• Tidak ada hasil yang ditemukan

K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS DI INDONESIA"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ii

K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS

DI INDONESIA

(Abstrak)

Oleh

RIA ANGGRAINI

Ketika rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menetapkan kebijakan menyangkut eksistensi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia salah satunya ialah minoritas etnis Tionghoa yang diharuskan membaur dalam masyarakat. Kebijakan yang disertai dengan dikeluarkannya berbagai peraturan terkait segala aspek kehidupan minoritas etnis Tionghoa, membuat sebagian besar masyarakat Tionghoa kesulitan memperoleh hak sipil-politiknya. Karenanya untuk memulihkan hak sipil-politik minoritas etnis Tionghoa, K. H. Abdurrahman Wahid melalui berbagai pemikiran dan tindakannya secara konsisten melakukan usaha-usaha untuk memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa. Usaha tersebut dilakukan Abdurrahman Wahid baik sebelum maupun ketika ia menjabat sebagai presiden RI, hal itu dimaksudkan agar minoritas etnis Tionghoa dapat diakui keberadaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apa sajakah usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui usaha-usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian historis dengan teknik pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan dan teknik dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif.

(2)

iii

kolom, dan pemberian dukungan moral kepada individu dan kelompok minoritas etnis Tionghoa yang sedang mengalami permasalahan. Serangkaian usaha itu kemudian berlanjut ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden RI ke-4 menggantikan B. J. Habibie. Pada masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid mengembangkan wacana multikulturalisme yang mendorong diakuinya eksistensi budaya etnis Tionghoa. Selain itu, presiden Abdurrahman Wahid menetapkan kebijakan-kebijakan bagi etnis Tionghoa, meliputi: pertama, penghapusan Inpres No. 14 tahun 1967 melalui Keppres No. 6 tahun 2000 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Kedua, mengakui kembali eksistensi agama Kong Hu Cu dengan mengeluarkan SE Mendagri No. 477/805/SJ tahun 2000. Ketiga, penghapusan berbagai larangan penerbitan buku/majalah dalam bahasa dan aksara Tionghoa. Keempat, penetapan Imlek sebagai hari libur fakultatif melalui SK Menteri Agama No. 13 tahun 2001 yang dilanjuti dengan dikeluarkannya SK Menteri Agama No. 14 tahun 2001.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa usaha Abdurrahman Wahid memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia yang dilakukannya baik sebelum dan ketika ia menjabat sebagai presiden meliputi penyebarluasan pemikiran melalui tulisan, pemberian dukungan moral, pengembangan wacana multikulturalisme, dan penetapan kebijakan terhadap etnis Tionghoa pada akhirnya berhasil memulihkan hak sipil-politik minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.

(3)

iv

K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS

DI INDONESIA

Oleh

RIA ANGGRAINI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

i

K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS

DI INDONESIA

(Skripsi)

Oleh

RIA ANGGRAINI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

xiv

C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Kegunaan Penelitian ... 7

3. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA ... 10

(6)

xv

1.4 Pembatasan Hak Sipil-Politik Minoritas Etnis Tionghoa Masa

Orde Baru ... 51

2. Usaha-Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis Tionghoa di Indonesia ... 57

2.1 Sebelum Menjabat Sebagai Presiden ... 57

2.1.1 Penyebarluasan Pemikiran Melalui Tulisan ... 57

2.1.2 Pemberian Dukungan Moral ... 62

2.2 Ketika Menjabat Sebagai Presiden ... 71

2.2.1 Pengembangan Wacana Mengenai Multikulturalisme... 71

2.2.2 Penetapan Kebijakan Bagi Etnis Tionghoa ... 75

2.2.2.1 Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 Percetakan dalam Bahasa dan Aksara Tionghoa ... 84

2.2.2.4 Penetapan Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif ... 87

B. PEMBAHASAN ... 91

1. Usaha-Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis Tionghoa di Indonesia ... 91

1.1 Sebelum Menjabat Sebagai Presiden ... 91

1.1.1 Peyebarluasan Pemikiran Melalui Tulisan ... 91

1.1.2 Pemberian Dukungan Moral ... 92

1.2 Ketika Menjabat Sebagai Presiden ... 95

1.2.1 Pengembangan Wacana Mengenai Multikulturalisme.... 95

1.2.2 Penetapan Kebijakan Bagi Etnis Tionghoa ... 96

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Simpulan ... 104

B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA

(7)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kumpulan Pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai Minoritas Etnis Tionghoa yang Dituangkan dalam Bentuk Tulisan

2. Artikel yang Ditulis oleh Abdurrahman Wahid mengenai Minoritas Etnis Tionghoa

3. Pandangan Abdurrahman Wahid Mengenai Proses Pembauran

4. Pengakuan Abdurrahman Wahid terhadap Eksistensi Etnis Tionghoa sebagai Wujud Multikulturalisme yang Dikembangkannya

5. Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa

6. Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 tentang Penghapusan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 mengenai Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa

7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/805/Sj tahun 2000 tentang Penghapusan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054 tahun 1978 tentang Pengisian Kolom Agama

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 62/MPP/Kep/02 tahun 2001 tentang Perubahan Lampiran 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur dalam Tata Niaga Impor

9. Media Bersegmentasi Orang Tionghoa yang Berkembang Pasca

Dihapuskannya Peraturan Mengenai Larangan Penerbitan dalam Bahasa dan Aksara Tionghoa

10. Keputusan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif

11. Keputusan Menteri Agama Nomor 14 tahun 2001 tentang penetapan Tanggal Perayaan Hari Raya Imlek tahun 2001

(8)

xvii

13. Gambar Abdurrahman Wahid Ketika Mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden tanggal 20 Oktober 1999

14. Gambar Presiden Abdurrahman Wahid Meninggalkan Istana Negara 15. Gambar Abdurrahman Wahid Bersama Warga Negara Indonesia

Keturunan Tionghoa Saat Menerima Penghargaan sebagai Bapak Tionghoa

16. Gambar Abdurrahman Wahid Ketika Menjadi Pembicara dalam Diskusi mengenai Pendayaan Potensi Etnis Tionghoa sebagai Komponen Bangsa

(9)

viii

MOTTO

Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh sesuatu selain apa yang telah diusahakannya

(QS. An-Najm (53): 39)

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak

akan sampai setinggi gunung

(10)

vi

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Drs. Iskandar Syah, M.H. ………

Sekretaris : Drs. Syaiful. M, M.Si. ………

Penguji

Bukan Pembimbing : Drs. Maskun, M.H. ………

2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si. NIP. 19600315 198503 1 003

(11)

xiii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini adalah : nama : Ria Anggraini

NPM : 0713033041 program studi : Pendidikan Sejarah

jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

alamat : Jl. Srimulyo 1 No. 09 Natar, Lampung Selatan

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Bandar Lampung, Februari 2012

(12)

ix

PERSEMBAHAN

Seiring sujud syukur hamba kepada Allah SWT serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, ku persembahkan karya sederhana ini

untuk orang-orang yang sangat berharga dalam hidupku

Kedua orang tua tercinta yang selama ini telah berjuang tanpa lelah, memberi tanpa harap serta do’a yang tiada henti dalam setiap hembusan

nafasnya demi cita dan asaku.

Kakak dan Adik-adikku tersayang yang dengan cinta dan kasih kalian selalu mendukung dan mendo’akanku.

(13)

v

Judul Skripsi : K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM

MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK

MINORITAS DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Ria Anggraini Nomor Pokok Mahasiswa : 0713033041 Program Studi : Pendidikan Sejarah

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Iskandar Syah, M.H. Drs. Syaiful. M, M.Si. NIP. 19571011 198703 1 001 NIP. 19610703 198503 1 004

2. Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Sosial Pendidikan Sejarah

Drs. Iskandar Syah, M.H. Drs. Maskun, M.H.

(14)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 31 Desember

1989. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari

pasangan Bapak Heriono dan Ibu Sri Mahdalena.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal Sekolah Dasar di SDN 1 Penengahan

Tanjung Karang selesai pada tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di

Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Bandar Lampung selesai pada tahun

2004, dan Sekolah Menengah Umum di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Model

Bandar Lampung selesai pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Lampung

melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis

menyelesaikan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP 6 Bandar

(15)

x

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK

KELOMPOK MINORITAS DI INDONESIA.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima

kasih yang tulus dan penghargaan kepada :

1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. M. Thoha B. S. Jaya, M.S. selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si. selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Bapak Drs. Hi. Iskandar Syah, M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dan selaku

Pembimbing I sekaligus Pembimbing Akademik yang telah bersedia

(16)

xi

arahan, dukungan dan saran-saran kepada penulis dalam upaya penyelesaian

tulisan ini.

5. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

6. Bapak Drs. Syaiful, M, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktunya dan ketersediaannya untuk memberikan masukan,

bimbingan, arahan, ilmu, saran-saran, kritik, dan motivasi dalam proses

pengerjaan tulisan ini.

7. Bapak Drs. Maskun, M.H. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dan selaku

Penguji yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan dalam

upaya penyelesaian tulisan ini.

8. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung yang telah membimbing penulis selama

menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah.

9. Ayahku Heriono dan Mamakku Sri Mahdalena yang selalu mengiringi

perjalanan hidupku dengan do’a, kasih sayang, nasehat serta selalu memberi

motivasi untuk keberhasilanku.

10. Mbah Ijo’ dan Mbah Wedo’ yang selalu memberikan kasih sayang dan

motivasi untuk keberhasilanku.

11. Mamas ku Rangga Saputra dan Adik-adikku Deni Prakoso dan Erna

Febriani yang selalu berdo’a dan memperhatikanku, senyum, amarah dan

canda kalian menjadi semangat dalam menjalani hari-hari ku yang tak selalu

(17)

xii

12. Mbak Yati dan Mbak Yani yang selalu bersedia menemani ke tempat yang

ku tuju dan motivasi untuk keberhasilanku.

13. Sahabat-sahabat terbaikku, Novia, Ericka, Dila, Neni, Era, terima kasih

sahabat untuk semua kebersamaan kita yang tidak akan pernah bisa terulang

dan kesetiaan kalian yang selalu ada di saat suka dan duka ku.

14. Teman-temanku angkatan ’07, Aan, Koko, Benk, Erwin, Ardi, Ago, Mega,

Ririn, Ui, Gris, Mimi, Pipit, Apri, Arlen, Ina, Meli, Desi, Yana, Dinar,

Nining, Binti, Yessi, Diaz, Upik, Shiro, Nunik, Okta, Anis, Tia, Nuraini,

Farah, Tami, Yogi, Juli, Nine, Wahyu, Togar, Hendra dan seluruh anak 07

NR terima kasih atas kebersamaan yang dihadirkan selama ini.

15. Kakak-kakak tingkatku Mbak Iis, Mbak Win, Mbak Ara, Mbak Tessa, Mbak

Desna, Mbak Desta, Kak Hendri, Kak Deka terima kasih atas bantuan dan

dukungan yang sangat berarti bagi ku.

16. Teman-teman PPL ku di SMP 6 Bandar Lampung, Andi, Palupi, Mb Casi,

Zul, Sesil, Maya, Ayu, Winda, Mega dan Firman, terima kasih untuk

pengalaman yang telah kalian berikan.

17. Semua Pihak yang telah membantu hingga terselesainya tulisan ini.

Hanya Allah SWT yang akan membalas kebaikan yang telah kalian berikan.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bermanfaat bagi yang

membacanya. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2012

(18)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok

minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai

kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

masyarakat serta memiliki karakteristik etnis, agama, bahasa dan ikatan kultural

berbeda dari mayoritas penduduk (Kusumaatmadja, 2007: 5). Pada masa

pemerintahan Orde Baru (1966-1998) pemerintah menetapkan kebijakan yang

ditujukan agar kelompok minoritas berbaur dalam identitas kebudayaan

masyarakat mayoritas. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk identitas nasional

berdasarkan identitas budaya mayoritas masyarakat Indonesia.

Kebijakan tersebut direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya

peraturan-peraturan yang cenderung membatasi hak-hak kelompok minoritas untuk

menjalankan identitas mereka. Kondisi demikian nampak terjadi pada kelompok

minoritas agama dan kepercayaan lokal. Pada tahun 1978, pemerintah

memberikan pendefinisian mengenai ”agama resmi dan tidak resmi”.

Pendefinisian ini muncul dalam bentuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.

(19)

2

ialah agama Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Budha (Taher(ed),

2009: 339).

Dengan adanya surat edaran tersebut, maka agama minoritas seperti Kong Hu Chu

dan kepercayaan lokal masyarakat tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah.

Pemerintah justru menganjurkan penganut agama minoritas dan kepercayaan di

luar agama resmi untuk menganut salah satu dari agama yang diakui pemerintah.

Kondisi demikian berdampak pada hak sipil-politik masyarakat penganut agama

minoritas dan kepercayaan lokal yang tetap menganut kepercayaannya. Mereka

kesulitan mengakses pencatatan pernikahan, ketidakbebasan dalam penulisan

kolom agama sesuai dengan kepercayaan yang dianut, dan sebagainya.

Hal serupa dialami pula oleh kelompok minoritas etnis Tionghoa. Keberadaan

minoritas etnis Tionghoa di nusantara seringkali dianggap sebagai sebuah

masalah. Etnis Tionghoa dipandang sebagai kelompok eksklusif yang memisahkan

diri dari pribumi dan tidak mau berbaur dalam masyarakat Indonesia, terlebih lagi

ada kecurigaan bahwa etnis Tionghoa terlibat dalam pemberontakan partai

komunis 1965. Karenanya untuk mengatasi masalah Cina sekaligus membaurkan

etnis Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, pemerintah Orde Baru memutuskan

untuk menerapkan kebijakan asimilasi bagi orang-orang Tionghoa yang berada di

Indonesia baik itu Tionghoa totok maupun Tionghoa peranakan yang hakikatnya

telah berbaur dengan masyarakat.

Agar proses asimilasi berjalan cepat dan efektif, pemerintah mengeluarkan

peraturan-peraturan terkait kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam hal ini

(20)

3

berjudul ”Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina” menyatakan bahwa

terdapat sejumlah peraturan yang telah ditetapkan pemerintah berkenaan

kelompok Tionghoa, meliputi:

− Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12 tahun 1966 mengenai

pergantian nama, dalam hal ini pemerintah menganjurkan bagi warga keturunan yang masih menggunakan nama Tionghoa untuk segera mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia.

− Penutupan semua sekolah berbahasa Tionghoa dan pelarangan

penerbitan majalah maupun surat kabar yang menggunakan aksara Cina.

− Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia No.

SE-06/PresKab/6 tahun 1967. Surat tersebut memutuskan untuk melarang penggunaan kata ”Tionghoa” dan menggantikannya dengan kata ”Cina”.

− Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan

dan adat istiadat keturunan Cina.

− Keputusan Presiden No. 240 tahun 1967 mengenai kebijakan pokok

yang menyangkut WNI keturunan asing.

− Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6 tahun 1967 mengenai

kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina (Wibowo, 1999: 4).

Dengan adanya berbagai peraturan ini secara langsung maupun tidak, pemerintah

Orde Baru memberikan pembatasan-pembatasan bagi etnis Tionghoa untuk

menjalankan aspek kehidupannya di luar aspek ekonomi. Kebijakan pemerintah

yang cenderung membatasi kegiatan etnis Tionghoa membuat etnis Tionghoa

kesulitan untuk memperoleh hak sipil-politiknya.

Banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang memberikan

pembatasan atas aktivitas kelompok minoritas baik itu minoritas agama maupun

minoritas etnis Tionghoa, salah satunya ialah K. H. Abdurrahman Wahid. K. H.

Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU mulai

bersikap kritis atas kebijakan-kebijakan Soeharto yang kurang berpihak pada

(21)

4

Sikap kritis tersebut ditunjukan Abdurrahman Wahid secara nyata dengan

melakukan berbagai usaha guna memperjuangkan hak kelompok minoritas

agama. Usahanya tersebut meliputi pembentukan Forum Demokrasi yang

dimaksudkan untuk meminimalisir berkembangnya sektarian dalam agama,

pengadaan dialog antarumat beragama, pemberian perlindungan bagi kelompok

agama minoritas dalam menjalankan kegiatan keagamaannya, seperti halnya yang

ia lakukan kepada penganut agama Kristen di Situbondo, Jawa Timur ketika

terjadi peristiwa kerusuhan tanggal 10 Oktober 1996. Pasca kerusuhan

Abdurrahman Wahid menciptakan jejaring muda NU guna mencegah teror lebih

lanjut dengan mengorganisir patroli keamanan di gereja-gereja. (Sulistyo,

dkk(ed), 2010: 232), Abdurrahman Wahid juga turut serta membantu jemaat

gereja membangun kembali tempat peribadatan yang rusak.

Selain itu Abdurrahman Wahid juga melakukan serangkaian usaha untuk

memperjuangkan hak-hak minoritas etnis Tionghoa yang dibatasi pemerintah

guna mempercepat pembauran, usaha tersebut diwujudkan melalui

pemikiran-pemikiran mengenai minoritas etnis Tionghoa yang dituangkannya dalam tulisan

di berbagai surat kabar dan melalui pemberian dukungan moral yang ditujukan

kepada individu dari minoritas etnis Tionghoa yang tengah menghadapi kesulitan.

Pada tanggal 21 Mei 1998, pemerintah Orde Baru tumbang dan digantikan dengan

B. J. Habibie. Namun tampuk pemerintahan B. J. Habibie tidak berlangsung lama,

melalui SU MPR hasil pemilu 1999 terpilihlah K. H. Abdurrahman Wahid

(22)

5

kesempatan bagi kelompok-kelompok minoritas untuk memperoleh kesetaraan

atas hak-haknya.

Pada masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid tetap menunjukan

konsistensinya untuk melakukan usaha memperjuangkan hak kelompok minoritas

agar memperoleh kesetaraan. Terhadap minoritas etnis Tionghoa, usahanya

tersebut diwujudkan dengan penghapusan kebijakan asimilasi dan

mengembangkan wacana mengenai multikulturalisme, serta menetapkan berbagai

kebijakan yang ditujukan bagi minoritas etnis Tionghoa.

Pada masa pemerintahannya pula Abdurrahman Wahid melakukan usaha

memperjuangkan hak perempuan Indonesia yang merupakan minoritas dalam

kehidupan politik. Perempuan di seluruh dunia secara kuantitatif merupakan

mayoritas, namun dari segi status, partisipasi dalam politik, dan prospek hidup

diperlakukan sebagai minoritas (Tan, 2008: 266). Usaha Abdurrahman Wahid

tersebut direalisasikan dengan penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga (KDRT) yang kemudian disahkan pada masa pemerintahan

Megawati. Ia juga melakukan perlawanan terhadap fatwa haram bagi perempuan

mengenai kepemimpinan seorang perempuan dalam pemerintahan dan sebagai

pembuktian atas perlawanannya itu, serta penerapan kebijakan affirmative action

bagi perempuan dalam bidang politik. Dengan begitu, kaum perempuan memiliki

kesempatan yang lebih untuk memiliki peranan dalam politik di Indonesia.

Serangkaian usaha yang dilakukan K. H. Abdurrahman Wahid dalam rangka

memperjuangkan hak kelompok minoritas yang ada di Indonesia baik itu

(23)

6

kehidupan politik merupakan bentuk kepeduliannya terhadap keberagaman dan

kepeduliannya pada kesetaraan setiap masyarakat. K. H. Abdurrahman Wahid

berusaha dengan sekuat tenaga untuk memulihkan hak-hak kelompok minoritas

agar hak tersebut tetap dilindungi dan dijamin oleh negara berdasarkan yang

tercantum dalam UUD 1945.

B. Analisis Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang dapat

diambil adalah sebagai berikut :

1. Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas

agama di Indonesia.

2. Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis

Tionghoa di Indonesia.

3. Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak kaum

perempuan sebagai minoritas dalam kehidupan politik di Indonesia.

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang dibahas kajiannya tidak terlalu meluas, maka penulis

membatasi masalah ini pada Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam

memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan adanya

pembatasan masalah tersebut, diharapkan dalam penyusunan penelitian ini dapat

(24)

7

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah : “Apa sajakah usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan

hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia?”

C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara teoritis tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

apasaja usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas

etnis Tionghoa di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Bagi peneliti, para pembaca maupun pihak lainnya hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai bahan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai

Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak Minoritas

Etnis Tionghoa di Indonesia.

b. Sebagai suplemen bahan ajar pada mata pelajaran sejarah di SMA kelas XII

(25)

8

3. Ruang Lingkup Penelitian

1. Objek Penelitian : Usaha dalam Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis

Tionghoa

2. Subjek Penelitian : K.H. Abdurrahman Wahid

3. Tempat Penelitian : Perpustakaan Daerah Lampung dan Perpustakaan

Universitas Lampung

4. Waktu Penelitian : Tahun 2011

5. Temporal : Tahun 1990-2001

(26)

9

REFERENSI

Sarwono Kusumaatmadja. 2007. Politik dan Hak Minoritas. Jakarta: Koekoesan. Halaman 5

Elza Peldi Taher (ed). 2009. Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Kompas. Halaman 339

I Wibowo (ed). 1999. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 4

Hermawan Sulistyo dkk (ed). 2010. Sejuta Gelar untuk Gus Dur. Jakarta: Pensil-324. Halaman 232

Mely G Tan. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan. Jakarta:

(27)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR

DAN PARADIGMA

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Usaha K. H. Abdurrahman Wahid

Usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dapat

pula dikatakan bahwa usaha adalah sebuah pengharapan yang dilakukan dengan

berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, usaha diartikan sebagai kegiatan dengan

mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk mencapai maksud, pekerjaan,

perbuatan prakarya dan daya upaya untuk mencapai sesuatu (Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, 1990: 997). Menurut W. J. S. Poerwadarminta, usaha

merupakan segala kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk

mencapai suatu maksud (Poerwadarminta, 1985: 1136).

Berdasarkan pendapat di atas, maka usaha adalah segala sesuatu yang dilakukan

oleh individu dengan mengerahkan tenaga, pikiran maupun badan untuk mencapai

suatu tujuan serta menghasilkan sesuatu yang diharapkan.

K. H. Abdurrahman Wahid merupakan sosok tokoh yang unik dan bersifat

multidimensi baik di dalam lingkungan kulturalnya sendiri yaitu Nahdatul Ulama

(28)

11

yang tepat untuk ditujukan pada figur Abdurrahman Wahid. Kekontroversiannya

setidaknya muncul karena banyaknya kemampuan yang dimilikinya serta karakter

yang berbeda dari manusia kebanyakan. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmad

Suaedy dan Abdalla dalam bukunya Gila Gus Dur, Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid:

Dalam pandangan kami, K. H. Abdurrahman Wahid setidaknya mempunyai tiga wajah yang menonjol: sebagai tokoh agama, budayawan, dan politisi. Ketiga peran itu dimainkan secara bergantian dalam kurun waktu yang sama. Ketika berada di tengah komunitas NU, dia berperan sebagai ulama sekaligus ketua PBNU. Ketika berada di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dia berperan sebagai budayawan. Ketika bertemu dengan Megawati, B. J. Habibie, Wiranto dan tokoh politik lainnya, maka saat itu Wahid dikatakan sedang memainkan peran politisi (Suaedy dan Abdalla, 2008: 1).

Selain sebagai tokoh muslim Indonesia, budayawan dan pemimpin politik, K. H.

Abdurrahman Wahid merupakan sosok pejuang pluralisme dan humanisme yang

memiliki konsistensi dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan

akan nilai-nilai kemanusiaan terlihat ketika ia memerhatikan nasib kalangan kecil

yang tertindas, termasuk kelompok minoritas (Rifai, 2010: 4).

Menurut Hermawan Sulistyo, dkk (ed) dalam bukunya yang berjudul Sejuta Gelar

Untuk Gus Dur, K. H. Abdurrahman Wahid adalah pejuang pluralisme dan

multikulturalisme. Beliau selama ini berusaha memperjuangkan hak-hak kaum

minoritas baik dalam segi sosial budaya maupun hak dalam berpolitik (Sulistyo,

dkk (ed), 2010: 255).

Konsistensi K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak kelompok

minoritas tertindas diwujudkannya melalui serangkaian usaha. Usahanya tersebut

(29)

12

hingga 2001. Akan tetapi, jauh sebelum ia memegang jabatan sebagai kepala

negara, K. H. Abdurrahman Wahid telah melakukan usaha memperjuangkan hak

kelompok minoritas baik minoritas agama, maupun minoritas etnis Tionghoa baik

melalui tindakan, pemikiran yang dituangkan dalan tulisan maupun dengan

pemberian dukungan moral.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa K. H. Abdurrahman

Wahid merupakan tokoh multidimensi yang tidak hanya berperan sebagai tokoh

agama, budayawan maupun politisi, Wahid juga berperan sebagai tokoh

humanisme yang memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas yang ada di

Indonesia untuk diperlakukan sesuai dengan haknya sebagai sesama warga negara

Indonesia.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka usaha K. H. Abdurrahman Wahid

dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa adalah segala sesuatu yang

dilakukan Abdurrahman Wahid baik sebelum dan ketika ia menjabat sebagai

presiden RI ke-4 melalui serangkaian pemikiran, pemberian dukungan moral,

pengembangan wacana, hingga penetapan kebijakan-kebijakan bagi etnis

Tionghoa yang pada akhirnya dapat memulihkan hak sipil-politik minoritas etnis

Tionghoa yang sempat dibatasi oleh berbagai peraturan pemerintah pada masa

Orde Baru.

2. Konsep Hak Minoritas

Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, hak adalah

(30)

13

tercantum dalam berbagai aturan dan perundang-undangan (Poerwadarminta,

1985 : 339). Sedangkan menurut Kusumah, hak secara definitif berarti kekuasaan

atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu hal (Kusumah, 1986: 122).

Berdasarkan pendapat di atas, maka hak ialah suatu kewenangan yang dimiliki

oleh seseorang untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah tercantum dalam

perundang-undangan.

Menurut Hassan Shadily dalam Ensiklopedi Indonesia, minoritas adalah

golongan-golongan dalam masyarakat yang dihadapan golongan-golongan yang

lebih kuat mempunyai kedudukan sosial yang lebih rendah, kekuasaan, martabat,

dan hak yang lebih sempit (Shadily, 1983 : 2257).

Menurut Jules Deschennes yang di kutip Hikmat Budiman dalam buku Hak

Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia menjelaskan bahwa kelompok

minoritas ialah:

Kelompok minoritas sebagai kelompok warga negara dalam jumlah kecil yang memiliki karakteristik etnis, agama atau bahasa yang berbeda dari mayoritas penduduk, tidak mempunyai posisi dominan dalam negara, memiliki solidaritas terhadap kelompok lain, mempunyai semangat kebersamaan untuk memperoleh kesetaraan dengan kelompok lain dan persamaan hak dihadapan hukum (Budiman, 2005: 10).

Maka minoritas merupakan suatu kelompok yang tidak dominan dalam suatu

negara, kelompok-kelompok tersebut memiliki karakteristik etnis, agama, dan

bahasa yang berbeda dari mayoritas penduduk. Walaupun sebagai minoritas yang

tidak dominan dalam masyarakat, mereka tetap memiliki hak-hak yang sama

dengan mayoritas penduduk. Pemerintah menjamin sepenuhnya hak-hak minoritas

(31)

14

Hak-hak minoritas tersebut tercantum pula dalam deklarasi PBB mengenai

perlindungan terhadap hak minoritas, meliputi:

1. Perlindungan negara terhadap eksistensi dan identitas suku, agama, budaya, dan bahasa mereka (Pasal 1)

2. Hak menikmati kebudayaan mereka, menganut dan menjalankan

agama dan menggunakan bahasa mereka sendiri baik dalam kelompok mereka maupun dalam masyarakat (Pasal 2 ayat 1)

3. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, dan publik (Pasal 2 ayat 2)

4. Hak turut serta dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi

mereka di tingkat nasional dan regional (Pasal 2 ayat 3)

5. Hak mendirikan dan memelihara perkumpulan-perkumpulan mereka

sendiri (Pasal 2 ayat 4)

6. Hak mempertahankan hubungan damai dengan anggota-anggota lain dalam kelompok mereka dan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas lain, baik dalam wilayah negara mereka sendiri maupun melampaui batas-batas negara (Pasal 2 ayat 5); dan 7. Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka tanpa diskriminasi, baik

secara perorangan maupun dalam masyarakat dengan anggota-anggota lain dalam kelompok mereka (Pasal 3)

(Kusumaatmadja, 2007: 11-12).

Dengan adanya deklarasi PBB mengenai hak minoritas, pemerintah wajib

melindungi dan menjamin kebebasan akan hak-hak minoritas dari segala macam

gangguan yang dapat membatasi atau menghilangkan hak tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hak minoritas merupakan

wewenang atau hak-hak yang dimiliki kelompok minoritas untuk mendukung

kehidupan kelompok minoritas baik itu minoritas agama maupun etnis dalam

menjalankan kehidupan mereka dan mencegah kemungkinan terjadinya

diskriminasi serta ancaman dari kelompok mayoritas. Hak minoritas yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah hak-hak yang dimiliki minoritas etnis

Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk menjalankan kehidupan

(32)

15

yang tercantum dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut erat kaitannya dengan hak

sipil-politik etnis Tionghoa sebagaimana yang tertuang dalam dasar konstitusi

negara RI.

3. Konsep Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa merupakan kelompok-kelompok sosial dan budaya yang

merupakan keturunan Cina yang tinggal di luar RRC dan Taiwan (Depdikbud,

1989 : 237). Menurut Leo Suryadinata, etnis Tionghoa merupakan istilah yang

digunakan untuk menyebutkan orang-orang Tionghoa atau warga negara dataran

Cina yang bermukim di negeri asing (Suryadinata, 1999 : 15).

Kata Tionghoa adalah kata khas Indonesia yang tidak akan ditemukan dalam

masyarakat di negara-negara lain. Kata Tionghoa berasal dari kata Chung-Hwa

yang merupakan suatu gerakan masyarakat di akhir abad ke-19 untuk terlepas dari

belenggu kekuasaan Kerajaan di Cina dan membentuk suatu negara baru di

negara-negara lain termasuk Indonesia dengan melupakan negara Cina namun

tidak melupakan tradisi dan nilai-nilai luhur kebudayaan tempat di mana mereka

berasal.

Istilah Tionghoa mulai digunakan di Indonesia pada awal abad ke-20 untuk

menyebut rakyat Tiongkok, termasuk mereka yang berada di perantauan.

Tiongkok sendiri menggunakan istilah itu untuk menyebut bangsanya tetapi

dengan memakai istilah hua-ch’iao atau huakiauw dalam lafalan hokkian untuk

(33)

16

mengganti kata ” Cina ” yang memiliki konotasi negatif karena sering digunakan

dalam nada merendahkan.

Sama halnya dengan masyarakat Indonesia yang heterogen, minoritas etnis

Tionghoa di Indonesia juga merupakan minoritas yang heterogen. Menurut Leo

Suryadinata dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa dan Nasionalisme

Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, menyatakan:

Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen. Secara kultural mereka terbagi atas orang Tionghoa peranakan dan orang

Tionghoa totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang telah lama tinggal

di Indonesia dan umumnya telah berbaur dengan budaya dan masyarakat pribumi. Sedangkan Tionghoa totok merupakan pendatang baru yang masih menguasai bahasa Tiongkok dan belum terbaur dalam budaya masyarakat pribumi. Dalam hal agama, sebagian besar orang Tionghoa menganut Kong Hu Chu, Buddhisme, dan Tridharma namun banyak pula yang memeluk agama Katolik, Kristen, dan Islam. Dalam orientasi politik, ada yang pro Beijing atau pro Taipen tetapi lebih banyak lagi yang pro Jakarta. Dalam hal perekonomian, banyak yang berada pada lapisan ekonomi atas tetapi lebih banyak lagi yang berada pada lapisan ekonomi menengah (Suryadinata, 2010: 183-184).

Dengan demikian, etnis Tionghoa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang

berasal dari warga dataran Cina yang bermukim di negeri asing. Etnis Tionghoa

yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu kelompok masyarakat warga

keturunan Cina yang bermukim di Indonesia dan memiliki kekhasan budaya yang

berbeda dengan penduduk Indonesia serta memiliki hak-hak yang sama dengan

(34)

17

B. Kerangka Pikir

Pembatasan atas hak sipil-politik minoritas etnis Tionghoa guna mempercepat

proses asimilasi total membuat minoritas etnis Tionghoa kesulitan dalam

menjalankan aspek kehidupannya. Pembatasan tersebut tentunya bertentangan

dengan konstitusi UUD 1945 yang di dalamnya menjamin setiap aspek kehidupan

masyarakatnya. Atas dasar itulah, K. H. Abdurrahman Wahid yang saat itu

menjabat sebagai Ketua Umum PBNU turut melakukan serangkaian usaha untuk

memperjuangkan hak minoritas Tionghoa. Hal itu dilakukan K. H. Abdurrahman

Wahid karena ia memandang bahwa setiap kelompok masyarakat tanpa

memandang ras, etnis, agama, dan budayanya tak terkecuali minoritas etnis

Tionghoa merupakan warga negara yang wajib dijamin haknya oleh negara, ia

tidak setuju bila ada negara yang membatasi hak-hak warganya guna membaurkan

sebuah masyarakat ke dalam masyarakat lainnya.

Usaha Abdurrahman Wahid memperjuangkan hak minoritas Tionghoa telah

dirintis semenjak ia belum menjabat sebagai presiden. Pada tahun 1990

Abdurrahman Wahid mulai mengemukakan pemikiran mengenai minoritas

Tionghoa yang dituangkannya melalui tulisan. Selain dalam bentuk tulisan,

Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan moral yang ditujukannya

kepada individu ataupun masyarakat keturunan Tionghoa yang sedang

menghadapi permasalahan terkait hak-haknya.

Usaha Abdurrahman Wahid memperjuangkan hak minoritas Tionghoa berlanjut

ketika ia terpilih menjadi presiden RI ke-4 (1999-2001) menggantikan B. J.

(35)

18

wacana mengenai multikulturalisme dan menetapkan berbagai kebijakan bagi

etnis Tionghoa terkait eksistensi etnis Tionghoa dan budayanya di Indonesia.

Serangkaian usaha yang dilakukan Abdurrahman Wahid baik sebelum dan ketika

ia menjabat sebagai presiden diharapkan dapat memulihkan hak sipil-politik

minoritas etnis Tionghoa. Sehingga dengan begitu keberadaan etnis Tionghoa dan

haknya sebagai bagian bangsa dapat diakui oleh masyarakat mayoritas.

C. Paradigma

Keterangan :

: Garis Usaha

: Garis Hasil

K. H. Abdurrahman Wahid Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis Tionghoa

Pulihnya Hak Sipil-Politik Minoritas Etnis Tionghoa

Sebelum Menjabat Sebagai Presiden :

1. Penyebarluasan Pemikiran Melalui Tulisan

2. Pemberian Dukungan Moral

(36)

19

REFERENSI

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 997

W. J. S. Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 1136

Ahmad Syaedy dan Ulil Abshar Abdalla. 2008. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LkiS. Halaman 1

Muhammad Rifai. 2010. Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta: Garasi House of Book. Halaman 4

Hermawan Sulistyo, dkk(ed). 2010. Sejuta Gelar Untuk Gus Dur. Jakarta: Pensil-324. Halaman 255

W. J. S. Poerwadarminta. 1985. Op Cit. Halaman 339

Suriah Kusumah, dkk. 1986. Kewargaan Negara. Jakarta: Karunika. Halaman 122

Hassan Shadily. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Halaman 2257

Hikmat Budiman. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation-TIFA. Halaman 10

Sarwono Kusumaatmadja. 2007. Politik dan Hak Minoritas. Jakarta: Koekoesan. Halaman 11-12

Depdikbud. 1989. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT. Citra Adipustaka. Halaman 237

Leo Suryadinata. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. Halaman 15

---. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah

(37)

20

III. METODE PENELITIAN

A. Metode yang digunakan

Penggunaan metode dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang penting, hal

ini dikarenakan metode merupakan faktor yang penting dalam memecahkan suatu

masalah bagi sebuah penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Husin Sayuti

bahwa metode merupakan suatu cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah,

maka metode menyangkut masalah kinerja yaitu cara kerja untuk memahami

obyek yang menjadi sasaran ilmu tersebut (Sayuti, 1989 : 32), sedangkan menurut

Surachmad metode adalah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai

tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan tehnik atau

alat-alat tertentu (Surachmad, 1984 : 121).

Berdasarkan kedua pengertian metode di atas, maka dapat dijelaskan bahwa

metode adalah suatu cara ilmiah yang digunakan untuk memahami obyek yang

menjadi sasaran ilmu tertentu yang dapat menguji suatu kebenaran guna mencapai

tujuan yang diharapkan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

historis. Nugroho Notosusanto mengemukakan bahwa Metode Historis adalah

(38)

21

Metode historis merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa daripada hasil-hasilnya biasanya dalam bentuk tertulis (Notosusanto, 1984 : 11).

Menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Metode Penelitian Bidang Sosial,

menjelaskan:

Metode historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-peninggalan, baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lampau terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau suatu keadaaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu (Nawawi, 1983 : 68).

Sedangkan menurut Hugiono dan Poerwanta metode sejarah hendaknya diartikan

lebih luas, tidak hanya pelajaran mengenai analisis kritik saja melainkan juga

meliputi usaha sintesa daripada data yang ada sehingga menjadi penyajian dan

kisah sejarah yang dapat dipercaya (Hugiono dan Poerwanta, 1992 : 25).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah cara yang

digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan mengumpulkan fakta dan

data berupa arsip-arsip atau dokumen yang disusun secara sistematis dan evaluasi

yang objektif dari data yang berhubungan dengan kejadian masa lampau untuk

memahami kejadian atau keadaan baik masa lalu atau masa sekarang.

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penelitian historis menurut

Nugroho Notosusanto meliputi :

1. Heuristik adalah proses mencari dan menemukan data-data atau sumber-sumber sejarah

2. Kritik adalah menyelidiki apakah jejak-jejak sejarah sejati baik isi maupun bentuknya

(39)

22

4. Historiografi adalah suatu kegiatan penulisan dalam bentuk laporan hasil penelitian

(Notosusanto, 1984 : 36).

Berdasarkan langkah-langkah penelitian historis diatas, maka langkah-langkah

penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah :

1. Heuristik

Peneliti mencoba mencari dan mengumpulkan data-data yang diperlukan

dan berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Pada tahap ini

peneliti melakukan pencarian terhadap sumber-sumber penelitian yang

dapat berupa buku, majalah, koran, arsip, maupun dokumen-dokumen

yang akan dijadikan referensi dalam melakukan penelitian.

2. Kritik

Setelah data terkumpul, kegiatan peneliti selanjutnya adalah melakukan

kritik terhadap sumber-sumber yang telah didapat untuk menguji apakah

data yang diperoleh tersebut valid dan dapat menunjang kegiatan

penelitian yang akan dilaksanakan. Kritik yang diberikan dapat berupa

kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal bertujuan untuk meneliti

kebenaran isi dari sumber yang telah didapat. Sedangkan kritik eksternal

bertujuan untuk melihat apakah data yang didapat tersebut asli atau palsu.

3. Interpretasi

Pada tahap ini peneliti melakukan penafsiran terhadap data-data yang telah

didapatkan. Interpretasi dilakukan sebagai upaya untuk merangkaikan

fakta-fakta yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan

(40)

23

4. Historiografi

Pada tahap terakhir ini dilakukan perangkaian fakta sejarah, konsep dan

generalisasi sesuai dengan prosedur penulisan sejarah yang sistematis

dalam bentuk laporan penelitian.

B. Variabel Penelitian

Menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini dalam bukunya Penetapan Terapan

yang dimaksud dengan variabel adalah beberapa gejala yang berfungsi sama

dalam suatu masalah (Nawawi dan Martini, 1996 : 49). Sedangkan menurut

Sumardi Suryabrata variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek

pengamatan penelitian atau faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau

gejala yang diteliti (Suryabrata, 2000 : 72).

Suatu variabel terdiri dari satu atau lebih gejala yang mungkin terjadi dari

beberapa aspek yang tidak dapat dipisahkan. Aspek atau fungsi tersebut

menentukan fungsi variabel sehingga salah satu diantaranya pada variabel yang

memiliki lebih dari satu aspek akan mempengaruhi fungsinya terhadap masalah

yang akan diselidiki. Pada awal perencanaan kegiatan secara jelas menunjukkan

bahwa variabel-variabel yang ada harus dipisahkan untuk membedakan perubahan

yang ada. Hal ini bertujuan sebagai strategi untuk memudahkan kita melihat

perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat kabur.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka variabel adalah sesuatu yang

menjadi obyek atau perhatian dalam penelitian. Variabel yang digunakan dalam

(41)

24

Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di

Indonesia. Penggunaan variabel tunggal bertujuan untuk memudahkan peneliti

dalam merumuskan objek atau inti dari penelitian yang hanya terdiri dari satu

objek penelitian.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan salah satu tahapan penting dari penelitian,

karena itu diperlukan teknik pengumpulan data yang tepat dan relevan sehingga

data-data yang diperoleh dapat sesuai dengan sasaran utamanya yaitu menjawab

permasalahan dalam penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1. Teknik Studi Kepustakaan

Teknik studi kepustakaan mempelajari buku-buku yang ada relevansinya dengan

masalah yang akan diteliti. Dengan demikian dapat memperluas pengetahuan

dalam menganalisa permasalahan. Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan

data dari berbagai informasi yang berupa teori-teori, generalisasi, ataupun

konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

Koentjaraningrat dalam bukunya Metode-Metode Penelitian mendefinisikan

teknik kepustakaan sebagai berikut:

(42)

25

Teknik kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

metode pengumpulan data pustaka, membaca, mempelajari serta menelaah

buku-buku untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan data dengan teknik

kepustakaan adalah memahami sistem yang digunakan agar mudah ditemukan

buku-buku yang dapat menunjang dan berkaitan erat dengan topik penelitian yang

sedang dibahas sehingga diperoleh data yang mempertajam orientasi dan dasar

teoritis tentang masalah pada penelitian ini.

2. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi merupakan cara mengumpulkan data melalui

peninggalan-peninggalan tertulis yang berupa arsip-arsip dan juga buku-buku tentang

pendapat, teori, dalil atau hukum lain yang berhubungan dengan masalah

penelitian (Nawawi, 1993: 133).

Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data masa lampau dan data

masa sekarang, sebab bahan-bahan dokumentasi memiliki arti metodelogis yang

sangat penting dalam penelitian masyarakat yang mengambil orientasi historis.

Dalam hal ini peneliti tidak terbatas pada literatur-literatur ilmiah, tetapi juga

merujuk pada sumber lain seperti majalah, koran, foto-foto, dan lain-lain yang

relevan dengan masalah yang akan dibahas peneliti yaitu usaha K. H.

Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di

(43)

26

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

data deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan bentuk penelitian

yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam

keadaan yang sewajarnya dan sebagaimana adanya (Nawawi, 1993 : 174). Teknik

analisis data kualitatif lebih mewujudkan kata-kata daripada deretan angka-angka

yang senantiasa menjadi bahan utama bagi ilmu-ilmu sosial.

Penggunaan data kualitatif lebih memudahkan peneliti untuk mengikuti dan

memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup

pikiran orang-orang setempat serta memperoleh penjelasan yang banyak dan

bermanfaat (Miles dan Huberman, 1992: 77).

Tahapan-tahapan dalam proses analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman meliputi :

1. Reduksi Data

Reduksi data yaitu sebuah proses pemilihan, pemuatan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan di lapangan. Pada tahap ini peneliti membuat analisis yang tajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu serta mengorganisasikan data sampai akhirnya bisa menarik sebuah kesimpulan. 2. Penyajian Data

Data yang dibatasi sebagai kumpulan informasi tersusun, memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam tahap penyajian data, peneliti mencoba untuk menyajikan data tersebut agar mudah dipahami apa yang terjadi dan yang harus dilakukan sehingga tindakan yang diambil sesuai dengan pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut.

3. Verifikasi data

(44)

27

REFERENSI

Husin Sayuti. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung. Halaman 32

Winarno Surachmad. 1984. Ilmiah Dasar, Metode Pengantar Penelitian dan Teknik. Bandung: Tarsito. Halaman 121

Nugroho Notosusanto. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:

Inti Idayu Press. Halaman 11

Hadari Nawawi. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Gadjah Mada.

Halaman 68

Hugiono dan Poerwanta. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman 25

Nugroho Notosusanto. 1984. Op Cit. Halaman 36

Hadari Nawawi dan Mimi Martini. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 49

Sumardi Suryabrata. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Halaman 72

Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Halaman 420

Hadari Nawawi. 1993. Metode Penelitian. Jakarta: Idayu Press. Halaman 133

Ibid. Halaman 174

Mathew G. Miles dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 77

(45)

104

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan data-data yang diuraikan dalam hasil dan pembahasan maka kita

mengambil beberapa kesimpulan berkaitan dengan usaha K. H. Abdurrahman

Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa adalah sebagai

berikut :

1. Sebelum menjabat sebagai presiden, usahanya tersebut diantaranya

dengan penyebarluasan pemikiran melalui tulisan baik dalam bentuk

artikel mapun kolom di beberapa surat kabar mengenai pemberian

ruang gerak bagi etnis Tionghoa dalam berbagai aspek di samping

bidang ekonomi. Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan

moral kepada individu maupun kelompok etnis Tionghoa yang

tertindas. Dukungan moral diwujudkan Abdurrahman Wahid dengan

menghadiri dan menjadi saksi dari penggugat dalam kasus gugatan

Budi Wijaya dan Lany Guito terhadap KCS Surabaya karena penolakan

pencatatan perkawinan berdasar agama Kong Hu Cu. Bentuk dukungan

moral Abdurrahman Wahid terhadap minoritas etnis Tionghoa terutama

mereka yang tertindas ditunjukan kembali melalui pendirian LSM

(46)

105

tanggal 6 November 1998 bersama dengan pengusaha WNI keturunan

Tionghoa.

2. Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, ia tetap

menunjukan konsistensinya dalam melakukan usaha memperjuangkan

hak minoritas Tionghoa, meliputi; pengembangan wacana

multikulturalisme yang memberikan pengakuan atas keberadaan etnis

Tionghoa ditengah kemajemukan bangsa, dan menetapkan berbagai

kebijakan bagi etnis Tionghoa, meliputi penghapusan Inpres No.14

tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa

yang ditetapkan melalui Keppres No. 6 tahun 2000, pengakuan kembali

eksistensi agama Kong Hu Cu dengan mengeluarkan Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri No. No. 477/805/Sj tahun 2000 mengenai

penghapusan SE Mendagri No. 477/74054 tahun 1978, Penghapusan

berbagai larangan penerbitan bahasa dan aksara Tionghoa serta

menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif melalui Surat

Keterangan Menteri Agama No.13 tahun 2001 dan ditindak lanjuti

dengan Surat Keterangan Menteri Agama No 14 tahun 2001 .

B. Saran

Dalam penelitian skripsi yang berjudul “K. H. Abdurrahman Wahid dalam

Memperjuangkan Hak Kelompok Minoritas di Indonesia”, penulis memberikan

saran sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk hendaknya dapat

(47)

106

etnis maupun budaya, penghargaaan yang tinggi atas segala perbedaan itu

dapat membuat kita hidup berdampingan sebagai kesatuan yang harmonis.

2. Bagi minoritas etnis Tionghoa hendaknya berpartisipasi dalam kehidupan

masyarakat di luar bidang ekonomi, seperti dalam bidang politik,

birokrasi, budaya, dan sebagainya. Dengan partisipasi dalam kehidupan

masyarakat, etnis Tionghoa dapat mengambil peran dalam

keputusan-keputusan menyangkut eksistensi identitas diri dan budayanya serta dapat

(48)

107

DAFTAR PUSTAKA

Barton, Greg. 2003. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LkiS

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi Revisi). Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Budiman, Hikmat. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia.

Jakarta: The Interseksi Foundation-TIFA

Depdikbud. 1989. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT. Citra Adipustaka

Dhakiri, M. Hanif. 2010. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LKIS

Dwipayana, G dan R. K. Hadimadja. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan

Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada

GANDI. 1998. Profil Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI). Jakarta:

Sekertariat GANDI. Halaman 6-8

Haris, Syamsuddin (ed). 2007. Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi

Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press

Haryatmoko. 1998. Dimensi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan & Diskriminasi.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hassan, Shadily. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve

Hugiono dan Poerwanta. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta

Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Miles, Mathew G. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.

Jakarta: Universitas Indonesia

Nawawi, Hadari. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Gadjah Mada

(49)

108

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Notosusanto, Nugroho. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:

Inti Idayu Press

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Poerwadarminta, W. J. S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka

Kristan. 2010. Bangga Menjadi Seorang Kong Hu Cu. Jakarta: Generasi muda

Kong Hu Cu Indonesia

Kusumaatmadja, Sarwono. 2007. Politik dan Hak Minoritas. Jakarta: Koekoesan

Kusumah, Suriah, dkk. 1986. Kewargaan Negara. Jakarta: Karunika

M, Moch. Sa’dun (ed). 1999. Pri-NonPri Mencari Format Pembauran. Jakarta:

Pustaka Cidesindo

Rifai, Muhammad. 2010. Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta:

Garasi House of Book

Sayuti, Husin. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung

Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA

Suhandinata, Justian. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi

dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sulistyo, Hermawan dkk (ed). 2010. Sejuta Gelar untuk Gus Dur. Jakarta:

Pensil-324

Surachmad, Winarno. 1984. Ilmiah Dasar, Metode Pengantar Penelitian dan

Teknik. Bandung: Tarsito

Suryabrata, Sumardi. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers

---. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:

Lp3ES

---. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah

(50)

109

Syaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdalla. 2008. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LkiS

Taher, Elza Peldi. 2009. Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70

Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia

Ujan, Andre Ata, dkk. 2009. Multikulturalisme; Belajar Hidup dalam Perbedaan.

Jakarta: PT Indeks

Wahid, Abdurrahman. 2005. Gus Dur Bertutur. Jakarta: Proaksi

Waskito, Abu Muhammad. 2010. Cukup 1 Gus Dur Saja!. Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar. Halaman 28

Wibowo, I (ed). 1999. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

---. 2001. Harga yang Harus Dibayar; Sketsa Pergulatan Etnis Cina

di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wibowo, I & Thung Ju Lan (ed). 2010. Setelah Air Mata Kering; Masyarakat

Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas

Sumber Lain :

Abdurrahman Wahid dalam Tempo, 19 Desember 1981

Abdurrahman Wahid “Beri Jalan Orang Cina”. Majalah Editor No.33, 21 April

1990. Ruang Forum, Jakarta.

Abdurrahman Wahid “Kelompok keturunan Harus Berusaha Masuk Profesi

Lain”. Harian Kompas, 24 Mei 1991

Abdurrahman Wahid “Persamaan Pandangan akan Percepat Pembauran antar

etnis”. Harian Kompas, 8 Juli 1991

Abdurrahman Wahid. Majalah Tempo, tahun 2000

Harian Kompas, 18 Maret 2000

Hurek dalam http://hurek.blogspot.com/2007/08/bingky-irawan-pejuang-

konghuchu.html

Referensi

Dokumen terkait

(1) nilai humanitarianisme Abdurrahman Wahid dibangun atas tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu: kesadaran diri yang meliputi nilai empati, solidaritas, dan toleransi;

Di tengah pro-kontra atas formalisasi hukum Islam di atas, Abdurrahman Wahid (1940-2010) atau yang akrab disapa Gus Dur merupakan intelektual muslim yang

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan fungsi advokasi DPD Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (DPD SBSI 1992) dalam memperjuangkan hak-hak

Dalam skripsi tersebut memberikan wajah baru Islam yang melahirkan pemikiran pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid dan neo- modernisme Islam Nurcholis Majid secara

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Dinamika dan Peran Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dalam Memperjuangkan Hak-hak Buruh di Surakarta Tahun

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis,

ini berupaya mengurai pendekatan, metode, pemikiran dan gerakan dakwah multikultural Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendakwahkan Islam dengan ramah, damai

Jadi Menurut Abdurrahman Wahid ada beberapa alasan mengapa Islam disebut sebagai agama demokrasi : Pertama, Islam adalah agama hukum, artinya agama Islam berlaku