• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan hukum jinayat di aceh dalam perspektif fiqh dan ham : studi qanun nomor 12, 13, dan 14 tahun 2003

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan hukum jinayat di aceh dalam perspektif fiqh dan ham : studi qanun nomor 12, 13, dan 14 tahun 2003"

Copied!
379
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN HAM

STUDI QANUN NOMOR 12, 13, DAN 14 TAHUN 2003.

MUHAMMAD YANI

JAKARTA

(2)

Editor: Prof. Dr. H. Mohammad Atho Mudzhar, MSPD. Hak Cipta pada: Pengarang

Hak penerbitan pada: Isdar Press Cover/Lay Out: Abbas

Penerbit: Isdar Press

Jl. SD Inpres No. 11 Pisangan Barat

Ciputat Tangerang Selatan Banten 15419 Telp. 0217417687 Cetakan ke- 1: November 2011

ISBN: 978-602-19419-0-4

Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh dalam perespektif Fiqh dan HAM: studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003.

(3)

i

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

ARAB LATIN ARAB LATIN

ء ` (apostrof) ط t}

ب b ظ Z}

ت t ع ‘ (petik satu)

ث th غ gh

ج J ف f

ح h} ق q

خ kh ك k

د d ل l

ذ dh م m

ر r ن n

ز z و w

س s ه h

ش sh ي y

ص s} ة h (waqaf)

ض d} لا Al-(ta’ri>f)

Untuk Tanda Panjang

Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎــ ā a dengan garis di atas

ﻲــ ī i dengan garis di atas

ﻮــ ū u dengan garis di atas

Shaddah (Tashdīd)

(4)

ii

sandang yang diikuti oleh huruf shamsi>yah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak

(5)

iii

Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jina>ya>t di Aceh dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003.

Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang khamar, maisir, dan khalwāt di Aceh telah berlangsung secara realistis sebagaimana yang diqanunkan. Frekwensi pelaksanaannya dapat dilihat pada data statistik perkara Jinayat dan dokumen-dokumen eksekusi (‘uqu>ba>t) terhadap pelaku pelanggaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi Qanun dan hukuman (h}add dan ta‘zi>r ) yang terkandung di

dalamnya kerab mempertimbangkan aspek Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun implementasi Qanun Jinayat dilatarbelakangi Qanun-qanun sebelumnya seperti: Qanun Prov. NAD No. 1 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam; Qanun Prov. NAD No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, keseluruhan hukum Jinayat belum terimplementasikan sebagaimana tuntutan Fiqh Jinayah secara ideal, karena sejumlah pakar menilai bahwa bila hukum Islam ditegakkan scara total, akan bertentangan dengan HAM (global).

Dalam perkara Fiqh, studi ini membantah pandangan Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip Rusjdi Ali Muhammad di dalam Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi, dan Implementasi, 2003 yang mengatakan Wilayah Hisbah (polisi syariat) berhak menjatuhkan hukuman ta‘zir bagi pelaku jinayat. Persepsi ini bertentangan dengan kaidah fiqhiyah yang popular, yakni penerapan hukuman mesti dilakukan oleh qad}i/‘umara’.

Dalam perkara HAM, studi ini membantah Iben (dari Komnas HAM RI). Menurutnya Qanun Jinayat Aceh tersebut bertentangan dengan HAM pasca peratifikasian ICCPR ke dalam UU No. 12 tahun 2005. Iben hanya melakukan tinjauan pada aspek HAM universal, tidak meninjau konsep-konsep HAM menurut dunia Islam yang menyatakan hukum jinayat tidak melanggar HAM. Pendapatnya ini juga berlawanan dengan Mahkamah Agung RI yang telah menyatakan kebolehan kepada Qanun-qanun tersebut untuk diaplikasikan di Aceh.

Melihat aspek historis peradilan Syariat Islam di Aceh, studi ini sesuai dengan pandangan Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter:the Experience of Indonesia (Canada: MacGill: 1997); Ratno dalam karyanya itu telah menyinggung tentang implementasi Hukum Jinayat di Aceh pra-Penjajahan (pre-colonialism), yang demikian juga halnya yang disinggung di dalam studi ini.

(6)

iv

2002.

Studi ini juga mendukung karya Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di NAD: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008). Alyasa‘ mengatakan bahwa “Qanun jinayat Aceh” yang membahas tindak pidana khamar, judi, dan khalwah tersebut telah melakukan tinjauan ke fiqh Islam, dan telah melakukan penyesuaian dengan Hukum Perundang-undangan Nasional RI—tanpa mengabaikan HAM.

(7)

v

Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jinayat Aceh dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 (Jina>ya>t Law application in Aceh in the Fiqh Perspective of and the Human Rights: Study of Qanuns Number 12, 13, and 14 of the year 2003).

This Research proves that most of application of Jinayat (Islamic Penal Law) in Aceh have been in accordance with the Qanun’s guidance applied pursuant to the chance given by Special Autonomy Law for Aceh.

It appeared at some data related to the Jina>ya>t cases appeared as ta‘zi>r

punishments (‘uqu>ba>t) for criminals. The facts showed that ta‘zi>r (discretionary

punishments) really considered the human rights aspects. Flogging punishments carried out by Qanun Number 12, 13 , and 14 of the year 2003, each of those exposed about khamar (drinking wine), gambling (maysir), and khalwat

(improper relation between the sexes). The reality has shown that the ‘uqu>ba>t (punishments) of jinayat law apart from these three, haven’t been implemented yet in accordance with Fiqh conceptual. The main bars of these were universality and complexity–about which were scholars’ understanding—of Fiqh and Human Rights concepts.

This research refused the view of Nurcholis Majid’s from whom Rusjdi Ali Muhammad wrote in Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi (Banda Aceh: AR-Raniry Press, 2003 (Revitalization of Islamic Shari‘a in Aceh: Problem, Solution, and Implementation (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2003). He said that Islamic Police (Wilayatul Hisbah) had authorities to judge ta‘zi>r punishments towards offenders (in implementation Jinayat Law of Qanuns). It was contradictive to popular rules of Fiqh Pattern Concepts (Qa>idah fiqhi>yah), that the judgement of condomination (ta‘zi>r) must be carried out by

Qa>d>i represented the leader/government. Further, this study refuses the views of Iben who said that Islamic Penal Law of Aceh was contradictive to Human Rights after ratification of some Interrnational Human Rights Covenants into Indonesian Laws related to Human Rights.

On the contrary to what have been mentioned, this study supported the views of Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of

Indonesia (Canada: McGill University, 1997. Ratno said that Islamic Law in Indonesia has begun since the periode of pre-colonialization.

This study also supported the views of Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Governmental and Regional Discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” in R. Michael Feener and E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions (Massechussets: Harvard University Press, 2007). Nur Ikhwan said that Islamic Courts had been established to handle Islamic penal law aspects of Aceh’s Qanuns. He also said that manifestation of Qanuns related to Jinayat was the continuing of Islamic sharia application program since the 1st of Muharram 1423 H in accordance with 14 Maret 2002.

(8)

vi

Sharia in Aceh: as the afford of Islamic Jurisprudence Arranging in the Nation State, (Banda Aceh: Islamic Office, 2008). Alyasa‘ Abu Bakar in his exposition said that he had participated in arranging “the Qanun Jina>ya>t’’ conceptuals in Aceh, and they were not contraditive to Fiqh (Islamic Yurisprudence) and most of those contents paid attention to Human Rights Aspects and National Law.

(9)
(10)

viii

أﺮﺑ ﺎﻀﯾأ ﺚﺤﺒﻟاﺬھ ﻖﻓاوو

ﻮﺑأ ﻊﺴﯿﻟأ ي

،ﺮﻜﺑ

ﺔﯿﻣﻼﺳﻻا ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا ﻖﯿﺒﻄﺗ

ﮫﯿﺸﺗﺄﺑ

،

٢٠٠٨

.

ﺮﻤﺨﻟا ﻲﻓ ﺚﺤﺒﺗ ﻲﺘﻟا ﺔﯿﺸﺗﻷا ﺔﯿﺋﺎﻨﺠﻟا ﻦﯿﻧاﻮﻘﻟا نأ ﻊﺴﯿﻟأ لﺎﻗ

اﺪﻌﺑ ﺖﻣﺎﻗ ﺪﻗ ةﻮﻠﺨﻟاو ﺮﺴﯿﻤﻟاو

ﻲﻣﻼﺳﻻا ﮫﻘﻔﻟا ﻲﻟا ﺮﯿﻈﻨﺘﻟ

لﺎﻤھﻻا مﺪﻌﺑ

ﻲﺣاﻮﻨ

ﺔﯿﻨﻃﻮﻟا ﻦﯿﻧاﻮﻘﻟا و ﺔﯿﻨﻧﺎﺴﻧﻻا قﻮﻘﺤﻟا

ﺔﯾرﻮﮭﻤﺠﻟا

ا

ﺔﯿﺴﯿﻧوﺪﻧﻻ

.

ﺑ مﺎﯿﻘﻟا ﺐﻧﺎﺠﺑ

ﺎﻟ

ﺳارﺪ

تﺎ

ما ﺎﯿﺻﻮﺼﻧ ﺖﻧﺎﻛ ءاﻮﺳ ﺔﯿﻨﯿﻧاﻮﻘﻟا ﺔﯿﺗﺎﻗﺎﺜﯿﻤﻟا

،ﺔﯿﻘﯿﺒﻄﺗ

ﺚﺤﺒﻟا مﺎﻗ

ﺔﯿﺒﺘﻜﻤﻟا ﺔﺳارﺪﻟﺎﺑ

ﺔﻘﻠﻌﺘﻤﻟا ﺔﯿﻤﻠﻌﻟا ﺐﺘﻜﻟا ﻰﻠﻋ عﻼﻃﻻﺎﺑ

(11)

ix

Dengan berkat kerja keras dan kontinyu yang dibarengi dengan permohonan taufi>q dan‘ina>yah Allah SWT, penulis telah dapat menyusun sebuah

karya yang sederhana ini dengan judul “Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.”

Studi ini merupakan sebuah karya yang penulis pertahankan pada Sidang Promosi Magister di SPs (Sekolah Pascasarjana) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 April 2011. Penulisan karya ini merupakan salah satu syarat di antara syarat-syarat untuk dapat menyempurnakan studi di lembaga tersebut, sekaligus agar memperoleh gelar Magister Agama di bidang hukum/syariah (MA.Hk). Pasca sidang tersebut penulis dicatat sebagai Magister yang ke-1886 di instutusi tersebut.

Dalam perampungan studi ini, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, sebagai direktur SPs UIN Jakarta yang merangkap dosen; dan Prof. Dr. H. Mohamad Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan karya ini. Selain sebagai pembimbing, beliau juga merangkap sebagai dosen. Ucapan terima kasih juga kepada: Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabaly, MA, dan Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai tim pelaksana Work in Progress bagi penyempurnaan studi ini, yang merangkap sebagai dosen juga.

Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen yang menyajikan Mata Kuliah/Pelajaran di ruang perkuliahan, terutama para dosen yang menyajikan Mata Kuliah bidang Hukum, Politik dan Perubahan Sosial: Prof. Dr. Abdul Halim, MA, Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA; para dosen yang menyajikan Mata Kuliah Perbandingan Hukum Keluarga di Berbagai Negara Islam: Prof. Dr. Huzaimah Tahio Tanggo, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, dan Dr. Euis Nurlaelawati, MA; dan para dosen yang menyajikan Mata Kuliah Pendekatan Metodologi Studi Islam (PMSI): Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, Prof. Dr. A. Rodoni, MA, Prof. Dr. Ahmad Lutfi, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA, dan Dr. Muhaimin AG. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen yang menyajikan Mata Kuliah Islam dan HAM—Studi Perbandingan: Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA, dan Dr. Hendro Prasetiyo, MA.

Selanjutnya kepada kepala perpustakaan yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan pelayanan pada pencarian sumber-sumber literatur ilmiyah dan peminjaman buku-buku bacaan guna kelancaran penyusunan studi ini, dan kepada kawan-kawan /mahasiswa seperjuangan yang telah membantu dalam pemberitahuan kiat-kiat studi dan perkuliahan di Lembaga tersebut.

(12)

x

namun penulis mengharapkan kepada semua pihak agar dapat memberikan kritikan konstruktif sehingga Penelitian ini dapat berguna sebagaimana yang diharapkan.

Jakarta, 4 April 2011

(13)

xi

TRANSLITERASI i

KATA PENGANTAR iii ABSTRAK ix

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

BAB 1 : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Permasalahan 13

1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 13

2. Perumusan Masalah 15

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 15

D. Kajian Pustaka dan Penelitian Terdahulu 16

E. Signifikansi Penelitian 19

F. Metodologi 22

1. Jenis Penelitian 22

2. Instrumen Pengumpulan Data 23

3. Pengolahan dan Analisa Data 24

4. Bahan Penelitian 24

G. Sistimatika Penulisan 24

BAB 2 : PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAT DI ACEH 27

A. Kondisi Masyarakat Aceh 27

1. Aspek Sosio-Geografis-Historis 27

2. Aspek Sosio-Yuridis 32

B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh 41

1. Kebijakan Berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 43

2. Kebijakan Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 46

3. Kebijakan Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 49

C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 61

1. Hukum Jinayat Menurut Qanun 61

2. Rumusan Qanun 65

a. Qanun No. 12 Tahun 2003 66

b. Qanun No. 13 Tahun 2003 70

c. Qanun No. 14 Tahun 2003 75

BAB 3 : PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM PERSPEKTIF FIQH 79

A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 79

1. Ketentuan Uqubat (Punishment) Menurut Qanun 79

a. Waktu Pelaksanaan `Uqubat 82

b. Tempat Pelaksanaan 83

c. Izin Imam untuk Pelaksanaan 84

d. Teknik Pelaksanaan 85

(14)

xii

b. Tempat Pelaksanaan 95

c. Izin Imam untuk Pelaksanaan 95

3. Eksekusi Tindak Pidana Khamar di Aceh 96

B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003 100 1. Uqubat Judi Menurut Qanun 100

a. Waktu Pelaksanaan 102

b. Teknis Pelaksanaan 104

c. Tempat Eksekusi 105

2. Judi Menurut Fiqh 106

3. Eksekusi Tindak Pidana Judi di Aceh 110

C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 113

1. Uqubat Khalwat Menurut Qanun 113

a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan 114

b. Teknik Pelaksanaan 116

c. Izin Imam untuk Pelaksanaan 118

2. Uqubat Khalwat Menurut Fiqh 119

3. Eksekusi Pelaku Khalwat di Aceh 121

BAB 4 : PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM PERSPEKTIF HAM 127 A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 127

1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya 127

2. Tujuan Uqubat Khamar Menurut Qanun 129

3. Pandangan HAM Universal dan Substansi Qanun 131

a. Hukuman dalam Qanun Khamar dan ICCPR1966 140 b. Pandangan CEDAW dan CAT terhadap Uqubat 150 4. Pandangan HAM Islam 153

a. Pandangan CDHRI 1990 154

b. Pandangan DIUHR 1981 157

B.Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003 164

1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya 164

2. Uqubat Judi Menurut HAM Universal 165

3. Qanun Judi dalam Perspektif Konsep HAM Islam 167

a. Pandangan DIUHR 1981 167

b. Pandangan CDHRI 1990 169

C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 174

1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya 174

2. Khalwat Menurut HAM Universal 176

3. Pandangan CEDAW 180

4. Pandangan HAM Islam 185

BAB 5 : PENUTUP 199

A. Kesimpulan 199

(15)

xiii

DAFTAR INDEKS 211

(16)
[image:16.595.114.487.120.356.2]

xiv

Tabel 3.1. ……….80

Tabel 3.2. ……….91

Tabel 3.3………… ……….101

Tabel 3. 4. ………106

Tabel 3.5. ……….102

Tabel 3.6. ……….122

Table 3. 7 ……….123

Tabel 3.8 ……… ………..123

Tabel 4.1. ……….161

Tabel 4.2. ……….171

(17)

1

BAB

PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang Masalah

Konflik yang berlangsung lama antar pemerintah Pusat dan Aceh telah melahirkan beberapa peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut tidak hanya merupakan wujud dari resolusi konflik demi konflik di antara keduanya namun kerap melahirkan penyempurnaan pada tatanan hukum perundang-undangan nasional. Fenomena ini nampak pada pengesahan undang-undang pemberian hak otonomi bagi Aceh untuk mengatur “rumah tangganya” sendiri (self government), dalam berbagai aspek kehidupan.

Orde/masa pemerintahan yang ikut mempengaruhi nuansa politik dan hukum (perundang-undangan) di Indonesia adalah Orde Lama (1945-1966), Orde Baru (1966-1998) dan Orde Reformasi (1998-sekarang). Faktor esensial konflik yang terjadi antara Pusat dan Aceh pada Orde Lama adalah peleburan Aceh ke dalam bagian provinsi Sumatra Utara, yang berubah dari apa yang dijanjikan pemerintah Orde Lama untuk memberikan otonomi bagi Aceh untuk mengatur diri sesuai dengan sosio-kultural masyarakatnya pasca kemerdekaan, terutama menyangkut dengan penerapan syariat Islam. Telah terjadi negosiasi politik antara tokoh-tokoh Aceh dengan pemerintah Pusat. Presiden Sukarno (1945-1966) berjanji akan memberikan hak otonom bagi Aceh, termasuk mendirikan Mahkamah Syariyah jika Aceh mendukung kedaulatan Indonesia. Dikatakan Syed Serajul Islam bahwa Provinsi Aceh lahir setelah adanya gejolak social (Darul Islam) yang disebabkan oleh pengingkaran janji Sukarno terhadap tokoh-tokoh Aceh. Sukarno membagikan pulau Sumatra menjadi tiga bagian: Pertama, Sumatra Utara, yang termasuk Aceh; kedua, Tapanuli; dan ketiga Sumatra Timur. Kebijakan ini telah mengurangi hak otonom bagi Aceh sekaligus pengingkaran terhadap janji sebelumnya.1

1

(18)

Peleburan—yang mengakibatkan timbulnya gerakan Dār al-Islām (DI) Aceh tahun 1953-1954 yang digerakkan Daud Beureueh itu membawa dampak pada pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara.2 Dengan perkataan lain, akhirnya, pergolakan yang yang bercampur dengan gerakan NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo dapat dipadamkan pemerintah Pusat dengan pembentukan provinsi Aceh dan pengesahan hak otonomi.3

Pada masa Orde Baru pimpinan Suharto (1966-1998), Hak Otonomi untuk Aceh dari Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1956 itu tidak direalisasikan, bahkan pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah yang mengakibatkan penghapusan sejumlah hak dan wewenang pimpinan adat di Aceh. Kebijakan pemerintah Pusat seperti ini memunculkan gejolak lagi yang berupa gerakan pemisahan diri dari Indonesia yang dipimpin Hasan Tiro tahun 1976 yang memakan waktu 30 tahun. Pemerintahan Suharto dengan mengeluarkan Undang-undang tersebut telah mengakibatkan penghapusan wilayah mukim (kekuasaan adat) yang telah tegak dalam wilayah Aceh sebelumnya di samping mengubah sebutan “gampong”

… That declaration came as a serious disappointment to Acehnese; it was considered a betrayal to preindependence pledges by Sukarno to PUSA leaders. That was the begining of Acehnese nationalism.” (“Para pemimpin nasionalis Indonesia memberikan pengakuan sementara pada pengontrolan de facto PUSA dan bahkan mengakui pendirian Mahkamah Shariyah baru. Sukarno sebagai pemimpin nasionalis, telah menjumpai Daud Beureueh pada Juni 1948 di Aceh dan telah menjanjikan bahwa Aceh akan menjadi sebuah provinsi Islam jika mau mendukung Indonesia. … Pernyataan (janji) itu menjelma dalam (bentuk) pengingkaran serius terhadap rakyat Aceh; Pengingkaran itu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap sumpah-sumpah yang diucapkan Sukarno di hadapan tokoh-tokoh PUSA sebelum kemerdekaan. Pengingkaran itu juga menjadi permulaan bagi nasionalisme rakyat Aceh”). Lihat Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in South East Asia (Mexico: Thomson, 2005), 58 dan 60. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009), 66.

2

Repulik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103).

3

(19)

dengan “desa” dan “kelurahan” sebagai teritorial administratif paling bawah.

Pasca kejatuhan Suharto sejak 21 Mei 1998 muncul Orde Reformasi di Indonesia. Dalam penyelesaian konflik Aceh, pemerintah Pusat melakukan banyak melakukan upaya penyelesaian konflik (perang saudara antara pemerintah RI dan GAM), namun tidak menemukan solusi. Hasil dari berbagai negosiasi, pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,4 yang ditanda tangani presiden B. J. Habibie (1998-1999); dan UU No. 18 Tahun 2001 bagi Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004).

Akhirnya seiring dengan bencana alam tsunami tahun pada 26 Desember 2004—yang menelan 200.000,- jiwa lebih, muncul inisiatif baru untuk menyelesaikan konflik Aceh, yakni melalui negosiasi di meja perundingan sehingga menghasilkan perjanjian damai (yang bersifat internasional) antara pemerintah Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (Freedom AcehMovement) pada tanggal 15 Agustus 2005. Perjanjian itu dipimpin Marty Ahtisaari di Helsinki, Finlandia. Dampak dari perjanjian damai tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU itu ditanda tangani presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang sedang berlaku hingga saat sekarang ini.5

UU yang disahkan tahun 2006 ini menunjukkan kewenangan pemerintah Aceh6 menjadi bertambah dalam menjalankan roda

4

Lihat Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1974. Lihat juga Republik Indonesia UU No. 44 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893).

5

Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden yang keenam (2004-sekarang). Sebelumnya, yang pertama Sukarno (1959-1966); kedua Suharto (1966-1998); ketiga

B. J. Habibie (1998-1999); keempat Gus Dur (1999-2001); dan kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Lihat Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen. Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah (Canada: Routledge, 2008), 144.

(20)

pemerintahan, terutama dalam merealisasikan perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk Jinayat). Hal ini terlihat bahwa berbagai qanun (syari‘at) yang sebelumnya masih bersifat kurang asosiatif, seperti Qanun-qanun turunan UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 44 Tahun 1999, telah nampak pada realita-aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Keppres RI No. 11 Tahun 2003 yang menuntun Mahkamah Syariyah juga dapat dilihat telah menemukaan porsi yudisial dalam merealisasikan Hukum Jinayat dan lainnya.

Sebelum UU No. 11 Tahun 2006, UU No. 18 Tahun 2001 Bab XII Pasal 25 Ayat 2 telah memuat adanya hak otonomi khusus7 bagi Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Tepatnya pada Ayat 3 dari UU No. 18 Tahun 2001 dikatakan adanya pemberian wewenang kepada legislatif dan eksekutif Aceh untuk membuat qanun (bylaw). Mengingat UU ini, pemerintah NAD merealisasikan Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan yang sejenisnya, Qanun No. 13 tentang judi (maisir), dan Qanun No. 14 tentang khalwat.8 Pelaku pelanggaran terhadap ketiga Qanun ini ditetapkan ketentuan hukum (h}add/ta‘zīr) pencambukan di muka publik dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam qanun. Fenomena ini tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan dan Undang-undang Ketatanegaraaan Indonesia, terutama pasca pengamandemenan UUD 1945 sebanyak empat kali.

Sekarang, Aceh dan pemerintahannya berpijak pada UU No. 11 Tahun 2006. Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 UU tersebut menyatakan Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

7 Penjelasan tentang Otonomi Khusus telah menemukan hasil analisis dari Dinas Syariaat Islam NAD periode 2003-2008. Alyasa’ mengatakan bahwa Qanun (yang biasanya sederajat dengan Perda) telah berubah statusnya menjadi setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang bisa menyingkirkan Perpres dan Perda. Lihat Alyasa’ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD 2008), 34.

8

(21)

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Di dalam Ayat 4 Pasal tersebut juga diakatakan, Pemerintah Aceh adalah pemerintah daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Aceh dan DPR Daerah Aceh sesuai fungsi dan kewenangan masing-masing.9

Setelah kurun masa 6 figur kepresidenan, hanya K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden RI ke-4 yang mampu mencetuskan hak Otonomi untuk pelaksanaan syariat di Aceh tahun 1999.10 Gus Dur sendiri juga ikut terlibat dalam memberikan pendapat tentang Syariat Islam Aceh. Gus Dur berpendapat dalam diskursus hukum Islam, kerab mengkritisi pemahaman tentang hukum Islam menurut zahir nas}s} semata. Gagasannya tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh-Indonesia telah banyak dicetuskan. Beliau, misalnya, mengatakan maksud dari qis}a>s} (dari ayat al-Qur’a>n tentang Hukum Jināyāt): jiwa (dibalas) dengan jiwa dan mata dengan mata (dalam nas}s}) adalah untuk pencegahan. Maka penafsiran h}add potong tangan bagi tindak pidana pencurian agar tidak diberi makna secara zahiriyah ayat. Namun yang penting ada dua prinsip yaitu menghukum dan mencegah (punishment and preventiont).11

Pandangan Gus Dur ini juga didukung Iman Ghazali Said yang memaknai al-qat}’u (memotong) dengan al-man’u (mencegah).12

Meskipun ketiga UU, yakni UU No. 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006

9

Republik Indonesia, UU No. 11 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 dan Ayat 4.

10

Pandangan ini dicetuskan Gus Dur di Mesjid Baiturrahman B. Aceh pada tahun 2000.

11

K. H. Abdurrahman, Misteri Kata-kata, 34. Lihat juga Sukron Kamil, dkk.,

Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 91.

12

(22)

pernah disahkan, paradigma perdebatan hukum di Indonesia yang menyangkut dengan Aceh belum sampai ke titik terminasi. Masyarakat masih menghadapi diskursus (perdebatan) hukum dalam realita kehidupan sehari-hari. Perkembangan opini tentang Hukum Jinayat terus bergulir. Namun sebagaimana dikatakan Alyasa‘ Abu Bakar bahwa pemerintah Aceh berusaha ingin menjadikan ketiga qanun—tentang khamar, judi dan khalwat—untuk menjadi sebuah Kompilasi Hukum Jinayat Aceh (KHJA) yang netral—dalam menemukan titik kesesuaian— di antara Jināyāt Fiqhiyah dan HAM.13 Hal ini nampak pada realita materil dari “Qanun Jinayat” yang disahkan tersebut. Sedangkan Rancangan Qanun (jinayat “rajam”) yang datang belakangan—yang diajukan DPRA periode 2004-2009—, tidak disahkan Gubernur Aceh, karena kandunan materi hukuman rajam bagi penzina muh}s}an masih memiliki kontradiksi yang tajam dengan Deklarasi HAM Universal dan sejumlah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.14

Seiiring dengan perdebatan itu, suara perjuangan penegakan HAM ikut bergema pasca kejatuhan kepala pemerintahan rezim Orde Baru (Orba), Suharto 1998, dan pasca konflik Aceh reda. Perbincangan juga menyangkut dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh oleh aparat RI tidak dapat diungkapkan pada saat konflik Aceh berlangsung. Konflik Aceh pada masa Orba bersifat domestik dan terisolasi/jauh dari pantauan dunia luar di dalam system pemerintahan ototiter. Dengan muncul presiden B.J. Habibie melanjutkan “tongkat estafet” kepemimpinan presiden Suharto, jantung demokrasi rakyat mulai terbuka dan berbagai undang-undang yang menyangkut dengan HAM disahkan. B. J. Habibie mengeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang mengokohkan Komnas HAM yan disahkan berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 199815 di Indonesia yang berlaku sampai saat sekarang ini.16

13

Alyasa‘Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2008), 106-168.

14www.mahkamahsyariyahaceh.go.id diakses 1 Mei 2010. 15

(23)

berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.

16

Menanggapi hukuman h}add/Jina>yat kontemporer di Aceh dapat melanggar HAM, Hasanuddin Yusuf Adan mengatakan bahwa Hak Azasi Manusia (HAM) yang dalam yang dalam bahasa Inggeris disebut Human Rights akhir-akhir ini sudah dijadikan raja oleh sebahagian manusia di dunia raya ini. Padahal ia tidak lebih dari sebuah aturan yang disusun oleh manusia yang diciptakan Allah dan memiliki banyak kelemahan. Sementara Hukuman cambuk merupakan komponen resmi dan penting dari Hukum Jinayah (Pidana Islam) yang elemen-elemennya langsung datang dari Allah selaku pencipta lebih ditinggalkan dari pada para penyusun HAM.

Menurutnya, memang selama ini di Aceh banyak orang yang menantang pelaksanaan hukuman cambuk sebagai salah satu dimensi dari Hukum Islam. Alasan mereka selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Mencambuk orang yang melanggar syari’at Islam adalah melanggar HAM, paling tidak demikianlah ucapan gamblang mereka. Tetapi mereka tidak pernah menguraikan bagaimana tata cara pelaksanaan Hukum Islam yang penuh kemuslihatan itu. Mereka tidak pernah mengkajinya dengan kajian ilmiah dan objektif, yang ada adalah pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan HAM itu sendiri baik yang tertera dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights), yang salah satu instrumennya adalah Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan ke dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.

Dengan gambaran seperti di atas, maka tidak dapat dengan serta merta seseorang itu menyimpulkan bahwa Hukuman Cambuk melanggar HAM. Apa lagi kalau kebanyakan yang mengatakan demikian sudah menjadi agen pihak tertentu yang menutup mata terhadap kemuslihatan Hukum Islam dan keadilan hukuman cambuk. Dari segi usia antara HAM atau DUHAM dengan hukuman cambuk jauh sekali lebih tua hukuman cambuk, HAM itu muncul lebih kurang 600 tahun setelah lahirnya Hukuman Cambuk. Dari segi pencipta juga tidak dapat disetarakan sama sekali karena hukuman cambuk milik dan ciptaan Allah sementara HAM buatan manusia yang manusia itu sendiri diciptakan, dihidupkan, dinafkahi, disejahterakan dan diberikan rezeki oleh Allah SWT. Toh karena mengikuti perkembangan HAM di Eropa, yang berasal dari dokumen Magna Charta 1512.

Hukuman cambuk itu dilaksanakan dalam pidana Islam sebagai balasan bagi pelanggar Hukum Allah dengan tujuan untuk menjerakan pelanggar syari’ah dan memberi pelajaran kepada orang lain yang belum melanggarnya agar mereka tunduk dan patuh kepada Allah sang Khaliq dan Maha Raja dari segala raja-raja yang ada. Artinya, itu merupakan salah satu hukum atau undang-undang atau peraturan baku yang positif, objektif dan logis bagi seluruh ummat manusia yang berpikir waras dan baik.

(24)

Hak demokrasi rakyat juga dibuka lebar bagi dunia. Bahkan isu (penyuaraan) tentang HAM lebih bergema ketika qanun yang menyangkut jinayat (terutama hukuman pencambukan) diterapkan di Aceh sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini.

Memang sejak zamam Yunani kuno Hak Asasi Manusia telah muncul dan diterjemahkan sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik yang menuntut setiap individu menjunjung tinggi nilai hak tersebut tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Seorang Folosof Yunani, Aristoteles telah menulis tentang hak-hak dari warga Negara secara luas untuk memiliki dan berpartisipasi dalam urusan public (ancient philosophers such as Aristoteles wrote extensively on the rights of citizens to property and participation in public affairs).”17

Menyangkut HAM, selain menggalang kerjasama bangsa-bangsa global (United Nations), secara regional, Indonesia bersama dengan Negara-negara tetangganya juga telah menyepakati beberapa kesepakatan internasional, sebagaimana dikatakan dalam sebuah dokumen tentang HAM:

“Indonesia has, both by ASEAN and Islamic world standards, been diligent in accepting major human rights conventions over the past forty years. It has ratified 12 of the 16 main UN conventions, including the Universal Declaration on Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) and the International Covenant on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). It has also played a role in the UN General Assembly debates on the ICCPR and

17

“However, neither the Greeks nor the Romans had any concept of universal human rights; slavery, for instance, was justified both in ancient and modern times as a natural condition. Medieval charters of liberty such as the English Magna Carta were not charters of human rights, let alone general charters of rights: they instead constituted

a form of limited political and legal agreement.” Lihat

(25)

ICESCR as a member of the Third Committee and later had an individual representative on the final committee formulating both conventions. Indonesia has often been present at, though not a leading player in, the various initiatives to draft an Islamic-based human rights declaration or convention. Indonesia had representation at the 1990 meeting of Organization of the Islamic Conference (OIC) member foreign ministers which adopted the Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI).”18

Berdasarkan bunyi dokumen tersebut, Indonesia bersama Negara-negara OKI telah berperan serta dalam menyelesaikan persoalan Islam global menyangkut konsep hak asasi manusia. Konsep HAM yang dicetuskan OKI adalah berdasarkan Islam, yang dikenal dengan Deklarasi Kairo tentang hak-hak Asasi Manusia (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) Agustus 1990. CDHRI ini merupakan kesepakatan Negara-negara muslim untuk menyepakati keputusan bersama yang menyangkut dengan persoalan hukuman pidana (mati) atas

riddah (dan rajam) yang dikatakan melanggar hak asasi manusia oleh Pasal 18 UDHR 1948.19Menurut pihak ini DUHR 1948 masih bersifat relatif.

Pasal 25 CDHRI mengimplikasikan bahwa OKI mengakui pluralitas mazhab fiqh dalam dunia Islam. Hukum Islam dapat diterapkan menurut daya terima (receptive) masyarakat di kawasan-kawasan tertentu dari belahan bumi. Sejumlah mazhab hukum Islam seperti Sunni, Shi‘i>, Ja‘farī, Mu‘tazilī, H{ānāfī, Mālikī, Shāfi’ī, H{anbalī,

Wahabi>, Z{āhirī, Madhhabī, Non-Madhhab, Zuhailī, Islam Rasional (kelanjutan dari paham mu‘tazilah)20 dan lain-lain dapat diamalkan umat Islam sesuai situasi dan kondisi mereka. Bahkan OrganisasiIslam dunia ini juga ingin mewujudkan Islam menjadi suatu agama yang dapat membawa rahmat bagi sekalian alam, sehingga hukum Islam menjadi pedoman dalam kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat, berbangsa

18 Lihat http://www.UDHR/Human_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember 2010.

19Ann Elizabeth Mayer Islam, and Human Right, Tradition and Politics

(Colorado: Westview Press, 1999), 23. 20

(26)

dan bernegara di manapun mereka berada, tak terkecuali bagi umat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 21

Penerapan Hukum Islam di Aceh-Indonesia didukung oleh konstitusi negara (Undang-undang Dasar 1945). Di dalam Pasal 29 dikatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Kandungan Konstitusi juga telah ikut melatar belakangi sejumlah Undang-undang RI yang menyangkut Aceh seperti: UU No. 44 Tahun 1999, dan UU No. 18 Tahun 200. Pasca Mou Helsinki disahkan pula UU No.11 Tahun 2006. Fenomena ini menunjukkan bahwa konstituisi Negara RI ikut melatar belakangi pengesahan dan pelaksanaan Qanun Aceh tentang “jinayah.”

Di dalam Qanun Jinayat masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah (kejahatan) minuman khamar, judi, dan khalwat. Peran serta umat Islam tersebut bukan dalam bentuk “main hakim sendiri”, namun berdasarkan proses peradilan di Mhkamah. Jika tidak menoleh ke aspek HAM, uqubat cambuk yang diatur Qanun akan lebih efektif karena memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko serius bagi keluarga, jenis hukuman ini juga memadai biaya lebih murah yang ditanggung pemerintah dibandingkan jenis ‘uqubat lainnya, seperti penahanan, yang lebih banyak menghabiskan dana dalam proses penghukuman pelaku kejahatan. Urensi qanun jinayat juga merupakan salah satu upaya pemerintah Aceh untuk menghindari kevakuman hukum dalam kancah upaya merealisasikan hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan pidana. Lembaga Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah diberikan tugas dalam upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi (cambuk) dan pengawasan pelaku tindak pidana yang telah diqanunkan.22

Ketua Dewan Da‘wah Islam Indonesia wilayah Aceh, Hasanuddin menegaskan bahwa hukuman cambuk sama sekali tidak melanggar HAM dan tidak akan melanggar HAM kalau eksekutor menjalankannya mengikuti ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebaliknya, malah HAM itu sendiri yang selama ini menjajah hukum Islam khususnya hukuman cambuk. Pegiat HAM di seluruh penjuru dunia harus belajar Hukum Islam dan belajar rasionalisasi Hukum Islam

21

CDHRI 1990 Pasal 25.

22

(27)

agar tidak berprasangka jahat terhadap Hukum Allah ini. Jangan mengedepankan Hak Azasi Manusia hanya dalam batas-batas yang menguntungkan mereka saja dengan berupaya menghambat berjalannya Hukum Islam di negara dan wilayah mayoritas muslim seperti di Aceh. Itu tidak berhak sama sekali, semua manusia bebas beragama adalah salah satu ketentuan HAM, karena sudah bebas beragama maka bebas pula bagi mereka untuk menjalankan ketentuan agamanya.23 Hukuman ini merupakan salah satu ketentuan agama Islam yang wajib dilaksanakan oleh semua muslim di seluruh alam. Karenanya tidak berhak pihak lain dengan mengatasnamakan HAM menghambat, melarang dan mencemooh berlakunya kukuman cambuk di Aceh karena itu dibenarkan oleh ketentuan HAM dunia berkenaan dengan kebebasan beragama.24 Senada dengan Hasanuddin, Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel telah membuat penafsiran lebih moderat. Ia menegaskan bahwa orang muslim telah terikat dengan ketentuan Islamnya, maka hukum takli>fi> berlaku atasnya. Fenomena seperti ini menurutnya tidak dapat dikatakan melanggar HAM.25

Hukuman yang menjerakan pelaku tindak pidana terdapat pula oleh Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan “tindakan penyiksaan yang sudah menyebar luas atau secara sistematis dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang menyebabkan penderitaan atau terluka secara fisik maupun mental dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyiksaan didefinisikan sebagai tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan baik secara fisik maupun mental terhadap seseorang dalam tahanan atau seorang tersangka dalam hukum; terkecuali apabila merupakan bagian dari sanksi hukum dan tidak menyebabkan adanya penderitaan.”26

23

Pasal 18 ayat (1) UDHR 1948

24

Hasanuddin Yusuf Adan,Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM,” http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010).

25Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of the Misconceived Allegations Associated with this Rights, 2nd edition (Arab Saudi: HRH Prince Sultan Ibn ‘Abdul-Aziz al-Sa‘u>d, 1999) , 23.

26

(28)

Berbeda dengan pandangan tersebut, ada juga pandangan muslim

liberal yang tidak setuju dengan penghukuman h}add dalam Islam. Realita ini terlihat pada contoh yang diberikan SukronKamil dkk dalam

Syariat Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil , Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim bahwa terdapat pandangan

Fazlur Rahman, seorang cendekiawan neo-modernis yang hijrah dari Pakistan ke Amerika karena merasa tidak ada kebebasan akademik di negaranya. Menurutnya, hukum (h}add) potong tangan yang ditetapkan Pakistan merupakan sesuatu yang mengerikan dan merupakan tradisi (hukum) masyarakat Arab, yang tidak mesti diterapkan di luar Arab.27 Dengan perkataan lain baik Gus Dur, Sukron Kamil, ataupun Fazlur Rahman telah ikut mengintepretasikan hukum Islam jinayat menurut pandangan modern.

Selain itu, pelaksanaan Qanun Aceh mendapat pantauan pegiat HAM. Pihak Human Right Watch (HRW) melakukan penelitian menyangkut dengan adanya pelanggaran HAM pada realisasi Qanun Aceh. Setelah melakukan penelitian mulai bulan Mei-April 2010 di Aceh, HRW merekomendasikan kepada pihak terkait agar membatalkan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat, dan mengamandemen Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang busana muslimah. Wakil Direktur HRW Asia, Elaine Pearson mengatakan bahwa HRW pada dasarnya bersikap netral atas penerapan syariat di Aceh, dan mereka sebenarnya tidak punya posisi pada syariat kecuali bila bertentangan dengan HAM yang dilindungi Undang-undang dan berbagai konvensi (HAM) yang diratifikasi Indonesia.28

Berdasarkan uraian di atas studi ini ingin membahas tentang bagaimana pandangan fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum jinayat—yang sejak zaman dahulu didambakan masyarakat Aceh dalam konteks negara kebangsaan (baca: negara bangsa) yang berdasarkan Pancasila pada saat sekarang ini. 29Dengan pekataan lain, hukum jinayat

27

Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim, 91.

28

“Hukum dan Kriminalitas”, Gatra.Com, tanggal 9 Desember 2010, 1 dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-02-2011).

(29)

yang diberlakukan di Aceh sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 merupakan peluang otonomis semata, sehingga tidak bertentangan dengan ideologi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

30

B. Permasalahan

1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Studi ini mengkaji konsep dan ruang lingkup hak otonomi dan keistemewaan bagi Aceh yang menyangkut dengan penerapan syariat Islam yang telah disahkan oleh sejumlah Undang-undang, seperti UU No. 44 Tahun 2009, UU No. 18 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 2006, dan bahkan UUD 1945 (sebagai konstitisi Negara). Hak otonomi dan keistimewaan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah hak dalam penerapan hukum jinayat sebagaimana yang terdapat dalam QanunNo. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.

di>nukum waliadin di antara agama–agama yang beerbeda-beda tumbuh pada masa Nabi Saw. Dikatakan Norrahman dalam artikelnya “Copatibility between Pancasila and Sharia-based Islamic Teaching” yang dimuat oleh The Jakarta Post, tanggal 10 Januari 2010, 6, “ It is correct that when he migrated to Medina, Muhammad was trusted to become the leader of plural society consisting of many tribes and religions….In a state where Muslims have been given the freedom to conduct.” Di dalam “ List of Muslim Majority Countries” juga dinyatakan bahwa Indonesia adalah Non Religion State

(bukan Negara Agama). Lihat http//www. List_of_Muslim_majority_countries.htm (diakses tanggal 7 Desember 2010).

30

Pertentangan-pertentangan hukum Jinayat dengan hukum adat di Indonesia merupakan realita keniscayaan di dalam dunia hukum. Bahkan di antara hukum Islam itu sendiri juga kerap terjadi pertentangan karena perbedaan penafsiran dari sumbernya

(nas}). Terdapat banyak perbedaan metode analogi dan pemahaman masing-masing pakar Fiqh. Pengalaman historis-keindonesian menunjukkan adanya persoalan penerapan Hukum Pidana Islam (Jināyāt) yang melahirkan konflik antara golongan

madzhabi> dan non-madzhabi>. Golongan madhhabī kerab merujuk kitab fiqh imam madhhab (yang berisi al-ah}ka>m al-‘urufi>yah) dalam memutuskan perkara, sedangkan golojan non-madhhab tidak bermazhab) menarjih zahir nas} secara langsung dalam pemutusan perkara jinayat dan persoalan hukum lainnya. Belanda ketika menjajah Indonesia tempo dulu memanfaatkan kondisi untuk melakukan pendekatan konflik, dengan mengadu domba antara golongan adat (young people) dan golongan paderi/golongan ulama (old people) pada awal abad ke-18 M. Lihat Ratno Lukito,

(30)

Peluang penerepan hukum Islam di Aceh yang dipayungi sejumlah hukum perundang-undangan tersebut, membuat studi ini meninjau sejauh mana konsep Fiqh Islam dan HAM yang telah direalisasikan dalam pelakasanaan Qanun-qanun tersebut, terutama dalam penanganan kasus tindak pidana dengan hukuman (‘uqu>ba>t) pencambukan.

Pandangan Fiqh terhadap pelaksanan Qanun-qanun tersebut didasarkan pada pendapat sejumlah imam mazhab Fiqh yang berkembang dalam Islam. Sedankan pandangan hukum HAM akan dinilai dengan sejumlah pasal UDHR dan kesepakatan (covenants)

HAM dunia, termasuk yang sudah diratifikasi (disahkan) untuk menjadi Hukum Perundang-undangan RI seperti UU No. 68 Tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (CPRW); UU No. 7 Tahun 1984 sebagai tindak lanjut dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); UU No. 5 Tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Toture Convention); dan instrument HAM lainnya yang terkait yang telah diratifikasi Indonesia.

Studi ini mengidentifikasikan masalah-maslah bagaimana Qanun Aceh tersebut mempertimbangkan dampak dari keseluruhan konvensi HAM tersebut pada penerapan Hukum Jināyāt/penghukuman cambuk di Aceh. Studi ini juga menyinggung alternatif kebijakan yang ditempuh konsep HAM Islam (CDHRI dan UIDHR) yang dapat menghubungkan antara hukum jinayat dengan pandangan peratifikasian UU dari kovenan-kovenan HAM tersebut, mengingat hukum jinayat bersumber dari hukum (agama) Islam. Dengan perkataan lain, sejumlah instrument HAM tersebut bersama dengan factor-faktor terkait, akan menjadi suatu bahan analisa bagi studi ini.

Jadi, studi ini hanya membatasi permasalahan pada pelaksanaan syariat Islam (jināyāt) di Aceh priode Pemerintahan Aceh kontemporer yang menyangkut dengan:

(31)

Islam/Hukum Jināyāt.31 Penelitian juga menganalisa dampak hukum perundang-undangan tersebut terhadap pengesahan Qānūn No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwāt—yang kerab dikenal dengan Qanun “Jinayat.”

b. Realitas perspektif Fiqh Islam dan HAM terhadap pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya, Qānūn No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwāt

c. Konsep-konsep HAM yang berkembang, yakni: UDHR 1948, ICCPR 1966, CAT 1984, CEDAW 1979, UIDHR 1981, CDHR 1990 dalam proses pengimplementasian Hukum Jināyātdi Aceh.

2. Perumusan Masalah

Banyak persoalan yang dihadapi Qanun Aceh yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam. Tidak semua persoalan tersebut dapat dijawab dalam penelitian ini. Studi ini dilakukan hanya dalam rangka menjawab dua pertanyaan, yaitu: Pertama, bagaimana pelaksanaan hukum Jinayat di Aceh menurut perspektif Fiqh Islam dan HAM ?Kedua,

sejauh mana peluang hak otonomi bagi Aceh dalam penerapan Hukum Jinayat selama pemerintahan Aceh kontemporer?32Kedua pertanyaan ini diberi jawaban berdasarkan pelaksanaan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.

C. Tujuan Penelitian

31

Analogi dari term al-Fiqh al-Islāmī menjadi term Hukum Islam, sebagaimana dipaparkan Abd. Shomad, maka dari al-fqh al-jināī—menurut penelitian ini—juga dapat dijabarkan menjadi term “hukum jinayat” dalam tema besar Penelitian ini. Mukri Ali, dengan mengutip Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Indonesia, mengatakan bahwa kata “hukum” berasal dari kata Arab al-h}ukm berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Secara bahasa al-h}ukm berarti juga mempunyai pengertian al-qad}a>’ (ketetepan) dan al-māni‘ (pencegahan). Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 25. Lihat juga Mukhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 51.

32

Kontemporer artinya: sezaman, semasa; bersamaan waktu; di waktu yang sama; masa kini dan dewasa ini. Lihat Badu Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia

(32)

Adapun tujuan penelitian ini adalah sbb:

1. Untuk menguraikan bagaimana perspektif Fiqh dan DUHAM terhadap Hukum Jinayat Aceh.

2. Untuk menguraikan mengapa Hukum Jinayat diterapkan di Aceh.33

3. Untuk menjelaskan dampak sosio-legal-historis terhadap pelaksanaan hukum jinayat di Aceh pada zaman kontemporer.

D. Kajian kepustakaan dan penelitian terdahulu yang relevan

Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan dengan studi ini, antara lain:

1. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Kanada: McGill University, 1997).

2. Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 3rd Edition (Colorado: Westview, 1999).

3. Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,” dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju

33Tujuan Hukum Islam menurut shara‘, telah disinggung ‘Abdu al-Qa>dir ‘U<dah dalam al-Tashri>’ al-Jinā’i, al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānu>n al-Wad}’ī,

115,yaitu:

"

ﻦﯿﺤﻟﺎﺼﻟاداﺮﻓﻸﻟ ﻖﻠﺧﻮھءﻰﺷ ﻞﻛ ﻞﺒﻓ ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا ﻦﻣ دﻮﺼﻘﻤﻟا ﺎﻤﻧاو

ﻟوﺪﻟادﺎﺠﯾاو ،ﺔﺤﻟﺎﺼﻟاﺔﻋﺎﻤﺠﻟاو

ﻰﻟﺎﺜﻤﻟا ﻢﻟﺎﻌﻟاو ،ﺔﯿﻟﺎﺜﻤﻟا ﺔ

٠٠٠

تﺄﺗ ﻢﻟو

مﻮﻘﻟ ﻢﻘﺗ وا ،ﺔﻋﺎﻤﺟ نود ﺔﻋﺎﻤﺠﻟ ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا

ﺔﻟود نود ﺔﻟوﺪﻟ وا ،مﻮﻗ نود

ﺔﻓﺎﻛ سﺎﻨﻠﻟ تءﺎﺟ ﺎﻤﻧا و ،

"

٠

(33)

Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, Cet. 1 (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000).

4. Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah (London: Routledge, 2005).

5. R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution (Massechusset: Harvard university Press, 2007).

6. Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2008).

7. Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam System Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009). Karya pertama, Ratno Lukito menulis bahwa pertemuan antara

hukum adat (customary law) dan hukum Islam di Indonesia telah terjadi sebelum dan sesudah Indonesia merdeka 1945. Dalam karyanya itu, Ratno telah membuat pembahasan historis yang mendiskrepsikan proses dan prosedur peradilan (jinayah) pada Mahkamah Syariyah Aceh.

Karya kedua, Mayer membahas tentang UDHR 1948, dan efeknya terhadap UIDHR 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) 1990 yang menjadi pelengkap (complement) bagi penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran Hak-hak asasi manusia menurut konsep Negara-negara Islam dan Umat Islam. Ia juga mengutarakan hukuman jina>ya>t (h}udu>d)dan hubungannya dengan HAM. Karya ketiga, Rusjdi Ali Muhammad dalam karyanya telah mampu menghimpun sejumlah artikel dari penulis-penulis Indonesia dalam mendukung karyanya yang menyangkut dengan implementsi syariat Islam di Aceh.34 Ia juga mengetengahkan tentang adanya pelanggaran HAM yang tidak disidangkan sebagai imbas dari konflik Aceh (1976-2005). Dalam salah satu artikel yang berjudul “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”, Azyumardi Azra mengatakan bahwa sejarah menyangkut Islam di Nusantara, kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia.

34

(34)

Sebelum muncul kesultanan Aceh, yang paling penting adalah Kerajaan Perlak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di Ujung Timur Laut Sumatara. Marcopolo mengunjungi Perlak pada tahumn 1292 memberikan bukti pertama tentang sebuah kesultanan Aceh di Nusantara. Kesultanan Aceh yang mulanya bukan sebuah kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah (w. 1530) berhasil mepersatukan bagian kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke 16. Pernyataan Azyumardi Azra tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Aceh menerapkan syariat Islam dalam system pemerintahannya secara ka>ffah

(menyeluruh).

Karya keempat, Akbarzadeh35 dan MacQueen36 mengetengahkan perkembangan hak asasi manusia dan bagaimana harapannya terhadap kenyataan tentang hak-hak asasi manusia di Indonesia, dan mengetengahkan perbedaan antara konsep HAM Universal antara persepsi Islam dan persepsi dunia (Differences between Islamist and universalist human rights codes). Dalam ungkapan aslinya Akbarzadeh mengatakan:

Ada lima perkara utama yang menjadi keberatan pihak Islam terhadap Hak-hak Asasi Manusia Sejagat, sebagaimana tercantum di dalam naskah-naskah UDHR dan ICCPR, yaitu: (1) hak untuk mengubah agama; (2) hak untuk kawin campur (antar agama, khususnya seorang wanita muslimah untuk mengawini lelaki non-muslim); (3) hak-hak untuk mencampuradukkan di antara masyarakat beragama; (4) kebebasan untuk mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan; dan (5) persamaan gender. Semua perkara ini sangat dipengaruhi oleh persepsi sejarah Islam dan kepercayaan di bawah ancaman musuh-musuhnya.”

(“There are five main areas of Islam’s objection to universalist notions of human rights, as embodied in documents such as the UDHR and ICCPR. These are: (1) the right to

35

Seorang professor di bidang penelitian tentang keislaaman di Universitas Melbourne, Australia.

36

(35)

change religion; (2) the right to inter-religious marriages (particularly a Muslim woman marrying a non-Muslim man); (3) the right to proselytize among religious communities; (4) freedom to practice a religion or belief; and (5) gender equality. All of these have been strongly influenced by the historical perceptions of Islamists and the belief that Islam is under attack from its foes”).37

Item ke-4 dan ke-5 dari ungkapan Shahram tersebut agak terkait dengan pelaksanaan Qanun No, 12, 13, dan, 14 Tahun 2003.

Karya kelima, R. Micheal Feener dan Mark E. Cammack telah menghimpun sejumlah artikel yang mengupas tentang hukum perundang-undangan RI yang terkait dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia. Di dalam sebuah artikel yang berjudul “Sharia Revival in Aceh,” Tim Lindsey bersama H. B. Hooker, Ross Clarke, dan Jerami Kingsley telah menguraikan peran Dinas Syariat Islam (Shari`a Office), Majlis Permusyawaratan Ulama dalam pecetusan Qanun-Qanun, dan peran Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah di Aceh dalam merelisasikan Qanun-Qanun Jinayat.

Karya keenam, Alyasa‘ Abu Bakar sebagai ketua Dinas Syariat Islam Aceh periode 2003-2008 membahas tentang syariat Islam Aceh dari berbagai fase pengesahan Undang-undang yang berkaitan dengan syariat Islam. Ia juga telah memberikan maksud dari Otonomi Khusus dalam aspek Peradilan Islam (Mahkamah Syariyah) bagi Aceh, dan di periode kepemimpinannya, tiga Qanun yang berkaitan dengan syariat Islam Jinayat dicetuskan.

Karya ketujuh, Syamsuhadi Irsyad telah mampu membuat uraian tentang peran dan kedudukan Qanun Jinayat dalam system peradilan nasional. Setelah mengalisa perundang-undangan yang relevan ia menyimpulkan telah ada perkembangan hukum pidana Islam yang menjadi hukum positif di Indonesia melalui implementasi Qanun di Aceh.

E. Signifikansi Penelitian

(36)

Studi ini, berat kemungkinan, dapat memberikan secercah harapan bagi pegiat HAM dan penegak hukum Islam di Aceh-Indonesia untuk memahami pentingnya HAM dan Fiqh Jinayat direalisasikan di dalam tatanan hukum sehari-hari. Setelah perjuangan panjang umat Islam Aceh-Indonesia telah dapat mengungkapkan suatu hukum positif yang baru yang bersumber dari hukum Islam yang menyangkut dengan tindak pidana dalam realisasasi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Studi ini juga telah memberikan suatu jawaban terhadap persoalan tentang bagaimana perpektif fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum pidana Islam di dunia umumnya dan di Aceh khususnya, yang berbeda dengan penelitian lain yang hanya melakukan oposisi terhadap hukum Islam dan konsep HAM yang dianut dunia dan umat Islam.

Tegasnya, penelitian ini menyatakan bahwa sangat banyak pakar yang telah membahas persoalan (yang berupa keterkaitan dan perbedaan antara konsep HAM dengan hukum jinayat), namun belum menemukan titik temu antara HAM dan Hukum Jinayat. Faktanya terlihat pada literatur-literatur pakar yang membahas Fiqh Jinayat dan HAM. Namun, setelah meneliti Qanun Aceh, penelitian ini dapat memberikan sedikit konstribusi (sumbangan) solusi tentang kerenggangan (gap) antara HAM dan Fiqh dalam menanggapi aspek penghukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan manusia. Faktor yang mewujudkan fenomena ini antara lain disebabkan adanya pengontrolan ketiga qanun oleh hukum perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 yang menyangkut dengan urusan Aceh. Tanpa kedua UU ini qanun Aceh sulit disahkan dan direalisasikan di Aceh-Indonesia. Maka jika Al-Hageel, misalnya, telah melakukan oposisi (perlawanan) terhadap DUHAM, penelitian ini justru mengungkapkan realita positif yang terkandung di dalam DUHAM dan hukum Islam (jinayat) bagi penegakan hukum di Aceh-Indonesia. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa melalui pengqanunan ketiga Qanun ini, masyarakat Aceh dapat melihat kembali latar belakang sejarah otonomi khusus bagi Aceh untuk melaksanakan Hukum Islam (Jināyāt) tanpa harus menempuh jalan kekerasan seperti yang dilakukan Ikhwa>n al-Muslimi>n (Mesir), sebagaimana dikatakan Sidqi.38 Bahkan

38

(37)

dengan pengqanunan hukum jinayat juga memungkinkan pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat, dapat meningkatkan status Hukum Jināyāt Aceh ke ruang lingkup implementasi yang lebih luas, sehingga Fiqh Jinayat yang ada dalam Islam dapat dikembangkan dalam realita proses peradilan dengan metode lebih modern dan lebih cocok untuk dimensi ruang dan waktu di zaman sekarang ini.39

Penerapan hukum Islam (Jinayah) secara tidak ofensif melalui pengqanunan, dapat menjadi harapan politik syariat Islam (siya>sah shar‘i>yah) dalam merealisasikan kandungan fiqh Islam. Qanun jinayah dapat menunjukkan hukum Islam jauh dari keseraman, yang memungkinkan pertimbangan untuk penerapannya di dunia. Pandangan seperti ini telah disinggung Norrahman, seorang guru besar UIN Bandung. dalam artikelnya “Compatibility between Pancasila and Sharia-Based Islamic Teachings”pada tanggal 10 Januari 2010.40

adalah peraturan yang dibuat oleh DPR bersama-sama pemerintah berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undamg Dasar 1945. Perundang-undangan ialah “segala hal yang berhubungan dengan undang-undang.”Qānūn adalah “Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Qānūn Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun (diakses tanggal 24 Agustus 2010).

39Abdul Aziz Sidqi, “Pemikiran Said Qut}b tentang Jihad” (Tesis PPs Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), 62. Lihat juga Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 2.

40

Dikatakan Norrahman, Sementara kita sebagai muslim, berdasarkan keyakinan agama, mampu mengamalkan syariah di dalam sebuah negara Islam atau bukan, para teroris ingin membentuk negara Islam sebagai cara satu-satunya agar dapat menegakkan syariah. Sedangkan orang Islam umumnya menganggap syariah sebagai norma-norma agama yang dapat diukur dan dikembangkan berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda yang nampak pada adanya perbedaan realistis di antara masing-masing kawasan. Kaum teroris ingin menerapkan syariah dengan cara-cara eklusif, kekerasan, kaku, dan tanpa toleransi.

(38)

Manifestasi dari harapan seperti ini juga senada dengan Syeikh Yusuf Qard}awi dalam karyanya Malāmih} Mujtama‘ Muslim al-ladhī Nansuduhu yang mengatakan bahwa penerapan sryariat Islam dan usaha perwujudannya adalah tanggung jawab umat Islam semuanya, baik secara pribadi, kelompok maupun universal. Dengan demikian penelitian ini akan berguna bagi para peneliti lain yang berkecimpung dalam bidang hukum Islam (Islamic Law Studies). Khususnya bagi para peneliti muslim akan dapat mengembangkan ilimunya bagi manifestasi syariat Islam pada zaman kontemporer ini.41

Studi ini memiliki asumsi bahwa yang dikehendaki dari pemahaman fiqh (jināyāt) kontemporer di Aceh-Indonesia adalah manifestasi salah satu dari tujuan dari Ra>bitah al ‘Ālam al-Islāmī

(Persatuan Islam se-dunia) yang berdiri pada tahun 1962. Organisasi Konferensi Islam (Organization Islamic Conference--OIC) yang berdiri tahun 1969 di Marokko juga mendukung penerapan hukum Islam di dunia. Upaya OKI ini menunjukkan bahwa Hukum Jinayat mendapat perhatian serius dunia Islam.

F. Metodologi

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian dokumen (documentary study) dengan mengumpulkan data-data teoritis tentang pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jināyāt) dan Qanun “Jinayat.”

(“While we, as Muslims, based on religious conscience, are able to conduct sharia with or without the presence of an Islamic state, terrorists tend to see the Islamic state as an inevitable tool to enforce sharia. While we generally see sharia as religious norms that can be adjusted and developed based on a different time and circumstances and therefore has a different appearance in different regions, terrorists tend to conduct sharia in an exclusive, immutable, rigid and intolerable manner.

While Muslims generally see sharia as something seperate from aqidah (creed), as indicated by using conjunction “and” in Mahmud Syaltut’s phrase al-Islam Aqidah wa Syari’ah, terrorists tend to see both sharia and aqidah as a creed that should be applied to other people by force in order to “save” them from the hellfire. In a state where Muslims have been given the freedom to conduct sharia norms, the need to establish an Islamic state is no longer relevant”). Baca Norrahman, “Compatibility between Pancasila and sharia-based Islamic teachings,” The Jakarta Post, 10 Januari 2010, 6.

41Syeikh Yūsuf Qard}āwi,Malāmih al-Mujtama`al-Muslim Alladhi Nansuduhu

(39)

Penggalian dan penyampaian data, akan dilakukan secara deskriptif dan analisis yaitu menyampaikan data-data faktual yang seteliti mungkin tentang keadaan atau fenomena-fenomena yang melingkupi obyek penelitian ini, sehingga menemukan makna (pemahaman) yang logis dari apa yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengarah kepada pendekatan sosiologis-legal-historis karena mengikutsertakan konteks sosial Hukum Jinayat Aceh yang digunakan, juga personalia, lembaga, dan badan hukum terkait sebagai pelaksana hukum, agar menemukan sebuah pengertian yang komprehensif dan mendalam.

2. Instrumen dan teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk pengumpulan data, alat dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Dokumentasi yang menunjukkan data/informasi tentang implementasi UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 yang menyinggung tentang Hukum Jināyāt di Aceh kontemporer, yang menjadi bahan analisis dalam mengungkapkan bagaimana pandangan Fiqh (muqa>ranah) dan konsep HAM terhadap pelaksanaan Qanun Hukum “Jinayat”.

b. Membaca karya-karya peneliti terdahulu yang relevan melalui kajian kepustakaan, seperti karya Syamsuhadi, Mahkamah Syar‘iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009). Alat ini digunakan untuk melengkapi deskripsi dan evaluasi data-data yang sudah digali melalui studi dokumentasi. Penelitian juga menelaah data-data tentang pelaksanaan Qanun Jinayat termasuk yang menyangkut dengan para pelaksana Qanun-qanun Aceh (Gubernur, Wakil Gubernur, dan Kepala Dinas Syriat Islam Aceh), Ketua DPRA, Ketua Mahkamah Syar’iyyah, Wilāyatul H{isbah42 dan Muh}tasib.43 Karena dengan penelitian seperti itu, dapat mendukung penemuan jawaban-jawaban yang diperlukan oleh penelitian.

42

Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina,mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar.

43

(40)

c. Membaca berita eksekusi tidak pidana di lapangan yang dipaparkan mass media juga melalui documentary research. Alat ini digunakan untuk mendukung library research yang dilakukan penelitian ini, sehingga kevalidan data lebih terjamin dan memiliki keterkaitan dengan fenomena realistis.

3.

Gambar

Tabel 3.1. ………………………………………………………………….80
Tabel 3.1: Jenis Hukuman dalam Qanun No. 12 Tahun 2003
Tabel 3.2:
Tabel 3.3:
+7

Referensi

Dokumen terkait