ii
K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS
DI INDONESIA
(Abstrak)
Oleh
RIA ANGGRAINI
Ketika rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menetapkan kebijakan menyangkut eksistensi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia salah satunya ialah minoritas etnis Tionghoa yang diharuskan membaur dalam masyarakat. Kebijakan yang disertai dengan dikeluarkannya berbagai peraturan terkait segala aspek kehidupan minoritas etnis Tionghoa, membuat sebagian besar masyarakat Tionghoa kesulitan memperoleh hak sipil-politiknya. Karenanya untuk memulihkan hak sipil-politik minoritas etnis Tionghoa, K. H. Abdurrahman Wahid melalui berbagai pemikiran dan tindakannya secara konsisten melakukan usaha-usaha untuk memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa. Usaha tersebut dilakukan Abdurrahman Wahid baik sebelum maupun ketika ia menjabat sebagai presiden RI, hal itu dimaksudkan agar minoritas etnis Tionghoa dapat diakui keberadaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apa sajakah usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui usaha-usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian historis dengan teknik pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan dan teknik dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif.
iii
kolom, dan pemberian dukungan moral kepada individu dan kelompok minoritas etnis Tionghoa yang sedang mengalami permasalahan. Serangkaian usaha itu kemudian berlanjut ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden RI ke-4 menggantikan B. J. Habibie. Pada masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid mengembangkan wacana multikulturalisme yang mendorong diakuinya eksistensi budaya etnis Tionghoa. Selain itu, presiden Abdurrahman Wahid menetapkan kebijakan-kebijakan bagi etnis Tionghoa, meliputi: pertama, penghapusan Inpres No. 14 tahun 1967 melalui Keppres No. 6 tahun 2000 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Kedua, mengakui kembali eksistensi agama Kong Hu Cu dengan mengeluarkan SE Mendagri No. 477/805/SJ tahun 2000. Ketiga, penghapusan berbagai larangan penerbitan buku/majalah dalam bahasa dan aksara Tionghoa. Keempat, penetapan Imlek sebagai hari libur fakultatif melalui SK Menteri Agama No. 13 tahun 2001 yang dilanjuti dengan dikeluarkannya SK Menteri Agama No. 14 tahun 2001.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa usaha Abdurrahman Wahid memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia yang dilakukannya baik sebelum dan ketika ia menjabat sebagai presiden meliputi penyebarluasan pemikiran melalui tulisan, pemberian dukungan moral, pengembangan wacana multikulturalisme, dan penetapan kebijakan terhadap etnis Tionghoa pada akhirnya berhasil memulihkan hak sipil-politik minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.
iv
K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS
DI INDONESIA
Oleh
RIA ANGGRAINI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
i
K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK MINORITAS
DI INDONESIA
(Skripsi)
Oleh
RIA ANGGRAINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
xiv
C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7
1. Tujuan Penelitian ... 7
2. Kegunaan Penelitian ... 7
3. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA ... 10
xv
1.4 Pembatasan Hak Sipil-Politik Minoritas Etnis Tionghoa Masa
Orde Baru ... 51
2. Usaha-Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis Tionghoa di Indonesia ... 57
2.1 Sebelum Menjabat Sebagai Presiden ... 57
2.1.1 Penyebarluasan Pemikiran Melalui Tulisan ... 57
2.1.2 Pemberian Dukungan Moral ... 62
2.2 Ketika Menjabat Sebagai Presiden ... 71
2.2.1 Pengembangan Wacana Mengenai Multikulturalisme... 71
2.2.2 Penetapan Kebijakan Bagi Etnis Tionghoa ... 75
2.2.2.1 Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 Percetakan dalam Bahasa dan Aksara Tionghoa ... 84
2.2.2.4 Penetapan Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif ... 87
B. PEMBAHASAN ... 91
1. Usaha-Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis Tionghoa di Indonesia ... 91
1.1 Sebelum Menjabat Sebagai Presiden ... 91
1.1.1 Peyebarluasan Pemikiran Melalui Tulisan ... 91
1.1.2 Pemberian Dukungan Moral ... 92
1.2 Ketika Menjabat Sebagai Presiden ... 95
1.2.1 Pengembangan Wacana Mengenai Multikulturalisme.... 95
1.2.2 Penetapan Kebijakan Bagi Etnis Tionghoa ... 96
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 104
A. Simpulan ... 104
B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kumpulan Pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai Minoritas Etnis Tionghoa yang Dituangkan dalam Bentuk Tulisan
2. Artikel yang Ditulis oleh Abdurrahman Wahid mengenai Minoritas Etnis Tionghoa
3. Pandangan Abdurrahman Wahid Mengenai Proses Pembauran
4. Pengakuan Abdurrahman Wahid terhadap Eksistensi Etnis Tionghoa sebagai Wujud Multikulturalisme yang Dikembangkannya
5. Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa
6. Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 tentang Penghapusan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 mengenai Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa
7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/805/Sj tahun 2000 tentang Penghapusan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054 tahun 1978 tentang Pengisian Kolom Agama
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 62/MPP/Kep/02 tahun 2001 tentang Perubahan Lampiran 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur dalam Tata Niaga Impor
9. Media Bersegmentasi Orang Tionghoa yang Berkembang Pasca
Dihapuskannya Peraturan Mengenai Larangan Penerbitan dalam Bahasa dan Aksara Tionghoa
10. Keputusan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 14 tahun 2001 tentang penetapan Tanggal Perayaan Hari Raya Imlek tahun 2001
xvii
13. Gambar Abdurrahman Wahid Ketika Mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden tanggal 20 Oktober 1999
14. Gambar Presiden Abdurrahman Wahid Meninggalkan Istana Negara 15. Gambar Abdurrahman Wahid Bersama Warga Negara Indonesia
Keturunan Tionghoa Saat Menerima Penghargaan sebagai Bapak Tionghoa
16. Gambar Abdurrahman Wahid Ketika Menjadi Pembicara dalam Diskusi mengenai Pendayaan Potensi Etnis Tionghoa sebagai Komponen Bangsa
viii
MOTTO
Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh sesuatu selain apa yang telah diusahakannya
(QS. An-Najm (53): 39)
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak
akan sampai setinggi gunung
vi
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Drs. Iskandar Syah, M.H. ………
Sekretaris : Drs. Syaiful. M, M.Si. ………
Penguji
Bukan Pembimbing : Drs. Maskun, M.H. ………
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si. NIP. 19600315 198503 1 003
xiii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah : nama : Ria Anggraini
NPM : 0713033041 program studi : Pendidikan Sejarah
jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
alamat : Jl. Srimulyo 1 No. 09 Natar, Lampung Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Bandar Lampung, Februari 2012
ix
PERSEMBAHAN
Seiring sujud syukur hamba kepada Allah SWT serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, ku persembahkan karya sederhana ini
untuk orang-orang yang sangat berharga dalam hidupku
Kedua orang tua tercinta yang selama ini telah berjuang tanpa lelah, memberi tanpa harap serta do’a yang tiada henti dalam setiap hembusan
nafasnya demi cita dan asaku.
Kakak dan Adik-adikku tersayang yang dengan cinta dan kasih kalian selalu mendukung dan mendo’akanku.
v
Judul Skripsi : K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM
MEMPERJUANGKAN HAK KELOMPOK
MINORITAS DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Ria Anggraini Nomor Pokok Mahasiswa : 0713033041 Program Studi : Pendidikan Sejarah
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Iskandar Syah, M.H. Drs. Syaiful. M, M.Si. NIP. 19571011 198703 1 001 NIP. 19610703 198503 1 004
2. Mengetahui
Ketua Jurusan Pendidikan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Sosial Pendidikan Sejarah
Drs. Iskandar Syah, M.H. Drs. Maskun, M.H.
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 31 Desember
1989. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari
pasangan Bapak Heriono dan Ibu Sri Mahdalena.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal Sekolah Dasar di SDN 1 Penengahan
Tanjung Karang selesai pada tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Bandar Lampung selesai pada tahun
2004, dan Sekolah Menengah Umum di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Model
Bandar Lampung selesai pada tahun 2007.
Pada tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Lampung
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis
menyelesaikan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP 6 Bandar
x
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
K. H. ABDURRAHMAN WAHID DALAM MEMPERJUANGKAN HAK
KELOMPOK MINORITAS DI INDONESIA.
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang tulus dan penghargaan kepada :
1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. M. Thoha B. S. Jaya, M.S. selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
3. Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si. selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
4. Bapak Drs. Hi. Iskandar Syah, M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dan selaku
Pembimbing I sekaligus Pembimbing Akademik yang telah bersedia
xi
arahan, dukungan dan saran-saran kepada penulis dalam upaya penyelesaian
tulisan ini.
5. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
6. Bapak Drs. Syaiful, M, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktunya dan ketersediaannya untuk memberikan masukan,
bimbingan, arahan, ilmu, saran-saran, kritik, dan motivasi dalam proses
pengerjaan tulisan ini.
7. Bapak Drs. Maskun, M.H. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dan selaku
Penguji yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan dalam
upaya penyelesaian tulisan ini.
8. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung yang telah membimbing penulis selama
menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah.
9. Ayahku Heriono dan Mamakku Sri Mahdalena yang selalu mengiringi
perjalanan hidupku dengan do’a, kasih sayang, nasehat serta selalu memberi
motivasi untuk keberhasilanku.
10. Mbah Ijo’ dan Mbah Wedo’ yang selalu memberikan kasih sayang dan
motivasi untuk keberhasilanku.
11. Mamas ku Rangga Saputra dan Adik-adikku Deni Prakoso dan Erna
Febriani yang selalu berdo’a dan memperhatikanku, senyum, amarah dan
canda kalian menjadi semangat dalam menjalani hari-hari ku yang tak selalu
xii
12. Mbak Yati dan Mbak Yani yang selalu bersedia menemani ke tempat yang
ku tuju dan motivasi untuk keberhasilanku.
13. Sahabat-sahabat terbaikku, Novia, Ericka, Dila, Neni, Era, terima kasih
sahabat untuk semua kebersamaan kita yang tidak akan pernah bisa terulang
dan kesetiaan kalian yang selalu ada di saat suka dan duka ku.
14. Teman-temanku angkatan ’07, Aan, Koko, Benk, Erwin, Ardi, Ago, Mega,
Ririn, Ui, Gris, Mimi, Pipit, Apri, Arlen, Ina, Meli, Desi, Yana, Dinar,
Nining, Binti, Yessi, Diaz, Upik, Shiro, Nunik, Okta, Anis, Tia, Nuraini,
Farah, Tami, Yogi, Juli, Nine, Wahyu, Togar, Hendra dan seluruh anak 07
NR terima kasih atas kebersamaan yang dihadirkan selama ini.
15. Kakak-kakak tingkatku Mbak Iis, Mbak Win, Mbak Ara, Mbak Tessa, Mbak
Desna, Mbak Desta, Kak Hendri, Kak Deka terima kasih atas bantuan dan
dukungan yang sangat berarti bagi ku.
16. Teman-teman PPL ku di SMP 6 Bandar Lampung, Andi, Palupi, Mb Casi,
Zul, Sesil, Maya, Ayu, Winda, Mega dan Firman, terima kasih untuk
pengalaman yang telah kalian berikan.
17. Semua Pihak yang telah membantu hingga terselesainya tulisan ini.
Hanya Allah SWT yang akan membalas kebaikan yang telah kalian berikan.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bermanfaat bagi yang
membacanya. Amin.
Bandar Lampung, Februari 2012
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok
minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai
kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam
masyarakat serta memiliki karakteristik etnis, agama, bahasa dan ikatan kultural
berbeda dari mayoritas penduduk (Kusumaatmadja, 2007: 5). Pada masa
pemerintahan Orde Baru (1966-1998) pemerintah menetapkan kebijakan yang
ditujukan agar kelompok minoritas berbaur dalam identitas kebudayaan
masyarakat mayoritas. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk identitas nasional
berdasarkan identitas budaya mayoritas masyarakat Indonesia.
Kebijakan tersebut direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan yang cenderung membatasi hak-hak kelompok minoritas untuk
menjalankan identitas mereka. Kondisi demikian nampak terjadi pada kelompok
minoritas agama dan kepercayaan lokal. Pada tahun 1978, pemerintah
memberikan pendefinisian mengenai ”agama resmi dan tidak resmi”.
Pendefinisian ini muncul dalam bentuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.
2
ialah agama Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Budha (Taher(ed),
2009: 339).
Dengan adanya surat edaran tersebut, maka agama minoritas seperti Kong Hu Chu
dan kepercayaan lokal masyarakat tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah.
Pemerintah justru menganjurkan penganut agama minoritas dan kepercayaan di
luar agama resmi untuk menganut salah satu dari agama yang diakui pemerintah.
Kondisi demikian berdampak pada hak sipil-politik masyarakat penganut agama
minoritas dan kepercayaan lokal yang tetap menganut kepercayaannya. Mereka
kesulitan mengakses pencatatan pernikahan, ketidakbebasan dalam penulisan
kolom agama sesuai dengan kepercayaan yang dianut, dan sebagainya.
Hal serupa dialami pula oleh kelompok minoritas etnis Tionghoa. Keberadaan
minoritas etnis Tionghoa di nusantara seringkali dianggap sebagai sebuah
masalah. Etnis Tionghoa dipandang sebagai kelompok eksklusif yang memisahkan
diri dari pribumi dan tidak mau berbaur dalam masyarakat Indonesia, terlebih lagi
ada kecurigaan bahwa etnis Tionghoa terlibat dalam pemberontakan partai
komunis 1965. Karenanya untuk mengatasi masalah Cina sekaligus membaurkan
etnis Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, pemerintah Orde Baru memutuskan
untuk menerapkan kebijakan asimilasi bagi orang-orang Tionghoa yang berada di
Indonesia baik itu Tionghoa totok maupun Tionghoa peranakan yang hakikatnya
telah berbaur dengan masyarakat.
Agar proses asimilasi berjalan cepat dan efektif, pemerintah mengeluarkan
peraturan-peraturan terkait kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam hal ini
3
berjudul ”Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina” menyatakan bahwa
terdapat sejumlah peraturan yang telah ditetapkan pemerintah berkenaan
kelompok Tionghoa, meliputi:
− Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12 tahun 1966 mengenai
pergantian nama, dalam hal ini pemerintah menganjurkan bagi warga keturunan yang masih menggunakan nama Tionghoa untuk segera mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia.
− Penutupan semua sekolah berbahasa Tionghoa dan pelarangan
penerbitan majalah maupun surat kabar yang menggunakan aksara Cina.
− Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia No.
SE-06/PresKab/6 tahun 1967. Surat tersebut memutuskan untuk melarang penggunaan kata ”Tionghoa” dan menggantikannya dengan kata ”Cina”.
− Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan
dan adat istiadat keturunan Cina.
− Keputusan Presiden No. 240 tahun 1967 mengenai kebijakan pokok
yang menyangkut WNI keturunan asing.
− Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6 tahun 1967 mengenai
kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina (Wibowo, 1999: 4).
Dengan adanya berbagai peraturan ini secara langsung maupun tidak, pemerintah
Orde Baru memberikan pembatasan-pembatasan bagi etnis Tionghoa untuk
menjalankan aspek kehidupannya di luar aspek ekonomi. Kebijakan pemerintah
yang cenderung membatasi kegiatan etnis Tionghoa membuat etnis Tionghoa
kesulitan untuk memperoleh hak sipil-politiknya.
Banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang memberikan
pembatasan atas aktivitas kelompok minoritas baik itu minoritas agama maupun
minoritas etnis Tionghoa, salah satunya ialah K. H. Abdurrahman Wahid. K. H.
Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU mulai
bersikap kritis atas kebijakan-kebijakan Soeharto yang kurang berpihak pada
4
Sikap kritis tersebut ditunjukan Abdurrahman Wahid secara nyata dengan
melakukan berbagai usaha guna memperjuangkan hak kelompok minoritas
agama. Usahanya tersebut meliputi pembentukan Forum Demokrasi yang
dimaksudkan untuk meminimalisir berkembangnya sektarian dalam agama,
pengadaan dialog antarumat beragama, pemberian perlindungan bagi kelompok
agama minoritas dalam menjalankan kegiatan keagamaannya, seperti halnya yang
ia lakukan kepada penganut agama Kristen di Situbondo, Jawa Timur ketika
terjadi peristiwa kerusuhan tanggal 10 Oktober 1996. Pasca kerusuhan
Abdurrahman Wahid menciptakan jejaring muda NU guna mencegah teror lebih
lanjut dengan mengorganisir patroli keamanan di gereja-gereja. (Sulistyo,
dkk(ed), 2010: 232), Abdurrahman Wahid juga turut serta membantu jemaat
gereja membangun kembali tempat peribadatan yang rusak.
Selain itu Abdurrahman Wahid juga melakukan serangkaian usaha untuk
memperjuangkan hak-hak minoritas etnis Tionghoa yang dibatasi pemerintah
guna mempercepat pembauran, usaha tersebut diwujudkan melalui
pemikiran-pemikiran mengenai minoritas etnis Tionghoa yang dituangkannya dalam tulisan
di berbagai surat kabar dan melalui pemberian dukungan moral yang ditujukan
kepada individu dari minoritas etnis Tionghoa yang tengah menghadapi kesulitan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pemerintah Orde Baru tumbang dan digantikan dengan
B. J. Habibie. Namun tampuk pemerintahan B. J. Habibie tidak berlangsung lama,
melalui SU MPR hasil pemilu 1999 terpilihlah K. H. Abdurrahman Wahid
5
kesempatan bagi kelompok-kelompok minoritas untuk memperoleh kesetaraan
atas hak-haknya.
Pada masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid tetap menunjukan
konsistensinya untuk melakukan usaha memperjuangkan hak kelompok minoritas
agar memperoleh kesetaraan. Terhadap minoritas etnis Tionghoa, usahanya
tersebut diwujudkan dengan penghapusan kebijakan asimilasi dan
mengembangkan wacana mengenai multikulturalisme, serta menetapkan berbagai
kebijakan yang ditujukan bagi minoritas etnis Tionghoa.
Pada masa pemerintahannya pula Abdurrahman Wahid melakukan usaha
memperjuangkan hak perempuan Indonesia yang merupakan minoritas dalam
kehidupan politik. Perempuan di seluruh dunia secara kuantitatif merupakan
mayoritas, namun dari segi status, partisipasi dalam politik, dan prospek hidup
diperlakukan sebagai minoritas (Tan, 2008: 266). Usaha Abdurrahman Wahid
tersebut direalisasikan dengan penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT) yang kemudian disahkan pada masa pemerintahan
Megawati. Ia juga melakukan perlawanan terhadap fatwa haram bagi perempuan
mengenai kepemimpinan seorang perempuan dalam pemerintahan dan sebagai
pembuktian atas perlawanannya itu, serta penerapan kebijakan affirmative action
bagi perempuan dalam bidang politik. Dengan begitu, kaum perempuan memiliki
kesempatan yang lebih untuk memiliki peranan dalam politik di Indonesia.
Serangkaian usaha yang dilakukan K. H. Abdurrahman Wahid dalam rangka
memperjuangkan hak kelompok minoritas yang ada di Indonesia baik itu
6
kehidupan politik merupakan bentuk kepeduliannya terhadap keberagaman dan
kepeduliannya pada kesetaraan setiap masyarakat. K. H. Abdurrahman Wahid
berusaha dengan sekuat tenaga untuk memulihkan hak-hak kelompok minoritas
agar hak tersebut tetap dilindungi dan dijamin oleh negara berdasarkan yang
tercantum dalam UUD 1945.
B. Analisis Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang dapat
diambil adalah sebagai berikut :
1. Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas
agama di Indonesia.
2. Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis
Tionghoa di Indonesia.
3. Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak kaum
perempuan sebagai minoritas dalam kehidupan politik di Indonesia.
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang dibahas kajiannya tidak terlalu meluas, maka penulis
membatasi masalah ini pada Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam
memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan adanya
pembatasan masalah tersebut, diharapkan dalam penyusunan penelitian ini dapat
7
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah : “Apa sajakah usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan
hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia?”
C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara teoritis tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
apasaja usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas
etnis Tionghoa di Indonesia.
2. Kegunaan Penelitian
a. Bagi peneliti, para pembaca maupun pihak lainnya hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai
Usaha K. H. Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak Minoritas
Etnis Tionghoa di Indonesia.
b. Sebagai suplemen bahan ajar pada mata pelajaran sejarah di SMA kelas XII
8
3. Ruang Lingkup Penelitian
1. Objek Penelitian : Usaha dalam Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis
Tionghoa
2. Subjek Penelitian : K.H. Abdurrahman Wahid
3. Tempat Penelitian : Perpustakaan Daerah Lampung dan Perpustakaan
Universitas Lampung
4. Waktu Penelitian : Tahun 2011
5. Temporal : Tahun 1990-2001
9
REFERENSI
Sarwono Kusumaatmadja. 2007. Politik dan Hak Minoritas. Jakarta: Koekoesan. Halaman 5
Elza Peldi Taher (ed). 2009. Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Kompas. Halaman 339
I Wibowo (ed). 1999. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 4
Hermawan Sulistyo dkk (ed). 2010. Sejuta Gelar untuk Gus Dur. Jakarta: Pensil-324. Halaman 232
Mely G Tan. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan. Jakarta:
10
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR
DAN PARADIGMA
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Usaha K. H. Abdurrahman Wahid
Usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dapat
pula dikatakan bahwa usaha adalah sebuah pengharapan yang dilakukan dengan
berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, usaha diartikan sebagai kegiatan dengan
mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk mencapai maksud, pekerjaan,
perbuatan prakarya dan daya upaya untuk mencapai sesuatu (Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, 1990: 997). Menurut W. J. S. Poerwadarminta, usaha
merupakan segala kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk
mencapai suatu maksud (Poerwadarminta, 1985: 1136).
Berdasarkan pendapat di atas, maka usaha adalah segala sesuatu yang dilakukan
oleh individu dengan mengerahkan tenaga, pikiran maupun badan untuk mencapai
suatu tujuan serta menghasilkan sesuatu yang diharapkan.
K. H. Abdurrahman Wahid merupakan sosok tokoh yang unik dan bersifat
multidimensi baik di dalam lingkungan kulturalnya sendiri yaitu Nahdatul Ulama
11
yang tepat untuk ditujukan pada figur Abdurrahman Wahid. Kekontroversiannya
setidaknya muncul karena banyaknya kemampuan yang dimilikinya serta karakter
yang berbeda dari manusia kebanyakan. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmad
Suaedy dan Abdalla dalam bukunya Gila Gus Dur, Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid:
Dalam pandangan kami, K. H. Abdurrahman Wahid setidaknya mempunyai tiga wajah yang menonjol: sebagai tokoh agama, budayawan, dan politisi. Ketiga peran itu dimainkan secara bergantian dalam kurun waktu yang sama. Ketika berada di tengah komunitas NU, dia berperan sebagai ulama sekaligus ketua PBNU. Ketika berada di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dia berperan sebagai budayawan. Ketika bertemu dengan Megawati, B. J. Habibie, Wiranto dan tokoh politik lainnya, maka saat itu Wahid dikatakan sedang memainkan peran politisi (Suaedy dan Abdalla, 2008: 1).
Selain sebagai tokoh muslim Indonesia, budayawan dan pemimpin politik, K. H.
Abdurrahman Wahid merupakan sosok pejuang pluralisme dan humanisme yang
memiliki konsistensi dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan
akan nilai-nilai kemanusiaan terlihat ketika ia memerhatikan nasib kalangan kecil
yang tertindas, termasuk kelompok minoritas (Rifai, 2010: 4).
Menurut Hermawan Sulistyo, dkk (ed) dalam bukunya yang berjudul Sejuta Gelar
Untuk Gus Dur, K. H. Abdurrahman Wahid adalah pejuang pluralisme dan
multikulturalisme. Beliau selama ini berusaha memperjuangkan hak-hak kaum
minoritas baik dalam segi sosial budaya maupun hak dalam berpolitik (Sulistyo,
dkk (ed), 2010: 255).
Konsistensi K. H. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak kelompok
minoritas tertindas diwujudkannya melalui serangkaian usaha. Usahanya tersebut
12
hingga 2001. Akan tetapi, jauh sebelum ia memegang jabatan sebagai kepala
negara, K. H. Abdurrahman Wahid telah melakukan usaha memperjuangkan hak
kelompok minoritas baik minoritas agama, maupun minoritas etnis Tionghoa baik
melalui tindakan, pemikiran yang dituangkan dalan tulisan maupun dengan
pemberian dukungan moral.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa K. H. Abdurrahman
Wahid merupakan tokoh multidimensi yang tidak hanya berperan sebagai tokoh
agama, budayawan maupun politisi, Wahid juga berperan sebagai tokoh
humanisme yang memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas yang ada di
Indonesia untuk diperlakukan sesuai dengan haknya sebagai sesama warga negara
Indonesia.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka usaha K. H. Abdurrahman Wahid
dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa adalah segala sesuatu yang
dilakukan Abdurrahman Wahid baik sebelum dan ketika ia menjabat sebagai
presiden RI ke-4 melalui serangkaian pemikiran, pemberian dukungan moral,
pengembangan wacana, hingga penetapan kebijakan-kebijakan bagi etnis
Tionghoa yang pada akhirnya dapat memulihkan hak sipil-politik minoritas etnis
Tionghoa yang sempat dibatasi oleh berbagai peraturan pemerintah pada masa
Orde Baru.
2. Konsep Hak Minoritas
Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, hak adalah
13
tercantum dalam berbagai aturan dan perundang-undangan (Poerwadarminta,
1985 : 339). Sedangkan menurut Kusumah, hak secara definitif berarti kekuasaan
atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu hal (Kusumah, 1986: 122).
Berdasarkan pendapat di atas, maka hak ialah suatu kewenangan yang dimiliki
oleh seseorang untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah tercantum dalam
perundang-undangan.
Menurut Hassan Shadily dalam Ensiklopedi Indonesia, minoritas adalah
golongan-golongan dalam masyarakat yang dihadapan golongan-golongan yang
lebih kuat mempunyai kedudukan sosial yang lebih rendah, kekuasaan, martabat,
dan hak yang lebih sempit (Shadily, 1983 : 2257).
Menurut Jules Deschennes yang di kutip Hikmat Budiman dalam buku Hak
Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia menjelaskan bahwa kelompok
minoritas ialah:
Kelompok minoritas sebagai kelompok warga negara dalam jumlah kecil yang memiliki karakteristik etnis, agama atau bahasa yang berbeda dari mayoritas penduduk, tidak mempunyai posisi dominan dalam negara, memiliki solidaritas terhadap kelompok lain, mempunyai semangat kebersamaan untuk memperoleh kesetaraan dengan kelompok lain dan persamaan hak dihadapan hukum (Budiman, 2005: 10).
Maka minoritas merupakan suatu kelompok yang tidak dominan dalam suatu
negara, kelompok-kelompok tersebut memiliki karakteristik etnis, agama, dan
bahasa yang berbeda dari mayoritas penduduk. Walaupun sebagai minoritas yang
tidak dominan dalam masyarakat, mereka tetap memiliki hak-hak yang sama
dengan mayoritas penduduk. Pemerintah menjamin sepenuhnya hak-hak minoritas
14
Hak-hak minoritas tersebut tercantum pula dalam deklarasi PBB mengenai
perlindungan terhadap hak minoritas, meliputi:
1. Perlindungan negara terhadap eksistensi dan identitas suku, agama, budaya, dan bahasa mereka (Pasal 1)
2. Hak menikmati kebudayaan mereka, menganut dan menjalankan
agama dan menggunakan bahasa mereka sendiri baik dalam kelompok mereka maupun dalam masyarakat (Pasal 2 ayat 1)
3. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, dan publik (Pasal 2 ayat 2)
4. Hak turut serta dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi
mereka di tingkat nasional dan regional (Pasal 2 ayat 3)
5. Hak mendirikan dan memelihara perkumpulan-perkumpulan mereka
sendiri (Pasal 2 ayat 4)
6. Hak mempertahankan hubungan damai dengan anggota-anggota lain dalam kelompok mereka dan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas lain, baik dalam wilayah negara mereka sendiri maupun melampaui batas-batas negara (Pasal 2 ayat 5); dan 7. Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka tanpa diskriminasi, baik
secara perorangan maupun dalam masyarakat dengan anggota-anggota lain dalam kelompok mereka (Pasal 3)
(Kusumaatmadja, 2007: 11-12).
Dengan adanya deklarasi PBB mengenai hak minoritas, pemerintah wajib
melindungi dan menjamin kebebasan akan hak-hak minoritas dari segala macam
gangguan yang dapat membatasi atau menghilangkan hak tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hak minoritas merupakan
wewenang atau hak-hak yang dimiliki kelompok minoritas untuk mendukung
kehidupan kelompok minoritas baik itu minoritas agama maupun etnis dalam
menjalankan kehidupan mereka dan mencegah kemungkinan terjadinya
diskriminasi serta ancaman dari kelompok mayoritas. Hak minoritas yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah hak-hak yang dimiliki minoritas etnis
Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk menjalankan kehidupan
15
yang tercantum dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut erat kaitannya dengan hak
sipil-politik etnis Tionghoa sebagaimana yang tertuang dalam dasar konstitusi
negara RI.
3. Konsep Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa merupakan kelompok-kelompok sosial dan budaya yang
merupakan keturunan Cina yang tinggal di luar RRC dan Taiwan (Depdikbud,
1989 : 237). Menurut Leo Suryadinata, etnis Tionghoa merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebutkan orang-orang Tionghoa atau warga negara dataran
Cina yang bermukim di negeri asing (Suryadinata, 1999 : 15).
Kata Tionghoa adalah kata khas Indonesia yang tidak akan ditemukan dalam
masyarakat di negara-negara lain. Kata Tionghoa berasal dari kata Chung-Hwa
yang merupakan suatu gerakan masyarakat di akhir abad ke-19 untuk terlepas dari
belenggu kekuasaan Kerajaan di Cina dan membentuk suatu negara baru di
negara-negara lain termasuk Indonesia dengan melupakan negara Cina namun
tidak melupakan tradisi dan nilai-nilai luhur kebudayaan tempat di mana mereka
berasal.
Istilah Tionghoa mulai digunakan di Indonesia pada awal abad ke-20 untuk
menyebut rakyat Tiongkok, termasuk mereka yang berada di perantauan.
Tiongkok sendiri menggunakan istilah itu untuk menyebut bangsanya tetapi
dengan memakai istilah hua-ch’iao atau huakiauw dalam lafalan hokkian untuk
16
mengganti kata ” Cina ” yang memiliki konotasi negatif karena sering digunakan
dalam nada merendahkan.
Sama halnya dengan masyarakat Indonesia yang heterogen, minoritas etnis
Tionghoa di Indonesia juga merupakan minoritas yang heterogen. Menurut Leo
Suryadinata dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa dan Nasionalisme
Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, menyatakan:
Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen. Secara kultural mereka terbagi atas orang Tionghoa peranakan dan orang
Tionghoa totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang telah lama tinggal
di Indonesia dan umumnya telah berbaur dengan budaya dan masyarakat pribumi. Sedangkan Tionghoa totok merupakan pendatang baru yang masih menguasai bahasa Tiongkok dan belum terbaur dalam budaya masyarakat pribumi. Dalam hal agama, sebagian besar orang Tionghoa menganut Kong Hu Chu, Buddhisme, dan Tridharma namun banyak pula yang memeluk agama Katolik, Kristen, dan Islam. Dalam orientasi politik, ada yang pro Beijing atau pro Taipen tetapi lebih banyak lagi yang pro Jakarta. Dalam hal perekonomian, banyak yang berada pada lapisan ekonomi atas tetapi lebih banyak lagi yang berada pada lapisan ekonomi menengah (Suryadinata, 2010: 183-184).
Dengan demikian, etnis Tionghoa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang
berasal dari warga dataran Cina yang bermukim di negeri asing. Etnis Tionghoa
yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu kelompok masyarakat warga
keturunan Cina yang bermukim di Indonesia dan memiliki kekhasan budaya yang
berbeda dengan penduduk Indonesia serta memiliki hak-hak yang sama dengan
17
B. Kerangka Pikir
Pembatasan atas hak sipil-politik minoritas etnis Tionghoa guna mempercepat
proses asimilasi total membuat minoritas etnis Tionghoa kesulitan dalam
menjalankan aspek kehidupannya. Pembatasan tersebut tentunya bertentangan
dengan konstitusi UUD 1945 yang di dalamnya menjamin setiap aspek kehidupan
masyarakatnya. Atas dasar itulah, K. H. Abdurrahman Wahid yang saat itu
menjabat sebagai Ketua Umum PBNU turut melakukan serangkaian usaha untuk
memperjuangkan hak minoritas Tionghoa. Hal itu dilakukan K. H. Abdurrahman
Wahid karena ia memandang bahwa setiap kelompok masyarakat tanpa
memandang ras, etnis, agama, dan budayanya tak terkecuali minoritas etnis
Tionghoa merupakan warga negara yang wajib dijamin haknya oleh negara, ia
tidak setuju bila ada negara yang membatasi hak-hak warganya guna membaurkan
sebuah masyarakat ke dalam masyarakat lainnya.
Usaha Abdurrahman Wahid memperjuangkan hak minoritas Tionghoa telah
dirintis semenjak ia belum menjabat sebagai presiden. Pada tahun 1990
Abdurrahman Wahid mulai mengemukakan pemikiran mengenai minoritas
Tionghoa yang dituangkannya melalui tulisan. Selain dalam bentuk tulisan,
Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan moral yang ditujukannya
kepada individu ataupun masyarakat keturunan Tionghoa yang sedang
menghadapi permasalahan terkait hak-haknya.
Usaha Abdurrahman Wahid memperjuangkan hak minoritas Tionghoa berlanjut
ketika ia terpilih menjadi presiden RI ke-4 (1999-2001) menggantikan B. J.
18
wacana mengenai multikulturalisme dan menetapkan berbagai kebijakan bagi
etnis Tionghoa terkait eksistensi etnis Tionghoa dan budayanya di Indonesia.
Serangkaian usaha yang dilakukan Abdurrahman Wahid baik sebelum dan ketika
ia menjabat sebagai presiden diharapkan dapat memulihkan hak sipil-politik
minoritas etnis Tionghoa. Sehingga dengan begitu keberadaan etnis Tionghoa dan
haknya sebagai bagian bangsa dapat diakui oleh masyarakat mayoritas.
C. Paradigma
Keterangan :
: Garis Usaha
: Garis Hasil
K. H. Abdurrahman Wahid Memperjuangkan Hak Minoritas Etnis Tionghoa
Pulihnya Hak Sipil-Politik Minoritas Etnis Tionghoa
Sebelum Menjabat Sebagai Presiden :
1. Penyebarluasan Pemikiran Melalui Tulisan
2. Pemberian Dukungan Moral
19
REFERENSI
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 997
W. J. S. Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 1136
Ahmad Syaedy dan Ulil Abshar Abdalla. 2008. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LkiS. Halaman 1
Muhammad Rifai. 2010. Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta: Garasi House of Book. Halaman 4
Hermawan Sulistyo, dkk(ed). 2010. Sejuta Gelar Untuk Gus Dur. Jakarta: Pensil-324. Halaman 255
W. J. S. Poerwadarminta. 1985. Op Cit. Halaman 339
Suriah Kusumah, dkk. 1986. Kewargaan Negara. Jakarta: Karunika. Halaman 122
Hassan Shadily. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Halaman 2257
Hikmat Budiman. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation-TIFA. Halaman 10
Sarwono Kusumaatmadja. 2007. Politik dan Hak Minoritas. Jakarta: Koekoesan. Halaman 11-12
Depdikbud. 1989. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT. Citra Adipustaka. Halaman 237
Leo Suryadinata. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. Halaman 15
---. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah
20
III. METODE PENELITIAN
A. Metode yang digunakan
Penggunaan metode dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang penting, hal
ini dikarenakan metode merupakan faktor yang penting dalam memecahkan suatu
masalah bagi sebuah penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Husin Sayuti
bahwa metode merupakan suatu cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah kinerja yaitu cara kerja untuk memahami
obyek yang menjadi sasaran ilmu tersebut (Sayuti, 1989 : 32), sedangkan menurut
Surachmad metode adalah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai
tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan tehnik atau
alat-alat tertentu (Surachmad, 1984 : 121).
Berdasarkan kedua pengertian metode di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
metode adalah suatu cara ilmiah yang digunakan untuk memahami obyek yang
menjadi sasaran ilmu tertentu yang dapat menguji suatu kebenaran guna mencapai
tujuan yang diharapkan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
historis. Nugroho Notosusanto mengemukakan bahwa Metode Historis adalah
21
Metode historis merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa daripada hasil-hasilnya biasanya dalam bentuk tertulis (Notosusanto, 1984 : 11).
Menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Metode Penelitian Bidang Sosial,
menjelaskan:
Metode historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-peninggalan, baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lampau terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau suatu keadaaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu (Nawawi, 1983 : 68).
Sedangkan menurut Hugiono dan Poerwanta metode sejarah hendaknya diartikan
lebih luas, tidak hanya pelajaran mengenai analisis kritik saja melainkan juga
meliputi usaha sintesa daripada data yang ada sehingga menjadi penyajian dan
kisah sejarah yang dapat dipercaya (Hugiono dan Poerwanta, 1992 : 25).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah cara yang
digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan mengumpulkan fakta dan
data berupa arsip-arsip atau dokumen yang disusun secara sistematis dan evaluasi
yang objektif dari data yang berhubungan dengan kejadian masa lampau untuk
memahami kejadian atau keadaan baik masa lalu atau masa sekarang.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penelitian historis menurut
Nugroho Notosusanto meliputi :
1. Heuristik adalah proses mencari dan menemukan data-data atau sumber-sumber sejarah
2. Kritik adalah menyelidiki apakah jejak-jejak sejarah sejati baik isi maupun bentuknya
22
4. Historiografi adalah suatu kegiatan penulisan dalam bentuk laporan hasil penelitian
(Notosusanto, 1984 : 36).
Berdasarkan langkah-langkah penelitian historis diatas, maka langkah-langkah
penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah :
1. Heuristik
Peneliti mencoba mencari dan mengumpulkan data-data yang diperlukan
dan berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Pada tahap ini
peneliti melakukan pencarian terhadap sumber-sumber penelitian yang
dapat berupa buku, majalah, koran, arsip, maupun dokumen-dokumen
yang akan dijadikan referensi dalam melakukan penelitian.
2. Kritik
Setelah data terkumpul, kegiatan peneliti selanjutnya adalah melakukan
kritik terhadap sumber-sumber yang telah didapat untuk menguji apakah
data yang diperoleh tersebut valid dan dapat menunjang kegiatan
penelitian yang akan dilaksanakan. Kritik yang diberikan dapat berupa
kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal bertujuan untuk meneliti
kebenaran isi dari sumber yang telah didapat. Sedangkan kritik eksternal
bertujuan untuk melihat apakah data yang didapat tersebut asli atau palsu.
3. Interpretasi
Pada tahap ini peneliti melakukan penafsiran terhadap data-data yang telah
didapatkan. Interpretasi dilakukan sebagai upaya untuk merangkaikan
fakta-fakta yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan
23
4. Historiografi
Pada tahap terakhir ini dilakukan perangkaian fakta sejarah, konsep dan
generalisasi sesuai dengan prosedur penulisan sejarah yang sistematis
dalam bentuk laporan penelitian.
B. Variabel Penelitian
Menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini dalam bukunya Penetapan Terapan
yang dimaksud dengan variabel adalah beberapa gejala yang berfungsi sama
dalam suatu masalah (Nawawi dan Martini, 1996 : 49). Sedangkan menurut
Sumardi Suryabrata variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek
pengamatan penelitian atau faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau
gejala yang diteliti (Suryabrata, 2000 : 72).
Suatu variabel terdiri dari satu atau lebih gejala yang mungkin terjadi dari
beberapa aspek yang tidak dapat dipisahkan. Aspek atau fungsi tersebut
menentukan fungsi variabel sehingga salah satu diantaranya pada variabel yang
memiliki lebih dari satu aspek akan mempengaruhi fungsinya terhadap masalah
yang akan diselidiki. Pada awal perencanaan kegiatan secara jelas menunjukkan
bahwa variabel-variabel yang ada harus dipisahkan untuk membedakan perubahan
yang ada. Hal ini bertujuan sebagai strategi untuk memudahkan kita melihat
perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat kabur.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka variabel adalah sesuatu yang
menjadi obyek atau perhatian dalam penelitian. Variabel yang digunakan dalam
24
Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di
Indonesia. Penggunaan variabel tunggal bertujuan untuk memudahkan peneliti
dalam merumuskan objek atau inti dari penelitian yang hanya terdiri dari satu
objek penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan salah satu tahapan penting dari penelitian,
karena itu diperlukan teknik pengumpulan data yang tepat dan relevan sehingga
data-data yang diperoleh dapat sesuai dengan sasaran utamanya yaitu menjawab
permasalahan dalam penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Teknik Studi Kepustakaan
Teknik studi kepustakaan mempelajari buku-buku yang ada relevansinya dengan
masalah yang akan diteliti. Dengan demikian dapat memperluas pengetahuan
dalam menganalisa permasalahan. Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan
data dari berbagai informasi yang berupa teori-teori, generalisasi, ataupun
konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Koentjaraningrat dalam bukunya Metode-Metode Penelitian mendefinisikan
teknik kepustakaan sebagai berikut:
25
Teknik kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca, mempelajari serta menelaah
buku-buku untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan data dengan teknik
kepustakaan adalah memahami sistem yang digunakan agar mudah ditemukan
buku-buku yang dapat menunjang dan berkaitan erat dengan topik penelitian yang
sedang dibahas sehingga diperoleh data yang mempertajam orientasi dan dasar
teoritis tentang masalah pada penelitian ini.
2. Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan cara mengumpulkan data melalui
peninggalan-peninggalan tertulis yang berupa arsip-arsip dan juga buku-buku tentang
pendapat, teori, dalil atau hukum lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian (Nawawi, 1993: 133).
Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data masa lampau dan data
masa sekarang, sebab bahan-bahan dokumentasi memiliki arti metodelogis yang
sangat penting dalam penelitian masyarakat yang mengambil orientasi historis.
Dalam hal ini peneliti tidak terbatas pada literatur-literatur ilmiah, tetapi juga
merujuk pada sumber lain seperti majalah, koran, foto-foto, dan lain-lain yang
relevan dengan masalah yang akan dibahas peneliti yaitu usaha K. H.
Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa di
26
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
data deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan bentuk penelitian
yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam
keadaan yang sewajarnya dan sebagaimana adanya (Nawawi, 1993 : 174). Teknik
analisis data kualitatif lebih mewujudkan kata-kata daripada deretan angka-angka
yang senantiasa menjadi bahan utama bagi ilmu-ilmu sosial.
Penggunaan data kualitatif lebih memudahkan peneliti untuk mengikuti dan
memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup
pikiran orang-orang setempat serta memperoleh penjelasan yang banyak dan
bermanfaat (Miles dan Huberman, 1992: 77).
Tahapan-tahapan dalam proses analisis data kualitatif menurut Miles dan
Huberman meliputi :
1. Reduksi Data
Reduksi data yaitu sebuah proses pemilihan, pemuatan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan di lapangan. Pada tahap ini peneliti membuat analisis yang tajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu serta mengorganisasikan data sampai akhirnya bisa menarik sebuah kesimpulan. 2. Penyajian Data
Data yang dibatasi sebagai kumpulan informasi tersusun, memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam tahap penyajian data, peneliti mencoba untuk menyajikan data tersebut agar mudah dipahami apa yang terjadi dan yang harus dilakukan sehingga tindakan yang diambil sesuai dengan pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut.
3. Verifikasi data
27
REFERENSI
Husin Sayuti. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung. Halaman 32
Winarno Surachmad. 1984. Ilmiah Dasar, Metode Pengantar Penelitian dan Teknik. Bandung: Tarsito. Halaman 121
Nugroho Notosusanto. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:
Inti Idayu Press. Halaman 11
Hadari Nawawi. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Gadjah Mada.
Halaman 68
Hugiono dan Poerwanta. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman 25
Nugroho Notosusanto. 1984. Op Cit. Halaman 36
Hadari Nawawi dan Mimi Martini. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 49
Sumardi Suryabrata. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Halaman 72
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Halaman 420
Hadari Nawawi. 1993. Metode Penelitian. Jakarta: Idayu Press. Halaman 133
Ibid. Halaman 174
Mathew G. Miles dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 77
104
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan data-data yang diuraikan dalam hasil dan pembahasan maka kita
mengambil beberapa kesimpulan berkaitan dengan usaha K. H. Abdurrahman
Wahid dalam memperjuangkan hak minoritas etnis Tionghoa adalah sebagai
berikut :
1. Sebelum menjabat sebagai presiden, usahanya tersebut diantaranya
dengan penyebarluasan pemikiran melalui tulisan baik dalam bentuk
artikel mapun kolom di beberapa surat kabar mengenai pemberian
ruang gerak bagi etnis Tionghoa dalam berbagai aspek di samping
bidang ekonomi. Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan
moral kepada individu maupun kelompok etnis Tionghoa yang
tertindas. Dukungan moral diwujudkan Abdurrahman Wahid dengan
menghadiri dan menjadi saksi dari penggugat dalam kasus gugatan
Budi Wijaya dan Lany Guito terhadap KCS Surabaya karena penolakan
pencatatan perkawinan berdasar agama Kong Hu Cu. Bentuk dukungan
moral Abdurrahman Wahid terhadap minoritas etnis Tionghoa terutama
mereka yang tertindas ditunjukan kembali melalui pendirian LSM
105
tanggal 6 November 1998 bersama dengan pengusaha WNI keturunan
Tionghoa.
2. Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, ia tetap
menunjukan konsistensinya dalam melakukan usaha memperjuangkan
hak minoritas Tionghoa, meliputi; pengembangan wacana
multikulturalisme yang memberikan pengakuan atas keberadaan etnis
Tionghoa ditengah kemajemukan bangsa, dan menetapkan berbagai
kebijakan bagi etnis Tionghoa, meliputi penghapusan Inpres No.14
tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa
yang ditetapkan melalui Keppres No. 6 tahun 2000, pengakuan kembali
eksistensi agama Kong Hu Cu dengan mengeluarkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. No. 477/805/Sj tahun 2000 mengenai
penghapusan SE Mendagri No. 477/74054 tahun 1978, Penghapusan
berbagai larangan penerbitan bahasa dan aksara Tionghoa serta
menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif melalui Surat
Keterangan Menteri Agama No.13 tahun 2001 dan ditindak lanjuti
dengan Surat Keterangan Menteri Agama No 14 tahun 2001 .
B. Saran
Dalam penelitian skripsi yang berjudul “K. H. Abdurrahman Wahid dalam
Memperjuangkan Hak Kelompok Minoritas di Indonesia”, penulis memberikan
saran sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk hendaknya dapat
106
etnis maupun budaya, penghargaaan yang tinggi atas segala perbedaan itu
dapat membuat kita hidup berdampingan sebagai kesatuan yang harmonis.
2. Bagi minoritas etnis Tionghoa hendaknya berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat di luar bidang ekonomi, seperti dalam bidang politik,
birokrasi, budaya, dan sebagainya. Dengan partisipasi dalam kehidupan
masyarakat, etnis Tionghoa dapat mengambil peran dalam
keputusan-keputusan menyangkut eksistensi identitas diri dan budayanya serta dapat
107
DAFTAR PUSTAKA
Barton, Greg. 2003. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LkiS
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi Revisi). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Budiman, Hikmat. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia.
Jakarta: The Interseksi Foundation-TIFA
Depdikbud. 1989. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT. Citra Adipustaka
Dhakiri, M. Hanif. 2010. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LKIS
Dwipayana, G dan R. K. Hadimadja. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada
GANDI. 1998. Profil Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI). Jakarta:
Sekertariat GANDI. Halaman 6-8
Haris, Syamsuddin (ed). 2007. Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi
Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press
Haryatmoko. 1998. Dimensi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan & Diskriminasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hassan, Shadily. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve
Hugiono dan Poerwanta. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.
Miles, Mathew G. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia
Nawawi, Hadari. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Gadjah Mada
108
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Notosusanto, Nugroho. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:
Inti Idayu Press
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Poerwadarminta, W. J. S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Kristan. 2010. Bangga Menjadi Seorang Kong Hu Cu. Jakarta: Generasi muda
Kong Hu Cu Indonesia
Kusumaatmadja, Sarwono. 2007. Politik dan Hak Minoritas. Jakarta: Koekoesan
Kusumah, Suriah, dkk. 1986. Kewargaan Negara. Jakarta: Karunika
M, Moch. Sa’dun (ed). 1999. Pri-NonPri Mencari Format Pembauran. Jakarta:
Pustaka Cidesindo
Rifai, Muhammad. 2010. Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta:
Garasi House of Book
Sayuti, Husin. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA
Suhandinata, Justian. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi
dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sulistyo, Hermawan dkk (ed). 2010. Sejuta Gelar untuk Gus Dur. Jakarta:
Pensil-324
Surachmad, Winarno. 1984. Ilmiah Dasar, Metode Pengantar Penelitian dan
Teknik. Bandung: Tarsito
Suryabrata, Sumardi. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers
---. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:
Lp3ES
---. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah
109
Syaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdalla. 2008. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LkiS
Taher, Elza Peldi. 2009. Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70
Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Ujan, Andre Ata, dkk. 2009. Multikulturalisme; Belajar Hidup dalam Perbedaan.
Jakarta: PT Indeks
Wahid, Abdurrahman. 2005. Gus Dur Bertutur. Jakarta: Proaksi
Waskito, Abu Muhammad. 2010. Cukup 1 Gus Dur Saja!. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar. Halaman 28
Wibowo, I (ed). 1999. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
---. 2001. Harga yang Harus Dibayar; Sketsa Pergulatan Etnis Cina
di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wibowo, I & Thung Ju Lan (ed). 2010. Setelah Air Mata Kering; Masyarakat
Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas
Sumber Lain :
Abdurrahman Wahid dalam Tempo, 19 Desember 1981
Abdurrahman Wahid “Beri Jalan Orang Cina”. Majalah Editor No.33, 21 April
1990. Ruang Forum, Jakarta.
Abdurrahman Wahid “Kelompok keturunan Harus Berusaha Masuk Profesi
Lain”. Harian Kompas, 24 Mei 1991
Abdurrahman Wahid “Persamaan Pandangan akan Percepat Pembauran antar
etnis”. Harian Kompas, 8 Juli 1991
Abdurrahman Wahid. Majalah Tempo, tahun 2000
Harian Kompas, 18 Maret 2000
Hurek dalam http://hurek.blogspot.com/2007/08/bingky-irawan-pejuang-
konghuchu.html