• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS

C. Paradigma Pengembangan Ilmu Agama dan Umum

1. Pengertian Pendidikan Integral

Pendidikan integral yang dimaksud M. Natsir disini adalah pendidikan yang tidak mempersoalkan didikan yang berasal dari Barat maupun Timur, atau atas dasar warna kulit. Baginya Barat dan Timur kepunyaan Allah Swt dan Islam hanya mengenal perbedaan yang hak dan batil, semua yang hak akan diterima, meskipun datangnya dari Barat. Begitu pula sebaliknya semua yang batil akan ditolak, meskipun datangnya dari Timur.

2. Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir

Adapun yang menjadi tujuan pendidikan integral M. Natsir adalah untuk dapat menghantarkan manusia mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

3. Implementasi Pendidikan Integral M.Natsir

Penulis ingin melihat sejauh mana penerapan gagasan pendidikan integral M. Natsir di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir

4. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas. Ada beberapa hal yang manjadi fokus penulisan skripsi ini dalam merumuskan masalah, diantaranya; 1. Bagaimana Pengertian Pendidikan Integral menurut M. Natsir?

2. Apa Tujuan Pendidikan Integral menurut M. Natsir?

3. Bagaimana Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID Mohammad Natsir Kramat Jati Jakarta dan Tambun Bekasi.

5. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:

1. Mendeskripsikan Pendidikan Integral M. Natsir?

2. Mendeskripsikan Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir?

3. Mendeskripsikan Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID Mohammad Natsir Kramat Jakarta dan Tambun Bekasi?

6. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Penulisan skripsi ini dapat di jadikan sebagai bahan dokumentasi, bahan masukan dalam menyikapi pendidikan Islam kedepan.

2. Dapat menjadi sarana dalam merefleksi suatu kenyataan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang khususnya dunia pendidikan.

3. Sebagai sarana baca untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait dengan pendidikan Islam.

4. Menambah khazanah ilmu pengetahuan yang ada dalam diri setiap tokoh pendidikan Islam.

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Historis Tradisi Keilmuan dalam Islam: Telaah Terhadap Integrasi Ilmu Pengetahuan.

Dalam lintasan sejarah, pendidikan Islam adalah bagian dari sejarah kebudayaan umat manusia. Keadaaan ini didorong oleh adanya upaya membangun peradaban melalui pelestarian tradisi intelektual dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui potensi akal, Islam dapat membangun tradisi keilmuan yang sangat pesat disamping Islam juga memiliki rujukan yang otoritatif berupa wahyu Ilahiyah. Rujukan ini serat sekali dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti perintah mencari ilmu, berfikir dan menjadikan ilmu sebagai jembatan dunia menuju akhirat. Dengan demikian, Islam tidak hanya berdiri dengan konsep pedidikan parsial (sebagian), tetapi lebih kepada pengembangan pemikiran pendidikan Islam yang kaffah (menyeluruh). Oleh karena itu, terkait dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang perlu dilakukan. Proses ini bertujuan untuk mengukuhkan eksistensi tradisi keilmuan dalam keislaman. Disini penulis mencoba mengklarifikasi secara singkat sejarah pendidikan pada periode awal perkembangan pendidikan Islam.

Seperti diketahui dari latar belakang sejarah, bahwa pendidikan Islam berkembang sejalan dengan penyebaran agama Islam.1 Dalam periode Rasul saw.,

1

Hal ini dapat dipahami, pada masa awal perkembangan Islam pendidikan serat dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah yang berlangsung di rumah Dar-al-Arqam. Setelah umat terbentuk, maka pendidikan diselanggarakan di masjid dalam bentuk halaqah atau lingkaran. Baca,

pendidikan Islam bersumber langsung dari ajaran al-Quran dan al-Sunnah yang diselenggarakan secara sederhana atau bersifat informal. Dengan kata lain, Rasul memberikan pendidikan kepada para sahabatnya seperti menghafal, memahami, dan mengamalkan isi ajaran al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Hal ini dapat dilihat misalnya pada pengajaran pendidikan Islam baik di Makkah maupun Madinah dengan materi pendidikan yakni al-Quran. Ia menjadi materi karena mengandung nilai-nilai dari segala aspek kehidupan manusia.2

Selanjutnya, pada masa perkembangan dan pertumbuhan ajaran Islam terdapat sebuah proses pembentukan/ setting nilai dan budaya baik secara kualitatif dalam arti nilai dan budaya ditingkatkan kualitasnya. Sedangkan pengembangan secara kuantitatif mengarah kepada pembentukan ajaran dan budaya baru menuju kesempurnaan hidup manusia, Islam yang lengkap, dan sempurna.3 Dengan kata lain, pada masa Rasul pendidikan diartikan sebagai pembudayaan ajaran Islam, yaitu dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam kedalam unsur budaya bangsa Arab, baik Islam mendatangkan ajaran yang bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, maupun Islam datang meluruskan kembali nilai-nilai yang secara praktik telah menyimpang jauh dari ajaran Islam.

Pada masa awal perkembangan Islam melalui bimbingan Rasul dan pengaruh al-Quran, telah banyak melahirkan tokoh dari kalangan sahabat dengan kualitas keilmuan yang tidak diragukan. Diantaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi

Thalib, Zaib bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah

dan lain-lain.4 Yang kemudian dari sini dapat dikatan sebagai permulaan tumbuh dan berkembangnya ilmu-ilmu agama.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet. IV, h. vii

2Zainal Efendi Hasibuan, “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal”, dalam Samsul Nizar

(ed. ), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejara Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. III, h. 11

3

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. VIII, h. 69

4

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 21

Adapun permulaan dan berkembang ilmu pengetahuan dimulai dengan penamaan ilmu agama seperti tajwid, qiraat, tafsir, ilmu hadits, dan nahwu, terdapat pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hal ini dapat dilihat misalnya dari adanya cara untuk mempermudah pengajaran al-Quran pada masa itu. Diantaranya ilmu tajwid, tumbuh sebagai tata cara membaca al-Quran dengan baik dan benar, ilmu qiraat untuk mengetetahaui validitas bacaan al-Quran sesuai dengan mushaf. Sehingga muncul ilmu Qiraat al-Sab’ah. Ilmu tafsir, ilmu yang menjelaskan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh al-Quran. Ilmu kaidah-kaidah bahasa Arab yang dikenal dengan ilmu nahwu.5

Jadi dengan adanya proses pertumbuhan keilmuan dalam Islam menandai bahwa ajaran Islam serat dengan ajaran yang mendorong lahirnya Suatu peradaban dan tumbuhnya keilmuan atas dukungan wahyu. Terjadinya pergerakan dalam bidang ilmu keagamaan pada masa itu dikarenakan menjadi sebuah tuntutan dan kebutuhan masyarakat kala itu.

Atas dasar framework ini, menurut Samsul Nizar ada perhatian serius di bidang pendidikan. Khususnya al-Qur’an dan hadist semenjak pasca wafatnya Rasulullah Saw Hal ini menjadi wajar, karena kompleksnya tuntutan umat Islam di segala bidang termasuk pendidikan. Maka menjadi relevan ruang lingkup pendidikan Islam berkembang pesat dan meluas. Sehingga berbagai disiplin ilmu tumbuh diseputar kajian ajaran agama Islam. Selain itu, penambahan corak ilmu-ilmu klasik6 yang dikenal melalui kontak cultural dimana masing-masing kelompok masyarakat tersebut mempunyai pewarisan kebudayaan dan intelektualisme Yunani dan Persia.7

5

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam….h. 80-81

6

karya-karya klasik pendidikan Muslim pada tahun (700-1350) maka sebagian besar karya membicarakan tentang beberapa komponen dalam pendidikan diantaranya; tujuan pendidikan Muslim, metode, teori pengetahuan, kurikulum, pendidikan moral, religius, psikologi pendidikan, riset pendidikan, persoalan disiplin, organisasi pendidikan dan administrasi pendidikan. Setiap karya memiliki ciri khas dan anjuran masing-masing tergantung kondisi sosial pada masa karya tersebut ditulis. Baca, Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, terj. dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education, oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), Cet. II, h. 103

7

Dari ungkapan di atas dapat digaris bawahi, bahwa dengan adanya kegiatan ilmiah oleh para sahabat. Kemudian kegiatan tersebut dilanjutkan oleh tokoh-tokoh klasik. Darinya melahirkan berbagai bidang dan cabang disiplin ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama. Artinya, ilmu pengetahuan umum baru tumbuh dan berkembang memasuki awal periode Bani Umayyah melalui kontak kultural dengan negara lain. Sedangkan ilmu pengetahuan mencapai puncak keemasannya pada masa Bani Abbasyiah. Penting pula dicatat, dari kedua Dinasti ini yang menjembatani lahirnya tokoh-tokoh Muslim terkemuka, baik tokoh yang bernuansa ilmu keagamaan maupun tokoh yang bernuansa ilmu pengetahuan umum seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Sina, Imam al-Ghazali dan seterusnya masih banyak lagi tokoh-tokoh pada masa klasik yang tidak mungkin penulis menyebutkanya disini secara keseluruhan.

Sejarah melecak pada periode Dinasti Umayyah kejayaan masih bertumpu kepada perluasan dan penaklukan wilayah8, sehingga prestasi yang paling menonjol darinya adalah prestasi di bidang politik dan meliter.9 Dinasti ini juga mengalami perkembangan berbagai aliran keagamaan yang turut serta memperkaya khazanah keislaman dan juga dalam soal budaya misalnya melahirkan kreatifitas keilmuan dalam bentuk seni bangunan, sastra dan ilmu pengetahuan setelah terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim dengan negeri-negeri taklukannya yang memiliki tradisi luhur seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya.10

Meskipun dalam perkembangan keilmuan Dinasti Umayyah boleh dikatakan terbatas. Hal ini diduga karena kesibukan para khalifah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang mapan. Disamping itu pula terjadinya perluasan

8

Pada masa Dinasti ini di bawah pemerintahan al-Walid, Hisyam dan khalifah lainnya emperium Islam berhasil memperluas wilayah sampai batas-batas yang membentang luas dari pantai Lautan Atlantik dan Pyrenees hingga ke Indus dan perbatasan Cina. Pada masa ini pula terjadi penaklukan Transoxiana, Afrika Utara, Eropa dan Spanyol. Baca terj, Philip K. Hitti,

History of The Arabs, oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 255

9

Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Kerja Sama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 60

10

wilayah baru.11 Namun kemajuan yang pernah diraihnya, merupakan cikal bakal tradisi keilmuan dalam peradaban Islam.

Selanjutnya perkembangan keilmuan dapat dikatakan tumbuh pesat sejak munculnya Bani Abbasiyah12. Karena pada masa ini, baik ilmu agama ataupun ilmu umum mendapat perhatian cukup tinggi. Darinyalah tumbuh berbagai disiplin ilmu pengetahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan India.13 Adapun pemikiran asing yang mempengaruhi dunia intelektual Muslim atau yang lebih dikenal dengan penetrasi Hellenisme. Melalui sentuhan kreatif para intelektual Muslim dan perpaduan yang harmonis antara Islam dan filsafat mampu melahirkan intelektualis Muslim yang mampu memberikan warna peradaban umat Islam yang dinamis, teruma di bidang ilmu pengetahuan.14

Daulah Abbasyiah mencapai popularitasnya di zaman khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun. Selain terjadinya pergerakan penerjemahan buku-buku dari Yunani, juga berdirinya sebuah lembaga penerjemahan bernama

Bait al-Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan dan Universitas.15 Dapat dikatakan pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Yang mampu menguasai world view secara komprehensif tanpa harus meninggalkan tradisi ajaran dalam Islam. Di bawah dinasti ini pula, orang-orang Muslim dari dunia Arab, Spanyol, Mesir, India, dan sebagainya, telah melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang tidak buta terhadap kekayaan ilmu pengetahuan dan literatur mereka masing-masing, serta terhadap ilmu pengetahuan dan literatur dari dunia Helenistik dan Kristen. Hal ini

11

Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam….h. 83

12

Dalam catatan sejarah, ketenaran Bani Abbasiyah muncul setelah memperoleh kemenangan tentara Islam atas orang Bizantium pada Masa al-Mahadi dan al-Rasyid. Yang membuat periode ini sangat terkenal yaitu sejak adanya gerakan intelektual dalam sejarah Islam yang ditandai oleh proyek terjemahan karya-karya berbahasa asing diantaranya; Persia, Sanksekerta, Suriyah, Arab dan Bahasa Yunani. Bahasa yang disebut terakhir banyak mempengaruhi alam pikiran intelektual Islam pada periode ini. Baca, terj Philip K. Hitti, History of The Arabs….h. 381

13

Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam….h. 102-103

14

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam….h. 10

15Usman, “Institusi Pendidikan Islam pada Masa Harun ar-Rasyid”, dalam Suwito, et al. (ed. ), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. I, h. 96

menandakan adanya semangat penelitian dan semangat kreatif yang merupakan ciri khas pada abad-abad awal Islam.16

Fakta sejarah membuktikan warisan keilmuan pada kedua Dinasti masih memberikan sentuhan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana warisan intelektual mereka masih diakui eksistensi oleh negara Barat. Meskipun demikian kedua Dinasti tersebut tidak dapat dipertahankan dan pada saatnya mengalami kemunduran dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal. Kehancuran yang dialami kedua Dinasti ini berdampak kepada pendidikan dan menjadi terkotak-kotak yang kemudian mempengaruhi kebudayaan Islam di seluruh dunia Islam, terutama dibidang intelektual.

Berdasarkan uraian singakat di atas, kejayaan yang ditorehkan oleh umat Islam, tampak terdapat asas integrasi bentuk keragaman keilmuan dalam Islam. Tanpa adanya integrasi keilmuan dalam Islam sulit untuk bisa membentuk peradaban yang kuat. Dengan demikian, Islam pada dasarnya tidak mengenal adanya pemisahan atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum keduanya saling berpadu, harmonis dan saling melengkapi. Adanya pemikiran asing yang masuk ke dalam tubuh Islam berfungsi sebagai bahan pengayaan dan bukan unsur pendominasi ajaran Islam. Akan tetapi sebagai upaya pelestarian keilmuan dalam menjawab persoalan-persoalan yang muncul di setiap zaman.

Memasuki era modern, perhatian di bidang keilmuan dipertanyakan eksistensinya. Mengingat kehancuran total yang dialami oleh kedua Dinasti tersebut. Salah satu bentuk pergerakan kembali di bidang ilmu pengetahuan adalah mengadakan pembaharuan (modernisasi) oleh pemikir Islam. Hal itu dilakukan dalam rangka membangun kembali orientasi masyarakat ilmiah yang mampu turut serta membangun kualitas keilmuan dan memberikan respons Islam terhadap perkembangan zaman.

Menurut Harun Nasution,17 periode modern di mulai sejak tahun 1800 M. Periode ini di tandai oleh Jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Hal ini membuat Islam sadar dan mengerti akan kelemahannya. Sedangkan di Barat telah timbul

16

Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam….h. 17

17

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 6

peradaban baru yang merupakan ancaman bagi umat Islam. Situasi ini mendorong para pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan Islam kembali. Di periode inilah timbulnya ide-ide pembahruan dalam Islam atau kebangkitan umat Islam terutama di bidang ilmu pengetahuan.

Secara garis besar pola pembaharuan dalam Islam dapat di bagi dalam dua pola: Pertama, pola pembaharuan pendidikan Islam yang mengadopsi pola pendidikan modern di Barat. Gerakan ini disebut sebagai gerakan modernis.

Kedua, pola pembaharuan pendidikan Islam dengan cara kembali kepada ajaran Islam secara kaffah.18 Salah satu secara garis besar dari kedua pola pembaharuan tersebut akan menjadi pembahasan khusus soal integrasi keilmuan sebagai pembahasan pokok tentang gagasan pendidikan integral menurut M. Natsir. Sebelum itu sedikit penulis meninjau kembali kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada masa M. Natsir.

B. Tinjauan Historis Pendidikan di Indonesia pada Masa M. Natsir: Telaah Terhadap Dikotomi Keilmuan.

Sebagaimana yang telah di paparkan pada bab sebelumnya, bahwa dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan keilmuan. Karena dalam pandangan Islam sendiri semua ilmu itu berasal dari Yang satu yaitu Allah Swt. Namun persolan yang berkembang dan melanda pendidikan di Indonesia khususnya, sebagai akibat terjadinya dualisme atau dikotomi dalam sistem pendidikan ketika itu. Keadaan ini memotivasi M. Natsir untuk berusaha keras dalam mengintegrasikan ilmu umum dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan olehnya adalah sistem pendidikan yang bersifat integral.

Jika dilihat dari tahun lahir sampai wafat beliau yakni 17 Juli 1908 - 6 pebruari 1993. Maka beliau hidup dalam periode akhir abad 19 sampai abad 20. Pendidikan itu sendiri pada masa M. Natsi melewati dua periode yakni sebelum dan setelah kemerdekaan. Oleh karena itu beliau bisa dikatakan pelaku atau saksi sejarah perjalanan pendidikan di indonesia. Adapun gambaran pendidikan Islam

18

Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. I, h. 123-124

pada masa sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan diuraikan sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan

Pendidikan Islam sebelum kemerdekaan memiliki ruang gerak yang sempit dan diwarisi peraturan serta kebijakan yang menghambat pendidikan Islam untuk berkembang, yaitu dengan adanya kebijakan pemerintah Hindia Belanda berupa ordonansi guru.19 Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri.

Pada tahun yang sama. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi, berupa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.20 Hal ini terkait dengan Snouck Hourgronje yang pernah mengemukakan usul untuk memberikan pengawasan ketat kepada para pegawai agama.21 Hal ini menunjukan Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.

Pada tahun 1926, Ordonansi Guru disalahgunakan oleh Pemerintah lokal untuk menghambat gerakan ummat Islam. Peristiwa itu dialami oleh kalangan Muhammadiyah di Sekayu Palembang. Pada waktu itu, pengurus Pusat yang akan

19

Ordonansi guru adalah surat perintah mengenai kebijakan pada Hindia Belanda untuk guru agama yang ditekankan yakni guru agama Islam diharuskan mendapatkan surat ijin mengajar oleh pemerintah Hindia Belanda. Jelas ini akan menyudutkan, karena fakta dilapangan untuk mendapatkan ijin dipersulit. Apalagi untuk guru-guru agama yang mempunyai misi pergerakan dan pembaharuan yang bersifat radikal. Biasanya diperlakukan bagi guru-guru yang pernah mendapat pengaruh dari pembaharu dari luar, seperti Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, dll. Karena mereka dianggap akan memperkuat umat Islam dan mengancam keberadaan pemerintahan Hindia Belanda. Baca,Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), Cet. VIII, h. 199

20

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah ed. Terj, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islmaondererricht Door, oleh Abdurrahman,(Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1994), Cet. II, h. 111

21

meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tiba-tiba dilarang, padahal sebelumnya mereka sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang.22 Oleh karena Ordonansi Guru pada hakikatnya adalah kebijakan yang digunakan untuk mematikan gerakan pembaharuan terutama pendidikan Islam yang sedang digalakkan.

Kebijakan lain yang menghambat selain Ordonansi Guru yakni Ordonansi Sekolah Liar. Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi.23 Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar.24 Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme- Islamisme tahun 1928, berupa sumpah pemuda.25

Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Salah satu faktornya adalah Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan memperendah/ menghambat segala aktifitas termasuk dalam bidang pendidikan khususnya Islam. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah suwasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor

22

Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah & Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 116

23

Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 81

24

Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah & Perkembangannya….h. 118

25

Sumpah Pemuda adalah sebuah komitmen dari pemuda-pemuda yang ingin lepas dari segala bentuk penjajahan. Isi dari sumpah pemuda yakni 1. Kami putra-putri Indonesis mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia, 2. Kami putra-putri Indonesis mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia, 3. Kami putra-putri Indonesia mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia.

resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.

Adapun pendidikan yang berdiri pada masa Hindia Belanda, yaitu Pesantren dan Sekolah Belanda. Disinilah adanya dualisme pendidikan yang sengaja diciptakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun pesantren dianggap sebagai lembaga yang sederhana dan masih banyak menyimpan kelemahan. Namun gerak perkembangannya tetap di bawah pengawasan pemerintahan Belanda agar tidak membahayakan. Melihat dari sejarahnya, dualisme pendidikan hampir dialami oleh umat Islam dikarenakan untuk memisahkan dan membuat jarak antara Islam dan Penguasa.

2. Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan

Setelah merdeka, pendidikan Islam mendapat kedudukan yang sangat penting

Dokumen terkait