KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA
DI MYANMAR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Diah Nurhandayani
106083003627
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
KIi ll I.!r\ tr(A
li
PliN'l li R, l N'l'A ll
S tJ S It.0
ti,\Fl llANG Y U III IO YONO (S BY)DALAN'l
I'liNYIit,liS.,\L\N
KIil{tiltAS,\N
lill'NlS l\{US[,lN'ltfoIIINGYA
DI 1\IYANI\{AII
Skripsi
Dia.1ukan untuli ltlemenuhi Persyaratan Mernperoleh Cclar Sarjana Sosial (S.Sos)
olch:
Diah NLrrhandavani
l 06083003621
l)cmbirrr !.)
t)i Ilurvalr Ilirnbingan
---
Penrbi rnbi ng Akadernik'---'
,-//,
Madl-i]nl:lual.rvl-$=i
NII)-f
Dr
Ali unhanifNli): 19651 121992031004
PI{(}GRAh,I S'fT]DI
II,h,I L]IIIJITTINCAN
IN'TIiITNASIONAI,
IIAI{TIT,TAS
II-S,{L]SOSIAI. DAN
ILIVIUPOI,ITII(
tJNIV[]II.SI1'AS
ISl,Ah/l
I\ticlill.l
SYAI{I
F I I IDAYA'I'ULLAII
,IAI{AITl'A
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SB}}
DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR
1.
Merupakan karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strataI
di Universitas Islam Negeri rufN) Syarif Hidayatullah J akarta.2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisanini
telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlakudi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayahrllah Jakarta.3.
Jika di kemudian hari terbuldi bahwa karya saya ini bukan hasil asli karya saya atau merupakan hasil jipalakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.J akata, 1 6 Desemb er 20 13
Ptritsilf iJJLJn N PIIMBIMtJINC SKRIPSI
Dengan ini,.Pembirrrbing Skri1rsi Menyatakan bahrva nrahasislva
Narna
: Diah NurhandayaniNiM
: 106083003fi27Program Stlldi : Ilulrungan Int:rnasional
Telah rnenyeiesaikan penuiisan skripsi dengan judul
KEB]JAKAN PEMI-]ITINTAJI SUSILO
BAMI]ANG
YUDI,IOYONO (SBY)' DAI-AMI'ENYEI,ESN IN N KIKI-'ItAS]AN III'NIS MUSi,IM ITOIIINCYA DI MYANMAiT Dan telah memenuhi persyaraian urntr,rk diu,jr.
Jakarta, l6 L)cscrnbcr 20 l3
Mengetahui,
Ketua/ Sekretaris Prosrarn Studi
/p
Agus Nihnada Azrni, M.Si NIP: I 97808042009 121002
M. Adian Firnas, M.Si
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI
KEBIJAKAI\ PEMERINTAH SUSILO BAMBAI\G YTJDHOYONO (SBY) DALAM PEIYYELESAIAN KEKERASAN ETNIS
MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR
Oleh Diah Nurhandayani
106083003627
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla pada tanggal tanggal 24 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Prograrn Studi Hubungan Internasional.
Ketua,
Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP: 1 9780 80 42009121002
Sekretaris. /
z---\ / ;'
/-
/"1t'
Agus Nilmada Azmi, M.Si MP: 1978080 42009121002
Penguji
Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP: 1 97808042009121002
Alfajri, M.A
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 24 Desember 2013
Ketua Program Studi Hubungan Intemasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kiky Rizky, M.Si
ABSTRAK
Skripsi ini mengetengahkan permasalahan kekerasan etnis yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar. Kekerasan yang terjadi berlangsung secara sistemik dan bermuara pada pembersihan etnis yang tidak dibenarkan oleh Undang-undang dan peraturan Internasional manapun. Indonesia sebagai Negara anggota ASEAN yang disegani hendaknya dapat berperan dengan asas kemanusiaan untuk membantu penghentian konflik berkepanjangan ini . Skripsi ini berusaha mengananlisis kebijakan SBY (susilo Bambang Yudhoyono) untuk membantu penghentian kekerasan dan pembersihan etnis tersebut.
Kekerasan ini telah terjadi beberapa decade dan belum dapat terselesaikan. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan wawancara dengan beberapa pengungsi rogingya. Dari studi ini menemukan bahwa Presiden SBY menerapakan kebijakan yang tidak tegas dan tidak konsisten. Dengan bukti tidak ditemukannya upaya-upaya kongkrit SBY untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan ini baik pada level regional (ASEAN) atau internasional (PBB).
Yang terjadi justru kebijakan ‘diam’ terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan,
organisasi massa, institusi keagamaan yang secara faktual mendukung bangsa Rohingya baik secara moral ataupun material. Diamnya SBY dapat ditafsiri sebagai sebuah kebijakan pemerintah yang taat kaidah non-interference sesama anggota ASEAN. Jalan yang ditempuh SBY justru memperkuat kerjasama bilateral berbasis pendekatan ekonomi, demokratisasi dan rekonsiliasi nasional.
Selain dari pada itu, SBY juga mengoptimalisasi jalur lain untuk upaya penyelesaian konflik yang ada dengan forum Bali Process dan pertemuan-ASEAN ASEAN demi mengusahakan status hukum untuk komunitas Muslim Rohingya. Forum-forum internasional lain juga dimanfaatkan seperti pertemuan bersama Organisasi Kerja sama Islam (OKI) dan lainnya untuk membantu penghentian konflik etnis yang dapat berdampak negative bagi stabilitas regional dan internasional. Semua yang dilakukan dapat ditengarai sebagai bentuk mewujudkan kepentingan nasional.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT , atas segala rahmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul KEBIJAKAN PEMERINTAH
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa
Terimakasih kepada:
1. Kepada Orang Tua Penulis Bapak Nurhadi dan Mama Siti Romlah Tercinta
yang telah memberikan yang terbaik untuk penulis, baik Kasih sayang,
Kesabaran, Perhatian, dan telah menjadi orang tua terhebat sejagad raya, serta
doa yang tentu takkan bisa penulis balas.
2. Kepada Dosen Pembimbing Penulis Bpk. M. Adian Firnas, M.Si yang telah
membimbing penulis dalam memahami permasalahan di dalam skripsi ini,
meluangkan waktu untuk membaca skripsi ini. Terimakasih atas kesabaran,
arahan dan ilmu yang telah Bapak Adian berikan selama ini.
3. Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Penasehat Akademik
4. Bapak Kiki Rizky, M. Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta
5. Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan
Internasional
6. Bapak Nazaruddin Nasution, MA, Bapak Armen Daulay, Drs. M.Si, Bapak
Arisman, M.Si, Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si, Ahmad Alfajri, MA. dan juga
seluruh staf Dosen di jurusan Hubungan Internasional yang telah mengajarkan
7. Staff Program Studi Hubungan Internasional Pak Jajang, Pak Amali penulis
mengucapkan terimakasih yang sudah banyak membantu dalam proses
administrasi penulis.
8. Kepada Bapak Rofiq selaku pengungsi Etnis Rohingya yang berada di Cisarua.
Penulis ucapkan terimakasih atas kesediaan waktunya untuk diwawancarai dan
menjelaskan secara detail mengenai kondisi di Myanmar pasca terjadinya
konflik etnis Rohingya di Rakhine.
9. Untuk kedua kakak penulis Mas Agung dan Teteh Mida Nuraida terima kasih
atas segala perhatian, kasih sayang, dan motivasi serta doanya.
10.Sahabat-sahabat penulis Telor Ceplok (Dian, Desty, Crista), Astrid (acyd), Jeng
didis, Atik, Mbak Qory, Kismayeni, Irvan, Natiqoh, Rahmah, Kwe, Adnan,
Nanda, Hanifa, Susan dan Icha yang turut serta membantu penulis dalam
mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk skripsi ini.Serta teman-teman HI
lainnya Angkatan 2006 yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu, namun
tanpa mengurangi rasa hormat terimakasih kepada kalian.
11.Buat Sahabat penulis yang telah tiada (Alm. ) Izzun Nahdliyah. Terimakasih
telah menjadi sahabatku yang baik, ,yang sabar dan tidak pernah marah dan
terimakasih telah menjadi pendengar yang baik, yang dengan penuh kesabaran
mendengarkan semua cuhatan penulis. Terimaksih atas motivasi, doa dan
dukungan semangat, serta pengertian dan perhatian mu menemani hari-hari
penulis dengan penuh canda tawa. Penulis tidak akan pernah melupakanmu.
12.Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
Terimakasih kepada nenek tercinta atas doa, dan Motivasi. Tidak Lupa penulis
mengucapkan terimaksih kepada Keluarga Besar Ummi hafni, Kel. Besar
Mamah Miming, Uwa Untung, Tante Umi, Tante Sari, Bekni, Agus, Mbak
Anis, Ibu Mukti, Mama Kriting (Ibu dian), dan semua sanak saudara yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan, semangat dan
Doa kalian selama ini kepada penulis.
13.Terimakasih kepada Sahabat kecil penulis Nadiyah, Lilis. Terimakasih yang
telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dengan segala
14.Terimaksih kepada yang jauh disana entah dimana keberadaannya sekarang
(AMM). Penulis mengucapkan Terimakasih selalu memberikan motivasi dan
yang tidak pernah bosan untuk mengingatkan Penulis Untuk Menjadi Seorang
Anak yang bisa dibanggakan oleh Orang Tua, dan menjadi seorang Anak yang
bertanggung Jawab akan sudah menjadi Kewajiban nya Yakni menyelesaikan
Kuliah.
15.Semua Pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak
dapat disebutkan satu persatu, terimakasih.
Terimakasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena ittu,
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan
demi perbaikan kedepannya.
Jakarta, 16 Desember 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK……….V
KATA PENGANTAR………...VI DAFTAR ISI……….IX DAFTAR SINGKATAN………..X
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah………..1
1.2Pertanyaan Penelitian………..10
1.3Tujuan Penelitian……….10
1.4Tinjauan Pustaka……….10
1.5Kerangka Pemikiran………....12
1.5.1 Teori Kepentingan Nasional………....12
1.5.2 Kebijakan Luar Negeri………....15
1.6Metode Penelitian………...17
1.7Sistematika Penulisan………..19
BAB II GAMBARAN UMUM KONFLIK ETNIS-SEKTARIAN DI RAKHINE A. Sejarah Komunitas Rohingya………...21
B. Akar Konflik Secara Historis………...26
C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar………...29
BAB III ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR A. Kebijakan Dalam Negeri a.1.1 Kebijakan Terhadap NGO, Lembaga Kemanusiaan dan Media Massa………….32
a.1.2 Alasan Mengungsi Ke Indonesia………42
a.1.3 Kebijakan Terhadap Imigran Rohingya………..43
B. Kebijakan Luar Negeri b.2.1 Kebijakan Bilateral……….46
b.2.3 Kebijakan Internasional Dalam Kaitan Penyelesaian Kasus Rohingya…………..51
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………..52
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN
ACT: AksiCepatTanggap
ASEAN: Association Of South-East Asian Nations
DD : DhompetDhuafa
DVB: Democratic Voice Of Burma
IOM: International Organization For Migration
HAM: HakAsasiManusia
HRW: Human Right watch
MDMC : Muhammadiyah Disaster Management Center
NGO: Non-Governmental Organization
OKI: OrganisasiKonferensi Islam
PBB: PerserikatanBangsa-Bangsa
PBNU : PengurusBesarNahdhatulUlama
PMI: PalangMerah Indonesia
RI: Republik Indonesia
RNDP: RakhineNationalitis Development Party
SBY: SusiloBambangYudhoyono
UN: United Nations
UUD 1945:Undang-undangDasar
UNHCR: United Nations High Commissioner for Refugess
1
KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS
MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR
1.1 Latar Belakang masalah
“Kekerasan (terhadap komunitas Rohingya di Myanmar) yang terjadi belakangan ini,
bukanlah hal yang luar biasa. Karena hal demikian telah terjadi terhadap kami sejak sekian
waktu yang lalu!”, ucap Muhammad Rofiq (35 tahun) salah satu pengungsi Rohingya yang
tinggal di tempat penampungan sementaranya di kawasan Cisarua sejak 13 Agustus 2012
(Wawancara dengan Rofiq di kediamannya di Cisarua 25 Agustus 2012). Dan salah satu
bukti kongkritnya adalah diri dan keluarganya sendiri yang „terdampar‟ di Cisarua sejak
Desember 2011.
Rofiq dan isteri yang ditemani oleh dua orang anaknya adalah salah satu pengungsi
korban kekerasan penduduk mayoritas Rakhine wilayah arakan. Perjalanan panjang Rofiq
dari Arakan dengan satu anak menuju Bangladesh, kemudian menembus perbatasan
Thailand, lalu menyeberang Malaysia (di sini anak keduanya lahir) dan mengarungi laut
menembus perbatasan Malaysia-Indonesia dan akhirnya berlabuh di pulauTanjung Pinang,
Riau di medio pada tahun 2011 (Wawancara dengan Rofiq di kediamannya di Cisarua 25
Agustus 2012).
Hal serupa juga dikisahkan oleh Karimullah kebetulan sama bermukim sementara di
perumahan sederhana di Cisarua sejak Oktober 2011 lalu. Karimullah terpaksa lari dari
kekerasan etnis-sektarian yang mengancam hidup mereka. Bahkan dari penuturan
Karimullah ia mengalami patah tulang belakang akibat penyiksaan yang dilakukan oleh
aparat Nazaka, polisi perbatasan yang belanja di toko miliknya tanpa membayar. Saat
2
kesekujur tubuhnya. Anehnya, saat hendak dirawat pihak RumahSakit menolak
kehadirannya karena beretnis Rohingya (Wawancara dengan Karimullah tanggal 25
Agustus 2012) .
Wilayah Arakan atau wilayah yang kini disebut Rakhine, bagi Rofiq dan Karimullah
bagai hidup dalam penjara raksasa dengan segala bentuk aniaya yang mengancam hidup
mereka setiap saat. Mengungsi adalah pilihan terbaik. Orang tua, anak, saudara semua
berlari sekuat tenaga melewati perbatasan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Di
Cisarua, Rofiq dan Karimullah yang merupakan saudara sekandung kembali bertemu
setelah berpisah sejak melarikan diri dari kekerasan yang terjadi di rakhine (Wawancara
dengan M.Rofiq tgl. 25 Agustus 2012).
Dua penuturan pengungsi Rohingya tentang apa yang mereka alami di atas
menggambarkan kondisi faktual tentang kekerasan dan diskriminasi terorganisir yang
menimpa etnis Rohingya. Kekerasan ini, menurut catatan sejarah telah berlangsung sejak
beberapa dekade lalu dan terus terjadi yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia
serta 140 ribu terusir dari kediaman mereka di negara bagian Rakhine, 800 ribu tidak punya
kewarganegaraan ( Patterik Wiggers 2002: 9 dan www.unhcr.org). Bahkan dalam catatan
sejarah, kekerasan ini sudah terjadi sejak 1784 yang lalu ketika Raja Burma Bodawpaya
menaklukan Arakan. Ketika itu tidak kurang dari 200 ribu rakyat Arakan terbunuh dan 2/3
penduduk Muslim Arakan eksodus ke wilayah Chittagong (Cox Bazar sekarang) atau
sekitar 400 ribu orang.
Menurut Chris Lewa, direktur pada Rohingya advocacy group (www.reuters.com),
sejak kemerdekaan Burma pada tahun 1948 etnis Rohingya secara perlahan diperlakukan
secara deskriminatif dan tidak diikutsertakan dalam proses nation-building (proses
politik)yang terjadi. Contohnya, dalam akta Kewarganegaraan 1948 yang didasari oleh
3
atau hak darah yang dikenal tahun 1902 di mana mengatur kewarganegaraan seorang anak
yang mengikuti kewarganegaraan seorang bapak (www.merriam-webster.com) dan
identifikasi tiga kategori kewargaan yaitu warga negara penuh, asosiasi dan naturalisasi.
Kewarganegaraan penuh hanya dimiliki oleh 135 suku nasional yang mendiami
Myanmar sebelum tahun 1823 yaitu tahun kolonialisasi Inggris di Arakan. Anehnya,
Rohingya tidak masuk dalam daftar 135 suku di atas. Sementara kewargaan asosiasi
diberikan kepada mereka yang mendaftar kewarganegaraan dengan rujukan Akta 1948 atau
yang disebut dengan Union Citizenship Act 1948 (www.burmalibrary.org).
Kewarganegaraan naturalisasi dapat diberikan kepada mereka yang datang dengan bukti
kongkrit bahwa pertama, ia masuk dan mendiami Myanmar sebelum kemerdekaan (4
Januari 1948);kedua, dapat berbicara salah satu bahasa nasional; dan ketiga, punya anak yang lahir di Myanmar (Chris Lewa: 11-12). Dengan regulasi demikian, hanya sedikit sekali
dari warga Arakan yang dapat memenuhinya.
Pada tahun 1989, kontrol unik terhadap warga negara kembali diberlakukan yaitu
dengan kartu berwarna. Kartu berwarna pink berarti warga negara penuh, warna biru berarti
warga asosiasi dan hijau warga negara naturalisasi. Di sini, Rohingya tidak mendapatkan
warna apapun (http://www.the-platform.org.uk/). Sebuah kebijakan diskriminatif seperti
kebijakan apartheid Afrika Selatan dahulu dengan alapemerintah Rangoon yang
berlangsung dengan mulus tanpa terus oleh kritikan-kritikan lembaga HAM internasional.
Hak-hak asasi eksistensial (hak asasi untuk hidup) komunitas Rohingya di Arakan
secara telanjang dilecehkan.Sebuah kondisi yang membuat mereka rentan terhadap tindakan
brutal oleh komunitas Rakhine yang diduga didukung oleh oknum pemerintah.Maka ketika
terjadi penistaan terhadap mereka, pemerintah tidak bertindak apapun, bahkan
mendukung.Ini yang ditegaskan dalam laporan Human Right Watch.org yang berjudul,“The
4
Arakan State.”(http://www.hrw.org/). Bahkan High Commissioner for Human Rights, Navi Pillay dalam statemennya tanggal 27 July 2012 menyatakan bahwa komunitas Muslim di
Arakan menjadi target kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar(www.un.org).
Menurut Matthew F. Smith, kolomnis The Wall Street Journal yang berdomisili di
Bangkok (7/8/2012), aparat keamanan pemerintah membunuh dan mengepung minoritas
Muslim, menangkapi, memukuli dan menyiksa mereka secara kejam hingga mati. Tiga
puluh ribu orang Rohingya terdaftar sebagai pengungsi di kamp-kamp pengungsian di
Bangladesh, delapan puluh ribu lain terusir paska kekerasan bulan Juni 2012 lalu (The
Rohingya : a humanitarian crisis, www.aljazeera.com). Sementara pemerintah tidak memberikan akses bagi bantuan kemanusiaan terhadap komunitas ini.Bahkan kebijakan
Rangoon terkesan membiarkan para pengungsi menderita kelaparan, tinggal di rumah tanpa
atap dan tidak ada perawatan medis.Ini merupakan kebijakan yang disebutnya sebagai
kebijakan penyiksaan yang dilakukan oleh Negara (The wall Street Journal,
www.online.wsj.com).
Seorang periset yang bekerja untuk Amnesty International, Benjamin Zawacki
“Penyiksaan terhadap Rohingya benar-benar sistemik.Ini adalah bagian dari system hukum
dan social Myanmar untuk mendiskriminasi orang-orang Rohingya dengan dasar
etnis…seluruh aspek kehidupan dipengaruhi oleh system yang dibuat dan menjadikan
penyiksaan dan diskriminasi menjadi sah.” (www.aljazeera.com)
Ini artinya berbagai kebrutalan agresi dan pelanggaran HAM oleh penduduk Rakhine
bersenjata yang terjadi sesungguhnya di-back-up aparat pemerintah dan agamawan Budha
terhadap komunitas Muslim tidak bersenjata di Arakan (www.:islamicforumeurope.com).
Sebuah realitas ironis yang terjadi di tengah maneuver organisasi-organisasi internasional
yang kerap tampil bak pahlawan dalam memperjuangkan penegakan HAM di banyak
5
Reaksi dunia terhadap penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di
ibukota Dili pada 12 November 1991 silam begitu luar biasa. Hal itu terjadi ketika video
penembakan tersebut ditayangkan di ITV Britania pada Januari 1992 dalam film First
Tuesday berjudul In Cold Blood : the Massacre of East Timor (Center for International Studies, Cornell University, seap.einaudi.cornell.edu/node/10149) Kemudian tayangan ini
disiarkan ke seluruh dunia dan melahirkan tekanan-tekanan politik yang kuat bagi Jakarta
dan embargo bagi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) waktu itu.Kita hanya
bertanya, mengapa dunia begitu responsive dan reaktif terhadap peristiwa di atas?
Tindak kekerasan dan terror terhadap minoritas Muslim di Rakhine (Arakan) pada
awal Juli 2012 ternyata berlangsung cukup lama walau jumlah korban ribu orang dan jutaan
orang dipaksa keluar dari tanah tumpah darahnya sendiri. Lembaga-lembaga internasional
(Human Rights Watch, Human Rights Without Frontier, Simon Wiesenthal Center, Human
Right‟s Action Center, Amnesty International), yang biasanya tampil sebagai pahlawan
HAM selama ini bungkam, bisu dan tak berkutik. Oleh karenanya, derita Rohingya ini
menurut BBC News (11/3/2006) bagai unforgotten massacre atau pembantaian yang
terlupakan (www.bbc.co.uk dan www.washingtonpost.com). Artinya, nyawa-nyawa
manusia yang kebetulan beragama Islam ini tidak ada artinya bagi para pembela-pembela
HAM tersebut di atas. Hal ini dibuktikan dengan ribuan jumlah pengungsi Rohingya berada
di Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Negara-negara lain sebagaimana
disinggung di atas.
Ketika semua masyarakat dunia bicara soal demokrasi dan hak asasi manusia,
pelanggaran HAM bekepanjangan terus terjadi di Myanmar tanpa ada upaya efektif yang
diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika dan UniEropa. Padahal
jumlah korban demikian besar. Dan bahkan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah
6
Myanmar Thien Sien sebagai the only solution yang disampaikan kepada komisioner
tertinggi urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa paska pembantaian Juni 2012 lalu
dengan mengatakan : "We will take responsibility of our ethnic nationals but it is impossible
to accept those Rohingyas who are not our ethnic nationals who had entered the country illegally. The only solution is to hand those illegal Rohingyas to the UNHCR or to send them to any third country that would accept them,"(Kami akan bertanggungjawab terhadap etnis nasional kita tetapi tidak mungkin menerima orang-orang Rohingya yang bukan
bagian dari etnis nasional yang memasuki negeri ini secara illegal. Satu-satunya solusi
adalah menyerahkan orang Rohingya kepada UNHCR atau mengirimkan mereka ke negara
ketiga yang mau menerima). Hal ini yang disampaikan Presiden Thien menyampaikan
kepada pejabat UNHCR, Antonio Guterres pada tangal 11 Juli 2012 lalu (www.unhcr.org)
Mengusir komunitas Rohingya yang menurut S.W. Cocks (a Short History of Burma :
1919 : h.146) bermukim ratusan tahun silam yang berjumlah lebih dari satu juta jiwa dapat
dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebab tidak ada alasan hukum yang dipakai
untuk membenarkan tindakan ini. Bila hal itu terus terjadi di tengah „pembiaran‟ lembaga
internasional yang seyogyanya menyelesaikan derita berkepanjangan, bukan hal mustahil
yang demikian dapat „membakar‟ sentimen komunitas seagama dengan Royingya bertindak
secara individual ataupun komunal.Apalagi kekerasan terhadap Muslim Rohingya
dikesankan Dr. Gabriele Marranci (antropologis dan direktur Study of Contemporary
Muslim Lives Research Hub di Macquarie University) sebagai „religious persecution‟ yang
dapat memicu solidaritas religi di kawasan (http://www.aljazeera.com dan marranci.com).
Potensi ini bisa saja terjadi, bila pembiaran ini terus berlarut-larut tanpa akhir yang akan
mendestabilitasi komunitas lokal, regional dan internasional yang tentu akan merugikan
kepentingan nasional.Hal ini yang diamini oleh Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan bahwa
7
penyelesaian persoalan masyarakat Rohingya.Sebab persoalan ini, menurut Surin
merupakan tantangan keamanan strategis yang dapat mendestabilisasi kawasan (www.
thejakartapost.com).
Apa yang diungkap Surin di atas boleh jadi benar. Sebab peristiwa ledakan bom
berdaya ledak rendah pada Minggu (4/8/2013) terhadap Vihara Ekayana Graha yang
berada di Jalan Mangga II, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat berjejak tulisan yang
berbunyi “Kami Mendengar Jeritan Rohingya” (www.http://news.detik.com). Artinya ada
indikasi pengkorelasiaan peristiwa tersebut dengan apa yang dialami oleh bangsa
Rohingya.Memang bagi beberapa orang, hal ini sulit dipahami.Peristiwa yang terjadi jauh
dari Indonesia, dapat berpengaruh terhadap sikap politik sebagian kecil orang di sini. Tetapi
ini boleh jadi tafsiran terhadap hadits yang berbunyi :„Sesungguhnya Muslim itu
bersaudara‟ dan hadits lain yang bermakna : “Barangsiapa yang tidak peduli dengan
saudara mereka lainnya, maka tidaklah ia menjadi bagian dari mereka.” Apapun motif teror di balik kejadian tersebut ini tidak menjadi masalah bagi penulis. Tetapi sekecil
apapun jejak yang ditinggalkan pelaku, itu harus menjadi perhatian aparat keamanan dan
pemerintah. Sebab bila ini tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan antisipatif terkait dengan
isu Rohingya dapat memicu peristiwa serupa di masa mendatang dalam skala yang bias
lebih besar.
Oleh karenanya, kondisi iniyang menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia
sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN untuk aktif berkontribusi menyelesaikan
konflik dan pertikaian etnis di Myanmar. Bila kondisi ini berlarur-larut dapat
mendestabilisasi kawasan sebagaimana diprediksi oleh Sekjen ASEAN di atas. Kondisi ini
semakin urgen ketika tidak ada satu negara anggota ASEAN pun yang all-out membantu
penyelesaian kasus ini yang bisa jadi terikat dengan komitmen pada prinsip
8
penulis peran aktif Indonesia dalam kasus ini dapat mewujudkan stabilitas nasional dan
perdamaian regional dalam jangka panjang.
Kendati demikian, secara faktual pemerintah Jakarta atau pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono menampakkan kebijakan dalam menyikapi kekerasan etnis atas komunitas
muslim rohingya di Myanmar. Hal ini tampak pada kenyataan bahwa pemerintah Indonesia
tidak secara eksplisit menggunakan pengaruhnya memberi tekanan terhadap pemerintah
Myanmar baik di forum ASEAN ataupun forum-forum internasional lainnya, walau banyak
statemen yang diucapkan SBY untuk berkomitmen membantu penyelesaian konflik
komunal yang terjadi (www.kemendagri.go.id). Tetapi lagi-lagi, itu tidak disinggung saat
bertemu presiden Myanmar Thien Sien dalam kunjungan presiden RI ke Rangoon pada
tanggal 23 April 2013 lalu. Kunjungan tidak lebih hanya sebagai penguatan hubungan
ekonomi dan investasi semata. Memang isu Rohingya bagi Myanmar adalah persoalan
sensitif dan eksistensial. Sebab kebijakan yang terkesan anti-Rohingya semakin tumbuh
berkembang di tengah 60 juta masyarakat Myanmaryang menganut agama Budha. Bila isu
ini diangkat oleh SBY dalam kunjungan tersebut dapat menyinggung „konsensus‟ nasional
Myanmar bahwa Rohingya harus ditempatkan di negara ketiga yang mau menerima
kehadiran mereka dan memicu keretakan hubungan bilateral. Hal ini dianggap konsensus
sebab keinginan untuk mengusir bangsa Rohingya tidak hanya diusulkan oleh Presiden
Thein Sein, tetapi juga oleh Biksu Win Rathu dan ketua partai Rakhine National
Development Party Dr.Aye Maung (democratic voice of Burma, http://archive.is/RSubU).
Kendati, sikap seperti ini dianggap tidak konsisten dengan apa yang kerap diucap terkait
kasus Rohingya. Sebab tidak ada satu kebijakan luar negeri atau dalam negeri (terkait
dengan para pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia) yang mewakili sikap
9
Memang saat bertemu Presiden Myanmar Thein Sein dalam sesi pertemuan bilateral
di Phnom Penh, Kamboja, (Selasa 20 November 2012), Presiden SBY menawarkan bantuan
penyelesaian konflik etnis di negara bagian Rakhine (http://www.suarapembaruan.com).
Bahkan SBY menyarankan Presiden Thein Sein untuk mengundang negara-negara
Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang selama ini dilarang oleh Thein Sein untuk
mengunjungi lokasi konflik (http://www.suarapembaruan.com).Namun demikian tidak ada
tanda-tanda dan indikasi bahwa tawaran dan himbauan politik RI atas Myanmar
membuahkan hasil yang menggembirakan dan kekerasan kerap terulang kembali. Dan pada
tingkat kebijakan Luar Negeri RI ( Republik Indonesia) pemerintah SBY telah mengutus
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tanggal 7-8 Januari 2013 untuk melakukan
diplomasi publik mencoba menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan kekerasan
etnis (www//khabarsoutheastasia.com).
Sejatinya, ketika misi Menlu MartyNatalegawa dan himbauan yang ada tidak berhasil
ada upaya diplomatik dan kebijakan luar negeri lain yang lebih efektif. Apakah itu dengan
mengundang sidang darurat ASEAN, UN atau lembaga-lembaga internasional lainnya yang
dapat menghentikan konflik berkepanjangan di Rakhine di atas.
Yang ada justru memberdayakan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk terlibat
langsung dalam penanganan dan resolusi konflik di Negara itu. Misalnya, Pada tanggal 10
Agustus 2012 di bawah rombongan Jusuf Kalla (mantan wakil presiden Indonesia dan
direktur utama Palang Merah Indonesia (PMI)) mengirim bantuan kemanusiaan untuk
komunitas Rohingya berupa antara lain 500 paket kebersihan, 3.000 selimut dan 10 ribu
10
1.2 Pertanyaan Penelitian
Di sini, peneliti melihat keterlibatan pemerintah SBY dalam penyelesaian kasus
kekerasan komunal di Rakhine adalah keniscayaan kepentingan nasional, regional dan
internasional.
Maka dalam konteks ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :
1.Bagaimana kebijakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dalam membantu
penyelesaian konflik Rohingya
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.Untuk mengetahui bagaimana kebijakan SBY dalam membantu penyelesaian konflik
Rohingya.
2.Memberikan sumbangsih bagi para pengambil kebijakan, mahasiswa dan analis
terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik
rohingya.
1.4 TinjauanPustaka
Kajian tentang derita komunitas Muslim Rohingya tergolong sedikit. Pada level
internasional, kajian hanya sedikit. Di antaranya adalah kajian Saiful Huq Omi (documentary
photographer dan pemenang National Geographic 1996, (www.saifulhuq.com) dengan judul
Fleeing Burma yang mengkaji tentang sebab musabab diaspora komunitas Muslim Rohingya.Menurut penulis yang mengutip data UNHCR, tidak kurang dari 29 ribu orang asli
Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh (www.worldpolicy.org ).
Mereka bertahun-tahun berada di negeri jiran ini dengan menyandang status sebagai
imigran gelap dan hidup dalam satu tempat yang sempit untuk 16-18 orang. Jumlah ini hanya
11
orang mengungsi ke Bangladesh (www.pi.library.yorku.ca) yang terusir akibat kekerasan
yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap komunitas Muslim ini di tahun 1970an
(www. Synergiescanada.org).
K.C. Saha, kepala Bihar Public Service Commission, India, menulis pada jurnal
Refugetema lain terkait dengan Rohingya dengan judul “Learning from Rohingya Refugee
Repatriation to Myanmar” bahwa repratriasi pengungsi Rohingya terjadi pada 15 Mei 1992
ketika sebuah kesepakatan ditandatangani antara Menlu Myanmar dan Menlu Bangladesh di
awal 1992 lalu. Empat butir yang dicantumkan dalam kesepakatan itu adalah soal Azan boleh
dikumandangkan di masjid-masjid daerah dengan mayoritas Muslim, bebas berpindah dari
satu daerah ke daerah lain yang sebelumnya dilarang keras, komunitas Rohingya dapat
bepergian dari tempat pengungsiannya di Bangladesh ke Arakan untuk melihat kondisi yang
disiapkan untuk mereka jika kembali dan terakhir bagi orang Rohingya yang tidak punya
kewarganegaraan dapat mendaftarkan diri jika sudah kembali ke Myanmar(www.
Synergiescanada.org). Dan banyak lagi tulisan-tulisan ringkas dan liputan media tentang
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim Rangon dan penganut Budha di Myanmar
terhadap komunitas Muslim Rohingya (Arakan Report, IHH Insani Yardim Vakfi, Istanbul
Turkey, July 2012).
Demikian juga halnya pada level nasional, tema Rohingya belum menjadi konsen
banyak civitas akademika, para analis dan pemerhati. Salah satu buktinya, tidak banyak
tulisan serius terkait dengan kekerasan yang berlangsung di salah satu negeri anggota
ASEAN tersebut. Namun, salah satu karya ilmiah yang di level terakhir tadi berjudul
Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya di Wilayah Indonesia sesuai Konvensi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) ditulis oleh Kadarudin, peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Hasanuddin(Jurnal
12
penderitaan minoritas Rohingya bermula tahun 1978 yang berakibat ratusan ribu manusia
terusir, mengungsi ke perbatasan Myanmar-India, Myanmar-Bangladesh, dan tidak sedikit
wanita Rohingya dijual di tempat-tempat prostitusi di perbatasan Cina.
Penulis telah menelusuri banyak literatur yang terkait dengan tema Rohingya, tetapi
masih sedikit sekali yang menaruh perhatian terhadapnya apalagi secara spesifik
memperbincangkan tentang peran Indonesia dalam penyelesaian krisis kemanusiaan ini. Di
sini, penelitian penulis menjadi sangat berarti dalam mengangkat tema Kebijakan
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam penyelesaian kekerasan etnis muslim
rohingya di Myanmar.
1.5KerangkaPemikiran
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bebrapa teori untuk mendukung
permasalahan yang sedang diteliti. Konsep-konsep tersebut yaitu Kepentingan Nasional dan
Kebijakkan Luar Negeri
1.5.1 Teori Kepentingan Nasional
Ketika membahas tentang peran Indonesia di kancah internasional tentu tidak lepas dari
teori kepentingan nasional yang menjadi substansi fundamental hubungan internasional
sebuah negara.
Banyak pihak membahas tentang teori ini, salah satunya adalah Michael Doyle Simpson
dalam tesisnya A Concept of the National Interest, Ia menyimpulkan bahwa kepentingan
nasional adalah kepentingan-kepentingan publik yang menggerakkan sebuah bangsa guna
meraih harapan dan komitmen pada karakter dan aspirasi bangsa ( Michael Doyle 1984:
129).Teori ini jauh dari konsep kepentingan nasional yang diusung oleh Hans J. Morgenthau
13
dan kekuatan atau power ( Hans Margenthau 1952: 961-988 dan Umar Saryadi Bakri 1999:
60-61).
Tentu kepentingan nasional Morgenthau di atas dapat dipersepsi sebagai konsep yang
bernuansa sempit, antagonis dan tidak universal. Bisa dibayangkan bila semua negara dunia
menjalankan kebijakan luar negerinya dengan nasional interest masing-masing yang
bersandar kuat pada pengaruh, kekuatan dan kekuasaan, maka dunia akan kembali terseret
pada lembah gesekan dan konflik tidak berkesudahan. Oleh karenanya, Frankel seperti
dikutip Umar Saryadi melihat kepentingan nasional yang berlandaskan pada moralitas,
religiusitas dan nilai-nilai humanis. Konsep ini juga diamini oleh Nicholas Spykman yang
juga menambahkan aspek kepentingan kultural sebagai bagian integral dari kepentingan
nasional (Umar Saryadi Bakri 1999: 61).
Kepentingan nasional sebuah negara menurut Charles Evans Hunges merupakan
motivasi kuat dari kebijakan luar negeri dan hubungan internasionalnya (Umar Saryadi bakri
1999: 73). Bahkan yang menjadi konsideran atau determinan utama dan motor kebijakan luar
negeri atau hubungan internasional sebuah negara adalah national interest (kepentingan
nasional) itu sendiri.
Lebih dari itu, kebijakan luar negeri sebuah negara yang berlandaskan pada kepentingan
nasional menjadi landasan mazhab realist dalam hubungan internasional. Tentu dalam
mempraktekkan teori kepentingan nasional ini tidak semudah membalikkan tangan. Sebab
negara-negara besar dapat secara arogan memaksa negara kecil dan lemah atas nama keadilan
yang sesungguhnya artifisial (tidak murni) dan lain sebagainya demi kepentingan nasional
individualnya. Dalam hal ini, konsep keseimbangan kekuatan (balance of power) menjadi
keniscayaan praktek mazhab realist.
Di sini, warga Myanmar beretnis Rohingya secara kebetulan beragama sama dengan
14
yang beragama sama dengan mayoritas penduduk Myanmar. Keterlibatan aktif para
agamawan atau Biksu Budha dalam demonstrasi pengusiran Muslim Rohingya berpotensi
mengusik solidaritas-religi sebagian warga Muslim Indonesia. Bila realitas tersebut
berlarut-larut, tidak mustahil dapat menyulut instabilitas di bumi pertiwi ini.
Dikutip dari Jemadu, menurut Miroslav Nincic Terdapat 3 asumsi dasar yang dalam
mendefinisikan kepentingan nasional (Aleksius 2008: 67)yakni:
Pertama, kepentingan itu bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas
utama pemerintah dan Masyarakat.
Kedua, kepentingan harus berkaitan dengan lingkungan internasional. Artinya,
pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh lingkungan internasional.
Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat
pertikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan sehingga menjadi
kepedulian masyarakat secara keseluruhan.
Di sini, peran Indonesia dalam penanganan persoalan minoritas Rohingya di
Myanmar yang merupakan salah satu dari negara anggota ASEAN (Association of
South-East Asian Countries) tidak terlepas dari penggejawantahan salah satu dari empat elemen dan
jenis kepentingan nasional di atas yaitu kepentingan tata internasional. Di samping itu,
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) kita dengan tegas menyebutkan bahwa
„sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri-keadilan
(UUD 1945 perubahan 4).‟Ini artinya, peran Indonesia dalam penyelesaian kasus Rohingya
tidak lain adalah implementasi dari pembukaan UUD 1945 itu sendiri.
Oleh karenanya, peneliti sepakat dengan tesis yang diungkap Frankel seperti dikutip
Umar Saryadi di atas sebagai teori yang mestinya diambil oleh Indonesia bahwa kepentingan
15
kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan tata internasional (world order
interest), dan kepentingan ideologi (ideological interest) yang berlandaskan pada moralitas,
religiusitas dan nilai-nilai humanis.
1.5.2 Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para
pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional
lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam
terminologi kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri yang yang dijalankan oleh
pemerintah suatu Negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional
masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu
ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu. Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri
dapat diartikan upaya suatu Negara yang melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk
mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan luar negeri
menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu
Negara ( Banyu Perwita dan Yayan 2005: 49) .
Langkah pertama dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri mencakup:
1. Menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalam bentuk tujuan dan
sasaran yang spesifik.
2. Menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional yang
berkaitan dengan tujuan kebijakan luar negeri.
16
4. Mengembangkan perencanaan atau strategi untuk memakai kapabilitas nasional
dalam menanggulangi variable tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
5. Melaksanakan tindakan yang diperlukan.
6. Secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang telah
berlangsung dalam menjangkau tujuan atau hasil yang dikehendaki.
Menurut Plano bahwa setiap kebijakan luar negeri dirancang untuk menjangkau
tujuan nasional.Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri
merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional
terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk
menjangkaunya. Tujuan dirancang, dipilih, dan ditetapkan oleh pembuat keputusan dan
dikendalikan untuk mengubah kebijakan ( revisionist policy ) atau mempertahankan
kebijakan (status quo policy) ihwal kenegaraan tertentu dilingkungan internasional (Banyu
Perwita dan Yayan 2005: 51).
Konsep Kebijakan Luar Negeri menurut Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan
luar negeri sebagai “ explicit and implicit actions of governmental officials designed to
promote national interests beyond a country‟s territorial boundaries”. Dalam definisi ini ada
tiga tekanan utama yaitu tindakan atau kebijakan pemerintah, pencapaian kepentingan
nasional dan jangkauan kebijakan luar negeri yang melewati batas kewilayahan suatu Negara
(Aleksius 2008: 64). Artinya bahwa kebijakan luar negeri merupakan kebijakan eksplisit dan
implisit yang dirancang pemerintah guna mengembangkan, meningkatkan dan memajukan
kepentingan dalam negeri pada level internasional.
Menurut pemikir lain, Kegley dan Wittkopf bahwa kebijakan luar negeri sebagai “the
decisions governing authorities make to realize international goals”(keputusan-keputusan
17
Lentner pengertian kebijakan luar negeri terdapat tiga elemen dasar dari setiap kebijakan
yakni: Penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumber
daya atau instrument untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan
pelaksanaan (implementations) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan
secara aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan (Aleksius 2008: 65).
Solusi untuk penyelesaian kekerasan etnis muslim rohingya di Myanamar sudah
menjadi masalah di dunia internasioal, dengan adanya kerjasama internasional sangat
diharapkan dapat membantu dalam penyelesaian konflik etnis muslim rohingya. Demikian
konsep seperti Kepentingan nasional dan kebijakan Luar negeri yang saling
berkesinambungan kiranya relevan untuk membahas lebih lanjut mengenai Kebijakan
pemerintah Indonesia (Bambang Susilo Yudhoyono mengenai kasus kekerasan etnis muslim
rohingya di Myanmar.
1.6 Metode Penelitian
Suatu penelitian harus menggunakan metode-metode yang sistematik, dan diatur
dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan penelitian.Metode penelitian merupakan suatu
ketentuan mengenai teknik yang digunakan dalam penelitian. Setiap penelitian harus
didasarkan pada kerangka tertentu dalam berbagai proses penelitian.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
kualitatif.Metode kualitatif merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan pada
penelitian yang menggunakan kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa
tertentu.Sedangkan tipe penelitian ini bersifat deskriptif dimana suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini
18
fakta-fakta yang ada.Sedangkan menurut Whitney (1960) dalam buku mohammad nazir, ia
mengatakan bahwa penelitian deskriptif yaitu mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu, termasuk
tantangan hubungan, kegiatan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Penelitian ini akan menggunakan metode pengumpulan data dengan studi dokumen
dan wawancara. Studi dokumen didapatkan dari :
1.Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku, jurnal, laporan penelitian, riset,
dan Koran.
2.Penelusuran melalui internet yaitu untuk mendapatkan data dan berbagai informasi
terkait dengan penelitian. Contohnya, http://Burmese.rohingyablogger.com/ sebagai
media komunitas rohingya yang berada dikawasan Rakhine dalam mengupdate
informasi yang terjadi di lapangan.
Selain itu penelitian ini juga menggunakan wawancara kepada para pengungsi korban
kekerasan di Myanmar yang berada dikawasan Puncak-Cisarua kepada Bapak Muhammad
Rofiq dan Bapak Karimullah Pada tanggal 25 Agustus 2012 untuk mendapatkan data lebih
19
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
1.1Latar Belakang Masalah
1.2Perumusan Masalah
1.3Tujuan Penelitian
1.4Tinjauan Pustaka
1.5Kerangka Pemikiran
1.5.1 Teori Kepentingan Nasional
1.5.2 Kebijakan Luar Negeri
1.6 Metode Penelitian
1.7 Sistematika Penulisan
BAB II Gambaran Umum Konflik Etnis-Sektarian di Rakhine
A Sejarah Komunitas Rohingya
B. Akar Konflik Secara Historis
C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar
BAB III Analisis Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam
Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya di Myanmar
A.1 Kebijakan Dalam Negeri
a.1.1. .Kebijakan Terhadap NGO, Lembaga Kemanusiaan dan Media Mass
a.1.2. Alasan Mengungsi ke Indonesia
a.1.3. Kebijakan Terhadap Imigran Rohingya
20
b.2.1 Kebijakan Bilateral
b.2.2 Kebijakan di ASEAN
b.2.3 Kebijakan Internasional dalam kaitan penyelesaian kasus Rohingya
BAB IV Penutup
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pusaka
21
BAB II
Sejarah Komunitas Rohingya dan Gambaran Umum Konflik Etnis-Sektarian di Rakhine
A. Sejarah Komunitas Rohingya
Satu versi mengatakan bahwa catatan sejarah mengatakan bahwa bangsa Arakan
(Rohingya adalah bagian darinya) berbicara dengan dialek Burma dengan pengucapan klasik
dengan konsonan R yang dilemahkan ke suara pengucapan Y seperti akhiran ang, ak, dan
lain-lain yang dilembutkan menjadi in, ek dan lain-lain. Dengan perjalanan waktu
berabad-abad lamanya, dialek penduduk Arakan dimodifikasi dengan tambahan kata-kata yang
berasal dari India. Begitu juga ras yang berpadu dengan darah India melalui cara (S.W. Cocks
1919: 146-147). Menurut prof. Kei Nemoto dalam salah satu seminar yang diadakan di
Jepang sepakat dengan para ahli sejarah Rohingya bahwa komunitas ini sudah mendiami
kawasan Arakan sejak abad ke-8 A.D (Aye chan 2005:396).
Ibukota Arakan pertama adalah Ramawadi yang dibangun oleh suku Kanran dari
kawasan Burma bagian atas. Raja pertamanya bernama Kanrazagyi dengan ibukota dekat
Kyaukpadaung. Seribu tahun berikutnya, pada abad ke-2 sebelum Masehi, Chanda Suriya
diangkat menjadi raja (S.W. Cocks : 1919)Enam puluh tahun sebelum dinobatkannya raja
Chanda, para pengungsi Burma berusaha menginvasi Arakan. Namun upaya ini mampu
digagalkan bangsa Arakan dan mereka justru dapat menduduki Prome dan Tharekhettara.
Dengan demikian, sampai kejatuhan raja Chanda pada tahun 976 A.D. tidak ada catatan
sejarah penting yang tercatat(S.W. Cocks : 1919).
Pada tahun kejatuhan Chanda, kaum Shan dari Burma menginvasi Arakan dan
berhasil menduduki kawasan ini selama 18 tahun dengan merampas seluruh kekayaan
22
berkuasa di Burma pun menginvasi Arakan demikian juga setelah itu dan seterusnya.Arakan
pada tahun 1389 terlibat pertempuran saat perang terjadi antara Burma dan Pegu dengan
berpihak kepada Talaings (S.W. Cocks : 1919).
Raja Burma Min Khaung menginvasi Arakan pada tahun 1404-1406 yang
menyebabkan raja Arakan meminta suaka ke Bengal selama 20 tahun. Saat kekosongan ini,
Arakan menjadi medan pertempuran antara Pegu dan Burma. Kedua raja penguasa Pegu dan
Burma silih berganti menduduki Arakan, dan Talaings merupakan raja terakhir mereka. Pada
tahun 1430, Nazir Shah raja Bengal yang beragama Muslim bergerak merestorasi Min Saw
Mun sebagai raja Arakan dengan mendirikan ibukota baru bernama Myauk-u atau disebut
dengan kota Arakan (Myohaung). Ia berkuasa dengan perlindungan dari penguasa
Bengal(S.W. Cocks : 1919).
Menurut penulis, pada periode ini penting untuk dianalisa sebab pada masa ini
pertemuan dan interaksi bangsa yang terjadi di kawasan ini dapa tmelahirkan perbauran dan
arus perpindahan penduduk antara Arakan dan Bengal yang menjadi fase penting akan
kehadiran asal muasal etnis Rohingya. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab wilayah lembah dan
pegunungan yang ada sangat subur yang tentu menarik orang untuk bertani dengan baik.
Interaksi, akulturasi dan bahkan asimilasi terjadi sehingga antara penduduk asli Arakan dan
Bengal yang hampir tidak berjarak hanya dibatasi hutan dan sungai bercampur baur menyatu
menjadi ras tersendiri. Realitas ini membuat kita tidak bisa memisahkan antara penduduk
Arakan yang beragama Islam dengan Arakan yang beragama Budha.
Kondisi seperti ini tidak berhenti disini, ketika pertempuran terus terjadi antara
Burma, Arakan dan Pegu, Bengal seringkali menjadi pihak yang dimintai bantuan oleh salah
satu dari pihak yang bertikai (S.W. Cocks : 1919).Catatan sejarawan mengatakan bahwa
Muslim telah mendiami kawasan Rohang atau Arakan sejak abad ke-15 seperti itu juga
23
irrawaddy merupakan majalah berita yang memuat berita sekitar Myanmar dan Asia
Tenggara), dan bahkan ada yang mengatakan komunitas ini telah berada di sana sejak abad
ke-7 A.D (http://www.rohingya.org/).
Peta Myanmar
Sumber : google.co.id
Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya di sini.
Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab tetapi generasi
Muslim Chittagonian yang berimigrasi dari Bengal saat Burma dijajah oleh Inggris (Maug tha
Hla 2009: 20-21). Kedua, terminologi Rohingya mulai dikenal untuk penamaan sebuah
komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual Muslim Bengal yang mendiami bagian
tenggara Arakan di awal 1950-an. Mereka adalah keturunan para imigran berasal dari
Chittagong Timur Bengal (baca : Bangladesh sekarang) dengan perjanjian Yandabo saat
perang Inggris –Burma 1 berakhir (1824-1826) (Aye Chan 2005: 396-420). Ketiga, dalam
skrip Ananda Chandra dikatakan pada tahun 957 AD, terjadi migrasi populasi Tibeto-Burman
Theraveda Buddhist ke kawasan Arakan.
Dengan mengalahkan balatentara Chandra mereka menguasai Arakan dan
orang-orang yang berparas seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik
ke Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama ke Bengal
(www.rohangpress.com). Keempat, Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan
minoritas Hindu yang secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok
24
etnis yang berkembang dari gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah
percampuran dari Brahmin dari India, Arab, Moghuls, Bengalis, Turks dan Asia Tengah yang
mayoritas sebagai pedagang, pejuang dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam di
Arakan. Pada zaman Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan
melahirkan generasi masyarakat Rohingya (www.rohangpress.com) .Lebih dari itu, data
modern mengatakan bahwa eksistensi komunitas Rohingya dimulai sejaka dekade- 19 ketika
pemerintahan colonial Inggris mulai mengimigrasikan orang India dan Bengal kekawasan
Arakan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah murah (www.rohangpress.com).
Terlepas dari apapun data dan informasi yang dapat penulis temukan, kesulitan
pembuktian kongkrit perihal asal muasal Muslim Rohingya tetap saja menjadi persoalan
tersendiri. Di satu sisi, literatur yang ditulis oleh intelektual Rakhine sudah hampir dapat
dipastikan punya subjektifitas yang kental sehingga muara etnis Rohingya adalah imigran
dari kawasan Bangladesh. Di sisi lain, penulis dari intelektual Rohingya sudah dapat
dipastikan defensif dengan mengatakan etnis Rohingya adalah bagian integral dari etnis „asli‟
Arakan dahulu (Rakhine sekarang ini). Tetapi mungkin kita dapat angkat disini sebuah data
dari seorang Francis Buchanan-Hamilton (seorang ahli bedah yang berkontribusi dalam
bidang geografi, zoologi dan botani asal Skotlandia yang berkarir di India antara tahun
1803-1814) berhasil menulis sebuah kajian yang ilmiah tentang kajian sejarah dan asal muasal
bahasa etnis di Myanmar yang dapat memperkuat posisi etnisitas kaum Rohingya yang
berdasarkan perbahasaan bahwa mereka sudah mendiami kawasan Burma (Myanmar) ini
25
Data Myanmar
Negara : Myanmar (sebelumnya Burma)
Perbatasan : Bangladesh, India, China, Laos dan Thailand
Ibukota : Rangoon (Yango)
Kemerdekaan : 04 Januari 1948
Penduduk : 60 juta
Etnis : Mon 2,4%; Chine 2,2%; Kachine 1,4%; Lainnya 5,8%
Agama : Budha 89%; Kristen 5%; Muslim 4%; Hindu 0,5%
Jumlah Rohingya : 1,8 juta jiwa (Rohingya tidak diakui sebagai salah satu 135
etnis resmi oleh undang-undang Kewarganeraan 1982)
Sumber : http://in.reuters.com/article/2013/06/11/myanmar-rohingya-
Dalam konteks Arakan, peristiwa yang cukup penting untuk dicatat bahwa ia
merupakan wilayah kerajaan independen sebelum diduduki oleh raja Bodawpaya tahun 1784
di mana bencana gempa bumi tahun 1761 dan 1762 dipersepsi sebagai penyebab kejatuhan
kerajaan ini ( Aye Chan 2005: 396).Arakan dewasa ini sudah berubah nama menjadi Rakhine
dengan luas wilayah 36,762 km2 dengan ibukota Sittwe yang berbatasan langsung dengan
wilayah Chine di Utara, Magway, Bago dan Ayeyarwady di Timur, Danau Bengal di Barat
dan Chittagong Bangladesh di Barat Daya (www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm)
Populasi wilayah Rakhine adalah 3,183,330 jiwa dengan komposisi etnis yang
heterogen yaitu Rakhine, Chine, Mro, Chakma, Khami, Dainet, Maramagri dan Rohingya.
Menurut pendapat pemerintah Myanmar bahwa etnis Rakhine dengan agama Budha
merupakan etnis mayoritas di wilayah ini. Tetapi berbagai sumber survey lokal paska
kerusuhan etnis 2012 bahwa etnis Rohingya Muslim menempati 40.75% dari populasi
Rakhine dan menempati urutan etnis terbesar kedua setelah Rakhine
26
komunitas Rohingya di Arakan sekitar 800 ribu jiwa kendati klaim organisasi pembela
Rohingya mengatakan jumlah mereka lebih kurang 2 juta jiwa di Arakan dan 1 juta lainnya
berada di diapora di berbagai Negara (www.geopoliticalmonitor.com).Walaupun demikian,
penulis kesulitan menelusuri lebih jauh literature-literatur yang tersedia guna membuktikan
mana klaim yang benar terkait dengan komposisi demografis Rakhine. Demikian juga halnya
kesulitan lain untuk mendapatkan literature terkait perkawinan silang antaretnis yang ada di
Arakan kecuali data perbauran demografis seperti yang disinggung di atas.
Namun perlu diangkat di sini bahwa secara fisik tidak dapat dipungkiri bahwa etnis
Rohingya dan Rakhine memang berbeda, Rohingya berparas wajah seperti orang-orang
Bangladesh sementara etnis Rakhine berperawakan lebih mendekati orang Melayu.Selain itu,
komunitas Rohingya beragama Islam dengan kaum wanitanya berpakaian seperti kaum Hawa
di Bangladesh sementara komunitas Rakhine beragama Budha dengan kuil-kuilnya.
Muslim Rohingya di ArakanatauRakhine dapat dibagi dalam beberapa kelompok etnis
berikutu : (1) Bengalis Chittago mendiami wilayah Mayu Frontier. (2) Muslim keturunan
masyarakat Muslim Arakan dari zaman Mrauk (1430-1784) yang mendiami kawasan
Mrauk-U dan Kyauktau. (3) Muslim keturunan pedagang yang mendiami pulau Ramree yang dikenal
dengan sebutuan Kaman. (4) Muslim dari wilayah Myedu Burma Pusat, mereka adalah
Muslim yang dibawah oleh kaum penjajah Arakan di tahun 1784 (Aye Chan 2005: 397).
B. Akar Konflik Secara Historis
Menurut laporan Human Right Wacth yang berjudul“All you can do is pray, crimes
againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslims in Burma‟s Arakan
State”,menerangkan bahwa konflik kontemporer ini dapat ditarik paling tidak berawal dari Perang Dunia Kedua, ketika masyarakat Rohingya tetap loyal pada penguasa kolonial Inggris
27
Jepang. Permusuhan dan pertikaian antar kedua etnis Rohingya dan Rakhine secara historis
tidak dapat dengan mudah dihentikan. Dengan bukti, pertikaian berdarah terus berlanjut
hingga kini. Bahkan Zak Rose di situs www.geopoliticalmonitor.com menyebutkan interaksi
Rohingya dengan orang asing dan pemerintahan setempat secara historis adalah interaksi
kekerasan. Ketika Perang Dunia ke II terjadi Jepang menginvasi Myanmar menguasai negeri
dan mengusir kolonialis Inggris.
Saat peristiwa ini terjadi komunitas Rohingya ditarget secara brutal oleh kekuatan
militer Jepang yang dibantu oleh kelompok etnis Rakhine dan Burma yang menyebabkan
eksodus Rohingya dari Arakan. Ketika ada gerakan komunitas Rohingya untuk mendapatkan
hak mereka di Arakan, pemerintahan militer terus lakukan pemberangusan terhadap
komunitas ini dari tahun 1960-1970an. Kebijakan ini terus berlanjut yang diklaim sebagai
kebijakan devide-et-impera (politik pecah belah) dengan target mengeluarkan etnis minoritas
dari percatura npolitik mainstream. Devide-et-impera adalah politik pecah belah kombinasi
strategi politik,militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan
dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah
di taklukan. Hal itu dengan bukti tahun 1980an pemerintah Rangoon mengeluarkan legislasi
yang menegaskan status Rohingya sebagai komunitas tidak berkewargaannegara manapun
(stateless people). Versi lain mengatakan bahwa konflik tidak berkesudahan ini dapat
berujung pada pembersihan etnis atau ethnic cleansing (MaungThaHla : Rohingya Hoax).
Menurut sejarawan Prancis, Dr. Jacques P. Leider yang meriset sejarah Arakan sejak
dua dekade silam bahwa akar masalahnya bukan karena sikap rasis kaum Budha di Rakhine
tetapi itu lebih pada reaksi emosional mereka yang sangat kuat (http://www.irrawaddy
covering Burma and southeast Asia.org/archives/8642). Sebuah emosi reaksional yang
berangkat dari kondisi di mana desa-desa di Rakhine banyak didiami oleh Muslim dengan
28
kecuali ; satu, persoalan perebutan tanah; kedua, pertumbuhan Muslim lebih cepat dari kaum
Rakhine; ketiga, xenophobia atau kebencian kaum Budha Rakhine terhadap Muslim.
Dengan arus demokratisasi yang mulai menggeliat di Myanmar dewasa ini dan
tekanan dunia internasional bagi pemerintahan Rangoon, diharapkan kebijakan anti-Rohingya
di Rakhine dapat membaik.Kendati realitasnya belum dirasakan oleh banyak pengamat.
Konflik dan pertikaian antara Muslim dan Budha Myanmar khususnya
Arakan/Rakhine sudah berusia panjang. Secara manusia normal, tidak ada seorangpun yang
menginginkan hidup dalam kebencian dan permusuhan tidak berkesudahan. Semua orang
ingin hidup damai. Namun ketika sebuah komunitas terus membenci dan memusuhi kaum,
ras atau pengikut agama lain secara turun temurun, ada faktor x yang menjadi penyebab. Oleh
karena itu, penulis meyakini bahwa ada otakataupemimpin dalam konflik ini. Tidak mungkin
pertikaian ini terjadi tanpa desain.
Menurut liputan media, seorang biksu muda bernama Win Rathu, seorang biksu
kharismatik dan terpandang di wilayah Mandalay dan dijuluki “the Fighting Monk” (biksu
petarung) sebagai otak konflik berdarah dan „pembersihan-etnis‟ terhadap masyarakat
Rohingya akhir-akhir ini. Asia Times menstigma agamawan Budha ini dengan sebutan
„leader of a growing anti-Muslim movement‟ (pimpinan gerakan anti-Muslim yang kian
tumbuh) (www.atimes.com).Pada tanggal 14 September 2003 lalu, ia berbicara di hadapan
sekitar tiga ribu biksu memprovokasi mereka untuk punya pandangan yang sama bahwa
Muslim adalah maling dan teroris. Wathu adalah orang pertama yang mengklaim bahwa
sanksi Amerika terhadap Myanmar bukan karena pemerintahan junta militer, tetapi karena
eksistensi teroris Muslim yang ia klaim(www.//m-mediagroup.com/en/archives/7258).
Dalam salah satu statemen Rathu mengatakan : “Kita punya sebuah masalah di
29
dan teroris. Mereka tidak menghormati agama kita dan wanita kita. Kita adalah kaum Budha, dan kita adalah orang pecinta damai, tetapi kita harus melindungi diri
kita(www.//m-mediagroup.com/en/archives/7258).”
C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar
Peran seorang biksi Win Rathu sangatlah besar. Ia bisa menjadi lokomotif gerakan
mempertahankan sikap permusuhan terhadap Muslim, walau ada perlawananminorataukecil
di antara biksu-biksu. Dengan alasan, sesungguhnya ajaran Budha tidak beresensi
permusuhan dan kebencian terhadap penganut agama lain. Namun logika kita mengatakan
bahwa peran seorang Biksu itu tidak akan efektif jika tidak mendapat dukungan dari
pemerintah. Ada klaim salah seorang Biksu kepada Asia Times online bahwa Rathu
didukung oleh pemerintah. “Wira Thu bekerja untuk pemerintah,” tegasnya. Ia memberi
alasan bahwa ajaran Budha tidak mengajari kekerasan demikian (http://m-mediagroup.com/).
Hal ini terlihat sekali dari apa yang diucap presiden Thein Sein bahwa biksu Win
Rathu adalah „son of Buddha‟ (anak Budha) dan „noble person‟ (seorang mulia) yang komit
pada perdamaian (democratic voice of burma.com, http://archive.is/RSubU). Ucapan ini
diungkap saat gerakan “969” yang menyeru kaum Budha memboikot para pebisnis Muslim dijuluki oleh majalah internasional Time sebagai “Wajah Teror Budha” (the face of Buddhist
30
Apa yang diungkap salah seorang Biksu yang tidak mau disebutkan namanya kepada
Asia Times di atas punya alasan historis. Pemerintah Myanmar adalah pihak yang
bertanggungjawab mengusir paksa sekitar 100 ribu Muslim Rohingya ke Bangladesh di tahun
1978 dengan sandi Naga Min (Raja NagaatauDragon King). Demikian juga pada 1991-1992,
program serupa dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang mengusir paksa sekitar 250 ribu
masyarakat ini ke luar wilayah nenek moyang mereka sendiri di Arakan
(http://www.atimes.com). Mereka yang berhasil dikembalikan lagi ke Arakan di bawah
supervisi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) sekitar 232 ribu
pengungsi dan sekitar 21.600 orang pengungsi ditempatkan di dua kamp pengungsi di Arakan
(PatterikWiggers 2002:8).
Kebijakan pemerintah anti-Islam di atas terus dipertahankan dan berlanjut hingga kini
melingkupi seluruh kebijakan pemerintah (Steinberg 2010: 156).Pasukan militer, polisi dan
polisi perbatasan NaSaka Myanmar menerapkan kebijakan mentarget Muslim Rohingya
dengan bukti tidak bergerak untuk menghentikan pertikaian yang terjadi antar Muslim
Rohingya dan Budha Rakhine.Hal itu terlihat dari statemen presiden Myanmar Jenderal
Thein Sien kepada Komisioner Tertinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNHCR) paska kerusuhan dan pertikaian Juni 2012 lalu bahwa satu-satunya solusi
penyelesaian konflik di Arakan adalah mengusir seluruh etnis Rohingya ke luar
Rakhine/Arakan. Saat bertemu dengan ketua UNHCR Antonio Guterres bahwa pemerintahan
presiden Thein Sien siap menyerahkan persoalan penempatan kembali masyarakat Rohingya
kepada Antonio untuk ditempatkan ke negara ketiga (http://www.democratic voice of
burma.com)
Kebijakan presiden Thein Sien juga didukung oleh partai politik RNDP (Rakhine
National Development Party) yang diketuai oleh Dr. Aye Maung. Dalam wawancaranya
31
negara-negara lain, beri makan mereka dengan dukungan UNHCR dan jika ada negara ketiga yang bersimpati kepada mereka dan siap memberi mereka kewarganegaraan di sana”, (democraticvoice of burma,http://archive.is/RSubU).
Data dan fakta di atas cukup menjelaskan betapa pertikaian yang berkepanjangan di
bumi Arakan (Rakhine) berurat berakar sangat dalam dalam kebijakan politik pemerintah
Rangoon, kebijakan para politisi dan didukung oleh agamawan sekelas Win Rathu. Sebuah
realitas yang membuat komunitas Rohingya hanya sebagai target dan sasaran empuk bagi tiga
kekuatan besar di negara Myanmar, tanpa ada lembaga internasional, negara adidaya dan
32
BAB III
Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya di Myanmar
A.Kebijakan Dalam Negeri
Mendiskursuskan kebijakan dalam negeri, penulis hanya mengungkap beberapa fakta
yang menggambarkan „kebingungan‟ pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam
menangani kasus Rohingya. Di satu sisi, pemerintah menyatakan akan membantu
penyelesaian persoalan konflik di Rakhinepada sisi lain pemerintah tidak memperlihatkan
usaha keras dalam hal ini baik pada level nasional, regional ataupun internasional. Demikian
juga dengan kebijakan yang terkait langsung dengan para pengungsi Rohingya yang sudah
berada di bumi pertiwi Indonesia.
Banyak para pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia harus terlebih dahulu ditahan
di imigrasi sebagaimana para pendatang haram lainnya. Para pengungsi yang sudah bebas
pun tidak tahu nasib masa depan mereka. Apakah dapat diterima hidup di Indonesia atau
mereka harus mendapatkan negara ketiga. Kondisi menunggu ini bisa berjalan hingga
tahunan, seperti yang dialami oleh Karimullah. Yang mereka pikirkan adalah nasib sekolah