• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PERSPEKTIF FIQH

C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003

1. Uqubat Khalwat Menurut Qanun

Uqubat khalwat yang ditetapkan Qanun No. 14 Tahun 2003 merupakan hasil keputusan majlis hakim di Mahkamah Syariyah, berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku yang berupa Qanun.

Table 3.5 menunjukkan bahwa hukuman untuk pelaku khalwat ditetapkan bersifat alternative antara cambuk dengan denda. Hukuman cambuk paling sedikit adalah tiga kali dan paling banyak sembilan kali, sedang hukuman denda paling sedikit Rp. 2.500.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000,-. Untuk pemberi fasilitas dan pelindung perbuatan khalwat juga disediakan hukuman alternative antara penjara dengan denda. Hukuman penjara ditetapkan antara dua sampai enam bulan, sedang denda ditetapkan antara Rp 2.500.000,- sampai Rp. 10.000.000,-.

Tabel 3.5:

Jenis Hukuman dalam Qanun No. 14 Tahun 2003

No. Khlawat

(Mesum) Pelaku Cambuk Kurungan Denda

1 Pelaku mesum Orang 3 – 9 kali - 2,5 –

10 juta 2 Penyedia fasilitas, penyelenggara, pelindung, atau pemberi izin khalwat Orang, badan hukum, atau aparat pemerintah - 2 – 6 bulan 5 – 15 juta

Tabel di atas mengandung ketentuan Pasal 22 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat menunjukkan bahwa Qanun menetapkan ketentuan hukuman baik kepada pelaku maupun orang/badan yang memfasilitasi terlaksananya praktek khalwat.

a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penyelengggaraan hukuman merupakan upaya hukum yang

digalakkan dalam pengeksekusian tindak pidana. Hal ini sebagimana dikatakan di dalam Pasal 27 bahwa: (1) Pelaksanaan ‘uqūbāt dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan

penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.243Sebelum tiba jadwal, sosialisasi pengeksekusian hukuman secara langsung dilakukan untuk menjadi pelajaran bagi publik. Sosialisasi ini sekurang-kurangnya, dilakukan melalui pengumuman loud speaker di wilayah kemesjidan, tempat terhukum dieksekusi.

Berdasarkan penegasan Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006, maka yang menjadi tolok ukur pemberlakuan syariat adalah Qanun (Jinayat) yang masih diberlakukan adalah tiga qanun menyangkut dengan Jinayat termasuk Qanun No. 14 ini. Maka sejak diberlakukan, Qanun tersebut berjalan secara implementatif di Aceh, mekipun qanun itu belum mengikuti keseluruhan ketentuan Fiqh. Pelaku khalwat kadang kala terjermus ke dalam praktek zina (muh}san dan gairu muh}san), masih juga dihukum dengan hukuman khalwat dengan 3-9 kali dera oleh Mahkamah Syariyah, atau diserahkan ke Pengadilan Umum untuk ditangani KUHAP (hukum nasional RI).

Penanganan demikian merupakan suatu pengaturan kewenangan pada system peradilan Indonesia menyangkut dengan letak penerapannya antara mana konsep Qanun yang merujuk kepada konsep Fiqh dan mana yang merujuk kepada Hukum Nasinal (KUHP) pada pengadilan Umum. Hal ini disebabkan bahwa dalam proses penangkapan pelaku khalwat, ada kalanya terdapat pelaku khalwat yang belum tentu adanya perzinaan. Namun praktek zina biasanya sudah pasti dilakukan secara berkhalwat. Menurut Fiqh Islam khalwat tanpa zina (hubungan seksual) tidak dikenakan h}add (hukuman tertentu yang ditetapkan nas}).

Sementara khalwat bila telah masuk ke dalam katagori zina maka sebenarnya hukuman tidak disamakan dengan hukuman khalwat 3-9 kali dera, karena Fiqh menetapkan h}add bagi pelakunya. Numun karena ketentuan dera (cambuk) 100 kali bagi zina gairu muh}s}an, dan rajam bagi penzina yang telah kawin belum diqanunkan, maka hukuman sering dijatuhkan seperti halnya tindak pidana khalwat yang ada dalam qanun atau merujuk ke Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).244

243

Dikatakan dalam Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003, Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf (o).

244

“ Sharia Poice Arrasted for Rape”, The Jakarta Post, January 16, 2010, 1.Lihat juga Wahyu Hidayat, “WH Amankan Pasangan Mesum, “ Waspada, 02 Augustus 2010 , 8.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan jinayat menurut Qanun, maka jelas terlihat adanya penafsiran yang luas dan berbeda dalam penjatuhan ‘uqu>ba>t (hukuman) ta‘zi>r bagi pelaku khalwat. Kadang kala Mahkamah Syariyah/hakim menjatuhkan hukuman yang tidak tercatum di dalam nașs} (al-Quran atau al-Hadith), bahkan tidak

terdapat dalam fiqh Islam yang mu‘tabar/yang dapat dijadikan

rujukan.

Kosekuensi kejahatan yang berhubungan dengan h}add

menurut Fiqh adalah tidak memaafkan hukuman bagi pelaku kesalahan yang berupa pelanggaran terhadap hak Allah, tanpa alasan tertentu/ketentuan tertentu yang digariskan shara‘. Al-Quran menyatakan bahwa penegakan Hukum Allah bertujuan menjunjung Agama Allah (ra’fah fi di>n Allah). 245

Memang Qanun Jinayat Aceh tahun 2003 ini mengamalkan fiqh dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi Negara bangsa, bukan mengamalkan fiqh secara total sebaimana diamalkan Negara-negara Islam di dunia. Realita ini merupakan konsekwensi dari ideologi Negara Pancasila, bukan berideologi Islam. Namun peluang menjalankan Hukum Islam tidak terhalang sama sekali, karena hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah untuk pengamalan hukum Islam, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), dengan sejumlah hukum perundang

undangan lainnya.246

Sehubungan dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa (memang) hukuman ini

245

Lihat Qs. al-Nu>r [25]: 2 yang artinya:

“Janganlah karena kasihan terhadap keduanya (penzina laki-laki dan perempuan) itu mencegah kalian dari menegakkan (h}add yang ditetapkan) , karena (penenegakan hukuman) itu untuk menjunjung (perintah) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah pengeksekusian itu disaksikan segolongan dari orang-orang yang beriman.”

246

Urutan Hukum perundang-undangan RI adalah: a. UUD 1945; b. TAP MPR; c. UU; d. PP; dan Peraturan Daereh. Maka UU yang menyangkut dengan Aceh seperti: UU 44 Tahun 1999, UU 18 Tahun 2001, dan UU 11 Tahun 2006 berada di bawah UUD dan TAP MPR dan tidak boleh melampaui keduanya. Namun sesuai dengan kekhususan yang disahkan untuk Aceh, kedudukan Qanun menjadi setingkat dengan Peraturan Pemerintah (PP), bukan setingkat Peraturan Daerah (Perda). Lihat Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 34-38.

akan membebaskan pelaku kejahatan dari azab Allah di hari

kiamat. Dapat dimengerti, hukuman h}udu>d adalah perkara

kontroversial di Indonesia, sejak dulu penetapan hukuman bagi penjahat adalah hukum sekuler, bukan hukum Islam. Lebih jauh, bahkan dalan Islam otoritas untuk menegakkan hukum rajam sebagai suatu hukuman yang berlaku di pemerintahan, dalam kondisi Indonesia tidak akan memungkinkan hal itu. Sesungguhnya satu di antara persoalan utama adalah dengan menerapkan

hukuman h}udu>d akan mengakibatkan pelanggaran hak-hak asasi

manusia yang tidak dapat dielakkan.

Hal tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang beragam tentang makna syariat Islam di kalangan umat Islam itu sendiri. Semua muslim mengakui bahwa syariah adalah hukum

Tuhan (God’s law), tetapi mereka berbeda cara memahaminya, baik

secara umum maupun secara terperinci (in detail).247 Modernists, traditionalists dan fundamentalists memiliki pemahaman yang berbeda mengenai Sharia, seiring dengan berbedanya pemikiran madhhab yang diikuti di kalangan sarjana-sarjana muslim. Berbeda negara, berbeda wilayah, berbeda budaya maka berbeda pula dalam memahami shariah, meskipun semua muslim percaya bahwa syariat adalah bersumber dari al-Quran dan al-sunnah Nabi Saw.

b. Teknik Pelaksanaan

Pada lembaran lampiran dari penelitian ini dapat dilihat gambar seorang pelaku khalwat dieksekuasi di hadapan khalayak ramai. Gambar itu memperlihatkan seorang alqojo sedang menjatuhkan cambukannya ke atas punggung orang yang terhukum. Algojo biasanya direkrut dari personel Wilayatul Hisbah (WH) yang sering dikenal sebagai polisi syariat. Algojo ini mengayunkan cambukannya setiap kali mendengarkan suara (aba-aba) dari jaksa yang ditugaskan, bukan melakukan menurut keinginannya semata-mata. Pencambukan itu juga dilakukan setelah surat putusan hakim dibacakan di panggung pencambukan itu.

Pelaksanaan hukuman ini sebagaimana ketentuan Bab VII memuat Ketentuan ‘Uqūbāt (Mesum). Di dalam Pasal 22 Bab tersebut dikatakan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

247

Wah}bah al-Zuh}aili>, al-Fiqh al- Isla>mi> wa Adillatuhu , Juz I (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1984), 17.

dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan ‘uqūbāt ta’zi>r berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Selain itu bagi pelaku yang tidak terlibat langsung dalam praktek khalwat, di dalam ayat (2) dikatakan, setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (limabelas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,-(lima juta rupiah). Kesalahan pelaku yang mengakibatkan penghukuman seperti ini adalah berupa penyediaan fasilitas dan perlindungan bagi terlaksananya praktek khalwat dalam masyarakat.

Selanjutnya dalam Ayat (3) dikatakan, “Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta‘zi>r”. Selain Pasal 22 yang menetapkan jumlah cambukan/danda bagi pelaku khalwat, Pasal 23 juga menyatakan: “Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) merupakan peneriman Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.” Ketentuan hukuman menurut pasal-pasal (provisions) tersebut adalah menurut hukuman ta’zi>r menurut tingkat kesalahan dalam kategori khalwat.248

Penggunaan dana akibat pendendaan ini nampaknya Qanun tidak memaparkan secara rinci dan jelas, karena Baitul Mal merupakan suatu Lembaga Keuangan Daerah yang membantu berbagai kepentingan Umat. Pengaturan ini dikhawatirkan terjadinya legalitas perpajakan sebagai kata lain dari denda. Sedangkan bila dijelaskan secara rinci bagi proses penegakan hukum, misalnya, maka, berat kemungkinan, akan membawa dampak positif dari hukuman pendendaan. Memang hukum Islam membolehkan hukuman ta’zi>r dalam bentuk denda. Namun keefektifan penghukuman seperti ini sangat tergantung kepada penguasa/hakim.249

Penambahan hukuman tetap berlaku bagi pelaku tindak pidana. Di dalam Pasal 24 dikatakan: “Pengulangan pelanggaran terhadap

248

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22-23. 249

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat (1) sampai (3). Lihat juga Anwarullah, The Crime Law of Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Hayati, 1997), 242.

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, ‘uqūbāt-nya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal”.250

Fasilitator tindak pidana khalwat juga dikenakan hukuman. Di dalam Pasal 25 dikatakan, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6: a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqūbāt-nya dijatuhkan kepada penanggung jawab. b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.251

Dari keseluruhan pasal-pasal (22-25) yang menyangkut dengan khalwat memang sangat riskan terhadap kefektifan jalannya hukum Islam di Aceh. Bahkan pelaksanaan Qanun khalwat agak berbeda jauh dari kaca mata Fiqh. Penghukuman ta‘zi>r dalam perkara khalwat ini lebih menitik beratkan pada faktor ta‘aqquli (ijtiha>di>)dibandingkan ta‘abbudi (as}li>). Dalam perkara khalwat ini pihak penyusun qanun nampaknya belum mencantumkan ketentuan Fiqh yang sebenarnya, yang menyangkut dengan kategori-kategori kesalahan dan penghukuman. Berat kemungkinan h{add zina belum mampu ditegakkan di tengah percaturan hukum Islam pada era Qanun tersebut disahkan.252

c. Izin Imam untuk Pelaksanaan

Bab VIII memuat tentang pelaksanaan ‘uqūbāt (mesum), di dalam Pasal 26 dikatakan: (1) ‘Uqūbāt cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum; dan (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.253Pemerintah juga melibatkan Dokter dalam proses eksekusi terhukum dalam rangka memantau kondisi terhukum, karena hukuman dilakukan menyangkut fisik (coporal punishment). Pasal 29 menyatakan bahwa apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang

250

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 24. 251

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 25.

252

Muhammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic Yurisprudence (Kuala Lumpur; CERT Publication, 2006), 101.

253

Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003 menyatakan: “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang syari’at dan melaksanakan penetapan putusan hakim mahkamah’’.

membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.254

Pihak yang terlibat di dalam praktek khalwat juga ada kemungkinan dilakukan hukuman kurungan. Pasal 30 menyatakan bahwa pelaksanaan ‘uqūbāt kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.255

2. Khalwat Menurut Fiqh

Fiqh Islam tidak membicarakan tentang hukuman tertentu yang dijatuhkan kepada pelaku khalwat, namun dalam rangka menghindari pencampuran laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat yang sepi—yang dikhawatirkan akan terjadinya perzinaan—al-Qur’a>n

telah menyatakan perlunya h}ija>b (pembatas) antara laki-laki dan perempuan baik di tempat yang sepi maupun di tempat-tempat umum.

Al-Quran mengungkapkan rambu-rambu (petunjuk-petunjuk) yang terkait dengan hal tersebut yakni berupa: Larangan menampakkan perhiasan (Qs. al-Sajadah [33]:33); Anjuran memakai kerudung (Qs. 33:59); Anjuran menjaga pandangan (Qs. 30:31); Suruhan meminta izin masuk ke kamar orang lain (Qs. al-Mu’minu>n [24]: 58); dan Larangan berbicara berhadap-hadapan antar laki-laki dan perempuan (Qs. al-Sajadah [33]: 53). Menyangkut dengan dampak apa yang ditimbulkan oleh perintah dan larangan bagi seorang muslim/muslimah terhadap lawan jenisnya telah diberitahukan di dalam kitab fiqh, sehingga umat Islam menjaga dan mentaati batas-batas hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan.256

Dalam menjaga etika Islami tersebut, dalil (nas}s}) yang berupa ayat-ayat al-Quran dan al-H}adith banyak membahas tentang pelarangan khalwat dan pendekatan zina. Ada dua H}adith Nabi Saw yang terkutip di dalam studi ini yang khusus menyinggung tentang khalwat:

Pertama, al-H}adith yang diriwayakan Ibn ‘Abba>s:

254

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 29. 255

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 30.

256Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam (New Delhi: International Islamic Publishers, 1994), 17-20.

ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻦﻌﻓ

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳ ﺭ ﻥﺍ

ﻝﺎﻗ

:

ﻡﺮﳏ ﻯﺫ ﻊﻣ ﻻﺍ ﺓﺃﺮﻣﺎﺑ ﻞﺟﺭ ﻥﻮﻠﳜ ﻻ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻮىﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Hendaklah seorang laki-laki tidak mengasingkan diri di tempat yang sepi bersama dengan seorang perempuan kecuali ada muhrimnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, al-H}adith yang diriwayakan ‘Uqbah bin ‘A<mir:

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺃ ﺮﻣ ﺎﻋ ﻦﺑ ﺔﺒﻘﻋ ﻦﻋ ﻭ

:

ﻢﻛﺎﻳﺍ

ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻝﺎﻗ ؟ﻮﻤﳊﺍ ﺖﻳﺃﺮﻓﺃ ﺭ ﺎﺼﻧﻷﺍ ﻦﻣ ﻞﺟﺭ ﻝﺎﻘﻓ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻝﻮﺧﺪﻟﺍﻭ

ﻢﻠﺳﻭ

ﺕﻮﳌﺍ ﻮﻤﳊﺍ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻮىﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

257

“Dari ‘Uqbah bin A>mir bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Jauhilah olehmu dari memasuki (kamar) perempuan. Lalu seorang laki-laki dari golongan Ans}a>r bertanya: bagaimana jika saudara laki-laki-laki-laki suami? Rasulullah Saw menjawab: Saudara laki-laki suami mematikan.”

(HR. Bukhari dan Muslim).

Praktek khalwat kerab dikategorikan ke dalam perkara yang mendekati zina yang sebenarnya.258 Allah SWT dalam al-Quran mengatakan:

ﻼﻴﺒﺳ ﺀﺎﺳ ﻭ ﺔﺸﺣﺎﻓ ﺖﻧﺎﻛ ﻪﻧﺍ ﱏﺰﻟﺍ ﺍﻮﺑﺮﻘﺗ

)

ﺀﺍﺮﺳﻼﻟﺍ

] ١٧ :[ ٣٢ (

ﻻ ﻭ

“Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk cara.” (al-Isra>` [17]: 32)

257Muhammad al-Lut}fi al-S{ib

āgh, Tah}rīm Khulwah bi Mar’ah al-Ajnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir (Riyad}: Idārāt al-Buh}u>th al-‘Ilmīyah wa al-Iftā’

wa al-Da‘wah wa al-Irshād, 1411 H), 123.

258Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g,

Tahri>m al-Khalwah bi al-Mar’ah al- Ajnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir , 22.

3. Eksekusi Pelaku Khalwat di Aceh

Wilayatul Hisbah kerap ditunjuk hakim sebagai algojo di dalam penghukuman ta’zir bagi pelanggar Qanun khalwat. Sebagaimana tugas Wilayutul Hisbah secara historis dan praktis (fiqhi>yah),259

Wilayatul Hisbah dalam Qanun ditugaskan untuk melakukan penyelidikan, jika menemukan pelaku khalwat di dalam masyarakat, melaporkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti. Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan bila hasil laporannya tidak ditindak lanjuti. Hasil penyidikan tim penyidik kadang kala tersangka dilepaskan jika tidak bersalah, atau ditahan bila terlibat praktek khalwat untuk menerima proses perkara lebih lanjut. Bila seseorang ternyata terlibat dalam pelanggaran Qanun maka hakim akan mengambil keputusan penghukuman yang dikenal dengan nama uqubat.

Di beritakan Media Massa, Wakil Komandan Operasi WH Aceh Safruddin mengatakan bahwa Wilayatul Hisbah (polisi syariat/WH) Provinsi Aceh mengamankan sepasang insan berlainan jenis karena diduga berbuat mesum dan melanggar qanun syariat Islam. Kedua pelaku itu diamankan untuk menghindari amukan warga, karena yang menangkap mereka adalah warga masyarakat.

Pasangan berinisial MY (umur 51 tahun) dan Mai (umur 31 tahun) ditangkap warga saat berduaan di sebuah gubuk persawahan Gampong (desa) Lam Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh

besar.

Setelah ditangkap diserahkan ke polsek Ingin Jaya untuk menghindari amukan massa, kemudian mereka (warga) menghubungi Satuan Polisi Pamongpraja (PP) dan WH Aceh untuk menyerahkan kedua tersangka. Dikatakan, dalam pemeriksaan kedua tersangka mengakui perbuatannya. Mai, tersangka perempuan, kata Safruddin, mengaku melakukan hubungan itu atas perintah mantan suaminya berinisial S. (Sebenarnya) Mai dan S telah bercerai, namun S kemudian menyuruh bekas isterinya itu berhubungan dengan MY. S percaya kalau mantan isterinya itu sudah berhubungan dengan lelaki lain, dia bisa

259

Iin Solikhin, “”Wilayah Hisbah dalam Tinjauan Historis Pemerintahan Islam,” Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol 3 No 1 Jan-Jun 2005, 1. Lihat juga Kamāl Muhammad `Īsā, Aqd}īyah wa Qud}āh fi Rih{āb al-Islām, 510. Lihat juga

Sulaiman Abdurrahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 56.

kembali sebagai suami Mai yang sah. Petugas WH mencari S untuk meminta keterangan atas tuduhan itu. Menurut Safruddin, kedua insan berlainan jenis itu melanggar Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang

khalwat/mesum dan terancam dikenai hukuman cambuk. “Namun kita masih membuka peluang agar kadua insan ini diselesaikan secara pembinaan,” ujar dia. Pasca ditangkap bermesum, pasangan non muhrim memilih tinggal di Kantor Satpol PP dan WH karena takut kembali ke kampungnya.260

Selain itu media massa juga kerap menampilkan gambar pelaku khalwat yang dieksekusi seperti terlihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.3:

Sejumlah kasus tindak pidana khalwat tersebut, merupakan contoh-contoh kasus yang terjadi pada tahun 2010. Syamsuhadi Irsyad mencatat bahwa pada tahun 2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota se-Prov. Aceh telah menerima kasus khalwat sebanyak 27 kasus dan memutuskan 20 kasus. Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun itu juga sebanyak 2 kasus dan memutuskan 2 kasus juga. Pada tahun

260

Wahyu Hidayat, “WH Amankan Pasangan Mesum, “ Waspada, 02 Augustus 2010 , 8.

261

Http://www.aceh.tribune.com/news/view/36721/pijay-cambuk-lima-pelanggar-syariat, diakses tanggal 7 Agustus 2010).

Gambar 3.3 menunjukkan seorang algojo sedang mengeksekusi cambuk seorang pelaku khalwat di Pidie Jaya. Pencambukan dilangsungkan di halaman Mesjid Tgk Chik di tanggal 6 Agustus 2010.261

2008 kasus yang sama diterima sebanyak 9 kasus dan diputuskan sebanyak 9 kasus juga. Sedangkan yang mengajukan banding nihil (tidak ada).262 Keseluruhan data terkait dengn kasus jinayat Aceh di dalam dua tahun itu diperlihatkan di dalam tabel 3.6 dan 3.7.

Tabel 3.6:

Perkara [Jinayat] di Mahkamah Syariyah Kabupaten/ Kota se-Provinsi NAD Tahun 2007 dan Tahun 2008 yang Menyangkut dengan Jenis Perkara dan Jumlah Perkara.

No. Jenis perkara Tahun 2007 Tahun 2008

Diterima Diputuskan Diterima Diputuskan

a. Khamar/Min. Keras 13 [14] 13 8 8

b. Maisir/Perjudian 18 13 38 38

c Khalwat 27 20 9 9

Jumlah 58 47 55 55

Keterangan:

Selama tahun 2007 perkara jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diterima sebanyak 58 perkara. Sedangkan kasus dapat diputuskan cuma 47 perkara. Sementara tahun 2008 sebanyak 55 kasus, dan dapat diputuskan semuanya.

Tabel 3.7:

Perkara Banding [Jinayat] Mahkamah Syariyah Provinsi NAD Tahun 2007 dan Tahun 2008.

No. Jenis perkara Tahun 2007 Tahun 2008

Diterima Diputuskan Diterima Diputuskan

a. Khamar/Min. Keras 2 2 - - b. Maisir/Perjudian 7 7 2 2 c Khalwat 2 2 - - Jumlah 11 11 2 2 Keterangan: 262

Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘i>yah dalam System Peradilan Nasional, 45.s

Selama tahun 2007 perkara banding jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diterima sebanyak 11 perkara. Semua kasus tersebut dapat diputuskan pada

tahun itu juga. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2008.263

Keseluruhan data sampel kasus (termasuk yang dicatat Syamsuhadi), baik hukuman h}add maupun hukuman ta‘zi>r ` (bagi pelaku pelanggaran jinayah) yang telah diatur oleh Qanun-qanun tersebut, dikukuhkan lagi di dalam Bab Peralihan UU No. 11 Tahun 2006. Di dalam UU ini dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Aceh (yang berupa Qanun-qanun) dianggap sah untuk diberlakukan, kecuali peraturan-perundang-undangan yang jelas dihapus oleh UU (yang baru) tersebut. Selain itu, upaya-upaya untuk penyempurnaan qanun-qanun tersebut terus ditingkatkan, seperti penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Jinayat (KHJ) pada tahun 2008.264 Hukum perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia juga tidak melakukan pembatalan.265

Khusus menyangkut dengan pelanggaran Qanun No. 14 Tahun 2003, tabel 3.8 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni menganggap sesuai dengan Fiqh bila sesorang yang melakukan khalwat dihukum dengan ta‘zi>r cambuk sebanyak 3-9 kali, atau menanggung denda 2,5-10 juta.266 Pihak yang ikut serta di dalam membantu terselenggaranya praktek khalwat seperti menyediakan fasilitas, melindungi, mempromosikan dan lain-lain dikenakan hukuman ta‘zi>r

antara denda dan penjara. Karena menurut Fiqh hukuman cambuk, denda, dan penjara termasuk ke dalam hukuman yang dapat diterapkan pemerintah (uli al-amr). Dalam hal ini Qanun merupakan aturan yang diterapkan pemerintah (Aceh-Indonesia).267

263

Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘iyah dalam System Peradilan Nasional, 45.

264

Alyasa‘Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 106-168.

265

Bab XL Pasal 269 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan: Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

266Abdu al-Qadir ‘U<>dah, al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi al -Qānūn al-Wad}’ī,154.

267

Lihat ‘Abd al-Rah}man - al Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah , Jilid 5, 307-309

Table 3.8:

Hukum Jarimah Mesum dalam Perspektif Fiqh:

No Pelaku tindak tindak pidana/jari-mah

Dokumen terkait