SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
CYNTHIA HALIM
111301044
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak– Tionghoa
Cynthia Halim dan Rika Eliana Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian korelasi yang bertujuan untuk melihat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa. Penelitian ini melibatkan delapan puluh satu orang anak multietnis. Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak multietnis Batak-Tionghoa yang berusia 17-25 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik accidental sampling. Alat ukur resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini Multiracial Challenges and Resilience Scale (MCRS) yang disusun oleh Salahuddin (2008), sedangkan harga diri diukur dengan menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale dari Rosenberg (1965). Hasil pengujian hipotesa menunjukkan hubungan yang positif antara resiliensi dengan harga diri dengan nilai r=0,513. Hasil tambahan penelitian menunjukkan bahwa tingkat resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa 100% berada dalam kategori tinggi, sedangkan tingkat harga diri pada anak multietnis Batak-Tionghoa 14,8% berada pada kategori sedang dan 85,2% berada pada kategori tinggi.
The Relationship Between Self Esteem and Resilience in Multiethnic Batak-Chinese Children
Cynthia Halim dan Rika Eliana
Abstract
This research is a correlation study aimed to examine the relationship between self-esteem with resilience in multiethnic Batak-Chinese children. The study involved eighty one child multiethnic. The criteria for the sample used in this study is a multiethnic Batak-Chinese children aged 17-25 years. Sampling was done by accidental sampling technique. Resilience measuring instrument used in this study Multiracial Challenges and Resilience Scale (MCRS) developed by Salahuddin (2008), while the self-esteem was measured using Rosenberg Self-Esteem Scale from Rosenberg (1965). Hypothesis testing results showed a positive relationship between resilience and self-esteem with a value of r = 0.513. Additional results showed that the level of resilience in multiethnic Batak-Chinese children 100% were in the high category, while the level of self-esteem in multiethnic Batak-Chinese children 14.8% in the moderate category and 85.2% in the high category.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis memperoleh kesempatan dan kesehatan yang baik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul
“Hubungan Harga diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak– Tionghoa”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.
Selama dalam pengerjaan skripsi ini, mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan sampai pengolahan data, penulis mendapatkan banyak dukungan kerjasama, bimbingan, arahan dan petunjuk dari berbagai pihak yang sangat membantu hingga akhirnya skripsi ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis hormati:
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU atas
dukungan yang telah diberikan demi kesuksesan seluruh .mahasiswa Fakultas Psikologi USU.
2. Ibu Rika Eliana, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing skripsi penulis.
Terima kasih atas bimbingan, pengarahan, dukungan, waktu, dan
pengorbanan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Ibu Meutia Nauly, M. Si, Psikolog dan Ibu Ika Sari Dewi, S. Psi, M. Pd,
dan saran yang diberikan selama masa revisi untuk membuat penelitian ini menjadi lebih baik.
4. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog selaku dosen pembimbing akademik
penulis yang telah bersedia membimbing penulis selama 4 tahun.
5. Keluarga penulis, terutama Aline selaku tante penulis, kedua orangtua,
Harry Handoko Halim sebagai adik penulis, Enri Richard, Winda Dwi Astuti, Imelda Sebastiani Halim, Livia Tri Anindita, Clara Clearesta,
Cynthia Marilyn Sitompul, Mima Nasution, Eka Dini Wulandari, Gevia Ningrum Sari, Michael Lubis, Ibnu Husein, Eldaa Kristy, Christine
Simatupang, Degi Jenifer, Richard Stevanus Sitio, Devi Ramadana, Icfadila Hanisa, Mentari Purba, Hikmah Nasution selaku saudara-saudara penulis, dan keluarga besar penulis yang terus menerus memberikan dukungan
kepada penulis selama penulisan skripsi.
6. Keluarga kecil penulis di departemen sosial, Mami Rika, Bang Sony, Kak
Maria, Bang Rozi, dan Fania Hutagalung.
7. Keluarga Fakultas Psikologi USU, terutama Bu Etty dan Bu Ika selaku
dosen di Fakultas Psikologi yang membantu memberi masukan selama proses pengerjaan skripsi, Bang Armen, Kak Ike, Bang Yoga, dan Bang Rocky yang selalu memberikan dukungan untuk penulis.
8. Teman-teman dan para sahabat penulis, terutama Anggi Dwi Putri, Adrian
Astaman, Eky Raditio, Yoseph Andreas, Ko Westley, Vilya, Simson, Frans,
9. Para sahabat Fakultas Psikologi USU stambuk 2011 yang selalu
memberikan masukkan-masukkan dan dorongan untuk menyelesaikan
skripsi dengan baik.
10. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang
sudah bapak dan ibu ajarkan kepada penulis.
11. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas
pelayanan yang baik buat penulis dan para mahasiswa lainnya.
12. Semua pihak yang terlibat selama proses pengerjaan skripsi ini, khususnya
selama pengambilan data.
Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan, fasilitas, waktu, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
membuka diri terhadap segala kritik dan saran yang merupakan masukan bagi penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2015
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18
A. Resiliensi ... 18
1. Definisi Resiliensi ... 18
2. Fungsi Resiliensi ... 20
3. Sumber-sumber Resiliensi ... 21
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ... 24
B. Harga diri ... 24
1. Definisi Harga diri ... 24
3. Karakteristik Individu Berdasarkan Harga diri ... 26
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga diri ... 27
C. Multietnis Batak-Tionghoa ... 29
1. Pengertian Anak Multietnis ... 29
2. Tantangan-tantangan Anak Multietnis... 34
D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak Multietnis ... 38
E. Hipotesa Penelitian ... 45
BAB III METODE PENELITIAN ... 46
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 46
B. Definisi Operasional ... 46
1. Resiliensi ... 46
2. Harga diri ... 47
C. Populasi Dan Metode Pengambilan Sampel... 47
1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 47
2. Teknik Sampling ... 48
D. Metode Pengumpulan Data ... 48
1. Pengukuran Resiliensi... 49
2. Pengukuran Harga diri ... 55
1. Validitas Alat Ukur ... 56
2. Uji Daya Diskriminasi Item ... 57
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 58
F. Prosedur Pelaksanaan ... 58
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 58
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 59
3. Tahap Pengolahan Data ... 59
G. Metode Analisis Data ... 59
1. Uji normalitas ... 60
2. Uji linearitas ... 60
H. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 60
1. Hasil Uji Coba Skala Resiliensi ... 61
2. Hasil Uji Coba Skala Harga diri ... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 63
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 64
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis Orangtua... 64
B. Hasil Penelitian ... 65
2. Hasil Utama Penelitian ... 67
C. Kategorisasi Data Penelitian... 71
1. Kategorisasi Resiliensi pada Anak Multietnis Batak-Tionghoa ... 71
2. Kategorisasi Harga diripada Anak Multietnis Batak-Tionghoa ... 72
D. Pembahasan ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. KESIMPULAN ... 82
B. SARAN... 82
1. Saran Metodologis ... 82
2. Saran Praktis ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 84
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Blueprint Skala Resiliensi...54
Tabel 2. Blueprint Skala Harga diri...55
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Resiliensi Setelah Uji Coba ... 60
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Harga diri Setelah Uji Coba ... 61
Tabel 5. Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62
Tabel 6. Sebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 63
Tabel 7. Sebaran Subjek Berdasarkan Etnis Orangtua ... 64
Tabel 8. Hasil Uji Asumsi Normalitas ... 65
Tabel 9. Hasil Uji Asumsi Linearitas ... 66
Tabel 10. Hasil Perhitungan Analisa Korelasi ... 67
Tabel 11. Perbandingan Mean Empirik Dan Mean Hipotetik Resiliensi ... 68
Tabel 12. Perbandingan Mean Empirik Dan Mean Hipotetik Harga diri ... 70
Tabel 13. Norma Kategorisasi Resiliensi ... 70
Tabel 14. Kategori Data Penelitian Resiliensi ... 71
Tabel 15. Norma Kategorisasi Harga diri ... 71
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Reliabilitas dan Daya Beda Aitem Lampiran B Data Mentah Subjek Penelitian Lampiran C Hasil Penelitian
Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak– Tionghoa
Cynthia Halim dan Rika Eliana Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian korelasi yang bertujuan untuk melihat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa. Penelitian ini melibatkan delapan puluh satu orang anak multietnis. Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak multietnis Batak-Tionghoa yang berusia 17-25 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik accidental sampling. Alat ukur resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini Multiracial Challenges and Resilience Scale (MCRS) yang disusun oleh Salahuddin (2008), sedangkan harga diri diukur dengan menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale dari Rosenberg (1965). Hasil pengujian hipotesa menunjukkan hubungan yang positif antara resiliensi dengan harga diri dengan nilai r=0,513. Hasil tambahan penelitian menunjukkan bahwa tingkat resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa 100% berada dalam kategori tinggi, sedangkan tingkat harga diri pada anak multietnis Batak-Tionghoa 14,8% berada pada kategori sedang dan 85,2% berada pada kategori tinggi.
The Relationship Between Self Esteem and Resilience in Multiethnic Batak-Chinese Children
Cynthia Halim dan Rika Eliana
Abstract
This research is a correlation study aimed to examine the relationship between self-esteem with resilience in multiethnic Batak-Chinese children. The study involved eighty one child multiethnic. The criteria for the sample used in this study is a multiethnic Batak-Chinese children aged 17-25 years. Sampling was done by accidental sampling technique. Resilience measuring instrument used in this study Multiracial Challenges and Resilience Scale (MCRS) developed by Salahuddin (2008), while the self-esteem was measured using Rosenberg Self-Esteem Scale from Rosenberg (1965). Hypothesis testing results showed a positive relationship between resilience and self-esteem with a value of r = 0.513. Additional results showed that the level of resilience in multiethnic Batak-Chinese children 100% were in the high category, while the level of self-esteem in multiethnic Batak-Chinese children 14.8% in the moderate category and 85.2% in the high category.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis
terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014). Seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya arus globalisasi yang melanda seluruh kehidupan manusia,
interaksi sosial di antara masyarakat juga semakin meningkat, melampaui batas wilayah, lintas etnis dan lintas budaya. Meningkatnya interaksi sosial di antara
kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan perkawinan (Soimin, 2004).
Perkawinan beda suku atau etnis di Indonesia saat ini sudah jamak dan
marak terjadi. Hariyono (1993) mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa,
kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Salah satu perkawinan beda etnis yang sudah lama
terjadi di Indonesia adalah perkawinan antara etnis Cina atau Tionghoa dengan penduduk lokal. Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa perkawinan campuran perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak
Di Sumatera Utara, perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan penduduk lokal yang terjadi, salah satunya dengan etnis Batak. Perkawinan beda
etnis Batak-Tionghoa merupakan sebuah fenomena yang menarik, karena disamping masalah etnis Tionghoa yang sampai saat ini masih mempunyai tingkat
sensitivitas konflik yang tinggi; baik Tionghoa maupun Batak, keduanya memiliki ciri khas nilai tradisi yang sama-sama menuntut kepatuhan pada komunitasnya.
Etnis Tionghoa menurut Sharley (2009) memegang teguh garis keturunan laki-laki (patriarki), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk
mempertahankan kemurnian keturunan dan budayanya. Demikian pula dengan etnis Batak, yang terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan istilah
marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami dalam garis laki-laki (Efendy, 2010).
Dibandingkan dengan perkawinan dengan etnis yang sama, perkawinan beda etnis akan memiliki permasalahan yang berbeda. Demikian juga halnya
dengan perkawinan beda etnis Batak-Tionghoa. Diantara masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan beda etnis, masalah yang paling banyak adalah masalah yang dialami oleh anak, diantaranya: anak tidak mendapatkan status
sosial dan merasakan kerancuan identitas. Suparlan (1984) mengatakan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan
Lisa Orr (dalam Liliweri, 2002), karena identitas bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Shih & Sanchez (2005), anak yang terlahir sebagai multietnis dapat mengidentifikasi identitas rasnya
berdasarkan latar belakang ras orangtuanya. Hal ini berarti, bahwa anak dari hasil perkawinan campuran Batak-Tionghoa semestinya memiliki pilihan untuk menentukan identitas etnisnya berdasarkan etnis orangtuanya, apakah akan
memilih menjadi bagian dari etnis Batak atau etnis Tionghoa. Akan tetapi dalam kenyataannya, anak-anak multietnis Tionghoa sering mengalami kebingungan
untuk menentukan identitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Astaman (2011) dalam bukunya yang berjudul Excuse Moi :
“Seyogyanya jelas, totok, dan mutlak. Kalau Cina ya Cina. Jawa ya Jawa. Sebaiknya tidak ada bagian yang abu-abu gelap. Apalgi dalam dikotomi yang paling mutlak: Cina dan Pribumi. Kotak Jawa-Betawi masih disediakan. Kotak Cina Hokien dan Khek juga ada, meski disimpan agak tersembunyi. Tapi kotak Cina-Pribumi dicampur? Agak membingungkan dan membuat hidup terasa lebih rumit.”
(Astaman, 2011:40)
Memilih Batak menjadi identitas diri bukanlah hal yang bisa dilakukan
secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan” tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan
peran sebagai dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat,
2007).
Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identits
ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk
etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).
Astaman (2011) mengatakan bahwa menjadi Cina memang tidak pernah
jadi pilihan favorit di Indonesia. Kata “Cina” berkonotasi sengkek, pelit, perhitungan, curang. Seperti yang dikatakan oleh Astaman (2011) dalam bukunya yang berjudul Excuse Moi :
“Jangankan jadi Cina, bergaul dengan manusia Cina itu saja sudah haram jadah!"
(Astaman, 2011:17)
Memperkenalkan identitas diri sebagai orang “Batak” atau “Tionghoa” bagi anak multietnis Batak-Tionghoa bukanlah sebatas label. Pertanyaan seperti
"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem, membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis
Keterpaksaan untuk memilih hanya salah satu dari ras orangtuanya untuk mengidentifikasi diri mereka akan membuat individu multietnis merasa tertekan
(Coleman & Carter, 2007). Astaman (2011), seorang Portal Executive untuk MSN Indonesia dalam bukunya Excuse-Moi menceritakan kegalauan hatinya. Ia terlahir
di Indonesia sebagai kaum multietnis, mengalirkan darah yang sebagian Indonesia dan sebagian lagi Tionghoa.
Astaman (2011) bingung dengan keharusan untuk memilih satu etnis untuk
menjadi identitasnya, seperti yang terjadi ketika ia berada di Singapura. Petugas bandara menolak “Indonesia” sebagai jawaban race di lembar imigrasi, karena
jawaban yang tersedia hanya Chinese/Malay/Indian/Caucasian. Indonesia adalah negara, bukan termasuk jenis etnis.
Persoalan keberadaan etnis Tionghoa yang sampai saat ini masih belum
seutuhnya diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia juga menjadi permasalahan bagi anak multietnis Batak-Tionghoa. Stereotype dan prasangka
yang digeneralisasikan kepada semua orang yang beretnis Tionghoa menjadikan anak multietnis Batak-Tionghoa menjadi korban diskriminasi. Astaman (2011)
dalam bukunya yang berjudul Excuse-Moi, menceritakan tentang tantangan yang dialaminya dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis :
“Seseorang pernah menyesalkan gue yang tidak sedari awal memperingatkan kecinaan gue. Kalau sudah tahu, ia tak bakal melakukan pendekatan.”
Munculnya anggapan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia masih belum sepenuhnya membaur dengan etnis-etnis lain, menurut Sutrisna (2005)
disebabkan karena etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang cukup kental; yang dimanapun mereka berada, mereka cenderung menunjukkan etnosentrisme.
Sama dengan Sutrisna, menurut Yudohusodo (1985) etnosentrisme inilah yang menyebabkan sulitnya terjadi proses pembauran etnis Tionghoa.
Adapun etnosentrisme etnis Tionghoa, menurut Yudohusodo (1985) dapat
dilihat dari beberapa hal, seperti: masih banyak etnis Tionghoa yang tinggal secara eksklusif di wilayah tertentu, kecenderungan memprioritaskan etnis
Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja, membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam masalah bisnis, dan tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga. Selain itu
sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa identitas nasional secara utuh. Hal ini tampak pada kebiasaan menggunakan bahasa
Tionghoa dalam percakapan sehari-hari dan tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar serta tetap teguh memegang adat istiadat serta
tradisi nenek moyang. Disamping itu, ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat.
Meskipun berdasarkan beberapa penelitian dan literatur diperoleh
informasi bahwa tidak semua etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang kental, namun menurut Setiono (2008), masyarakat Tionghoa yang ada di Sumatera
Tionghoa di daerah lainnya. Warga Tionghoa Medan yang dikenal dengan sebutan “Cina Medan” masih kental memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari
menggunakan bahasa Tionghoa (Hokkian) atau dialek asal kampungnya dalam berinteraksi tanpa peduli orang lain tidak memahaminya. Etnis Tionghoa Medan
juga memiliki sikap arogan dan ekslusif, yang tidak mau berinteraksi dengan orang-orang yang tidak setara secara ekonomi dengan mereka; memiliki sikap parasit yang hanya ingin mendapatkan keuntungan tanpa memperdulikan kerugian
orang lain; etnosentrisme yang sangat kokoh dan memiliki sanksi yang sangat tinggi. Salah satu sanksi yang mungkin terjadi adalah pemutusan hubungan
kekeluargaan, seperti antara orangtua dan anak yang sering diiklankan di surat kabar.
Etnosentrisme yang melekat pada etnis Tionghoa di Medan tentu saja
tidak muncul dengan sendirinya. Sebagai suatu bentuk sikap, etnosentrisme pada diri individu dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang
dianggap penting, media massa, dan lain-lain (Azwar, 2011). Menurut Hariyono (1993), baik secara sadar maupun tidak sadar, etnosentrisme terbentuk melalui
proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan kepada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya.
Etnosentrisme dari etnis Tionghoa sendiri dapat menimbulkan masalah
Saya sering merasa terasing ketika keluarga besar kami sedang berkumpul, seperti pada perayaan imlek. Semua saling bertegur sapa dengan menggunakan bahasa mandarin, sementara saya sendiri sama sekali tidak mengerti. Juga ketika ada beberapa tradisi yang harus saya ikutin, sementara sepupu-sepupu saya semua dengan lancar melakukannya. Saya menjadi jarang mengikuti tradisi atau perayaan karena saya tidak terlalu mengerti bagaimana cara melakukannya.
(Wenny, komunikasi personal, 2015)
Dalam wawancara lanjutan dengan Wenny untuk penelusuran lebih lanjut
apakah ada yang bertentangan dengan tradisi kedua budaya, Wenny mengatakan bahwa dia pernah kecewa terhadap sikap dari keluarga ayahnya (etnis Tionghoa)
yang melarangnya datang pada saat pernikahan bibinya (adik sepupu ayahnya), dengan alasan karena dia baru kembali dari pemakaman Tulangnya (kakak laki-laki ibunya). Dia tidak diperbolehkan mengikuti acara pernikahan karena dalam
dianggap dapat mendatangkan kesialan. Didalam adat tradisi etnis Tionghoa yang masih diwariskan kepada generasi muda ada kepercayaan bahwa orang yang
sedang tertimpa kemalangan tidak boleh menghadiri pesta pernikahan, kelahiran atau acara-acara yang bertujuan untuk merayakan kebahagiaan, karena kedatangan orang yang sedang berdukacita dianggap membawa aura kesedihan yang akan
mendatangkan kesialan. Demikian juga sebaliknya, orang yang merayakan pernikahan tidak boleh datang pada acara kematian, karena dianggap akan dapat
membawa aura dukacita dalam keluarganya. Sementara dari sisi etnis Batak sendiri, kehadiran setiap anggota keluarga dalam setiap kegiatan atau peristiwa yang terjadi dalam keluarga selalu dituntut dan merupakan hal yang sangat
Dalam kehidupan anak multietnis Batak-Tionghoa, sebagaimana anak multietnis umumnya, masalah rasisme dan invalidasi sosial dapat menjadi faktor
resiko yang berdampak pada kesehatan psikologis, seperti meningkatnya stres (Salahuddin & O'Brien, 2011). Terutama sebagai keturunan Tionghoa. Meskipun
pemerintah mengeluarkan peraturan yang menegaskan etnis Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia, namun pada kenyataannya masih berlaku istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan etnis Tionghoa dengan etnis pribumi yang
lain (Susetyo, 2002).
Selain masalah di atas, secara genetika, anak yang lahir dari perkawinan
beda etnis Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti yang dimiliki orangtuanya. Probabilitas penampilan fisik dari generasi campuran etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah
berbeda dari keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit.
Ketidaksinkronan tampilan fisik dengan identitas yang ditampilkan anak-anak multietnis campuran Tionghoa umumnya, termasuk multietnis
Batak-Tionghoa kerap ditolak dan didiskriminasi orang-orang atau kelompok masyarakat di sekitar mereka, karena mereka dianggap berbeda atau tidak memiliki ras yang “utuh”. Astaman (2011) merasa adanya penolakan terhadap
dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun pribumi. Kelompok Tionghoa, menganggap ia “kurang Cina” karena ketidakmampuannya berbahasa Mandarin;
dengan kulit putih dan bermata sipit. Sedangkan Fransiska (2015), seorang multietnis Batak-Tionghoa mengatakan bahwa :
“Aku dipanggil tetangga dekat rumah dengan sebutan “Cina kesasar” karena berkulit coklat dan mataku ada kelopaknya. Tapi memang hidungku sedikit pesek.”
(Fransiska, komunikasi personal, 2015)
Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis Batak-Tionghoa tentu
bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai
perlakuan diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan
berkemungkinan terjadi secara berulang-ulang. Munculnya situasi-situasi yang sulit dan hambatan-hambatan yang ada, yang selalu berkembang dari satu
persoalan ke persoalan berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis Batak-Tionghoa harus membangun kekuatan emosional dan psikologisnya. Bagi anak yang mampu memanejemen diri dengan baik dan positif
akan tumbuh menjadi manusia yang tangguh atau resilien. Menurut Masten (2001), resiliensi adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau
kemalangan yang signifikan.
Anak multietnis Batak-Tionghoa harus memiliki resiliensi untuk menghadapi masalah, tekanan, dan konflik yang terjadi dalam kehidupan
mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Reivich & Shatte (2002) yang disebut
dengan steering through.
Kemampuan setiap anak multietnis dalam menghadapi permasalahan
dalam hidupnya tergantung pada anak itu sendiri. Apabila anak multietnis Batak-Tionghoa berhasil melewati tantangan tersebut dan mencapai hasil yang diinginkan atau sesuai dengan ekspektasinya (misalnya, kebanggaan ras, harga
diri) atau mampu menghindari hasil negatif (misalnya, depresi, invalidasi sosial), maka orang tersebut dianggap tangguh atau memiliki tingkat resiliensi yang tinggi
(Masten, 2001).
Keberhasilan anak multietnis Batak-Tionghoa menghadapi tantangan-tantangan yang ada dalam kehidupan mereka sedikit banyaknya akan
mempengaruhi penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri. Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh
individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu
meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.
Menurut Coopersmith (1981) tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh (a) Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang
Signifikan. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan
(b) Kelas Sosial dan Kesuksesan. Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang
lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan
menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman.
Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut
oleh individu. (d) Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif
terhadap diri mereka.
Individu yang memiliki tingkat harga diri yang tinggi, umumnya memiliki
karakteristik berikut (Coopersmith, 1981) : (1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik; (2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan
sosial; (3) Dapat menerima kritik dengan baik; (4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri; (5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri; (6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi,
karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi; (7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya; (8) Lebih
Untuk dapat menjadi individu yang resilien, individu membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang
baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika individu tidak
mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat mempengaruhi sense of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia merasa menjadi bagian dari suatu kelompok dan diterima oleh anggota kelompok lainnya. Jika ia merasakan dirinya
diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya. Sebaliknya, jika ia merasa ditolak atau
tidak diterima oleh kelompok tersebut, ia akan memiliki penilaian yang negatif pada dirinya dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini jelas akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974).
Individu yang resilien memiliki kekuatan yang meliputi perasaan kebanggaan akan diri mereka sendiri, tingkah laku positif, dan kepercayaan yang
tinggi pada dirinya. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Mereka mengandalkan rasa percaya dan harga diri yang tinggi untuk membantu mereka
dalam mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Mereka mampu berinteraksi sosial dan interpersonal dengan baik dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah
Selanjutnya Grotberg (1999) menambahkan bahwa individu yang resilien memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Semua ini membantu
individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi.
Mereka mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Disamping itu, mereka mampu mengendalikan
dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. .
Berkaitan dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa, maka berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menghadapi tantangan dan situasi sulit dalam kehidupannya dapat dilihat pada seberapa kuat ketangguhannya dan
seberapa tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan semua
sumber daya yang melekat dalam dirinya, termasuk dengan statusnya sebagai anak multietnis. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan
penilaian yang positif terhadap dirinya. Frey & Carlock (1987) mengatakan bahwa ketika individu mampu menghadapi hambatan dan tantangan yang merugikannya, maka individu akan merasa bahwa dirinya berharga. Individu yang
memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri yang positif. Selain itu, ia merasa
Untuk itu, peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
permasalahan penelitian ini adalah : apakah ada hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian adalah : Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak multietnis
Batak-Tionghoa.
D. Manfaat Penelitian
Setiap kegiatan penelitian pasti mempunyai manfaat tertentu. Manfaat
dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis
a. Pengembangan dalam bidang psikologi guna menciptakan generasi yang
memiliki resiliensi dan harga diri yang baik dalam rangka peningkatan
mutu sumber daya manusia dan lebih utama menciptakan generasi manusia yang seutuhnya, baik jasmani maupun rohani.
b. Sebagai bahan kajian tambahan dan rujukan bagi mahasiswa psikologi
yang berminat untuk mempelajari psikologi sosial.
c. Sebagai penambah wawasan dan pengalaman bagi penulis dalam
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pihak akademik : agar lebih menumbuhkembangkan harga diri
positif dalam menangani masalah yang terkait resiliensi.
b. Bagi multietnis Batak-Tionghoa : agar dapat mengaktualisasikan diri
dengan baik dalam segala aktivitas.
c. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi suatu dasar pandangan
keilmuan dalam keseharian mengenai harga diri dan resiliensi.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I - Pendahuluan
Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
2. Bab II - Landasan Teoritis
Pada bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai
landasan dalam penelitian, antara lain teori mengenai harga diri, resiliensi, dan anak multietnis Batak-Tionghoa, dinamika penelitian, dan hipotesa penelitian.
3. Bab III - Metode Penelitian
Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang identifikasi variabel, definisi operasional variabel, subjek penelitian, jenis
penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, metode analisis data, serta hasil uji coba alat
4. Bab IV – Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum dan karakteristik dari
subjek penelitian serta cara analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa statistik dengan bantuan program SPSS versi 20.0 for windows. Selain itu, pada
bab ini juga akan dibahas mengenai interpretasi data hasil penelitian beserta pembahasan.
5. Bab V – Kesimpulan Dan Saran
Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan analisa dan interpretasi data serta dilengkapi dengan saran-saran bagi anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi awalnya berasal dari kata Latin `resilire‟ yang artinya
melambung kembali. Dalam dunia psikologi, resiliensi diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Resiliensi adalah proses
mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman traumatik dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Fergus & Zimmerman, 2005).
Dalam bukunya yang berjudul The Resiliency Advantage, Siebert (2005) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk
dapat mengatasi perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi
yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Selanjutnya Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai
Greef (2005) menambahkan bahwa resiliensi harus dipahami sebagai kemampuan dimana individu tidak sekedar berhasil dalam beradaptasi terhadap
resiko atau kemalangan namun juga memiliki kemampuan untuk pulih, bahagia dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih
menghargai kehidupan. Individu yang resilien tidak hanya kembali pada keadaan normal setelah mereka mengalami kemalangan, namun sebagian dari mereka mampu untuk menampilkan performance yang lebih baik dari sebelumnya.
Masten (2001) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.
Terdapat 3 komponen penting yang mendasari terbentuknya resiliensi, yaitu : faktor resiko, faktor protektif, dan hasil. Faktor resiko adalah berbagai jenis kesulitan yang berpengaruh terhadap meningkatnya hasil negatif. Dalam
kehidupan multirasial, rasisme dan invalidasi sosial dinilai merupakan faktor resiko yang diasosiasikan dengan peningkatan distres. Faktor protektif adalah
aset-aset yang menjadi penyangga terhadap dampak dari kesulitan dengan mediasi atau moderasi hubungan antara kesulitan dengan hasil. Hasil merujuk pada
variabel tertentu yang diyakini sebagai resiko dari adanya kesulitan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi
terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan dimana individu berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan
2. Fungsi Resiliensi
Menurut Reivich & Shatte (2002) kegunaan resiliensi bagi seseorang adalah sebagai berikut:
a. Overcoming
Ada banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan stres
yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap individu membutuhkan resiliensi agar terhindar dari akibat buruk dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara
pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan sendiri, sehingga individu tersebut dapat tetap merasa termotivasi,
produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
b. Steering through
Dalam menghadapi setiap masalah, tekanan, dan konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, individu yang resilien akan menggunakan sumber
dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Individu resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah
sepanjang perjalanan hidupnya. c. Bouncing back
sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk
menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented
coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke
kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka
rasakan.
d. Reaching out
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau
menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar
pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang
terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.
3. Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu
sebagai berikut :
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah
yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.
Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.
b. I Am (kemampuan individu)
I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan
orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.
Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka
sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan
dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang
telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.
Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka
percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.
c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik.
Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.
situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara
untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Menurut Holaday (Southwick, P.C. 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah :
a) Dukungan sosial, yaitu berupa dukungan masyarakat, dukungan pribadi,
dukungan keluarga, serta budaya dan komunitas dimana individu tinggal. b) Kemampuan kognitif, diantaranya intelegensi, cara pemecahan masalah,
kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan diri sendiri, kontrol diri dan spiritualitas.
c) Sumber psikologis, yaitu locus of control internal, empati dan rasa ingin tahu,
cenderung mencari hikmah dari setiap pengalaman serta selalu fleksibel dalam setiap situasi.
B. Harga diri
1. Definisi Harga diri
Harga diri merupakan penilaian/evaluasi individu yang berkaitan dengan keyakinan akan kemampuan, perasaan berharga, dan perasaan diterima yang
dimiliki individu mengenai dirinya sendiri. Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal
setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.
Sedangkan menurut Frey & Carlock (1987) harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang menunjukkan sejauh mana individu
itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang berpengaruh dalam perilaku seseorang. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang
memiliki harga diri yang tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya.
Dalam harga diri tercakup evaluasi dan penghargaan terhadap diri sendiri dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai
kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak
suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998). Dengan
kata lain, harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari.
2. Komponen Harga diri
Harga diri seseorang dapat dilihat dari beberapa komponen.
a. Feeling of belonging (perasaan diterima), yaitu perasaan individu dimana ia
merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh
anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut.
b. Feeling of competence (perasaan mampu), yaitu perasaan individu bahwa ia
mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif
terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987).
c. Feeling of worth (perasaan berharga), yaitu perasaan individu bahwa dirinya
berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya
secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect (Frey & Carlock, 1987).
3. Karakteristik Individu Berdasarkan Harga diri
Coopersmith (1981), membagi tingkat harga diri individu menjadi dua
golongan yaitu:
a. Individu dengan harga diri yang tinggi:
1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;
2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial;
4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;
5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya
sendiri;
6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai
kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi;
7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya;
8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan
sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang.
b. Individu dengan harga diri yang rendah: 1) Memiliki perasaan inferior
2) Takut gagal dalam membina hubungan sosial 3) Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi 4) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
5) Kurang dapat mengekspresikan diri 6) Sangat tergantung pada lingkungan
7) Tidak konsisten
8) Secara pasif mengikuti lingkungan
9) Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism)
10) Mudah melakukan kesalahan
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga diri
a. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan
Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap
penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.
b. Kelas Sosial dan Kesuksesan
Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi,
pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima
keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.
c. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman
Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri
secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu.
d. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi
Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang
C. Multietnis Batak-Tionghoa 1. Pengertian Anak Multietnis
Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis
terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014).
Meningkatnya interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan perkawinan (Soimin, 2004).
Hariyono (1993) mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa,
kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis.
Anak-anak yang lahir dari orangtua yang berbeda ras akan memiliki
identitas etnis lebih dari satu (multietnis atau multiracial). Anak multietnis memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas rasnya
berdasarkan latar belakang ras orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005).
Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa perkawinan campuran perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak abad 16
sampai permulaan abad ke-20. Hal ini disebabkan kebanyakan perantau Tionghoa itu adalah laki-laki.
Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai
Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing/Batak Angkola, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah
asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Koentjaraningrat, 2007).
Etnis Batak juga terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan
istilah marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami dalam garis laki-laki (Efendy, 2010). Menurut Vergouwen (2004), marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang keturunan dari kakek
bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal. Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya di
belakang nama kecilnya. Disamping itu masyarakat Batak mempunyai sistem kekerabatan yang dinamakan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).
Suku Batak juga dikenal menyukai tantangan karena orang-orang terdahulu atau para nenek moyang tinggal di medan yang sangat keras dan sulit. Oleh karena itu, bagi anak-anak suku Batak diwarisi ketangguhan ini juga.
memulai, orang Batak berani untuk memulainya lebih dulu. Kata menyerah tidak identik dengan suku Batak (Sgn, 2012).
Selain itu suku Batak menghormati semua budaya. Kedinamisan orang Batak juga tampak dari sifat mereka yang menghargai budaya lain. Walau orang
Batak, sangat mencintai Bahasa Batak, namun banyak orang Batak yang fasih menggunakan bahasa dari daerah lain. Penghargaan mereka terhadap bahasa budaya lain sangat besar, seperti : orang Batak tidak segan memakai pakaian adat
budaya lain atau ikut dalam upacara-upacara dalam kebudayaan yang berbeda. Suku Batak tidak pernah menutup diri, walaupun nilai kedaerahan mereka sangat
kuat (Sgn, 2012).
b. Tionghoa
Di kalangan orang yang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk
menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah Cino (Susetyo, 2002). Etnik Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non-pribumi
yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka
didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda (Suryadinata, 1984).
Menurut Budiman (dalam Susetyo, 2002) sebagai orang keturunan Cina
menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun
1965. Oleh karena itu Suryadinata (1999) mengatakan sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasa
menyakitkan karena istilah Cina
Etnis Tionghoa menurut Sharley (2009) memegang teguh garis keturunan laki-laki (patriarki), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk
mempertahankan keturunan dan budayanya. Disamping itu, kebudayaan etnis Tionghoa memang sama sekali berbeda dari kebudayaan-kebudayaan yang
dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, khususnya keyakinan (Suparlan, 1984). Bagi masyarakat Tionghoa ada keyakinan tiga agama, yaitu: Buddha, Kong Fu-Tse dan Tao, yang ketiga-tiganya dipuja bersama-sama
(Koentjaraningrat, 2007).
Menurut Seng (2013) ada 6 prinsip dipegang oleh orang Cina, antara lain : 1. Agresif
2. Jangan melepaskan peluang
3. Berani mengambil resiko
4. Tahan Banting, orang yang dilahirkan sebagai etnis Tionghoa harus memiliki
mental dan jiwa yang kukuh untuk menghadapai tekanan apapun
5. Jangan menyerah pada nasib, orang Tionghoa percaya adanya takdir, tetapi
apabila menghadapi situasi sulit. Dengan melihat ke depan dan melalui masalah
6. Semangat berjuang, suku Tionghoa adalah fighter (petarung) dan survivor
(punya cara untuk bertahan hidup). Mereka punya motivasi dan semangat
yang tak kunjung padam. Mereka harus selalu bersemangat dengan apa yang dilakukannya, dan yakin bahwa kesuksesan pasti akan mereka raih pada saatnya.
Keturunan Tionghoa sering juga disebut peranakan. Yang dimaksud dengan, menurut Mely G. Tan (1979) memiliki ciri : (...) mereka yang orientasi
kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti: Jawa, Sunda, Ambon, Menado, yang di rumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya mereka yang mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan di mana
mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya dinamakan orang “peranakan”.
Hampir sama dengan Melly G. Tan, menurut Gondomono (1996:2-3) menggolongkan peranakan sebagai golongan Tionghoa-Indonesia :
“Mereka kemudian malahan hidup dengan perempuan setempat dan menetap di Indonesia untuk selama-lamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri yang makin lama makin berbeda secara kultural dengan masyarakat leluhur Tionghoa. Maka terbentuklah kelompok yang dalam banyak tulisan disebut sebagai golongan “peranakan”.
merasa adanya penolakan terhadap dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun pribumi.
Etnis Tionghoa di Medan berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah lainnya di Indonesia. Setiono (2007) mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa di
Medan masih kental memelihara budaya Tionghoa dan menggunakan bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. M. Rajab Lubis (1995) menambahkan bahwa etnis Tionghoa di Medan juga memiliki motivasi yang rendah dalam
berafilisiasi terhadap etnis setempat.
2. Tantangan-tantangan Anak Multietnis
Banyak tantangan yang sering dihadapi oleh anak biracial, diantaranya : a. Kebingungan Identitas
Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr
(dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.
Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada
penampilan fisiknya (Qian, 2004). Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992) menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan
masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan fisiknya.
Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat anak biracial menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti
"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-item, membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis
secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).
Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi
individu-individu birasial, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial). Hal ini menyebabkan anak biracial
harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur
dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka (Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).
b. Rasisme 1) Pengertian
Rasisme didefinisikan dalam berbagai cara yang mencakup perilaku yang
bervariasi yang dapat dianggap rasis; sebagaimana yang diungkapkan oleh Ridley (2005:29) bahwa rasisme sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang
hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati peluang-peluang atau hak istimewa tersebut".
2) Jenis-jenis Rasisme
Terdapat dua jenis utama rasisme menurut Ridley (2005), yaitu: individu
dan institusional
a) Individu, apabila rasisme dilakukan oleh satu orang atau sekelompok kecil
orang.
b) Institusional, mengacu pada rasisme yang dilakukan oleh organisasi dan
lembaga. Kedua jenis rasisme, baik individu dan institusi dapat terbuka atau
terselubung. Rasisme terang-terangan selalu merupakan hasil dari niat jahat, sedangkan rasisme terselubung dapat disengaja dan berbahaya atau tidak disengaja dan tanpa niat jahat (Ridley, 2005).
Utsey dan Ponterotto (1996) mengidentifikasi jenis lain dari rasisme, yang mereka sebut rasisme budaya. Rasisme budaya mengacu pada praktek yang
menegakkan satu budaya tertentu sebagai budaya yang ideal, dan mendevaluasi budaya lain sebagai inferior. Pengalaman-pengalaman rasis menjadi sumber
trauma (Bryant-Davis & Ocampo, 2005), dan dikatakan berhubungan dengan tekanan darah tinggi (Krieger & Sidney, 1996), stres (Utsey & Ponterotto, 1996), menurunkan tingkat perasaan kebahagiaan dan identik dengan kepuasan hidup
yang rendah (Jackson, Williams, & Torres, 1995) dan harga diri yang rendah (Fernando, 1984).
Invalidasi sosial umumnya dialami oleh individu multiracial (Rockquemore & Laszloffy, 2003). Invalidasi sosial mengacu pada invalidasi
identitas rasial secara sistematis yang banyak ditemui oleh individu multiracial. Invalidasi sosial ini mungkin berupa penolakan dari kelompok ras dimana mereka
mengidentifikasi diri mereka, individu lainnya menantang ras identifikasi diri seseorang, dan kurangnya pengakuan keberadaan multiracial individu (Shih & Sanchez, 2005).
Validasi sosial, penerimaan, dan persetujuan merupakan hal yang penting bagi perkembangan identitas individu karena individu mendefinisikan mereka di
bagian mana berdasarkan bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka (Rockquemore & Laszolffy, 2003; Root, 1994). Lebih khusus, individu multiracial belajar apa artinya menjadi multiracial dan nilai menjadi bagian
individu yang multiracial melalui persepsi mereka tentang bagaimana orang lain melihat mereka. Dengan demikian, interaksi positif dengan orang lain adalah
suatu teori yang menghasilkan persepsi positif dari identitas seseorang.
d. Prasangka, Stereotype, dan Diskriminasi
Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang
berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype
tingkah laku atau aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka.
Identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan.
Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).
D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak Multietnis
Anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran antara dua ras atau etnis berbeda biasanya dikenal dengan istilah anak multietnis. Anak multietnis memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas etnisnya
berdasarkan latar belakang etnis orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005). Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang anak multietnis bukanlah hal yang mudah,
banyak tantangan yang sering dihadapi, diantaranya kebingungan identitas dan menghadapi diskriminasi.
Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr (dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas
bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya. Memilih identitas bukanlah hal yang mudah untuk anak multietnis
secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak
orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan” tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan dampak terutama
kepada anak-anaknya yang akan sulit menjalankan posisi dan peran sebagai dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).
Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus
memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identitas ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis
pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).
Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat anak multietnis menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti
"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem,
membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).
Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi
individu-individu multietnis, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari