• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1Latar Belakang Masalah 1.2Perumusan Masalah 1.3Tujuan Penelitian 1.4Tinjauan Pustaka 1.5Kerangka Pemikiran

1.5.1 Teori Kepentingan Nasional 1.5.2 Kebijakan Luar Negeri 1.6 Metode Penelitian

1.7 Sistematika Penulisan

BAB II Gambaran Umum Konflik Etnis-Sektarian di Rakhine A Sejarah Komunitas Rohingya

B. Akar Konflik Secara Historis

C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar

BAB III Analisis Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya di Myanmar

A.1 Kebijakan Dalam Negeri

a.1.1. .Kebijakan Terhadap NGO, Lembaga Kemanusiaan dan Media Mass a.1.2. Alasan Mengungsi ke Indonesia

a.1.3. Kebijakan Terhadap Imigran Rohingya B.2 Kebijakan Luar Negeri

20

b.2.1 Kebijakan Bilateral b.2.2 Kebijakan di ASEAN

b.2.3 Kebijakan Internasional dalam kaitan penyelesaian kasus Rohingya BAB IV Penutup

Kesimpulan dan Saran Daftar Pusaka

21

BAB II

Sejarah Komunitas Rohingya dan Gambaran Umum Konflik Etnis-Sektarian di Rakhine

A. Sejarah Komunitas Rohingya

Satu versi mengatakan bahwa catatan sejarah mengatakan bahwa bangsa Arakan (Rohingya adalah bagian darinya) berbicara dengan dialek Burma dengan pengucapan klasik dengan konsonan R yang dilemahkan ke suara pengucapan Y seperti akhiran ang, ak, dan lain-lain yang dilembutkan menjadi in, ek dan lain-lain. Dengan perjalanan waktu berabad-abad lamanya, dialek penduduk Arakan dimodifikasi dengan tambahan kata-kata yang berasal dari India. Begitu juga ras yang berpadu dengan darah India melalui cara (S.W. Cocks 1919: 146-147). Menurut prof. Kei Nemoto dalam salah satu seminar yang diadakan di Jepang sepakat dengan para ahli sejarah Rohingya bahwa komunitas ini sudah mendiami kawasan Arakan sejak abad ke-8 A.D (Aye chan 2005:396).

Ibukota Arakan pertama adalah Ramawadi yang dibangun oleh suku Kanran dari kawasan Burma bagian atas. Raja pertamanya bernama Kanrazagyi dengan ibukota dekat Kyaukpadaung. Seribu tahun berikutnya, pada abad ke-2 sebelum Masehi, Chanda Suriya diangkat menjadi raja (S.W. Cocks : 1919)Enam puluh tahun sebelum dinobatkannya raja Chanda, para pengungsi Burma berusaha menginvasi Arakan. Namun upaya ini mampu digagalkan bangsa Arakan dan mereka justru dapat menduduki Prome dan Tharekhettara. Dengan demikian, sampai kejatuhan raja Chanda pada tahun 976 A.D. tidak ada catatan sejarah penting yang tercatat(S.W. Cocks : 1919).

Pada tahun kejatuhan Chanda, kaum Shan dari Burma menginvasi Arakan dan berhasil menduduki kawasan ini selama 18 tahun dengan merampas seluruh kekayaan penduduk termasuk arca-arca Budha yang dimiliki mereka. Setelah itu Anawrahta yang

22

berkuasa di Burma pun menginvasi Arakan demikian juga setelah itu dan seterusnya.Arakan pada tahun 1389 terlibat pertempuran saat perang terjadi antara Burma dan Pegu dengan berpihak kepada Talaings (S.W. Cocks : 1919).

Raja Burma Min Khaung menginvasi Arakan pada tahun 1404-1406 yang menyebabkan raja Arakan meminta suaka ke Bengal selama 20 tahun. Saat kekosongan ini, Arakan menjadi medan pertempuran antara Pegu dan Burma. Kedua raja penguasa Pegu dan Burma silih berganti menduduki Arakan, dan Talaings merupakan raja terakhir mereka. Pada tahun 1430, Nazir Shah raja Bengal yang beragama Muslim bergerak merestorasi Min Saw Mun sebagai raja Arakan dengan mendirikan ibukota baru bernama Myauk-u atau disebut dengan kota Arakan (Myohaung). Ia berkuasa dengan perlindungan dari penguasa Bengal(S.W. Cocks : 1919).

Menurut penulis, pada periode ini penting untuk dianalisa sebab pada masa ini pertemuan dan interaksi bangsa yang terjadi di kawasan ini dapa tmelahirkan perbauran dan arus perpindahan penduduk antara Arakan dan Bengal yang menjadi fase penting akan kehadiran asal muasal etnis Rohingya. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab wilayah lembah dan pegunungan yang ada sangat subur yang tentu menarik orang untuk bertani dengan baik. Interaksi, akulturasi dan bahkan asimilasi terjadi sehingga antara penduduk asli Arakan dan Bengal yang hampir tidak berjarak hanya dibatasi hutan dan sungai bercampur baur menyatu menjadi ras tersendiri. Realitas ini membuat kita tidak bisa memisahkan antara penduduk Arakan yang beragama Islam dengan Arakan yang beragama Budha.

Kondisi seperti ini tidak berhenti disini, ketika pertempuran terus terjadi antara Burma, Arakan dan Pegu, Bengal seringkali menjadi pihak yang dimintai bantuan oleh salah satu dari pihak yang bertikai (S.W. Cocks : 1919).Catatan sejarawan mengatakan bahwa Muslim telah mendiami kawasan Rohang atau Arakan sejak abad ke-15 seperti itu juga terjadi dengan Indonesia, Malaysia dan wilayah sekitar (http://www.irrawaddy.org/archive)

23

irrawaddy merupakan majalah berita yang memuat berita sekitar Myanmar dan Asia Tenggara), dan bahkan ada yang mengatakan komunitas ini telah berada di sana sejak abad ke-7 A.D (http://www.rohingya.org/).

Peta Myanmar

Sumber : google.co.id

Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya di sini. Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab tetapi generasi Muslim Chittagonian yang berimigrasi dari Bengal saat Burma dijajah oleh Inggris (Maug tha Hla 2009: 20-21). Kedua, terminologi Rohingya mulai dikenal untuk penamaan sebuah komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual Muslim Bengal yang mendiami bagian tenggara Arakan di awal 1950-an. Mereka adalah keturunan para imigran berasal dari Chittagong Timur Bengal (baca : Bangladesh sekarang) dengan perjanjian Yandabo saat perang Inggris –Burma 1 berakhir (1824-1826) (Aye Chan 2005: 396-420). Ketiga, dalam skrip Ananda Chandra dikatakan pada tahun 957 AD, terjadi migrasi populasi Tibeto-Burman Theraveda Buddhist ke kawasan Arakan.

Dengan mengalahkan balatentara Chandra mereka menguasai Arakan dan orang-orang yang berparas seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik ke Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama ke Bengal (www.rohangpress.com). Keempat, Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan minoritas Hindu yang secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok

24

etnis yang berkembang dari gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah percampuran dari Brahmin dari India, Arab, Moghuls, Bengalis, Turks dan Asia Tengah yang mayoritas sebagai pedagang, pejuang dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam di Arakan. Pada zaman Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan melahirkan generasi masyarakat Rohingya (www.rohangpress.com) .Lebih dari itu, data modern mengatakan bahwa eksistensi komunitas Rohingya dimulai sejaka dekade- 19 ketika pemerintahan colonial Inggris mulai mengimigrasikan orang India dan Bengal kekawasan Arakan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah murah (www.rohangpress.com).

Terlepas dari apapun data dan informasi yang dapat penulis temukan, kesulitan pembuktian kongkrit perihal asal muasal Muslim Rohingya tetap saja menjadi persoalan tersendiri. Di satu sisi, literatur yang ditulis oleh intelektual Rakhine sudah hampir dapat dipastikan punya subjektifitas yang kental sehingga muara etnis Rohingya adalah imigran dari kawasan Bangladesh. Di sisi lain, penulis dari intelektual Rohingya sudah dapat dipastikan defensif dengan mengatakan etnis Rohingya adalah bagian integral dari etnis „asli‟

Arakan dahulu (Rakhine sekarang ini). Tetapi mungkin kita dapat angkat disini sebuah data dari seorang Francis Buchanan-Hamilton (seorang ahli bedah yang berkontribusi dalam bidang geografi, zoologi dan botani asal Skotlandia yang berkarir di India antara tahun 1803-1814) berhasil menulis sebuah kajian yang ilmiah tentang kajian sejarah dan asal muasal bahasa etnis di Myanmar yang dapat memperkuat posisi etnisitas kaum Rohingya yang berdasarkan perbahasaan bahwa mereka sudah mendiami kawasan Burma (Myanmar) ini berabad-abad lalu (Buchanan-Hamilton 1799: 219-240).

25

Data Myanmar Negara : Myanmar (sebelumnya Burma)

Perbatasan : Bangladesh, India, China, Laos dan Thailand Ibukota : Rangoon (Yango)

Kemerdekaan : 04 Januari 1948 Penduduk : 60 juta

Etnis : Mon 2,4%; Chine 2,2%; Kachine 1,4%; Lainnya 5,8% Agama : Budha 89%; Kristen 5%; Muslim 4%; Hindu 0,5%

Jumlah Rohingya : 1,8 juta jiwa (Rohingya tidak diakui sebagai salah satu 135 etnis resmi oleh undang-undang Kewarganeraan 1982) Sumber : http://in.reuters.com/article/2013/06/11/myanmar-rohingya-

Dalam konteks Arakan, peristiwa yang cukup penting untuk dicatat bahwa ia merupakan wilayah kerajaan independen sebelum diduduki oleh raja Bodawpaya tahun 1784 di mana bencana gempa bumi tahun 1761 dan 1762 dipersepsi sebagai penyebab kejatuhan kerajaan ini ( Aye Chan 2005: 396).Arakan dewasa ini sudah berubah nama menjadi Rakhine dengan luas wilayah 36,762 km2 dengan ibukota Sittwe yang berbatasan langsung dengan wilayah Chine di Utara, Magway, Bago dan Ayeyarwady di Timur, Danau Bengal di Barat dan Chittagong Bangladesh di Barat Daya (www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm)

Populasi wilayah Rakhine adalah 3,183,330 jiwa dengan komposisi etnis yang heterogen yaitu Rakhine, Chine, Mro, Chakma, Khami, Dainet, Maramagri dan Rohingya. Menurut pendapat pemerintah Myanmar bahwa etnis Rakhine dengan agama Budha merupakan etnis mayoritas di wilayah ini. Tetapi berbagai sumber survey lokal paska kerusuhan etnis 2012 bahwa etnis Rohingya Muslim menempati 40.75% dari populasi Rakhine dan menempati urutan etnis terbesar kedua setelah Rakhine (www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm). Data lain mengatakan bahwa jumlah

26

komunitas Rohingya di Arakan sekitar 800 ribu jiwa kendati klaim organisasi pembela Rohingya mengatakan jumlah mereka lebih kurang 2 juta jiwa di Arakan dan 1 juta lainnya berada di diapora di berbagai Negara (www.geopoliticalmonitor.com).Walaupun demikian, penulis kesulitan menelusuri lebih jauh literature-literatur yang tersedia guna membuktikan mana klaim yang benar terkait dengan komposisi demografis Rakhine. Demikian juga halnya kesulitan lain untuk mendapatkan literature terkait perkawinan silang antaretnis yang ada di Arakan kecuali data perbauran demografis seperti yang disinggung di atas.

Namun perlu diangkat di sini bahwa secara fisik tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Rohingya dan Rakhine memang berbeda, Rohingya berparas wajah seperti orang-orang Bangladesh sementara etnis Rakhine berperawakan lebih mendekati orang Melayu.Selain itu, komunitas Rohingya beragama Islam dengan kaum wanitanya berpakaian seperti kaum Hawa di Bangladesh sementara komunitas Rakhine beragama Budha dengan kuil-kuilnya.

Muslim Rohingya di ArakanatauRakhine dapat dibagi dalam beberapa kelompok etnis berikutu : (1) Bengalis Chittago mendiami wilayah Mayu Frontier. (2) Muslim keturunan masyarakat Muslim Arakan dari zaman Mrauk (1430-1784) yang mendiami kawasan Mrauk-U dan Kyauktau. (3) Muslim keturunan pedagang yang mendiami pulau Ramree yang dikenal dengan sebutuan Kaman. (4) Muslim dari wilayah Myedu Burma Pusat, mereka adalah Muslim yang dibawah oleh kaum penjajah Arakan di tahun 1784 (Aye Chan 2005: 397).

B. Akar Konflik Secara Historis

Menurut laporan Human Right Wacth yang berjudul“All you can do is pray, crimes

againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslims in Burma‟s Arakan

State”,menerangkan bahwa konflik kontemporer ini dapat ditarik paling tidak berawal dari Perang Dunia Kedua, ketika masyarakat Rohingya tetap loyal pada penguasa kolonial Inggris (Human Rights Watch 2013: 22). Sementara masyarakat Arakan lain berpihak pada kolonial

27

Jepang. Permusuhan dan pertikaian antar kedua etnis Rohingya dan Rakhine secara historis tidak dapat dengan mudah dihentikan. Dengan bukti, pertikaian berdarah terus berlanjut hingga kini. Bahkan Zak Rose di situs www.geopoliticalmonitor.com menyebutkan interaksi Rohingya dengan orang asing dan pemerintahan setempat secara historis adalah interaksi kekerasan. Ketika Perang Dunia ke II terjadi Jepang menginvasi Myanmar menguasai negeri dan mengusir kolonialis Inggris.

Saat peristiwa ini terjadi komunitas Rohingya ditarget secara brutal oleh kekuatan militer Jepang yang dibantu oleh kelompok etnis Rakhine dan Burma yang menyebabkan eksodus Rohingya dari Arakan. Ketika ada gerakan komunitas Rohingya untuk mendapatkan hak mereka di Arakan, pemerintahan militer terus lakukan pemberangusan terhadap komunitas ini dari tahun 1960-1970an. Kebijakan ini terus berlanjut yang diklaim sebagai kebijakan devide-et-impera (politik pecah belah) dengan target mengeluarkan etnis minoritas dari percatura npolitik mainstream. Devide-et-impera adalah politik pecah belah kombinasi strategi politik,militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah di taklukan. Hal itu dengan bukti tahun 1980an pemerintah Rangoon mengeluarkan legislasi yang menegaskan status Rohingya sebagai komunitas tidak berkewargaannegara manapun (stateless people). Versi lain mengatakan bahwa konflik tidak berkesudahan ini dapat berujung pada pembersihan etnis atau ethnic cleansing (MaungThaHla : Rohingya Hoax).

Menurut sejarawan Prancis, Dr. Jacques P. Leider yang meriset sejarah Arakan sejak dua dekade silam bahwa akar masalahnya bukan karena sikap rasis kaum Budha di Rakhine tetapi itu lebih pada reaksi emosional mereka yang sangat kuat (http://www.irrawaddy covering Burma and southeast Asia.org/archives/8642). Sebuah emosi reaksional yang berangkat dari kondisi di mana desa-desa di Rakhine banyak didiami oleh Muslim dengan pertumbuhan populasi yang masif. Menurut Jacques, permusuhan ini bukan karena hal lain

28

kecuali ; satu, persoalan perebutan tanah; kedua, pertumbuhan Muslim lebih cepat dari kaum Rakhine; ketiga, xenophobia atau kebencian kaum Budha Rakhine terhadap Muslim.

Dengan arus demokratisasi yang mulai menggeliat di Myanmar dewasa ini dan tekanan dunia internasional bagi pemerintahan Rangoon, diharapkan kebijakan anti-Rohingya di Rakhine dapat membaik.Kendati realitasnya belum dirasakan oleh banyak pengamat.

Konflik dan pertikaian antara Muslim dan Budha Myanmar khususnya Arakan/Rakhine sudah berusia panjang. Secara manusia normal, tidak ada seorangpun yang menginginkan hidup dalam kebencian dan permusuhan tidak berkesudahan. Semua orang ingin hidup damai. Namun ketika sebuah komunitas terus membenci dan memusuhi kaum, ras atau pengikut agama lain secara turun temurun, ada faktor x yang menjadi penyebab. Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa ada otakataupemimpin dalam konflik ini. Tidak mungkin pertikaian ini terjadi tanpa desain.

Menurut liputan media, seorang biksu muda bernama Win Rathu, seorang biksu

kharismatik dan terpandang di wilayah Mandalay dan dijuluki “the Fighting Monk” (biksu petarung) sebagai otak konflik berdarah dan „pembersihan-etnis‟ terhadap masyarakat

Rohingya akhir-akhir ini. Asia Times menstigma agamawan Budha ini dengan sebutan „leader of a growing anti-Muslim movement‟ (pimpinan gerakan anti-Muslim yang kian tumbuh) (www.atimes.com).Pada tanggal 14 September 2003 lalu, ia berbicara di hadapan sekitar tiga ribu biksu memprovokasi mereka untuk punya pandangan yang sama bahwa Muslim adalah maling dan teroris. Wathu adalah orang pertama yang mengklaim bahwa sanksi Amerika terhadap Myanmar bukan karena pemerintahan junta militer, tetapi karena eksistensi teroris Muslim yang ia klaim(www.//m-mediagroup.com/en/archives/7258).

Dalam salah satu statemen Rathu mengatakan : “Kita punya sebuah masalah di

Myanmar; kita punya masalah di sini di Mandalay. Masalah itu adalah Islam. Banyak orang Muslim baru di Mandalay dari Pakistan (dan Bangladesh). Orang-orang ini adalah maling

29

dan teroris. Mereka tidak menghormati agama kita dan wanita kita. Kita adalah kaum Budha, dan kita adalah orang pecinta damai, tetapi kita harus melindungi diri kita(www.//m-mediagroup.com/en/archives/7258).”

C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar

Peran seorang biksi Win Rathu sangatlah besar. Ia bisa menjadi lokomotif gerakan mempertahankan sikap permusuhan terhadap Muslim, walau ada perlawananminorataukecil di antara biksu-biksu. Dengan alasan, sesungguhnya ajaran Budha tidak beresensi permusuhan dan kebencian terhadap penganut agama lain. Namun logika kita mengatakan bahwa peran seorang Biksu itu tidak akan efektif jika tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Ada klaim salah seorang Biksu kepada Asia Times online bahwa Rathu

didukung oleh pemerintah. “Wira Thu bekerja untuk pemerintah,” tegasnya. Ia memberi

alasan bahwa ajaran Budha tidak mengajari kekerasan demikian (http://m-mediagroup.com/). Hal ini terlihat sekali dari apa yang diucap presiden Thein Sein bahwa biksu Win Rathu adalah „son of Buddha‟ (anak Budha) dan „noble person‟ (seorang mulia) yang komit pada perdamaian (democratic voice of burma.com, http://archive.is/RSubU). Ucapan ini

diungkap saat gerakan “969” yang menyeru kaum Budha memboikot para pebisnis Muslim dijuluki oleh majalah internasional Time sebagai “Wajah Teror Budha” (the face of Buddhist

30

Apa yang diungkap salah seorang Biksu yang tidak mau disebutkan namanya kepada Asia Times di atas punya alasan historis. Pemerintah Myanmar adalah pihak yang bertanggungjawab mengusir paksa sekitar 100 ribu Muslim Rohingya ke Bangladesh di tahun 1978 dengan sandi Naga Min (Raja NagaatauDragon King). Demikian juga pada 1991-1992, program serupa dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang mengusir paksa sekitar 250 ribu masyarakat ini ke luar wilayah nenek moyang mereka sendiri di Arakan (http://www.atimes.com). Mereka yang berhasil dikembalikan lagi ke Arakan di bawah supervisi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) sekitar 232 ribu pengungsi dan sekitar 21.600 orang pengungsi ditempatkan di dua kamp pengungsi di Arakan (PatterikWiggers 2002:8).

Kebijakan pemerintah anti-Islam di atas terus dipertahankan dan berlanjut hingga kini melingkupi seluruh kebijakan pemerintah (Steinberg 2010: 156).Pasukan militer, polisi dan polisi perbatasan NaSaka Myanmar menerapkan kebijakan mentarget Muslim Rohingya dengan bukti tidak bergerak untuk menghentikan pertikaian yang terjadi antar Muslim Rohingya dan Budha Rakhine.Hal itu terlihat dari statemen presiden Myanmar Jenderal Thein Sien kepada Komisioner Tertinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) paska kerusuhan dan pertikaian Juni 2012 lalu bahwa satu-satunya solusi penyelesaian konflik di Arakan adalah mengusir seluruh etnis Rohingya ke luar Rakhine/Arakan. Saat bertemu dengan ketua UNHCR Antonio Guterres bahwa pemerintahan presiden Thein Sien siap menyerahkan persoalan penempatan kembali masyarakat Rohingya kepada Antonio untuk ditempatkan ke negara ketiga (http://www.democratic voice of burma.com)

Kebijakan presiden Thein Sien juga didukung oleh partai politik RNDP (Rakhine National Development Party) yang diketuai oleh Dr. Aye Maung. Dalam wawancaranya dengan media DVB (Democratic Voice of Burma) mengatakan : “Seperti para pengungsi di

31

negara-negara lain, beri makan mereka dengan dukungan UNHCR dan jika ada negara ketiga yang bersimpati kepada mereka dan siap memberi mereka kewarganegaraan di sana”, (democraticvoice of burma,http://archive.is/RSubU).

Data dan fakta di atas cukup menjelaskan betapa pertikaian yang berkepanjangan di bumi Arakan (Rakhine) berurat berakar sangat dalam dalam kebijakan politik pemerintah Rangoon, kebijakan para politisi dan didukung oleh agamawan sekelas Win Rathu. Sebuah realitas yang membuat komunitas Rohingya hanya sebagai target dan sasaran empuk bagi tiga kekuatan besar di negara Myanmar, tanpa ada lembaga internasional, negara adidaya dan negara jiran serumpun ASEAN yang berdiri tegap membela kemanusian mereka.

32

BAB III

Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya di Myanmar

Dokumen terkait