• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPEACHMENT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE - 4 KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM TINJAUAN MAQASID AL SHARI’AH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPEACHMENT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE - 4 KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM TINJAUAN MAQASID AL SHARI’AH."

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

IMPEACHMENT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE - 4

KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM TINJAUAN

MAQA@S}ID AL SHARI@

’AH

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)

Oleh:

MIFTAKUR ROHMAN NIM: F12 213 125

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAKSI

Miftakur Rohman, Nim: F12213125, “Impeachment Presiden Republik Indonesia ke 4 kh Abdurrahman Wahid dalam tinjauan maqa@s}id al shari@’ah. Tesis S2 Hukum Tata Negara UIN SunanAmpel Surabaya.

Sidang Istimewa yang digelar pada Agustus 2001. Waktu itu MPR telah mencabut mandat atau memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dengan alasan bahwa presiden dinyatakan telah melanggar haluan negara, karena tidak hadir dan menolak untuk memberi pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR, serta penerbitan Dekrit / Maklumat tanggal 23 Juli 2001 yang dianggap inkonstitusional oleh MPR. Akan tetapi pemberhentian ini menuai perdebatan yang panjang. Sehingga dalam penelitian ini dirumuskan, Bagaimanakah tinjauan

teori hukum dan maqa@s}id al shari@’ah terhadap impeachment presiden

Abdurrahman Wahid.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana tinjauan maqa@s}id al

shari@’ah terhadap impeachment presiden Abdurrahman Wahid. Penelitian ini

termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), Penelitian ini

juga termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap

asas asas hukum, khususnya yang terkait dengan impeachment menurut Hukum

Positif dihubungkan dengan maqa@s}id al syari@’ah. Sifat dari penelitian ini adalah

deskriptif analisis. pendekatan yang digunakan yaitu normative, yuridis dan filosofis.

Secara garis besar hasil penelitian ini adalah bahwa proses pemberhentian terhadap Presiden Abdurrahman Wahid merupakan tindakan inkonstitusional, sehingga keputusanya termasuk cacat hukum, sedangkan ditinjau dari maqa@s}id al syari@’ah pemberhentian presiden Abdurrahman wahid, tidak sesuai prinsip maqa@s}id al shari@’ah, yang menggunakan pertimbangan maslahah. sebab mekanisme dan keputusanya bertolak belakang dengan undang undang.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Batasan Masalah... 11

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Penelitian... 12

G. Penelitian Terdahulu ... 13

H. Metode Penelitian... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II KONSEP MAQA@S}ID AL SHAR@I’AH A. Pengertian Maqa@s}id Al Shari@’ah ... 22

B. Syari’ah Ditetapkan Untuk Kemaslahatan Hamba Di Dunia Dan Akhirat .... 24

C. Kemaslahatan Pokok Dari Maqa@s}id Al Shari@’ah ... 30

D. Maqa@s}id Al Shari@’ah Sebagai Kerangka Teoritis Dalam Berijtihat ... 33

(7)

BAB III IMPEACHMENT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID

A. Pengertian Impeachment ... 41

B. Landasan Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ... 43

C. Alasan Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ... 45

D. Mekanisme Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ... 48

E. Biografi Presiden Abdurrahman Wahid ... 58

1. Riwayat Hidup Dan Pendidikan ... 58

2. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid ... 66

3. Periode Kepresidenan... 70

BAB IV IMPEACHMENT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID DALAM TINJAUAN MAQA@S}ID AL SHAR@I’AH A. Tinjauan HukumTerhadap Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ... 79

1. Keabsahan Pembentukan Dan KonstitusionalitasTugas Pansus Bulog ... 79

2. Keabsahan Memorandum DPR TerhadapPresiden ... 86

3. Konstitusionalitas Sidang Istimewa MPR ... 91

B. Tinjauan Maqa@s}id Al Shari@’ah Terhadap Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ... 101

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 104

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa peralihan Indonesia menuju cita demokrasi merupakan salah

satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. salah

satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju

cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang

diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia tahun 1945.

Undang Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan perubahan

mendasar sejak dari perubahan pertama pada tahun 1999 hingga perubahan

keempat tahun 2002.

Perubahan ini mengubah landasan teoritis sistem pemerintahan

Indonesia dari sistem pemerintahan yang abu abu, yaitu antara system

pemerintahan presidensial dan parlementer yang diistilahkan oleh

soemantri sebagai system quasi presidensial menjadi system presidensial

yang lebih jelas.1

Berdasarkan Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)

sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia secara formal lebih

menonjolkan sistem Presidensial ketimbang system Parlementer. Salah

satu ciri dari pemerintahan Presidensial adalah masa jabatan presiden yang

ditentukan oleh UUD.1 Jadi dengan masa jabatan seorang presiden yang

1

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),

(9)

pasti (fixed term) yang diatur dalam konstitusi, maka posisi seorang

presiden bisa dikatakan kokoh atau kuat (strong executive). Akibat dari ciri

di atas adalah tercipta pemerintahan yang stabil (executive stability). Hal

ini berbeda dengan sistem parlementer yang bersifat executive instability

karena ketergantungan eksekutif sebagai dependent variable terhadap

konstelasi politik yang ada di parlemen (independent variable).2

Ciri yang lain dari sistem Presidensial adalah kekuasaan

pemerintahan beserta pertanggungjawabannya yang berpusat pada

presiden (concentration of power and responsibility upon the president).

Selain posisi yang kokoh dan kuat, seorang presiden juga mempunyai

kekuasaan tunggal dalam menjalankan perintah (single chief executive).3

Jabatan presiden dipegang oleh seorang individu (personal).

Artinya individu yang menjabat presiden tersebut mempunyai kekuasaan

tunggal dalam menjalankan pemerintahan serta posisinya kuat dan kokoh

bahasa lainya tidak mudah untuk dijatuhkan. Padahal secara alamiah,

seorang itu tidak selalu baik dan benar. Artinya, seorang manusia

terkadang pernah melakukan kesalahan, baik itu kesalahan yang

dikategorikan sebagai suatu perbuatan kriminal, maupun kesalahan dalam

menjalankan tugas yang diembannya.

Untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan pemerintah yang

dilakukan oleh seorang presiden sebagai akibat dari kesalahan yang

2

Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 5.

3

M. Fajrul Falaakh, Presidensi dan Proses Legislasi Pasca Revisi Konstitusi (Parlementarisme

lewat pintu belakang ?), Makalah yang disampaikan dalam seminar nasional “Meluruskan Jalan

(10)

dilakukanya, maka harus ada mekanisme koreksi demi terciptanya

pemerintahan yang demokratis. Bahkan tidak menutup kemungkinan,

mekanisme koreksi tersebut nantinya berakibat pada pemberhentian

presiden di tengah masa jabatannya yang dikenal dengan istilah

impeachment.

Pemberhentian presiden di tengah masa jabatannya karena telah

melanggar ketentuan yang diatur dalam konstitusi, sering juga disebut

sebagai Presidential Impeachment Process. Selain itu, seorang presiden

hanya dapat diberhentikan berdasarkan articles of impeachment dan

melalui impeachment procedure yang ditentukan dalam konstitusi.4

Sebelum amandemen UUD 1945, dasar hukum impeachment

secara implisit dapat ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 dan

dijelaskan lebih rinci di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (TAP MPR).5

Di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pra_amandemen

dinyatakan bahwa:

a. Dalam menjalankan kekuasaannya, konsentrasi kekuasaan dan

tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan presiden.

b. MPR memiliki kekuasaan tertinggi, sedangkan presiden harus

menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang

ditetapkan oleh MPR.

4

Ibid., 4.

5

Indarwati, “Pemberhentian Presiden (Impeacment) dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia”

(11)

c. Presiden dipilih oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada

MPR.

Sedangkan di dalam TAP MPR No. III/MPR/1978 dinyatakan

bahwa:

1. Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR dan di akhir

jabatannya harus memberikan laporan pertanggungjawaban terhadap

mandat yang diberikan oleh MPR.

2. Di dalam masa jabatannya Presiden dapat diminta

pertanggungjawabannya di depan Sidang Istimewa MPR sehubungan

dengan pelaksanaan haluan Negara yang telah ditetapkan oleh UUD

1945 dan TAP MPR.

Berdasarkan sejarah ketatanegaraan di Indonesia pernah terjadi dua

kali impeachment, Pertama, pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara (MPRS) menarik mandat (memberhentikan) Presiden

Soekarno. Dalam TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 disebutkan bahwa

Presiden Soekarno diganti oleh Jendral Soeharto, dengan pertimbangan

bahwa Presiden Soekarno tidak dapat melakukan kewajibannya dan tidak

dapat melaksanakan haluan negara sebagaimana ditetapkan oleh UUD dan

MPRS.

Kedua, pada Sidang Istimewa yang digelar pada Agustus 2001.

Waktu itu MPR juga telah mencabut mandat atau memberhentikan

Presiden Abdurrahman Wahid dengan alasan bahwa presiden dinyatakan

(12)

memberi pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR, serta

penerbitan Dekrit / Maklumat tanggal 23 Juli 2001 yang dianggap

inkonstitusional oleh MPR.6

Pengalaman ketatanegaraan tersebut di atas dapat diketahui bahwa

proses dan mekanisme impeachment yang terjadi menimbulkan banyak

perdebatan konstitusi yang sangat serius. Hal itu dikarenakan mekanisme

impeachment yang dipakai di Indonesia pada waktu itu masih

mengandung banyak kelemahan. Kelemahan itu terutama bersumber dari

konstitusi yang belum mengatur secara jelas mekanisme impeachment,

termasuk perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan seorang

presiden itu di-impeach, sehingga semangat presidensial yang terdapat

dalam UUD 1945 yang mempunyai tujuan dan maksud terciptanya

pemerintahan yang stabil dan jelas rentang waktu masa jabatannya

menjadi bias atau kabur.

Kontroversi mengenai pemberhentian presiden tersebut tidak

jarang menimbulkan konflik politik yang tidak hanya melibatkan elit

politik saja, melainkan juga kelompok masyarakat di level bawah,

sehingga situasi chaos (kacau balau) antar elemen masyarakat baik yang

mendukung maupun yang menolak impeachment tidak dapat dihindarkan.

Hal ini akan mengakibatkan stabilitas dan keamanan negara tidak terjamin

dengan pasti yang kalau tidak segera diatasi, ujung-ujungnya nanti akan

menimbulkan disintegrasi bangsa.

6

Sumali, Redaksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang- Undang

(13)

Wacana tentang pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid

mulai mengemuka ketika namanya dikaitkan dengan adanya kasus dana

Yanatera Bulog sebesar Rp 35 miliar pada Mei 2000. Selain kasus itu,

kasus lain yang juga terkait dengan pemberhentian Presiden Abdurrahman

Wahid adalah soal pertanggungjawaban Dana Sultan Brunei Darussalam

sebesar US$ 2 juta yang, menurut beberapa pihak, seharusnya dimasukkan

sebagai pendapatan/ penerimaan negara, bukan bersifat pribadi. Kalangan

politisi DPR yang berjumlah 236 anggota langsung merespon persoalan ini

dengan mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan.7

Usul tersebut disetujui oleh DPR RI pada Rapat Paripurna tanggal

28 Agustus 2000 dan secara resmi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI

mengadakan penyelidikan terhadap kedua kasus tersebut yang dibentuk

pada tanggal 5 September 2000. Dalam laporannya kepada Rapat

Paripurna DPR RI, Pansus membuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam Kasus dana Yanaterta Bulog, Pansus berpendapat: “Patut

Diduga Bahwa Presiden Abdurahman Wahid Berperan Dalam

Pencairan Dan Penggunaan Dana Yanatera Bulog”.

2. Dalam kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darusalam, Pansus

bependapat: “Adanya Inkonsistesi Pernyataan Presiden Abdurrahman

Wahid Tentang Masalah Bantuan Sultan Brunei Darusalam,

Menunjuk Bahwa Presiden Telah Menyampaikan Keterangan Yang

Tidak Sebenarnya Kepada Masyarakat”.

7

Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden

(14)

Berdasarkan laporan hasil kerja pansus sebagaimana dijelaskan di

atas dan berdasarkan pendapat fraksi-fraksi, maka Rapat Paripurna

DPR-RI ke-36 tanggal 1 Peburuari 2001 memutuskan untuk :

1. Menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan

untuk untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan Memorandum

untuk mengingatkan bahwa Presiden K.H Abdurahman Wahid

sungguh melanggar Haluan Negara, yaitu:

a. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan, dan

b. Melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang

penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;

2. Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum,

menyerahkan persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan

hukum yang berlaku, Memorandum DPR terhadap Presiden

Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya dua pelanggaran haluan

negara yang dituduhkan, yaitu:

a. Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal mengenai Sumpah Jabatan Presiden; dan

b. Melanggar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Setelah

Memorandum itu, disusullah dengan Memorandum Kedua pada

tanggal 1 Mei 2001 dan Sidang Istimewa MPR RI pada tanggal

(15)

Abdurrahman Wahid. Menjelang Sidang Istimewa MPR RI yang

seharusnya diadakan pada tanggal 1-7 Agustus 2001, Presiden

Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan yang kontroversial

dan dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu

memberhentikan Jenderal Polisi S. Bimantoro sebagai Kapolri

dan menggantinya dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin

Ismail. Kebijakan ini dinilai melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan

MPR No. VI/MPR 2000 yang mengharuskan adanya persetujuan

DPR RI untuk pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Oleh

karena itu, Sidang Istimewa MPR RI dipercepat menjadi tanggal

21-23 Juli 2001. Selain itu, kebijakan yang juga kontroversial

adalah penerbitan Maklumat Presiden Abdurrahman Wahid yang

berisi pembekuan MPR RI dan pembekuan Partai Golkar. Pada

akhirnya, MPR RI memberhentikan Presiden Abdurrahman

Wahid karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan

negara, yaitu karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden

Abdurrahman Wahid untuk meberikan pertanggungjawaban

dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan

Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001.8

Kesimpulan dari beberapa rangkaian persitiwa penting menuju

pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid adalah :

8

(16)

1. Memorandum pertama yang ditetapkan dengan Keputusan DPR-RI

Nomor 33/DPR-RI/III/2000-2001 tentang Penetapan Memorandum

DPR-RI kepada Presiden K.H. Abdurrahman Wahid tertanggal 1

Februari 2001.

2. Kedua yang ditetapkan Keputusan DPR-RI Nomor

47/DPR-RI/IV/2000-2001 tentang penetapan memorandum yang kedua

DPR-RI kepada Presiden K.H.Abdurrahhman Wahid tertanggal 30

April 2001.

3. Ketiga, Sidang Istimewa berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna

ke-36 tertanggal 1 Februari 2001 yang menyatakan bahwa Presiden

KH. Abdurahman Wahid tidak mengidahkan memorandum kedua.

4. Keempat, diberhentikannya Presiden KH. Abdurrahman Wahid.

Menurut teori hukum tata Negara dikenal dua cara pemberhentian

presiden dan /atau wakil presiden. Pertama, dengan cara impeachment dan

kedua dengan cara forum prevelegiatum (forum peradilan khusus)9.

Dengan impeachment dimaksudkan bahwa presiden dan/atau wakil

presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil

seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik. Dan forum

prevelegiatum dimaksudkan bahwa penjatuhan presiden melalui

pengadilan khusus ketatanegaraan, penekanannya ada pada keputusan

9

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang mahkamah konstitusi dan implikasinya dalam system

(17)

hukum. Meskipun dalam UUD 45 istilah impeachment dan forum

prevelegiatum tidak tercantum secara limitatif.

Sejatinya impeachment merupakan instrumen untuk mencegah dan

menanggulangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya,

Impeachment didesain sebagai instrumen untuk “menegur” perbuatan

menyimpang, penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap kepercayaan

publik dari orang yang mempunyai jabatan publik.10

Dalam tinjauan Islam impeachment sejalan dengan maksud dan

tujuan kemaslahatan bagi umat Islam atau dalam kajian Hukum Islam

lebih dikenal dengan istilah Maqa@s}id al Shari@’ah, yaitu untuk

kemaslahatan manusia, menjaga dan melindungi kemanusiaan. Hal ini

sesuai dengan qaidah:

ِ ِا ٌ ِ َ لا ا ِا َل

Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus harus berdasarkan kemaslahatan”

Berdasarkan uraian di atas, mendorong penulis untuk melakukan

satu studi berjudul: IMPEACHMENT PRESIDEN KE 4 KH.

ABDURRAHMAN WAHID DALAM TINJAUAN MAQA@S}ID AL SHARI@’AH Dengan memperhatikan latar belakang yang ada, penulis

berpendapat bahwa studi ini merupakan bidang garap yang cukup menarik.

10

Jimly As Shiddiqie, Mekanisme Impeachment Dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

(18)

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang diatas teridentifikasi beberapa masalah

diantaranya:

1. Bagaimanakah tinjauan hukum terhadap impeachment presiden

Abdurrahman Wahid?

2. Bagaimanakah konsep dan mekanisme impeachment presiden pra

amandemen?

3. Bagaimanakah tinjauan maqa@s}id al syari@’ah terhadap impeachment

presiden Abdurrahman Wahid?

4. Siapakah yang mempunyai wewenang melakukan impeachment

presiden menurut UUD 1945 pra amandemen secara yuridis?

5. Bagaimanakah mekanisme pansus bentukan DPR dalam melakukan

penyidikan terhadap presiden tentang bullogate dan bruneigate?

6. Bagaimanakah kadar maslahah dan mafsadah impeachment presiden

Abdurrahman Wahid?

C. Batasan Masalah

Hasil identifikasi masalah diatas, perlu diberikan batasan-batasan yang

jelas agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan tepat dan efektif.

Berikut ini adalah batasan masalahnya :

1. Penelitian ini mengidentifikasi tinjauan teori hukum terhadap

(19)

2. Penelitian ini mengidentifikasi tinjauan maqa@s}id al syari@’ah terhadap

impeachment presiden Abdurrahman Wahid.

D. Rumusan Masalah

Dari identifikasi dan batasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tinjauan hukum terhadap impeachment presiden

Abdurrahman Wahid?

2. Bagaimanakah tinjauan maqa@s}id al syari@’ah terhadap impeachment

presiden Abdurrahman Wahid?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum terhadap impeachment

presiden Abdurrahman Wahid.

2. Untuk mengetahui tinjauan maqa@s}id al syari@’ah terhadap

impeachment presiden Abdurrahman Wahid.

F. Kegunaan Penelitian

Dari uraian di atas,manfaat dan kegunaan penelitian ini sebagai

berikut:

(20)

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

positif dalam bidang Hukum Tata Negara.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan dan

pengetahuan tentang Apakah impeachment presiden

Abdurrahman Wahid sesuai konstitusi.

c. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan tinjauan

maqa@s}id al syari@’ah terhadap impeachment presiden

Abdurrahman Wahid.

2. Segi praktis

a. Bagi penulis, merupakan bahan informasi guna meningkatkan

informasi dan pengetahuan khususnya dalam pengembangan

Hukum Tata Negara.

b. Dapat melengkapi perpustakaan, khususnya perpustakaan UIN

Sunan Ampel dalam bidang kajian Hukum Tata Negara.

c. Dapat memberikan sumbangan yang berguna dalam penelitian

selanjutnya mengenai Impeachment.

G. Penelitian Terdahulu

Beberapa literature yang penulis talaah, terdapat beberapa karya tulis

yang dijadikan acauan awal oleh penulis, dan untuk menjaga keaslian

judul yang penulis ajukan dalam tesis ini perlu kiranya penulis hadirkan

(21)

1. Judul penelitian : Pemberhentian presiden dalam masa jabatanya

dalam kaitanya dengan upaya mewujudkan Negara hukum demokratis

di indonesia.

Penulis : Putu Eva Ditayani Antari, Program Studi Magister

Ilmu Hukum tahun 2014.

Hal yang dikaji :

- Apakah kriteria perbuatan tercela yang dijadikan sebagai alasan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945?

- Bagaimanakah model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya yang dianut di Indonesia

berdasarkan UUDNRI 1945?

2. Judul penelitian : Impeachment presiden menurut UUD 1945 pasca

amandemen dalam tinjauan ketatanegaraan islam.

Penulis : Irwanto, Progam Studi Siyasah Syar’iyah 2008.

Hal yang dikaji :

- Bagaimana alasan alasan impeachment presiden dan mekanisme

nya menurut UUD 1945 Dab menurut tinjauan ketatanegaraan

islam?

- Bagaimana pandangan menurut ketatanegaraan islam terhadap

alasan dan mekanisme impeachment presiden dalam UUD 1945?

3. Judul Penelitian : Pemakzulan Presiden di Indonesia

(22)

Hal yang dikaji :

- Apakah pemakzulan di Indonesia merupakan proses hukum atau

proses politik?

- Apakah pengaturan serta praktek pemakzulan presiden di Indonesia

telah sejalan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi?

- Apakah proses pemakzulan di Indonesia didasarkan pada

pertimbangan hukum atau pertimbangan nonhukum?

4. Judul Penelitian : Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Penulis : Agus Trioka Mahendra Putra (Universitas

Udayana)

Hal yang dikaji :

- Bagaimanakah pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia serta

perbandingannya dengan negara lain?

- Bagaimanakah mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan?

5. Judul Penelitian : Perbandingan Konstitusional Pengaturan

Impeachment Presiden dan Wakil Presiden antara Republik Indonesia

(23)

Penulis : Harris Fadillah Wildan (Universitas Sebelas

Maret).

Hal yang dikaji :

- Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pengaturan impeachment

Presiden dan Wakil Presiden antara Republik Indonesia dengan

Amerika Serikat ditinjau dari konstitusionalisme?

- Bagaimana seharusnya pengaturan impeachment Presiden dan Wakil

Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia sebagai Negara

demokrasi?

Perbedaan tesis ini dengan tulisan-tulisan yang dipaparkan di atas

terletak pada fokus kajiannya, dimana kajian dalam tesis ini berkaitan

dengan impeachment Presiden Abdur Rahman Wahid (gus dur) dalam

tinjaun teori Hukum Tata Negara dan Maqashid al syari’ah. Kedua

masalah yang dikaji dalam tesis ini tidak dibahas dalam tulisan-tulisan

lainnya, sehingga tulisan ini murni merupakan hasil pemikiran dan

gagasan dari penulis sendiri.

Tulisan-tulisan diatas antara lain membahas mengenai mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia,

perbandingannya dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden di Negara lain, mekanisme pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan

negara hukum yang dianut di Indonesia, serta dasar pertimbangan

(24)

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library

research), karena data yang diteliti berupa naskah-naskah, buku-buku

atau majalah-majalah yang bersumber dari khazanah kepustakaan.

Penelitian ini juga termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif,11

yaitu penelitian terhadap asasasas hukum, khususnya yang terkait

dengan impeachment menurut Hukum Positif dihubungkan dengan

maqa@s}id al syari@’ah. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis,

yaitu model penelitian yang meneliti status kelompok manusia, suatu

objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa

pada masa sekarang kemudian dihubungkan dengan teori yang ada.12

2. Sumber Data

Jenis dan sumber data dalam penelitian ini dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

a. Data Primer ; Merupakan data utama dalam penelitian ini yang

secara khusus membahas tentang impeachment dalam tinjauan hukum

positif di Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945 dan Kitab-kitab

Ushul Fiqh, antara lain : al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’at, karya

11

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti,

2004), 52. Bambang Sungono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2002), 83-93. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 51.

12

Mohd. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1999), 63. Lexy J. Moleong,

(25)

Syatibi, Ushu@l al-Fiqh al-Isla@mi@, karya Wahbah al- Zuhaylî, maqa@s}id

al syari@’ah al-Isla@miyyah, Muhammad Thâhir bin „Asyûr.

b. Data Sekunder ; merupakan data penunjang yang akan ditelusuri

melalui buku dan karya tulis yang membahas tentang Impeachment

presiden Abdurrahman Wahid.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, deskriftif berarti

menggambarkan dengan cara mempelajari masalah masalah dalam

masyarakat, serta tata cara yang berlaku termasuk tentang hubungan,

kegiatan kegiatan, sikap-sikap, serta proses proses yang sedang

berlangsung dan berpengarus dari suati fenomena.13 Analitik adalah

jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah

dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti dengan

jalan memilah milah antara pengertian yang satu dengan pengertian

yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya.14

Diharapkan dengan deskriptif analitik , mampu memberikan

penjelasan yang komprehensif dalam memaparkan penelitian yang

dibahas dalam tesis ini.

4. Pengumpulan Data

13

Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian (Bogor: Galia Indonesia, 1996), 54.

14

(26)

Metode pengumpulan data yang dipakai pada penelitian ini adalah

metode dokumenasi yaitu dengan mencari data dari beberapa buku

yang berkaitan dengan tema yang akan diteliti.15 Adapun sumber yang

berkaitan adalah buku buku yang memuat permasalahan Impeachment,

termasuk pula undang undang atau peraturan yang terkait, dan buku

buku tentang maqasid al syari’ah. Metode dokumentasi diharapkan

mampu mendukung pengumpulan data yang akan dibahas dalam

penelitian ini.

5. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian menggunakan tiga pendekatan, yaitu:

pertama: pendekatan normative, yaitu menggunakan tolak ukur agama,

baik itu bersumber dari nash (alqur’an dan hadis) maupun juga kaidah

fikih dan usul fikih, dengan penjelasan pendapat para ulama’ fikih

madzhab yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. kedua:

pendekatan yuridis: pendekatan ini digunakan untuk memahami

permasalahan impeachment dari pespektif hukum positif, baik berupa

undang undang maupun peraturan hukum lainya. dengan cara

menelusuri landasan hukumnya berikut pula istinbat hukum yang

digunakanya.ketiga: pendekatan filosofis, digunakan untuk

menganalisis teksagar mendapatkan makna yang mendalamsampai ke

akar permasalahan sebenarnya. Pendekatan ini dipakai mengingat

15

Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek (Jakarta: Rineka cipta,

(27)

permasalahan yang diteliti akan ditinjau dari sundut pandang maqa@s}id

al syari@’ah yang banyak membutuhkan penalaran dalam upaya

memahami makna yang terkandung dalam teks.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengaturan urutan data,

mengorganisir kedalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang

digunakan untuk menganalisis data.16 Untuk menganalisis data yang

terkumpul, penyusun menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data

yang diperoleh berupa kumpulan karya tulis, komentar orang atau

perilaku yang diamati serta didokumentasikan melalui proses

pencatatan akan diperluas dan disusun dalam teks. Cara berfikir yang

dipakai dalam penelitian ini adalah instrument berfikir induktif dan

deduktif.17

Selain itu, data yang terkumpul tersebut juga akan dianalisis

menggunakan pendekatan maqa@s}id al syari@’ah, dengan

mengoperasikan analisis terhadap maslahah dan mafsadah, serta uji

data tersebut menggunakan lima unsure pokok maqa@s}id al syari@’ah

yang harus dipelihara yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Untuk memudahkan proses analisis yang berurutan dan interaksionis,

maka analisis data dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: dimulai

dari pengumpulan data. Setelah data selesai dikumpulkan, kemudian

16

Lexy Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 2002), 112.

17

(28)

dilakukan penyusunan data dengan cara menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir

sehingga data terpilah pilah untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Tahap berikutnya, data tersebut diinterprestasikan, lalu diambil

kesimpulan.18

I. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan penelitian ini terdiri dari lima bab, pada

masingmasing bab terdiri dari beberapa sub bab, antara satu bab dengan

lainnya memiliki korelasi yang logis dan sistematis. Adapun sistematika

yang penulis susun adalah sebagai berikut:

1. Bab I Berisi latar belakang masalah, rumusan masalash, tujuan dan

kegunaan penelitian, kajian penelitian terdahulu, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

2. Bab II Berisi Konsep maqa@s}id al syari@’ah, mencakup pembahasan :

pengertian dan ruang lingkup maqa@s}id al syari@’ah, pembagian maqa@s}id

al syari@’ah dan kaidah maqa@s}id.

3. Bab III Berisi tinjauan teori tentang impeachment , landasan, alasan

serta mekanisme impeachment Presiden Abdurrahman Wahid.

4. Bab IV Berisi hasil penelitian dan pembahasan, yang mencakup :

impeachment presiden Abdurrahman wahid dalam tinjauan maqa@s}id al

syari@’ah.

5. Bab V berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

18

(29)

BAB II

KONSEP

MAQA@S}ID AL SYARI@

’AH

A. Pengertian Maqa@s}id Al Syari@’ah

Secara bahasa maqa@s}id al syari@’ah terdiri dari dua kata yaitu

Maqa@s}id dan Syari@’ah. Maqa@s}id berarti kesengajaan atau tujuan, Maqa@s}id

merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata

Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqa@s}id berarti

hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.19 Sedangkan Syari@’ah secara

bahasa berarti Jalan menuju sumber air.20 Jalan menuju sumber air dapat

juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan21.

Setelah menjelaskan definisi Maqa@s}iddan Syari@’ah secara terpisah

kiranya perlu mendefinisikan maqa@s}id al syari@’ah setelah digabungkan

kedua kalimat tersebut (maqa@s}id al syari@’ah). Menurut Asafri Jaya Bakri

bahwa “Pengertian maqa@s}id al syari@’ah secara istilah tidak ada definisi

khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah

maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqa@s}id (al-Syathibi) itu

sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau cuma mengungkapkan

tentang Syari@’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam

kitab al-Muwafakat”:

اًعَم اَيْ ندلاَو ِنْيِدلا ِِ ْمِهِِِاَصَم ِماَيِق ِِ ِعِراشلا ِدِصاَقَم ِقْيِقْحَتِل ْتَعِضُو ُةَعْ يِرشلا ِِذَ

.

19

Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2 (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), 170.

20

Asafri Jaya, lisan al-‘Arab Ibnu Mansur al-Afriqi (Bairut: Dar al-Sadr, t.th), 175.

21

(30)

Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya

(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.

ِااَ ِعْلا ِ ِلاَصَ ِل ٌةَ ْوُرْشَم ُماَ ْ َاا

“Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.22

Dari ungkapan al-Syatibi tersebut yang dikutip oleh Asafri Jaya

Bakri bisa dikatakan bahwa Al- Syatibi tidak mendefinisikan maqa@s}id al

syari@’ah secara konfrehensif cuma menegaskan bahwa doktrin maqa@s}id al

syari@’ah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan

umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi

meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan

hukum Islam, berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya

An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang,

bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat,

melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat

(‘aqibah) dari penerapan syariat.

Menurut Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A maqa@s}id al syari@’ah

23 yaitu:

ِةَلْفَ ِب ِسا لا ُ ِلاَصَم َوُ ِماَ ْ َاا ِةَعْ يِرْشَت ِِ ِعِراشلِل ِماَعْلا ِدِصاَقَ ْلَا

ْمِِِاَِسَََْو ْمِِِاَي ِجاَ ِِْْقْوَ تَو ْمِِِاَيِرْوُرَض

22

Asafri Jaya Bakri , Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi (Jakarta: P.T. Raja Grafindo

Persada, 1996), 64.

23

(31)

Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan Tahsiniat mereka.

Di sini penulis menyimpulkan bahwa maqa@s}id al syari@’ah adalah

konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersurat dan

tersirat dalam Alqur’an dan Hadits. dan ditetapkan oleh al-Syari’ terhadap

manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah

atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan

Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan „aqidah dan Ibadah). sedangkan

cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi

kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat

(sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).

B. SyariahDitetapkan Untuk Kemaslahatan Hamba Di Dunia Dan Di

Akhirat.

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah

untuk mewujudkan kemashlahatan hamba di dunia dan akhirat.

Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat,

kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang

dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum

Islam24. Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, Ia menegaskan

bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan

kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai

24

(32)

tujuan. hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma

la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan)25. Dalam

rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para

ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima

misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin

terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (maqa@s}id al syari@’ah / Maqa@s}id

al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan

dan Harta.

Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu,

al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat dloruriyyat, hajiyyat dan

tahsiniyyat.26 Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala

prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan

siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling

bertentangan.

Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharury adalah

memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan

manusia. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya

kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya kelima pokok di atas. Berbeda

dengan kelompok dharury, kebutuhan dalam kelompok hajiy tidak

termasuk kebutuhan yang essensial, melainkan termasuk kebutuhan yang

dapat menghilangkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak

terpeliharanya kelompok ini tidak akan mengancam eksistensi kelima

25

Al- Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 150.

26

(33)

pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf.

Sedangkan kebutuhan tahsiny adalah kebutuhan yang menunjang

peningkatan martabat sesorang dalam masyarakat dan dihadapan

Tuhan-Nya sesuai dengan kepatuhan.

Contohnya, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya

antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat,

keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup

aurat merupakan aspeks tahsiniyyat27. Ketiga level ini, pada hakikatnya

adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.

Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah,

berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan

skala prioritas masing-masing.

1. Memelihara Agama (

نيدلا ظفح

)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,

dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu

memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk

peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau

shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.

b. Memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan

ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti

shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian.

27

(34)

Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan

mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit

bagi orang yang melakukannya.

c. Memelihara agama dalam peringkat Tahsiniyyat, yaitu mengikuti

petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia

sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan.

misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat,

membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap

kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak

mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam

eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang

melakukannya.

2. Memelihara jiwa ( سفنلا ظفح)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi

kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat

terancamnya eksistensi jiwa manusia.

b. Memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan

berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk

(35)

diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,

melainkan hanya mempersulit hidupnya.

c. Memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya

tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan

dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam

eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan

seseorang.

3. Memelihara Aqal (لقعلا ظفح )

Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan

meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan,

maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.

b. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya

menuntut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka

tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang,

dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti

menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu

yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak

(36)

4. Memelihara keturunan (لسنلا ظفح)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyyat, seperti

disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini

diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti

ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada

waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu

tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami

kesulitan, karena ia harus membayar mahar mitsl, sedangkan dalam

kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak

menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak

harmonis.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti

disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini

dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan

tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

5. Memelihara Harta (لاملا ظفح)

Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat

(37)

a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at

tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta

orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar,

maka berakibat terancamnya eksistensi harta.

b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang

jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka

tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit

orang yang memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan

tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini

erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini

juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab

peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat

yang kedua dan pertama28.

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah

pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan

melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal,

keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak

visi dan misi hukum Islam. Dengan demikian akan menuai

kemudharatan atau kesengsaraan hidup.

C. Kemaslahatan Inti Dari Maqa@s}id al Syari@’ah

28

(38)

Pencarian para ahli ushul fikih terhadap “maslahat” itu,

diwujudkan dalam bentuk metode berijtihad. Pada dasarnya, semua

metode ijtihad bermuara pada upaya penemuan maslahat dan

menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak

disebutkan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi

Muhammad Saw. Atas dasar asumsi ini, maka dapat dikatakan bahwa

setiap metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih

bermuara pada maqa@s}id al syari@’ah.

Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka

mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan

menjamin persoalan-persoalan hukum kontemporer. Lebih dari itu, tujuan

hukum perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah terhadap suatu

kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau, karena adanya

perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat lagi diterapkan.

Menurut al-Juwaini, seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan

hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah

menetapkan perintah dan larangan-Nya29.

Pada dasarnya tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk

memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan baik

didunia maupun di akherat. Ia bertujuan untuk melindungi dan

mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak mendatangkan

kemashlahatan, dan melarang perbuatan-perbuatan yang membawa pada

29

(39)

bahaya dan pengorbanan yang tidak semestinya. Dengan kata lain, tujuan

hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun

jasmani, individu dan sosial. Segala macam kasus hukum baik yang secara

eksplisit diatur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun yang dihasilkan

melalui ijtihad, harus bertitik tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus

hukum yang secara eksplisit dijelaskan di dalam kedua sumber utama

tersebut, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata

kemaslahatan itu dijelaskan maka ia (kemaslahatan) itu harus dijadikan

titik tolak penetapan hukumnya. Kemaslahatan seperti ini biasanya disebut

dengan al-maslahat al-mu’tabarat.

Berbeda halnya jika kemaslahatan itu tidak dijelaskan secara

eksplisit dalam kedua sumber itu, maka peranan mujtahid sangat

menentukan untuk menggali dan menemukan “maslahat” yang terkandung

dalam penetapan hukum .Pencarian “maslahat” ini sangat penting dalam

menemukan hukum, karena penemuan maslahat adalah merupakan

penemuan jiwa daripada nash.

Kemaslahatan yang dikehendaki adalah kemaslahatan yang hakiki

dan yang bersifat umum, bukan yang bersifat pribadi. Maslahat inilah yang

menjadi hikmah hukum yang dicita-citakan oleh syara’ dalam membina

hukum. Dengan demikian, hikmah suatu hukum syara’ adalah untuk

mewujudkan maslahat dan menolak kemudharatan. Bahkan menurut Abu

(40)

disyariatkan baik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah melainkan di dalamnya

terdapat kemaslahatan.

Kemaslahatan yang dimiliki oleh manusia dipahami sebagai

sesuatu yang relatif, tidak absolut. Karena itu, ketentuan apakah sesuatu itu

menguntungkan atau membahayakan adalah relatif, satu sama lain

dibedakan oleh besarnya resiko yang ada pada masing-masing perbuatan.

Dilain pihak , kemaslahatan dan bahaya tidak harus selalu relatif,

kebolehan dan pelarangannya, masing-masing ditentukan oleh sebuah

paradigma dan bukan atas dasar pertimbangan kemaslahatan manusia

semata di dunia. Pertimbangannya adalah berdasar pada konstruksi dari

sebuah sistem hukum yang berkenaan dengan tingkah laku manusia, yaitu

menyiapkan seseorang untuk hidup di akhirat, dan membawa manusia

secara personal untuk melaksanakan perintah Tuhan serta mengendalikan

hawa nafsu. Inilah sebenarnya alasan dari diturunkannya syari’ah. Oleh

sebab itu, apapun bentuk perbuatan yang hanya didasari pertimbangan

pribadi dan bertentangan dengan nash ataupun semangat hukum sama

sekali dilarang.

Berbicara tentang kemaslahatan tidak bisa dilepaskan

dengan maqa@s}id al syari@’ah, karena maslahat adalah merupakan inti dari

pembahasan maqa@s}id al syari@’ah. Secara teoritis maqa@s}id al

syari@’ah mengetengahkan ide dasar disyariatkannya hukum Islam dengan

maksud melindungi (muhafzhah) atau menjamin (taklifi) kelangsungan

(41)

asasi. Kelima aspek yang paling asasi (usu al-kamsah) itu adalah

(i) muhafazah al-din (kepentingan agama), (2) al-nafs (jiwa), (3) al-aql

(akal), (4) al-nasl (keturunan), dan (5) al-mal (harta).

D. Maqa@s}id al Syari@’ah Sebagai Kerangka Teoritis Dalam Berijtihad. Ijtihad menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh menggunakan

tenaga dan pikiran30. Secara istilah ijtihad adalah mencurahkan segala

kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil

syara’, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah31. Abu Zahrah, sebagaimana dikutip

Iskandar, mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan kemampuan ahli fiqih

dalam mengistinbathkan hukum amaliah dari dalil-dalil yang terperinci32.

Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan

interpretasi al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari’ah

didasarkan pada implikasi yang luas dari sebuah teks al-Qur’an dan

as-Sunnah, yang itu berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan

terinci, maka teks dan aturan syari’ah itu harus dihubungkan melalui

penalaran hukum. Menurut Abdullah Ahmad an-Na’im, bahwa

bagaimanapun juga sulit dibayangkan suatu teks-teks al-Qur’an atau as

30

Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 126.

31

Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), 373.

32

(42)

Sunnah, betapun jelas dan rincinya, tidak memerlukan ijtihad untuk

interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang konkrit33.

Para ahli ushul fikih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku

dalam kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang terdapat dalam teks

al-Qur’an dan as-Sunnah yang masuk kategori zhanni@ al-dala@lah34. Oleh

karena itu juga hasil ijtihad bersifat zhanni, artinya bukan satu-satunya

kebenaran (tidak qat’i) tetapi mengandung kemungkinan lain.

Sedangkan nash yang masuk kategori dalil sari@h yang qath’iyu al

-wurud (pasti kedatangannya dari syar’i) danqath’iyu al-dala@lah(pasti

penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk

diijtihadkan. Meskipun dalam pandangan an-Na’im, hal itu sulit

dibayangkan 35 . Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus

dikembangkan dan kemungkinan peranan maqa@s}id al syari@’ah yang lebih

besar dalam metode tersebut, penelaahan harus bertitik tolak dari objek itu

sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa objek (lapangan)

ijtihad adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam nash

serta masalah-masalah yang tidak mempunyai landasan nash (ma la nash

fiih). Oleh karenanya bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak penalaran

yang di dalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu

dikembangkan dalam upaya penerapan-penerapan maqa@s}id al syari@’ah.

Kedua corak itu ialah penalaran ta’lili@dan istisla@hi@.

33

Abdullah Ahmad an-Na’im,Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi

Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: LkiS,1997), 54.

34

Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih (Jakarta: Logos,1995), 16.

35

(43)

Corak penalaran ta’lili@adalah upaya penggalian hukum yang

bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu

nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran

ta’lili@ ini mengambil qiya@s dan istihsa@n. Adapun corak penalaran istila@hi@

adalah upaya pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip

kemaslahatan. Corak penalaran ini tampak pada metode al-masa@lihu

al-mursalah dan saddu az-zari@’ah.

Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqa@s}id al syari@’ah tidak

dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum

syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila

seorang mujtahid dapat memahami maqa@s}id al syari@’ah.36 Oleh karenanya

pengetahuan tentang maqa@s}id al syari@’ah adalah salah satu syarat yang

dimiliki oleh seorang mujtahid.

Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum

Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua

pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan

bahwa ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz

bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan

bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits

tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur’an dan

as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru

digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud.

36

(44)

Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan

analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya

dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum

disyari’atkanya hukum islam (maqa@s}id al syari@’ah).

E. Telaah konsep ‚Tas}arruf al Ima@m ‘Ala al- Ra’iyyah Manu@t}un Bi al-

Maslah}ah‛

Kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek

horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara

seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu

diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tas}arruf al

ima@m ‘ala al- ra’iyyah manu@t}un bi al- maslah}ah mempunyai pengertian

retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya

bergantung pada maslahat.

Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada

pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi

kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus

ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai terjemahan

dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek

kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang

(45)

bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syuura

ayat 38.37





































Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi

berlakunya asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab

yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh aku menempatkan

diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak

yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku

dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan

maka aku menjauhinya.38

Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus

mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan

hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah

ini juga diperkuat dengan QS. An-nisa ayat 58.39

37

al-Qur’an, 42: 38.

38

H.A. Jazuli, Kaidah Kaidah Fikih, Kaidah Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah Yang Praktis (Jakarta: Kencana Permada Media Group, 2006), 147.

39 al-Qur’an, 4:58.

(46)









































Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al ashba@h wa al

-naz}a@ir. Syeh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As suyuti

mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu Negara

apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran

program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu

diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai

landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak

dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak

diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat,

seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak

(47)

boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang

notabene lebih memutuhkan.40

Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh

terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan

yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang

direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi

kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang mendatangkan mudharat dan

mafsadah bagi rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam

upaya-upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani,

membuka lapangan kerja yang padat karya, melindungi huta lindung,

menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan

professional dan lain sebagainya.

Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah

pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap

kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan untuk

mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi ‚ikhtiya@rul

amtha@l fal alstal‛ (memilih yang representative dan lebih representative

lgi).41 Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil

dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah

kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative

40

Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Al suyuti, Al ashba@h wa al naz}a@ir (Surabaya: Al

Hidayah, 2000), 83.

41

Ibnu Taimiyyah, Al siya@sah al sar’iyyah fi isla@@hi wa al ra’yah (Saudi Arabia: Dar Al kutub Al

(48)

untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya memang kebutuhan

masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih representative

untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.

Pada intinya dalam kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu yang

menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya

demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi

substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam

(49)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari serangkaian uraian di atas, penulis menarik suatu kesimpulan

sebagai berikut, yaitu:

Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid mengalami banyak

problematika hukum, baik dari Presiden, DPR, MPR melakukan

pembelaannya masing-masing dengan dalih hukum yang berbeda pula.

Lembaga-lembaga negara saling menunjukkan kekuatannya, sehingga lobi

politik sebagai jalan tengah pun gagal tercapai. Imbasnya adalah dengan

pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR.

Sayangnya proses pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid

tidak berjalan mulus, secara damai dan konstitusional. Dimulai dari

pembentukan Pansus yang inkonstitusional dan cara kerjanya yang tidak

menentu, memorandum yang kurang fakta yuridis, hingga Sidang

Istimewa yang menuai cacat hukum.

Hal ini tidak bisa dipungkiri karna system ketatanegaraan kita pada

waktu itu belum jelas, apakah parlementer, presidensial, sehingga

berimbas bagi produk hukum ketatanegaraan yang membingungkan,

sehingga kami simpulkan bahwa impeachment presiden Abdurrahman

wahid dalam kajian hukumnya dikatakan cacat hukum.

Sedangkan dalam tinjauan maqa@@s}id al shari@@’ah, pemberhentian

presiden dalam masa jabatan (impeachment) dibenarkan sebagaimana

(50)

menanggulangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya,

dan juga untuk “menegur” perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan

pelanggaran terhadap kepercayaan publik dari orang yang mempunyai

jabatan public.

Akan tetapi dalam kontek presiden Abdurrahman wahid, MPR

sebagai lembaga Negara tertinggi mempunyai wewenang memilih dan

memberhentikan presiden. Dalam memberhentikan presiden sebaiknya

MPR menimbang, mengkaji suatu persoalan yang mendasarinya dengan

timbangan maslahah.

Maslahah yang dikehendaki adalah maslahah yang bersifat

universal serta tidak bertentangan dengan nash (undang undang).

Pemberhentian gus du

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi data tentang aspek biologi ular yang dilindungi dan untuk mengetahui biologi reproduksi dan konsumsi pakan ular sanca sawah putih

PENGARUH PERMAINAN FINGER PAINTING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS AWAL SISWA TUNALARAS KELAS I SLB-E BHINA PUTERA SURAKARTA TAHUN AJARAN 2016/2017.. Skripsi,

[r]

This fact attracts many scholars in the fields of religious tolerance and pluralism such as Budhi Munawar-Rachman who wrote Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid

Saran pengembangan sistem ke depan, meliputi (1) penggunaan database secara menyeluruh, (2) membuat sistem yang mampu menyimpan data rekam kegiatan mahasiswa setiap kali

Dalam pengembangan komoditi unggulan (ternak sapi), kegiatan yang terkait adalah : kegiatan budidaya sebagai kegiatan usaha; sub sektor industri hulu yaitu pengadaan sarana

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah: peranan Nabi sebagai kepala agama di Mekkah, Kenapa Nabi Muhammad tidak bisa tampil

Pengaturan desa tentang pembangunan jalan rabat beton di Desa Gumpang Lempuh Kecamatan Putri Betung Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh sesuai dengan Pasal 1