Pendidikan Agama Islam
Disusun Oleh: Hasan Fatoni 108011000081
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Pendidikan Agama Islam
Disusun Oleh: Hasan Fatoni 108011000081
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i BEKASI
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Agama Islam
Oleh Hasan Fatoni 108011000081
Di Bawah Bimbingan
Drs. H. Acmad Gholib, MA NIP. 19541015197902 1 001
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir Kramat Jati Jakarta dan Tambun
Bekasi” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal 28 Maret 2013, dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S. Pd. I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 16 April 2013
Panitia Ujian Munaqosah
Ketua Panitia Tanggal Tanda Tangan
Bahrissalim, M. Ag
NIP : 19680307 199803 1 002 ………….. ...
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/ Program Studi)
Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag
NIP : 19670328 200003 1 001 ………….. ...
Penguji 1
Drs. Aminudin Yakub, M. ag ... ... NIP : 19710214 199703 1 001
Penguji 2
Drs. Ghufron Ihsan, MA ... ...
NIP : 19530509 198103 1 006
Mengetahui, Dekan
Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA
Ketua/Sekretaris Jurusan/Program Studi Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa,
Nama : Hasan Fatoni
N I M : 108011000081
Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam
Semester : IX (Sembilan)
Benar telah menyelesaikan semua program akademik sesuai ketentuan yang berlaku dan
berhak untuk menempuh Ujian Skripsi (Munaqasah).
Jakarta, 04 Januari 2031
Mengetahui,
Penasehat Akademik, Ketua/Sekretaris Jurusan/Prodi
Siti Khadijah, MA Bahrissalim, M. Ag
NIP. 19700727199703 2004 NIP. 19680307199803000 1002
حملل ىنملا تبلطو ىنملل ةبحملا تكرت"
ب
"ة
“Aku tinggalkan cinta demi cita
-cita dan aku
mencari cinta untuk cita-
cita”
“EKSPRESIKAN CINTA
KARYA MELALUI
Ibunda tercinta Suadah, yang telah mencurahan kasih sayang,
doa, dukungan moral dan material sehingga mengantarkan penulis kejenjang sekolah yang lebih tinggi.
Guru-guru, yang telah memberikan keluasan ilmunya kepada
penulis.
Seluruh Keluarga, Kakak serta anak-anaknya (Khatijah, Agus dan
Abida) dan seluruh family yang telah memberikan do'a, motivasi, dan bantuan untuk meraih cita-cita dan untuk menjadi seperti
apa yang mereka harapkan.
Teman-teman Alumni MANBA (Madrasah Aliyah Bangkalan),
Pergerakan intelektual Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah UIN Jakarta yang telah berbagi pengalaman hidup melalui inspirasi ide
dan gagasan keilmuannya.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
N a m a : Hasan Fatoni
Tempat/Tgl.Lahir : Bangkalan, 06 Agustus 1986
NIM : 108011000081
Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir dan Implementasinya
di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir
Ktamat Jati Jakarta dan Tambun Bekasi
Dosen Pembimbing : Drs. H. Acmad Ghalib, MA
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan
saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat
sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 03 Januari 2013 Mahasiswa Ybs.
Hasan Fatoni
KATA PENGANTAR
Assalamu’aliakum warahmatullahi wabarakatuh Bismillahirrahmanirrahiim.
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya tanpa mengenal hitungan kepada seluruh
hambanya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada baginda besar,
reformis dunia Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, para sahabat dan para
tabi’ tabi’in yang telah mengikuti jejak beliau sampai akhir hayatnya. Ucapan alhamdulillah penulis sampaikan berkat belas kasih Allah SWT. dan berbagai
dorongan, saran dan bimbingan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan dengan lancar.
Dalam kesempatan ini penulis mencoba menganalisi ulang gagasan
seorang tokoh Indonesia dengan judul yang bertemakan “Gagasan Pendidikan
Integral M. dan Implementasinya di STID M. NATSIR. Penulis menyadari betul
bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi,
penganalisaan, maupun sistematika penulisan. Hal ini dapat dipahami karena
keterbatasan, kedalaman, pengalaman dan kemampuan keilmuan penulis miliki.
Oleh karena itu, saran serta kritik menuju perbaikan sangat penulis harapkan dari
pihak yang bersangkutan.
Selanjutnya penulis menyampaikan rasa banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis baik berupa dorongan moril maupun materi.
Atas dukungan mereka juga bagi penulis menjadi doa dalam setiap saat sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bahrissalim, MA. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
3. Drs. H. Syapiuddin Shiddiq, MA. selaku Wakil Ketua Jurusan Pendidikan
Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah.
4. Drs. H. Acmad Gholib, M.A. sebagai dosen Pembimbing penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh bapak ibu dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah meluangkan waktunya dengan membekali
penulis dengan berbagai Ilmu pengetahuan.
6. Seluruh Staf Perpustakaan yang ada di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Seluruh dosen dan karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad
Natsir yang telah meluangkan waktunya dalam kesibukan untuk penulis
mendapat informasi yang selama ini penulis butuhkan.
8. Seluruh jema’ah Mihrobul Muhibbin yang sangat penulis ta’dzimi atas dukungan yang diberikan selama ini.
9. Kedua orang tua penulis yang sangat saya ta’dzimi Bapak H. Ali Wafa
(alm) dan Ibu Suadah yang selama ini memperjuangkan penulis lewat
sentuhan doa dan materi. Dan juga keluarga penulis yang ikut serta
mendoakan selama mencari ilmu.
10. Muzakkir Fauzi, Resdia MP, Arifin Seregar, Syukur Ya’kub, Hafidzuddin,
Ikmal Seregar, dan seluruh teman-teman PAI C khusunya dan mahasiswa
PAI umumnya yang penulis tidak dapat sebut satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat penulis.
11. Uni Ulfa, Vika Martahayu, Fitri, Mbak Zarkatun, mas Romadhon, Ilzam
dan Siti Hanifah terimakasih atas dukungan moral dan masukan selama ini
Bersamaan dengan ini penulis berharap dengan segala kebaikan dan
dukungan mereka mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt, dan hanya
melalui do’a penulis haturkan semoga apa yang mereka cita-citakan menjadi
kenyataan melalui perjuangan selama ini. Amien Yaa Rabbal ‘alamin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 5 Januari 2013
1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Huruf
ا = a ز = z ق = q
ب = b س = s ك = k
ت = t ش = sy ل = l
ث = ts ص = sh م = m
ج = j ض = dl ن = n
ح = h ط = th و = w
خ = kh ظ = zh ? = h
د = d ‘ = ع ا =،
ذ = dz غ = gh ي = y
ر = r ف = f
B. Vokal Panjang
Vokal (a) panjang = ȃ
Vokal (i) panjang = î
Vokal (u) panjang = û
C. Vokal Diftong
أۏ
= aw
يأ
= ay
أۏ
= û
يإ
= î
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN JURUSAN ... v
HALAMAN MOTTO... ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
HALAMAN TRANSLITERASI ... xii
DAFTAR ISI... . xiii
HALAMAN ABSTRAK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN TEORITIS A.Tinjauan Historis Tradisi Keilmuan dalam Islam: Telaah Integrasi Ilmu Pengetahuan……….. ... 8
B. Tinjauan Historis Pendidikan di Indonesia pada Masa M. Natsir: Telaah Terhadap Dikotomi Keilmuan ... 14
1. Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan ... 15
2. Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan ... 17
C. Paradigma Pengembangan Ilmu Agama dan Umum ... 21
d. Model Restoranois ... 25
e. Model Rekonstruksi ... 25
f. Model Reintegrasi ... 25
3. Konsep Islam tentang Ilmu Pengetahuan ... 26
4. Basis Integrasi Keilmuan ... 27
5. Munculnya Ide Integrasi Keilmuan ... 29
6. Hakekat Integrasi Keilmuan ... 31
7. Tujuan Integrasi Keilmuan ... 33
BAB III Metodologi Penelitian A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37
B. Metode, Sumber dan Jenis Penelitian ... 38
C.Teknik Perolehan Data ... 39
D.Teknik Pengolahan Data.. ... 40
E. Kisu-kisi Instrumen Pengumpulan Data ... 41
F. Bentuk Laporan ... 41
BAB IV Paparan Hasil Penelitian A.Deskripsi Data ... 42
1. Riwayat Hidup M. Natsir ... 42
2. Kiprah dan Perjuangan M. Natsir... 44
3. Karya Tulis M. Natsir ... 48
B. Hasil Penelitian ... 51
1. Gagasan Integral M. Natsir ... 51
2. Tujuan Pendidikan Integral menurut M. Natsir ... 58
3. STID Mohammad Natsir ... 61
4. Implementasi Pendidikan Integral
di STID Mohammad Natsir ... 66
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran... ... 70
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pandangan dasar yang menyatakan al-Quran adalah sumber, dan mencakup
semua dasar ilmu kehidupan dan ilmu modern, suatu hal mesti dipahami terlebih
dahulu bahwa al-Quran datang dari Zat pencipta alam yang Maha bijaksana dan
Maha mengetahui segala sesuatu.1 Al-Quran merupakan kitab Allah yang
memiliki perbendaharaan luas dan besar bagi pengembangan dasar keilmuan bagi
umat manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan. Dengan demikian, ia
merupakan sumber ilmu pengetahuan terlengkap, baik ilmu yang berhubungan
dengan masyarakat (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta.
Dalam samsul Nizar kejelasan al-Quran yang mengisyaratkan adanya ilmu
pengetahuan telah mendapat pernyataan sekaligus kekaguman dari Mourice
Bucaille, menyatakan, “bahwa isi kandungan al-Quran merupakan kitab suci yang
obyektif dan memuat petunjuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern”.
Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan Islam harus senantiasa mengacu pada
sumber yang termuat dalam al-Quran, dengan berpegang kepada nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Quran terutama dalam pelaksanaan pendidikan Islam akan
1
mampu mengarahkan dan mengantarkan manusia bersifat dinamis-kreatif, serta
mampu mencapai esensi nilai-nilai „ubudiyah pada khaliqnya.2
Dari wacana di atas setidaknya memberi suatu gambaran tentang bagaimana
pendidikan Islam seharusnya menanamkan nilai-nilai yang dapat membentuk
corak manusia yang sempurna. Kesempurnaan ini hanya dapat dicapai setelah
pendidikan melakukan suatu proses usaha pengkajian ulang terhadap isi yang
terkandung dalam al-Quran. Oleh karena itu, sebagai suatu kesimpulan sederhana
berkenaan dengan hubungan al-Quran dan ilmu pengetahuan ialah bahwa ajaran
Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi dan nilai-nilai kependidikan
yang mampu membimbing, membina serta mampu mengarahkan manusia kearah
hidup yang lebih baik.
Dalam konteks ini, kelembagaan pendidikan Islam telah ada dan eksis
semenjak masuknya Islam ke Indonesia beberapa tahun silam, dan banyak
memainkan peran dalam rangka membangun dan mencerdaskan bangsa. Tidak
sedikit dari tokoh-tokoh dan pemimpin bangsa yang berasal dari lembaga
pendidikan Islam, layaknya pesantren, madarasah yang ikut andil di dalamnya.
Kenyataan tersebut dapat dilihat misalnya, dari gerakan umat Islam dalam
menempatkan pendidikan Islam sebagai rana efektif dalam mewarnai aspek
kultural yang mengarah kepada pertumbuhan dan perkembangan ajaran-ajaran
Islam.
Dengan demikian, pendidikan Islam yang memiliki tujuan membentuk
pribadi yang utuh, pengembangan terhadap potensi dan membentuk hubungan
yang selaras. Selayaknya sudah menjadi tanggung jawab pendidikan Islam di era
globaliasi sekarang ini bergerak mengikuti arus kemajuan ilmu dan teknologi,
terutama komunikasi dan transformasi membuat dunia terasa luas tanpa batas. Hal
ini tentu akan diikuti perubahan pola hidup masyarakat secara akselerasi baik
dalam bidang ekonomi, budaya, politik, terutama dalam bidang pendidikan.
Banyak dari perubahan itu menuntut hadirnya sebuah rekonstruksi dalam
mengukuhkan eksistensi bagi lembaga pendidikan Islam dalam meningkatkan
2
mutu dan kualitas di masa depan, salah satu dari rekonstruksi pendidikan Islam
yakni dengan membentuk sistem pendidikan yang integral. Diakui sebelumnya,
dalam catatan sejarah pola pendidikan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia
telah mewarisi sistem pendidikan yang dualistis yaitu; Pertama, warisan pemerintahan kolonial Belanda dengan mengambil pola pendidikan umum yang
bersifat sekuler, jauh dari nilai-nilai agama. Kedua, warisan pesantren dengan pola pendidikan tradisional, yang memuat wacana ilmu keislaman semata.3 Sehingga
kedua pola sistem pendidikan tersebut menghasilkan generasi yang bersifat
parsial. Satu sisi menghasilkan generasi yang terbatas pada pelatihan otak dan tak
kenal batas nilai. Di sisi lain menghasilkan generasi yang tidak kenal tanda
zaman.
Dalam menanggapi permasalahan di atas, sistem pendidikan integral
dimaksud mengambil bentuk usaha melepas pengkaplingan lintas dua ilmu, umum
dan agama. Dan bermakna pula mencegah terjadinya dikotomi antara pendidikan
agama dan pendidikan umum. Dan dapat pula diartikan sebagai pelepasan sikap
antipati terhadap ilmu pengetahuan yang sedang berkembang.
Problem yang terkait, lahirnya sistem pendidikan integral ditengarai
terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan, maka muncul anggapan bahwa ilmu terdiri
dari dua bagian antara ilmu agama dan ilmu umum. Seakan keduanya memiliki
wilayah masing-masing dan tidak dapat untuk dipertemukan. Kondisi ini semakin
dipertajam oleh adanya anggapan dengan asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang
berasal dari Barat adalah ilmu sekuler dan harus ditolak. Dengan melihat
kenyataan ini ada kesan, bahwa ilmu yang datang dari Barat harus ditolak dan
yang datang dari Timur harus diterima. Pandangan semacam ini pada hakekatnya
akan meruntuhkan sendi-sendi keilmuan yang ada, kerena dasar kedua ilmu
tersebut dapat berjalan secara harmonis (baca: keterpaduan) jika yang menjadi
landasannya adalah tauhid.
Oleh karena itu, sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan mencerdasakan
kehidupan bangsa, dan membentuk pribadi yang utuh seharusnya memiliki sistem
3
pendidikan yang mapan guna menunjang masa depan lebih baik. Sehingga
melahirkan generasi yang dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain.
Keadaan semacam ini mendorong para pemikir Islam khususnya di Indonesia
melakukan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan dalam mengembalikan ilmu
yang telah terpisah-pisah menjadi ilmu yang utuh (integral).
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa tidak sedikit dari tokoh-tokoh dan
pemimpin bangsa yang berasal dari lembaga pendidikan Islam mampu berbicara
banyak dalam panggung sejarah. Tokoh-tokoh tersebut yang berusaha
memberikan sumbangan berupa ide tentang pendidikan. Salah satu upaya tersebut
diarahkan agar pendidikan mampu beradaptasi dengan dinamika peradaban
modern dengan tetap bernafaskan nilai Islam. Dari sederetan tokoh bangsa yang
memberikan sumbangan ide tentang pendidikan dan ikut andil dalam
merumuskan landasan-landasan ideologi pendidikan Islam salah satunya adalah
M. Natsir.
M. Natsir sebagai tokoh tersohor yang layak menjadi perhatian. Bukan saja
dikenal sebagai seorang multi dimensional, intelektualis terbuka, bahkan
Nurcholish Madjid ia sebut sebagai tokoh univerasalis, pahlawan nasional
sekaligus pemikir sejati. Namun juga kerena ia pejuang konsisten sesui prinsip
yang dimilikinya. Dan masih banyak sebutan-sebutan yang di sandang olehnya.
Sebagai pemikir berlian, ide dan gagasan M. Natsir senantiasa menarik untuk
dikaji. Salah satu ide M. Natsir adalah tentang konsep pendidikan yang bersifat
integral. Ide ini muncul sebagai reaksi terjadinya dikotomi antara pendidikan
agama dan pendidikan umum pada masanya. Asumsi lain kecendrungan kuat
bahwa ilmu-ilmu umum adalah pengetahuan yang datang dari Barat yang sifatnya
sekuler dan membahayakan, karena itu perlu ditolak.
Kondisi inilah yang mendorong seorang M. Natsir tampil sebagai penggagas
pembaharuan pendidikan Islam yang berbasis al-Quran dan Hadits4 maka
pendidikan Islam harus bersifat integral, harmonis dan universal. Selanjutnya,
konsep tersebut dihubungkan dengan misi ajaran agama Islam. Oleh sebab itu,
4
dalam pandangan beliau, bahwa dalam upaya mengatasi keterbelakangan
pendidikan Islam adalah menata ulang sistem dan kurikulum pendidikan yang
dikotomis menjadi sistem yang integral antara ilmu umum dan ilmu agama dan
yang harus menjadi landasannya adalah nilai tauhid sebagai ideologi pendidikan
Islam.
Dari pertimbangan yang telah diutarakan diatas, nampak bahwa studi
mengenai pemikiran M. Natsir, terlebih tentang pendidikan merupakan bidang
yang amat menarik dan penting untuk diteliti serta cukup beralasan, maka penulis
berusaha menganalisis pemikiran Mohammad M.Natsir, serta membuat format
dari gagasan tersebut yang dikemas dalam suatu rumusan: “GAGASAN
PENDIDIKAN INTEGRAL M. NATSIR DAN IMPLEMENTASINYA DI
SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH (STID) MOHAMMAD NATSIR
KRAMAT JATI JAKARTA DAN TAMBUN BEKASI”
B. Identifikasi Masalah
Ada beberapa hal yang perlu di tekankan dalam memilih judul skripsi ini
yang erat kaitannya dengan gagasan pendidikan integral M.Natsir, diantaranya:
1. Adanya dualisme sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.
2. Adanya dikotomi ilmu pengetahuan.
3. Tidak adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan generasi yang kaffah. 4. Kurangya lembaga pendidikan dalam merealisasikan cita-cita yang dapat
memberikan makna hidup dan kebahagiaan manusia.
5. Terjadinya ketimpangan atau ketidak seimbangan antara kehidupan duniawi
dan ukhrawi.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari keluasan terhadap pembahasan dalam penelitian, maka
penulis membatasi masalah pada kajian pendidikan integral menurut M. M. Natsir
dan bagaimana implementasinya di STID M. NATSIR. Adapun yang menjadi
1. Pengertian Pendidikan Integral
Pendidikan integral yang dimaksud M. Natsir disini adalah pendidikan yang
tidak mempersoalkan didikan yang berasal dari Barat maupun Timur, atau atas
dasar warna kulit. Baginya Barat dan Timur kepunyaan Allah Swt dan Islam
hanya mengenal perbedaan yang hak dan batil, semua yang hak akan diterima,
meskipun datangnya dari Barat. Begitu pula sebaliknya semua yang batil akan
ditolak, meskipun datangnya dari Timur.
2. Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir
Adapun yang menjadi tujuan pendidikan integral M. Natsir adalah untuk
dapat menghantarkan manusia mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
3. Implementasi Pendidikan Integral M.Natsir
Penulis ingin melihat sejauh mana penerapan gagasan pendidikan integral M.
Natsir di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir
4. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas. Ada beberapa hal yang
manjadi fokus penulisan skripsi ini dalam merumuskan masalah, diantaranya;
1. Bagaimana Pengertian Pendidikan Integral menurut M. Natsir?
2. Apa Tujuan Pendidikan Integral menurut M. Natsir?
3. Bagaimana Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID
Mohammad Natsir Kramat Jati Jakarta dan Tambun Bekasi.
5. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan
ini adalah:
1. Mendeskripsikan Pendidikan Integral M. Natsir?
2. Mendeskripsikan Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir?
3. Mendeskripsikan Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di
6. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Penulisan skripsi ini dapat di jadikan sebagai bahan dokumentasi, bahan
masukan dalam menyikapi pendidikan Islam kedepan.
2. Dapat menjadi sarana dalam merefleksi suatu kenyataan ilmu pengetahuan
yang sedang berkembang khususnya dunia pendidikan.
3. Sebagai sarana baca untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait
dengan pendidikan Islam.
4. Menambah khazanah ilmu pengetahuan yang ada dalam diri setiap tokoh
8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Historis Tradisi Keilmuan dalam Islam: Telaah Terhadap
Integrasi Ilmu Pengetahuan.
Dalam lintasan sejarah, pendidikan Islam adalah bagian dari sejarah
kebudayaan umat manusia. Keadaaan ini didorong oleh adanya upaya
membangun peradaban melalui pelestarian tradisi intelektual dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Melalui potensi akal, Islam dapat membangun tradisi
keilmuan yang sangat pesat disamping Islam juga memiliki rujukan yang otoritatif
berupa wahyu Ilahiyah. Rujukan ini serat sekali dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti perintah mencari ilmu, berfikir dan
menjadikan ilmu sebagai jembatan dunia menuju akhirat. Dengan demikian, Islam
tidak hanya berdiri dengan konsep pedidikan parsial (sebagian), tetapi lebih
kepada pengembangan pemikiran pendidikan Islam yang kaffah (menyeluruh). Oleh karena itu, terkait dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang perlu
dilakukan. Proses ini bertujuan untuk mengukuhkan eksistensi tradisi keilmuan
dalam keislaman. Disini penulis mencoba mengklarifikasi secara singkat sejarah
pendidikan pada periode awal perkembangan pendidikan Islam.
Seperti diketahui dari latar belakang sejarah, bahwa pendidikan Islam
berkembang sejalan dengan penyebaran agama Islam.1 Dalam periode Rasul saw.,
1
pendidikan Islam bersumber langsung dari ajaran al-Quran dan al-Sunnah yang
diselenggarakan secara sederhana atau bersifat informal. Dengan kata lain, Rasul
memberikan pendidikan kepada para sahabatnya seperti menghafal, memahami,
dan mengamalkan isi ajaran al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi
masyarakat pada saat itu. Hal ini dapat dilihat misalnya pada pengajaran
pendidikan Islam baik di Makkah maupun Madinah dengan materi pendidikan
yakni al-Quran. Ia menjadi materi karena mengandung nilai-nilai dari segala
aspek kehidupan manusia.2
Selanjutnya, pada masa perkembangan dan pertumbuhan ajaran Islam
terdapat sebuah proses pembentukan/ setting nilai dan budaya baik secara
kualitatif dalam arti nilai dan budaya ditingkatkan kualitasnya. Sedangkan
pengembangan secara kuantitatif mengarah kepada pembentukan ajaran dan
budaya baru menuju kesempurnaan hidup manusia, Islam yang lengkap, dan
sempurna.3 Dengan kata lain, pada masa Rasul pendidikan diartikan sebagai
pembudayaan ajaran Islam, yaitu dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam
kedalam unsur budaya bangsa Arab, baik Islam mendatangkan ajaran yang
bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, maupun Islam
datang meluruskan kembali nilai-nilai yang secara praktik telah menyimpang jauh
dari ajaran Islam.
Pada masa awal perkembangan Islam melalui bimbingan Rasul dan pengaruh
al-Quran, telah banyak melahirkan tokoh dari kalangan sahabat dengan kualitas
keilmuan yang tidak diragukan. Diantaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi
Thalib, Zaib bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah
dan lain-lain.4 Yang kemudian dari sini dapat dikatan sebagai permulaan tumbuh
dan berkembangnya ilmu-ilmu agama.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet. IV, h. vii
2Zainal Efendi Hasibuan, “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal”, dalam Samsul Nizar
(ed. ), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejara Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. III, h. 11
3
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. VIII, h. 69
4
Adapun permulaan dan berkembang ilmu pengetahuan dimulai dengan
penamaan ilmu agama seperti tajwid, qiraat, tafsir, ilmu hadits, dan nahwu, terdapat pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hal ini dapat dilihat misalnya dari
adanya cara untuk mempermudah pengajaran al-Quran pada masa itu.
Diantaranya ilmu tajwid, tumbuh sebagai tata cara membaca al-Quran dengan baik dan benar, ilmu qiraat untuk mengetetahaui validitas bacaan al-Quran sesuai dengan mushaf. Sehingga muncul ilmu Qiraat al-Sab’ah. Ilmu tafsir, ilmu yang menjelaskan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh al-Quran. Ilmu
kaidah-kaidah bahasa Arab yang dikenal dengan ilmu nahwu.5
Jadi dengan adanya proses pertumbuhan keilmuan dalam Islam menandai
bahwa ajaran Islam serat dengan ajaran yang mendorong lahirnya Suatu
peradaban dan tumbuhnya keilmuan atas dukungan wahyu. Terjadinya pergerakan
dalam bidang ilmu keagamaan pada masa itu dikarenakan menjadi sebuah
tuntutan dan kebutuhan masyarakat kala itu.
Atas dasar framework ini, menurut Samsul Nizar ada perhatian serius di
bidang pendidikan. Khususnya al-Qur’an dan hadist semenjak pasca wafatnya
Rasulullah Saw Hal ini menjadi wajar, karena kompleksnya tuntutan umat Islam
di segala bidang termasuk pendidikan. Maka menjadi relevan ruang lingkup
pendidikan Islam berkembang pesat dan meluas. Sehingga berbagai disiplin ilmu
tumbuh diseputar kajian ajaran agama Islam. Selain itu, penambahan corak
ilmu-ilmu klasik6 yang dikenal melalui kontak cultural dimana masing-masing
kelompok masyarakat tersebut mempunyai pewarisan kebudayaan dan
intelektualisme Yunani dan Persia.7
5
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam….h. 80-81
6
karya-karya klasik pendidikan Muslim pada tahun (700-1350) maka sebagian besar karya membicarakan tentang beberapa komponen dalam pendidikan diantaranya; tujuan pendidikan Muslim, metode, teori pengetahuan, kurikulum, pendidikan moral, religius, psikologi pendidikan, riset pendidikan, persoalan disiplin, organisasi pendidikan dan administrasi pendidikan. Setiap karya memiliki ciri khas dan anjuran masing-masing tergantung kondisi sosial pada masa karya tersebut ditulis. Baca, Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, terj. dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education, oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), Cet. II, h. 103
7
Dari ungkapan di atas dapat digaris bawahi, bahwa dengan adanya kegiatan
ilmiah oleh para sahabat. Kemudian kegiatan tersebut dilanjutkan oleh
tokoh-tokoh klasik. Darinya melahirkan berbagai bidang dan cabang disiplin ilmu, baik
itu ilmu umum maupun ilmu agama. Artinya, ilmu pengetahuan umum baru
tumbuh dan berkembang memasuki awal periode Bani Umayyah melalui kontak
kultural dengan negara lain. Sedangkan ilmu pengetahuan mencapai puncak
keemasannya pada masa Bani Abbasyiah. Penting pula dicatat, dari kedua Dinasti
ini yang menjembatani lahirnya tokoh-tokoh Muslim terkemuka, baik tokoh yang
bernuansa ilmu keagamaan maupun tokoh yang bernuansa ilmu pengetahuan
umum seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Sina, Imam al-Ghazali dan
seterusnya masih banyak lagi tokoh-tokoh pada masa klasik yang tidak mungkin
penulis menyebutkanya disini secara keseluruhan.
Sejarah melecak pada periode Dinasti Umayyah kejayaan masih bertumpu
kepada perluasan dan penaklukan wilayah8, sehingga prestasi yang paling
menonjol darinya adalah prestasi di bidang politik dan meliter.9 Dinasti ini juga
mengalami perkembangan berbagai aliran keagamaan yang turut serta
memperkaya khazanah keislaman dan juga dalam soal budaya misalnya
melahirkan kreatifitas keilmuan dalam bentuk seni bangunan, sastra dan ilmu
pengetahuan setelah terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim dengan
negeri-negeri taklukannya yang memiliki tradisi luhur seperti Persia, Mesir, Eropa
dan sebagainya.10
Meskipun dalam perkembangan keilmuan Dinasti Umayyah boleh dikatakan
terbatas. Hal ini diduga karena kesibukan para khalifah dalam menyelenggarakan
pemerintahan yang mapan. Disamping itu pula terjadinya perluasan
8
Pada masa Dinasti ini di bawah pemerintahan al-Walid, Hisyam dan khalifah lainnya emperium Islam berhasil memperluas wilayah sampai batas-batas yang membentang luas dari pantai Lautan Atlantik dan Pyrenees hingga ke Indus dan perbatasan Cina. Pada masa ini pula terjadi penaklukan Transoxiana, Afrika Utara, Eropa dan Spanyol. Baca terj, Philip K. Hitti,
History of The Arabs, oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 255
9
Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Kerja Sama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 60
10
wilayah baru.11 Namun kemajuan yang pernah diraihnya, merupakan cikal bakal
tradisi keilmuan dalam peradaban Islam.
Selanjutnya perkembangan keilmuan dapat dikatakan tumbuh pesat sejak
munculnya Bani Abbasiyah12. Karena pada masa ini, baik ilmu agama ataupun
ilmu umum mendapat perhatian cukup tinggi. Darinyalah tumbuh berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan India.13 Adapun pemikiran asing yang
mempengaruhi dunia intelektual Muslim atau yang lebih dikenal dengan penetrasi
Hellenisme. Melalui sentuhan kreatif para intelektual Muslim dan perpaduan yang
harmonis antara Islam dan filsafat mampu melahirkan intelektualis Muslim yang
mampu memberikan warna peradaban umat Islam yang dinamis, teruma di bidang
ilmu pengetahuan.14
Daulah Abbasyiah mencapai popularitasnya di zaman khalifah Harun
al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun. Selain terjadinya pergerakan penerjemahan
buku-buku dari Yunani, juga berdirinya sebuah lembaga penerjemahan bernama
Bait al-Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan dan Universitas.15 Dapat dikatakan pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi. Yang mampu menguasai world view secara komprehensif tanpa harus meninggalkan tradisi ajaran dalam Islam. Di bawah
dinasti ini pula, orang-orang Muslim dari dunia Arab, Spanyol, Mesir, India, dan
sebagainya, telah melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang tidak buta
terhadap kekayaan ilmu pengetahuan dan literatur mereka masing-masing, serta
terhadap ilmu pengetahuan dan literatur dari dunia Helenistik dan Kristen. Hal ini
11
Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam….h. 83
12
Dalam catatan sejarah, ketenaran Bani Abbasiyah muncul setelah memperoleh kemenangan tentara Islam atas orang Bizantium pada Masa al-Mahadi dan al-Rasyid. Yang membuat periode ini sangat terkenal yaitu sejak adanya gerakan intelektual dalam sejarah Islam yang ditandai oleh proyek terjemahan karya-karya berbahasa asing diantaranya; Persia, Sanksekerta, Suriyah, Arab dan Bahasa Yunani. Bahasa yang disebut terakhir banyak mempengaruhi alam pikiran intelektual Islam pada periode ini. Baca, terj Philip K. Hitti, History of The Arabs….h. 381
13
Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam….h. 102-103
14
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam….h. 10
15Usman, “Institusi Pendidikan
menandakan adanya semangat penelitian dan semangat kreatif yang merupakan
ciri khas pada abad-abad awal Islam.16
Fakta sejarah membuktikan warisan keilmuan pada kedua Dinasti masih
memberikan sentuhan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana warisan
intelektual mereka masih diakui eksistensi oleh negara Barat. Meskipun demikian
kedua Dinasti tersebut tidak dapat dipertahankan dan pada saatnya mengalami
kemunduran dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal. Kehancuran
yang dialami kedua Dinasti ini berdampak kepada pendidikan dan menjadi
terkotak-kotak yang kemudian mempengaruhi kebudayaan Islam di seluruh dunia
Islam, terutama dibidang intelektual.
Berdasarkan uraian singakat di atas, kejayaan yang ditorehkan oleh umat
Islam, tampak terdapat asas integrasi bentuk keragaman keilmuan dalam Islam.
Tanpa adanya integrasi keilmuan dalam Islam sulit untuk bisa membentuk
peradaban yang kuat. Dengan demikian, Islam pada dasarnya tidak mengenal
adanya pemisahan atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum keduanya
saling berpadu, harmonis dan saling melengkapi. Adanya pemikiran asing yang
masuk ke dalam tubuh Islam berfungsi sebagai bahan pengayaan dan bukan unsur
pendominasi ajaran Islam. Akan tetapi sebagai upaya pelestarian keilmuan dalam
menjawab persoalan-persoalan yang muncul di setiap zaman.
Memasuki era modern, perhatian di bidang keilmuan dipertanyakan
eksistensinya. Mengingat kehancuran total yang dialami oleh kedua Dinasti
tersebut. Salah satu bentuk pergerakan kembali di bidang ilmu pengetahuan
adalah mengadakan pembaharuan (modernisasi) oleh pemikir Islam. Hal itu
dilakukan dalam rangka membangun kembali orientasi masyarakat ilmiah yang
mampu turut serta membangun kualitas keilmuan dan memberikan respons Islam
terhadap perkembangan zaman.
Menurut Harun Nasution,17 periode modern di mulai sejak tahun 1800 M.
Periode ini di tandai oleh Jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Hal ini membuat Islam
sadar dan mengerti akan kelemahannya. Sedangkan di Barat telah timbul
16
Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam….h. 17
17
peradaban baru yang merupakan ancaman bagi umat Islam. Situasi ini mendorong
para pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan Islam kembali. Di periode inilah timbulnya ide-ide pembahruan dalam
Islam atau kebangkitan umat Islam terutama di bidang ilmu pengetahuan.
Secara garis besar pola pembaharuan dalam Islam dapat di bagi dalam dua
pola: Pertama, pola pembaharuan pendidikan Islam yang mengadopsi pola pendidikan modern di Barat. Gerakan ini disebut sebagai gerakan modernis.
Kedua, pola pembaharuan pendidikan Islam dengan cara kembali kepada ajaran Islam secara kaffah.18 Salah satu secara garis besar dari kedua pola pembaharuan
tersebut akan menjadi pembahasan khusus soal integrasi keilmuan sebagai
pembahasan pokok tentang gagasan pendidikan integral menurut M. Natsir.
Sebelum itu sedikit penulis meninjau kembali kondisi pendidikan Islam di
Indonesia pada masa M. Natsir.
B. Tinjauan Historis Pendidikan di Indonesia pada Masa M. Natsir: Telaah
Terhadap Dikotomi Keilmuan.
Sebagaimana yang telah di paparkan pada bab sebelumnya, bahwa dalam
ajaran Islam tidak ada pemisahan keilmuan. Karena dalam pandangan Islam
sendiri semua ilmu itu berasal dari Yang satu yaitu Allah Swt. Namun persolan
yang berkembang dan melanda pendidikan di Indonesia khususnya, sebagai akibat
terjadinya dualisme atau dikotomi dalam sistem pendidikan ketika itu. Keadaan
ini memotivasi M. Natsir untuk berusaha keras dalam mengintegrasikan ilmu
umum dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan olehnya adalah sistem
pendidikan yang bersifat integral.
Jika dilihat dari tahun lahir sampai wafat beliau yakni 17 Juli 1908 - 6
pebruari 1993. Maka beliau hidup dalam periode akhir abad 19 sampai abad 20.
Pendidikan itu sendiri pada masa M. Natsi melewati dua periode yakni sebelum
dan setelah kemerdekaan. Oleh karena itu beliau bisa dikatakan pelaku atau saksi
sejarah perjalanan pendidikan di indonesia. Adapun gambaran pendidikan Islam
18
pada masa sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan diuraikan sebagai
berikut:
1. Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan Islam sebelum kemerdekaan memiliki ruang gerak yang sempit
dan diwarisi peraturan serta kebijakan yang menghambat pendidikan Islam untuk
berkembang, yaitu dengan adanya kebijakan pemerintah Hindia Belanda berupa
ordonansi guru.19 Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905
mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan
ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru
agama untuk melaporkan diri.
Pada tahun yang sama. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang
lebih ketat lagi, berupa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran
mengaji.20 Hal ini terkait dengan Snouck Hourgronje yang pernah mengemukakan
usul untuk memberikan pengawasan ketat kepada para pegawai agama.21 Hal ini
menunjukan Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi
pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur
agama Islam di negeri ini. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan
organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah,
Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
Pada tahun 1926, Ordonansi Guru disalahgunakan oleh Pemerintah lokal
untuk menghambat gerakan ummat Islam. Peristiwa itu dialami oleh kalangan
Muhammadiyah di Sekayu Palembang. Pada waktu itu, pengurus Pusat yang akan
19
Ordonansi guru adalah surat perintah mengenai kebijakan pada Hindia Belanda untuk guru agama yang ditekankan yakni guru agama Islam diharuskan mendapatkan surat ijin mengajar oleh pemerintah Hindia Belanda. Jelas ini akan menyudutkan, karena fakta dilapangan untuk mendapatkan ijin dipersulit. Apalagi untuk guru-guru agama yang mempunyai misi pergerakan dan pembaharuan yang bersifat radikal. Biasanya diperlakukan bagi guru-guru yang pernah mendapat pengaruh dari pembaharu dari luar, seperti Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, dll. Karena mereka dianggap akan memperkuat umat Islam dan mengancam keberadaan pemerintahan Hindia Belanda. Baca,Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), Cet. VIII, h. 199
20
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah ed. Terj, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islmaondererricht Door, oleh Abdurrahman,(Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1994), Cet. II, h. 111
21
meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tiba-tiba dilarang, padahal
sebelumnya mereka sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen
Palembang.22 Oleh karena Ordonansi Guru pada hakikatnya adalah kebijakan
yang digunakan untuk mematikan gerakan pembaharuan terutama pendidikan
Islam yang sedang digalakkan.
Kebijakan lain yang menghambat selain Ordonansi Guru yakni Ordonansi
Sekolah Liar. Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan
izin untuk mendidik pribumi.23 Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinnya atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi
Sekolah Liar.24 Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan
Nasionalisme- Islamisme tahun 1928, berupa sumpah pemuda.25
Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang
lahirnya ordonansi pengawasan ini. Salah satu faktornya adalah Pemerintah
kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya
ekonomi dunia, dan memperendah/ menghambat segala aktifitas termasuk dalam
bidang pendidikan khususnya Islam. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat
majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang-orang
Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang.
Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan
dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya
sekolah suwasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi
karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang
ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor
22
Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah & Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 116
23
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 81
24
Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah & Perkembangannya….h. 118
25
resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki
oleh anak-anak Indonesia.
Adapun pendidikan yang berdiri pada masa Hindia Belanda, yaitu Pesantren
dan Sekolah Belanda. Disinilah adanya dualisme pendidikan yang sengaja
diciptakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun pesantren dianggap
sebagai lembaga yang sederhana dan masih banyak menyimpan kelemahan.
Namun gerak perkembangannya tetap di bawah pengawasan pemerintahan
Belanda agar tidak membahayakan. Melihat dari sejarahnya, dualisme pendidikan
hampir dialami oleh umat Islam dikarenakan untuk memisahkan dan membuat
jarak antara Islam dan Penguasa.
2. Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan
Setelah merdeka, pendidikan Islam mendapat kedudukan yang sangat penting
dalam sistem pendidikan nasional. Di Sumatra, Mahmud Yunus sebagai
pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada kepala pengajaran,
agar pendidikan agama disekolah-sekolah pemerintah ditetapkan dengan resmi
dan guru-gurunya digaji seperti guru umum dan usul pun diterima.26 Selain itu,
pendidikan agama disekolah juga mendapat tempat yang teratur, seksama, dan
penuh perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 13
Desember 1946 yang bertugas mengurus penyelenggaraan pendidikan agama
disekolah umum dan madrasah serta pesantren-pesantren.
Pendidikan Islam perlahan mulai diajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya
mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam
diberi banyak pilihan. Upaya ini merupakan usaha untuk menata diri
ditengah-tengah realitas sosial modern dan kompleks. Pesantren juga telah lebih
berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi Islam.
Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber
pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang 1945. Ekstensi pendidikan
agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-undang
pokok pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950, bahwa belajar
26
sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar27.
Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri
dengan ketentuan kurikulum 30 % pelajaran agama dan 70 % pelajaran umum.
Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum dengan
perjenjangan sebagai berikut:
1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat SD lama belajar enam tahun. 2. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar tiga tahun. 3. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar tiga tahun.28
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi
sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis, yaitu 1) sistem pendidikan dan
pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama,
yang merupakan warisan dari pemerintah belanda. 2) Sistem pendidikan dan
pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat sendiri,
baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan
berbagai variasi pola pendidikannya sebagaimana uraian tersebut diatas.
Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta
tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan
pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh
sebagian masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem
pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat
dan berurat berakar dalam masyarakat.29 Hal ini diakui oleh Badan Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dalam usul rekomendasinya yang
disampaikan kepada pemerintah, tentang pokok-pokok pendidikan dan pengajaran
baru, pada tanggal 29 Desember 1945.30
Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang
ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat
27
DJumhur, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Ilmu,1959) h. 45
28
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), h. 89
29
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1995) h. 67
30
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama
dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang.
Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (mis
management)31 akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil
menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan.
Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih
pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah
urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan. Dimana, perkembangan
masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah
memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat
modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi kemasa depan,
terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat
informasi di tinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu
bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan manjadi
peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.
Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang
peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi
elekronik seperti computer, faximile, internet, dan lain-lain telah mengubah
lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat
internasional, mendunia dan global. Pada era informasi lewat komunikasi satelit
dan computer orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi
juga sanggup megelolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan dan
visual. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser
agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang
dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah, dan sebagainya. Komputer dapat
dijadikan teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat juga
31
sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban sesegara mungkin atas petanyaan
eksistensisal yang mendasar.32
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh
pada kejiwaan dan keperibadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup
bertahan hanyalah mereka yang berorintasi ke masa depan, yang mampu
mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri
sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut diatas. Dari keadaan ini,
keberadaan masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain terjalanin hubungan baik
dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia pasti
menghadapinya. Masa depan itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia
pendidikan baik dalam dunia kelembagaan materi pendidikan guru metode sarana
prasarana dan lain sebagainya. hal ini pada gunanya menjadi tantangan yang harus
dijawab oleh dunia pendidikan.
Memasuki melenium ketiga dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai
masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil
dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia
pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang
timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal
demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu
pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia.
Kegagalan dunia pendidikan dalam menyipakan masa depan umat manusia adalah
merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu, gagasan pendidikan integral mempunyai peranan sangat
penting dan strategis. Peran utama pendidikan integral adalah sebagai respon
perkembangan zaman di bawah landasan spiritual, moral dan etika. Agama
sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu,
warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan
negara.
32
C. Paradigma Pengembangan Ilmu Agama dan Umum
1. Pengertian Pendidikan Integral
Sudah menjadi kesepakatan umum oleh pakar pendidikan, bahwa dalam
memberi definisi kata pendidikan tidak lepas dari cara dan sudut pandang mereka
masing-masing. Perbedaan ini bukan berarti menunjuk kepada tujuan yang
berbeda tetapi lebih kepada kompleksitas keilmuan yang mereka miliki. Dengan
demikian secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai proses usaha sadar
yang diarahkan untuk menggali potensi yang terpendam dalam diri anak sampai
mancapai taraf pendewasaan (jasmani dan rohani) dengan menanamkan sikap
moral serta pelatihan otak atau transfer of knowlage.
Kedua penanaman ini harus berjalan sebagaimana mestinya. Keduanya
bagaikan koin dengan memiliki sisi yang saling berdampingan dan
menyempurnakan. Kehilangan satu sisi akan menyebabkan kepincangan di sisi
lain. Artinya sikap moral tanpa diikuti ilmu akan menghasilkan generasi yang tak
kenal dengan tanda zaman. Sebaliknya jika pendidikan terbatas pada pelatihan
otak semata, akan menghasilkan generasi yang tak kenal batas nilai. Ironisnya
pendidikan akan menghasilkan generasi perusak nilai-nilai luhur dari suatu
bangsa.
Menurut Jalaluddin33, penanaman moral dalam pendidikan adalah syarat
terbentuknya kepribadian yang utama atau ideal serta diikuti sikap mental secara
teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau
prinsip-prinsip nilai yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun
bangsa dan negara. Dengan kata lain, pembentukan moral merupakan syarat
terpenting dalam dunia keilmuan.
Gagasan tentang pendidikan integral ini pada hakekatnya berusaha
mengembangkan konsepsi ajaran Islam secara normatif-integralistik dengan
bertitiktolak dari kecendrungan kuat pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu
umum. Secara bersamaan, kegagalan terjadi pula pada sistem pendidikan Barat
dalam mendidikan anak hanya semata-mata berorientasi pada satu aspek,
“intelektual”. Di satu sisi keseriusan ini mendorong pendidikan di Barat
33
tergolong ke dalam tingkat pendidikan kelas atas, tetapi di sisi lain sistem
pendidikanya terbilang masih jauh dari pada nilai-nilai agama. Hal ini ditandai
dengan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang sedang memuncak di Barat
juga diiringi dengan kriminalitas yang tak kunjung habis-habisnya. Di sini
Azyumardi Azra34 memandang bahwa makna pendidikan dipersempit dengan
interpretasi bahwa pendidikan hanya terbatas pada sekedar pengajaran atau
transfer ilmu belaka. Baginya, pendidikan harus memiliki arti lebih dari itu, yakni
adanya penanaman nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang
dicakupnya.
Namun pendidikan Islam sekarang telah memiliki kecendrungan bergerak ke
arah mencetak generasi yang berakhlak mulia. Tetapi itu semua harus
diseimbangkan dengan perkembangan zaman, dalam hal ini sebagai tolak ukur
kemajuan. Supaya tujuan pendidikan Islam terkontrol dengan nilai-nilai agama.
Karena jika pendidikan Islam dilepas begitu saja, secara perlahan-lahan akan
menggrogoti nilai-nilai Islam itu sendiri.
Adapun istilah integral secara bahasa dapat dilihat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mempunyai arti sebagai berikut; 1. mengenai keseluruhannya; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna. 2. Tidak terpisahkan; terpadu. 35 sedangkan dalam kamus bahasa inggris, kata integral dapat di lihat dalam bentuk kata sifat, kata ini merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh, yang perlu untuk melengkapi. kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatu-padukan, mengabungkan, mempersatukan. Integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja. Sebagai kata benda, integration, yang berarti integrasi, pengentegrasian atau penggabungan. Integrationist yang bermakna penyokong paham integrasi, pemersatu. Integrity berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan.36
34
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi….h. 3
35
Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 383
36
Dari paparan rumusan di atas dapat diambil penampilan sementara bahwa
pendidikan integral yaitu proses usaha sadar terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak oleh pendidik menuju terbentuknya kepribadian yang utuh, bulat,
sempurna sehinga ia dapat melaksanakan tugas hidupnya dengan baik. Atau dapat
juga diartikan, pendidikan integral adalah usaha memadukan intelektual, moral,
spiritual menuju kepada kepribadian yang utuh. Oleh sebab itu, dari segi substansi
pola gagasan pendidikan integral dapat dipandang sebagai pola dalam
pembentukan keseimbangan antara kekuatan intelektual dan kekuatan spiritual.
Sehingga kedua hal tersebut secara bersamaan membentuk pribadi yang utuh
melalui ajaran tauhid.
2. Model Integrasi Keilmuan
Wacana tentang usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai
sejak abad ke-19, meski keadaanya mengalami pasang-surut.37 Hal ini dilakukan
paling kurang, selain untuk membendung terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan
antara ilmu umum dan ilmu agama juga dilakukan sebagai respon arah pendidikan
Islam di era globalisasi yang serat sekali dengan kemajuan. Dalam kerangka
analisis itu, menurut Muhaimin38 dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu
melalui tiga model yaitu: purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisasi.
a. Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain,
proses ini berusaha menyelenggarakan penyucian ilmu pengetahuan agar
sejalan dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari Islam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuan Muslim dituntut menjadi
aktor beragama yang loyal, concern dan komitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta
bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan
bidang keahliannya masing-msing dalam perspektif Islam untuk kepentingan
kemanusiaan. Model Islamisasi di atas, dapat di cermati juga dari rencana
37
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRCD Press, 2005), h. 125
38
kerja Islamisasi pengetahuan sebagaimana yang dikembangkan oleh al-faruqi
dan al-Attas, meliputi: 1) Pengusaan khazanah ilmu pengetahuan Muslim, 2)
Penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, 3) Indentifikasi
kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya ideal Islam, 4)
Rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras dengan
wawasan dan ideal Islam.
b. Model Modernisasi
Modernisasi disini berarti proses perubahan menurut fitrah atau
sunnattullah. Model modernisasi ini berangkat dari kepedulian terhadap
keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir
dalam memahami agama Islam, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu
pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-Muslim. Islamisasi
disini cendrung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial
dan perkembangan iptek, adaptif terhadap perkembangn zaman tanpa harus
meninggalkan sikap kritis terhdap unsur negatif dan proses modernisasi.
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah.
Sunnatullah ini mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga
untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam
(perintah Allah Swt) yang pada giliran berikutnya, akan melahirkan ilmu
pengtahuan. Menyadari akan keterbatasan paham hukum alam yang dimiliki
manusia sehingga manusia perlu menempuh secara tahap demi tahap. Karena
itu, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Jadi arti Islamisasi
pengetahuan yang ditawarkan oleh model modernisasi Islam adalah
membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan
terus melakukan perbaikan agar terhindar dari keterbelakngan dan
ketertingalan di bidang iptek.39
c. Model Neo-Modernis
Model ini berusaha memahami ajaran-jaran Islam dan nilai-nilai
mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan
39
mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencari
kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh IPTEK.
Model ini menurut Muzani bertolak dari landasan metodologis; 1)
Persoalan-persoalan kontemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil
ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran
terhdap al-Quran, 2) Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang tidak sesuai
dengan kontemporer, maka selanjutnya menalaah konteks sosi-historis dari
ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, 3) Melalui telaah
historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika
sosial al-Quran, 4) Dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi
dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu
pengetahuan atas persoalan yang dihapi umat rersebut, 5) Al-Quran berfungsi
evaluatif, legitimatif hingga memberi landasan dan arahan moral terhadap
persolan yang ditanggulangi.40
Menurut hemat penulis, model-model integrasi keilmuan di atas memiliki
pola dasar tujuan yang sama. Pola dasar tujuan yang sama tersebut bertemu dalam
kesimpulan yaitu mengembalikan nuansa tradisi penalaran intelekual pemikir dan
keilmuan Muslim dan sekaligus memecahkan permasalahan disharmoni yang
diakibatkan oleh terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan dengan merujuk kembali
kepada al-Quran dan al-Hadits.
Terkait dengan model-model integrasi diatas, permasalahan yang kemudian
muncul adalah, apakah integrasi ilmu pengetahuan antara “ilmu agama dan ilmu
umum” mungkin dapat dilakukan sehingga keduanya dapat berjalan dengan baik
dan menghasilkan produk yang baik pula jika keduanya dapat di padukan. Disini
Azyumardi Azra41 mengemukakan tiga tipologi respon cendikiawan Muslim
terkait dengan hubungan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ketiga respon
tersebut di antaranya; restorasionis, rekonstruksionis dan pragmatis. Menurutnya, dua kelompok terakhir memiliki kerja analitis yang bermanfaat, di mana
40
Abuddin Nata, dkk, Integrasi Ilmu….h. 175
41Azyumarsi Azra, “Reintegrasi Ilmu
seseorang dapat menguji masalah-masalah dan kemungkinan-kemungkinan
pengembangan sebuah sains yang berorientasi kemasyarakatan dalam Dunia
Islam. pertama: Restorasionis, Respon ini berusaha mencari versi ideal masa lalu dan meletakkan kegagalan, kekalahan, dan kemunduran orang Islam disebabkan
penyimpangan mereka dari jalan yang benar, yakni Islam yang orisinal dan murni
pada periode nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kedua: Rekonstruksionis, Kelompok ini berusaha menginterprestasikan kembali ajaran-ajaran Islam untuk memperbaiki hubungan peradaban modern
dengan Islam. Mereka berpendapat, bahwa Islam pada masa nabi Muhammad
Saw dan sahabatnya sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Ketiga,
Reintegrasi, respon ketiga ini merupakan rekonstruksi keilmuan yang berasal dari
al-ayah al-qur’aniyah dan berasal dari al-ayah kauniyyah. Berarti kembali pada
kesatuan transedental semua pengetahuan.
3. Konsep Islam tentang Ilmu Pengetahuan
Pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan tak dapat di pisahkan dari
pembahasan mengenai kedudukan dan tradisi keilmuan dalam Islam. sebab Islam
sendiri sangat mendukung terhadap pengembangan dan penguasaannya.
Memisahkan agama dari ilmu pengetahuan berarti melumpuhkan sumber satu
yang berasal dari Allah Swt. Hal ini tidak mengherankan, karena sesungguhnya
ayat-ayat Allah Swt dapat di kaji melalui dua bentuk. Pertama, Mengkaji ayat-ayat Allah Swt yang bersifat qauliyah berupa wahyu. Kedua. Mengkaji ayat-ayat Allah Swt yang bersifat kauniyah berupa alam semesta.
Menurut Zuhairini, keduanya adalah merupakan satu kesatuan. Dengan kata
lain, pemahaman terhadap alam semesta dapat di kaji melalui wahyu. Wahyu pun
dapat dibuktikan melalui kenyataan yang ada di alam semsesta. Karena wahyu
berasal dari Tuhan Yang Maha Mengetahui, maka kebenaran menjadi mutlak dan
tidak berubah meskipun ada perkembangan zaman. Sedangkan ilmu pengetahuan
berpijak dan terikat pada pemikiran rasional yang berasal dari alam semesta, dan
kebenarannya bersifat relatif. Oleh karena agama dan ilmu dalam posisi tidak