• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan dalam perkawinan adat Betawi : Studi kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan dalam perkawinan adat Betawi : Studi kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

1 Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Mei 2008

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah... 1

2. Identifikasi Masalah ... 7

3. Pembatasan Masalah ... 7

4. Perumusan Masalah ... 7

5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

6. Metodologi Penelitian ... 8

7. Sistematika Penulisan... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan... 12

B. Syarat- Syarat Perkawinan dan Rukun Perkawinan... 16

C. Segi-segi Ta'abudi dalam Pemberian Mahar dan Harta Bawaan ... 20

D. Hikmah Disyari'atkan Perkawinan... 24

E. Sekilas Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Kitab Hukum Islam ... 26

BAB III PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN ADAT BETAWI A. Pengertian Upacara Adat... 28

B. Rukun dan Syarat Pernikahan Adat Betawi ... 34

C. Masa Upacara Pernikahan... 39

(3)

BAB IV ANALISIS TENTANG KHUTBAH PENYERAHAN DAN

KHUTBAH PENERIMAAN DALAM PERNIKAHAN ADAT

BETAWI

A. Kondisi Obyektif Perkampungan Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah ... 47 B. Pengertian Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan... 51 C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Khutbah Penyerahan dan

Khutbah Penerimaan dalam Upacara Perkawinan Adat Betawi .... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran... 65

DAFTAR PUSTAKA... 67

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

“Kehidupan berkeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah, baik menurut hukum agama maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini akan tercipta kehidupan yang harmonis, tentram, dan sejahtera lahir bathin yang didambakan oleh setiap insan yang normal”.1

Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan keturunan. Dalam Syari'at Islam Allah telah menetapkan aturan perkawinan yang merupakan tuntunan agama yang wajib dilaksanakan oleh semua umatNya. Bagi mereka yang melakukan perkawinan tidak berdasarkan ketentuan syari'at Islam, maka perkawinan akan mendapat murka Allah SWT.2

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon gholizon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”.3

Menurut BAB I pasal 1 Undang-undang No I Tahun 1974 tentang perkawinan dirumuskan pengertian perkawinan yang di dalamnya tercantum tujuan perkawinan dengan rumusan "perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia Ketuhanan Yang Maha Esa”.4

1

Zuhdi Muhdhor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), Cet. Ke-1, h. 14

2

Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1985), Cet. Ke-2, h. 21

3

Intruksi Presiden RI Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Humaniora Utama press, 2001), h. 18

4

(5)

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis katulistiwa, di antara samudera lautan teduh dan samudera Indonesia. Penduduk yang berdiam dan berasal dari pulau-pulau yang beraneka ragam adat budaya dan hukum adatnya. Namun demikian walaupun disana sini berbeda tetapi dikarenakan rumpun asalnya adalah satu yaitu bangsa melayu purba, maka walaupun berbeda-beda masih dapat ditarik persamaan dalam hal-hal yang pokok. Hampir disemua lingkungan masyarakat adat menempatkan masalah perkawinan sebagai urusan keluarga dan masyarakat, perkawinan tidaklah semata-mata urusan pribadi bagi yang melakukannya.

Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sehingga perkawinan ini dapat pengabsahan dari masyarakat, tata cara rangkaian adat perkawinan itu terangkat dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dibukukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan diluar kekuasaan manusia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi tata rias wajah, tata rias sanggul, serta tata rias busana yang lengkap dengan berbagai adat istiadat sebelum perkawinan dan sesudahnya.

(6)

Fatahillah. Wilayah Batavia pada mulanya hanya berkisar pada daerah yang menurut Ridwan Saidi hanya sekitar kali besar sentris. Namun kini Jakarta semakin diperluas dengan melalui beberapa kali pemekaran wilayah, saat ini wilayah Jakarta meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Utara sampai ke Kepulauan Seribu, Jakarta Timur sampai ke perbatasan Bekasi, Jakarta Barat sampai keperbatasan Tangerang dan Jakarta Selatan berbatasan dengan Kotip Depok.5

Dalam pemetaan budaya Betawi secara geografis sangat berkaitan erat dengan penentuan batas wilayah pemakaian bahasa Betawi. Pemetaan bahasa dilakukan berdasarkan anggapan bahwa wilayah bahasa biasanya identik dengan wilayah budaya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa seni Betawi tumbuh dan berkembang pula di wilayah bahasa/ budaya melayu di sekitar wilayah DKI Jakarta. Kesamaan tersebut juga merupakan kesamaan dalam tradisi masyarakat seperti dalam makanan tradisional, seni tari dan musik, bahkan adat budaya.

Pemetaan geografis budaya Betawi secara bahasa juga menimbulkan beberapa klasifikasi sub dialek Betawi. Beberapa sub dialek tersebut antara lain:

1. Mester, rneliputi sekitar wilayah Jatinegara, Kampung Melayu dan daerah sekitarnya.

2. Tanah Abang, meliputi sekitar wilayah Tanah Abang, Petamburan, dan daerah sekitarnya.

3. Karet meliputi wilayah Karet, Senayan, Kuningan dan sekitarnya.

5

(7)

Menurut garis besarnya wilayah budaya Betawi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu Betawi tengah atau Betawi kota dan Betawi pinggiran. Yang termasuk Betawi tengah atau Betawi kota dapat disebutkan kawasan wilayah yang pada zaman akhir penjajahan Belanda termasuk wilayah Gemeente Batavia, kecuali beberapa tempat seperti Tanjung Priuk dan sekitarnya. Sedangkan daerah-daerah diluar kawasan tersebut, baik yang termasuk wilayah DKI Jakarta apalagi daerah-daerah disekitarnya, merupakan wilayah Betawi pinggiran yang pada masa-masa yang lalu oleh orang Betawi tengah suka disebut Betawi Ora, dan wilayah Srengseng Sawah termasuk dalam Betawi pinggiran.

Tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Betawi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap sebelum perkawinan, saat pelaksanaan perkawinan dan sesudah pelaksanaan perkawinan. Acara yang dilakukan sebelum perkawinan seperti peminangan. Peminangan dalam masyarakat Betawi dianggap sesuatu hal yang sangat penting, oleh karena itu harus melalui beberapa tahap yaitu: tahap ngelancong dan tahap ngelamar. Sedangkan yang dilakukan dalam acara pelaksanaan perkawinan terdiri dari akad nikah, seserahan, pesta perkawinan, dan upacara sesudah perkawinan malam negor, ngambil (mengambil) tiga hari, dan pesta dirumah pengantin laki-laki.

(8)

tersebut timbal alas inisiatif pihak laki-laki. Seberapa lama peminangan dilakukan, pihak laki-laki datang, untuk menanyakan kapan acara seserahan dan pernikahan dilangsungkan, dalam acara seserahan tersebut ditanyakan adakah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam acara perkawinan, apabila ada, bentuk apakah syarat-syarat tersebut.

Biasanya syarat-syarat yang terdapat dalam perkawinan masyarakat Betawi tidak terlepas dari dua macam yaitu berbentuk kekudang yaitu suatu ucapan atau janji orang tua wanita terhadap anaknya (mempelai wanita) ketika wanita tersebut masih untuk memberikan sesuatu (biasanya berbentuk benda) kepadanya apabila ia ada jodoh (kawin) nanti. Bentuk yang lainnya adalah berbentuk barang pelangkah bagi wanita yang masih mempunyai kakak yang belum menikah.

Pada saat acara lamaran calon mempelai wanita diberikan uang sembah sebagai tanda bahwa orang tua mempelai laki-laki menerima pilihan anaknya. Dan ketika pelaksanaan akad nikah para besan dari pihak mempelai laki-laki membawa seserahan yang di dalamnya terdapat roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari perkawinan adat Betawi dan pemberian ayam kiras pada malam negor.

(9)

mendukung. Masyarakat asli Srengseng Sawah labih di kenal dengan masyarakat Betawi yang sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang perkawinan.tradisi adat perkawinan Betawi yang selalu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Srengseng Sawah. Upacara perkawinan adat Betawi masih menggunakan tradisi adat, oleh karena itu

menarik untuk diteliti. Apakah dalam upacara tradisi adat Betawi dapat di benarkan atau tidak dalam syariat hukum Islam, terutama pada upacara sebelum akad nikah yang dilangsungkan adanya pembacaan sambutan khutbah penyerahan uang belanja dan sambutan khutbah penerimaan uang belanja dalam bahasa arab.

Dari permasalahan tersebut di atas dapat timbul pertanyaan tentang sambutan dua khutbah tersebut yang terjadi pada perkawinan adat Betawi, apakah tradisi tersebut merupakan tradisi yang telah ada dan bagaimanakah menurut syariat hukum agama Islam.

Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis memilih judul:

“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI KHUTBAH

PENYERAHAN DAN KHUTBAH PENERIMAAN DALAM PERKAWINAN

ADAT BETAWI” (Studi kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)

2. Identifikasi Masalah

(10)

uang belanja yang terjadi pada kehidupan masyarakat.sehingga dalam hal ini penulis tertarik untuk mengetengahkan masalah yang terjadi.

3. Pembatasan Masalah

Dalam pelaksanaan perkawinan tradisi adat Betawi khususnya dalam hal sambutan khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan, masyarakat belum dapat memahami dan mengertisecara mendalam tentang dua khutbah tersebut. Apakah selama ini dua khutbah tersebut hanya merupakan sebuah trdisi yang telah ada atau sebuah tradisi yang merupakan syariat hukum dalam pelaksanaan perkawinan pada masyarakat adat Betawi.sehingga timbul bnyaknya perbedaan pada sambutan penyerahan dan sambutan penerimaan yang terjadi pada masyarakat dalam upacara perkawinan. Dan menarik bagi penulis untuk megkaji dan meneliti tradisi dua khutbah ini dalam perkawinan adat Betawi.

4. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah-masalah pokok yang di kaji dalam skripsi ini sebagai berikut 1. Apakah masyarakat Betawi telah mengerti serta memahami arti serta kandungan

dari dua khutbah tersebut? 2. Apakah masyarakat masyarakat melakukukannya hanya merupakan sebagai

sebuah tradisi?

(11)

5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam hal peneletian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin di capai.yaitu; 1. Untuk memberikan pengertian serta pemahaman dari khutbah penyerahan dan

khutbah penerimaan.

2. Untuk mengetahui apakah dasar masyarakat melakukan tradisi dua khutbah tersebut.

3. Untuk mengetahui tentang tinjauan hukum islam terhadap dua khutbah tersebut. Untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada umat islam dan alim ulama khususnya masyarakat Betawi untuk mengkaji lebih jauh lagi mengenai tradisi perkawinan adat Betawi khususnya dalam hal sambutan khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan yang terjadi khususnya pada masyarakat Srengseng Sawah.

6. Metodologi Penelitian

Untuk terciptanya sasaran yang menjadi tujuan penulis, skripsi ini maka digunakan dua metode:

1. Riset Kepustakaan (Library reseach)

Yaitu dengan cara mengumpulkan dan membaca bahan-bahan dari buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

2. Riset Lapangan (Field Reseach)

(12)

bentuk skripsi, penulis berusaha mendapatkan data yang akurat dan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian secara sosiologis (empiris) yaitu dengan melihat secara langsung kehidupan masyarakat Jagakarsa Kelurahan Srengseng Sawah, yang melakukan tradisi pembacaan khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan dalam adat Betawi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian atau penyelidikan yang bertujuan pada pemecahan masalah yang ada pada perkawinan adat Betawi.

Dalam hal ini yang dijadikan sumber data primer lima suami istri yang melaksanakan perkawinan. Adapun yang dijadikan sumber data sekunder adalah: 1. Bapak H. Ahmad Arsani, S Sos, sebagai Lurah Srengseng Sawah.

2. Bapak KH. Nur ’Ali Hamim, sebagai ulama setempat. 3. Bapak KH. Sholihin Ilyas, sebagai Ulama Betawi setempat. 4. Bapak Taufik, sebagai Konsultan Pernikahan Adat Betawi.

5. Abang Indra,sebagai pengelola perkampungan budaya Betawi Setu Babakan. 6. Masyarakat kelurahan Srengseng Sawah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah:

a) Observasi,yaitu mengadakan pengamatan terhadap objek penelitian terutama tentang terjadinya upacara perkawinan adat Betawi Srengseng Sawah.

(13)

7. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, diantaranya memuat: Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

Bab II Hukum Perkawinan dalam sistem hukum Islam, mencakup: Status Hukum Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, segi-segi ta’abbudi dalam pemberian mahar dan harta bawaan, dan hikmah disyariatkannya perkawinan.

Bab III Sistem Perkawinan Adat Betawi, diantaranya adalah: Pengertian upcara adat, Syarat dan Rukun Perkawinan Adat Betawi, Upacara Perkawinan Masyarakat Betawi dan Tradisi Pembacaan khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan dalam perkawinan masyarakat Betawi.

(14)
(15)

15

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Nikah atau zawaj dalam bahasa arab diartikan dengan "kawin". Nikah menurut bahasa adalah "bergabung"dan "berkumpul" dipergunakan juga dengan arti "watha" atau "akad nikah", tetapi kebanyakan pemakaiannya untuk akad nikah,1 Sebab akad adalah bolehnya bersenggama.

Sedangkan nikah secara istilah terdapat perbedaan di antaranya yaitu:2 1. Golongan Hanafiyah mendefinisikan nikah sebagai:

Artinya: “Nikah itu adalah akad yang berfaidah memiliki, bersenang-senang dengan sengaja"

2. Golongan As-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai:

Artinya: "Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafaz nikah'atau tazwij yang semakna dengan keduanya"

3. Golongan Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai:

1

Peunoh Daly, Hukum Islam Suatu studi Kasus Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus sunnah dan Negara-Negara Islam, (Malaysia: Thinkers Library, 1969), Cet. Ke-1, h. 104

2

(16)

Artinya: "Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya ".

4. Golongan Hanabilah mendefinisikan nikah sebagai:

Artinya: "Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-sengang dengan wanita ".

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan para ulama mutagaddimin, memandang nikah hanya dari satu segi saja yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami-istri yang timbul.3

Para ulama Mutaakhirin dalarn mendefinisikan nikah dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami-istri kedalam pengertian nikah, Muhammad Abduh Ashrah mendefinisikan nikah sebagai:

"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hakekat bagi pemiliknya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing".4

3

Djama’an Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet Ke-1, h.. 3

4

(17)

Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung akibat hukum yaitu saling mendapat hak dan kewajiban. Serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena itu perkawinan termasuk syari'at agama.

"Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang pria dengan seoang wanita membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal”.5

Arti "perkawinan" menurut Undang-undang Republik Indonesia No. I Tahun 1974 dalam pasal I dikatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria yang bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua. Kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat dalam lingkupnya, karena satu sama lain saling ikut melengkapi demi terciptanya keharmonisan hidup.

5

(18)

“Oleh karena peristiwa perkawinan mempunyai arti yang begitu penting, makam pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan adat istiadat yang ada dilingkungan tersebut”.6

2. Dasar Hukum Perkawinan

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an QS : Ar-Rum: 21

Artinya: "Dan di antara landa-tanda kekuasaan-Nya ialah. Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian iiu bener-bener• terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ". (Q.S. 30: Ar-Rum: 21)

QS An- Nahl:

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu Isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istrei-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni'mat Allah?". (Q.S. 16: An-Nahl : 72)

Selain dalam kitabullah, terdapat banyak hadis dari Rasulullah SAW yang menjelaskan lebih lanjut tentang perkawinan dalam Islam:

6

(19)

Artinya: "Dari Abdullah r.a berkala: Di zaman Rasulullah S A W. Kami ini adalah pemuda yang tedak memiliki apa-apa, Rasulullah S A W bersabda kepada kami: " wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menundukkan pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak sanggup untuk kawin maka berpuasalah, karena puasa itu merupakan tameng bagimu ". (H.R. Muslim)

Artinya: "Dari Ahmad Ibn Azhar berkata Adam: telah berkata I 'sa ibnu Maimun tentang Qosim dari Aisyah berkata: telah bersabda Rasolullah' S A W nikah merupakan sebagian dari sunnahku, maka barang siapa yang tidak mengerjakan sunnahku maka mereka bukan termasuk golonganku ". (H.R. Ibnu Majah)

B. Syarat- Syarat Perkawinan dan Rukun Perkawinan

Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan, sebelum kita membicarakan syarat dan rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik kita melihat perkawinan dari tiga sudut, yaitu:

Pertama, dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian antara

pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu9 (lama, kekal, abadi) kedua, Dari sudut agama perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami istri agar hidup

9

(20)

tentram, saling mencintai, santun menyantuni dan kasih mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan keturunan.10

Pekawinan adalah suatu jalan yang halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan dan kehormatan. Banyak penyakit jiwa yang sembuh setalah melakukan perkawinan umpamanya penyakit kurang darah (anemia), dengan demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan negara. Perkawinan juga dapat menyambung tali silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan sosial. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan bahwa orang-orang telah kawin atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dari kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belurn kawin.11

Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena kebanyakan dari setiap aktifitas ibadah yang ada dalam agama Islam ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga bisa dibedakan dari pengertian keduanya adalah: syarat merupakan suatu hal yang harus ada atau terpenuhi sebelum suatu perbuatan dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan dilaksanakan. Seperti dalam shalat misalnya, wudhu merupakan suatu perbuatan yang dilakukan sebelum shalat yang kemudian menjadi syarat sah shalat, adapun rukun shalat adalah niat, membaca takbiratul ikhram, membaca tatihah dan lain-lain yang merupakan suatu perbuatan yang merupakan satu perbuatan yang dilakukan pada saat shalat berlangsung.

10

1bid, h.159

11

(21)

Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti harus adanya laki-laki dan perempuan, wali, akad nikah dan sebagainya. Semua itu adalah bagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan di atas. Maka yang demikian dinamakan rukun perkawinan.12

Adapun syarat merupakan sesuatu yang mesti ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk salah satu sebagian dari hakikat perkawinan itu, misalnya syarat wali itu adalah laki-laki, baligh, berakal dan sebagainya. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan lebih rinci mengenai rukun dan syarat perkawinan sebagai berikut:

1. Rukun Perkawinan

Rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus di penuhi pada saat melangsungkan perkawinan. Dalam Islam sebenarnya banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam mazhab, akan tetapi pada kali ini penulis hanya akan mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang juga telah menjadi hukum tertulis di Indonesia, diantaranya:

a. Adanya calon suami dan calon isteri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon wanita.

Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakil yang akan menikahkannya.

c. Adanya dua orang saksi.

Pelaksanan perkawinan, akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.

12

(22)

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang di ucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan di jawab oleh pengantin laki-laki.13

1. Syarat Perkawinan

Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Jika syarat-syaratnya terpenuhi maka perkawinanya adalah sah dan menimbulkan segala adanya kewajiban dan hak-hak perkawinan.14 Dalam Islam syarat-syarat nikah di perinci ke dalam syarat-syarat untuk mempelai wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki, syarat-syarat nikah ini digolongkan ke dalam syarat materil dan harus di penuhi agar dapat melangsungkan perkawinan.

Dikarenakan syarat merupakan kepanjangan tangan dari rukun perkawinan, rukun di atas, diantaranya sebagai berikut:

a. Syarat calon mempelai laki-laki 1. Calon suami beragama Islam 2. Laki-laki

3. Jelas orangnya

4. Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri) 5. Tidak beristri lebih dari empat orang 6. Bukan mahramnya bakal isteri

7. Tidak mempunyai isteri dan haram dinikahi

13

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor : Kencana, 2003), Cet. Ke-l, h.46-47

14

(23)

8. Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahi 9. Tidak dalam ihram haji atau umrah.

b. Syarat calon mempelai wanita 1. Beragama Islam

2. Perempuan 3. Jelas orangnya

4. Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah

5. Telah memberi izin kepada wali untuk mengawinkannya 6. Bukan mahrom bakal suami

7. Belum pernah di Wan (sumpah li'an) oleh bakal suaminya 8. Tidak dalam ihram haji atau umroh.

c. Syarat bagi wali nikah 1. Laki-laki

2. Beragama Islam 3. Dewasa

4. Mempunyai hak perkawinan

5. Tidak terdapat halangan perkawinan d. Syarat bagi saksi nikah

1. Dua orang laki-laki 2. Beragama Islam 3. Baligh

(24)

5. Melihat 6. Mendengar

7. Mengerti tentang maksud akad nikah 8. Hadir dalam ijab qabul.

e. Syarat ijab dan gabul

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. Adanya pernyatan penerimaan dari calon mempelai pria.

3. Memakai kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij. 4. Antara ijab dan qabul bersambung

5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan umrah 7. Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum empat orang, yaitu: calon

mempelai pria dan wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.

(25)

C. Segi-segi Ta'abudi dalam Pemberian Mahar dan Harta Bawaan

Mahar atau Shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemberian mahar adalah wajib, sedangkan mahar secara etimologi berarti mas kawin, pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqh adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.15

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri.16

Allah SWT. Berfirman: QS An-Nisa Ayat 4

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q. S. 4: an- Nisa:

a. Syarat-syarat mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Harta bendanya berharga;

2. Barang suci dan bisa diambil manfaat;

15

Drs Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet Ke-I, h. 105

(26)

3. Barangnya bukan barang gasab;

4. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya.

Pernikahan adalah perjanjian yang sangat kokoh di antara suami dan istri, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai beberapa hak dan kewajiban terhadap yang lainnya.

Islam telah memberikan pedoman bahwa mahar adalah suatu lambang bukan harga dan menunjukan agar tidak berlebihan di dalamnya, sebab mahar bukanlah tujuan. Rasulullah SAW adalah contoh keteladanan tertinggi dan memberikan suritauladan tertinggi bagi umatnya dalam hal ini agar menjadi tradisi yang baik ditengah masyarakat dan mereka tidak salah didalam memandang hakekat permasalahan serta mengambil cara-cara yang sederhana sesuai dengan tuntunan Islam.

Mahar menurut Islam bukanlah dilihat dari wujudnya, bukan pula sebagai pengukur harga wanita, melainkan yang disyari’atkan adalah menyederhanakan mahar dan tidak berlebihan didalamnya sebagaimana yang telah ditegaskan dalam sebuah hadis : "mahar yang paling baik adalah mahar yang paling sederhana".

(27)

Dampak negatif dari berlebihan dalarn dalam mahar di antaranya adalah:

1. Munculnya kelompok muda yang tidak mampu secara materi untuk melaksanankan kewajibannya berumah tangga dan pada gilirannya juga kelompok pemudi yang hidup tanpa suami. Dengan demikian dapat menimbulkan dampak sosial yang berbahaya sebab kebutuhan biologis mereka tidak dapat terpenuhi.

2. Secara psikologis para pemuda dan pemudi yang tidak menikah akan mengalami depresi tekanan jiwa dan mental mereka menjadi labil.

3. Keretakan hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dapat timbul akibat dari tekanan mental.

4. Wali pihak perempuan dapat mengeksploitasi anak perempuan untuk tujuan materi dan menolak mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang lebih baik dan memenuhi syarat agama tetapi tidak memenuhi harapan wali tersebut karena alasan yang bersifat materi. Sehingga karena mengacu kepada pertimbangan materi, lelaki bermoral rendah dengan tidak memenuhi persyaratan agama diterima karena sernata-mata pertimbangan materi.

Adapun hikmah yang terkandung dalam pemberian mahar itu sebagai berikut: 1. Hendaknya menerima dengan senang hati kepemimpinan kaum pria atas dirinya,

dan dengan adanya pemberian mahar dari pihak laki-laki itu merupakan suatu penghargaan atas martabat kaum wanita.

2. Untuk tanda putih hati dan kebulatan tekad.

(28)

4. Untuh menjadi kekayaan sendiri bagi istri sebagai tambahan dari kekayaan yang diberi orang tuanya. Kelak dengan kekayaan itu sang istri mungkin dapat memelihara kemerdekaan dirinya terhadap hal-hal yang. mungkin timbul dari suami.

Menurut Mahmud Yunus, hikmah adanya mas kawin adalah sebagai bukti cintanya calon suami mengorbankan hartanya untuk diberikan kepada istrinya sebagai tanda suci dan kebulatan tekad serta sebagai pendahuluan, bahwa suami akan terus menerus memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini mernang merupakan suatu kewajiban suami terhadap istri.17

Mahar merupakan suatu pemberian dari seorang pria kepada seorang wanita dalam suatu ikatan perkawinan menurut ajaran agama Islam. Mahar disebut pemberian dikarenakan mahar bukan merupakan syarat dan rukun perkawinan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pada rukun dan syarat perkawinan dalam perkawinan yang dilakukan apabila dari salah satu syarat dan rukun perkawinan tersebut tidak terpenuhi maka tidak sahnya suatu perkawinan atau batalnya perkawinan. Syarat dan rukun perkawinan pelaksanaannya dan tidak dapat ditangguhkan (hutang) contohnya tidak sahnya suatu perkawinan apabila perkawinan yang dilakukan sesama jenis, dikarenakan perkawinan harus berbeda jenis kelamin. Sedangkan mahar yang merupakan suatu pemberian dari seorang pria kepada seorang wanita dalam suatu ikatan perkawinan yang merupakan suatu kewajiban suami kepada istrinya dapat ditangguhkan atau dapat berupa hutang, sesuai dengan kesepakatan bersama dan kerelaan calon istrinya tersebut di samping itu pula berat jenis suatu benda dalam mahar tidak ada suatu aturan yang

17

(29)

membatasinya karena tergantung kesepakatan dan kerelaan calon istrinya tersebut itulah yang menyebabkan mahar tidak termasuk dalam syarat dan rukun perkawinan.

Barang bawaan yaitu segala perabot yang dipersiapkan oleh istri atau keluarganya sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya. Menurut adat, yang menyediakan perabot seperti ini adalah istri dan keluarganya. Nasa'i meriwayatkan: dari Ali bahwa ia berkata Rasulullah memberi barang bawaan kepada Fatimah berupa pakaian, kantong tempat air terbuat dari kulit, bantal yang beranda.18

Oleh karena itu sebaiknya pemberian harta bawaan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW.

D. Hikmah Disyari'atkan Perkawinan

1. Perkawinan demi kelangsungan hidup manusia

Allah SWT menjadikan kelangsungan hidup manusia ini tergantung pada hubungan antara laki-laki dan perernpuan. Dan setiap manusia di beri oleh Allah dorongan nafsu syahwat untuk menjaga kelangsungan keturunana hidup manusia, sekiranya tidak adanya dorongan seks yang perpaduan pada diri tiap-tiap manusia. Tidak ada yang mendorong untuk hidup bersama-sama untuk hidup bersama-sama dengan lawan jenisnya, tetapi Allah SWT yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui mengikat antara laki-laki dengan perempuan dengan ikatan kasih sayang, baik laki-laki maupun perempuan supaya memakmurkan dunia ini dengan anak cucu yang saleh.19

18

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, dari Terjemah M. Galib, (Bandung: AI-Ma'arif, 1994), Jilid VII, h. 75

19

(30)

Sebagaimana firman Allah S'WT yang berbunyi: Qs Ar-Rum : 21

Artinya: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah. Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. 30: Ar-Rum: 21)

2. Perkawinan sebagai anugrah Allah SWT

Kecintaan manusia tehadap lawan jenisnya adalah salah satu bukti kekuasaan Allah SWT. Sekaligus menunjukan keesaan-Nya dalam Wujud-Nya. Dalam perkawinan itu Allah telah memberikan anugrah kepada manusia yang mulia yang diciptakan oleh dari tanah sebagai mana laki-laki. Dia adalah bagian dari laki-laki yang berkedudukan sama dalam kemuliaan dan kemanusiaannya, sehingga dengan keberadaannya timbul rasa kasih sayang.

Seandainya tidak ada nikmat atau anugrah kasih sayang ini, tentu seorang laki-laki tidak mengakui perempuan. Tetapi Allah dengan kekuasaan dan samudra Rahmat-Nya menanamkan rasa cinta kasih ini, yakni cinta kasih suami kepada istrinya dan istri kepada suaminya, maka kalau istrinya sakit ia juga akan merasakan sakit dan apa yang menyenangkan istrinya juga menyenangkannya. Cinta kasih seorang suami ini kan dibalas oleh istrinya dan kasih pula.20

20

(31)

3. Pernikahan sebagai ibadah

Pernikahan dalam pandangan Islam adalah ibadah, orang mukmin yang melaksanakannya mendapatkan pahala, selama niatnya ikhlas dan bertujuan menjaga diri dari perbuatan haram (zina), dan tidak didorong oleh nafsu birahi semata. Itulah tujuan perkawinan yang asasi, tidak ada tujuan yang paling mulia dari tujuan ini.

(32)

BAB III

PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN ADAT BETAWI

A. Pengertian Upacara Adat

Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sehingga perkawinan ini mendapat pengabsahan dimasyarakat, tata cara rangkaian adat istiadat perkawinan itu terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan.

Upacara itu sendiri dilakukan sebagai tingkah laku resmi yang di bukukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak di tujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai tujuan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh karena itu di setiap upacara perkawinan, kedua mempelai di tampilkan secara istimewa, dilengkapi dengan tata rias wajah, tata rias sanggul, serta tata rias busana yang lengkap dengan berbagai adat istiadat sebelum perkawinan dan sesudahnya.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, “Upacara adalah peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. Sedangkan upacara adat adalah upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat”.1

1

(33)

Dari segi bahasa perkataan adat mengandung arti “aturan” yang lazim di turuti atau di lakukan sejak dahulu kala2. Adat berasal dari kata (adah),sinonim dengan kata urf mengandung arti takarroro (perulangan).

Adapun pengertian secara istilah:

“Sesuatu yang di hendaki manusia dan mereka kembali terus menerus”. atau

“Sesuatu yang di kerjakan secara berulang ulang tanpa adanya hubungan rasional”.

Urf adalah apa yang di kenal oleh manusia dan berlaku padanya,baik berupa perkataan,perbuatan ataupun meninggalkan sesyatu.Dan ini juga dinamakan adat. Dan di kalangan ulama syariat tidak ada perbedaan antara urf dan adat.3

Dalam bahasa arab adalah berarti kebiasaan, adat atau praktek sehari-hari, adat biasanya didefinisikaan sebagai kebiasaan suatu tempat yang mengatur interaksi anggota masyarakat tertentu. Dalam metodelogi hukum Islam (ushul fiqh) adat diterima sebagai salah satu sumber hukum Islam yang dikembangkan dari akal fikiran (ra'yu) di samping qiyas, istihsan, dan istilah. Dalam kata lain, hukum adat

2

Ibid, h. 2

3

(34)

mempunyai tempat, dalam kata lain hukum adat mempunyai tempat dalam hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadis.

Teori Receptie mengatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi sedangkan norma hukum Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Menurut teori Receptie of contrario secara harfiah berarti lawan dari Receptie mengatakan bahwa hukum adat

berlaku pada orang Islam kalau hukum adat itu tidak dengan agama Islam.

Dalam teori Receptie, hukum Islam tidak dapat diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat.

Pembentukan keluarga dalam konsep Islam bermula dari terciptanya hubungan suci antara seorang pria dan seorang wanita melalui pernikahan yang halal, sesuai dengan rukun dan syari'at pernikahan, baik rukun dan syarat menurut hukum Islam maupun dari hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Oleh karena itu, pasangan suami istri merupakan unsur yang utama dalam keluarga.

Dalam hukum Islam posisi adat atau urf sangatlah panting. Adat tidaklah hanya dianggap sebagai sesuatu yang menyatu dalam kehidupan masyarakat sehingga harus dihormati, tetapi juga merupakan suatu potensi yang besar dalam proses pengembangan hukum Islam ketika tidak dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis sebagai sumber hukum Islam, dalam menetapkan suatu masalah.

(35)

maupun dari sunah rasulullah. Bahkan sudah berlaku secara umum dikalangan ulama fiqh, bahwa adat atau urf sangatlah panting, sehingga mereka menetapkan suatu kaidah:

Artinya: " Adat itu dapat dijadikan dasar hukum ".4

Bahwa dalam pandangan Islam tata cara seperti apa pun tidak menyimpang dari ajaran Islam dan tidak memperberatkan kedua mempelai serta memberikan manfaat diperbolehkan saja, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hasby Ashshidieqy, bahwa tata cara boleh digunakan bahkan dapat dijadikan sumber hukum dengan syarat sebagai berikut.

1. Urf itu tidak bertentangan dengan nash yang tegas;

2. Bila adat itu telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan herkembang dalam.masyarakat;

3. Urf itu merupakan urf yang umum, karena hukum tidak dapat diterapkan dalam urf yang khos.

Di dalam hampir sernua masyarakat manusia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakat adatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang di dalarn buku antropologi disebut "stages along the life". Hal itu dilakukan sejak berakhirnya, sampai masa penyiapan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa waktu menikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya.

4

(36)

Pada saat peralihan individu itu beralih dari suatu tingkat hidup ke tingkat kehidupan yang lainnya, biasanya diadakan suatu pesta atau upacara-upacara saat peralihan itu.5

Adat perkawinan Betawi merupakan sebagian dari adat istiadat dari masyarakat Betawi di mana (seperti dikatakan di atas) merupakan sebagian dari lingkungan hidup manusia yang dialami semasa hidupnya. Proses lembaga perkawinan ini juga terikat pada suatu hukum tertentu yang berlaku pada tersebut, dan merupakan adat kebiasaan atau tradisi-tradisi, yang dilakukan berupa upacara-upacara resmi yang melibatkan sekalian orang yang mengakui calon suami istri itu sebagai anggota masyarakat. Di dalam ajaran agama Islam dikatakan bahwa perkawinan ini merupakan sunah Nabi SAW yang patut dicontoh makhluk manusia, dan ini harus menuruti hukum-hukum syari'at seperti yang sudah digariskan dalam hukum perkawinan.6

Dalam upacara perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara pelengkap yang bertalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Yang pertama seperti akad nikah dan walimah, sudah cukup dimaklumi, sedangkan yang kedua, kebanyakan bertalian dengan adat yang dapat dikaitkan dengan urf.

Upacara perkawinan sama dengan walimah, kata walimah diambil dari bahasa Arab yang berarti berkumpul, karena banyak manusiu yang berkumpul untuk mengahadiri suatu jamuan. Kata walimah menurut Dahlan Al Barry walimah adalah penjamuan makan (terutama dalam acara sesuai akad nikah)7 dapat pula melaksanakan suatu jamuan makan sebagai pencetusan tanda gembira atau lainnya. Tetapi biasanya kalau menyebut walimah, maksudnya adalah walimatul 'ursy artinya perayaan pernikahan.

5

Fischer, H. TH. Dr, Penganiar Antropologi Kebudayaan Indonesia, Terjemahan Anas Ma'ruf dari, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1974), Cet ke-I h. 89

6

Budiman, Foklor Berawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), Cet ke-1, h. 21

7

(37)

“Yang dimaksud dengan walimah ialah perbuatan yang dilaksanakan dalam langkah mengumumkan, menyemarakan dan menghormati kedua mempelai”.8

“Menurut Sayyid Sabiq, walimah diambil dari kata walama yang arti harfiahnya berkumpul, oleh karena pada waktu itu berkumpul suami istri dalam arti istilah berarti jamuan khusus diadakan pesta perkawinan atau setiap jamuan untuk pesta lainnya”.9

Pada dasarnya walimah adalah suatu pengurnuman kepada masyarakat telah bahwa telah dilakukan ikatan perkawinan secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagaimana ditetapkan dalam syari'at Islam.

Setiap orang yang hendak melaksanakan perkawinan selalu disertai dengan kenduri, yakni dengan menyediakan berapa aneka menu sebagai hidangan bagi para tamu yang diundang datang berkunjung baik dari family, tetangga dekat maupun jauh serta para handaitolan yang lainnya inilah yang disebut dengan istilah walimah.

Dalam agama Islam yang di bawa Nabi Muhamad SAW, walimah merupakan sunah agama yang dilaksanakan bila orang Islam menyadakan perkawinan. Pada zaman Rasulullah ketika Abdurahman bin Auf memberitakan, bahwa ia sudah mengawinkan seorang wanita.

Sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan dan ungkapan rasa gembira, ketika itu walimah sudah dianggap sempurna dengan hanya memotong seekor

8

Kamal Mukhtar, Azaz-Azas Perkawinan Hukum Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1973), cetKe-l, h. 108

9

(38)

kambing bagi yang mampu. Akan tetapi tidak ditentukan batas minimal dan maksimal untuk melaksanakan walimah bagi orarg yang hendak melaksanakan perkawinan tergantung kemampiian dan serta adat istiadat mereka. Hanya saja, bagaimanapun pelaksanaannya haruslah berperinsip sesederhana mungkin dan tidak menunjukan sikap pemborosan angkuh dan membanggakan diri.

Maka dapatlah kita lihat sekarang ini bentuk-bentuk dan cara walimah perkawinan yang beraneka ragam, masing-rnasing orang mempunyai cara sendiri dan masing-masing daerah menurut adatnya yang berbeda antara yang satu dengan yang lain ada biaya walimah ditanggung, sendiri dari kedua mempelai dan ada juga yang di biayai atas dasar gotong royong.

B. Rukun dan Syarat Pernikahan Adat Betawi

a. Sebelum Pernikahan

Adat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya sehingga perkawinan tersebut mendapat pengabsahan di masyarakat, tata cara, rangkaian adat istiadat perkawinan itu terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan.10

10

Dep Dik Bud, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi,

(39)

Masyarakat Betawi, beranggapan bahwa perkawinan mempunyai tujuan mulia yang wajib dipenuhi oleh setiap warga masyarakat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritasnya memeluk agama Islam, yakin bahwa perkawinan adalah salah satu

sunnah (petunjuk lewat perkataan atau perbuatan) Nabi Muhammad SAW bagi

ummatnya, sehingga dapat dipandang sebagai suatu perintah agama untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan ciptaan tuhan yang mulia.

Alasan keagamaan yang mereka kemukakan di atas, menyebabkan orang Betawi beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adan perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan-ketentuan adat perkawinan tersebut diberi nilai tradisi yang sakral, sehingga harus dipenuhi sepenuh hati oleh warga masyarakat dari generasi ke generasi. Ketentuan-ketentuan adat setempat memang masih cukup kuat pengaruhnya terhadap pola-pola kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga pergaulan muda-mudi dan berorietasi kepada norma-norma adat dan agama.11

Berikut ini akan diuraikan proses upacara perkawinan adat Betawi di DKI Jakarta Khususnya Srengseng Sawah:

1. Ngelamar/Melamar (Khitbah)

Ikatan batin antara sepasang muda-mudi yang telah erat terjalin dalam proses ngelancong beberapa waktu yang sudah berlalu. Keadaan yang demikian itu berlanjut di mana sang pemuda memberitahukan kepada pihak orang tuanya, agar orang tuanya

11

(40)

pergi melamar (khitbah) gadis idamannya itu. Jadi lamaran atau pinangan dalarn masyarakat Betawi dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.12

Pelaksanaan perminangan ini dilakukan berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Namun sebelum kedatangan melamar secara resmi ini, menurut K.H Nuralih Hamim sudah pernah diutus seseorang yang sudah kenal dengan orang tua sigadis. Utusan ini menjajaki apakah memang pihak gadis dapat menerima lamaran mereka kalau satu saat datang ngelamar.

Pada umunya peristiwa ngelamar sering dilakukan atau dilaksanakan pada hari rabu, di Srengseng Sawah khususnya ngelamar dilaksanakan pada malam hari menurut beliau para utusan yang datang ini bukan orang tua langsung dari sang pemuda tetapi anggota-anggota kerabatnya. Adapun rombongan pelamar terdiri dari mak comblang yang bertindak selaku juru bicara, dua pasang pria dan wanita setengah baya sebagai utusan yang mewakili orang tua laki-laki yaitu sepasang dari pihak ayah dan sepasang dari pihak ibu. Dulu orang Betawi mengutamakan utusan ini adalah keluarga yang sudah dituakan atau yang memahami masalah-masalah agama, jumlahnya kira-kira 10 orang hingga 15 orang.13

Sesuai dengan adat kebisaaan utusan tersebut membawa kelengkapan ngelamar yang disebut bawaan yang terdiri dari :

12

Rifa'i Abu, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Khusus Daerah Ibukota Jakarta,

(Jakarta: Dep Dik Bud, 1977), h. 75

13

(41)

a. Sirih lamaran atau sirih embun, ini bawaan pertama dan dan wajib sifatnya. Perlengkapan sirih lamaran terdiri dari : 1). Nampan kuningan, kalau sekarang nampan apa saja yang berbentuk bulat lontong atau persegi. 2). Kertas minyak berwarna cerah untuk alas nampan dibentuk berenda-renda. 3). Daun sirih dilipat bulat dan dilipat potongan kertas minyak warna warni. 4). Sirih tampi, yaitu sirih yang telah diisi dengan rempah-rempah untuk nyirih (kapur, gambir, pinang) 5). Bunga sampai tujuh rupa. 6). Tembakau tembakau yang sudah dihias berbagai bentuk.

b. Pisang raja jumlahnya dua sisir. Ujung pisang rajanya dibungkus atau dibuatkan topi dengan warna kuning atau emas dan metalik. Pisang ini pun diletakan diatas nampan seperti yang diatas. Karena pisang raja melambangkan kewibawaan seorang raja.

c.

Roti tawar. Roti ini pun diletakan dinampan dan dihias kertas warna warni.

Keberadaan roti ini sama halnya dengan pisang raja, artinya mutlak harus dibawa harus di bawa. Dengan pisang, roti ini menjadi pasangan yang orang Betawi sebut roti pisang. Apa makna nya keharusan untuk membawa roti, sampai sekarang belum ada penjelasannya, tengah di upayakan mencari dan menguak historisnya.14 d. Setiap warna merah untuk melengkapi roti tawar itu sendiri.

e. Uang sembah lamaran, hadiah lainnya berupa baju atu bahan pakaian wanita.

14

(42)

f. Cincin tanda ikatan, yang akan dipasangkan di jari manis calon none mantu oleh calon mertuanya.

g. Buah-buahan yang berbentuk parsel.

Upacara ngelamar ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti apakah si gadis itu belum ada yang meminangnya, atau juga untuk memastikan apakah orang tua gadis itu merestui dan dapat menerima lamaran mereka. Untuk meyakinkan hal tersebut bisaanya pihak yang meminang bertanya dengan cara berkias. Setelah berdialog dan diterimannya bawaan larnarannya pun diserahkan lalu calon none mantu keluar kehadapan para utusan tersebut. Sigadis harus melakukan sembah takzim dan cium tangan diacara tersebut orang tua dari mempelai laki-laki menyiapkan uang uantuk diberikan kepada calon mempelai wanita yang sering disebut sebagai uang sembah.

Pembicaraan yang dibicarakan pada acara lamaran pada mayarakat Betawi dengan membawa makanan yang sudah matang ala kadarnya. Pada acara bawa tanda putus itu dibicarakan:

1) Apa cingkrem (mas kawin/ mahar) yang diminta. 2) Berapa uang yang diperlukan untuk resepsi pernikahan. 3) Apa kekudang yang diminta.

4) Pelangke atau pelangkah kalau ada abang/ empok yang dilangkahi. 5) Berapa lama pesta diselenggarakan.

(43)

7) Siapa dan berapa banyak undangan

8) Hari baik untuk melaksanakan upacara tersebut.15

Setelah semua barang hantaran itu diserahkan oleh calon suami kepada pihak.calon istri ketika acara lamaran berlanbsung, pihak calon suami tidak akan pulang dari acara lamaran itu dengan tangan kosong, tetapi nampan nampan tadi diisi kembali oleh pihak calon istri dengan opor ayam dan nasi ketan dan aneka kue tradisional Betawi yang kemudian diserahkan kepada pihak calon suami untuk dibawa pulang. Yang unik dari itu semua adalah keluarga dari calon mempelai wanita memberitahukan kepada para tetangga bahwa anak nya telah dilamar atau dengan dibagikannya aneka kue dan buah tadi kepada para tetangga dekat.

Jarak melamar sampai ijab qabul didaerah Betawi bisaanya paling lama 6 bulan, atau dipersingkat menjadi 1 bulan. Kalau lebih dari 2 tahun jarak antara ngelamar sampai ijab qobul itu diluar adat Betawi.16

2. Masa Dipiare.

Masa dipiare adalah masa dimana calon pengantin perempuan tidak boleh berpergian dan tubuhnya dipelihara dan dirawat, dipersiapkan lahir batin, agar mempelai perempuan cantik dan bercahaya ketika duduk dipelaminan. Dalam masa ini calon pengantin putri diharuskan diharuskan memakai baju terbalik (kain sarung dan kain kebaya longgar ukuran ¼ lengan) sebagai lambang tolak bala. Mempelai wanita juga. dilarang mengganti bajunya. Beberapa pantangan pada massa dipiare,

15

lbid, h. 42

16

(44)

misalnya tidak boleh bercermin, tidak boleh mandi, diharuskan makan minum yang dibakar atau di panggang dengan maksud menghindarkan keringat yang keluar dari tubuhnya.

3. Dimandiin

Apabila masa dipiare telah berakhir, tibalah saatnya memandikan calon mempelai putri. Busana calon mempelai putri busana yang harus di kenakan adalah kain sarung, kebaya berlengan longgar dcngan kemben rambut disanggul diatas "gelung nones" dan dilengkapi dcngan selembar kerudung tipis.

Acara mandiin pengantin biasanya didahului dengan pembacaan doa bagi keselamatan dan keberkahan pengantin. Selesai pembacaan doa, pengantin putri mencium tangan kedua orang tuanya mohon izin dan doa restu kepada kedua orang tuanya untuk melaksanakan persiapan untuk menuju pernikahan esok hari, dengan harapan semoga selama mengarungi hidup berumah tangga tetap berada dalam lindungan dan petunjuk Allah SWT. Dengan iringan sholawat Nabi, dipandu oleh "tukang piare" calon pengantin putri selanjutnya menuju tempat pemandian yang sudah di siapkan.

4. Ditangas

(45)

ini adalah calon pengantin putri tidak terlalu banyak mengeluarkan,keringat. Selain itu agar tubuhnya mengeluarkan bau dan aroma yang harum.17

Peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan tangas adalah :

1) Bale Palupu, yaitu kursi bambu yang bagian tengahnya diberi lubang. Bisa juga

digunakan kursi kayu yang bagian tengah tempat duduknya dari anyaman rotan yang berlubang-lubang.

2) Kain putih yang lembut dan lebar. Bisa juga digunakan tikar pandan yang dibalut dengan renda sehingga tampak indah.

3) Ramuan rempah-rempah, yang meliputi : daun jeruk purut, irisan daun pandan,

akar wangi, daun didalam dan sereh, bunga melati, mawar dan cempaka, atau semua ramuan rempah-rempah ini digodok sampai mendidih dan diletakan dibawah paso balepeupu. Ramuan yang diadukaduk agar uap papas/hangat mengeluarkan keringat dalam tubuh calon pengantin. Kembang tujuh rupa (kembang setaman) dan ramu-ramuan dimasak lamanya penggodikan sekitar ¼ jam/ sampai mendidih, lalu dituang kedalam paso. Pengantin duduk di kursi rotan bolong-bolong (bale pelupu), yang dibawahnya diletakan paso yang dberisi air panas, kembang, ramu-ramuan lainnya. Seluruh badan pengantin dikerudungi dengan kain tikar dan atasnya ditutupi dengan kain atau dikelilingi tikar dan atasnya ditutupi dengan kain.

17

(46)

Setelah ditangkas pengantin dikeringkan dan mengenakan kebaya Betawi, selanjutnya diserahkan kepada tukang rias pengantin untuk menjalani upacara cukuran.

Seperti halnya masyarakat yang mempercayai adanya pengaruh dari kekuatan supra natural, dalam proses dipiare atau di tanggar selalu tersedia seperangkat sesaji yang terdiri dari 5 liter beras, 7 macam kue jajanan pasar, sebutir kelapa yang telah di kuliti, bumbu dapur dan sesisir pisang, bisaanya sesaji ini diserahklan kepada tukang piare sebagai ucapan terima kasih.

C. Masa Upacara Pernikahan

Pada masa upacara pernikahan adat Betawi terdapat susunan acara sebagai berikut:

a) Pembukaan oleh pembawa acara (MC) b) Pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an

c) Khutbah real (khutbah penyerahan) oleh wakil utusan calon mantu. d) Balasan Khutbah real (khutbah penerimaan) oleh wakil tuan rumah. e) Sambutan serah serahan oleh pihak calon tuan mantu.

(isi sambutan menjelaskan apa saja yang di serahkan) f) Khutbah nikah.

g) Akad nikah18

a. Serahan

Akad nikah di daerah Betawi khususnya Srengseng Sawah pada umumnya dilaksanakan setelah shalat jum'at. Alasannya mengapa orang Betawi memilih hari jum'at karena pada hari itu orang isetawi tidak pergi jauh jauh dari rumahnya,

18

(47)

mengingat ada kewajiban shalat jum'at. Dalam kaitannya dengan perkawinan, diharapkan setelah shalat jum'at seluruh kerabat, sanak keluarga, tetangga, dan undangan akan hadir memberian doa selamat kepada pengantin. Ini juga berkaitan dengan ajaran Islam bahwa semakin banyak orang yang mengetahui dan mendoakan, semakin baik bagi pengantin.19

Upacara serahan ini dilakukan di rumah kediaman pihak. gadis, di mana ke tempat itu pihak laki-laki membawa selain mas kawin juga ditentukan beberapa jenis bawaan yang harus diikut sertakan mengiringi mas kawin pada pelaksanaan akad nikah. Bawaan pengiring itu antara lain :

1)

Sirih nanas lamaran yang melambangkan pernyataan rasa hormat kepada calon

besan karena telah meneriama lamaran.

2)

Sirih nanas hiasan yang merupakan pendamping sirih nanas lamaran yang juga

merupakan ungkapan rasa gembira.

3) Mas kawin atau mahar yang ketika dibawa dalam barisan rombongan diapit oleh

sirih nanas lamaran dan sirih nanas hiasan.

4) Miniature masjid yang didalamnya berisi uang belanja sesual dengan jumlah yang telah dibicarakan sebelumnya. Mesjid dijadikan lambang keteguhan akidah Islamiyah.20

5) Sepasang roti buaya yang jantannya menggendong seekor buaya kecil (anak

buaya) dipunggungnya, sebagai lambang telah berakhirnya massa lajangnya

19

Ibid, h. 42

20

(48)

seorang laki-laki dengan melaksanakan upacara pernikahan. Buaya menurut pengertian orang Betawi adalah jenis satwa yang setia dengan pasangannya dan juga termasuk satwa yang sabar. Menurut informasi kami dahulu daerah Betawi mas kawin bisa berupa tiket haji atau sebidang tanah dengan menyerahkan sertifikat tanah tersebut sebagai maskawin. Adapun ditegaskan dalam anjuran Nabi yang menjelaskan bahwa “berikanlah mas kawin walaupun sebesar cincin besi " sekarang cincin emas.

6) Sie yaitu sebuah kotak kayu persegi empat (berukuran sekitar 120 cm x 90 cm) dengan ukuran bergaya cina yang berisi sayur- sayur mentah, ikan asin dan petai yang digantung, dangdang yang dihias dan beberapa butir telur asin yang sudah matang.

7) Jung atau perahu cina yang isinya berbagai jenis buah-buahan (parsel) sebagai lambang kesiapan pasangan pengantin mempengaruhi gelombang laut kehidupan yang penuh dengan asam garam pahit manis maupun harus dihadapi dengan tegar dan tawakal. Bawaan jung ini sering disebut idam-idaman.

8) Hadiah pelengkap dapat berupa seperangkat bahan pakaian wanita, selop alat

kecantikan dan sebagainya. Bisaanya juga disebut pesalin yaitu kain-kain yang dibuat seperti binatang-binatang seperti (ayam, kelinci, burung, dan sebagainya).

9) Kue penganten bisaanya kue tart dilengkapi sepasang boneka penganten

diatasnya. Ini pengaruh Belanda/ barat namun telah diadatasi oleh orang Betawi.

10)Kudangan artinya sesuatu barang atau makanan atau apa saja yang sangat

(49)

disebut hobi. Kekudung dalam masyarakat Betawi tidak pernah dilupakan dan sudah menjadi kebiasaan, walupun yang terpenting atau wajib adalah mas kawin.

Seluruh undangan yang akan berangkat kerumah mempelai wanita terlebih dahulu diadakan mauludan atau tahlilan serta jarnuan makan di rumah penganten laki-laki ini. Setelah selesai mauludan ini maka para kerabatnya dan para undangan yang terdiri dari orang-orang tua dan anak-anak muda mulai bersiap-siap untuk berangkat. Dalam iringan rombongan ini orang tua berjalan di bagian depan, sedangkan anak-anak menyusul di belakang.21

Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya dan mengetahuinya barang-barang apasaja yang dibawanya, semakin banyak barang bawaannya, maka pihak calon mempelai laki-laki akan semakin meningkat pula derajatnya dimata masyarakat.22

Pada hari pernikahan ini, mempelai pria dia arak menuju mempelai wanita, diiringi dengan kesenian khas Betawi berupa rebana ketimping. Sepanjang perjalanan menuju rumah mempelai wanita, rebana ngarak atau ketimping sebagai pengiring, terus dibunyikan dengan irama khasidahan. Selain diiringi oleh rebana ketimping dalam prosesi adap itu mempelai laki-laki diiringi juga oleh para kerabat dekatnya, teman-teman, kedua orang tuianya, para tokoh adat dan lain- lain.23

Setibanya di halaman rumah mempelai wanita, disambut dengan suara petasan yang riuh-rendah sebagai pertanda bahwa para tamu sudah datang. Ketika hendak masuk rombongan mempelai laki-laki ditahan oleh beberapa orang pihak tuan rurnah yang menutup pintu masuk. Maka melompatlah pengiring yang memakai pakaian jagoan guna menghadang rombongan kedua belah pihak. Acara ini disebut membuka palang pintu. Dari kedua juru biara masing-masing pihak terjadi dialog yang diselingi

21

Rifai Abu, op. cit, h. 79

22

Dep dik bud, loc cit, h. 48

23

(50)

dengan balas pantun. Isi dialog dan pantun berkisar maksud dan tujuan rombongan di atas.

b. Akad nikah

Setelah acara buka palang pintu selesai maka rombongan pengantin lakilaki dipersilahkan masuk ke dalam rumah, setelah para tamu duduk dengan tenang, maka mulailah diadakan tahlilan dan mauludan. Lalu acara dilanjutkan untuk melakukan upacara serah-serahan dan penerima dilanjutkan akad nikah dimana calon mempelai laki-laki disediakan tempat khusus menghadap kiblat berhadapan dengan penghulu sementara mempelai wanita menunggu dikamar pengantin sampai acara ijab qabul selesai.

(51)

Penghulu kembali ke ruang acara dan menyatakan bahwa ia telah menerima amanat perwalian itu nikah dari ayah calon mempelai untuk menjadi wali nikah, upacara ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan akad nikah menurut hukum Islam, ijab qabul merupakan urutan prosesi upacara dan inti dari keseluruhan upacara ini dengan perjanjian atau ucapan dari calon mempelai laki-laki sambil bersalaman dengan penghulu, Dan dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara pernikahan resmi, saksi dari pihak mempelai wanita dan dari pihak mempelai laki-laki. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pernbacaan (sighat ta'lik) oleh mempelai laki-laki, lalu dilanjutkan dengan khutbah nikah setelah acara selesai mempelai laki-laki dipersilahkan memasuki kamar pengantin untuk menemui sang istri, istri pun berdiri di depan pintu menyambut sang suami usai sudah prosesi akad nikah di lingkungan Srengseng Sawah.

c. Pesta perkawinan

Pesta perkawinan dilaksanakan setelah selesai upacara "akad nikah", pertama pesta dilakukan di rumah mernpelai perempuan yang berlangsung selama sehari semalam. Waktu pelaksanaan akad nikah dan pesta perkawinan ditentukan dengan perhitungan orang-orang tua, dengan maksud supaya selamat, agar segalanya berjalan dengan lancar dan baik.24 Dalam rangka pesta ini biasanya diundang semua kerabat yang dekat atau yang jauh tempatnya. Dalam tradisi masyarakat Betawi acara pesta perkawinan dilaksanakan dua kali yaitu di rumah pengantin perempuan lalu di rumah pengantin laki-laki, itu dilakukan karena apabila tidak dilakukan di rumah kedua

24

(52)

belah pihak maka dipertanyakan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan persamaan jender.

D. Sesudah Pernikahan

a. Malam Negor

Malam berikutnya setelah selesai acara pesta kebesaran (keriaan) di rumah pengantin perempuan si pengantin laki-laki diizinkan menginap di rumah keluarga pengantin perempuan. Inilah malam pertama Pertemuan di mana pengantin laki-laki diantar lagi kerumah istrinya dengan ditemani oleh teman-temannya. Adapun yang harus dibawa, antara lain:

1. Ayam hidup sepasang;

2. Beras lima liter dibungkus dengan pelepah pisang yang putih. Bungkusan itu berbentuk botol (kuncup) yang diikat ujungnya, sisa tali pada ujungnya tidak dipotong dan digunakan untuk mengikat sepasang ayam jago.

(53)

daerah Srengseng Sawah, dahulu malam. negor caranya dengan memberikan uang penegor sampai pengantin perempuan itu tersenyum, sebelum pengantin perempuan itu senyum maka pengantin laki-laki terus memberikan uang di bawah taplak meja. Bertahanya si istri pada malam negor itu dapat di tafsirkan sebagai ungkapan harga dirinya bahwa ia bukan perempuan gampangan serta menunjukan harga dirinya dan selama malam negor ini mereka bisa saling mengenal secara lebih dalam lagi dan biasanya setelah suami berhasil mendapatkan istrinya, maka uang tegor tersebut dikumpulkan oleh pasangan suami istri untuk kebutuhan rumah tangga.

Umumnya malam negor didaerah manapun khususnya didaerah Betawi sama tetapi yang membedakan hanya bawaan untuk malam negor tersebut, hal ini berlangsung selama beberapa hari.

b. Ngambil Tiga Hari

Beberapa hari setelah malam negur selesai, maka ada upaya cara mengambil tiga hari atau acara pulang nganten ini tidak mutlak bahwa setelah tiga hari mereka akan dijemput. Dahulunya memang demikian akan tetapi pada masa menjelang kemerdekaan pulang tiga hari tersebut dapat berlangsung sesuda satu minggu atau lebih.25

Adapun yang dimaksud disini adalah bahwa pengantin perempuan dibawa nginep tiga hari dilingkungan kerabat pengantin laki-laki. Untuk keperluan acara pulang tiga hari tersebut utusan yang bertindak sebagai wakil keluarga pengantin

25

(54)

laki akan datang menjemput pengantin perempuan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Keberangkatan pengantin perempuan diantar oleh beberapa orang, yang mewakili orang tuanya. Sebelum berangkat kerumah mertuanya diberi wetang bagaimana seharusnya ia berperilaku di rumah suaminya itu nanti. Misalnya ia harus bangun lebih pagi dari mereka yang berada dirumah mertuanya, dan seterusnya. Adapun yang dibawa oleh pengantin perempuan dodol, wajiq, atau uli dengan nampan yang kosong. Isi dari nampan ini nantinya narus dibagi-bagikan kepada para kerabat pihak laki-laki. Kerabat yang menerima nampan ini, nantinya harus mengembalikan nampan itu dengan mengisi dengan uang. Adapun jumlah nya jumlahnya kira-kira sama dengan nilainya dengan isi nampan itu sendiri setelah penganten perempuan diantarkan kepada orang tuanya, maka kira-kira seminggu kemudian dijemput lagi untuk menadakan pesta di rumah pengantin laki-laki lazim pasangannya suami istri. Apabila sudah maka orang tua pengantin laki-laki akan berbelanja sayuran mayur untuk nanti diantarkan kepada pihak perempuan. Bahan yang diantarkan nanti akan dikembalikan lagi dalam keadaan sudah matang untuk dibagi-bagikan kepada kerabat pihak pengantin laki-laki. Selain itu ada selamatan yang di sebut plembang yaitu sebagai pertanda kedua pengantin ini sudah selesai berhubungan sebagai suami istri. Pada waktu inilah semua hiasan dalam rumah itu dibuka dan barang-barang yang dipinjam dari kerabat dikembalikan.26

26

(55)

c. Pesta di rumah pengantin pria

Pesta dirumah pengantin laki-laki itu merupakan pesta atau keceriaan penutup dari dari keseluruhan upacara perkawinan ini. Pada waktunya pengantin perempuan akan dibawa kerumah pengantin pria, pengantin perempuan dijemput mateng dan boleh juga dijemput mentah. Maksud dijemput mateng yaitu pengantin perempuan sudah memakai pakaian pengantin lengkap. Adapun pengantin perempuan itu dihias dihiasi dengan pakaian pengantinya, yang meliputi baju kebaya sarung songket, selop dengan hak tinggi serta memakai milikot yang berjumbai. Sedangkan dijemput mentah, pengantin perempuan belum dirias dan hanya mengganakan busana rias

bakal.

(56)

E. Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan

Dalam perkawinan adat Betawi banyak kita temukan berbagai macam tradisi diantaranya ialah tradisi khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan yang dilakukan pada saat upacara pernikahan yaitu sebelum dibacakannya khutbah nikah dan ijab qobul yang telah dijadikan sebagai sebuah tradisi yang harus dilalui dan sebuah adat istiadat yang menjadi sebuah kebiasaan masyarakat Betawi dalam upacara pernikahan khususnya pada masyarakat Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa.

Khutbah adalah sambutan atau pidato seseorang dalam setiap acara yang dilakukan dihadapan para hadirin dan tamu undangan .

Penyerahan adalah sebuah peristiwa yang terjadi dari seseorang atau rombongan yang membawa barang bawaannya untuk diserahkan kepada oranglain.

Penerimaan adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada seseorang yang menerima barang dari orang lain.

Khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan dalam upacara pernikahan merupakan khutbah yang disampaikan dengan bahasa Arab yang diambil dan dibacakan dari kitab kumpulan sembilan khutbah karangan Al Waliyyussholih Ataqi Alhabib Syekh bin Ahmad Al Bafaqih yaitu seorang ulama kota Malang yang kemudian tradisi ini dibudi dayakan oleh masyarakat umat Islam dalam setiap upacara pernikahan khususnya banyaknya dilakukan oleh masyarakat Betawi.

(57)

pernikahan sebelum terjadinya khutbah nikah dan ijab qobul. Dan menjadi hal yang disunahkan dalam pernikahan adat Betawi. Dalam hal ini apakah masyarakat Betawi telah memahami kandungan dari dua khutbah tersebut atau hanya sebuah tradisi yang harus dilakukan.Sebuah hal yang sempurna bagi masyarakat Betawi apabila dalam pelaksanaan pernikahan terdapat hal hal yang mengandung dalam syariat Islam walaupun hal tersebut bukan termasuk syarat dan rukun dari pernikahan.

(58)

Lampiran 1

Pedoman wawancara kepada tokoh masyarakat Betawi di Srengseng Sawah

1. Bagaimana tentang agama dan kepercayaan pada masyarakat Srengseng Sawah ?

2. Bagaimana pelaksanaan perkawinan adat Betawi di Srengseng Sawah ?

3. Apakah pelaksanaan perkawinan di Srengseng Sawah sudah sesuai dengan hukum Islam ?

4. Apakah masyarakat Srengseng Sawah sangat menjunjung tinggi adat atau tradisi ?

5. Apa pengertian Khutbah penyerahan dan khutbah penerimaan ?

(59)

Referensi

Dokumen terkait