampai saat ini masih memberikan bimbingan kepada lebih dari satu milyar

penduduk dunia.31

      

31

(35)

Dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin khususnya di Indonesia,

banyak kita temukan tradisi keberagamaan yang sudah begitu memasyarakat,

sehingga kita terkadang sulit membedakan antara tradisi yang diberi nilai-nilai

syari’at dengan syari’at yang sudah menjadi tradisi kehidupan masyarakat32, salah

satu contoh misalnya talqîn mayit setelah acara penguburan, yang sampai sekarang masih diamalkan oleh masyarakat kita, bahkan hampir semua pelosok

daerah di Indonesia melakukannya ketika ada salah seorang dari keluarga mereka

meninggal dunia.

Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sudah mengenal dan mereka

mempraktikkan acara talqîn setelah penguburan tersebut. Acara itu diselenggarakan oleh sebagian besar masyarakat Muslim sebagai salah satu

bentuk kepedulian dan kasih sayang mereka terhadap saudaranya yang telah

mendahuluinya. Tetapi tidak Hanya itu, bagi mereka, acara ini juga merupakan

salah satu bentuk ibadah untuk menuntun dan mendo’akan orang yang baru

meninggal agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan diakhirat kelak.

Pada perkembangan berikutnya, acara ini mendapat tanggapan keras dari

sebagian Muslim Indonesia yang lain karena dianggap sebagai satu bentuk

penyimpangan dari aqidah dan syari’at Islam yang tidak seharusnya diamalkan oleh segenap kaum Muslimin di Indonesia, akan tetapi tanggapan tersebut telah

mendapat jawaban dari sebagian ulama dari kaum Nahdiyyîn, bahwa sebetulnya Umat Islam di Indonesia sudah mendapatkan referensi sekaligus justifikasi atas       

32

M. Siddiq Fauzie “Kata Sambutan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Madya Jakarta Selatan” dalam Syarif Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006) h.v

(36)

model perjumpaan antara tradisi dan ajaran Islam dalam bentuk dalil-dalil yang

sudah disepakati oleh para ulama, terutama kalangan Ahli sunnah wa al-Jamâ’ah,

sebagai mayoritas muslim di Indonesia dan dunia.33 Dan akhirnya sampai

sekarang pun hampir semua masyarakat kita masih tetap mengamalkan acara

talqîn tersebut.

C. Pendapat Ulama Tentang Talqîn

Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ,34 bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama

sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh).

Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara

para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para

sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎﻘ

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

35

“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau) :”Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”

       33

 Anisah Mahfudz “Perjumpaan Islam dan Tradisi Lokal Sebagai Media Dakwah” dalam Muhyiddin Abdussamad, Hujjah NU. (Surabaya: Khista dan LTN NU Jawa Timur, 2008), h.viii 

34

Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa al-Kubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 

35

(37)

. Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik,36 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling

adil.37

Imam al-Nawâwi berkomentar dalam bukunya al-Adzkar38, bahwa: “Adapun membaca talqîn pada orang yang meninggal setelah penguburannya, maka dikatakan oleh pengikut Abû Hanîfah kebanyakan dari sahabat-sahabat

kami bahwasannya hal tersebut disunnahkan, diantara mereka yang bernas akan disunnahkannya hal tersebut adalah Al-Qâdli Husein dalam komentarnya,

kawannya Abû Sa’ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam al-Zahid Abû Fatah Nasr bin Ibrâhîm bin Nasr al-Maqdisi, dan Imam Abû Qâsim

ar-Rifa’î dan lain sebagainya. Al-Qâdi Husein menukil dari sahabat-sahabat, adapun

lafadznya, Syaikh Nasr berkata, “Bila dia telah selesai memakamkan jenazah,

hendaklah ia berdiri disisi kepala mayat tersebut lantas berdoa, “Wahai fulan bin

fulan, ingatlah yang perjanjian dengannya Engkau keluar dari dunia: Kesaksian

bahwasannya tiada Tuhan selain Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya,

bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwasannya waktu

kiamat akan datang, tidak ada keraguan didalamnya, bahwasannya Allah

membangkitkan siapapun yang berada dalam kubur, katakanlah aku rela Allah

sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad Saw., sebagai Nabiku,

Ka’bah sebagai kiblat, Al-Qur’an sebagai imam, Kaum Muslimin sebagai saudara,

      

36

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 

37

Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 

38

(38)

Tuhanku adalah Allah tiada Tuhan selain Dia, Ia adalah Tuhan pemilik Arasy

yang agung, ini adalah lafadz Syaikh Al-Maqdisi dalam kitabnya al-Tahdzîb, lafadz yang lain adalah seperti lafadz tersebut, sebagian daripada mereka memiliki

lafadz yang lebih pendek, kemudai diantara mereka ada yang berkata, “Wahai

hamba Allah bin umat Allah, “diantara mereka ada yang berkata, “Wahai

‘Abdullâh anak Hawa, diantara mereka ada yang berkata, :Wahai fulan-dengan

menyebut namanya,-bin umat Allah, atau wahai fulan bin Hawa, semuanya

memiliki makna yang sama.

Syeikh Abû ‘Umâr bin Saleh ditanya tentang talqîn ini39, ia berkata dalam fatwa-fatwanya, “Membaca talqîn adalah yang kami pilih dan kami amalkan, disebutkan oleh sekelompok sahabat-sahabat kami yang berasal dari Khurasan, ia

berkata: “Kami telah meriwayatkan didalamnya suatu hadis dari hadis Abû

Umâmah, isnad-nya tak dapat diluruskan, namun dapat ditolong dengan kesaksian-kesaksian lain, penduduk Syam mengamalkannya dimasa lalu, ia

berkata: “Adapun talqîn yang diucapkan oleh anak-anak yang masih dalam buaian tak dapat dijadikan pegangan, dan kami melihat hal itu perlu dilakukan.

Sebagian Ulama ahli hadis berpendapat, bahwa mengenai talqîn yang berbunyi “Laqqinû…..dst”, maka perkataan “mautakum” tersebut diartikan dengan “orang yang sudah mati”, meskipun ada makna majazi dengan arti “orang

yang hampir mati”. Mereka berpendapat pula bahwa hadis yang diriwayatkan

Muslim itu sebenarnya telah memperkuat isi hadis mengenai talqîn ini karena

      

39

(39)

perkataan seperti (yang disebutkan dalam hadis Damrah), itu tidak ada jalan untuk

diijtihadi40.

Demikian pula halnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud,

telah pula memperkuat isi hadis mengenai talqîn tersebut. Meskipun dalam hadis ini dimaksudkan adalah “do’a” akan tetapi dengan isyaratnya menunjukan dan

menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si

mayit karena pada waktu itu kita benar-benar diperlukan.

Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita

tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan

manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzâb

dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya.41 Ibn Syaibah berkata: “Ibu saya pernah berwasiat kepada saya saat dia

mengadapi kematian agar saya berdiri disamping pemakamannya setelah selesai

ditanamkan dengan mengucapkan: “Hai Ibu, katakanlah olehmu Lâ Ilâha illallâh, setelah itu pulanglah engkau”. Pada waktu malam saya bermimpi berjumpa

beliau, dan ibu saya itu berkata kepada saya,: “Ya Syaibah, hampir saja saya

celaka seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan kalimat Lâ Ilâha illallâh”42

Talqîn itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati (mayit), melainkan sekedar memberi ketenangan

atau ketabahan didalam kubur, seperti tersebut dalam al-Qur’an:       

40

M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah. h.86 

41

 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, h.86 

42

(40)

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”43 (Q.S.Adz-Dzariyat: 55)

Seorang ulama hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî

berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya.

Al-Haitsami mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”

Kemudian al-Albânî berkomentar lagi: “Hal ini jangan dibantah dengan

pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadâil a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan

al-Qur’an dan Sunnah al-Sihah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh

diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah. Hendaknya hal ini

diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya karena

kebanyakan orang lalai.”44

Beliau juga mengatakan: “Talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”

      

43

DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.756 

44

 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits ad-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992), h.65

(41)

Menurut hemat penulis pendapat Nasîruddîn al-Albânî tersebut diatas

bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu, sebagaimana

yang dikatakan oleh Imam an-Nawâwi dalam muqadimah salah satu bukunya Al-Arba’in al-Nawâwiyyah45 bahwa para ulama sepakat mengenai diperbolehkannya mengamalkan hadis da’if dalam hal fadail a’mal

Oleh sebab itu, dari beberapa pendapat para ulama diatas tentang talqîn

mayit setelah dikuburkan, para ulama berselisih pendapat menjadi tiga pendapat:

1. Sunnah. Berdasarkan hadis diatas dan amalan sebagian ulama. Ibn Salah rahimahullah berkata: “Adanya talqîn, itulah yang kami pilih dan kami amalkan, kami meriwayatkan suatu hadis tentangnya dari Abû Umâmah,

namun sanadnya tidak kuat, tetapi dikuatkan oleh beberapa penguat dan

diamalkan oleh penduduk Syam.”

2. Mubah (boleh). Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata: “Dalam hal ini ada tiga pendapat: Sunnah, Makruh dan Mubah, inilah pendapat yang paling adil.”

3. Haram. Hal itu karena hadisnya tidak sahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, maka mengamalkannya termasuk kebid’ahan dalam agama. As-San’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli

hadis bahwa hadis ini lemah dan mengamalkannya merupakan kebid’ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.”

      

45

(42)

BAB III

ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TALQÎN MAYIT SETELAH

PENGUBURAN

Dalam menganalisis suatu hadis diperlukan kegiatan men-takhrîj46. Ada empat47 metode dalam melakukan kegiatan takhrîj, tetapi di sini penulis Hanya menggunakan tiga metode dari empat metode tersebut. Pertama, penulis

menggunakan metode yang terambil dari kata-kata atau lafaz fi’îl, kedua, menggunakan metode awal matan hadis, dan ketiga, melalui tema.

A. Hadis Pertama

      

46

Takhrîj secara bahasa berarti berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Kata takhrîj sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian, dan pengertian-pengertian yang popular untuk kata takhrîj ialah, al-istinbat (h mengelurkan), al-tadrîb (h melatih atau h pembiasaan), dan al-taûjih (h memperhadapkan). Menurut istilah kata takhrîj mempunyai beberapa arti, yakni : (1) Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang di susun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai pengimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan. (2) Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadis-nya. (3) Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. Lih : M. Syuhudi Ismâ’îl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi

(Jakarta : Bulan Bintang, 2007), cet ke-2, h. 39.  

47

(43)

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

:

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

نﻮﻜ

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

48

ﻌ ﻟا

ﺮ ﻜﻟا

:

اﺮ ﻟا

(

)

a. Melalui awal matan

Dalam melakukan penelitian melalui awal matan, penulis menggunakan

referensi kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadis al-Nabawî al-Syarîf. Karya Muhammad al-Sa’di Ibn Basyûnî Zaglûl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan informasi sebagai berikut:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ ﻮ إ

باﺮ ﻟا

     

=

:

،

 

 

=

 

:

،

 

 

=

:

،

   

ﺰ آ

 

=

  

__________

=

ﻌ ﻟا

ﺮ ﻜﻟا

)

اﺮ ﻟا

(

 

       48
(44)

=

ﻟا

ﺮ ﻟا

دﺎﺣأ

ﻌ اﺮﻟا

ﺮ ﻜﻟا

ﺪ اوﺰﻟا

ﻣو

ﺪ اﻮ ﻟا

=

ﺰ آ

=

ﺰ آ

لﺎ ﻌﻟا

لاﻮ ا

لﺎﻌ او

 

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa matan tersebut terdapat

pada :

1. al-Mu’jâm al-Kabîr, Juz 8, halaman 249, 6 sanad

2. al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj, Juz 2, halaman 315, 1 sanad 3. Majmu’ al-Zawâ’id, Juz 3 ,halaman 163, 1 sanad

4. Kanz al-‘Ummâl, Juz 15 , halaman 737, 1 sanad

b. Melalui fi’il pada matan

Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis

menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadtîs al-Nabawî karangan A.J. Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah :

مﺎ

,

اﻮﻌ

,

تﺎﻣ

.

Penulis tidak menemukan hadis yang diteliti dalam kitab Mu’jam tersebut.

c.Penelusuran Hadis Melalui Tema

Untuk men-takhrîj hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karangan Muhammad Fu’âd al-Bâqi.49. Dan dari penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang di teliti.

a. Penelitian Sanad Hadis Pertama

      

49

(45)

Berdasarkan penelitian di atas bahwa jelas matan hadis pertama, terdapat dalam kitab-kitab hadis di antaranya:

Al-Mu’jâm al-Kabîr

ﺎ ﱠﺪﺣ

ﻮ أ

أ

ﺎﻟﻮ ﻟا

ﺪﱠ ﻣ

هاﺮ إ

ءﺎ ﻌﻟا

ﻟا

ﺎ ﺳإ

شﺎ

ﷲا

ﺪﱠ ﻣ

ﺮﻘﻟا

أ

ﺮ آ

ﺪ ﻌﺳ

ﷲا

يدوﺄﻟا

لﺎ

:

تﺪﻬ

ﻮ أ

ﺔﻣﺎﻣأ

ﻮهو

عﺰﱠﻟا

لﺎﻘ

:

اذإ

اﻮﻌ ﺎ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

ﱠنأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

و

ﱠﺳ

لﺎﻘ

:

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

:

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

:

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣر

ﷲا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

:

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﷲا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﷲﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً ﱠ

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﱠنﺈ

اﺮﻜ ﻣ

اﺮ ﻜ و

ﺬ ﺄ

ﺪﺣاو

ﺎ ﻬ ﻣ

ﺣﺎ

لﻮﻘ و

:

ا

ﺎﻣ

ﺪﻌﻘ

ﻘﻟ

ﱠ ﺣ

نﻮﻜ

ﷲا

ﺎ ﻬ ود

لﺎﻘ

ر

:

لﻮﺳر

ﷲا

ﱠنﺈ

فﺮﻌ

ﻣأ

لﺎ

:

ﻰﻟإ

ءاﱠﻮﺣ

نﺎ

ءاﱠﻮﺣ

50

)

ﻌ ﻟا

ﺮ ﻜﻟا

:

اﺮ ﻟا

(

“Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan naza’ ( menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak

      

50

(46)

mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah rida bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr)51]

Al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj

ﺪﺣ

ﱠأ

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

نﺎآ

اذإ

غﺮ

د

ﻟا

و

لﺎ و

"

اوﺮ ﺳا

ﻜ ﺄﻟ

اﻮﻟﺄﺳاو

ﻟا

ﱠﺈ

ن ﻟا

لﺄ

"

ﻮ أ

دواد

آﺎ ﻟاو

راﱠﺰ ﻟاو

نﺎ

لﺎ

راﱠﺰ ﻟا

ﺎﻟ

ىوﺮ

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

ﺎﱠﻟإ

اﺬه

ﻮﻟا

3

.

ﻟﻮ

و

نأ

ﱠﻘ

ﻟا

ﺪﻌ

ﱠﺪﻟا

لﺎﻘ

ﱠﻟا

ا

ﺔﻣأ

ﱠﻟا

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

نأ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﱠﻟا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﱠنأو

ﺔﱠ ﻟا

ﱞ ﺣ

ﱠنأو

رﺎﱠﻟا

ﱞ ﺣ

ﱠنأو

ﻌ ﻟا

ﱞ ﺣ

ﱠنأو

ﺔ ﺎﱠ ﻟا

ﺎﻟ

ر

ﺎﻬ

نأو

ﷲا

رﻮ ﻘﻟا

ﻚﱠأو

ر

ﱠﻟﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

ﺪﱠ

و

ﺎً

ن ﺮﻘﻟﺎ و

ﺎﻣﺎﻣإ

ﺔ ﻌﻜﻟﺎ و

ﻣﺆ ﻟﺎ و

ﺎ اﻮ إ

درو

ﺮ ﻟا

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

اﺮ ﱠ ﻟا

أ

ﺔﻣﺎﻣأ

"

اذإ

ﺎ أ

اﻮﻌ

ﺎ آ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

نأ

ﺎ ﺎ ﻮ

ﺎ ﺮﻣأ

لﻮﺳر

ﱠﻟا

ﻰﱠ

ﱠﻟا

ﱠﺳو

لﺎﻘ

"

اذإ

تﺎﻣ

ﺪﺣأ

ﻜ اﻮ إ

ﱠﻮ

باﺮ ﻟا

آﺪﺣأ

سأر

ﻘ ﻟ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

ﺎﻟو

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

يﻮ

اﺪ ﺎ

لﻮﻘ

نﺎ

ﺔ ﺎ

ﱠﺈ

لﻮﻘ

ﺎ ﺪ رأ

ﻚ ﺣﺮ

ﱠﻟا

ﻜﻟو

ﺎﻟ

نوﺮﻌ

ﺮآذا

ﺎﻣ

ﺎ ﺪﻟا

ةدﺎﻬ

نأ

ﺎﻟ

ﻟإ

ﺎﱠﻟإ

ﱠﻟا

ﱠنأو

اﺪﱠ ﻣ

ﻟﻮﺳرو

ﻚﱠأو

ر

ﱠﻟﺎ

ﺎًر

مﺎ ﺳﺈﻟﺎ و

ﺎ د

و

ﺪﱠ

       51
(47)
(48)

b. I’tibar Sanad

Kata al-i’tibar (رﺎ ا) merupakan masdar dari kata (ﺮ ا)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi didalam hukum Islam sebagian besar ulama mempersamakan dengan Al- Ghulul yaitu mengambil sesuatu dari harta rampasan

Dalam kitab-kitab fiqh standart kaum Aswaja, semua pendapat mereka akan dianggap sebagai pendapat pribadi, misal ”berdasar pendapat ulama mazhab syafi’i”, atau ”berdasar

Para ulama telah sepakat bolehnya berkurban semua hewan ternak (bekaki empat)dan mereka berbeda pendapat tentang manakah yang afdhal 43. 1) Imam Malik berpendapat bahwa

Hasyim Asy‟ari adalah seorang ulama besar pada zamannya, dan beliau adalah seorang ulama yang sangat gigih dalam menekankan arti pentingnya bertaqlid kepada imam

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet.. a) Suami tersebut seorang yang memungkinkan dapat member keturunan, yang menurut kesepakatan ulama fikih adalah seorang

Seharusnya hadis itu disandarkan kepada pendeta bernama Ka‘b al-’Akhba>r (pendeta Yahudi yang masuk Islam di masa kekhalifahan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b) bukan kepada Nabi

JURUSAN ILMU AL- QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

Melihat pentingnya kedudukan ilmu dalam islam, seorang ulama besar bernama imam syafi’i telah mengingatkan para pencari ilmu agar senantiasa memiliki dasar dan landasan hujjah dalam