• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendiskursuskan kebijakan dalam negeri, penulis hanya mengungkap beberapa fakta

yang menggambarkan „kebingungan‟ pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam

menangani kasus Rohingya. Di satu sisi, pemerintah menyatakan akan membantu penyelesaian persoalan konflik di Rakhinepada sisi lain pemerintah tidak memperlihatkan usaha keras dalam hal ini baik pada level nasional, regional ataupun internasional. Demikian juga dengan kebijakan yang terkait langsung dengan para pengungsi Rohingya yang sudah berada di bumi pertiwi Indonesia.

Banyak para pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia harus terlebih dahulu ditahan di imigrasi sebagaimana para pendatang haram lainnya. Para pengungsi yang sudah bebas pun tidak tahu nasib masa depan mereka. Apakah dapat diterima hidup di Indonesia atau mereka harus mendapatkan negara ketiga. Kondisi menunggu ini bisa berjalan hingga tahunan, seperti yang dialami oleh Karimullah. Yang mereka pikirkan adalah nasib sekolah anak-anak mereka yang sudah tumbuh tanpa pendidikan formal. Hal itu karena status mereka yang belum jelas.

Realitas respon pemerintah dan kondisi riil yang dialami oleh bangsa Rohingya tersebut dapat dipersepsi sebagai sikap politis tipekal presiden SBY yang kurang tegas dalam mengambil keputusan secara umum. Di sini lain, SBY hanya diam terhadap sepak terjang dan maneuver lembaga-lembaga kemanusiaan (PMI, ACT, Dhompet Dhuafa dan lain-lain), lembaga keagamaan (NU, Muhammadiyah dan lain-lain), partai politik dan institusi-institusi

33

lain bergerak dan aktif menggalang dana kemanusiaan demi membantu bangsa Rohingya baik yang disalurkan ke Rakhine ataupun bagi para pengungsi.

Kondisi ini dapat dimaknai secara de facto sebagai kebijakan yang mendukung. Sebab suatu pemerintah boleh saja melarang masyarakat atau lembaga apapun yang berada di wilayahnya untuk memberikan bantuan, dukungan dan empati kepada suku dan bangsa tertentu. Artinya pemerintah SBY bisa saja mengambil tindakan demikian, tetapi itu tidak SBY lakukan. Ada adagium yang mengatakan silence is consent (diam berarti sepakat). Dengan demikian, sikap SBY dapat dipersepsi sebagai sikap politiknya yang mendukung seluruh aktifitas lembaga-lembaga kemanusiaan dan organisasi masyarakat dalam memberikan bantuan baik material ataupun moral kepada bangsa Rohingya baik yang berada di Rakhine ataupun para pengungsi yang berada di Indonesia.

a.1.1 Dukungan Organisasi massa, NGO dan Media massa

Dalam kebijakan SBY terhadap penyelesaian etnis muslim rohingya, SBY sangat mendukung akan organisasi-organisasi. Pada pidato SBY (Susilo Bambang Yudyhoyono) pada tanggal 4 Agustus 2012 mengenai permasalahan Etnis Rohingya, Myanmar menyampaikan “ Saya ingin mengajak dan menyerukan kepada saudara -saudara kita, rakyat Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita, etnis rohingya yang ada di Myanmar. Saya berterima kasih dan memberikan penghargaan yang tinggi atas kepedulian dan

solidaritas itu.” Dengan himbauan Presiden tersebut ternyata direspon oleh masyarakat secara baik oleh beberapa lembaga kemanusiaan dan organisasi masyarakat.

Di sini, ada dua hal yang harus dibedakan antara kebijakan pemerintah Indonesia di dalam negeri dan luar negeri dengan solidaritas masyarakat Indonesia baik itu

34

direpresentasikan oleh lembaga keagamaan seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), organisasi massa seperti IKADI (Ikatan Dai Indonesia), lembaga kemanusiaan seperti PMI (Palang Merah Indonesia), ACT (Aksi Cepat Tanggap), Dhompet Dhuafa (DD), dan lembaga-lembaga lain termasuk partai politik yang menunjukkan solidaritas tinggi mengutuk tindakan kekerasan dan pengusiran warga Rohingya oleh pemerintah dan tokoh agama Myanmar. Bahkan mereka mendesak pemerintah SBY untuk bergerak cepat dan melakukan berbagai langkah diplomatis menghentikan berbagai penindasan terhadap komunitas minoritas di negeri mayoritas Budha tersebut.

Sekali lagi, kebijakan SBY dapat dipahami oleh banyak pengamat sebagai kebijakan yang ambigu. Di banyak kesempatan menyatakan dukungan tetapi di banyak kesempatan lain hanya diam. Ini menunjukan sikap SBY yang tidak tegas, sebagaimana kebanyakan kebijakan SBY pada level nasional seperti kebijakan kenaikan harga, inflasi, ketegangan dengan Malaysia terkait Ligitan-Simpadan beberapa tahun lalu, dan yang paling mutakhir adalah penyadapan terhadap percakapan pribadi, isteri dan beberapa elit bangsa ini oleh Australia

yang hanya disikapi „dingin‟ walau diambil keputusan memulangkan duta besar Indonesia

untuk Canbera (www.reuters.com/.../us-indonesia-australia). Oleh karenanya, peneliti mempersepsi kebijakan SBY sebagai kebijakan yang tidak tegas dan membingungkan.

Mengapa kebijakan demikian itu terjadi, tentu ini berangkat dari kepribadian SBY yang selalu hati-hati dalam memutuskan segala sesuatu termasuk kebijakan yang terkait dengan kerukunan dan keharmonisan relasi intra anggota ASEAN.

35

a. Sikap Ormas

1. NU (Nahdatul Ulama)

Pidato SBY pada tanggal 24 Agustus 2012 yang mengatakan bahwa “rakyat

Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita, etnis rohingya yang ada di Myanmar”. Pidato tersebut telah mendorong organisasi NU untuk mempertimbangkan pengiriman misi kemanusiaan ke Myanmar. Sebuah misi yang diharapkan dapat meringankan penderitaan Muslim Rohingya yang dianiaya oleh pemerintah Myanmar. Hal itu yang ditegaskan oleh Katib Aam PBNU KH.A.Malik Madany bahwa persoalan Rohingya tidak bisa dibiarkan begitu saja. NU merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia. Organisasi NU mendesak pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan upaya-upaya diplomatis dalam penyelesaian derita berkepanjangan komunitas Muslim Rohingya. Dan bahkan PBNU mendesak presiden SBY turun langsung membawa masalah ini ke forum ASEAN, menolong dan membantu etnis Rohingya yang kian memperhatinkan dari malapetaka pembersihan etnis (www.republika.co.id dan www.nu.or.id).

Ketua PBNU H.Slamet Effendy Yusuf Msi mengatakan kepada para wartawan di Jakarta (29 Juli 2012) : “Pembiaran pembantaian terhadap etnis Rohingya seperti selama ini

kita saksikan harus dihentikan. Apalagi, apa yang terjadi sekarang ini merupakan puncak perlakuan diskriminatif yang sudah lama berlangsung terhadap etnis Rohingya yang

beragama Islam.” (www.nu.or.id). 2. Muhammadiyah

Muhammadiyah menjadi salah satu ormas Islam Indonesia yang menyokong secara kongkrit para pengungsi Rohingya. Hal itu yang dilakukan oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) sejak awal Januari 2013 yaitu pendampingan pengungsi Rohingya yang ada di Sumatera Utara yang berjumlah sekitar 294 orang

36

(www.humammadiyah.or.id). Kegiatan yang dilakukan oleh MDMC termotivasi dari pidato SBY pada tanggal 4 Agustus 2012. Isi pidato tersebut menyatakan bahwa “… rakyat Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita, etnis rohingya yang ada di Myanmar”.

Pimpinan Muhammadiyah daerah kota Surabaya dan Lazismu (Lembaga Zakat

Nasional) mengatakan acara “Aksi Keprihatinan dan Kepedulian” (0/8/2012) terhadap kaum

Muslim Rohingya di Myanmar. Dalam kegiatan tersebut hadir pula tokoh-tokoh lintas agama antara lain Drs. H. Zayyin Chudlori, M.Ag (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya), Andi Hariyadi, M.Pd.I (FKUB Kota Surabaya), Romo Abaya (Majelis Budhayana Indonesia Surabaya), I Wayan Suraba,SH (PHDI Surabaya), Pdt. Eliya (Pembina PGI Surabaya), Feri Yudi A.S (Ketua MDMC Surabaya), Arifin (Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Surabaya), Najih (DPC-IMM Kota Surabaya), Aditio Yudono (LAZISMU Surabaya), Arif An (Bamusi Surabaya) dan juga Sasmito dari Front Pembela Islam (FPI) Jatim.

Para tokoh agama di atas membacakan pernyataan sikap berikut :

1-Mengutuk dengan keras tragedi kemanusiaan pembantaian muslim Rohingya.

2-Kami menyatakan protes terhadap PBB !! Karena tidak serius dalam menangani masalah ini. Oleh karena itu, kami mendesak masyarakat internasional untuk melakukan upaya lebih lanjut dalam menghentikan pembantaian umat Islam tersebut.

3-Mengharap kepada pemerintah Indonesia, agar turut serta secara aktif

menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga warga Rohingya bisa merasakan kedamaian dan bisa hidup berdampingan dengan warga Myanmar lainnya.

37

4-Kepada seluruh elemen masyarakat kota Surabaya untuk tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kota Surabaya tetap kondusif, dan zero konflik.

5-Meyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membantu

secara moril maupun materil serta mendoakan saudara-saudara kita di Rohingya, Myanmar. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kekuatan kepada kita semua. Aamien..

(www.muhammadiyah.or.id) 3. IKADI (Ikatan Dai Indonesia)

Sikap ormas IKADI (Ikatan Dai Indonesia) jelas mengutuk tragedi kemanusiaan di Rakhine terhadap komunitas Rohingya. Ormas ini menyebut peristiwa kekerasan terhadap komunitas Muslim tersebut sebagai tragedi kemanusiaan dan bukan sekedar penistaan dan sentimen terhadap pemeluk agama tapi kezhaliman terhadap umat manusia (http:www//ikadi.or.id).

4. PERSIS (Persatuan Islam)

Keberadaan ratusan jumlah pengungsi komunitas Muslim Rohingya di Medan telah menarik simpati ketua pimpinan wilayah Persis Sumatera Utara Muhammad Nuh. Rasa simpati dan pidato SBY tanggal 4 Agustus 2012 mendorong pimpinan pusat Persi dan Pusat Zakat Umat (PZU) Bandung menyalurkan bantuan kepada para pengungsi Rohingya (www.hariansumutpos.com).

Pengurus Daerah Persis kota Bandung membuka tiga posko donasi guna membantu etnis Muslim Rohingya di Myanmar. Donasi dari para donatur akan disumbangkan dalam bentuk pakaian, makanan dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan mereka (http://news.detik.com ).

38

Persis juga mengutuk keras pembantaian Muslim Rohingya yang terjadi di Myanmar. Massa Persis juga berdatangan ke DPRD Kota Bandung (2 Agustus 2012) mengutuk kekerasan kelompok Budha di Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Mereka juga memprotes PBB yang hanya bungkam atas tragedi kemanusiaan ini dan menuntut pemerintah Indonesia agar turut serta menyelesaikan krisis dan konflik berdarah di negeri ASEAN tersebut (http://jabar.tribunnews.com). ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) mempertanyakan sikap Aung San Suu Kyi yang hanya diam seribu bahasa atas pembantaian Muslim Rohingya di Rakhine. Padahal ia merupakan peraih Nobel perdamaian (http://indonesian.irib.ir). Kecaman itu diungkap oleh ketua presidium ICMI Prof.Nanat Fatah Natsir saat junta militer Myanmar memberi opsi pengusiran warga Rohingya dari

Myanmar sebagai solusi konflik yang terjadi di Rakhine. Ia mengatakan : “Pengusiran dan

pembantaian itu melanggar hak hidup suku Rohingya dan hak-hak asasi manausi untuk

beragama”(http://indonesian.irib.ir). 5. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

HTI merupakan gerakan massa Islam yang bergerak di bidang keagamaan, sosial, pendidikan dan politik ini turut meramaikan solidaritas umat Islam Indonesia terhadap derita berkepanjangan komunitas Muslim Rohingya. Seruan Presiden SBY kepada rakyat Indonesia melalui pidatonya 4 Agustus 2012 telah mendorong aksi longmarch HTI pada Minggu (5 Agustus 2013) lalu dengan mengerahkan tidak kurang dari 5000 orang di kawasan Tebet. Dalam konferensi pers, juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto mengatakan bahwa

“Sebagai negara Muslim yang besar, kepemimpinan di Indonesia seharusnya bisa mempengaruhi kebijakan bilateral negara lain dengan kekuatan diplomatiknya”

(www.republika.co.id).

Aksi massa ini juga dikerahkan ke arah Istana Negara guna menuntut pemerintah agar tidak diam diri atas kesengsaraan dan derita tak berkesudahan muslim Rohingya. HTI juga

39

memobilisir aktifis mereka di berbagai kota di Indonesia seperti Aceh dan Makasar. Dan bahkan gerakan massa Islam ini siap mengirimkan kontingen kemanusiaan langsung ke Myanmar.

6. MUI (Majelis Ulama Indonesia)

MUI selaku lembaga resmi keulamaan di Indonesia mendesak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dapat menolong kaum Muslim Rohingya. Melalui ketua MUI bidang kerukunan antarumat beragama komisi luar negeri, Slamet Efendi ; mengatakan bahwa “umat Muslim Rohingya diperlakukan diskriminatif secara sistematis, terstruktur dan massif yang berkepanjangan” (www.republika.co.id). Ia bahkan mendesak SBY untuk segera bertindak

melindungi nasib Muslim Rohingya dengan mengatakan : “Ini merupakan tragedi

kemanusiaan, dan SBY atas nama ASEAN harus bergerak.” (Republika.co.id).

Pada kesempatan yang berbeda, ketua MUI Ma‟ruf Amin dalam konferensi persnya di

Gedung Pusat MUI Jakarta Rabu, 28 September 2013 meminta pemerintahan SBY mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melakukan tindakan kongkrit menghentikan kekerasan dan pelanggara HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap Muslim Rohingya di Myanmar yang merupakan minoritas paling tertindas di dunia(www.republika.co.id).

7. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) : ketika banyak pihak dari tokoh-tokoh masyarakat bersuara lantang mengecam kekerasan dan penderitaan komunitas Muslim terjadi, wakil ketua DPR-RI, Pramono Anung juga angkat bicara (23/Juli 2012). Ia meminta pemerintah SBY untuk memberikan nota diplomatik atau teguran yang keras terhadap aksi pembunuhan terhadap Muslim Rohingya oleh etnis Rakhine yang beragama Budha dan didukung oleh aparat keamanan setempat (www.republika.co.id).

8. Sikap Partai Politik (parpol) :Untuk partai politik, tidak banyak parpol yang sibuk dengan persoalan derita Muslim Rohingya. Dari penulusuran penulis hanya Partai Keadilan Sejahtera yang memberikan ruang peduli. Hal itu dengan aksi para aktifisnya pada Ahad (12

40

Agustus 2012) lalu dengan tema “Aksi peduli Stop Kejahatan Kemanusiaan di Rohingya dan Suriah”. Saat orasi berlangsung, para pembicara silih berganti mengutuk kebiadaban sektarian di Rakhine terhadap komunitas Muslim Rohingya.(www.islamedia.web.id) .

b. Sikap Lembaga Kemanusiaan :

Sikap SBY yang mendukung seluruh aktifitas lembaga kemanusiaan dalam memberikan bantuan bantuan baik material ataupun moral dapat terlihat dalam pidato SBY Banyak lembaga kemanusiaan yang berpartisipasi aktif menggalang dana dan bantuan lain untuk solidaritas umat dan masyarakat bagi komunitas Muslim Rohingya. pada tanggal 4 Agustus 2012 mengenai permasalahan Etnis Rohingya, Myanmar menyampaikan “ Saya ingin mengajak dan menyerukan

kepada saudara-saudara kita, rakyat Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita, etnis rohingya yang ada di Myanmar. Saya berterima kasih dan memberikan penghargaan yang tinggi

atas kepedulian dan solidaritas itu.” Di antara lembaga tersebut adalah ACT (Aksi Cepat Tanggap) dan Dhompet Dhuafa (DD). Dhompet Dhuafa : sebagai lembaga kebajikan aktif menggalang bantuan dan dana untuk meringankan beban derita komunitas Rohingya. Hal itu dapat diikuti dari aktifitas mereka seperti yang diberitakan pada situs resminya berikut : http://www.dompetdhuafa.org/bantu-minoritas-muslim-rohingya/ dan memberikan dana guna membantu kaum paling teraniaya di Asia Tenggara ini.

 Dalam aspek kemanusiaan, Indonesia menyerukan agar perlindungan minoritas sungguh diberikan, dan pembangunan kampung yang rusak bisa dilakukan. Presiden Yudhoyono menghargai dan mengapresiasi solidaritas yang

41

tumbuh di dalam negeri atas kesulitan yang dialami saudara-saudara dari etnis Rohingya, namun Presiden menekankan bantuan yang diberikan hendaknya tepat guna karena bisa juga dipahami bila pemerintah Myanmar selektif dalam menerima bantuan (http://www.antaranews.com).

Sikap SBY yang sangat menghargai lembaga-lembaga kemanusiaan yang tumbuh di Republik Indonesia membuat ACT (Aksi Cepat Tanggap), sebuah organisasi kebajikan yang menggalang dana untuk banyak bencana dan peristiwa yang berkantor pusat di Ciputat Tangerang Selatan, menjadi salah satu lembaga yang memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat Rohingya. ACT telah mengirimkan 3 orang relawan yang terdiri dari dokter dan tim media memasuki kawasan konflik melalui jalur darat dari Bangladesh (www.arrahmah.com).

“Sudah sepatutnya, sebagai negara besar, Indonesia maju memimpin gerakan

penyelamatan kemanusiaan dan penegakan hak asasi manusia di wilayah ASEAN

maupun dunia pada umumnya,” desak presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT)

Ahyudin (www.arrahman.com).

C.Media massa : hampir seluruh media massa di Indonesia mengangkat berita tragedi kemanusiaan yang terjadi di Rakhine terhadap komunitas Rohingya. Salah satu media yang berada di depan dalam pemberitaan tragedi kemanusiaan ini yaitu harian Republika, majalah Sabili, majalah Hidayatullah, Kompas, Tempo, dan lain-lain.

Banyak kutukan, kecaman dan emosi marah yang terbaca dari liputan media massa di Indonesia ketika memuat berita-berita kekerasan komunal dan etnis di wilayah Rakhine. Bahkan salah satu tajuk rencana harian Padang Ekspres (www.padangekspres.co.id) menginisiasi ide naturalisasi pengungsi Rohingya yang awalnya muncul di dunia maya.

42

Tulis harian ini : „Penderitaan warga etnis Rohingya harus diakhiri. Di situs jejaring sosial sempat muncul ide untuk menatu-ralisasi para pengungsi menjadi warga negara Indonesia (WNI). Dasarnya adalah kemanusiaan. Ide tersebut tentu akan menuai

kontroversi. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia sudah sangat

banyak.‟(www.padangekspresi.co.id)

a.1.2. Alasan Mengungsi ke Indonesia

Sesungguhnya kehadiran para pengungsi Rohingya di Indonesia belum tergolong lama bila dibandingkan dengan keberadaan mereka di Bangladesh, Malaysia, Thailand dan beberapa negara jiran lainnya. Menurut Karimullah bahwa jumlah mereka di Indonesia lebih kurang 500 (http: www.//nasional.inilah.com) orang pengungsi yang tersebar di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Dalam pembicaraan telepon dengan karimullah pada tanggal 29 Desember 2013 yang kini bermukim di Medanmenyatakan bahwa mereka memasuki Indonesia dengan harapan dapat memasuki kawasan Australia. Artinya mereka sadar bahwa Indonesia sulit untuk dijadikan sebagai negeri masa depan mereka. Apalagi sebagian besar dari mereka sudah mendapatkan status resmi dari UNHCR sebagai pengungsi. Memang masih ada para pengungsi yang datang ke Indonesia secara illegal mendekam di tahanan sembari menunggu status resmi mereka dari UNHCR.1

Ketika ditanyakan apakah mereka ingin tinggal di Indonesia, sebenarnya mereka ingin tetapi sadar bahwa itu tidak mungkin karena pemerintah Indonesia punya kebijakan tidak bisa menerima kehadiran mereka.

1

Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) didirikan pada 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan internasional dalam melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di duniadalam http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr/sejarah-unhcr diakses pada tanggal 28 Desember 2013

43

a.1.3. Kebijakan Terhadap Imigran Rohingya

banyaknya Jumlah pengungsi etnis rohingya di Myanmar yang tersebar di Indonesia Menurut kabag Humas Ditjen Imigrasi Maryoto bahwa pengungsi rohingya menyebar di sejumlah daerah tanah air. Mereka terbagi dua bagian, pengungsi yang yang masih di tampung di RUDENIM (rumah detensi Imigrasi dan yang diluar Rudenim (www.vivanews.com).Kasus berdiamnya 11 orang pengungsi Rohingya di kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Jakarta pada Rabu 24 Juli 2013 selama berminggu-minggu menegaskan „tidak adanya kejelasan kebijakan pemerintahan SBY

terhadap para pengungsi. Menurut keterangan YLBHI bahwa ke-12 orang tersebut sudah berbulan-bulan hidup terlunta-lunta di Medan, Bogor dan Jakarta dengan mengandalkan hidup dari belas kasih orang. Dalam keterangan pers YLBHI yang disampaikan oleh wakil ketuanya Gatot Rianto kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan bahwa mereka ditampung YLBHI atas dasar kemanusiaan(http://www.bbc.co.uk/).

Kondisi terlunta-luntanya para pengungsi demikian yang mendesak nurani YLBHI

untuk menampung mereka sekaligus „menggelitik‟ pemerintah agar dapat lebih „manusiawi‟

dari pada lembaga bantuan hukum ini. Artinya larinya para pengungsi ke Indonesia bukan karena mengejar kehidupan yang lebih baik dari kondisi mereka di Rakhine tetapi lebih karena lari dari kematian yang tidak manusiawi dengan segala tingkat kehadiran mereka yang tertolak sama sekali oleh penduduk Rakhine, polisi, tentara, agamawan Budha dan pemerintah di sana dengan perlakuan yang super diskriminatif dan anarkis.

Kalau mendengar apa yang diucapkan oleh presiden SBY yang diklaim olehnya lebih akomodatif dari pada negara-negara jiran di ASEAN sebab kita masih menerima kedatangan mereka masuk ke wilayah nusantara. Ia mengatakan : “...ketika banyak negara menolak kedatangan para pengungsi dan pencari suaka etnis Rohingya di negara Asia Tenggara,

44

Indonesia menerima kedatangan mereka. Sekarang tercatat ada 270 pencari suaka, 124 pengungsi Rohingya,(http://www.presidenri.go.id/)". Di sini, statemen SBY sulit dipahami. Apakah penerimaan Indonesia itu berarti mereka bisa masuk dan mendapatkan bantuan minimalis dari aspek kemanusiaan atau diterima tetapi harus mendekam di dalam penjara? Sejauh yang diketahui oleh penulis, mereka yang masuk secara illegal akan terlebih dahulu mendekam di panahanan imigrasi. Artinya mereka mendapatkan perlakuan sama dengan para

pendatang „haram‟ asing dan statemen SBY tidak membuat mereka menjadi pendatang „istimewa‟ yang dimaknai dari kata menerima di atas.

Kenyataan ini tidak dapat diartinya kebijakan pemerintah SBY belum „friendly‟

terhadap para pengungsi Rohingya yang seharusnya dapat diperlakukan dengan baik dan menjamin kehidupan mereka di sini. Bukan dengan cara menahan sebagaimana para pendatang gelap lainnya. Fakta ini juga yang diamini oleh media asing termasuk Foxnews

yang menyebut „authorities have not extended the same warm welcome‟ (pemerintah tidak mengulurkan sambutan hangat serupa) (www.foxnews.com). Artinya pemerintah tidak memperlihatkan empatinya terhadap para pengungsi Rohingya, kendati Indonesia bukan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (http://www.smh.com.au/world/rohingya-refugees-a-growing-problem-for-indonesia-20130408-2hh6w.html).Semestinya, kondisi Rohingya harus dipandang berbeda dengan para pengungsi Afghanistan, Iran, Irak dan lainnya. Kalau hal itu bukan karena dasar agama minimal atas nama kemanusiaan.

45

Komposisi Etnis, Bahasa dan Agama Myanmar

Kelompok Etnis

: Burman 69%, Shan 8,5; Karen 6,2%; Rakhine 4,5%; : Mon 2,4%; Chine 2,2%; Kachine 1,4%; Lainnya 5,8%

Bahasa : Burmese

Agama : Budha 89%; Kristen 5%; Muslim 4%; Hindu

0,5%

Sumber :http://www.populstat.info/Asia/myanmarg.htm

B.2. Kebijakan Luar Negeri

Sebelum kunjungan ke Myanmar, presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempatkan diri menjawab pertanyaan wartawan di Bandara Soekarno-Hatta dengan

mengatakan : “Indonesia mengharap agar pemerintah Myanmar dapat menangani kasus

Rohingya secara bijaksana dan adil (www.irrawaddy.org).” Presiden juga menegaskan

dalam wawancara yang sama bahwa negara Indonesia tetap ingin membantu (Myanmar) dapat mencapai hasil yang positif.

Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti bahwa Indonesia bisa memainkan peranan penting dalam menyelamatkan

Muslim Rohingya di Myanmar. Ia mengatakan : “Indonesia jangan hanya merasa sedih

atas apa yang terjadi di Myanmar. Namun, apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan itu, misalnya dengan cara-cara diplomasi” yang efektif menyudahi

46

b.2.1 Kebijakan Bilateral

kebijakan bilateral yang diambil oleh pemerintah SBY dewasa ini tidak terlepas dari sejarah keakraban dan persahabatan sejati yang terjadi selama ini sejak masa perjuangan kemerdekaan. Kondisi ini yang membuat pemerintah Indonesia sangat hati-hati di dalam mengambil kebijakan yang dapat menjadi kontraproduktif. Jalan tengah yang diambil oleh

Dokumen terkait