FORMALISASI ISLAM DI INDONESIA DALAM PANDANGAN KH. ABDURRAHMAN WAHID
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
EKO ANDRIYANTO NIM : 13510050
PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017
v MOTTO
“Indonesia bukan negara agama tapi negara beragama.
Ada enam agama yang di akui di Indonesia, jadi akui agama yang lain.”
(KH. Abdurrahman Wahid)
“Yang diharuskan dalam negara bukan bentuknya, tapi prinsip-prinsip (Islam) yang jalan atau tidak di negara Islam itu sendiri”
(KH. Hasyim Muzadi)
“Hidup ini tentang belajar, belajar dari kesalahan, belajar dari masa lalu, belajar untuk menjadi lebih baik”
(Eko Andriyanto)
vi
PERSEMBAHAN
Teruntuk Ibu dan Ayahku
Do’amu kan selalu menyertai mimpi-mimpiku...
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah- Nya kepada penyusun khususnya dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini. Rangkaian Shalawat berbingkai salam semoga tetap mengalir deras kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga akhir zaman. Beliau adalah penyelamat bagi manusia dengan jalan pengorbanan dan penyebaran dakwah Islam serta menerangi dunia dengan cahaya risalah kerasulanya.
Skripsi yang hadir di depan pembaca ini merupakan penelitian tentang
“Formalisasi Islam di Indonesia dalam Pandangan Abdurrahman Wahid”. Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar strata satu dalam Program Studi Aqidah dan Filsaat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alhamdulillah skripsi ini akhirnya sampai pada tahap penyelesaian dan semua itu tidak terlepas dari bantuan, do’a, dukungan, motivasi serta bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan berpartisipasi dalam penyusuan skripsi ini. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada:
viii
1. Ibunda Suwasni dan Ayah Agus Joko Pitoyo tercinta. Keduanya menjadi cermin nyata tentang ketegaran, kelembutan, pengorbanan dan kasih sayang. Bagi saya, beliaulah penyemangat dan pengingat dalam setiap keadaan. Tidak ada kata yang lebih patut saya ungkapkan selain ungkapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk setiap doa dan tulus cintanya.
2. Bapak Prof. Drs. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D, selaku rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Alim Roswantoro, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta beserta staf-stanya.
4. Bapak Dr. Robby H. Abror, S.Ag, M. Hum, selaku Ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
5. Bapak Muh. Fatkhan, M. Hum, selaku sekretaris Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
6. Bapak Dr. H. Shofiyullah Mz. M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi, beliau terlah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam proses penysunan skripsi ini.
Saya telah mendapat banyak pelajaran berharga dari beliau, bahkan di luar skripsi ini.
ix
7. Bapak Dr. Sudin, M. Hum. Selaku dosen pembimbing akademik yang selalu terbuka, membebaskan sekaligus memberi dukungan selama saya berproses belajar di prodi Aqidah dan Filsafat Islam. sungguh menyenangkan menjadi mahasiswa bimbingannya.
8. Segenap dosen dan karyawan bagian tata usaha prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah memberikan banyak bekal ilmu dan jasa.
9. Kakek Mino dan nenek saya Mujiyem yang telah banyak berjuang dan merawatku dari kecil sampai hari ini, terimakasih banyak, pengorbanan kalian tidak akan pernah saya lupakan.
10. Untuk saudara-saudara saya: untuk kakak saya yang telah kembali ke Rahmatullah, semoga kakak tenang dalam dekapan-Nya. Dek Atika Yuliyanti, terimakasih telah banyak memperhatikan dan mengasihi serta memberikan kehangatan dan kekeluargaan yang luar biasa selama ini. Untuk sepupu saya: Desvita Nuraini, Oktarien Anugerah Gianni Azzahra, dan si kecil Annora Gianni Khoirunnisa. Tumbuhlah menjadi orang-orang yang pintar cendik-cendekiawan, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan berbakti kepada orang tua.
11. Semua guru yang telah banyak memberikan banyak bekal ilmu dan pelajaran berharga. Terutama untuk guru-guru saya di SD N Wota- Wati, di SMP N 1 Girisubo, di SMK N 1 Girisubo, semoga amal jariyah beliau menjadi peneduh langkah hingga ke pintu surga-Nya.
x
12. Untuk Sahabat-sahabat masa kecil saya yang tak pernah memberi saya celah untuk menjadi pribadi yang melulu pasrah dan menyerah.
Sampai sekarang saya masih ingat nama-nama mereka: Muh. Rasyid, Fuji Lestari, Yuliyanto Nugroho, Gerry Ganesa Putra, Refangga Andika Putra, Bayu, Eva, Lia, Mala, Fiktor, ilham, Indah, Sanah, Ari, dan si cantik Ayu.
13. Teman-teman CBF (Carbon Big Family): Roy, Mulatno, Siwi, sunisih, Sutarmi, Sundari, Erlangga, Wahyu Firmanto, Endang, Suntari, Niken, Wahyu Tri, Eri, Dita, Wahid, Bayu, Andi, Ika, Putri, dll yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih adanya kalian selalu mengada di hatiku.
14. Teman-Teman Laa Philosophie tempat saya biasa membebaskan imajinasi dan bermain dengan kata: Hasan, Muh. Bahrul Afif, Faqih ulumi, Lingga, betti, Dwi Febriyani, Rohmah Fauziah, Nanik Ariyanti, Landung Pambudi, Isna Nur, Asep Nendi Nugraha, Asep Saefullah dan seluruh angkatan Mahasiswa Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam 2013. Terimakasih atas seluruh curahan ilmunya dan pengalaman yang secara tidak langsung kalian bagikan kepada saya.
15. Teman-teman KKN angkatan 89 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
16. Semua rekan, Sahabat, teman dan pihak-pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah ikut berjasa dalam penyusunan tugas akhir ini.
xi
Atas segala bantuan mereka semua, penyusun mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Semoga mereka senantiasa dilimpahi Rahmat dam Hidayah-Nya. Akhinya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karenai itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini bisa menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Aamiin...
Yogyakarta, 2 Maret 2017
Eko Andriyanto NIM. 13510050
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN NOTA DINAS ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xii
ABSTRAK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 14
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 14
D. Tinjauan Pustaka ... 14
E. Metode Penelitian... 18
F. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID ... 25
A. Latar Belakang Keluarga... 25
B. Pergulatan Intelektual dan Pendidikan Abdurrahman Wahid ... 34
C. Karya-Karya Abdurrahman Wahid ... 40
BAB III TINJAUAN HISTORIS ... 45
xiii
A. Perkembangan Formalisasi Islam di Indonesia ... 45
1. Penerapan Formalisasi Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan... 47
2. Penerapan Formalisasi Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan... 53
3. Penerapan Formalisasi Islam di Era Kontemporer... 57
B. Pro-Kontra Wacana Formalisasi Islam di Indonesia ... 62
BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG FORMALISASI ISLAM DI INDONESIA ... 70
A. Karakteristik Pemikiran Abdurrahman Wahid... 70
B. Wacana Formalisasi Islam di Indonesia Dalam Pandangan Abdurrahman Wahid ... 75
1. Ideologisasi Islam di Indonesia ... 75
2. Syariatisasi Islam di Indonesia ... 80
3. Wacana Negara Islam di Indonesia ... 89
C. Relevansi Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Formalisasi Islam di Indonesia Bagi Kehidupan Berbangsa Saat Ini ... 96
D. Catatan atas Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Formalisasi Islam di Indonesia ... 101
BAB V PENUTUP ... 104
A. Kesimpulan ... 104
B. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 107
CURICULUM VITAE ... 110
xiv ABSTRAK
Salah satu tema keislaman yang menarik di era kontemporer, yakni tentang fenomena Formalisasi Islam. Formalisasi Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Dan tak sedikit dari perjuangan formalisasi Islam ini yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Dalam sejarahnya, semangat untuk menerapkan Islam secara formal telah jauh diupayakan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sampai hari ini, fenomena keagmaan ini semakin kuat disuarakan baik melalui jalan institusi maupun non- institusi. Semua itu ditandai dengan lahirnya berbagai gerakan, kelompok, dan partai Islam radikal yang turut membantu dan mengupayakan penegakkan formalisasi Islam di Indonesia. Salah satu tokoh nasionalis yang enggan dan menolak formalisasi Islam di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid. Yang menarik dari KH. Abdurrahman Wahid adalah pengalamanya yang pernah menjadi salah satu golongan Islam radikal yang juga pernah mendukung dalam penegakkan formalisasi Islam, dan kemudian mempunyai pemikiran yang moderat dan liberal dalam berbagai hal. Sehingga dengan mengangkat tokoh ini, agaknya cukup menarik, sebab ia pernah mengalami dua fase pemikiran yang berbeda, yakni radikal-konservatif dan moderat-inklusif.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yang bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagai analisisnya.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni: 1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia?, 2. Bagaimana relevansi pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia bagi kehidupan berbangsa saat ini?. Dan adapun Tujuannya, ialah: 1. Mengetahui bagaiamana pandangan KH. Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia. 2. Mengetahui Bagaimana relevansi pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia bagi kehidupan berbangsa saat ini.
Hasil penelitian ini adalah: pertama, Abdurrahman Wahid menolak upaya- upaya mendirikan formalisasi Islam di Indonesia dengan cara konstitusi maupun non-konstitusi. Selain karena alasan teologis dan historis, baginya, wacana formalisasi Islam di Indnonesia tidak akan membawa kemaslahatan, justru sebaliknya, ia lebih banyak membawa kemudharatan. Kenyataan hari ini yang dapat dilihat bersama, bahwa Islam berkembang di Indonesia bukan dengan cara- cara formal, melainkan ia masuk dan menyatu ke dalam masyarakat lewat adat dan budaya Indonesia. Islam seperti inilah yang pada akhirnya mampu diterima oleh masyarakat Indonesia sekaligus menjadi kekuatan dan motivasi dalam melakukan segala tindakan. kedua, relevansi pandangan Abdurrahman Wahid bagi kehidupan bangsa saat ini sangat sesuai. Artinya memang benar adanya bahwa Islam akan tetap hadir dan menginspirasi bagi masyarakat apabila ia bergandengan dengan adat dan budaya Indonesia, bukan dengan jalan fornal yang bersifat kaku dan memaksa.
Kata kunci: Formalisasi Islam, Ideologisasi, Syariat, Negara Islam.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diskursus tentang formalisasi Islam—dengan berbagai bentuknya—telah menjadi kajian yang tidak pernah habis untuk diperbincangkan. Wacana ini terus diperdebatkan oleh berbagai kalangan baik di level teoritis maupun praktis. Di satu sisi, diskusi tentang formalisasi Islam sering di elu-elukan namun di sisi lain keberadaannya sering dihujat dan dikritik. Dengan kata lain diskusi mengenai formalisasi Islam masih diwarnai kontroversi. Beberapa tokoh intelektual Indonesia juga sering memberikan pandangannya tentang berbagai persoalan mengenai formalisasi Islam ini. Banyak diantara para tokoh tersebut seperti Nurcholish Madjid, Moslem Abdurrahman, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan Ahmad Syafii Maarif yang cenderung menolak gagasan formalisasi Islam dengan berbagai bentuknya.
Sebelumnya perlu disadari, bahwa Islam di Indonesia sangat beragam warna dan coraknya. Hal ini terlihat seperti sejarah masa lalu. Di dalam melihat sejarah Islam yang panjang di negeri ini, hal ini tampak nyata. Dalam pandangan Taufik Abdullah misalnya, ada empat macam perkembangan Islam yakni model Aceh, model Minang, model Goa, dan model Jawa. Keempat model ini sampai saat ini masih terasa pengaruhnya dalam perkembangan Islam di negeri ini, setelah berabad-abad ia diperkenalkan.
2
Pada model Aceh, masyarakat Islam berkembang dari daerah perkampungan muslim. Kampung-kampung muslim itu makin lama makin bertambah luas dan bertambah banyak penduduknya, hingga akhirnya membentuk kerajaan-kerajaan. Karena berkembang dari kampung Islam, kerajaannya pun memiliki wajah Islam yang menyeluruh. Dan hal ini tetap dipertahankan hingga zaman modern ini. Maka terkenalah sebuah pomeo
“Aceh adalah serambi Mekah”.1
Di ranah Minang, seribu kilometer lebih ke arah selatan, keadaannya ternyata berlainan. Tidak ada kerajaan yang kuat di tanah itu, karenanya juga tak ada pemerintahan pusat yang ditakuti orang. Karena itulah, hukum adat berkembang subur selama berabad-abad dan kemudian hukum syari’ah mendampinginya. Tentu, ini menimbulkan masalah kecil, karena ada dua kekuasaan yang berkembang pada saat bersamaan. Karena perbedaan demikian tajam, tanpa ada kekuasaan pusat yang sanggup menghentikan sengketa tersebut, akhirnya tidak dapat dihindarkan pertentangan dalam skala besar, yakni perang Paderi (tahun 1822-1836).
Peperangan itu, boleh dikata mustahil dapat dipecahkan secara militer tetapi harus diselesaikan secara politis. Dan itulah yang terjadi, ketika kekuasaan Belanda datang menghentikan peperangan dan memisahkan pihak-pihak yang bertikai, sebagaimana tergambar berdasarkan pomeo yang terkenal “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan pada
1 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 203.
3
kitabullah”. Ini adalah pemecahan yang bukan pemecahan, tetapi sanggup mengehentikan peperangan.2
Model ketiga, yaitu model Goa. Model ini adalah berdasarkan kenyataan sejarah yang panjang. Kekuasaan raja dianggap sebagai perwakilan kekuasaan agama, walaupun pada kenyataannya hal itu tidak terjadi. Memang formalitasnya terjadi, perkara kenyataan dapat dicari nantinya. Hal itu, kini, terjadi dalam kekuasaan para sultan di Semenanjung Malaya, diamana pun sultan dipandang sebagai pemimpin agama, apa pun tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, model Jawa bermula—boleh dikatakan, pada permulaan kerajaan Mataram. Keraton, sebagai pusat kerajaan ditampilkan sebagai pusat kekuasaan agama, walaupun seluruh warga negara tidak mempraktekkan ajarannya. Rajanya bergelar Sayyidin Panotogomo Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Namun, dalam kenyatannya, adat pra- Islamlah yang berlaku di keraton (pemakaian kemben yang berada di luar adat Islam). Juga kepergian sultan di Masjid Keraton yang hanya dua kali setahun serta keikutsertaannya dalam perayaan sekaten untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW.3
Dengan melihat perkembangan model islam di atas, agaknya hal itu memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana agama dan budaya merasuk menjadi satu. Dan kenyataan lain yang dapat dilihat hari ini bahwa perkembangan Islam model Aceh lah yang menarik sebagian
2 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; nilai, hlm. 204.
3 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; nilai, hlm. 204
4
gerakan-gerakan Islam radikal untuk menjadikan Islam sebagai bentuk formal dalam kehidupan masyarakat.
Dan hal ini jelas terlihat, pasca tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, upaya-upaya mewacanakan negara Islam dan formalisasi Islam di Indonesia kian merebak dan terus bergulir. Salah satu buktinya yang dapat dilihat bersama saat ini yakni, tumbuh suburnya organisasi Islam radikal yang demikian getol mengusung formalisasi Islam.4 Selain itu di ranah politik praktis terdapat sejumlah partai politik Islam yakni diantaranya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga demikian bersemangat dalam memperjuangkan penerapan Syariat Islam di wilayah publik (Negara).5
Kondisi seperti ini disebabkan tidak lain karena mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum muslim. Meskipun begitu Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, di kenal oleh berbagai kalangan dan bangsa-bangsa lain sebagai “Negerinya Kaum Muslim Moderat”. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebab hal ini terlihat dimata mereka bahwa Indonesia adalah salah satu negara—dengan
4 Diantara berbagai organisasi Islam radikal dan kelompok-kelompok politik Islam yakni, Darul Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Mujahidin, Gerakan Pemuda Islam, Forum Betawi Rembug (FBR) dan Front Pembela Islam (FPI). Selain organisasi Islam radikal “level Nasional” tersebut, tercatat juga organisasi berideologi serupa di “tingkat lokal”, semisal Forum Pemuda Islam Surakarta, Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam di Banten, Gerakan Penegak Syari’at Islam di Yogyakarta, Lembaga Pengkajian Penerapan Syari’at Islam di Pamekasan, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Syari’at Islam di Sukabumi, dan Front Thoriqatul Jihad di Kebumen. Lihat Ahmad Asroni, Pandangan Ahmad Syafi’i Maarif Tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010. Hlm. 2.
5 Ahmad Asroni, Pandangan Ahmad Syafi’i Maarif Tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010. Hlm. 2.
5
mayoritas muslim—dengan angka kekerasan yang lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara Islam lain seperti yang ada di Timur Tengah. Meskipun begitu pada kenyataannya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, konflik-konflik dan isu-isu kegamaan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Salah satunya yakni mengenai Formalisasi Islam.
Keinginan yang kuat partai-partai islam serta gerakan-gerakan Islam “garis keras” untuk menjadikan Islam secara formal dengan berbagai bentuknya—seperti ideologisasi Islam, Syariatisasi Islam, dan negara Islam—dapat dilihat dari desakan mereka untuk memasukkan kembali
“tujuh kata sakral”6 ke dalam amandemen UUD 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) di ranah legislatif.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh pengusung formalisasi Islam di Indonesia. Pertama, paradigma legal-ekslusif dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Para pendukung paradigma ini sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d” : din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didesain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh
6 “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
6
masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.7
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma ini mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam.
Paradigma ini menghendaki agar umat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya (Khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya, paradigma ini mendorong umat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistem-sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung oleh syari’at.
7 Menurut mereka, kewajiban teologis tentang penerapan Islam ke dalam sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia, yakni didasarkan pada Q.S. Al- Baqarah: 128, yang artinya: “masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh”( Q.S.
Al-Baqarah: 128). Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), hlm. 3.
7
Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap muslim untuk meneggakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku.
Keempat, dalam konteks politik paradigma formalisasi Islam menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam”, munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam.
Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma ini sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme kegamaan secara formal.8
Selain keempat alasan di atas, mereka juga meyakini bahwa hanya dengan diberlakukannya syari’at Islam, bangsa Indonesia akan mampu keluar dari semua aspek krisis multidimensional. Dan bagi mereka tuntutan formalisasi Islam merupakan arti atas gagalnya pemerintah Indonesia menegakkan hukum dan kriminalitas.9 Sebagai akibatnya tak jarang kita jumpai berbagai aksi-aksi anarki dan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai gerakan Islam dalam berbagai persoalan yang dihadapi. Aksi terorisme, serta radikalisme dan bentuk penindasan lain yang berkedok agama adalah sebagian contoh kekerasan yang terjadi di setiap wilayah.
8 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda, hlm. xxiii.
9 Ahmad Asroni, Pandangan Ahmad Syafi’i, hlm. 4.
8
Khususnya di Indonesia, peristiwa bom bali satu dan dua, bom solo, dan konflik internal yang terjadi di berbagai kelompok dan lembaga adalah realita yang tidak dapat dihindari. Contoh itu hanya sebagian kecil saja dari peristiwa-peristiwa yang ditemukan di Indonesia, dimana penyebab dari aksi itu salah satunya akibat dari suara mereka tak didengarkan oleh para tokoh-tokoh politik dan penegak hukum.
Disamping itu hal yang patut menjadi telaah bersama adalah kenyataan bahwa ratusan juta umat muslim di Indonesia dapat dianggap sebagai orang-orang “Islam Statistik” belaka atau dengan kata lain kaum muslimin yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Mereka mengaku muslim tapi tidak menjalankan syariat Islam dan perintah-perintah agama. Secara keseluruhan orang-orang muslim di Indonesia adalah mereka yang memeluk agama Islam tanpa mengerti dan tahu apa yang diperintahkan oleh agama. Orang-orang seperti itu, dikalangan “kaum santri” di negeri ini, dikenal dengan nama
“orang-orang abangan” (nominal muslim). Mereka berjumlah sangat besar, jauh lebih besar daripada kaum santri (orang-orang yang menjalankan perintah agama secara keseluruhan). Jika di masa lampau ada sebuah anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas ajaran-ajaran agama mereka berjumlah sekitar 30% dari penduduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak melaksanakan
“kewajiban-kewajiban” agama dengan tuntas.10
10 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda, hlm. 207.
9
Dari latar belakang itulah kemudian muncul sebuah kesadaran dari berbagai kelompok-kelompok Islam Radikal dan gerakan-gerakan Islam fundamentalis untuk menegakkan sebuah tatanan negara dan masyarakat Islami dengan cara mendirikan negara, kelompok maupun lembaga yang berideologi Islam dengan menggunakan syariat Islam sebagai landasan hukum pertama yang digunakan. Jelaslah dari hal itu, bahwa mereka menginginkan sebuah tatanan Islam formal dengan harapan dapat menjawab persoalan-persoalan dan meminimalisasi sebuah kekerasan yang terjadi saat ini.
Hasilnya dapat di lihat, munculnya berbagai lembaga, partai politik, bank, sekolah, perguruan tinggi, dll. yang menggunakan label
“Islam” atau “Syari’ah” sebagai legimitasi terhadap identitas dirinya.
Tujuannya ialah sebagai penanda atau “label” bahwa dirinya menerapkan
“sistem” Islam sebagai dasar tindakannya. Tidak hanya itu saja, Peraturan Daerah (PERDA) yang dibuat DPRD misalnya telah menggunakan syari’at Islam sebagai landasan aturannya.
Hal ini sebagaimana dapat dilihat di Sumatera Barat, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Sumatera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah jam 21.00 tanpa “dikawal” seorang keluarga dekat.11 Hal ini membuktikan bahwa hukum agama (syari’at) telah diberlakukan di daerah-daerah di Indonesia. Kemudian apa yang dapat di lihat sekarang di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang
11 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda, hlm. 209.
10
memberlakukan syari’at Islam sebagai landasan hukum daerahnya.12 Dimana Syari’at Islam menjadi hal yang paling fundamen dan rujukan dasar hukum dari segala pelanggaran hukum yang ada.
Berbeda dari peraturan PERDA, dalam hal ekonomi misalnya, bank-bank swasta—demikian yang dapat dilihat hari ini—tidak sedikit yang menggunakan istilah “syari’ah” sebagai legimitasi semua macam transaksinya. Memang benar jika dilihat secara mendalam mengenai bank syari’ah ini, ia tidak melakukan dan bahkan menjauh dari pungutan apapun, seperti riba dan bunga bank. Namun untuk mengalihkan hal-hal semacam itu—bunga bank, riba dll—yaitu dengan menaikkan ongkos- ongkos (bank cost) di atas kebiasaan. Dan hal ini malah hanya menjadi beban baru bagi dunia perbank-kan. Dengan menaiknya ongkos-ongkos itu, akan menjadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor. Dan hal ini tentu jelas merupakan sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip cara kerja sebuah bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya dengan transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin?. Karenanya, banyak bank-bank swasta dengan para pemilik saham non-muslim, turut terkena “demam syari’atisasi” tersebut.
12 Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam rentang tahun 2001-2010 telah disahkan 38 qanun di tingkat provinsi, belum dihitung puluhan qanun di kota dan kabupaten. Di Aceh besar sampai tahun 2010 telah disahkan 20 qanun dan diagendakan sampai tahun 2014 akan tercapai target 69 qanun yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Dari segi lain, sejak tahun 2009 terjadi perkembangan baru dengan disahkan Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Jinayat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tingkat provinsi. Lihat Haedar Nashir, Islam Syariat;
Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 21.
11
Fenomena menguatnya wacana Formalisasi Islam sesungguhnya bukanlah fenomena yang baru. Ia telah ada sejak Indonesia masih berumur belasan bulan, tepatnya ketika penentuan dasar negara. Akan tetapi, tuntutan yang didendangkan kelompok Islam tersebut kandas di tengah jalan lantaran mendapat resistensi dari kelompok nasionalis. “Kekalahan diplomatis” tersebut tidak menyurutkan sebagian kalangan Muslim untuk terus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan memformalisasikan Islam hingga detik ini, baik lewat jalur parlemen maupun gerakan di luar parlemen sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai kelompok Islam radikal seperti FPI, MMI, FUI, dan sebagainya selama ini.13
Selain mendapat penolakan dari kelompok nasionalis, kelompok Islam radikal dan gerakan-gerakan yang semacamnya, tidak luput juga mendapat kritik dan respon yang negatif dari umat beragama Non-Muslim.
Kenyataan bahwa Indonesia memiliki enam agama yang diakui negara, secara otomatis menjadikan umat beragama non-muslim menolak pemberlakuan formalisasi islam dengan segala macam bentuknya.
Ditambah lagi dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menempati garda terdepan dalam menolak setiap upaya formalisasi Islam. Inilah kenyataan yang dihadapi, bahwa wacana mengenai formalisasi Islam merupakan suatu fenomena sosio-politik-keagamaan yang menggembirakan sekaligus problematis.
13 Ahmad Asroni, Pandangan Ahmad Syafi’i Maarif, hlm. 4.
12
Melihat masalah-masalah yang ada mengenai fenomena formalisasi Islam di atas, salah seorang tokoh sekaligus “wali kesepuluh”
yang mempunyai pemikiran kompleks terhadap segala problem sosio- politik-keagamaan, Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai bapak bangsa dan bapak pluralisme Indonesia, mencoba untuk mengkritisi dan memberikan pandangannya mengenai wacana formalisasi Islam dengan segala macam bentuknya. Abdurrahaman Wahid atau yang sering akrab disapa Gus Dur, mencoba untuk menengahi berbagai macam persoalan fenomena formalisasi Islam. Abdurrahman Wahid mengkritik gerkan- gerakan Islam radikal serta partai-partai politik yang ingin mencoba menjadikan Islam secara formal. Abdurrahman wahid mengemukakan pendapatnya bahwa kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara dengan berbagai macam budaya dan agama, tidak bisa menerima legitimasi mengenai formalisasi Islam dalam bentuk apapun. Sebab Islam dengan
“baju” yang formal hanya akan melahirkan ideologi-ideologi yang keras dan cenderung ekslusif. Begitu juga, sangat kurang diketahui bahwa Islam dapat dilihat secara institusional/ kelembagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/ budaya di pihak lain. Jika kita mementingkan budaya/ kultur, maka lembaga yang mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank Syari’ah. Selama budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga. Karena itu, tidak perlu
13
berlomba-lomba mengadakan syari’atisasi, ideologisasi, dan formalisasi Islam.14
Dari pernyataan itulah menurut penulis, sangat menarik mendiskusikan pandangan Abdurrahman Wahid tentang Formalisasi Islam di Indonesia. Hal inilah juga yang menjadikan kegelisahan akademik penulis menyeruak, terutama keprihatinan penulis melihat berbagai praktik kekerasan yang dipertontonkan sebagian umat Muslim yang menghendaki pendirian Negara Islam dan penerapan Formalisasi Islam secara penuh.
Hal inilah yang mendorong penulis pula untuk mengkaji pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai formalisasi Islam serta pemikirannya yang pada awalnya legal-ekslusif dan fomalistik berubah drastis menjadi substantif-inklusif.
Dengan demikian harapannya, pandangan-pandangan Abdurrahman Wahid tersebut pada gilirannya dapat berkontribusi dan menjadi telaah bersama dalam kehidupan nyata, sebagai refleksi atas segala macam fenomena sosio-politik-keagamaan yang sedang terjadi saat ini. Dan penulis juga berharap agar konflik-konflik yang terjadi saat ini dapat terselesaikan dengan kesadaran bersama tentang arti pentingnya paradigma pemikiran substantif-inklusif. Bahwa kekerasan atas nama agama yang terjadi saat ini salah satu penyebabnya adalah karena sempitnya wawasan, pengetahuan dan pemikiran kita terhadap segala perbedaan yang ada.
14 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda, hlm. 211.
14
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa pokok rumusan masalah sebagai langkah memfokuskan penyusunan skripsi. Rumusan masalah penting agar penyusunan skripsi ini tidak melebar ke mana-mana dan tidak keluar dari maksud dan tujuan.
Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia?
2. Bagaimana relevansi pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia bagi kehidupan berbangsa saat ini?
C. Tujuan dan Kegunaan
Dari rumusan masalah di atas penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan dan manfaat sebagai berikut:
1. Tujuan dan kegunaan penelitian:
a. Mengetahui bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia.
b. Mengetahui bagaimana relevansi pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam dalam konteks ke-Indonesia-an saat ini.
D. Tinjauan Pustaka
Karya-karya ilmiah yang membahas masalah formalisasi Islam sudah terbilang sangat banyak. Mulai dari buku, jurnal, skripsi, tesis,
15
disertasi dll. Telah banyak memberikan gambaran mengenai isu-isu keagamaan, khsusunya pada wacana formalisasi Islam ini. Namun menurut hemat penulis, pembahasan mengenai fenomena formalisasi Islam yang ada di Indonesia masih terbilang sangat sedikit.
Adapun kumpulan buku dan skripsi yang berkaitan dengan tema ini yaitu:
Skripsi Ahmad Asroni yang berjudul, Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia.15 Skripsi ini secara garis besar menyoroti pemikiran Ahmad Syafii Maarif mengenai diskursus negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia. Ahmad Asroni mencoba mengupas tentang fenomena formalisasi Islam di Indonesia dengan berbagai bentuknya. Dari latar belakang masalah yang ada dengan kegelisahannya ia mencoba menjabarkan pandanangan Ahmad Syafii Maarif yang tidak setuju dengan berbagai bentuk formalisasi islam yang ingin diterapkan oleh berbagai gerakan-gerakan Islam radikal. Ahmad Syafii Maarif secara sistematis menguraikan biografi singkat disertai dengan situasi kondisi sosio-politik- keagamaan yang terjadi pada waktu itu, tinjauan umum mengenai negara Islam dan formalisasi Islam di Indonesia, analisis tentang diskursus negara islam dan formalisasi Islam di mata Ahmad Syafii Maarif.
15 Ahmad Asroni, “Pandangan Ahmad Syafii Maarif Tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
16
Skripsi Alif Nurjanah yang berjudul, Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Negara Islam.16 Secara garis besar skripsi ini menjabarkan pemikiran Abdurrahaman Wahid mengenai penolakannya terhadap negara Islam. Alih-alih yang di dapat adalah bahwa semakin maraknya gerakan Islam radikal dan partai politik Islam yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Seperti yang terjadi di masa orde baru, yakni keinginan Daulah Islamiyah yang dibantu dengan Tentara Islam Indonesia untuk membentuk dan mendirikan tatanan negara yang berbasis Islam.
Skripsi ini berusaha menengahi problem tersebut dengan menggunakan pandangan Abdurrahman Wahid sebagai tinjauan analisisnya.
Skripsi Dede Husni Mubarrok yang berjudul, Pemberlakuan Syari’at Islam di Indonesia (Studi Perbandingan Antara Pandangan Abdurrahman Wahid dan M. Natsir).17 Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang studi komparasi Abdurrahman Wahid dan M. Natsir.
Titik fokus dari skripsi ini yaitu melihat perbedaan dan persamaan pendapat yang di utarakan masing-masing tokoh mengenai Pemberlakuan Syari’at Islam di Indonesia. Tentunya yang menjadi pertimbangan disini ialah latar belakang kehidupan masing-masing tokoh yang menyebabkan perbedaan dan persamaan pandangan mengenai problem di atas. Dede Husni Mubarrok secara sistemik menguraikan skripsinya dengan
16 Alif Nurjanah, “Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Negara Islam”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
17 Dede Husni Mubarrok, “Pemberlakuan Syari’at Islam di Indonesia (Studi Perbandingan Antara Pandangan Abdurrahman Wahid dan M. Natsir)”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
17
menguraikan latar belakang masalah dan biografi singkat dari masing- masing tokoh—yang disertai dengan latar sosio-politik yang ada pada masanya.
Skripsi Dedi Arafat yang berjudul, Penerapan Hukum Islam di Indonesia (Studi Komparatif Antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais).18 Skripsi ini secara garis besar menganalisis perbandingan dua pandangan yang berbeda mengenai Hukum Islam di Indonesia. Dimana penelitian ini menitik beratkan terhadap komparasi yang di jelaskan oleh masing-masing tokoh mengenai penerapan hukum Islam di Indonesia.
Skripsi ini secara menyeluruh berbicara tentang istilah Syari’atisasi dengan berbagai bentuknya. Hukum Islam yang selalu berusaha untuk di terapkan di berbagai wilayah Indonesia seperti di Aceh, Sumatera Barat dll, merupakan sebuah bukti kegelisahan penelitian ini terhadap penerapan hukum Islam di Indonesia. Dedi Arafat berusaha menengahi permasalahan ini dengan mencoba membandingkan dua pemikiran tokoh Indonesia dengan latar belakang yang berbeda.
Buku yang berjudul Damai bersama Gus Dur19 yang memuat kumpulan berita, artikel, jurnal, tulisan-tulisan refleksi dan analisis yang dimuat harian Kompas tahun 2010. Secara garis besar buku ini merupakan sebuah kumpulan dan gambaran dari berbagai tokoh yang merefleksikan
18 Dedi Arafat, “Penerapan Hukum Islam di Indonesia (Studi Komparatif Antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais)”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
19 Rumadi (ed), Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010)
18
ketokohan Gus Dur yang sangat plural dan merakyat. Gus Dur dipandang sebagai bapak bangsa yang menganjurkan kebebasan berekspresi dan anti kekerasan. Hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan adalah hal utama yang diinginkan oleh Gus Dur. Dan hal lain yang diserukan Gus Dur dalam buku ini yakni menolong sekaligus memberi tempat pada kelompok minoritas yang tertindas serta penolakannya terhadap bentuk gerakan- gerakan Islam radikal yang banyak menimbulkan kekerasan.
Dari tinjauan pustaka di atas, penelitian yang hendak dilakukan di sini, sudah barang tentu berbeda, karena penulis lebih memfokuskan pada Formalisasi Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid di Indonesia dengan berbagai bentuknya. Dan dari tinjauan pustaka tersebut, penulis belum menemukan sebuah pembahasan yang secara khusus membahas mengenai formalisasi Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid.
Sehingga berangkat dari sini penulis ingin mengetahui lebih dalam bagaimana sebenarnya gagasan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam serta pemikiran yang ditawarkan sebagai bentuk respon terhadap formalisasi Islam di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka disusunlah metode penilitian sebagai panduan yang akan mengarahkan jalannya penelitian ini, yaitu:
19
1. Jenis Penilitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang mendiskripsikan objek penelitian berupa kata-kata. Sedangkan Jenis penelitian yang digunakan penulis pada skripsi ini yakni tinjauan pustaka (library research), yakni menjadikan bahan pustaka dan literatur lainnya sebagai sumber data utama, sehingga disebut penelitian dokumenter (documentary research). Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis-faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran tokoh.20 Penelitian pustaka memiliki dua sumber yang menjadi rujukan kajian, yaitu data-data primer dan data-data sekunder.
Data-data primer diambil sebagai objek material dalam penelitian ini.
Sedangkan data-data sekunder diambil dari data pustaka yang menunjang dan memperkuat (objek material dan formal) penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dari jenis penelitian di atas, maka disusunlah teknik pengumpulan data. Data primer diambil langsung dari karya-karya Abdurrahman Wahid sebagai objek kajian antara lain: Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Muslim di Tengah Pergumulan, Tuhan Tidak Perlu Dibela .
20 Anton Bakker, Metode Penelitian Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984), hlm. 136.
20
Sedangkan data pustaka sekunder dikumpulkan dan diambil dari berbagai karya orang lain yang menunjang dan mendukung dalam penelitian ini, di antaranya yakni: Prisma Pemikiran Gus Dur, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, Islam Dinamis (Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu), Damai Bersama Gus Dur, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif; Sebuah Biografi Intelektual dan beberapa buku lain, artikel, jurnal, dan berbagai karya tulis yang mendukung dan urgent untuk diangkat sebagai pelengkap dan penyempurna penelitian ini.
3. Teknik Pengolahan Data
Secara metodologis pendekatan yang penulis pakai dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis adalah kegiatan refleksi dan juga kegiatan rasionalisasi.
Refleksi filosofis ini, tujuannya ialah memperoleh kebenaran yang mendasar; menemukan makna, dan inti segala inti atau dengan kata lain menemukan hakikat terdalam dari yang diteliti.21 Keunikan filsafat sebagai pendekatan terletak pada kenyataan bahwa ia adalah aktivitas berpikir tanpa mengakhirinya dengan anggapan sebagai kebenaran.22
Setelah penulis telah mengumpulkan data-data yang telah dibutuhkan, dari data primer sampai data sekunder, maka langkah
21 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 15.
22 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, hlm. 61.
21
selanjutnya adalah ditelaah dan dianalisis. Langkah-langkah dan tahapan-tahapan yang digunakan dalam menganalisis data tersebut adalah disesuaikan dengan pendekatan filosofis sebagai landasan metodologisnya. Adapun metode-metode yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Deskripsi: Dengan metode ini penulis akan mencoba menyajikan pemikiran Abdurrahman Wahid secara deskriptif-komprehensif.
Dalam artian, akan dilakukan penggalian atas unsur-unsur yang mempengaruhi pemikirannya, baik lingkungan, agama, sosial, budaya maupun politik. Metode deskriptif ini diterapkan sejak persiapan penelitian, pelaksanaan pengumpulan data, serta analisis data.23
b. Kesinambungan Historis: melalui metode ini penulis bermaksud menerangkan sejarah hidup Abdurrahman Wahid, demi melihat kondisi sosial-politik-budaya yang dialami dan pengaruh atas cara pandangnya secara lebih dalam.
c. Analisis filosofis: sebuah analisa penting untuk dilakukan setelah memperoleh data, melihat lebih dalam dan merefleksikan pemikiran tokoh untuk memperoleh kebenaran yang mendasar;
menemukan makna, dan inti segala inti atau dengan kata lain menemukan hakikat terdalam dari pemikiran tokoh.
23 Kaelan, metode penelitian Kualitatif Bidang Filsafat: Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat , Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm. 250.
22
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan menjadi penting untuk memudahkan pemahaman akan prosedur dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini disusun dalam sistematika pembahasan.
Secara keseluruhan, peyusunan skripsi ini terdiri atas lima bab.
Bab pertama, adalah pendahuluan. Bab ini mengemukakan problem akademik yang melatarbelakangi permasalahan yang akan dibahas.
Permasalahan tersebut difokuskan dalam rumusan masalah, serta tujuan dan kegunaan penyusunan skripsi yang hendak dicapai. Hal ini demi memberikan arah yang jelas dalam pembahasan yang akan dilakukan.
Didukung juga dengan adanya metodologi penelitian sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang baik. Sistematika pembahasan menjadi rangkaian akhir pembahasan dalam bab ini. Di dalamnya dibahas poin-poin yang akan diungkapkan lebih lanjut dalam penyusunan skripsi ini.
Bab kedua, membahas biografi tokoh, yakni Abdurrahman Wahid.
Dimulai dari kelahiran, latar belakang historis, sosio-kultur, pendidikan hingga karya-karya dari tokoh tersebut. Pemaparan akan biografi ini menjadi penting sebab hal ini memberikan gambaran kepada pembaca mengenai riwayat hidup dan kegiatan Abdurrahman Wahid di masa lalunya. Dengan mengetahui biografi tokoh yang di angkat di atas diharapkan dapat mengetahui berbagai gejolak dan keadaan psikis tokoh.
23
Dengan begitu kecenderungan tokoh yang diangkat pada skripsi ini dapat diketahui secara komprehensif.
Bab ketiga, penulis berusaha mengulas wacana formalisasi Islam di Indonesia. Dimulai dari meninjau kondisi historis formalisasi Islam di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan dengan pro-kontra formalisasi islam di Indonesia. Bab ketiga ini secara umum menelisik lebih jauh mengenai wacana formalisasi Islam di Indonesia dengan berbagai bentuknya. Bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, wacana formalisasi Islam telah di mulai dan menjadi perbincangan yang tiada habisnya. Dan pasca orde baru wacana ini menjadi semakin hangat. Oleh sebabnya tinjuan umum mengenai formalisasi Islam ini menjadi penting untuk diuraikan lebih jauh di bab ini.
Bab keempat, merupakan titik fokus dari penyusunan skripsi ini.
Dalam bab ini penulis berusaha mengungkapkan bangunan pemikiran tokoh. Dimulai dari karakteristik pemikiran tokoh, kemudian dilanjutkan dengan menguraikan pandangan tokoh tentang formalisasi Islam, dengan memaparkan tentang Ideologisasi Islam, Syariatisasi Islam, dan Negara Islam. Kemudian lebih dari itu hal yang lebih penting lagi untuk diuraikan di bab ini yakni, relevansi pandangan kritis tokoh tentang formalisasi Islam di Indonesia bagi kehidupan berbangsa saat ini. Dari sinilah penulis berharap bisa memberikan bangunan pemetaan kepada pembaca dalam melihat pemikiran tokoh tentang formalisasi Islam di Indonesia.
24
Terakhir Bab kelima, yang sekaligus menjadi bab penutup dari penyusunan skripsi ini. Selain penutup yang merupakan jawaban atas rumusan masalah serta kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, juga diuraikan saran-saran yang sekiranya bermanfaat bagi kajian-kajian berikutnya.
104 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
1. Menurut Abdurrahman Wahid, penerapan formalisasi Islam di Indonesia tidak relevan.
2. Relevansi pandangan Abdurrahman Wahid tentang formalisasi Islam di Indonesia bagi kehidupan berbangsa saat ini, adalah benar adanya bahwa Islam akan tetap hadir dan menginspirasi bagi masyarakat apabila ia bergandengan dengan adat dan budaya Indonesia, bukan dengan jalan fornal yang bersifat kaku dan memaksa. Serta kesadaran pluralistiklah yang harus dipelihara oleh umat, bukannya lembaga tertentu seperti negara atau formalisasi Islam yang harus disandari.
B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan terkait kajian mengenai formalisasi Islam di Indonesia dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dianataranya:
Pertama, banyak faktor yang mempengaruhi munculnya aspirasi wacana pendirian formalisasi Islam di Indonesia, salah satunya adalah
105
pemahaman kegamaan yang sempit dan tekstualis dari kelompok- kelompok Islam radikal. Oleh karena itu menurut hemat penulis, umat muslim, terlebih untuk kelompok moderat, harus banyak berdialog dengan mereka sekalipun itu adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Berikanlah pemahaman Islam yang Inklusif, toleran, dan substansialistik kepada- kepada kelompok Islam garis keras. Dan faktor lain yang melatarbelakangi berdenyutnya kembali wacana formalisasi Islam di Indonesia hari ini adalah ketidakadilan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang tejadi di negeri ini, serta tingginya jumlah kekerasan yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia atas sistem tata negara yang tidak berjalan seperti seharusnya. Atas dasar itulah tuntutan-tuntutan formalisasi Islam di Idonesia sebagai alterantif pilihan satu-satunya untuk diterapkan ke dalam tatanan pemerintahan negara. Oleh karena hal itulah semua pihak, terutama pemerintah, harus mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua elemen masyarakat. Dengan demikian, kelompok-kelompok penyeru wacana formalisasi Islam—terutama kelompok Islam garis keras—dapat direduksi.
Kedua, hendaknya kalangan Islam moderat; baik NU maupun Muhammadiyah atau ormas-ormas Islam yang lain apapun latar belakangnya, senantiasa tiada bosan mendakwahkan Islam berwajah damai dan bersenandung cinta. Upaya-upaya tersebut jangan hanya berupa imbauan moral saja, tetapi direalisasikan dengan kerja kongkrit, semisal melalui pengajaran pendidikan agama Islam yang kritis-emansipatoris,
106
yang didalamnya menekankan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan perdamaian. Selain itu, kelompok moderat juga diharapkan dapat menyelenggarakan berbagai agenda kemasyarakatan, misalnya, membuat resolusi anti-terorisme dan anti-korupsi, menyelenggarakan berbagai program pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan (ekologi), dan agenda kemanusiaan lainnya. Penulis meyakini dengan cara-cara seperti itulah yang disertai langkah yang kongkrit akan memberikan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya sikap saling menghargai di tengah keragaman, ras, dan budaya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius. 1990.
Barton, Greg. The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta:
LKiS. 2016.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafiti Pers. 1985.
Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar
Doktrin Yang Membatu. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2001.
Dur, Gus. Santri Par Excellence; Teladan Sang Guru Bangsa. Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara. 2010.
Esposito, John L. Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat. Bandung: Mizan. 2010.
Hamid, M. Gus Gerr; Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Marwa. 2010.
Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
108
Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma. 2005.
Karman, Yonky. Runtuhnya Kepedulian Kita; Fenomena Bangsa yang Terjebak Formalisme Agama. Jakarta: Kompas. 2010.
Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama.
Bandung: Mizan. 2011.
Nasir, Haedar. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.
Bandung: Mizan. 2013.
Rifai, Muhammad. Gus Dur; KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940- 2009. Yogyakarta: Garasi House of Book. 2012.
Singh, Bilveer dan Zuly Qodir. Gerakan Islam Non Mainstream dan Kebangkitan Islam Politik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Sitompul, Agussalim. Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Misaka Galiza. 2008.
Sofia, Adib. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: KaryaMedia. 2012.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 1996.
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. 2007.
--- Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. 1999.
--- Islamku Islam anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi.
2011.Jakarta: The Wahid Institute.
109
--- dkk. Islam tanpa kekerasan. Yogyakarta: LKiS. 2000.
SKRIPSI :
Asroni, Ahmad. Pandangan Ahmad Syafii Maarif Tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Skripsi.
Fakultas Ushuluddin danPemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2010.
Gaffar, Abdul. Potret Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid; Studi Terhadap Buku Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton dan Buku Ijtihad Politik Gus Dur Karya Munawar Ahmad. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2011.
Wahyudi. Teologi Pembebasan Abdurrahman Wahid. Skripsi. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2016.
110
CURRICULUM VITAE
Nama : Eko Andriyanto Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat lahir : Gunungkidul
Kewarganegaraan : Warga Negara Indonesia Agama : Islam
Status : Lajang
Alamat asal : Dusun Pudak A, Jerukwudel, Kec. Girisubo, Kab. Gunungkidul,DIY Alamat di Jogja : jl. Nologaten, Gg. Ambarmadu II, Catur Tunggal, Depok, Sleman No. Hp : 082243584285
Email : [email protected] Orang Tua : Ayah : Agus Joko Pitoyo Ibu : Suwasni
Latarbelakang Pendidikan
TK ABA 1999 – 2000
SD N WOTA-WATI 2000 – 2006
SMP N 1 GIRISUBO 2006 – 2009
SMK N 1 GIRISUBO (JURUSAN TI) 2009 – 2012
PROGRAM SARJANA (S1)
AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013 – 2017