PENGARUH KONSENTRASIINHIBITOR EKSTRAK METANOLDAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJUKOROSI
BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE BDAN JUMLAH FeDAN C YANG TERKOROSI DALAM
NATRIUM KLORIDA 3 %
SKRIPSI
UCI KARLINA 110802057
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUANALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI
BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM
NATRIUM KLORIDA 3 %
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelarSarjana Sains
UCI KARLINA 110802057
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul :
Kategori : Skripsi
Nama : Uci Karlina
Nomor Induk Mahasiswa : 110802057
Program Studi : Sarjana (S1) Kimia Departemen : Kimia
Fakultas :
Disetujui di
Medan, Mei 2015
Komisi Pembimbing:
Pembimbing 2, Pembimbing 1,
Saharman Gea,Ph.D Dr. Darwin Yunus Nasution,MS NIP: 196811101999031001 NIP: 195508101981031001
Diketahui/Disetujui oleh:
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
Dr. Rumondang Bulan,MS NIP: 195408301985032001
Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40
Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %
PERNYATAAN
PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI
BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM
NATRIUM KLORIDA 3 %
SKRIPSI
Saya mengakui skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.
Medan, Mei 2015
PENGHARGAAN
Bismillahirrohaminrrohim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan Penulis kemudahan dan jalan hingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam Penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad saw yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi seluruh umatnya.
Ucapan terimakasih yang setulusnya Penulis berikan kepada kedua orangtua Penulis (Ayahanda Iskandar dan Ibunda Khainar) yang telah membesarkan dan memberikan dukungan baik moril dan materil serta kasih sayangnya yang tiada tara hingga Penulis berhasil sampai di titik ini. Untuk keluarga Penulis Abangda Agus Aryanto, Kakanda Yuli Aryanti dan keluarga, Kakanda Rian Yulita dan keluarga, serta seluruh keluarga besar yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas segala dukungan serta doa hingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi Penulis ini.
Terimakasih Penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing I yaitu Bapak Dr. Darwin Yunus Nst, M.S dan Dosen Pembimbing II yaitu Bapak Saharman Gea, Ph.D atas segala bimbingan, ilmu dan waktu yang telah diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada Ketua Departemen Kimia FMIPA USU Ibu Dr. Rumondang Bulan, M.S dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc yang telah memberikan kemudahan terhadap apa yang Penulis perlukan selama ini, serta seluruh staf pegawai Departemen Kimia FMIPA USU yang telah membantu segala keperluan Penulis selama ini.
Kepada teman-teman seperjuangan Kimia 2011 yang sangat membantu dalam proses perkuliahan hingga skripsi Penulis, kakak dan abang Kimia 2008 – 2010, adik-adik Kimia 2012-2014, keluarga besar Laboratorium Kimia Fisika dan Kimia Polimer (Bang Enka, Kak Rudnin, Kak Rina, Kak Wimpy, Bang Firman, Kak Deasy, Kak Mira, Bang Aidil, Bang Supran, Kak Neni, Kak Iis, Kak Diana, Kak Gita, Kak Leni, Choliq, Habibi, Sucil, Uli, Anes, Yuli, Vivin, Arbaiyah, Yudis, Nina), Yuni, Nana, Dini yang selalu menemani Penulis dalam setiap proses perkuliahan hingga skripsi ini, serta terkhusus kepada Alex Sutoyo yang telah sangat membantu memberikan dukungan dan bantuan kepada Penulis, Penulis ucapkan terimakasih.
PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI
BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM
NATRIUM KLORIDA 3 %
ABSTRAK
Penentuan pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro (Leucaena Leucocephala L) terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade
B serta jumlah Fe dan C yang terkorosi dalam natrium klorida (NaCl) 3 % telah dilakukan. Daun lamtoro yang telah dikeringanginkan dihaluskan hingga berukuran 80 mesh. 250 gram serbuk daun lamtoro diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol sebanyak 1 liter hingga 5 kali pengulangan. Ekstrak daun lamtoro dipekatkan dan diuapkan hingga menjadi pasta. Inhibitor dibuat dalam konsentrasi 200; 400; 600; dan 800 ppm. Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B direndam dalam larutan NaCl 3 %, larutan inhibitor selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari, campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor selama 7 hari dengan variasi konsentrasi inhibitor 200; 400; 600; dan 800 ppm. Hasilnya memperlihatkan bahwa laju korosi terendah diperoleh pada perendaman baja didalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 149,4648 mpy dengan efisiensi inhibisi maksimum yaitu 68,55 %. Jumlah Fe terendah diperoleh sebesar 135 ppm pada perendaman baja dalam campuran NaCl 3 % dan inhibitor dengan konsentrasi 800 ppm yang diuji dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom, sedangkan jumlah C terendah diperoleh sebesar 0,1 % pada perendaman baja dalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yang diuji dengan Metode Gravimetri. Hasil morfologi permukaan masing – masing baja sebelum dan sesudah terkorosi juga memperlihatkan hasil yang sangat signifikan, dimana dapat dilihat bahwa Baja Karbon Schedule 40 Grade B sangat mudah terkorosi dalam media NaCl 3 % yang sifatnya mirip dengan air laut.
THE EFFECT OF THE CONCENTRATION OF METHANOL EXTRACT OF LEAVES OF LAMTORO INHIBITOR (Leucaena Leucocephala L)
AGAINSTCORROSION RATE CARBON STEEL SCHEDULE 40 GRADE B AND NUMBER OF Fe AND C IN
SODIUM CHLORIDE 3%
ABSTRACT
Determination of the effect of the concentration of the methanol extract of leaves lamtoro inhibitor (Leucaena leucocephala L) against corrosion rate Carbon Steel Schedule 40 Grade B as well as the number of corroded Fe and C in sodium chloride (NaCl) 3% has been done. Lamtoro leaves that have dried crushed to 80 mesh size. 250 grams of powder lamtoro leaf maceration extracted with methanol as much as 1 liter to 5 repetitions. Lamtoro leaf extract was concentrated and evaporated until being the pasta. Inhibitor made in concentrations of 200; 400; 600; and 800 ppm. Samples Carbon Steel Schedule 40 Grade B soaked in a solution of 3% NaCl, the inhibitor solution for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days, 3 % NaCl and inhibitor solution mixture for 7 days with a variation of the concentration of inhibitor 200; 400; 600; and 800 ppm. The results showed that the lowest corrosion rate obtained on the steel immersion in inhibitor with a concentration of 600 ppm for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days is equal to 149,4648 mpy with maximum inhibition efficiency is 68,55%. Lowest numbers of Fe content obtained at 135 ppm in the steel immersion in a mixture of inhibitors with a concentration of 800 ppm and 3 % NaCl were tested by means of Atomic Absorption Spectrophotometer, while the lowest numbers of C is equal to 0.1 % on steel immersion in inhibitor with a concentration of 800 ppm for 24 hours and then NaCl 3% for 7 days tested by Methods Gravimetry. Results of surface morphology of each - before and after the corroded steel also showed highly significant results, which can be seen that Carbon Steel Schedule 40 Grade B very easily corroded in a 3% NaCl media that are similar to sea water.
DAFTAR ISI
Daftar Lampiran xi
BAB 1 Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 4
1.2. Perumusan Masalah 5
1.3. Pembatasan Masalah 5
1.4. Tujuan Penelitian 5
1.5. Manfaat Penelitian 6
1.6. Metodologi Penelitian 6
1.7. Lokasi Penelitian 7
BAB 2 Tinjauan Pustaka 8
2.1. Karat dan Akibatnya 8
2.2. Teori Korosi 9
2.2.1. Teori Korosi 9
2.2.2. Pengertian Korosi 10
2.3. Jenis – Jenis Korosi 12
2.4. Prinsip Dasar Pengendalian Korosi 15 2.4.1. Pengendalian Korosi Melalui Perancangan 15 2.4.2. Pengendalian Korosi Melaluui Pengubahan
Lingkungan
16
2.4.3. Pengendalian Korosi Dengan Lapisan Pelindung
20
2.4.4. Pengendalian Korosi Dengan Pemilihan Bahan 20 2.4.5. Proteksi Katodik Dan Anodik 21
2.5. Baja Karbon 21
2.6. Natrium Klorida 22
2.7. Lamtoro 23
2.8. Metode Pengukuran Laju Korosi Dan Efisiensi Inhibitor
25
2.8.1. Pengukuran Laju Korosi Dengan Metode
Weight Loss Coupons
25
BAB 3 Metode Penelitian
3.1. Alat 27
3.2. Bahan 28
3.3. Prosedur Penelitian 28
3.3.1. Persiapan Daun Lamtoro 28
3.3.2. Persiapan Sampel Baja 28
3.3.3. Ekstraksi Daun Lamtoro 28
3.3.4. Analisa Rendemen Ekstrask 29
3.3.5. Pembuatan Media Korosi Nacl 3 % 29 3.3.6. Pembuatan Larutan Inhibitor 29 3.3.7. Pengujian Perendaman Dengan Menggunakan
Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
30
3.3.8. Penentuan Jumlah Fe (besi) dan C (karbon) Yang Terkorosi Dalam NaCl 3 %
30
3.3.8.1. Penentuan Logam Besi 30
3.3.8.2. Penentuan Karbon 30
3.3.9. Analisa Morfologi Logam Baja Dengan Mikroskop Stereo
30
3.3.10. Pengolahan Data 31
3.4. Bagan Penelitian
3.4.1. Persiapan Ekstrak Metanol Daun Lamtoro 32 3.4.2. Penguapan Pelarut Dari Hasil Ekstraksi 33 3.4.3. Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B
Dalam Larutan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 jam)
34
3.4.3. Perendaman Baja Karbon Schedule40 Grade B Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Lalu NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)
34
3.4.4. Perendaman Baja Karbon Schedule40 Grade B Dalam Campuran Larutan Inhibitor Dan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)
35
BAB 4 Hasil Dan Pembahasan
4.1. Hasil Penelitian 36
4.1.1. Kadar Nitrogen Bebas Di Dalam Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
36
4.1.2. Analisis Rendemem Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
36
4.1.3. Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B 37 4.1.4. Efisiensi Inhibisi Dari Pasta Ekstrak Metanol Daun
Lamtoro Terhadap Laju Korosi Baja Karbon
Schedule 40 Grade B
38
4.1.5. Jumlah Fe (Besi) Dan C (Karbon) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade
B Selama 7 Hari
39
4.2.1. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule
40 Grade B
47
4.2.1.1. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule
40 Grade B Sebelum Perendaman
48
4.2.1.2. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule
40 Grade B Dalam Larutan NaCl 3 %
48
4.2.1.3. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule
40 Grade B Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Lalu Nacl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)
49
4.2.1.4. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule
40 Grade B Dalam Campuran Nacl 3 % Dan Inhibitor Selama 7 Hari (168 Jam)
51
BAB 5 Kesimpulan Dan Saran
5.1. Kesimpulan 52
5.2. Saran 52
Daftar Pustaka 53
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
2.1 Kandungan Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) 25 4.1 Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B 38 4.2 Efisiensi Ekstrak Methanol Daun Lamtoro Terhadap
Sampel Baja Karbon ScheduleGrade B
39
4.3 Konsentrasi Logam Fe (Besi) Dan C (Karbon) Di Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon ScheduleGrade
B Selama 7 Hari
DAFTAR GAMBAR
2.5 Selective Leaching Corrosion 14
2.6 Korosi Tegangan 15
2.7 Mekanisme Inhibisi Ekstrak Bahan Alam 19 2.8 Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) 24 4.1 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap
Efisiensi Inhibitor
41
4.2 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap Laju Korosi Baja Karbon
43
4.3 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap Kadar Fe Yang Terlarut Di Dalam Larutan NaCl 3 %
45
4.4 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap Kadar C Yang Terlarut Di Dalam Larutan NaCl 3 %
45
4.5 Permukaan Baja Awal Sebelum Perendaman 47 4.6 Permukaan Baja Dalam Media Nacl 3 % Tanpa Inhibitor 48 4.7 (a) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah
Sebelumnya
Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 200 ppm
49
4.7 (b) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah Sebelumnya
Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 400 ppm
49
4.7.(c) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah Sebelumnya Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 600 ppm
49
4.7 (d) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah Sebelumnya Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 800 ppm
49
4.8 (a) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan Inhibitor Dengan Konsentrasi 200 ppm
51
4.8 (b) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan Inhibitor Dengan Konsentrasi 400 ppm
51
4.8 (c) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan Inhibitor Dengan Konsentrasi 600 ppm
51
4.8 (d) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan InhibitorDengan Konsentrasi 800 ppm
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Halaman
1 Tabel Data Perubahan Massa Baja Karbon Schedule 40 Grade
B Sebelum Dan Sesudah Terkorosi
57
2 Tabel Data Perhitungan Densitas Baja Karbon Schedule 40
Grade B
57
3 Tabel Data Perhitungan Luas Baja Karbon Schedule 40 Grade
B
59
4 Data Hasil Pengukuran Kadar Fe (Besi) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Dengan Menggunakan SSA
59
5 Tabel Data Perhitungan Kadar C (Karbon) Dalam Laturan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dengan Metode Gravimetri
PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI
BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM
NATRIUM KLORIDA 3 %
ABSTRAK
Penentuan pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro (Leucaena Leucocephala L) terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade
B serta jumlah Fe dan C yang terkorosi dalam natrium klorida (NaCl) 3 % telah dilakukan. Daun lamtoro yang telah dikeringanginkan dihaluskan hingga berukuran 80 mesh. 250 gram serbuk daun lamtoro diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol sebanyak 1 liter hingga 5 kali pengulangan. Ekstrak daun lamtoro dipekatkan dan diuapkan hingga menjadi pasta. Inhibitor dibuat dalam konsentrasi 200; 400; 600; dan 800 ppm. Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B direndam dalam larutan NaCl 3 %, larutan inhibitor selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari, campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor selama 7 hari dengan variasi konsentrasi inhibitor 200; 400; 600; dan 800 ppm. Hasilnya memperlihatkan bahwa laju korosi terendah diperoleh pada perendaman baja didalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 149,4648 mpy dengan efisiensi inhibisi maksimum yaitu 68,55 %. Jumlah Fe terendah diperoleh sebesar 135 ppm pada perendaman baja dalam campuran NaCl 3 % dan inhibitor dengan konsentrasi 800 ppm yang diuji dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom, sedangkan jumlah C terendah diperoleh sebesar 0,1 % pada perendaman baja dalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yang diuji dengan Metode Gravimetri. Hasil morfologi permukaan masing – masing baja sebelum dan sesudah terkorosi juga memperlihatkan hasil yang sangat signifikan, dimana dapat dilihat bahwa Baja Karbon Schedule 40 Grade B sangat mudah terkorosi dalam media NaCl 3 % yang sifatnya mirip dengan air laut.
THE EFFECT OF THE CONCENTRATION OF METHANOL EXTRACT OF LEAVES OF LAMTORO INHIBITOR (Leucaena Leucocephala L)
AGAINSTCORROSION RATE CARBON STEEL SCHEDULE 40 GRADE B AND NUMBER OF Fe AND C IN
SODIUM CHLORIDE 3%
ABSTRACT
Determination of the effect of the concentration of the methanol extract of leaves lamtoro inhibitor (Leucaena leucocephala L) against corrosion rate Carbon Steel Schedule 40 Grade B as well as the number of corroded Fe and C in sodium chloride (NaCl) 3% has been done. Lamtoro leaves that have dried crushed to 80 mesh size. 250 grams of powder lamtoro leaf maceration extracted with methanol as much as 1 liter to 5 repetitions. Lamtoro leaf extract was concentrated and evaporated until being the pasta. Inhibitor made in concentrations of 200; 400; 600; and 800 ppm. Samples Carbon Steel Schedule 40 Grade B soaked in a solution of 3% NaCl, the inhibitor solution for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days, 3 % NaCl and inhibitor solution mixture for 7 days with a variation of the concentration of inhibitor 200; 400; 600; and 800 ppm. The results showed that the lowest corrosion rate obtained on the steel immersion in inhibitor with a concentration of 600 ppm for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days is equal to 149,4648 mpy with maximum inhibition efficiency is 68,55%. Lowest numbers of Fe content obtained at 135 ppm in the steel immersion in a mixture of inhibitors with a concentration of 800 ppm and 3 % NaCl were tested by means of Atomic Absorption Spectrophotometer, while the lowest numbers of C is equal to 0.1 % on steel immersion in inhibitor with a concentration of 800 ppm for 24 hours and then NaCl 3% for 7 days tested by Methods Gravimetry. Results of surface morphology of each - before and after the corroded steel also showed highly significant results, which can be seen that Carbon Steel Schedule 40 Grade B very easily corroded in a 3% NaCl media that are similar to sea water.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korosi dapat didefinisikan sebagai penurunan mutu suatu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya, yang melibatkan pergerakan ion logam ke dalam larutan pada anoda dan pertukaran elektron dari logam ke katoda (Evans, 1976). Korosi juga sering disebut sebagai proses perkaratan suatu logam, yang mengakibatkan berat logam berkurang, yang lama-kelamaan logam tersebut terurai dari paduannya. Perlu diketahui secara bertahap karakteristik dari korosi dari bahan – bahan yang digunakan dalam industri untuk menentukan kemungkinan terbesar dari kontrol korosi dan strategi pencegahannya (Oluwole, 2013).
Korosi merupakan bahaya nasional yang nyata yang tingkat kerugiannya lebih besar dari segala bencana alam yang pernah dialami (Widharto, 2004). Penyebab korosi secara umum ada 2 macam yaitu korosi kimia dan korosi elektrolit. Berkaratnya besi dan baja disebabkan kedua hal di atas yaitu terjadinya
proses reaksi antara besi atau baja dengan oksigen yang terdapat dalam atmosfer membentuk lapisan oksida pada permukaan logam (Amanto, 2006).
Unsur – unsur tersebut antara lain: Mangan (Mn), Chromium (Cr), Molibdenum (Mo), Nikel (Ni) dan Tembaga (Cu). Penambahan unsur ini dilakukan untuk
memperbaiki struktur mikro baja (Handani, 2012).Ketahanan korosi suatu bahan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yaitu kondisi lingkungan,
tingkat pH, kelembaban, angin atau arus air, dan suhu. Faktor-faktor ini ada dibagian jenis lingkungan, atmosfer, air tawar, air asin, dan tanah (Craig, 2006).
Inhibitor korosi adalah suatu bahan kimia yang apabila ditambahkan dalam konsentrasi yang kecil/sedikit ke suatu lingkungan korosif akan sangat efektif menurunkan laju korosi (Ilim, 2008). Inhibitor korosi umumnya berasal dari senyawa-senyawa organik dan anorganik. Senyawa anorganik yang digunakan seperti nitrit, kromat, fosfat, dan urea. Senyawa tersebut merupakan bahan kimia yang berbahaya, mahal, tidak ramah lingkungan, karena sifat racunnya dapat menyebabkan kerusakan sementara atau permanen pada sistem organ tubuh makhluk hidup seperti gangguan pada ginjal, hati dan juga sistem enzim. Sedangkan senyawa organik yang digunakan adalah senyawa yang mengandung atom N, O, P, S dan atom – atom lain yang memiliki pasangan atom bebas sehingga mampu membentuk senyawa kompleks dengan logam. Syarat-syarat inhibitor korosi yang baik harus murah, tidak beracun, aman bagi lingkungan dan tersedia di alam (Hamzah, 2006)
Salah satu penggunaan inhibitor yang digunakan untuk mengatasi masalah
korosi yang terjadi pada logam adalah mengekstrak daun lamtoro sebagai salah satu bahan organik yang berpotensi sebagai inhibitor korosi. Daun lamtoro
Sujana, (2012) telah melakukan penelitian tentang Potensi Daun Lamtoro (Leucaena Leucochepala) Sebagai Inhibitor Korosi Baja Karbon Unit Heat Exchanger Pada Proses Cooling Tower System. Hasilnya menunjukkan bahwa efisiensi inhibisi ekstrak daun lamtoro terhadap lau korosi baja karbon ASTM
213/T22 dalam medium NaCl 1 % jenuh udara mencapai nilai optimal sebesar 95,24 % pada konsentrasi inhibitor 200 ppm dan temperatur 300 K.
Ludiana, (2012) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Daun Teh (Camelia Sinensis) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B ERW. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak daun teh dapat digunakan sebagai inhibitor korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B ERW dengan nilai efisiensi inhibisi korosi terhadap laju korosi baja yang paling besar terjadi pada konsentrasi inhibitor 4 % baik untuk perendaman 3 hari maupun 6 hari sebesar 74,32 % dan 73,41 %.
Arifin, (2004) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Dan Waktu Perendaman Baja Karbon Dalam Larutan NaCl 3,4 % Terhadap Kinerja Inhibitor Na-Benzoat Dan K2CrO4 Dalam Menurunkan Kehilangan Berat Baja Karbon Akibat Korosi. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya pengaruh konsentrasi inhibitor dan waktu perendaman terhadap kehilangan berat baja karbon akibat korosi, yaitu dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor akan mengurangi jumlah kehilangan berat baja karbon, dan
dengan bertambahnya waktu perendaman akan meningkatkan jumlah kehilangan berat baja karbon akibat korosi, serta menunjukkan adanya interaksi antara waktu
perendaman dan konsentrasi inhibitor.
penambahan inhibitor terhadap laju korosi yang terjadi pada Baja Karbon
Schedule 40 Grade B, efektifitas daun lamtoro sebagai inhibitor korosi Baja
Karbon Schedule 40 Grade B serta pengaruh inhibitor daun lamtoro terhadap jumlah Fe dan C yang terlarut dalam larutan bekas perendaman Baja Karbon
Schedule 40 Grade B.
Melalui penelitian ini diharapkan bahwa masyarakat lebih memahami pemanfaatan daun lamtoro secara luas dan sangat penting bagi berbagai bidang. Secara umum daun lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun lamtoro diketahui menghasilkan zat penyamak dan zat pewarna merah, coklat dan hitam dari pepagan (kulit batang), daun dan polongnya. Namun pemakaian daun lamtoro sebagai sumber senyawa kimia yang dapat menghambat laju korosi belum banyak dilakukan. Padahal senyawa tannin dan kandungan nitrogen bebas yang tinggi dalam daun lamtoro sangat efektif untuk menghambat laju korosi pada bahan – bahan yang mudah teroksidasi dan mengalami korosi (perkaratan). Sehingga diharapkan melalui penelitian ini, pemanfaatan daun lamtoro lebih dikembangkan dan dimaksimalkan untuk perkembangan ilmu pengetahuan kedepannya.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro
terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B
2. Bagaimana efektifitas daun lamtoro sebagai inhibitor pada proses korosi
Baja Karbon Schedule 40 Grade B dalam media NaCl 3%
1.3 Pembatasan Masalah
1. Logam yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Baja Karbon
Schedule 40 Grade B
2. Yang akan diamati pada sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B adalah Fe dan C
3. Inhibitor korosi yang digunakan adalah ekstrak metanol dari daun lamtoro yang diambil dari daerah Pekanbaru, Riau
4. Media yang dijadikan lingkungan uji adalah larutan NaCl 3 % 5. Waktu perendaman sampel adalah selama 7 hari (168 jam)
6. Alat yang akan digunakan untuk analisis permukaan Baja Karbon Schedule
40 Grade B adalah Mikroskop Stereo dan alat yang digunakan untuk mengetahui jumlah Fe dan C yang terdapat di dalam larutan bekas perendaman adalah Spektrofotometer Serapan Atom
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B
4. Untuk mengetahui efektifitas daun lamtoro sebagai inhibitor pada proses korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B dalam media NaCl 3%
5. Untuk mengetahui pengaruh inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro
terhadap jumlah Fe dan C yang terlarut dalam larutan bekas perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memperoleh informasi efisiensi daun lamtoro sebagai alternatif inhibitor korosi pada Baja Karbon
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu eksperimen laboratorium. Daun lamtoro yang sudah dikeringanginkan dihaluskan dan diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh
hingga diperoleh serbuk daun lamtoro. Serbuk daun lamtoro ditimbang sebanyak 250 gram. Kemudian direndam dengan menggunakan pelarut metanol sebanyak 1 liter selama 24 jam pada suhu kamar. Hasil ekstraksi kemudian disaring. Residu yang berupa ampas kembali direndam dengan pelarut metanol yang baru selama 24 jam pada suhu kamar dan dilakukan hal yang sama hingga lima kali perendaman. Filtrat yang masih larut kemudian dipisahkan dengan cara evaporasi dan dilanjutkan dengan penguapan sehingga didapat senyawa hasil ekstraksi berupa pasta. Pasta hasil ekstraksi kemudian ditimbang. Dilakukan Uji Kjeldahl dan Uji FeCl35 % pada pasta.
Selanjutnya sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B digosok dengan kertas pasir, kemudian dikeringkan dan ditimbang. Media yang digunakan untuk larutan uji korosi adalah NaCl 3 % yang dibuat dengan melarutkan 30 gram NaCl(s) p.a dalam labu ukur 1 liter. Sedangkan larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200; 400; 600 dan 800 ppm dibuat dengan melarutkan masing–masing 200; 400; 600 dan 800 mg pasta ekstrak metanol daun lamtoro dalam 1 liter aquadest. Setelah semua siap, dilakukan perendaman 1 sampel Baja Karbon
Schedule 40 Grade B kedalam 400 ml NaCl 3 %, 4 sampel Baja Karbon Schedule
40 Grade B ke dalam masing-masing 100 ml larutan inhibitor selama 24 jam dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm lalu baja dipindahkan ke
Adapun variable-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas : perendaman sampel di dalam media korosi dan konsentrasi inhibitor
2. Variabel terikat : Pengukuran Weight Loss, Analisis Mikroskop Stereo dan Analisis SSA
3. Variabel tetap : Suhu, waktu perendaman dan media pengkorosi logam (NaCl 3%)
1.7 Lokasi Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karat dan Akibatnya
Oleh sebagian orang, korosi diartikan sebagai karat, yakni sesuatu yang hampir dianggap musuh umum masyarakat. Karat (rust), tentu saja, adalah sebutan yang belakangan ini hanya dikhususkan bagi korosi pada besi, sedangkan korosi adalah gejala destruktif yang mempengaruhi hampir semua logam. Korosi terbukti membebani peradaban dalam tiga cara disertai fakta sebagai berikut:
a. Dari segi biaya korosi itu sangat mahal
Kasus nyata: Dalam tahun 1980 di Amerika Serikat, Institut Battelle menaksir bahwa setiap tahun perekonomian Amerika rugi 70 milyar dolar akibat korosi.
b. Korosi sangat memboroskan sumber daya alam
Kasus nyata: telah dihitung bahwa di Inggris, 1 ton baja diubah seluruhnya menjadi karat setiap 90 detik. Disamping tersia-sianya logam itu, energi yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 ton baja dari bijih besi cukup
untuk memasok kebutuhan energi satu keluarga selama tiga bulan.
c. Korosi sangat tidak nyaman bagi manusia, dan kadang-kadang bahkan
mendatangkan maut
2.2 Teori Korosi
2.2.1 Energi Dan Hukum Yang Mendasarinya
Korosi adalah gejala yang timbul secara alami: pengaruhnya dialami oleh hampir
semua zat dan diatur oleh perubahan-perubahan energi. Pengkajian tentang perubahan energi disebut termodinamika, suatu bidang yang kaya sekali dengan definisi, besaran-besaran variabel (juga disebut parameter) dan persamaan-persamaan. Sistem didefinisikan sebagai suatu massa tertentu zat yang kita minati. Di sekeliling sistem itu kita membayangkan suatu dinding pembatas khayal yang memisahkannya dari lingkungan sekitar.
Hukum: Energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan.
Kaidah: Semua perubahan spontan terjadi disertai pelepasan energi bebas dari sistem ke lingkungan sekitar pada temperatur dan tekanan spontan.
Pernyataan pertama adalah Hukum Pertama Termodinamika yang penting sekali dalam pengkajian perubahan-perubahan yang terjadi ketika logam mengalami korosi. Pernyataan kedua adalah salah satu bentuk Hukum Kedua Termodinamika. Ketika korosi berlangsung secara alami proses yang terjadi bersifat spontan sehingga karena itu disertai pelepasan energi bebas. Hukum termodinamika mengungkapkan kepada kita tentang kuatnya kecenderungan keadaan energi tinggi untuk berubah ke keadaan energi rendah. Kecenderungan
inilah yang membuat logam-logam bergabung kembali dengan unsur-unsur yang ada di lingkungan, yang akhirnya membentuk gejala yang disebut korosi. Karena
Sebuah konsep penting yang membantu menjelaskan laju reaksi korosi adalah Teori Keadaan Peralihan (Transition State Theory). Perhatikan persamaan
berikut:
A + B C + D (2.1)
Dimana dua zat A dan B, yang dikenal sebagai reaktan, saling berinteraksi sedemikian rupa untuk membentuk dua zat baru, C dan D, yang disebut hasil reaksi. Agar dapat menghasilkan zat – zat baru, A dan B bukan hanya harus saling sentuh melainkan juga harus berpadu secara fisik guna membentuk suatu zat antara AB. AB disebut keadaan peralihan, dan reorganisasi keadaan peralihan inilah yang kemudian langsung menghasilkan C + D.
Dalam bentuk paling sederhana, laju reaksi korosi dapat diekspresikan demikian:
Laju = tetapan laju x[reaktan – reaktan] (2.2)
Besaran dalam kurung persegi menunjukkan ukuran banyaknya zat. Tetapan laju dapat dinyatakan dalam hubungan dengan ukuran penghalang energi bebas(∆�+):
Tetapan laju = C eksp (-ΔG+/RT) (2.3)
Dengan C dan R adalah tetapan-tetapan, dan T adalah temperatur mutlak. Persamaan tersebut merupakan bentuk modifikasi dari sebuah persamaan penting yang disebut Persamaan Arhenius (Trethewey, 1991).
2.2.2 Pengertian Korosi
dari logam seperti peralatan pabrik, peralatan kimia, pembuatan jembatan dan sebagainya. Peristiwa korosi tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan ada
factor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya peristiwa korosi. Faktor tersebut dapat menimbulkan terjadinya peristiwa korosi apabila
komponen-komponen tersebut terjadi hubungan satu sama lain yang menimbulkan terjadinya aliran elektron. Korosi juga dapat mengakibatkan suatu material mengalami suatu reaksi oksidasi yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan material terdegradasi. Degradasi tersebut menyebabkan logam menipis, berlubang, terjadi perambatan reaktan, sifat mekanik berubah sehingga terjadi kegagalan tiba – tiba pada struktur, sifat fisik dan penampilan logam berubah (Fachri, 2011).
Korosi diartikan sebagai penurunan mutu logam akibat reaksi elektriokimia dengan lingkungannya. Korosi dapat digambarkan sebagai sel galvani yang mempunyai “hubungan pendek” dimana beberapa daerah permukaan logam bertindak sebagai katoda dan lainnya sebagai anoda, dan “rangkaian listrik” dilengkapi oleh rangkaian electron menuju besi itu sendiri seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.1berikut:
Gambar 2.1. Pembentukan Karat (Haryono, 2010)
Kinetika korosi dapat memprediksi bagaimana suatu korosi berjalan dalam waktu dan jarak. Berbeda dari termodinamika, kinetika korosi digunakan untuk mengetahui laju atau kecepatan korosi itu terjadi. Laju korosi ditentukan dengan menggunakan arus untuk menghasilkan suatu kurva polarisasi (tingkat perubahan
yang laju korosinya sedang ditentukan. Ketika potensial pada permukaan logam terpolarisasi menggunakan arus pada arah positif, bisa dikatakan sebagai
terpolarisasi secara anodik. Bila menggunakan arus pada arah negatif disebut terpolarisasi secara katodik. Tingkat polarisasi adalah ukuran bagaimana laju dari
reaksi pada anoda dan katoda dihambat oleh bermacam lingkungan (konsentrasi dari ion logam, oksigen terlarut) dan/atau faktor proses permukaan (adsorbsi, pembentukan lapisan, kemudahan dalam melepaskan elektron). Variasi dari potensial sebagai fungsi dari arus (kurva polarisasi memungkinkan untuk mengetahui pengaruh dari proses konsentrasi dan aktivasi pada tingkat dimana reaksi anoda maupun katoda dapat memberi ataupun menerima elektron. Karenanya, pengukuran polarisasi dapat menentukan laju reaksi yang terlibat dalam proses korosi (Trethewey, 1991). Proses korosi berkembang dengan cepat setelah mengalami gangguan dari luar dan bersamaan dengan beberapa reaksi yang merubah komposisi dan sifat dari permukaan logam dan lingkungan sekitarnya, contohnya pembentukan oksida logam, difusi dari kation logam terhadap matriks, berubahnya pH, dan berubahnya potensial elektrokimia (Rani, 2012).
2.3 Jenis Korosi
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai korosi, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa jenis korosi, yaitu:
1. Korosi Merata (uniform corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada seluruh permukaan logam atau paduan yang bersentuhan dengan elektrolit pada
intensitas sama sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut:
2. Korosi Galvanik (galvanic corrosion), yaitu korosi terjadi bila dua logam yang berbeda berada dalam satu elektrolit, dalam keadaan ini logam yang
kurang mulia (anodic) akan terkorosi, bahkan lebih hebat bila paduan tersebut tidak bersenyawa dengan logam lain.
3. Korosi Celah (crevice corrosion), yaitu korosi lokal yang biasanya terjadi pada sela – sela sambungan logam yang sejenis atau pada retakan di permukaan logam seperti Gambar 2.3. Hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi ion logam atau konsentrasi oksigen antara celah dan lingkungannya.
Gambar 2.3. Korosi Celah (Kopeliovich, 2012)
4. Korosi Sumuran (pitting corrosion). Korosi ini terjadi akibat adanya sistem anoda pada logam, dimana daerah tersebut terdapat konsentrasi ion Cl- yang tinggi. Korosi jenis ini sangat berbahaya karena pada bagian permukaan hanya lubang kecil, sedangkan pada bagian dalamnya terjadi proses korosi membentuk “sumur” yang tidak tampak.
5. Korosi batas butir (intergranular corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada batas butir, dimana batas butir sering kali merupakan tempat mengumpulnya impurity atau suatu presipitat dan lebih tegang seperti yang
terlihat pada Gambar 2.4. Jika suatu logam terkorosi secara merata akan terlihat jelas lebih reaktif dibandingkan pada butir material tersebut. Pada
Gambar 2.4. Korosi Batas Butir (Green, 1997)
6. Selective leaching corrosion yaitu larutnya salah satu komponen dari suatu paduan, dan ini mengakibatkan paduan yang tersisa akan menjadi berpori sehingga ketahanan korosinya akan berkurang, seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.5 berikut:
Gambar 2.5. Selective Leaching Corrosion (Green, 1997)
7. Korosi Erosi, yaitu korosi yang terjadi akibat pergerakan relatif antara fluida korosif dengan permuakaan logam. Pada umumnya, pergerakan yang terjadi cukup cepat, sehingga terjadi efek keausan mekanis atau abrasi. Pergerakan yang cepat dari fluida korosif mengkorosi secara fisik dan menghilangkan lapisan pasif. Pasir dan padatan lumpur mempercepat
korosi erosi.
8. Korosi Tegangan (stress corrosion), yaitu korosi yang terjadi sebagai akibat
Gambar 2.6. Korosi Tegangan (Kopeliovich, 2012)
2.4 Prinsip Dasar Pengendalian Korosi
Korosi telah didefinisikan sebagai penurunan mutu logam oleh reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Pada kebanyakan situasi praktis serangan ini tidak dapat dicegah, kita hanya dapat berupaya mengendalikannya sehingga struktur atau komponen mempunyai masa pakai yang lebih panjang. Adapun pengendalian korosi bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang paling penting
adalah:
a. Modifikasi rancangan
b. Modifikasi lingkungan c. Pemberian lapisan pelindung d. Pemilihan bahan
e. Proteksi katodik dan anodik
2.4.1 Pengendalian Korosi melalui Perancangan
2.4.2 Pengendalian Korosi Melalui Pengubahan Lingkungan
Menurut Haryono, (2010), terdapat beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi antara lain, yaitu:
1. Suhu
Kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya kecepatan reaksi korosi. Hal ini terjadi karena semakin tingginya energi kinetik dari partikel-partikel yang bereaksi sehingga melampaui besarnya harga energi aktivasi dan akibatnya laju korosi juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya. 2. Kecepatan alir fluida atau kecepatan pengadukan
Laju korosi cenderung bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara zat perekasi dan logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan (korosi).
3. Konsentrasi bahan korosif
Hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam dimana logam yang berada di dalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat menyebabkan korosi pada katodanya karena reaksi katoda selalu serentak dengan reaksi anoda.
4. Oksigen
Adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan dengan permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi
5. Waktu kontak
Aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam terhadap korosi
lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor ke dalam larutan, maka akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga waktu kerja
inhibitor untuk melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu tertentu. Hal itu dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan semakin habis terserang oleh larutan.
Baik proses korosi di udara maupun proses korosi basah dapat dikendalikan menggunakan bahan kimia khusus yang disebut inhibitor. Apabila bahan ini ditambahkan ke dalam lingkungan, laju serangan korosi akan berkurang (Trethewey, 1991). Korosi dapat dikurangi dengan berbagai macam cara, dan cara yang paling mudah dan paling murah adalah dengan menambahkan inhibitor ke dalam media. Inhibitor berasal dari kata inhibisi: menghambat, jadi inhibitor ditambahkan untuk menghambat reaksi antarmuka antara material dengan lingkungan. Inhibitor terdiri dari dua jenis yaitu inhibitor organik dan anorganik. Inhibitor dapat dianggap sebagai katalisator yang memperlambat (retarding catalyst) (Haryono, 2010).
Rina, (2012) menyebutkan bahwa inhibitor akan mereduksi kecepatan korosi dengan cara:
1. Adsorpsi ion/molekul inhibitor ke permukaan logam
2. Meningkatkan atau menurunkan reaksi anoda dan atau katoda 3. Menurunkan kecepatan difusi reaktan ke permukaan logam
4. Menurunkan hambatan listrik dari permukaan logam
5. Inhibitor mudah membentuk lapisan in situ pada permukaan logam
nitrogen sangat baik untuk mereduksi serangan korosi pada baja. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja inhibitor adalah panjang rantai, berat molekul, ikatan
(aromatis atau konjugasi), kemungkinan ikat silang, serta kelarutannya dalam lingkungan yang digunakan. Inhibitor bahan alam (green inhibitor) bersifat
biodegradable (mudah terurai) dan tidak mengandung logam berat atau senyawa racun lainnya. Beberapa penelitian telah melaporkan keberhasilan penggunaan senyawa bahan alam untuk menghambat korosi dari logam dalam lingkungan asam dan basa. Green inhibitor yang cocok untuk baja karbon adalah inhibitor yang mengandung asam amino alami seperti alanin, glisin dan leusin (Rina, 2012).
Inhibitor organik bekerja dengan membentuk senyawa kompleks yang mengendap pada permukaan logam sebagai lapisan pelindung yang bersifat hidrofobik yang dapat menghambat reaksi logam dengan lingkungannya. Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi katodik, anodik, atau keduanya. Hal ini bergantung dari reaksi pada permukaan logam dan potensial logam tersebut. Selain itu juga dapat berfungsi untuk menetralisir konstituen korosif dan mengabsorbsi konstituen korosif tersebut. Penggunaan dengan konsentrasi yang tepat dapat mengoptimalkan perlindungan pada seluruh logam. Inhibitor organik akan teradsorbsi pada permukaan tergantung dari muatan inhibitor dan muatan logam untuk membentuk ikatan dari senyawa kompleks tersebut sebagi contoh kation inhibitor seperti amin atau anion inhibitor seperti sulfonat akan teradsorbsi tergantung muatan logam tersebut apakah negatif atau positif. Efektifitas dari
inhibitor organik dipengaruhi oleh komposisi kimia, struktur molekul, dan gugus fungsi, ukuran dan berat molekul, serta afinitas inhibitor terhadap logamnya.
NaCl Na+ + Cl- (2.4)
MgCl2 Mg2+ + 2Cl- (2.5)
KCl K+ + Cl- (2.6)
Ion klorida pada reaksi diatas akan menyerang logam besi (Fe) sehingga besi akan terkorosi menjadi:
2Cl- + Fe2+ FeCl2 (2.7)
Dan reaksi antara Fe2+ dengan inhibitor ekstrak bahan alam menghasilkan senyawa kompleks. Inhibitor ekstrak bahan alam yang mengandung nitrogen mendonorkan sepasang elektronnya pada permukaan logam mild steel ketika ion Fe2+ terdifusi ke dalam larutan elektrolit, reaksinya adalah:
Fe Fe2+ + 2e- (melepaskan elektron) (2.8) Fe2+ + 2e- Fe (menerima elektron) (2.9)
Mekanisme inhibisi ekstrak bahan alam ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7. Mekanisme Inhibisi Ekstrak Bahan Alam (Ilim, 2008)
Produk yang terbentuk diatas mempunyai kestabilan yang tinggi dibanding dengan Fe saja, sehingga sampel besi/baja yang diberikan inhibitor ekstrak bahan alam akan lebih tahan (terproteksi) terhadap korosi (Haryono, 2010).
Inhibitor akan membentuk lapisan pelindung in situ karena reaksi antara
korosi lebih lanjut. Adsorpsi inhibitor ke permukaan logam disebabkan oleh gaya tarik elektrostatik antara muatan ion dengan muatan listrik antarmuka logam.
Secara keseluruhan, senyawa inhibitor adalah netral. Tetapi, gugus nitrogen pada senyawa tersebut memiliki pasangan elektron bebas yang menyebabkan inhibitor
cenderung bermuatan negatif sehingga inhibitor akan tertarik ke permukaan logam dan membentuk lapisan (Purwanto, 2013).
2.4.3 Pengendalian Korosi dengan Lapisan Pelindung
Salah satu cara pengendalian korosi dengan cara memberi lapisan perlindungan (coating protection). Pelapisan biasanya dimaksudkan untuk memberikan suatu lapisan padat dan merata sebagai bahan isolator atau penghambat aliran listrik diseluruh permukaan logam yang dilindungi, fungsi dari lapisan tersebut adalah untuk mencegah logam dari kontak langsung dengan elektrolit dan lingkungan sehingga reaksi logam dan lingkungan terhambat (Fachri, 2011).
Lapisan penghalang yang dikenakan ke permukaan logam dimaksudkan baik untuk memisahkan lingkungan dari logam, maupun untuk mengendalikan lingkungan mikro pada permukaan logam. Banyak cara pelapisan yang digunakan untuk maksud ini termasuk cat, selaput organik, vernis, lapisan logam, dan enamel. Sejauh ini yang paling umum adalah cat (Trethewey, 1991).
2.4.4 Pengendalian Korosi dengan Pemilihan Bahan
Sifat menghambat korosi yang sudah ada dengan sendirinya pada suatu
bahan, umumnya hampir tidak berperan dalam proses pemilihan. Seorang perekayasa akan mencari lapisan penghalang atau cara lain unttuk menghambat
rusak atau hilangnya logam. Paduan-paduan canggih yang memiliki sifat tahan korosi hanya akan digunakan dalam situasi-situasi khusus yang selalu dihantui bencana, misalnya industri minyak serta kimia, atau bila keandalan merupakan faktor pertimbangan yang luar biasa penting (Trethewey, 1991).
2.4.5 Proteksi Katodik dan Anodik
Proteksi katodik adalah suatu perlindungan permukaan logam dengan cara melakukan arus searah yang memadai ke permukaan logam dan mengkonversikan semua daerah anoda di permukaan logam menjadi daerah katodik. Sistem ini hanya efektif untuk system-sistem yang terbenam dalam air atau di dalam tanah. Sedangkan pada perlindungan secara anodik, tegangan sistem yang dilindungi dinaikkan sehingga memasuki daerah anodiknya. Pada kondisi ini sistem terlindungi karena terbentuknya lapisan pasif. Syarat yang harus dipenuhi agar sistem ini berjalan dengan baik adalah bahwa karakteristik lingkungannya harus stabil. Pada jenis lingkungan yang tidak stabil (berfluktuasi) penerapan sistem proteksi anodik tidak dianjurkan (Fachri, 2011).
2.5 Baja Karbon
Baja dapat didefinisikan sebagai suatu campuran besi dan karbon, dimana unsur karbon menjadi dasar campurannya. Disamping itu, mengandung unsur campuran lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi (Azmi, 2013).
melebihi 60 persen. Begitu lapisan butir – butir air terbentuk pada permukaannya, laju korosi ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan; tetapi yang paling penting
adalah pasokan oksigen, pH, dan hadirnya ion-ion agresif, terutama oksida-oksida belerang dan klorida.
Baja paduan rendah mengandung berbagai unsur pembentuk paduan, misalnya Cr, Ni, Cu, Mn, V, dan Mo, hingga 2 atau 3 persen. Penambahan unsur pemadu ini memperbaiki sifat – sifat mekanik; tetapi efeknya kecil terhadap laju korosi komponen-komponen yang terendam atau terkubur, karena disitu baja lunak, baja paduan rendah, atau baja tempa akan terkorosi dengan laju yang kurang lebih sama. Penambahan krom yang sedikit lebih banyak, diketahui mendatangkan perbaikan yang cukup mencolok dalam perilaku korosi; sedangkan tembaga dalam jumlah kecil, diketahui mengurangi korosi sumuran pada ketel-ketel baja, walaupun korosi biasa agak meningkat (Trethewey, 1991).
2.6 Natrium Klorida
Menurut Kurlansky (2002), Natrium Klorida, yang juga dikenal sebagai garam meja, atau garam karang, merupakan senyawa ion dengan rumus NaCl. Natrium klorida adalah garam yang berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih yang tidak berbau. NaCl dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkohol. Adapun beberapa sifat fisis dari Natrium Klorida antara lain:
Rumus molekul : NaCl Berat molekul : 58,45 g/mol
Titik didih : 1413oC pada 1 atm Titik beku : 800,4oC pada 1 atm Bentuk : Kristal kubik padat
Warna : putih
2.7 Lamtoro
Lamtoro dalam istilah ilmiah bernama Leucaena Leucocephala L. Lamtoro umumnya berasal dari Filipina dengan nama Giant ipil-ipil yang apabila
diterjemahkan secara bebas berarti “Giant” adalah raksasa sedangkan “ipil-ipil” berasal dari bahasa Filipina yang berarti lamtoro. Jadi Giant ipil-ipil berarti lamtoro raksasa, tetapi lamtoro di Indonesia menjadi lamtoro gung. Adapun sistematika tanaman lamtoro adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophytea Kelas : Magnoleopsida Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae Genus : Leucaena
Spesies : Leucaena leucocephala L.
Lamtoro mudah beradaptasi diberbagai daerah tropis di Asia dan Afrika termasuk pula di Indonesia. Tanaman semak atau pohon tinggi sampai 2-10 meter, bercabang banyak, dan kuat, dengan kulit batang abu-abu. Daun bersirip dua dengan 3-10 pasang sirip, bervariasi dalam panjang hingga 35 cm, dengan
glandula besar (sampai 5 mm) pada dasar petiole, helai daun 11-22 pasang per sirip, 8-16 mm x 1-2 mm. Memiliki bunga sangat banyak dengan diameter kepala
2-5 cm, stamen (10 per bunga) dan pistil sepanjang 10 mm. Menghasilkan buah polong 14-26 cm x 1,5-2 cm, berwarna coklat pada saat tua. Jumlah biji 15-30 per
buah polong, berwarna coklat.
Daun lamtoro berbentuk simetris kecil-kecil berpasangan tapi tidak pernah gugur. Warna daun hijau pupus dan berfungsi untuk memasak makanan sekaligus
penyerap nitrogen (N2) dan karbondioksida (CO2) dari udara bebas. Nitrogen dan karbondioksida ini berasal dari sisa-sisa pembakaran yang kemudian mengotori
udara (polusi). Daun-daun lamtoro juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun lamtoro cepat mengalami dekomposisi (Simanjuntak, 2012). Bentuk daun lamtoro dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:
Gambar 2.8. Lamtoro (Leucaena leucocephala L) (De Wit, 1961)
Lamtoro merupakan leguminosa pohon yang mempunyai perakaran yang dalam dan mampu beradaptasi pada tanah yang berdrainase baik di daerah beriklim sedang dengan curah hujan tahunan diatas 760 mm. Daun lamtoro mengandung protein kasar yang cukup tinggi yakni 27 – 34 % dari bahan kering
dan telah umum digunakan sebagai makanan ternak. Komposisi kimianya dalam bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 % abu
(2,30 % Ca dan 0,23 % P), karoten 530,00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (Haris, 2012).
Tabel 2.1. Kandungan daun lamtoro (Laucaena leucocepala L.)
Zat Komposisi
Abu (%) 11,00
Nitrogen (%) 4,20
Protein (%) 25,90
Serat kasar (%) 20,40
Kalsium (%) 2,36
Kalium (%) 1,3-4,0
Fosfor (%) 0,23
Beta karoten (mg/kg) 536,00
Energi kotor (KJ/g) 20,10
Tannin (mg/g) 10,15
(Simanjuntak, 2012)
2.8 Metode Pengukuran Laju Korosi dan Efisiensi Inhibitor 2.8.1 Pengukuran Laju Korosi dengan Metode Weight Loss coupons
Weight Loss coupons adalah metode monitoring korosi yang paling banyak digunakan. Coupons merupakan lempengan logam yang ditempatkan di dalam sistem dan dibiarkan untuk terkorosi. Coupons digunakan untuk mengetahui laju
korosi melalui weight loss.
Corrosion coupons kemungkinan paling banyak digunakan untuk material konstruksi untuk mendeteksi serangan permanen dari perubahan korosifitas.
kerusakan pada spesimen. Dengan menggunakan rumus berikut maka akan diketahui laju korosi pada lingkungan tersebut:
Laju korosi = �.�
�.�.� (2.10)
Keterangan:
K = konstanta (mpy = 3,45 x 106) W = kehilangan berat (gram) D = densitas (gram/cm3)
A = luas permukaan yang terendam (cm2) T = waktu (jam)
Beberapa keuntungan dari Metode Weight Loss adalah biayanya murah, mudah dilakukan, coupons terbuat dari material yang sama dengan struktur, pemeriksaan visual dapat mengidentifikasi jenis serangan, coupons tersebut dapat dianalisa scale, dan kerugiannya antara lain laju korosi yang diperoleh merupakan laju korosi rata – rata, kalkulasi laju korosi diasumsikan sebagai korosi seragam, pengambilan data berlangsung lama dan memerlukan pemasangan dan pengambilan yang dapat mempengaruhi proses keselamatan (Fachri, 2011).
2.8.2 Efisiensi inhibitor
Dalam penggunaan inhibitor dapat ditentukan efisiensi dari penggunaan inhibitor tersebut. Semakin besar efisiensi inhibitor tersebut maka semakin baik inhibitor tersebut untuk diaplikasikan di lapangan. Penghitungan efisiensi didapatkan melalui persentase penurunan laju korosi dengan adanya penambahan dibandingkan dengan laju korosi tanpa ditambahkan inhibitor. Perhitungan itu dapat dijabarkan sebagai berikut:
�����������ℎ������ = ��−��
�� � 100% (2.11) (Fachri, 2011)
Keterangan
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Alat
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
− SSA Shimadzu AA-6300
− Mikroskop Stereo Olympus
− Alat Kjeldahl DigiPREP HT SCP
− Rotarievaporator
− Jangka Sorong
− Piknometer 10 ml pyrex
− Beaker glass 500 ml pyrex
− Labu ukur 1000 ml pyrex
− Blender
− Ayakan 80 mesh
− Hotplate
3.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
− Daun lamtoro
− Baja Karbon Schedule 40 Grade B
− NaCl(aq) 3 % p.a Merck
− H2C2O4 (aq) 0,1 M p.a Merck
− Pereaksi FeCl3 5 % p.a Merck
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan daun lamtoro
Daun lamtoro segar dikeringanginkan. Daun lamtoro yang sudah kering di haluskan dengan blender dan diayak menggunakan saringan dengan ukuran 80 mesh hingga diperoleh serbuk daun lamtoro.
3.3.2 Persiapan sampel baja
Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B yang berbentuk pipa dipotong dengan ketebalan 0,5 cm, panjang 3 cm dan diameter 3 cm sebanyak 10 buah. Kemudian permukaan baja digosok dengan kertas pasir, kemudian dicuci dengan aquadest lalu dikeringkan dan ditimbang.
3.3.3 Ekstraksi Daun Lamtoro
Serbuk daun lamtoro ditimbang sebanyak 250 gram. Kemudian diekstraksi maserasi dengan menggunakan pelarut metanol sebanyak 1 liter selama 24 jam pada suhu kamar. Hasil ekstraksi kemudian disaring. Residu yang berupa ampas kembali direndam dengan pelarut metanol yang baru selama 24 jam pada suhu kamar dan dilakukan hal yang sama hingga lima kali perendaman. Filtrat yang
masih larut kemudian dipisahkan dengan cara evaporasi dan penguapan sehingga didapat senyawa hasil ekstraksi berupa pasta. Pasta hasil ekstraksi kemudian
3.3.4 Analisa Rendemen Ekstrak
Analisa ini digunakan untuk mengetahui persentase ekstrak pekat daun lamtoro dari 250 gram daun lamtoro dengan ekstraksi maserasi. Rendemen ekstrak
dihitung dengan rumus:
% ��������= ����� ������� �����
����� ���� ������ �100% (3.1)
3.3.5 Pembuatan Media Korosi NaCl 3 %
Media yang digunakan untuk larutan uji korosi dalam penelitian ini adalah larutan NaCl 3 % dalam aquadest. Larutan uji dibuat dengan cara melarutkan 30 gram NaCl kualitas p.a ke dalam aquadest pada labu takar 1 liter.
3.3.6 Pembuatan Larutan Inhibitor
Larutan inhibitor dibuat dengan melarutkan masing – masing 200; 400; 600; 800 mg ekstrak metanol daun lamtoro kedalam 1 liter aquadest untuk memperoleh larutan inhibitor dengan konsentrasi masing – masing 200; 400; 600; dan 800 ppm.
3.3.7 Pengujian Perendaman Dengan Menggunakan Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
Disediakan 9 wadah tempat perendaman sampel. Dilakukan perendaman 1 sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B kedalam 400 ml NaCl 3 %, 4 sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B ke dalam masing – masing 100 ml larutan inhibitor selama 24 jam dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm lalu baja dipindahkan ke dalam larutan NaCl 3 % untuk direndam selama 7 hari (168 jam), dan 4 sampel baja di dalam campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm dengan perbandingan 3:1 selama 7
3.3.8 Penentuan Logam Baja Karbon Schedule 40 Grade B (Fe dan C) Yang Terkorosi Dalam Bekas Perendaman Baja
3.3.8.1Penentuan Logam Besi
Prosedur uji dilakukan dengan menimbang 50 gram sampel kedalam beaker glass kemudian ditambahkan 30 ml HCl(p) dan 10 ml HNO3(p) p.a. Larutan kemudian dipandakan hingga sisa larutan menjadi 10 ml. Larutan diencerkan dalam labu takar 100 ml. kemudian dipipet 1 ml larutan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu encerkan kembali hingga garis tanda. Larutan disaringdengan kertas saring whatman no.41, kemudian dibaca dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom dengan panjang gelombang 248,3 nm.
3.3.8.2Penentuan Karbon
Penentuan kadar C dilakukan dengan menghitung kadar air dan kadar abu dari sampel. Kadar air ditentukan dengan menimbang 20 gram sampel ke dalam cawan porselen, dipanaskan dalam oven pada suhu 105o C selama 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang dan diperoleh kadar air. Kadar abu dihitung dengan mengabukan sampel yang telah dipanaskan didalam oven didalam tanur dengan suhu 550oC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang untuk memperoleh kadar abu. Kadar C
diperoleh dengan rumus:
� (%) = 100%−(�����+��������) (3.2)
3.3.9 Analisa Morfologi Logam Baja dengan Mikroskop Stereo
3.3.10Pengolahan Data
Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari penentuan laju korosi Baja Karbon
Schedule 40 Grade B dengan rumus:
�
=
����� (3.3)
Dengan : W = Berat logam yang hilang (g) D = Densitas Logam (g/L) A = Luas Logam (cm2) T = Waktu Perendaman (jam) V = Kecepatan korosi (mpy)
K = Konstanta (3,45 x 106)
Selain itu juga ditentukan efisiensi inhibisi dari ekstrak methanol daun lamtoro terhadap baja karbon dengan menggunakan rumus:
�����������ℎ������= ��−��
�� � 100% (3.4)
Keterangan
3.4 Bagan Penelitian
3.4.1 Persiapan Ekstrak Daun Lamtoro
Catatan: (*) Dilakukan perendaman residu endapan serbuk daun lamtoro dengan methanol yang baru hingga 5 kali perendaman.
Daun Lamtoro
Dikeringanginkan
Dihaluskan dengan blender
Diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh
Serbuk Daun Lamtoro
Ditimbang sebanyak 250 gram
Direndam dengan pelarut metanol di dalam beaker glass selama 24 jam pada suhu kamar Disaring
3.4.2 Penguapan pelarut dari hasil ekstraksi
Ekstrak Daun Lamtoro
Dimasukkan ke dalam labu rotarievaporator Dirangkai alat rotarievaporator
Dihidupkan power on dan diatur suhu pada 65oC Dibuka stop cock setiap 5 menit sekali
Dimatikan alat rotarievaporator saat pelarut sudah habis menguap
Ekstrak pekat Daun Lamtoro
Dimasukkan ke dalam beaker glass
Dipanaskan di atas hotplate hingga terbentuk pasta
Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
Dikarakterisasi
Uji Kandungan Nitrogen Bebas Secara Kuantitatif Dengan
Metode Kjeldahl
3.4.3 Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dalam Larutan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 jam)
3.4.4 Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Lalu NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)
Baja Karbon Schedule 40 Grade B
Dimasukkan ke dalan 4 beaker glass
Ditambahkan masing – masing 100 ml larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm Direndam selama 24 jam
Baja yang telah dilapisi inhibitor
Dimasukkan ke dalam 4 beaker glass yang masing – masing berisi 300 ml NaCl 3 %
Direndam selama 7 hari (168 jam)
Baja setelah perendaman diuji morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo
Larutan bekas perendaman dianalisa kadar Fe dan C
Baja Karbon Schedule 40 Grade B
Dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi 400 ml NaCl 3 %
Direndam selama 7 hari (168 jam)
Baja setelah perendaman diuji morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo
3.4.5 Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dalam Campuran Larutan Inhibitor Dan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)
Baja Karbon Schedule 40 Grade B
Dimasukkan ke dalam 4 beaker glass yang masing –
masing berisi campuran larutan inhibitor (variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm) dan media
korosi NaCl 3 % dengan perbandingan 1:3 Direndam selama 7 hari (168 jam)
Baja setelah perendaman diuji morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Kadar Nitrogen Bebas Di Dalam Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
Untuk mengetahui kadar nitrogen bebas yang terkandung dalam pasta ekstrak metanol daun lamtoro, dilakukan uji kuantitatif dengan Metode Kjeldahl dimana rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
%� = (��− ��) ×���� × 14,008
������� × 1000 × 100%
Keterangan:
Vs = Volume HCl 0,1 N untuk titrasi sampel N = Normalitas Vb = Volume HCl 0,1 N untuk titrasi blanko m = massa sampel
Setelah pengujian dilakukan, diperoleh volume HCl 0,1 N untuk titrasi sampel (Vs) adalah sebanyak 4,6 ml dan volume HCl 0,1 N untuk titrasi blanko (Vb) adalah 0,1 ml, sehingga diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut:
%�= (4,5−0,1) × 0,1 × 14,008
0,5 × 1000 × 100% = 1,23 %
4.1.2. Analisis Rendemen Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro
Analisa rendemen pasta ekstrak metanol daun lamtoro bertujuan untuk mengetahui persentase kandungan tannin yang ada dalam pasta ekstrak metanol daun lamtoro. Pasta ekstrak metanol daun lamtoro kemudian dibandingkan dengan berat awal sampel serbuk daun lamtoro. Rendemen pasta ekstrak metanol daun lamtoro diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
% ��������= �����������������
Dimana berat awal sampel serbuk daun lamtoro adalah 250 gram dan berat pasta ekstrak metanol daun lamtoro yang diperoleh adalah 25,6 gram, sehingga
diperoleh persentase rendemen tannin sebagai berikut:
% ��������= 25,6 ����
250 ���� �100% = 10,24 %
4.1.3. Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B
Untuk mengetahui laju korosi dari Baja Karbon Schedule 40 Grade B digunakan rumus sebagai berikut:
����������= �.�
�.�.�
Keterangan:
K = konstanta (mpy = 3,45 x 106) W = kehilangan berat (gram) D = densitas baja (D = 7,75113gram/cm3) A = luas permukaan baja (cm2) T = waktu (T = 168 jam)
Dimana luas permukaan baja diukur dengan rumus sebagai berikut:
�= �������������������
�= 2�(�2 − �1)�
Keterangan:
L = luas permukaan baja (cm2)
r1 = jari-jari lingkaran dalam baja (cm) r2 = jari-jari lingkaran luar baja (cm) t = tinggi / panjang baja (cm)
Tabel 4.1. Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B
4.1.4. Efisiensi Inhibisi Dari Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B
Untuk mengetahui efisiensi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro yang digunakan dalam penelitian ini untuk menghambat laju korosi pada Baja Karbon
Schedule 40 Grade B yang digunakan sebagai sampel, maka digunakan rumus perhitungan efisiensi inhibisi yang dijabarkan sebagai berikut:
�����������ℎ������ = �� − ��
�� � 100%
Keterangan:
Xa = laju korosi tanpa inhibitor (mpy) Xb = laju korosi dengan inhibitor (mpy)
Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan dengan rumus diatas, maka diperoleh data efisiensi ekstrak metanol daun lamtoro terhadap sampel Baja Karbon
Tabel 4.2. Efisiensi Ekstrak Metanol Daun Lamtoro Terhadap Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B
No. Sampel
400 475.2319 308.4072 35.10385
600 475.2319 149.4648 68.54908
800 475.2319 335.6226 29.37709
2 Inhibitor + NaCl 3 % (7 hari)
200 475.2319 209.8224 55.84842 400 475.2319 369.1045 22.33171
600 475.2319 388.3174 18.28886
800 475.2319 363.9469 23.41699
4.1.5. Jumlah Fe (Besi) Dan C (Karbon) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule40 Grade B
Table 4.3. Konsentrasi Logam Fe (besi) Dan C (karbon) Di Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Selama 7 Hari
Proses korosi adalah proses yang menyangkut proses kimia, fisika, dan mekanik yang pada kondisi tertentu dapat saling mempengaruhi sehhingga masalah korosi menjadi sangat bervariasi. Mekanisme korosi secara sederhana dapat diterangkan secara elektrokimia. Dari segi elektrokimia ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya proses korosi pada logam yaitu lingkungan yang basah, adanya oksigen
dan perbedaan potensial (Arifin, 2004).
adanya elektrolit, akan terjadi hubungan pendek (Short Circuit) pada logam akibat perbedaan potensial. Umumnya semakin rendah potensial anoda semakin besar
daya larutnya dan semakin kuatkorosinya (Rossalina, 1998). Logam baja memiliki sifat yang tidak sejenis (inhomogenitas) pada permukaannya, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya serangan lokal. Ketahanan korosi besi lebih rendah apabila dibandingkan dengan baja, hal tersebut dikarenakan reaksi reduksi yang terjadi pada bagian katoda dapat dengan mudah terjadi pada permukaannya, dan karat yang dihasilkan pada proses korosi berupa butiran halus dan tidak melekat pada permukaan logam (karat lepas). Baja terutama tipe baja karbon lebih banyak digunakan dalam aplikasinya, hal tersebut disebabkan karena harganya yang relatif lebih murah, sifat mekanik yang baik dan lebih mudah untuk dibentuk.Inhibitor korosi dapat didefinisikan sebagai senyawaan kimia yang apabila ditambahkan ke dalam suatu lingkungan dengan konsentrasi kecil, secara efektif dapat menurunkan laju korosi. Pada umumnya efisiensi inhibitor akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor (Robert, 1986). Dapat lebih dipahami melalui Gambar 4.1 dibawah ini, yang memperlihatkan nilai efisiensi maksimum dari penggunaan inhibitor terhadap laju korosi baja.
Gambar 4.1. Grafik Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Terhadap Efisiensi Inhibitor
Dari hasil analisa efisiensi inhibisi ekstrak metanol daun lamtoro terhadap Baja Karbon Schedule 40 Grade B (Tabel 4.2) yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa efisiensi maksimum terjadi pada prosedur perendaman sampel dengan inhibitor selama 24 jam dengan konsentrasi 600 ppm lalu NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 68,55 %. Hal ini disebabkan karena lapisan
pelindung yang telah dihasilkan dari perendaman sebelumnya dengan larutan inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm bekerja maksimal dalam menghambat laju
korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B sehingga proses korosi dapat dihambat dan laju korosi juga berkurang.
Selain itu pada prosedur perendaman sampel baja dalam campuran NaCl 3 % dengan inhibitor, efisensi inhibisi terjadi pada prosedur perendaman sampel dalam campuran larutan inhibitor konsentrasi 200 ppm dengan NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 55,85 %. Hal ini disebabkan karena prosedur perendaman secara bersamaan inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro dengan NaCl 3 % tidak efektif menghambat korosi pada baja karbon yang digunakan. Terlihat dari semakin meningkatnya konsentrasi inhibitor maka efisiensi inhibisi dari inhibitor yang digunakan juga berkurang. Sehingga dapat diketahui bahwa inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro bereksi cepat dengan NaCl 3 % yang digunakan sebagai media korosi, dan serangan ion Cl- terhadap inhibitor juga sangat cepat sehingga inhibitor cepat habis bereaksi dan sisa ion Cl-akan menyerang logam dengan cepat pula.
Inhibitor organik dikenal juga sebagai pembentuk lapisan pelindung yang melindungi permukaan logam, dengan cara membentuk lapisan pasif yang hidrofobik pada permukaan logam. Keefektifan inhibitor tersebut bergantung pada komposisi kimianya, struktur molekul, dan afinitas terhadap permukaan logam.
Karena pembentukan lapisan merupakan peristiwa adsorpsi, temperatur dan tekanan dari sistem merupakan faktor yang sangat penting. Inhibitor organik