• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep etika politik dalam perspektif Ali Syari'ati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep etika politik dalam perspektif Ali Syari'ati"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI

Oleh:

SUGIYONO

NIM: 103033227801

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KONSEP ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

SUGIYONO NIM. 103033227801

Di bawah Bimbingan

Dr. Shobahussurur NIP. 196411301998031001

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “KONSEP ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF

ALI SYARI’ATI” telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 26

Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana program Strata I (SI) pada Jurusan Pemikiran

Politik Islam.

Jakarta, 14 Juni 2009

Sidang Munaqosah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dra. Ida Rosyidah, MA 196306161990032002

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA 196902101994032004

Penguji I Penguji II

Dr. Nawiruddin, MA 19722001121003

Agus Nugraha, M.Si 196808012000031001

Pembimbing

(5)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, pemilik segala kesempurnaan, sumber segala kekuatan dan daya upaya.

Shalawat teriring salam semoga selalu terlimpah-curahkan kepada figur panutan dan

teladan utama para pencari kebenaran, Rasulullah Muhammad saw.

Untaian tutur maaf dan terima kasih teriring sujud simpuh bakti penulis

sampaikan kepada Ayahanda, Thobari, dan Ibunda, Mujaeni, tercinta, yang dalam

kesahajaannya tetap gigih bertekad, berjuang dan berkorban untuk mempersiapkan

masa depan yang lebih baik bagi permata-permata hatinya. Terima kasih atas

kesabaran, doa restu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menuntut

ilmu. Rasa haru bercampur bangga penulis kepada Kakak, Sumawati dan Suami

Khusnan yang ada di Lamongan, Susiati dan suami Mas Tris di Surabaya, dan

Keponakan tersayang, Erwin, rika, dan Adel hiasan hati dan elan vital penulis dalam rantau. Rasa terima kasih juga tak terlupakan kepada seluruh keluarga di Tangerang

terkhusus Kusmiyatin dan Suaminya Mas Joko di Tangerang, penggugah semangat

dalam proses studi penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada :

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

(6)

Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik, mengarahkan dan mendampingi

penulis dalam proses pengembaraan intelektual.

2. Bapak Dr. Shobahussurur, MA. yang telah sabar membimbing penulis dalam

menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini. Terima kasih atas arahan, dorongan

dan kerelaan meluangkan waktunya untuk mendengarkan permasalahan yang

dihadapi penulis.

3. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils. dan Ibu Dra Wiwik Siti Sajaroh, M.A.,

Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam yang telah membina

selama masa kuliah dan membantu menyelesaikan persoalan administrasi.

4. Seluruh Pengajar dan staf Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan tuntunan dan ilmunya kepada

penulis, terkhusus untuk Bapak M. Zaki Mubarok, M.Si, Dr. Nawiruddin, MA,

Agus Nugraha, M. Si, Dr. Bahtiar Efendi, MA, Dr. Din Syamsuddin, MA, Dr.

Saiful Muzani, MA, Eva Nugraha, M.Ag.

5. Kepada Keluarga Besarku yang berada di Jakarta dan Tangerang, Cak Amin

sekeluarga, cak Mat sekeluarga, dan famili-famili yang tidak bisa disebutkan,

terima kasih atas dukungan selama kuliah di Jakarta.

6. Special thank’s for my frieands, Markhamatul Aeni, Kaka Hanifa, Selviana, sebagai pendorong semangat dan motivasi, yang telah dengan sabar menunggu

dan mendengarkan keluh-kesah penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

(7)

7. Kakak-kakakku, Nur Kholis, Faizin, Mas Arif, Cak Habib, Irfan, Jajak, Cak

Muhib dan Istri, Cak Ali Ghozi dan istri, Cak Heri dan istri, Cak Uday Mashudi

dan istri, dan Mbak Among dan suaminya, atas dorongan semangat dan

nasehat-nasehatnya.

8. Aktifis WASIAT (Wadah silaturrahim Alumni Tarbiyatut Tholabah) yang

mensupport dan membimbing dalam menjalani hidup di perantauan di Jakarta,

Cak ut, Ka Mila, Mas Amiq, Cak Huda, Cak Anam, Mas Doel Karim, Mas

Kholid, mbak Umus, Mbak Latifa, Mbak Bayinah, Dail, Masykur, dan

temen-temen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Tanpa mereka, niscaya penulisan

skripsi ini tidak akan terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.

9. Sedulur Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Komisariat UIN Jakarta, Mas

Kisno, Mas Robi Habibi, Mas Muhlisin, Mbak Sukma, Mas Supria, Nuryanto,

Saipul, Juki, dan yang lain. Hormat kami persembahkan untuk ketua Cabang

PSHT Cabang Jakarta Selatan, Pak Dr. Surahman, SH,MH,MM dan rayon se

Jakarta Selatan.

10.Kepada teman-teman di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Badan

Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta (BEMU), Aliansi BEM PTAI se-Indonesia

Raya, FORKAS Futsal Club, PARAMUDA Foundation, ELSAS, Forum

Mahasiswa Ushuluddin se-Indonesia (FORMADINA), Lingkar Studi dan Aksi

(8)

Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),

Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan

Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Forum Mahasiswa Lamongan (FORMALA),

Akbar Tanjung Institut (ATI), LP3ES, Piramida Circle, Lembaga Surve Indonesia

(LSI), Laboratorium Politik Islam (LPI), Institut Lembang Sembilan (IL9),

Pemuda Pembaharuan PDP, Pemuda Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB),

11.Terakhir, buat seluruh masyarakat PPI khususnya angkatan 2003, semoga Allah

selalu memberikan Rahmat-Nya kepada kita semua.

Selanjutnya, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu,

penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih seraya berdoa semoga amal baik

mereka dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik di dunia maupun di akherat

nanti.

Akhir kata, semoga skripsi ini menambah cakrawala berfikir bagi

pembacanya. Segala saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan agar

dapat menyusun sebuah karya tulis ilmiah yang lebih baik lagi di masa-masa

mendatang.

Jakarta, 26 Juli 2009

(9)
(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kajian Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistimatika Penulisan ... 8

BAB II : BIOGRAFI ALI SYARI’ATI ... 9

A. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan ... 9

B. Karir dan Aktifitas Politik Ali Syari’ati ... 12

C. Karya–karya Ali Syari’ati ... 16

BAB III : STUDI TENTANG ETIKA POLITIK ... 19

A. Pengertian Dasar ... 19

1. Pengertian Etika ... 19

2. Pengertian Politik ... 21

B. Gambaran Umum tentang Etika Politik ... 23

C. Sejarah Etika Politik ... 27

D. Etika Politik dalam Teologi Islam ... 33

1. Politik Islam Sunni ... 34

(11)

BAB IV : KAJIAN KRITIS TENTANG KONSEP ETIKA POLITIK ALI

SYARI’ATI ... 46

A. Masyarakat Ideal Pandangan Ali Syari’ati ... 49

B. Konsep Kepemimpinan Politik ... 52

C. Islam sebagai Dasar Etika Politik Syari’ati ... 56

BAB V : PENUTUPAN ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran ... 67

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etika merupakan problematika dan tantangan manusia sepanjang sejarah.

Pada dasarnya peradaban manusia telah melahirkan nilai-nilai etika yang mulia,

tetapi kemuliaan nilai-nilai tersebut masih memiliki kekurangan dan masih jauh dari

kesempurnaan. Al-Quran telah menggambarkan bahwa bangsa-bangsa terdahulu

seperti kaum Ad, Tsamud, Saba’, dan kaum nabi Luth, menunjukkan bahwa

eksistensi kaum tersebut ditentukan oleh etika bangsanya.

Agama Islam hadir di tengah bangsa Arab yang sedang merosot etikanya.

Islam datang dengan membawa misi utama perbaikan etika bangsa Arab yang telah

jauh menyimpang dari peradaban manusia.1 Maka misi utama nabi Muhammad

diutus sebagai Rasul Islam terakhir yang diturunkan Allah untuk menuntun dan

membimbing gejola ambisi manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Innama buitstu li utammima makarima al akhlaq, yang artinya: tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan Akhlak.2

Pembahasan etika sudah dimulai jauh hari, bahkan sebelum adanya negara

yang mengatur tata kehidupan manusia dalam masyarakat. Dalam era Yunani,

pembahasan filsafat etika dimulai pada abad kelima sebelum masehi, muncul

tokoh-tokoh filsafat yang membahas etika seperti; Phytagoras, Sokrates, Plato, dan

1

Abdul Qodir Jailani, Negara Ideal: Menurut Konsepsi Islam , (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) h.149

2

(13)

Aristoteles.3 Namun dalam kajiannya para filosof belum mendefinisikan etika secara

spesifik seperti yang ada dalam sekarang.

Secara umum, etika adalah masalah yang fleksibel dan tidak dapat

dipisahkan dari perilaku manusia. Ia adalah sebagai bahan acuan dan norma yang

mengatur perilaku, namun dalam menentukan penilaian terhadap perilaku orang lain

sangat dipengaruhi oleh kekuatan intuisi sehingga hasil dari penilaian tersebut akan

sangat beragam. Karena tidak adanya barometer yang mampu mendeteksi nilai

positif dan negatif setiap perilaku, untuk itu perlunya adanya barometer atau alat

yang tepat dalam mengukur hasil penilaian terhadap setiap perilaku.

Etika bukan hanya suatu keharusan dalam perilaku politik, namun dalam

segala bentuk aktivitas manusia tidak terlepas dari nilai-nilai etika sehingga inti dari

permasalahannya terletak pada cara pandang yang berbeda dalam memaknai etika.

Dilain pihak kadang nilai etika tersebut diukur dengan intuisi dan dilain pihak pula

etika tersebut sering diukur dengan agama.4 Sebagaimana pemikir Yunani, Socrates

mengatakan bahwa untuk mencapai kebijakan (virtue) manusia harus memiliki pengetahuan dan tolak ukur mengenai apa yang baik dan buruk. Untuk itu manusia

perlu memahami etika serta menggunakan akal atau rasionya secara maksimal.5

Plato dan Aristoteles juga menganut prinsip mementingkan kebijakan

(vertue) dalam mengatur negara yang ideal. Kebajikan menurut mereka adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama agama haruslah dimaksudkan untuk

mencapai kebajikan itu.6 Thomas Aquinas juga berujar bahwa tugas penguasa

3

Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat, cet. Ke-11, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 51-52

4

Vikar, Islam dan Politik, artikel di akses tanggal 26 Januari 2008 dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/15/0805.ht

5

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001) h. 35

6

(14)

negara yang utama adalah mengusahakan kesejahtraan dan kebajikan hidup

bersama. Untuk itu penguasa negara dituntut untuk memenuhi kebutuhan materil,

diantaranya sandang dan pangan.7 Bagi para pemikir politik Islam, politik terkait

erat dengan etika. Bedanya, jika pemikir Yunani membicarakan keterkaitan itu

dalam wilayah filsafat moral, pemikir politik Islam mendiskusikannya dalam

naungan teologi. Ini indikasi, bahwa bagi Islam persoalan politik tidak terpisah

dengan persoalan agama.8

Pemikiran politik telah menjadi persoalan yang paling banyak digeluti oleh

kaum intelektual Muslim selama dua abad terakhir ini. Hal ini dapat dijelaskan,

terutama oleh perjuangan yang tengah berlangsung di kalangan rakyat muslim di

berbagai negara untuk memperoleh kemerdekaan politik dan kebebasan dari

ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan Barat. Salah satu tokoh intelektual dan

aktivis politik yang berorientasi pada kebijakan atau etika adalah Ali Syari’ati.

Tahun 1970-an, ia telah membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia Muslim.

Dari Sudan sampai Sumatra, agama timbul kembali sebagai faktor penting dalam

politik muslim.9

Ali Syari’ati sebagai pemikir terkemuka di Iran sangatlah luas gagasannya.

Ia tidak memandang agama sebagai spesialisasi ilmiah atau satu kebudayaan, tapi ia

menjadikannya sebagai sebuah ideologi dan mazhab pemikiran sebagai satu sistem

keyakinan. Ini berarti memahami agama sebagai suatu gerakan kemanusiaan,

historis, dan intelektual.10 Etika sebagai basis pemikiran dan gerakan menjadikan

7

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 100

8

Nurcholish Madjid, Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni, dalam Budy Munawar-Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h.588.

9

Ali Syari’ati, pengantar Membangun Masa Depan Islam, ( Bandung: Mizan, 1988 ) h. 11

10

(15)

manusia sebagai rusyanfikrn, yaitu kaum intelektual dalam arti yang sebenarnya. Kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat,

menangkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap

orang, menawarkan strategi, dan alternatif pemecahan masalah 11. Salah satu

pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta

memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”.

Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati adalah ” agama harus ditransformasikan dari

ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”.12

Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian menarik perhatian penulis

untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam satu pembahasan dengan judul:

Konsep Etika Politik Dalam Perspektif Ali Syari’ati

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Menguraikan tentang Pemikiran Ali Syari’ati merupakan hal yang sangat

luas sekali pembahasannya, karena beliau dengan segala fenomena telah banyak

sekali kiprah dan sumbangsihnya dalam segala aspek kehidupan di seluruh dunia,

terutama di negara Islam. Untuk itu, dalam hal ini penulis akan memfokuskan

penulisan skripsi ini pada konsep-konsep etika atau moralitas politik dan Kajian

Biografi Ali Syari’ati

Pertama, studi etika politik yang di dalamnya menyoroti tentang; pengertian

dasar, gambaran umum, sejarah etika politik, dan etika politik dalam teologi Islam,

yang meliputi politik Islam Sunni dan Syiah; konsep etika politik Ali Syari’ati yang

11

Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan, 1985) h. 14

12

(16)

meliputi konsep masyarakat ideal, konsep kepemimpinan politik, yang meliputi hak,

kewajiban, dan tanggung jawab penguasa; dan konsep Islam sebagai dasar etika

politik, berkenaan dengan landasan ideologi Islam sebagai ruh perjuangan dan tolak

ukur etika. Ini diharapkan mampu menjadi pisau analisis dalam memahami konsep

pemikiran Ali Syari’ati tentang etika politik. Kedua, kajian biografi digunakan

sebagai penelusuran mengenahi, siapa Ali Syari’ati dan peran politik Ali Syari’ati di

negara Iran.

Berdasarkan pada pembatasan masalah diatas, maka penulis melakukan

perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yaitu: bagaimana konsep etika politik

dalam perspektif Ali Syari’ati?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menjelaskan pengertian etika politik

2. Untuk menjelaskan konsep politik Ali Syari’ati

3. Sebagai upaya untuk memahami konsep etika politik perspektif Ali

Syari’ati.

D. Kajian Pustaka

Dalam skripsi ini penulis ingin mengetahui bagaimana konsep pemikiran

etika politik Ali Syari’ati. Dari hasil pengetahuan penulis ada beberapa tulisan

(17)

tentang konsep dasar mazhab pembebasan, konsep Ummah dan Imamah, serta

pembahasan perjuangan Ali Syari’ati. Firman, Haji: Perjalanan Manusia Menuju Tuhan (Sebuah Telaah Terhadap Karya Pemikiran Ali Syari’ati) (skripsi), tulisan ini menyoroti pemikiran Ali Syari’ati tentang konsep manusia dan haji dari sudut

pandang filsafat dan sosiologi.

Sementara itu, tulisan yang membahas tentang etika politik Ali Syariati

belum ada. Oleh karena itu, penulis akan memfokuskan dalam skripsi ini mengenahi

pemikiran etika politik Ali Syari’ati yang di kaji dan dianalisa dari berbagai sumber,

baik dari buku, majalah, jurnal, artikel, ataupun data-data kepustakaan lainnya

E. Metode Penelitian

Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan teknik analisis data

(deskriptif-analisis), yaitu data yang saya dapatkan tentang etika politik Ali Syariati

akan saya uraikan secara umum dengan cara menguraikan sesuai dengan data yang

ada di lapangan. Jenis penelitian deskriptif analisis ini dimaksud untuk

menggambarkan obyek atau fakta sosial yang diamati dengan duduk permasalahan

dan hubungan sosial yang terdapat di dalamnya. Dengan teknik ini diharapkan

mampu memahami apa yang menjadi pokok permasalahan.

Secara kategoris, teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan

penelitian pustaka (library research), yaitu dengan memanfaatkan sumber informasi yang terdapat di Perpustakaan dan informasi yang tersedia, baik yang

terdokumentasikan dalam bentuk buku, majalah, jurnal, artikel, ataupun data-data

kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan konsep etika politik dalam

(18)

dengan menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah obyek

kajian utama yang berupa karya-karya Ali Syariati seperti, Ummah dan Immama: Suatu Tinjauan Sosiologis, Membangun Masa Depan Islam, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Tugas Cendikiawan Muslim, dan Pemimpin Mustadh’afin.

Sedangkan data sekunder merupakan tulisan-tulisan yang mendukung

mengenai pembahasan tentang revolusi dalam pandangan Ali Syariati, seperti karya

Deden M. Ridwan, Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendikiawan Indonesia, Ali Rahmena, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner , Antony Black, Pemikiran Politik Islam atau karya-karya lain yang berhubungan dengan pembahasan.

Untuk teknik penyusunan atau penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada

buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ” tahun 2005/2006.

F. Sistimatika Penulisan

Untuk mempermudah membahas dan penulisan yang lebih sistematis, maka

penulis menyusun kedalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab,

yaitu:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar

belakang masalah, kemudian pembatasan dan perumusan masalah, dilanjutkan

dengan tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika

(19)

Bab kedua, biografi politik Ali Syari’ati yang meliputi latar belakang sosial

dan pendidikan, karir dan aktifitas politik, dan karya –karyanya.

Bab ketiga, merupakan pembahasan tentang etika politik, yang meliputi

pengertian etika dan politik, gambaran umum etika politik, sejarah etika politik,

etika politik dalam teologi Islam; politik Islam sunni dan politik Islam Syiah.

Bab keempat, pembahasan tentang etika politik dalam perspektif Ali

Syari’ati, yaitu masyarakat ideal pandangan Ali Syariati, konsep kepemimpinan

politik , dan Islam sebagai dasar etika politik Ali Syari’ati

Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran, yang

(20)

BAB II

BIOGRAFI ALI SYARI’ATI

A. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan

Ali Syari’ati, anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra13, dilahirkan

pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer

dari Sabzevar, propinsi Khorasan Iran. Dia merupakan anak pertama dengan nama

kecil Muhammad Ali Mazinani, dengan tiga orang saudara perempuannya, Tehereh,

Tayebeh, Batul (Afsaneh). Ali hidup dalam lindungan keluarga penyayang dari

masyarakat urban kelas menengah bawah.

Ibunya bernama Zahra, yang merupakan sosok perempuan relegius yang

memiliki dedikasi dan pekerja keras. Ia mengatur rumah tangga dan membesarkan

anak-anak dengan memberi contoh tingkah laku yang baik. Stamina dan

kesabarannya dalam menghadapi kondisi ekonomi keluarga yang serba kurang

menjadikan ia sosok ibu yang dikagumi Ali. Sedangkan Ayahnya, Muhammad Taqi

Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama

dari Masyhad. Ia bekerja di lebih dari satu institusi pendidikan di kota Masyhad

untuk kehidupan keluarga.

Dari sebuah keluarga sederhana itulah Ali tumbuh dan besar dengan dibekali

pengertian bahwa moralitas dan etika adalah nilai-nilai yang mengangkat status dan

kehormatan sosialnya, bukan uang. Ia tidak malu karena kondisi mereka yang cukup

miskin, justru keluarga Syariati bangga akan hal itu. Dalam hal pendapatan keluarga

yang minim, Zahra adalah orang yang bersedia melakukan semua bentuk

13

(21)

pengorbanan pribadi. Dia menerima kehidupan yang menyedihkan dengan makan

yang paling sederhana, sementara menyiapkan makanan yang cukup bagi anggota

keluarganya. Tanpa memperdulikan kualitas dan model pakaiannya, dia memastikan

bahwa semua anggota keluarganya yang lain akan kelihatan bisa terhormat. Dari

sinilah Ali mewarisi karakter dan sifat ibunya, sensitivitas mistik, kerja keras, tegas,

toleran, dan halus. Sedangkan dari ayahnya telah memberi kepercayaan diri melalui

ilmu pengetahuan dan status sosial serta spirit politik dan etika. 14 Taqi Syari’ati

adalah merupakan model dan pengaruh formative bagi sang anak dalam pandangan

keagamaan dan sosial-politik: Bapakku itu membentuk dimensi-dimensi yang

pertama bagi semangatku. Dialah yang mengajarkanku seni berfikir dan seni

makhluk manusiawi... Saya berangsur besar dan matang dalam perpustakaannya

yang baginya merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarga.15

Ali memasuki sekolah dasar Ibnu Yamin sebulan setelah sekutu menginvansi

Iran tahun 1941. Walaupun Ali hanya seorang anak laki-laki kecil, ia menyaksikan

keberadaan dan gerakan tentara-tentara Uni Soviet di Masyhad. Ini merupakan

kondisi yang memprihatinkan karena makanan sulit didapat.

Di sekolah dasar Ali pendiam dan pemalu, ia lebih suka memisahkan dirinya

dari aktivitas kawan-kawannya. Bahkan ketika kumpul dalam keluarganya ia juga

sering melamun, berbicara dan hidup dalam pikirannya sendiri dengan tidak

memperdulikan dunia di sekitarnya. Di sekolah Syari’ati tidak tertarik pada

pelajaran dan tidak termotivasi untuk belajar keras, bahkan ia sering bolos. Sering

kali pergi ke sekolah tetapi bersembunyi di suatu tempat dalam gedung sekolah

untuk menghindari masuk kelas. Guru-gurunya banyak mengeluh kepada ayahnya

14

Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid dkk., ( Jakarta: Erlangga, 2000 ) h. 53

15

(22)

mengenai kemalasan Syari’ati. Prestasi dia biasa-biasa saja tetapi cukup untuk

membuat dia naik kelas, padahal Ayahnya yang juga guru dalam sekolah itu

mengharapkan ia menjadi murid yang teladan namun Syari’ati muda tidak

memenuhi harapan itu.

Meskipun Syari’ati malas di sekolah, namun dia senang membaca. Sejak dia

kelas lima dan enam sekolah dasar Syari’ati sering terjaga dan membaca dengan

ayahnya sampai larut malam. Ia menenggelamkan dirinya di perpustakaan ayahnya

yang mengoleksi buku 2000 jilid.16 Dalam praktik, kelihatanya Syari’ati mengganti

belajar di kelas dengan belajar dan membaca buku di rumah yang membuatnya

tertarik dan senang. Ini menjadikan Syari’ati pintar dan lebih terdidik dibanding

teman-temannya meskipun ia tidak harus ranking satu.

Dalam masa studi selanjutnya sifat pendiam dan kesendirian Syari’ati

masa-masa kecil berubah menjadi sosok yang ceria dan nakal. Ia suka mengorganisir

anak-anak tetangganya untuk bermain. Ia menghabiskan waktu untuk bermain

layang-layang, melatih merpati, dan berputar-putar di jalan. Di kelas ia sering

membuat lelucon bahkan ketika ada gurunya. Sampai ia terpengaruh dengan teman

kecil terdekatnya, Falsafi yang membuat Syari’ati meninggalkan perilaku bebasnya

dan tertarik dengan studinya.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Ibnu Yamin, pada bulan September

1947 Syari’ati memasuki sekolah Menengah Firdaus. Di lingkungan sekolah ada

perpustakaan, laboratorium ilmu pengetahuan, fasilitas olah raga dan teater. Di

sekolah menengah, Syari’ati terkenal di antara teman-temannya sebagai murid

pemalas, tetapi bisa bersosialisasi dan sangat menyenangkan untuk dijadikan teman.

16

(23)

Di lain sisi dia dikenal sebagai anak kalem, bijaksana, dan cerdas. Tahun 1956, Ali

Mazinani melanjutkan studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad.17 Tahun 1960

ia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di

Universitas Sorbonne, Perancis. Kembali ke Iran Syariati menjadi dosen di sebuah

perguruan tinggi di Teheran.18

B. Karir dan Aktifitas Politik Ali Syariati

Ali Syari’ati (1933-1977) merupakan tokoh reformis Iran yang

mempersatukan banyak arus reformasi pada masanya: oposisi terhadap rezim Shah,

penolakan Westernisasi, revivalisme keagamaan, dan pembaharuan sosial.

Semenjak dalam pendidikan lanjutan atas, dia aktif dalam gerakan remaja

yang diasuh bapaknya, bernama Pusat Penyebaran Ajaran Islam (Center for the Spread of Islamic Teachings), bertujuan menanamkan semangat Islam dalam kalangan angkatan Muda Iran, menamakan kesadaran akan relevansi Islam dengan

kehidupan bangsa Iran dewasa ini.19

Kemudian pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya,

bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan (Movement of God Worshipping Socialists) yang berikhtiar melakukan sinthesa antara Syi’ah dengan sosialisme Barat.20 Bapak dan anak itu pun aktif dalam gerakan nasionalis yang

dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah

menjadi Liga Kemedekaan Rakyat Iran, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq

gagal melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Perlawanan Nasionalis

17

Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, h. 60

18

Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 585

19

Ali Syariati, On the Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Pers, 1979) h. 25

20

(24)

(National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qala’ah, Teheran selama 8 bulan sebagai akibat

gerakan oposisinya melawan Rezim Syah Reza Pahlevi.21

Setelah menyelesaikan studi pada Teacher Training College (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) kemudian Ali mengajar pada sekolah dasar. Pada masa

inilah dia menemukan pahlawan kedua atau model bagi kehidupan Islam, yaitu Abu Dzar al-Giffari (wafat 32 H/653 M). Ia merupakan seorang sahabat nabi Muhammad yang pada masa belakangan menuduh kemewahan dan korupsi dalam kehidupan

istana para pembesar khafilah dan sebagai pahlawan yang memperjuangkan

perbaikan kehidupan kaum melarat. Dalam pandangan Syariati dan dalam

pandangan aktivis-aktivis sosialis muslim, Abu Dzar adalah perlambang perjuangan

keadilan sosial sepanjang Islam atau sosialisme Islam. Selain itu beliau juga

merupakan perlambang oposisi Islam terhadap korupsi dan kosentrasi

kemakmuran.22

Tahun 1956, ketika Ali Syariati menempuh pendidikan dengan mengambil

studi Islam dan sosiologi di Universitas Sorbonne, Perancis inilah ia menjalin

hubungan secara pribadi dengan intelektual terkemuka seperti Louis Massiggnon

(Islamolog Prancis beragama Katolik), Jean-Paul sartre, “Che” Guevara, dan Jacques Berque. Ia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus.23 Selama

di Prancis ia memberikan sumbangan bagi perkembangan dalam bidang intelektual

dan politik. Disana juga ia aktif dalam Gerakan Pembebasan Iran (Liberation Movement of Iran) yang dibangun oleh Mehdi Bazargan dan Ayatullah Taliqani dan

21

Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Bandung: PT. Mizan Publika, 2004) h. 19

22

John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990) h, 255

23

(25)

menerbitkan secara berkala Free Iran ( Iran Merdeka).24 Dalam studi di Perancis itu, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak

pemikiran pelajar Iran. Dia melihat adanya proses pembaratan total yang

membentuk eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya dan memetakan inteletual

Islam yang meniru dan ‘intelektual Islam sejati’. Intelektual sejati mengikuti tradisi

Nabi. Perenungannya ini kelak membuatnya berpikir tentang Rausyanfikr

(intelektual yang tercerahkan) tercermin dari aktifitasnya di Hussainiah Irshad dan kumpulan tulisan What is To Be Done

Pada tahun 1965, ketika Ali Mazinani pulang ke Iran, pihak pemerintahan

Shah menganggapnya suatu ancaman. Ia ditangkap di Bazarqan (perbatasan

Iran-Turki) dan dipenjara 1,5 bulan karena aktifitasnya di Paris menantang pemerintahan.

Ali pun dibebasan tapi kemudian ia tidak boleh lagi mengajar di Teheran

University.25

Periode 1967-1973 adalah periode paling aktif dalam hidup Ali Mazinani. Ia

pergi ke Teheran dan mengajar di Masyhad, Hussainiyah Irshad serta beberapa

universitas dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Dalam wanktu singkat, ia

menjadi populer di kalangan mahasiswa dan meluas ke masyarakat umum. Di

Teheran, Ali Syariati diangkat sebagai pemimpin Pusat Bimbingan Keagamaan

Husainiah (Husayniyah Irshad Religious Center), sebuah lembaga pendidikan untuk kenangan kepada Husain bin Ali (wafat 61 H/681 M) yang mati syahid di Karbala.

Lembaga pusat itu merupakan simbul perjuangan yang hakiki dari Husain dalam

menentang penindasan dan ketidak-adilan Khilafah Umayyah. Bagi syariati,

lembaga itu melambangkan situasi rakyat Iran dewasa itu.

24

John L. Esposito, Islam dan Politik, h, 256

25

(26)

Dalam perkuliaan di Teheran, Ali Syariati merupakan sosok yang dikagumi

oleh mahasiswa, kalangan intelektual, dan kalangan kiri sehingga menyebabkan

pihak otoritas menuduhnya “ Marxist Muslim”. Selain itu aktifitasnya yang selalu

dianggap mempropagandakan perlawanan membuat khawatir Syah Pahlevi. Karena

itulah pada September 1973, SAVAK menangkap ayah Ali Syariati dan

memenjarakannya selama 18 bulan

Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia internasional,

pada 20 Maret 1975 Ali Mazinani terpaksa dibebaskan. Ia kemudian diawasi dengan

ketat dan diharuskan tinggal di desanya, Marzinan. Ia dilarang menerbitkan buku,

dan dilarang berhubungan dengan murid-muridnya, namun secara diam-diam ia

tetap memberikan kuliah perlawanan.

Menyadari dibatasi, Muhammad Ali Mazinani mengganti nama resminya

menjadi Ali Syari’ati dan meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977 menuju London.

Pergantian nama ini dimaksudkan agar ia tidak terdeteksi pihak bandara dan polisi

Iran (SAVAK). Lama tidak terlihat, pada 8 Juni 1977 SAVAK mengeluarkan edaran

bahwa Ali Mazinani telah meninggalkan Iran secara illegal dengan mengganti nama

menjadi Ali Syari’ati.26

Tanggal 18 Juni, Pouroan, istri Syaria’ti, beserta tiga putrinya hendak

menyusul ke London, tetapi tidak dijinkan oleh pihak berwenang. Tetapi Soosan dan

Sara, dua anak lainnya dibolehkan. Begitu tiba di Heathrow, Syari’ati menjemput

26

(27)

mereka dan membawa mereka ke sebuah rumah sewaan di daerah Southampton,

Inggris.

Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977 Syari’ati ditemukan tewas di

Southampton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit

jantung, tetapi banyak yang percaya ia dibunuh oleh Polisi rahasia Iran. Sang istri

menolak biaya pemakaman dari pemerintah karena tidak ingin terlibat dalam

eksploitasi nama suaminya demi kepentingan propaganda Syah Pahlevi. Syari’ati

lalu dimakamkan pada 27 Juni 1977 di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan

makam Zainab, cucu nabi dan saudara perempuan Imam ketiga, Husein bin Ali.27

Innalillahi wainnailaihi rojiun. Kematiannya menjadi mitos “Islam Militan”.

Pada hari ke-40, kematiannya diperingati di sekolah menengah atas Ameliat, Beirut,

dan mirip dengan pertemuan puncak berbagai organisasi pembebasan dari berbagai

Negara seperti Lebanon, Pakistan, Iran, Amerika, Kanada, Zimbawe, dan

sebagainya. Roh perjuangannya terus mengalir dalam tiap nadi rakyat Iran,

masyarakat Arab dan Internasional, menyusup dalam kesewenang-wenangan

kekuasaan hingga memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran Februari 1979.

Fotonya mendominasi di jalan-jalan Teheran, berdampingan dengan Ayatullah

Khomeini. 28

B. Karya-karya Ali Syariati

Ali Syari’ati merupakan seorang pemikir Islam yang inovatif, menganut

pendirian yang kontras dan tajam dengan interpretasi keagamaan tradisional dari

pihak ulama dan begitu pun dengan pandangan sekuler ala Barat dan kebanyakan

27

Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, 572

28

(28)

mahaguru Universitas. Ia dipengaruhi oleh kaum modernist Islam seperti

Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Iqbal. Ia juga menegaskan watak Islam yang

dinamik, progresif, dan ilmiah untuk mengatasi kemunduran negara-negara Islam

dan untuk membangkitkan vitalitas masyarakat Islam. Ali Syari’ati menggabungkan

pemikiran Islam dengan bahasa ilmiyah Barat dalam ikhtiar mengungkap ideologi

Syiah bagi pembaharuan sosio-politik.

Kumpulan kuliah Dr. Ali Syariati dan berbagai karya lainnya mencerminkan

Iran-Islam pada masanya: “sebab-sebab kemunduran Agama” (Reasons for the Decline of Religion), “Mesin dan Tawanan Paham Serbamesin” ( the Machine and the Captivity of Machinism), dan “Manusia tanpa Pribadi: dua Konsep Asing” (Man Without Self: Two Concepts of Alienation), “Revolusi Nilai-nilai” (A Revolution of Values), “Tauhid: Filsafat Sejarah” (Tauhid: a Philosophy of History). 29

Penulis tidak akan menulis satu-persatu karya Dr. Ali Syariati, namun hanya

karya-karya beliau yang terkenal dan releven dengan kajian skripsi penulis. Diantara

karya Ali Syariati adalah: Rahname-ye horasan, teheran: Entesharat, 1363.

Collected Work (C.W) 35 jilid yang dihimpun dan dikoreksi oleh Daftar –e Tadvin va Tamzim-e Majmu-eh-e Asar-e Mo’alem-e Shahid Doktor Ali Syariati. Namun

banyak karya Ali Syariati yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia antara lain:

Ummah dan Immamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Bandung: Pustaka Hidaya, 1995), Membangun Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1989), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1985), Ali Syariati, On the Sociology of Islam (Bandung: Mizan Pers, 1979), Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi

(Bandung: Mizan, 1992), Pemimpin Mustadh’afin (Bandung: Muthahhari

29

(29)

Paperbacks, 2002), Agama versus “Agama”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000),

Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya (Bandung: Mizan, 1990 ),

(30)

BAB III

STUDI TENTANG ETIKA POLITIK

Dewasa ini pemahaman etika dan politik ibarat air dengan minyak. Keduanya

sulit untuk dipertemukan dalam posisi yang sama. Etika atau moral dianggap

sebagai nilai yang keserba-baikan, keserba-sucian dan keserba-murnian. Sementara,

politik mewakili hal-hal yang kotor, licik, intrik, manipulasi dan sejenisnya. Untuk

melihat sejauh mana titik singgung dan titik pisah diantara keduanya, dalam bab ini,

penulis memaparkan tentang studi etika politik secara umum. Terlebih dahulu akan

dipaparkan pengertian dasar tentang etika dan politik untuk membentuk mainstream

sebagai pondasi memahami etika politik lebih luas.

A. Pengertian Dasar 1. Pengertian Etika

Kata etika berasal dari kata ethos, bahasa Yunani yang mempunyai arti dalam bentuk tunggal; tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan adat,

watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” yang artinya adalah adat kebiasaan.30 Etika adalah ilmu tentang adat kebiasaan untuk mengatur

tingkah laku manusia. Baik atau buruk perbuatan manusia dapat dilihat dari

persesuaian dengan adat istiadat yang umum berlaku di lingkungan dan kesatuan

sosial tertentu.31

Pendapat lain mengatakan etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan

mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika adalah ilmu bukan

30

K. Bretens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 4.

31

(31)

sebuah ajaran. Apabila etika menjadi penelitian sistematis dan metodis, maka etika

disini sama artinya filsafat moral.32

Emile Durkhem mendefinisikan pengertian moral meliputi tiga unsure;

Pertama, unsur moral adalah semangat disiplin. Kedua, keterikatan pada kelompok sosial; moral berarti aktivitas yang impersional (tidak mengenai orang tertentu).

Ketiga, otonomi penentuan nasib; otonomi menyangkut keputusan pribadi dengan mengetahui sepenuhnya konsekuensi- konsekuensi dari tindakan yang

dilakukanya.33

Kata lain dari etika adalah akhlak, dari bahasa arab. Dalam bahasa Indonesia akhlak berarti tata susila atau budi pekerti yang merupakan kata majemuk dari kata

budi dan pekerti.34 Dalam bahasa arab kata ini berasal dari khalaqa yang berarti menciptakan, seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang di ciptakan), dan khalq (pencipta). Dan akhlak dalam bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Akhlak memang bukan saja tata aturan

atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga

mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan bahkan dengan alam semesta.35

Ada pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah segala perbuatan yang

timbul dari orang yang melakukan ikhtiar dan sengaja, ia mengetahui waktu

melakukan apa yang diperbuat. 36 Inilah yang dapat diberi hukum “baik dan buruk”,

dengan arti lain akhlak adalah kebiasaan dan kehendak. Selain itu akhlak

mengandung arti sifat yang tertanam dalam jiwa, tanpa membutuhkan atau

32

Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 16

33

Emile Durkhem, Pendidikan Moral, (Jakarta: Erlangga, 1990), Cet. Ke-1, h.xi

34

Rahmat Jatnika, Sistem Etika islam; Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), h. 25

35

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2001), Cet. Ke-4, h. 1

(32)

memerlukan pemikiran dan pertimbangan untuk kemudian memilih melakukan dan

meninggalkan.37

Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas adalah sama-sama

menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan. Perbedaan mendasar antara

ketiganya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah

al-Qur’an dan Sunnah, bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran, dan moral

standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.38

Dengan demikian, dikatakan bahwa moral dan akhlak menerangkan tentang

kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan, sedangkan kata etika menerangkan

konsep kenyataan yang ada di lapangan dalam dimensi ideal. Etika mengandung

tingkah manusia secara umum (universal), sedangkan moral dan akhlak secara local.

Etika bersifat teori (hukum), akhlak dan moral adalah praktek (sikap), atau moral

dan akhlak membicarakan bagaimana adanya, sedangkan etika membicarakan

bagaimana seharusnya.

Sekalipun dalam pengertian antara ketiganya dapat dibedakan, namun dalam

pembicaraan sehari-hari bahkan dalam literature keIslaman, penggunaannya sering

tumpang tindih (overlaping).39

2. Pengertian Politik

Politik berasal dari bahasa Yunani kuno, satu pendapat mengatakan bahwa

politik berasal dari kata “politikos”, artinya kepunyaan Negara. Politik merupakan

37 Yunahar, Ilyas, Kuliah Etika, h. 3

38 Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), Cet, ke-2, h. 9

39

(33)

kegiatan yang dilakukan dalam suatu system politik yang disebut Negara, karena

pada dasarnya membicarakan politik adalam membicarakan Negara.40

Selanjutnya dikatakan lagi bahwa politik berasal dari kata “polis” yang berarti “Negara kota”. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia

yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan kewenangan dan kekuasaan

bagi pelakunya. Oleh karenanya pelaku politik haruslah cerdik dan bijaksana dalam

menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuannya.41

Menurut Meriam Budiarjo, sedikitnya ada lima pendekatan yang digunakan

untuk mendefinisikan istilah tersebut. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah;

pendekatan kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, belied), dan pembagian kekuasaan (distribution) atau alokasi (allocation).42 Menurut Hugo F. Reading politik diistilahkan sebagai suatu aloksi nilai-nilai otoritatif yang menjadi bagian dari

tindakan-tindakan atas nama pemerintah dan Negara.43 Nilai yang dimaksud dapat

bersifat abstrak, seperti kejujuran, kebebasan pendapat, kebebasan mimbar dan

sebagainya. Dan yang bersifat konkret (material), seperti rumah, kekayaan, dan

sebagainya.44

Sama halnya dengan pendapat di atas, Ramlan Subakti mengatakan bahwa

sekurang-kurangnya ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, pandangan klasik yang mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk

membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik secara

40

Inu Kencana Syafi’I, Ilmu Politik,(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h. 19

41

Kencana Syafi’I, Ilmu Politik, h. 19

42

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 ), Cet. Ke-19, h. 8

43

Hugo F. Reading, Kamus Ilmu-ilmu Sosial, terj. Sahat Simamora(Jakarta: Rajawali Pers, 1986), Cet. Ke-1, h. 305

44

(34)

kelembagaan, artinya politik adalah segala hal yang berkaitan dengan

penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kekuasaan diartikan sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan

mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai fungsionalisme, yaitu politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik, yaitu kegiatan mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum untuk mendapat

atau mempertahankan nilai-nilai.45

Di Dunia Timur, dipergunakan istilah siyasah sebagai pengganti istila

politik. pemakaian kata Siyasah jauh lebih tua dari perkataan politik, namun kepopuleran dan keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudah itu.

Siyasah berasal dari bahasa arab yang merupakan masdar dari kata sasa yasusu

berarti kepemimpinan. Dalam pengertian bahwa siyasah adalah ilmu pemerintah, yaitu kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus

dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan

peraturan-peraturan dalam Negara.46

B. Gambaran Umum tentang Etika Politik

Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari

ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagi cabang falsafah ia membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai

cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran

moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika

45

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), Cet. Ke-4, h.2

46

(35)

khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap

tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti dalam Islam,

aliran-aliran pemikiran beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas

dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di

dalamnya.47

Etika khusus dibagi menjadi dua, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika

individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan

kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan

tanggungjawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas kewajiban

serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama

manusia, masyarakat, bangsa, dan negara.48

Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika

keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika pendidikan, etika kedokteran, etika

jurnalistik, dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan

demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu

bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem

politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat

lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan

memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.

Sebagai cabang – cabang etika lain, etika politik meletakkan dasar

fundamental manusia sebagai manusia, yaitu bahwa manusia pada hakikatnya

merupakan individu dan anggota sosial, sekaligus merupakan pribadi merdeka, juga

sebagai makhluk Tuhan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang

(36)

beradab dan berbudaya, yang tidak bisa hidup di luar adab dan budaya tertentu.

Dalam etika politik, manusia dipandang sebagai subyek yang berdeka dalam dirinya

sendiri dengan kepercayaan dan pandangan hidup yang dianutnya. Ukuran paling

utama dalam etika politik ialah harkat dan martabat manusia. 49

Dengan demikian pengertian ‘politik’ yang diletakkan kepada etika politik

mengandung pengertian yang luas, bukan pengertian yang sempit seperti dibahas

dalam ilmu politik. Kata-kata politik, dari kata politics dalam bahasan Yunani, mempunyai arti khusus dalam ilmu politik. Ia dikenakan biasanya kepada

anekaragam kegiatan dalam masyarakat berkenaan dengan system politik tertentu

yang dianut oleh negara di mana suatu masyarakat atau bangsa itu hidup. Maka

kegiatan politik selalu dihubungkan dengan kehidupan kenegaraan, pemerintahan,

penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut

kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai

politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan

kemasyarakatan dan negara.

Di sini politik terutama dikaitkan dengan kegiatan yang menyangkut

kepentingan publik dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan kehidupan publik.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam ilmu politik, cakupan pengertian

politik itu dibatasi pada konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) – misalnya distribusi kekuasaan – dan alokasi (allocation). 50

49 Ramlan Surbakti, Memahamai Ilmu Politik (Jakarta; Gramedia, 1992) hal 1

50

(37)

Dalam kehidupan sehari-hari tidak semua manusia dapat melakukan tindakan

berdasarkan pertimbangan moral dan akal pikiran. Banyak orang melakukan

tindakan demi dorongan egonya semata-mata yang sering tidak masuk akal dan

tidak bermoral. Untuk alasan itulah hukum diperlukan. Hukum di sini ikut berfungsi

memberi pengertian lebih mendasar tentang tindakan yang baik dan buruk. Hukum

berfungsi pula mengingatkan manusia akibat-akibat dari pelanggaran yang

dilakukannya.

Hukum terdiri dari norma-norma bagi tindakan yang dapat dibenarkan dan

tidak dapat dibenarkan. Tetapi hukum hanya bersifat normative, dan tidak dengan

sendirinya menjamin masyarakat mentaatinya. Oleh karena itu yang secara efektif

menentukan perilaku dan tindakan masyarakat ialah lembaga yang mempunyai

kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Hukum

tanpa kekuasaan negara adalah sesuatu yang tidak bermakna, sebab hukum hanya

bisa dilaksanakan dalam konteks kekuasaan negara atau lembaga hukum yang diberi

wewenang oleh negara. Sebaliknya negara tidak bias berbuat apa-apa tanpa landasan

hukum yang jelas dan disepakati bersama. Negara seperti halnya hukum

memerlukan legitimasi dan itu ada di tangan rakyat.

Etika politik membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan obyek

formal etika, yaitu tinjauan kehidupan politik berdasarkan prinsip-prinsip dasar

etika. Obyek materialnya meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan dan

penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.51

Dalam konteks Indonesia etika politik dalam pelaksanaan dan

penyelenggaraan negara adalah Pancasila, yang menuntut agar kekuasaan dalam

51

(38)

negara dijalankan sesuai dengan: (1); Asas legalitas atau legitimasi hukum, yaitu

dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara RI yang berdasarkan

Pancasila; (2) Disahkan dan dijalankan secara demokratis; (3) Dilaksanakan

berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan moral.

Muhammad Hatta mengatakan bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan

dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus menjadi “negara kekuasaan”.

Pancasila sebagai etika politik didasarkan atas sila-sila yang terkandung di

dalamnya, yang nilai-nilainya sebagai pedoman hidup bernegara di Indonesia.

C. Sejarah Etika Politik

Alasan paling mendasar penelitian ini adalah upaya menghubungkan kembali

keterputusan tindakan politik dengan nilai moral yang kabur dan nyaris hilang.

Sebagaimana dapat dipahami, setelah manusia mengalami kebangkitan peradaban,

rasionalitas menjadi ujung tombak penentu segala-galanya. Moral yang terlalu

metafisik lambat laun tidak menarik lagi dalam perdebatan para ilmuan. Dimana

tindakan sosial diukur dengan metodelogi sains yang positifistik. Pada kenyataannya

kebangkitan rasionalitas manusia telah mengalami kebuntuan, etika yang

ditanamkan pada abad pertengahan tidak mampu memberikan jawaban kegelisahan

manusia modern. Keberadaan agama dalam suatu negara seakan-akan menjadi

penghias sejarah belaka. Masalah etika dan politik selalu dibenturkan dengan agama

dan negara. Padahal sesungguhnya, etika dan politik bila dilihat dari sudut pandang

filsafat moral merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan.

Pada perkembangan sejarah etika politik kekinian, tampaknya semangat moral

(39)

ilmu-ilmu sosial untuk mencari jawaban kerumitan standar tindakan yang etis dan

bermoral. Dengan demikian, etika menjadi sejumlah keyakinan yang ada pada

masyarakat, juga sejumlah kecenderungan pribadi. Hal ini mendorong tidak saja

mempelajari etika moral yang sudah ada, melainkan juga mencari landasan baru

bagi etika itu sendiri. Banyak orang berpaling kepada tradisi dan agama untuk

mencari bimbingan dalam memecahkan masalah etika. Dua bidang ilmu ini

memiliki keterbatasan, sehingga nilai-nilai agama dan tradisi seringkali tumpang

tindih. Tradisi bisa menjadi bagian dari nilai moral yang ada pada agama, begitu

juga sebaliknya, agama bagian dari tradisi yang sumber nilainya masih

diberlakukan.52

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tindakan yang etis tidak cukup

disandarkan pada nilai agama dan tradisi. Suatu tindakan itu dianggap benar ataupun

salah, bukan karena dianjurkan dalam agama dan tradisi. Akan tetapi baik buruk bisa

saja dipelajari dari pesan moral yang disampaikan, tetapi moralitas tidak terbatas

pada tradisi ataupun agama. Selain itu, belakangan ini juga semakin banyak filosof

menaruh minat pada etika terapan, yaitu etika yang menangani masalah moral,

bukan menangani teori moral yang abstrak semata. Melihat berbagai disiplin ilmu

pengetahuan dari kaca mata etika.

Hal ini merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk membumikan nilai-nilai

moral ke dalam masalah-masalah yang aktual, juga keberanian diri untuk

mengambil sikap dan tindakan yang menyangkut kebajikan umum. Perkembangan

ini merupakan titik balik pengakuan terhadap adanya realitas dari berbagai masalah

52

(40)

etika yang aktual.53 Tugas etika selanjutnya adalah mengevaluasi berbagai

keyakinan serta nilai yang dimiliki oleh agama dan tradisi pemikiran. Untuk

mewujudkan itu, teori-teori etika harus brangkat dari kebutuhan manusia, yang

berisi konteks historis dari sejumlah pengalaman yang sudah terstruktur sekian lama.

Begitu pula dengan penelitian ini, dimaksudkan dapat menjadi penilaian etis dalam

pemikiran politik.

Sejarah pemikiran etika politik jauh hari sudah ada, bahkan sebelum adanya

Negara yang mengatur tata kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Para filosof

politik klasik berusaha menjawab tentang struktur-struktur organisasi mana yang

paling baik. Dalam hal ini, Plato dan Aristotekes sama-sama mempertanyakan

Negara yang baik. Bagi Plato, Negara yang baik adalah Negara yang merealisasikan

keadilan, yang ditata secara selaras dan seimbang, dengan pimpinan yang

berorientasi pada idea metafisik kebaikan. Dia yakin bahwa, etika politik seperti itu paling sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat dan dengan demikian paling

menunjang kebaikan masyarakat.

Berbeda dengan Aristoteles, pendekatan etis yang dilakukannya adalah

kebahagiaan.54 Dengan adanya Negara, manusia dapat hidup bahagia, maka tingkah

laku manusia harus memiliki keutamaan-keutamaan etis. Agar manusia dapat

mengeksiskan diri dalam bernegara, harus megembangkan bakat-bakat etis yang

tertanam dalam kodratnya, hingga dapat menjadi manusia yang paling sempurnah.

Aristoteles menolak orientasi pada idea-idea metafisik. Dengan begitu, Negara yang

paling baik adalah Negara yang organisasinya sesuai dengan fungsinya, serta

dipimpin oleh orang yang berpengalaman dan memiliki keutamaa-keutamaan yang

53 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, hal 12.

(41)

diperlukan. Harapan kedua filsuf ini jelas, yakni Negara yang paling baik dan sesuai

dengan kebutuhan masyarakat. Motivasi harapan tersebut merupakan suatu penilaian

etis yang kebijaksana.55

Dalam fase filsafat politik (etika politik) Yunani belum mengenal tuntutan

legitimasi kekuasaan. Penguasa hanya dihimbau untuk berlaku bijaksana. Hal ini

masih sekedar himbauan moral terhadap penguasa. Faham bahwa kekuasaan harus

dipertanggungjawabkan secara etis masih asing dibicarakan. Bangunan etika politik

waktu itu belum merefleksikan nilai transendental dan sama sekali belum

memahami maksud dari kesejahteraan. Dalam filsafat moral ini, yang dianggap

paling mulia dalam manusia bukanlah dia sendiri, melainkan logos, dan partisipasi untuk hal itu.

Bertolak dari itu kemudian berkembang terhadap pemikiran yang mengajukan

tuntutan legitimasi etis. Dalam fase ini legitimasi etis menjadi sorotan dalam

perbincangan etika politik. Seorang neo-platonisme, Augustinus mengajukan bahwa

legitimasi etis terdapat dalam negara, yang dibedakan menjadi dua; yaitu Negara

Allah dan Negara duniawi.56 Pertama adalah negara Allah yang akan mencapai

kesempurnaan pada akhir zaman, sedangkan kedua, adalah Negara yang akan hancur

pada akhir zaman nanati. Negara sebenarnya merupakan sesuatu yang buruk, namun

diperlukan karena manusia dalam keadaan berdosa di dalamnya. Karena kelemahan

kesadaran moral manusia itulah diperlukan kekuasaan duniawi yang menata

kehidupan manusia. Jadi, Negara bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana

penertiban manusia. Peran dan fungsi Negara hanya terbatas pada penertiban

manusia yang berdosa. Negara tidak berhak untuk memerintahkan sesuatu hal yang

(42)

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah, dan dapat dibenarkan sejauh dalam

batas-batas kebenaran dan keadilan.

Dengan demikian, tuntutan legitimasi etis dalam hal ini menjadi mutlak

keberadaannya. Pada prinsipnya, pendekatan etis yang dilakukan Augustinus adalah

usaha untuk menggambarkan hirarki nilai-nilai yang dikehendaki Allah.57 Semakin

manusia hidup sesuai dengan hirarki itu, semakin ia akan menikmati kebahagiaan.

Namun demikian, etika politik ini belum menemukan bentuknya. Augustinus belum

menawarkan kerangka untuk mengusahakan suatu perbaikan Negara itu sendiri. Dia

melihat, Negara sebagai sesuatu yang jelek, sedangkan manusia terpaksa harus

menerimanya. Negara dipandang sebagai akibat dosa manusia, dan bukan sebagai

realitas duniawi yang sebenarnya positif. Augustinus belum menerangkan kerangka

etika politik secara teoritis.

Dalam perkembangan berikutnya, tuntutan legitimasi politik digali kembali

oleh Thomas Aquinas, yang sejajar dengan Plato, Aristoteles dan Augustinus.

Perhatiannya pada bidang kenegaraan dan politik, khususnya hubungan Negara

dengan hukum kodrat. Dalam anggapannya, hukum kodrat adalah hukum dasar

moral yang mencerminkan hukum kebijaksanaan Ilahi. Pendekatan etis ini

merupakan moralitas manusia sebagai ketaatan terhadap hukum kodrat.58 Dengan

kata lain, hukum kodrat adalah partisipasi dalam hukum abadi, yang bukan lain

kebijaksanaan Allah, sebagai asal-usul dan penentu kodrat ciptaan. Hukum positif

yang dibuat manusia hanyalah sah jikalau tidak bertentangan dengan hukum kodrat.

Begitu pula tindakan Negara hanya legitimit asalkan sesuai dengan norma-norma

moral.

(43)

Dapat diringkas bahwa, Negara yang tidak berdasarkan hukum kodrat, akan

bertentangan dengan moral. Hukum ini tidak membatasi wewenang Negara,

melainkan mejadi dasarnya. Inti filsafat Negara Thomas Aquinas adalah bahwa

eksistensi Negara bersumber dari kodrat manusia.59 Dia menolak anggapan

Augustinus, bahwa Negara hanya perlu karena kedosaan manusia. Ia kembali pada

etika politik Yunani klasik, bahwa Negara berdasarkan suatu kebutuhan kodrat

manusia. Thomas Aquinas mengikat tujuan Negara pada tujuan manusia, dengan

menjadi kebutuhan manusia sangat penting dalam Negara.

Bagi Thomas Aquinas, Negara merupakan realitas yang positif dan rasional.

Positif sesuai dengan kodrat manusia, yang mengakui dan bersedia menaatinya.

Negara tidak ditaati karena orang takut terhadap ancamannya, melainkan karena

fungsi dan wewenangnya dimengerti. Thomas Aquinas meletakkan dasar untuk

bersifat kritis terhadap Negara.

Dalam fase selanjutnya etika politik berkembang menjadi kajian yang lebih

sistematis. Pada abad ke-17 muncul tokoh-tokoh filsafat yang mengembangkan

pokok-pokok etika politik. Kita bisa melihat konsep Jonh Locke tentang “pemisahan

antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negara”, “kebebasan berfikir dan bernegara”,

“pembagian kekuasaan”, dan konsep tentang “hak asasi manusia”. Selain itu ada

tokoh lain, Montesquie dengan gagasan “pembagian kekuasaan”, Rousseau dengan

pemikiran “kedaulatan rakyat”, dan Khan dengan ide tentang “negara hukum

demokrasi/republican”.60

Dalam dunia Islam, realitas politik dan adanya semangat teologi tersebut

mendorong para filosof dan para ahli politik Islam untuk membuat aturan-aturan

59 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal 198.

60

(44)

pemilihan seorang pemimpin pemerintahan demi terwujudnya negara ideal. Dalam

beberapa karya tulis misalnya, Al-Farabi dalam karyanya, Madiinah Al-Faadhilah, Ibnu Maskawih dalam bukunya Tahziib Al-Akhlak, dan Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkaam Al-Shultaaniyah. Ini artinya, para pemikir Islam menyadari betapa Islam memperhatikan dalam menciptakan dan mengembangkan

negara ideal dan ajaran tentang etika politik.

C. Etika Politik dalam Teologi Islam

Persoalan Etika politik merupakan sesuatu yang sangat penting dalam agama

Islam. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik diniatkan

dengan lillahi taala. Dalam berpolitik tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsif ibadah akan merusak

”kesucian” politik.

Kedua, etika politik dipandang sangat perlu karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering

menyangkut hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati, menghargai

hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah

perinsip hubungan antar manusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.61

Hubungan yang erat antara etika politik di dalam agama Islam dikarenakan

asas dalam teori politik Islam tidak ada pemisahan antara agama (al-din) dengan negara (al-daulah). Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk

61

(45)

segala aspek kehidupan, termasuk politik. Oleh karena itu dalam paradigma para

teoritis politik Muslim, baik kaum Sunni maupun Syi’ah adalah perlu untuk

merumuskan kerangka yang tepat agar hubungan Islam dan negara betul-betul

organik.

Perubahan pemikiran dalam aspek politik Islam itu sendiri tidak bisa

terhindarkan. Hal ini meniscayakan politik Islam secara konseptual senantiasa

berdialektika dengan zaman yang dihadapi. Dalam berbagai pandangan tentang

hubungan Islam dengan politik telah memberi pengaruh yang sangat signifikan

terhadap pola pikit dan perilaku generasi muslim, baik secara individual maupun

kelompok. Akibatnya, lahirnya berbagai macam aliran dalam pengamalan ajaran

Islam. Dari yang paling lembut, moderat, sampai yang paling ekstrem.

Masing-masing aliran mempunyai alasan tersendiri. Namun, semuanya

bermuara kepada sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini

lahirlah berbagai konsep yang mempunyai karakteristiknya masing-masing dengan

model dan pola yang unik, baik dilihat dari segi penampilan maupun sistem nilai

(etika) yang dianutnya. 62

Di bawah ini penulis memaparkan konsep politik dua kelopok besar

dalam teologi Islam, yaitu kelompok sunni dan syi’ah. Ini dimaksud sebagai kajian

dalam memahami secara historis etika politik dalam teologi Islam

1. Politik Islam Sunni

Meskipun memiliki beberapa variasi yang akan kita singgung di bawah, pada

intinya pemikiran politik Sunni sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang

62

(46)

niscaya demi memungkinkan manusia bekerja sama untuk meraih tujuan hidup yang

sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik berdasar syariah yang pada gilirannya akan

menghasilkan bagi mereka tempat yang baik di kehidupan akhirat.63

Perdebatan biasanya hanya berkisar pada apakah keniscayaan menegakkan

pemerintahan merupakan kewajiban keagamaan ataukah sesuatu kebutuhan yang

bersifat rasional. Kelompok Sunni yang diwakili oleh Al-Mawardi, Al-Gozali, Ibn

Taimiyah, dan sebagaianya berpendapat bahwa hal ini bukan merupakan kewajiban

keagamaan, melainkan suatu kebutuhan yang bersifat duniawi. Hal ini penting

mengingat ini akan menentukan cara pandangnya atas sifat sacral atau profane

kepemimpinan dan cara-cara pengelolaan suatu Negara atau pemerintahan secara

etis.

Untuk dapat bekerja sama demi meraih tujuan sejati itu, manusia perlu

mengorganisir diri dalam sebuah Negara yang di dalamnya para penduduknya

bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kerjasam manusia dalam bentuk

Negara ini bersifat niscaya karena dua hal: Pertama, sebagai makhluk social manusia perlu bekerja sama untuk saling mendukung dalam menjalani kehidupan

yang baik berdasarkan syariah. Jika tidak ada saling dukungan ini, lingkungan yang

kondusif bagi hal itu tak akan tercipta. Maka masyarakat pun sedikit banyak akan

terhalang dalam menjalankan syariah. Kedua, banyak di antara aturan-anturan syariah, seperti zakat, jihad, dan sebagainya, pelaksanaannya memang melibatkan

kegiatan yang bersifat kolektif.64

63

Kholid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta,1994), h. 9

64

(47)

Dengan sendirinya asosiasi ini membutuhkan pemimpin yang bisa

menjadikan upaya-upaya “menjalani kehidupan yang lebih baik berdasarkan

syariah” berlangsung sebaik mungkin. Pada gilirannya, karena syariah adalah

sesuatu yang sentral, seseorang pemimpin haruslah sebelum yang lain memiliki

syarat yang sesuai dengan itu: pemahaman syariah yang baik dan akhlak yang baik.

Baru, setelah itu dibutuhkan syarat kafa’ah yang terkait dengan kapabilitas manajerial dan administrative, sebagai syarat umum kepemimpinan lainnya. Inilah

dasar imamah atau kepemimpinan relegius yang akan dijelaskan di bawa ini, yang menjadi isu sentral dalam konsep politik dan kenegaraan di kalangan sunni.65

Ketika kita mempelajari teori-teori politik dan kenegaraan yang

dikembangkan oleh para pemikir politik Sunni sepanjangh sejarah. Keberadaan

imam, khalifah, dan sultan merupakan isu sentral di dalamnya. Pemikiran para ahli

hukum Sunni, termasuk Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Bagdadi, al-Juwaini, al_Gozali,

Fakhr al-Din al-Razi, seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada person imam

sebagai pemimpin kaum beriman, dan tidak ada otoritas atau kekuatan dianggap sah

kecuali dilaksanaan sebagi hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak

Bahkan, dengan bangkitnya Dinasti ‘Abbasiyah’, imamah makin dilihat sebagai suatu pancaran dan delegasi dari otoritas Ilahi. Sampai pada suatu tingkat

sedemikian, sehingga ditolaknya pandangan al-Baqillani dan al-Bagdadi, dua orang

teoretisi politik terpenting di kalangan Sunnisme klasik-mengenahi ummah sebagai sumber klaim kekuasaan imam, dan pendapat al-Juwaini yang menunjuk ahl hal wa al’aqd sebagai sumber klaim sedemikian. Penguasa pun kemudian disebut-antara

65

(48)

lain oleh ibn Taimiyah sebagai Bayangan Tuhan di bumi dan bahwa kedaulatannya

merupakan refleksi kemahakuasaan Tuhan, nyaris suatu teokrasi.66

Akan tetapi, semua ini adalah konsep ideal yang mereka rumuskan secara a

priori terhadap situasi dan kondisi politik pada masa itu. Antara lain, karena tantangan-tantangan praktis belum memberikan tekanan yang terlalu besar pada

rumusan-rumusan politik mereka.

Ketika kemudian kekhalifahan Abbasiyah melemah dan mendapatkan

tantangan dari kekhalifahan-kekhalifahan baru yang melepaskan diri darinya, para

ahli hukum Sunni dihadapkan pada suatu situasi yang mengharuskan mereka

mengambil sikap. Dari sinilah modifikasi-modifikasi terhadap teori ummah

universal dimulai.

Suatu delimatis yang lebih serius muncul ketika Kekhalifahan Abbasiyyah

belakangan sama sekali kehilangan kekuasaan efektifnya. Dalam mengatasi hal ini,

al-Mawardi justru menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam dan dengan

demikian memulihkan legitimasi kekhalifahan Abasiyah. Di sisi lain kekuasaan

penguasa actual, dalam hal ini Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyyah, harus pula

dilegitimasi.67

Peran ini kemudian diambil alih oleh Ghozali. Ia memulai dengan

menyatakan bahwa kekuasaan temporar dan spiritual bisa dipisahkan dan tidak harus

berada pada suatu pusat kekuasaan tunggal. Ketika tidak ada imam yang mampu

atau tidak memungkinkan mengemban kedua fungsi kekuasaan ini, suatu kerjasama

yang di dalamnya salah satu bertindak sebagai pemimpin spiritual sementara yang

lain sebagai pemimpin temporal de facto (sultan) merupakan yang sama sahnya.

66

Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h. 99

67

(49)

Konsep tersebut diwujudkan pada masa pemerintahan Saljuk, yang mana pada saat

itu diwajibkan oleh al-Ghozali ketaatan terhadap pemerintahan yang dikuasai

kekuatan militer sebagai pemimpin dalam pemerintahan.68

Ketika akhirnya kekhalifahan benar-benar runtuh dan tidak ada lagi, para

ulama Sunni mengambil langkah yang lebih radikal. Mereka pun memodifikasi teori

politik dengan memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah kepada

sultan sebagai penguasa temporal. Selama sultan mengakui universalitas syariah,

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian materi teleedukasi menggunakan video tentang mencuci tangan disertai dengan melakukan uji pengetahuan sebelum dan sesudah pemberian materi mampu

– bagian organisasi agar cocok dan efisien dalam mencapai tujuannya, 3) Pengarahan, memberitahukan orang lain apa yang harus dilakukan dengan tujuan agar tugas – tugas

Posisi layar akan lebih sesuai dengan level mata sehingga pengguna tidak harus melakukan gerakan menunduk yang berlebih jika dibandingkan dengan laptop yang berukuran kecil.

Untuk pengukuran pada isolator dalam keadaan bersih pada suhu dan kelembaban relatif ruang pengujian 25,9° - 26,1° C; 76%, dengan menggunakan tegangan 12 kV (merupakan tegangan

Wagner, Stephan & Essig, Michael., 2006, “Electronic procurement applications and their impact on supplier relationship management”, International Journal of

Jadual koefisien regresi logistik dari pemboleh ubah-pemboleh uabh ketersampaian terhadap minat masyarakat, memperlihatkan bahawa hanya pemboleh ubah masa yang

Penelitian lain juga telah dilakukan di Taman Nasional Gunung Halimun (Harada et al., 2002 dalam Kilgour, 2004: 7-10), dari penelitian ini diperoleh 18 jenis tumbuhan dari 15 suku

Dimana masyarakat dapat menjual sampah anorganik ke bank sampah dengan harga yang telah ditentukan oleh Bank Sampah Pusat, hal ini dapat memberi nilai tambah bagi