• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kampanye negatif dalam pemilihan umum kepala daerah (PEMILUKADA) Tangerang Selatan (TANGSEL) 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kampanye negatif dalam pemilihan umum kepala daerah (PEMILUKADA) Tangerang Selatan (TANGSEL) 2011"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

S O P I A N

NIM : 104045201530

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan ssuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juni 2011

(5)

i

Dengan segala upaya dan usaha, penulis bersyukur kepada Allah SWT yang

telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat selesai. Shalawat

dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa

risalah dan suri tauladan terbaik. Dengan ini pula, disampaikan terima kasih kepada

seluruh dosen, rekan, serta sahabat karib, yang semuanya selalu memberikan

masukan, saran, dan ilmu. Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih kepada

pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Bapak

Afwan Faidzin, M.Ag selaku sekertaris Program Studi Siyasah syar’iyyah

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

membantu dan melayani dalam penyelesaian skripsi dan melengkapi

persyaratan administrasi

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Atep Abdurrofiq, M.Si selaku Dosen

pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran, dan tenaga untuk

memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam

(6)

ii

5. Yang tercinta ayahanda H. Suhaeli dan ibunda Siti Romlah yang selalu

memberikan do’a serta dukungan kepada penulis sehingga dapat

terselesaikannya karya tulisan ini.

6. Teruntuk kakanda, Drs. Samsudin Kohar, Saipul Anwar, SH. H. Muhammad, S.

Pd. Bohari, S. Pd. Sukriyah. Safa’ah, SH. Soleha, S.Pd. Euis. yang telah

member motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

(7)

iii

8. Yang penulis hormati kawan-kawan seperjuangan, Nurul el-Huda Baros Banten

(Hamdi, Harun, Ombaks, Adit, maskur, berod, rikay, Aufa, Geveng, Nano,

Satibi, Mohan, Jaenudin, Begeng, Hamdani, Idham) yang memberikan do’a

nyang kaga putus-putus kepada penulis.

9. IRMAS Lkw , 79 Club Motor, Sepeda Club cacink 79, Sepeda S2DL, team

tafakurin, terima kasih untuk kebersamaannya.

10. Malaikat penjaga kost san, bang Udin koeng, yang telah memfasilitasi penulis selama ada di kost san. Bang Tora, si penjaga Warnet, Rudi Copma, Oman, H. Suhad, Atin Tb, thanks dukunganya ok.

11. Semua rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan dorongannya, semoga

Allah SWT memberi balasan yang setimpal.

Jakarta: 22 Juni 2011 M

Penulis

(8)

ii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D.Metode Penelitian ... 11

E.Tinjauan Pustaka ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAMPANYE NEGATIF A.Definisi Kampanye Negatif ... 15

B.Makna Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Di Negara Demokrasi ... 21

C.Dinamika Transformasi Politik di Indonesia ... 26

BAB III TINJAUAN YURIDIS PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah ... 37

(9)

iii

A.Permasalahan dalam Proses Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 69

B.Kampanye dan Kemenangan Pemilu ... 84

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 95

B.Saran-saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(10)

1

A. Latar Belakang

Klimaks tuntutan demokratisasi pemilihan Kepala Daerah setelah

berakhirnya era pemerintahan sentralistik adalah disahkannya Undang-udang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jika UU Pemerintahan

Daerah sebelumnya, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999, masih mengatur

pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD sebagai lembaga

legislatif daerah, UU Pemerintahan Daerah yang baru mengamanatkan Pilkada

dilaksanakan secara langsung. Pengaturan Pilkada langsung menunjukkan respon

atas tiga hal tuntutan yang mendasar dan saling terkait. Pertama, respon terhadap

keinginan melaksanakan demokratisasi hingga ke tingkat lokal. Kedua,respons

legal formal,kebutuhan untuk melakukan penyesuaian dengan ketentuan

ketentuan baru. Ketiga, respons praktikal, keinginan menemukan model sistem

pemilihan (Pemilu) kepala daerah yang mampu menjadi solusi praktis bagi

kelemahan-kelemahan sistem pemilihan kepala daerah sebelumnya yang

dipenuhi berbagai macam praktek kecurangan.

Pelaksanaan Pilkada secara langsung ternyata menunjukkan dinamika

yang tinggi. Selain kesuksesan menghadirkan pemimpin daerah, Pilkada secara

langsung dibeberapa daerah dinodai oleh konflik sosial. Dinamika tersebut

(11)

penyelenggaraan pemerintahan. Respons terhadap perkembangan tersebut

mendorong perlunya pencermatan terhadap aturan mengenai penyelenggaraan

Pilkada. Pelbagai aspek perlu dikaji, mulai dari makna demokrasi yang bersifat

filosofis sampai dengan hal-hal yang menyangkut teknis penyelenggaraan,

seperti pendaftaran pemilih dan pencalonan. Studi tersebut disertai pula dengan

telaah akademik mengenai dasardasar pelaksanaan pemerintahan dan melakukan

komparasi dengan praktek pemerintahan daerah di negara lain.

Setiap event demokrasi langsung baik Pemilihan Presiden, Pemilihan

Kepala Daerah, maupun Pemilihan Legislatif di sejumlah wilayah ditandai

dengan kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign) oleh kandidat. Masing-masing kandidat bukan hanya menonjolkan diri sendiri tetapi juga membuat citra negatif kandidat lawan. Kampanye negatif

ini ada yang dilakukan secara terang-terangan lewat kampanye terbuka, tetapi

ada juga yang dilakukan secara tersembunyi misalnya melalui selebaran atau

percakapan dari mulut ke mulut.

Kampanye negatif akhir-akhir ini kian populer dalam kosa kata politik di

Indonesia. Kendati demikian pemahaman terhadap makna kampanye negatif

nampak belum dilakukan secara maksimal selama masa demokrasi langsung

pasca reformasi. Pertama, terkait pemahaman terhadap makna kampanye negatif.

Baik publik, birokrasi, elit politik maupun para pelaku politik seringkali belum

mampu memahami apa makna dari kampanye negatif yang sebenarnya.

(12)

kampanye hitam. Kedua istilah ini mirip tetapi pada dasarnya berbeda, tentu saja

memiliki makna dan implikasi yang berbeda dalam perilaku dan budaya politik.

Kedua, terkait dengan studi terhadap fenomena kampanye negatif juga nampak

belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa kajian yang berkembang dalam

ilmu komunikasi politik selama ini nampak hanya sebatas melakukan analisis

terhadap strategi dan taktik kampanye baik dalam Pilkada maupun Pemilu

Presiden. Kampanye politik cenderung hanya dilihat sebagai salah satu

instrument dalam kontestasi politik. Sedangkan studi yang fokus pada

pembahasan kampanye negatif masih cenderung absen dalam bidang kajian ilmu

politik maupun ilmu komunikasi politik.

The American Heritage Dictionary of the English Language

mendefinisikan kampanye negatif (negative campaign) sebagai sebuah kampanye

yang berisi : “a statement or act indicating or expressing a contradiction, denial,

or refusal”; a statement or act that is highly critical of another or of others.

Kampanye negatif dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kampanye politik yang

mengekspresikan, memuat atau di dalamnya terdapat negasi, atau penyangkalan

terhadap kebenaran fakta.1 Cleveland Ferguson mendifinisikan kampanye negatif

sebagai kampanye politik yang dilakukan oleh masing-masing kandidat dan

partai politik untuk mendapatkan keuntuntungan dengan cara memberikan

referensi atau mengalamatkan aspek-aspek negatif dari competitor baik kandidat

1

(13)

maupun partai. Aspek-aspek negative tersebut dapat berupa atribut, isu, atau

kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan public. Aspek-aspek

negatif tersebut disampaikan dengan cara yang beragam, mulai dengan membuat

logika, hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih.

Fenomena dilapangan yang seringkali berkembang, kampanye negatif diwarnai

dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif seringkali terus digunakan

untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif

seringkali dilakukan dengan mengkobinasikan jaringan dan teknik dari

kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik

kepada lawan.2

Beberapa Pilkada di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan

Maluku Utara marak dengan menunjukkan informasi negatif mengenai calon

(misalnya dugaan korupsi, penghinaan agama, sejarah masa lalu dan sebagainya)

sangat menentukan preferensi pemilih pada calon. Mereka yang percaya dengan

informasi negatif mengenai calon, cenderung untuk tidak memilih calon tersebut

dalam Pilkada. Sebaliknya mereka yang tidak mempercayai informasi negatif itu,

cenderung untuk tetap memilih calon. Hal ini menunjukkan gambaran pemilih

yang pasif, statis dan tidak rasional, tidak selamanya benar. Pemilih ternyata

memeriksa isu-su yang ada di seputar kandidat. Kepercayaan mereka terhadap

2

(14)

isu-isu itu sedikit banyak menentukan kandidat yang akan dipilih. Akan tetapi,

besar kecilnya dampak dari informasi negatif calon itu sangat ditentukan oleh

seberapa banyak orang yang tahu (pernah mendengar) mengenai informasi

negatif. Jika informasi negatif mengenai calon itu hanya dikenal oleh sedikit

pemilih, informasi itu hanya informasi elitis yang juga hanya berdampak pada

sedikit pemilih saja.3

Cleveland Ferguson berpendapat bahwa iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) telah lama berkembang dalam tradisi demokrasi di Amerika sejak masa kemenangan John Adams terhadap Thomas Jefferson dalam

Pemilu presiden Amerika tahun 1796. Ada beberapa definisi yang berkembang

terkait dengan iklan kampanye negatif. Namun dari beragam definisi yang ada,

nampak belum ada kesepakatan yang tetap tentang makna dari iklan kampanye

negatif. Yang menjadi kesamaan dari kecenderungan definisi dari iklan

kampanye negatif yang muncul adalah kesamaan tujuan yang ingin dicapai, yaitu

meningkatkan pengaruh dan tingkat dukungan dalam arena pemilihan. Beberapa

definisi tentang iklan kampanye negatif (negative campaign advertising)

misalnya dikemukakan oleh Terry Cooper. Ia mendefinisikan iklan kampanye

negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat

persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan berbagai

kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.4

3 Terry Cooper, “Negative Image”, Campaigns & Elections, September 1991, hal. 21 4

(15)

Fenomena menarik dalam proses Pemilukada Tangerang Selatan, dari

aspek strategi komunikasi para kandidat. Pemilihan Langsung Walikota

Tangerang Selatan (Tangsel) yang berjalan dua putaran, pada 13 November

2010 dan 27 Februari 2011, telah meninggalkan fenomena menarik. Tidak hanya

dari sudut kalkulasi kekuatan politik serta konstelasinya, tetapi juga aspek

komunikasi yang merupakan bagian penting dari proses Pilkada tersebut. Pilkada

yang diikuti oleh empat pasangan calon Yayat – Norodom, Rodhiyah –

Sulaeman, Arsyid – Andre, dan Airin – Benyamin tersebut, masing-masing

memiliki gaya kampanye (campaign) yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh

latar belakang si calon, pengalaman, sumber daya, serta strategi kampanye.

Sengketa hasil pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah menjadi

wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula merupakan kewenangan

Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang

memasukkan pilkada dalam pengertian “pemilu”. Didalan pasal 24C UUD 1945

memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus

perselisihan hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian

“pemilu”, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, penanganan Hasil pemilihan umum Daerah dialihkan dari

Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

(16)

2011, melalui Keputusan KPU Kota Tangerang Selatan Nomor 44/Kpts/KPU

Tangerang Selatan/XI/2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan

Wakil Walikota Terpilih dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota

Tangerang Selatan Tahun 2011, memutuskan :

1. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang

Selatan dengan Nomor urut 1 atas nama Drs. Yayat Sudrajat, MM,M.Si. dan

H. Moch Norodom Sukarno, S.ip memperoleh sejumlah 22.640 suara

2. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang

Selatan dengan Nomor urut 2 atas nama Hj.Rodhiyah Nasibah,S.Pd dan H.E

Sulaiman Yasin memperoleh sejumlah 7518 suara

3. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang

Selatan dengan Nomor urut 3 atas nama Drs. Arsid, M.Si. dan Andreas

Taulany memperoleh sejumlah 187.778 suara

4. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang

Selatan dengan Nomor urut 4 atas nama Hj. Airin Rachmy Diani,SH.MH dan

Drs.H. Benyamin Davnie memperoleh sejumlah 188.893 suara

Terhadap putusan KPUD tersebut di atas, pasangan calon nomor urut 1

dan nomor urut 3 mengajukan permohonan keberatan. Dalam putusannya, MK

mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak

mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan tersebut. Pemohonan

yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan. Selain itu MK juga

(17)

menarik dari putusan ini ialah terkait objek yang diperkarakan berupa

pelanggaran yang bukan merupakan hasil dari pemilihan umum dan putusan

untuk melaksanakan pemungutan suara ulang. Dalam hal ini MK mendasarkan

pada yurisprudensinya yang telah dibangun dalam memberikan pandangan

hukumnya. Putusan MK ini menarik untuk dianalisis karena telah kesekian

kalinya MK dapat mengesampingkan aturan formalnya. Proses beracara dalam

perkara ini dapat dianalisis dalam perspektif hukum acara MK.

Maka penulis mencoba melihat prespektif politik dalam lingkup

kecamatan Serpong. Kecamatan Serpong merupakan suatu kawasan sub urban

pingiran Jakarta yang masyarakatnya heterogen dan multi etnis di mana infra

struktur politiknya sudah terbentuk secara matang dan tingkat kesadarannya

cukup tinggi.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kampanye

negatif, sehinga penulis tertarik untuk menulis tugas akhir dengan judul

“Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pilkada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

a. Bagaiman pengaruh masyarakat terhadap Kampanye Negatif yang terjadi

di Tangerang Selatan ?

(18)

Selatan?

c. Metode apasajakah yang diterapakan pada saat terjadi kampanye negatif

di Tangerang Selatan?

d. Bagaimana pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala

Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

e. Bagaiman Proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

2. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan

ini dibatasi pada:

a. Kampanye negatif sebagai informasi negatif mengenai kandidat

b. Sejauh mana pemilih mendengar dan percaya akan berbagai informasi

negatif mengenai calon tersebut. Bagaimana pemilih menggunakan

informasi negatif itu sebagai dasar untuk memilih kandidat dalam

Pemilihan Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan 2011.

3. Perumusan Masalah

Tulisan ini akan menyoroti sejauh mana Kampanye Negatif itu

diketahui oleh pemilih pada umumnya, maka rumusan permasalahan yang

akan dibahas sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala

Daerah (pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

(19)

(pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya :

1. Untuk mengetahui pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah (Pemilukada) Tanerang Selatan (Tangsel) 2011.

2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai barikut :

1. Berdasarkan pendekatan political science diharapkan dapat memperkaya penelitian di bidang politik khususnya pada Kampanye Negatif di Tangerang

Selatan.

2. Kegunaan praktis dari penelitian kuantitatif ini untuk memberi informasi,

masukan dan pertimbangan bagi stake holder untuk memahami persoalan-persoalan politik.

3. Diharapkan dapat mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

kampanye negatif daerah Tangerang Selatan terutama dengan pendekatan

religio-politik yang jarang dilakukan.

4. Diharapkan dapat mengungkap fenomena kampanye negatif di Tangerang

(20)

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu metode untuk

memahami fenomena sosial yang diteliti. Data yang diperoleh berupa data

sistematis, faktual, dan akurat. Serta menunjukkan data yang otentik.5

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode penghimpunan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah

dengan menggunakan:

Studi Dokumentasi. Penulis mengumpulkan data-data yang akan

digunakan untuk memperkaya skripsi diantaranya adalah bersumber dari

buku, jurnal, dokumen hasil penelitian, literatur-literatur lain berupa, media

elektronik.

3. Teknik Analisis Data.

Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif.6

Analisis deskriptif adalah untuk memperoleh gambaran tentang uraian dan

informasi tentang Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011. Dengan kata

lain analisis deskriptif7 adalah analisis untuk memperoleh gambaran secara

sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta informasi tentang

Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

5 Soerjono Soekamto dan Sri Mujdi, “Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat”,

(Jakarta : PT. Raja Grafindo 2006), hal. 24.

6

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Reserch dan Development, Bandung, Alfabeta, 2007, Cet. Ketiga, h. 8-9

7

(21)

(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung penelitian ini, penulis berupaya untuk mencari

berbagai informasi dan tinjauan pustaka yang mendukung penelitian ini. Berikut

paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya peneliti tersebut :

Clevelland Ferguson, 2000 dalam The Politics of Ethic and Election, Can Negativ, menjelaskan bahwa politik untuk mendapat keuntungan dengan cara memberikan refrensi atau menyelamatkan aspek-aspek negatif dari compotitor

baik kandidat maupun partai melalui kampanye negatif. Aspek-aspek negatif

tersbebut, dapat berupa atribut, isu atau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan

kepentingan publik. Aspek-aspek negatif tersebut disampaikan dengan cara yang

beragam mulai dengan membuat logika pembeda (contrast), hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan

harapan mendapatkan keuntungan politik lebih. Fenomena di lapangan yang

sering kali berkembang, kampanye negatif diwarnai dengan cara-cara dan trik

yang kotor. Isu-isu negatif sering kali digunakan untuk mengundang daya tarik

publikasi media. Bahkan kampanye negatif sering kali dilakukan dengan

mengombinasikan jaringan dan teknik dari kelompok-kelompok lobbying untuk

melakukan serangan-serangan politik kepada lawan.8

8

(22)

Terry Cooper mndefinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian

iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat persuasif untuk menyerang

kekuatan lawan dengan menunjukan berbagai kelemahannya berdasarkan data

dan fakta yang ada.9 Sedangkan Gina M. Garrmone mendefinisikan kampanye

iklan negatif merupakan iklan politik yang berisi hal-hal yang bersifat menyerang

(attacks) kepada personalitas kandidat lainnya atau partai politik dari kandidat tertentu dengan menggunakan isu tertentu.10

Bill Huey mendefinisikan iklan kampanye negatif sebagai sebuah iklan

politik yang berisi segala sesuatu yang memuat informasi negatif untuk

melemahkan kekuatan kandidat atau partai politik lainnya yang menjadi

kompetitor.11

Data-data yang diperoleh di lapangan akan menjadi data primer dalam

penulisan skripsi ini. Di samping itu, dalam penulisan ini penulis juga memuat

tulisan-tulisan artikel dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan sebagai

data sekunder dan penunjang yang mendukung dalam fokus pembahasan yang

dipilih. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada judul skripsi yang khusus

mengkaji tentang Pengaruh Pemilihan Umum Kepala Daerah Respon Tangerang

Selatan terhadap Fakta Kampanye Negatif Dalam Pilkada 2011 yang dibahas

rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum jurusan Siyasah

9

Terry Cooper, Negative Image, Campaigns and Elections, 1991, h. 21.

10

Gina M. Garrmone, Voter Respons to Negative political ADS, Jurnalism Quarterly, 1984, h. 251-253.

11 Bill Huey, Where’s The Beef, Cam

(23)

Syar‟iyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu penulis tertarik

mengungkap dan mendeskrisikan Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan

Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan 2011.

F. Sistematika Penulisan

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,

dan sistematika penelitian.

BAB II Menjelaskan konsep dasar atau teori Kampanye Negatif, Konsep Kampanye Negatif politik di negara demokrasi, Bentuk-bentuk Kampanye Negatif,

Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum.

BAB III Menguraikan tinjauan Yuridis Pemilihan Umum Kepala Daerah di Tangerang Selatan.

BAB IV Berusaha menganalisis permasalahan terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah, faktor yang Mempengaruhi Terhadap Kampanye Negatif Tangerang

Selatan.

BAB V Penutup akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang telah dituangkan dalam bab-bab sebelumnya dan mengajukan saran atau rekomendasi

(24)

15

A. Definisi Kampanye Negatif

Dalam terminology politik dan pemilu, ada yang disebut sebagai

kampanye hitam atau black campaign. Istilah ini bukan berarti kampanye yang dilakukan malam hari, atau kampanye yang dilakukan oleh orang berkulit hitam.

Black Campaign, memang istilah “prokem” atau istilah serapan dari bahasa asing

(Inggris). Sebelum kita mengetahui apa definisi dari istilah black campaign atau

kampanye hitam, secara sistematis kita harus mengetahui dahulu apa arti dari

kampanye.

Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang disebut sebagai kampanye

adalah: kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan

menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Jadi berdasarkan pada

definisi diatas, kampanye dalam perhelatan pemilu, apapun bentuk pemilu itu

(Pemilu DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wapres, Bupati, Walikota, Kepala Desa,

dan pemilihan lain dalam konteks pemberian suara oleh masyarakat), harus

dilakukan dengan cara yang lurus, bersih dan terang.1

1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum,

(25)

Artinya, kampanye adalah sebuah propose to something. Kampanye adalah suatu perilaku dari seorang calon atau dari orang-orang atau partai atau

kelompok yang mendukungnya, untuk meyakinkan orang-orang agar mau

memilihnya, dengan menunjukkan dan menawarkan atau menjanjikan apa yang

akan diperbuat, apa yang akan dilakukan, apa yang akan diperjuangkan, apabila

orang-orang memilih calon tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

definisi kampanye menurut Undang-Undang 1 angka 26 Undang-Undang Nomor

10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sebuah

definisi yang positif.

Kampanye Negatif merupakan salah satu fenomena politik yang

seringkali muncul dalam berbagai peristiwa Pemilu di berbagai negara

demokrasi. Bahkan hampir dipastikan kontestasi Pemilu dalam sistem yang

demokrasi tidak lepas dari munculnya kampanye politik negatif. Oleh karena itu,

fenomena kampanye politik negatif dianggap menjadi perhatian utama dari

banyak kalangan. Sebab, kampanye politik negatif dalam hal ini berkembang

tidak hanya pada arena panggung kampanye formal yang ditetapkan oleh

lembaga penyelenggara pemilu, namun juga dalam keseluruhan peristiwa

Pemilu yang sedang berlangsung. Kampanye negatif di sini dapat berlangsung

dalam media Televisi baik melalui pemberitaan dan iklan maupun di luar media

(26)

Kampanye negative dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kampanye

politik yang mengekspresikan, memuat atau di dalamnya terdapat negasi, atau

penyangkalan terhadap kebenaran fakta.2 Cleveland Ferguson mendefinisikan

kampanye negatif sebagai kampanye politik yang dilakukan oleh masing- masing

kandidat dan partai politik untuk mendapatkan keuntuntungan dengan cara

memberikan referensi atau mengalamatkan aspek-aspek negatif dari competitor

baik kandidat maupun partai.

Aspek-aspek negatif tersebut dapat berupa atribut, isu, atau

kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. Aspek-aspek negatif tersebut

disampaikan dengan cara yang beragam, mulai dengan membuat logika pembeda

(contrast), hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih.

Fenomena di lapangan yang seringkali berkembang, kampanye negatif diwarnai

dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif seringkali terus digunakan

untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif

seringkali dilakukan dengan mengkobinasikan jaringan dan teknik dari

kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik

kepada lawan.3

2

Lihat The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition, 2000

3

(27)

Cleveland Ferguson berpendapat bahwa iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) telah lama berkembang dalam tradisi demokrasi di Amerika sejak masa kemenangan John Adams terhadap Thomas Jefferson dalam

Pemilu presiden Amerika tahun 1796. Ada beberapa definisi yang berkembang

terkait dengan iklan kampanye negatif. Namun dari beragam definisi yang ada,

nampak belum ada kesepakatan yang tetap tentang makna dari iklan kampanye

negatif. Yang menjadi kesamaan dari kecenderungan definisi dari iklan

kampanye negatif yang muncul adalah kesamaan tujuan yang ingin dicapai, yaitu

meningkatkan pengaruh dan tingkat dukungan dalam arena pemilihan.

Beberapa definisi tentang iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) misalnya dikemukakan oleh Terry Cooper. Ia mendeinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang

bersifat persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan

berbagai kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.4 Sedangkan Gina

M. Garromone mendiinisikan kampanye iklan negatif merupakan iklan politik

yang berisi hal-hal yang bersifat menyerang (attacks) kepada personalitas kandidat lainnya atau partai politik dari kandidat tertentu dengan menggunakan

isu tertentu.5 Bill Huey mendeinisikan iklan kampanye negatif sebagai sebuah

iklan politik yang berisi segala sesuatu yang memuat informasi negatif (negative

4 Terry Cooper, “Negative Image”, Campaigns & Elections, September 1991, hal. 21

5 Gina M. Garromone, “Voter Response to Negative Political Ads”, Journalism Quarterly,

(28)

information) untuk melemahkan kekuatan kandidat atau partai politik lainnya yang menjadi kompetitor.6 Pakar lainnya, seperti Adam Goodman mendeisikan

iklan kampanye negative sebagai sebuah iklan yang menggunakan metode pesan

kampanye yang berisi pembeda (contrasting) terhadap kandidat dan parpol yang menjadi kompetitor dengan menggunakan pendekatan yang membangkitkan

aspek-aspek emosi pemilih.7 Sedangkan Sharyne Merritt mendefinisikan iklan

kampanye negatif adalah iklan politik yang memuat pesan-pesan politik yang

dianggap mampu mendegradasi persepsi publik terhadap kandidat dan partai

politik yang menjadi lawannya.8

Di Indonesia, adanya kampanye negatif termasuk iklan kampanye negatif

dianggap akan meningkatkan rasionalitas pemilih berhadapan dengan elite

politik. Kampanye negatif merupakan sarana efektif untuk menggeser paradigma

masyarakat pemilih dalam kehidupan politik, yakni dari tendensi emosional

menuju rasionalitas pemilih. Bangkitnya rasionalitas pemilih ditandai dengan

semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa kandidat yang layak untuk

menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan penilaian visi dan misi,

integritas kandidat, kualitas individu dan programnya, bukan pilihan-pilihan

karena satu agama, satu suku, satu keluarga, dan satu kelompok. Melalui

6 Bill Huey, “Where‟s the Beef?”,

Campaigns & Elections, Juni 1995, hal. 67.

7 Adam Goodman, “Going Negative! Producing TV: A Survival Guide”, Campaigns and

Elections, Juli 1995, hal. 22.

8 Sharyne Merritt, “Negative Political Advertising: Some Empirical Findings”, Journal of

(29)

kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit para politikus korup yang selama ini

memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari arena politik.9

Cleveland Ferguson membagi kampanye iklan (NegateNegatif Campaign Advertising) melalui media massa dalam tiga jenis. Pertama, Fair Negative Campaign Advertising. Kedua, False Negative Campaign Advertising Ketiga,

Deceptive Negative Campaign Ddvertising. Pola pemilihan tema dan isi dari iklan kampanye negatif seringkali menggunakan salah satu atau beberapa strategi

Pertama, Reinforcement Strategy. Kedua, Rationalization Strategy. Ketiga,

Inducement Strategy. Keempat Confrontazion Strategy.10

Pilihan-pilihan strategi dalam menjalankan kampanye negatif juga terus

mengalami modiikasi yang luar biasa karena kreatiitas masing-masing politisi

dan konsultan politiknya. Di luar itu semua, teknik, metode dan strateg

penggunaan kampanye negatif saat ini terus berkembang dengan pesar di

berbagai negara demokrasi. Adakalanya kampanye negatif atau negative political

advertising dapa dilakukan dengan cara dan tujuan yang etis dan positif, sesuai

dengan derajat rasionalitas dan budaya politik masyarakat. Namun banyak juga

yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak etis dan negatif.

Kampanye Politik, Negative Campaign, dan Black Campaign. Dalam

arena Pemilu, baik kandidat maupun partai politik setidaknya dapat melakukan

9 Adnan Topan Husodo, “Politisasi Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah”, Koran Tempo,

23 Februari 2005.

10

(30)

tiga cara dalam proses kampanye politik.11 Pertama, dengan pola Public Relations, yaitu dengan serangkaian teknik dan metode Public Relations melalui daya dukung industri media masa cetak dan elektronik. Kedua, Personal Contact,

yaitu melalui sejumlah kontak personal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan

berbagai pertemuan langsung dalam kampanye politik, safari politik dan kegiatan

interaksi langsung lainnya dengan pemilih. Ketiga, Advertisements, yaitu dengan menggunakan sejumlah iklan-iklan politik baik iklan politik dalam media massa

cetak dan elektronik maupun iklan media ruang.

B. Makna Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Negara Demokrasi

Dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.12 Didalam Pasal 84 tersebut

terdapat larangan terhadap kampanye pemilu yang tidak boleh dilakukan adalah:

1. Kampanye tidak boleh mempersoalkan Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945.

2. Kampanye tidak boleh dilakukan yang membahayakan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

11 Gunter Schweiger dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political

Parties”, dalam Bruce I Newman (eds), Handbook of Political Markerting, London, Sage Publications, hal. 355.

12 Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning”

(31)

3. Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras,

suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain.

4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.

5. Mengganggu ketertiban umum.

6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan

kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau

Peserta Pemilu yang lain.

7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye Peserta Pemilu.

8. Menggunakan fasilitas pemerintah,tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari

tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan.

10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta

kampanye.

Kesepuluh larangan kampanye tersebut itulah yang bisa dikategorikan

sebagai kampanye negatif. Larangan kampanye yang pertama dan kedua adalah

karena hal tersebut adalah bentuk kampanye yang inskonstitusional atau

melanggar UUD 1945. Larangan kampanye yang ketiga dan keempat inilah yang

disebut sebagai black campaign. Larangan kampanye yang kelima, keenam dan ketujuh adalah karena hal tersebut adalah bentuk kampanye yang anarkhis dan

chaos atau yang rawan menimbulkan huru hara dan kerusuhan. Larangan kampanye yang kedelapan dan kesembilan adalah karena hal tersebut adalah

(32)

karena hal tersebut adalah bentuk kampanye money politics atau kampanye

menggunakan kekuasaan uang.

Sehingga berdasarkan pada definisi Pasal 1 angka 26 dan Pasal 84

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, yang dimaksud black campaign adalah suatu model atau perilaku

atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu

domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang

calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon

terhadap lawan atau calon lainnya.

Kampanye terbuka untuk pemilu presiden baru dimulai 12 Juni 2009.

Namun, perang kata-kata dan wacana di antara para kandidat dengan tim

kampanyenya sudah dimulai berminggu- minggu lalu. Kampanye damai, etis,

santun, dan tidak saling menyerang cuma ilusi? Nyatanya, ajakan untuk beretika

dalam berpolitik selalu saja dibarengi dengan serangan-serangan terhadap para

pesaing. Bahkan, ajakan tersebut merupakan bentuk serangan juga karena ada

pesan implisit di baliknya yang ingin menunjukkan bahwa lawan politik tidak

mengenal etika dan kesantunan dalam berpolitik. Ajakan ini sudah menjadi

semacam mekanisme defensif dari para kandidat yang ”diserang”.

Di satu sisi, memang rakyat menginginkan kampanye damai dan bebas

dari kekerasan. Di sisi lain, rakyat juga membutuhkan dan menginginkan

(33)

bijak pada hari pencontrengan. Kampanye yang sekadar damai adalah kampanye

yang jauh dari memuaskan. Kampanye perlu disertai dengan keterbukaan dan

kejujuran sehingga kampanye dapat menjadi bentuk pendidikan politik untuk

rakyat.13

Kritik terbuka terhadap pesaing sering kali divonis sebagai bentuk

kampanye negatif dan kampanye negatif sering kali diidentikkan dengan sesuatu

yang buruk. Sulit dilupakan ketika salah seorang calon presiden setelah

”diserang” oleh pesaingnya mengatakan bahwa tidaklah elok menjelek-jelekkan,

tidaklah baik dan santun di mata rakyat. Tunggu dulu. Justru kampanye yang

melulu serba positif dapat menyebabkan pembodohan publik karena memberikan

gambaran realitas yang tidak lengkap.

Kenyataannya, kampanye negatif tidaklah selalu buruk. Bahkan

kampanye negatif justru bisa dilihat sebagai bentuk pendidikan politik. Sangat

salah kaprah jika kita menolak habis kampanye negatif, padahal lewat kampanye

negatif rakyat bisa mengenal lebih jauh para kandidat yang berkompetisi. Kita

semua ingin rakyat menentukan pilihannya pada hari pemilu bukan berdasarkan

janji dan klaim sepihak. Tapi kita ingin rakyat memilih pemimpinnya untuk lima

tahun mendatang dengan pengetahuan dan informasi yang

selengkap-lengkapnya. Sayangnya, memang dalam demokrasi, meski ada kebebasan media

yang relatif cukup baik, informasi masih relatif mahal dan tidak mudah diakses

13

(34)

oleh kebanyakan rakyat jelata. Informasi yang tersedia, apalagi dalam musim

kampanye, kebanyakan datang dari para elite politik yang bertarung.

Jika kampanye serba normatif dan serba positif, akan sangat sulit bagi

rakyat untuk mengenal para kandidatnya secara lengkap, mengingat informasi

yang tersedia hanya yang baik-baik. Kampanye negatif memberikan kesempatan

bagi rakyat untuk memperoleh informasi tentang para kandidat yang lebih

lengkap. Paling tidak, ada penyeimbang terhadap wacana maupun informasi

sepihak yang serba baik dan positif seorang calon.

Inilah indahnya demokrasi. Dalam demokrasi ada persaingan antarelite

dan dalam persaingan antarelite inilah rakyat dapat meraup keuntungan yang

optimal. Ketika ada kampanye negatif yang dilakukan para elite terhadap

pesaingnya, rakyat sebagai pemilih dapat melihat sisi negatif para kandidat.

Dengan kata lain, adanya kampanye negatif merupakan kesempatan bagi rakyat

sebagai pemilih untuk bukan hanya tahu keunggulan dan keberhasilan para

kandidat, tetapi juga kelemahan dan kegagalan mereka.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak para calon kandidat untuk

memfitnah. Fitnah penuh dengan ketidakjujuran. Justru tulisan ini mengajak para

kandidat untuk berkampanye secara jujur dan terbuka agar kampanye tidak hanya

menjadi kesempatan tebar pesona, tapi juga kesempatan untuk mendidik rakyat.

Sepertinya perlu ada redefinisi kampanye negatif. Kampanye negatif

(35)

kampanye yang semata menunjukkan kelemahan lawan politik. Tentu ini sah-sah

saja dalam berdemokrasi dan berkompetisi.

Para kandidat dan tim kampanyenya hendaknya memaknai etika dan

kesantunan politik secara lebih substansial dan mendalam, bukan sekadar wacana

indah yang semu. Memang ada yang aneh dengan standar kesantunan dan etika

kita. Sebenarnya kesantunan dan etika yang sejati adalah kejujuran dan

keterbukaan, terhadap lawan maupun terhadap rakyat. Kesantunan dan etika

politik yang sejati adalah ketika para elite politik yang bersaing dapat berjabat

tangan serta bekerja sama membangun bangsa setelah bersaing dalam pemilu dan

saling mengkritik secara jujur dan terbuka.

C. Dinamika Transformasi Politik di Indonesia

Perilaku elit yang berorientasi kepada kekuasaan subyektif

mengakibatkan setelah lebih satu dasa warsa transformasi politik, masyarakat

belum banyak mencapai kemajuan. Pada hal bangsa Indonesia memiliki semua

persyaratan untuk berhasil.14 Selama lebih dari satu dekade bangsa Indonesia

telah mengalami suatu proses perubahan politik yang sangatsubtansial. Suatu

perubahan politik dari sistem otoritarian ke demokrasi yang kalau dilihat dari

tingkat akselerasi perubahan dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi

demokrasi. Sebuah peristiwa yang bisa disebut contradictio in terminis, karena

demokrasi tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Sementara itu bangsa

14

(36)

Indonesia dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi perubahan yang luar

biasa, mulai dari perubahan UUD 1945, pemilihan presiden secara langsung,

dibentuknya parlemen bikameral, pembentukan Mahkamah Konstitusi, pemilihan

kepala daerah langsung, dan lain sebagainya. Karakter revolusioner itulah yang

menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat menyusun konstitusi yang sempurna

serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang

struktur kekuasaan demokrasi yang masih sangat muda. Oleh karena itu wajah

perpolitikan di Indonesia selama lebih satu dasa warsa sepuluh tahun sarat

dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa, mempertahankanm

kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. Kiblat politik yang sangat

didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan arti politik sebagai

perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik

didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan

intrik dan kompromi politik yang pragmatis dan oportunistik, politik uang, tebar

pesona dan janji-jani sebagai alat merayu dukungan, perselingkuhan politik dan

segala bentuk serta manifestasi keserakahan mengejar kenikmatan kekuasan. Bila

disalahgunakan hal itu dapat menimbulkan konflik kekerasan, ataupun perang

saudara yang sangat kejam.15

Selain beberapa faktor obyektif diatas, aspek utama yang menyebabkan

transisi politik seakan–akan berjalan tanpa arah disebabkan pula oleh karena para

elit politik tidak memahami konsep-konsep dasar politik dan tata negara untuk

15Gunter Schweiger dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political

(37)

menyusun tatatan kehidupan demokrasi kedepan. Sebagian besar elit lebih

mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar

mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan memahami

konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia

sebagai negara kesatuan dan hubungan dengan desetralisasi atau otonomi daerah.

Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan

dipertahankan, maka prinsipprinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan

pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang

penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan ke daerah

berasal dari pemerintah pusat.16 Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat

mengemban kewenangan yang diberikan maka tidak dapat dilaksanakan secara

bertanggungjawab atau terjadi krisis pemerintahan daerah, pemerintahan pusat

harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut.

Pemicu krisis di daerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan

kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon

independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik.

Asimetris hubungan kekuasaan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi

potensi konflik didaerah yang berlarut-larut.

Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan

daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan

yang jelas, supervisi, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup. Tetapi

16

(38)

karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten,

banyak sekali terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang

berlarur larut. Misalnya, mengenai Penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja (APBD).

Dalam mengantisipasi krisis, pemerintahan mungkin dapat mengambil

pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal,

namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan

parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.17 Namun kewenangan

tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi

harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat

mengatasi masalah tersebut. Kedua,Presiden harus harus mendapatkan

persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan gubernur.

Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan

judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung

menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah (state) dapat

berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar

presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang

kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak

dan tetap dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat

berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif.

17

(39)

Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka

peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk

mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem

kepartaian yang multi partai.

Makna penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik

dilakukan dengan sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam

skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa

bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan

untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik

komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan

primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu

banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan

apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan umum di Indonesia. Salah satunya

adalah tajuk majalah The Ecomomist, tahun 2004.18

Naskah akademik ini ingin meletakkan RUU Pilkada dalam konteks

makor politik dan perspektif politik politik Indonesia kedepan. Oleh sebab itu agenda perubahan sistem politik harus dilakukan pada tataran yang sangat

18

(40)

mendasar, yaitu amandemen Konstitusi yang kelima. Agar amandemen tidak

dilakukan secara parsial maka sangat diperlukan proses yang disepakati bersama

baik mengenai jadwal maupun substasi sehingnga akamendemen kelima menjadi

amandemen yang dapat memperbaiki UUD 1945 secara komprehensif. Oleh

sebab itu selain amandemen juga harus dilakukan berdasarkan paradigm yang

jelas, harus dilakukan pula prinsip-prinsip konstitusionalisme, antara lain sebagai

berikut : (1) pembatasan wilayah kekuasaan negara, (2) pengaturan

cabang-cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia,

(4) prinsip-prinsip terkondiskannya suhu politik yang demokratis, (5)

independensi lembaga peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip

desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi serta (9)

partisipasi/pelibatan masyarakat. Bebagai prinsip atau paradima tersebut harus

dijabarkan lebih rinci melalui perdebatan yang mendalam, jernih dan

komprehensif agar pasalpasal yang dituangkan dalam UUD yang baru.19

Sementara itu prosedur amandemen merupakan hal yang penting pula

karena dimaksudkan agar proses amandemen tersebut dapat menghasilkan suatu

kualitas perobahan sesuai dengan kehendak masyarakat. Beberapa tahapan yang

mungkin dapat dipertimbangkan sebagai berikut: Pertama, MPR menetapkan

Komisi Reformasi konstitusi yang yang bersifat independen dan diberi tugas

untuk menyusun draft konstitusi dalam jangka waktu tertentu. Kedua,

keanggotaan Komisi terdiri dari berbagai tokoh yang mempunyai berbagai

19

(41)

keahlian terutama ahli tata negara, ilmu politik, pemerintahan, administrasi dan

ahli perumus (drafting) konstitusi serta perwakilan dari tokoh-tokoh di daerah.

Tugas masing-masing anggota Komisi dari provinsi adalah menampung aspirasi

daerah mengenai hal-hal yang ingin dimasukkan dalam konstitusi, dan

memperdebatkan rancangan konstitusi. Ketiga, sebelum menyusun rancangan

Komisi terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan mendasar

sesuai dengan paradigma yang telah disetujui bersama. Keempat, setelah Komisi

berhasil menyusun draft konstitusi, konstitusi tersebut disosialisasikan dan

masyarakat diberikan kesempatan untuk memperdebatkan rancangan konstitusi.

Kelima, hasil perdebatan masyarakat tersebut kemudian diakomodasi dalam

rancangan konstitusi. Keenam, Komisi Konstitusi melaporkan hasil kerja draft

final konstitusi kepada MPR. Oleh sebab itu kalau situasi sudah lebih

memungkinkan, amandeman perlu dilakukan, namun tidak hanya melayani

kepentingan parsial dan sesaat.

Namun diatas semua itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana

bangsa Indonesia segera mulai juga membangun kultur politik yang demokratis.

Bagaimana kesetaraan, pluralisme, toleransi menjadi bagian dari proses

pendidikan politik rakyat yang mulai diajarkan sedini mukin terhadap generasi

muda Indonesia. Akhirnya, menyusun konstitusi yang ideal (meskipun penting)

hanya merupakan satu bagian (meskipun penting) dari serangkaian agenda dan

proses mewujudkan sistem politik yang kompleks dan rumit, tatanan dan tertib

(42)

Sementara itu partai politik sebagai pilar demokrasi juga harus dilakukan

reformasi. Pertama-tama adalah dengan melakukan pengakaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang

kapabel, akuntabel, mempunyai komitmen, kepakaan serta ketrampilan

menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai

sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan

lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan

melakukan kaderisasai dan pendidikan poltik secara reguler maka kapasitas

partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan

pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dll juga

akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai

akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang

kredibel.

Kedua, mendorong kepemimpinan partai yang demokratis dengan melakukan seleksi kepemimpinan partai yang demokratis serta menegaskan

kedaulatan anggota dan desentralisai kewenangan pengurus partai ditingkat pusat

kedaerah sebagai upaya meningkatkan demokratisasi internal.

Ketiga, memperkuat basis dan struktur kepartaian, memperkuat basis dan struktur partai, termasuk menyertakan 30% perempuan. Basis sosial yang jelas

dan berakar pada masyarakat akan menjadikan partai lebih kuat, melembaga

sehingga akan memermudah menyerap aspirasi masyarakat. Basis dan struktur

(43)

ideolog kebijakan yang akan menjadi discourse dari partai politik. Perdebatan

publik tidak lagi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keungguluan identitas

primordial tetapi mengenai dasar-dasar kebijakan yang ditujukan utnuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keempat, mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partaipartai yang gagal mendapatkan Electoral Thershold (ET) di dtingjkat local berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan.

Kelima, mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen.

Keenam, larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu untuk mencegah konflik kepentingan (conflict of

interest) dari pejabat yang bersangkutan. Konsekwensinya akan lebih besar lagi

kalau birokrasi kemudian menjadi ajang pertarungan politik dari partai politik.

Birokrasi yang berfungsi sebagai pelayan publik, akan menjadi sekedar intrumen

partai politik.

Sejalan dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif, selain

pembenahan partai politik, perlu pula dilakukan beberapa penegasan dalam

prinsip sehingga sistem Pemilu harus semakin mengarah untuk untuk

meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya. Oleh sebab itu

prinsip one person, one vote, one value perlu diterapkan. Secara ideal, prinsip

tersebut harus dilakukan dengan konsekwen, karena kesetaraan diantara warga

(44)

pencalonan. Artinya pencalonan dilakukan dengan sistem dari bawah keatas

(bottom-up). Artinya, setiap calon anggota lembaga perwakilan rakyat harus dipilih secara demokratis dan terbuka sehingga bobot pengaruh dan kualitas

komitmen para anggota lembaga perwakilan rakyat diharapkan lebih baik bila

dibandingkan dengan pemilihan calon yang dilakukan berdasarkan putusan

pimpinan partainya. Ketiga, mempertegas sistem audit dan pengelolaan danadana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Selama ini tidak ada pengaturan

dana politik yang menyangkut jenis sumbangan, batasan sumbangan, larangan

menerima sumbangan dari sumber tertentu, pencatatan sumbangan, pelaporan,

audit, akuntabilitas publik, dan sangsi apabilan melangggar.

Dalam kaitan tersebut diperlukan penguatan dan penegasan peran

lembaga-lembaga perwakilan, antara lain memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat

dilalakukan dengan merubah lembaga pimpinan MPR permanen menjadi

fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan

kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang

gabungan (joint session) serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945. Sehingga MPR kewenangannya

tidak sebesar sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang

saat ini berlaku.

Mencermati perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan

makna bahwa meskipun masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi

(45)

ditingkatkan menjadi legitimasi politik yang bermartabat mendesak untuk

dilakukan. Membiarkan demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik

hanya akan memberikan pembenaran bagi yang merasa mendapat mandat rakyat

untuk merusak tatanan demokrasi. Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan

alat legitimasi juga akan mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi

demokrasi kunthet.20 Perpolitikan semacam itu jelas lebih banyak mudaratnya

dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan

sikap dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta

berpolitik yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan

kehidupan bersama yang sejahtera.

20

(46)

37

A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah

Ketentuan yang menegaskan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi

terdapat pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah

Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Ketentuan

tersebut menentukan syarat demokratis setiap pemilihan kepala daerah. Dengan

demikian, pemilihan kepala daerah dengan cara yang melanggar prinsip-prinsip

demokrasi.

Kata “demokratis” dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut juga harus

dimaknai sebagai demokratisasi tahapan Pilkada secara keseluruhan. Semua

proses Pilkada mulai dari penetapan daftar pemilih, penetapan calon, kampanye,

pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil, bahkan terhadap

perselisihan hasil semestinya dilaksanakan dalam kerangka demokratis yang

diamanatkan oleh konstitusi. Pada proses pembahasan ketentuan ini di MPR

dapat dicermati para pembentuk konstitusi memang sepakat bahwa pemilihan

gubernur, bupati dan walikota dilakukan dengan demokratis, namun juga terdapat

keinginan dari pembentuk kontitusi untuk memberikan kesempatan bagi para

pembentuk undang-undang untuk mengatur pemilihan kepala daerah lebih lanjut

(47)

bertentangan dengan prinsip demokratis.1

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa dalam proses pembahasan

perubahan UUD 1945 pilihan-pilihan mekanisme Pilkada juga telah diajukan

oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR, baik pemilihan oleh rakyat secara langsung

maupun pemilihan melalui mekanisme perwakilan oleh DPRD. Namun kedua

mekanisme tersebut, secara eksplisit, tidak menjadi putusan MPR. Dengan

memutuskan “dipilih secara demokratis” maka dimungkinkan pembentuk

undang-undang mempertimbangkan mekanisme yang paling cocok untuk

pemilihan kepala daerah.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor

072/PUU-II/2004 juga dapat diketahui bahwa dalam pelaksanan Pemilu-Kada

“secara demokratis” pembuat undang-undang harus memperhatikan penghargaan

konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antar daerah

yang berbeda-beda, sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun

1945 yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang.“ Selain mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah,

ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) ini juga memberi pesan bahwa konstitusi

hanya mengamanatkan Pemilihan Kepala Daerah saja tanpa menyebut jabatan

1

(48)

wakil kepala daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan untuk

kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan

demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur

jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja gubernur, bupati dan walikota

dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan

mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja

dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Hal lain yang

juga penting untuk ditegaskan kembali dari ketentuan konstitusi mengenai

pemerintahan daerah bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah-daerah, tetap

dalam kerangka implementasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah

Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten,

dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan

Undang-Undang.” Menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah

bersifat hirarkhis dan vertikal.2 Seperti juga disebutkan dalam penjelasan UUD

1945 naskah asli “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka

Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat

“staat” juga”.3

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor

072/PUU-II/2004 yang merupakan pengujian terhadap UU No. 32 tahun 2004.

2

Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002) hlm. 21

3

(49)

Hal di atas perlu ditegaskan untuk mengingatkan bahwa pemerintahan

daerah yang terbentuk hasil Pemilu-Kada langsung betapapun mendapat

legitimasi langsung dari rakyat harus tetap menyadari kedudukannya sebagai

daerah yang merupakan bawahan pemerintah pusat dan harus menjalankan

kebijakan pemerintah pusat.

Agar Pemilu demokratis, regulasi harus mampu menjadi alat yang

menjamin terlaksananya asa-asas Pemilu yang demokratis. (1). Langsung, (2).

Umum, (3). Bebas, (4). Rahasia, (5) Jujur, dan (6). Adil. Sedangkan secara

substantif, harus dijamin asas sebagai berikut : (1). Partisipatif, dan (2).

Kompetitif. Elaborasi berikut mencoba mencermati regulasi Pemilu-Kada

mewujudkan pelaksanaan asas-asas tersebut.

Pemilhan Umum Kepala Daerah merupakan implemetasi konstitusi pasal

18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota

masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan

Kota dipilih secara demokratis”.Pada tingkat regulasi yang lebih rendah,

ditungkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Undang-Undang No. 32 Tahun

2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.

Ketentuan pertama mengatur mengenai Pemilu-Kada langsung pasal 24

ayat (5) yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana

(50)

langsung, mulai pasal 56 s/d pasal 119. Undang-Undang 32/2004 64 pasal yang

mengatur tentang pemilihan kepala daerah.

Namun beberapa pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan

dengan peraturan yang lain maupun bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Kontroversi itu meliputi pasal-pasal yang dinilai tidak demokratis karena

menghalangi akses partaipartai kecil untuk berpartisipasi dalam Pemilu-Kada.

Akibatnya, muncul aspirasi dari perbagai pihak, misalnya 21 KPUD, organisasi

masyarakat sipil, dan partai politik untuk mengajukan judicial review Undang-Undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. karena dianggap kontradiktif

dengan regulasi lain. judicial review terhadap 5 pasal Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah25;

1. Pasal 57 ayat (1) berbunyi : “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah diselenggarakan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD.”

Keputusan MK KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD, sebab DPRD

terdiri atas unsur-unsur parpol sebagai pelaku kompetisi sehingga dapat

mempengaruhi independensi KPUD sebagai lembaga yang mandiri.

2. Pasal 66 ayat (3) huruf berbunyi : “tugas dan wewenang DPRD dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah meminta

pertanggung jawaban pelaksanaan tugas KPUD”. putusan MK menetapkan

bahwa KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi

bertanggungjawab kepada publik. Kepada DPRD, KPUD hanya

(51)

3. Pasal 67 ayat (1) Huruf e tentang kewajiban KPUD menyatakan bahwa

KPUD mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD”.

putusan MK adalah KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan

dana Pemilu-Kada kepada DPRD, karena dana bukan berasal dari APBD

tetapi APBN.

4. Pasal 82 ayat (2) berbunyi “pasangan calon dan/atau tim kampanye yang

terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum

tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh DPRD”. Ketentuan ini

mengakibatkan DPRD tidak dapat menjatuhkan sanksi pembatalan calon

kepala daerah dan wakil kepala daerah

5. 59 ayat (1) yang berbunyi : “ partai politik atau gabungan partai politik

dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang

memiliki kursi di DPRD”. Serta ayat (2) yang berbunyi “Partai politik atau

gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan suara

sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) d

Gambar

Tabel 1 Jumlah Penduduk di Kota Tangerang Selatan
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan terhadap warna dedak padi selama penyimpanan 8 minggu dengan perlakuan tanpa arang, dan penambahan arang kayu serta arang batok kelapa

ethical judgment terhadap minat pegawai negeri sipil Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (DPPKAD) untuk melakukan whistle- blowing.. Penelitian ini

9 ALUMNI ITB kandidat testimoni SMK Gw adalah orang yang taun kemaren udah berkali2 gagal, gw juara 1 nem untuk jurusan teknik di SMK gw, ranking 1 3 taun berturut2 dll dah..

Tugas kelompok kali ini adalah memindahkan beberapa buah ban dari satu tiang ke tiang lain melewati beberapa rintangan dan membawa ban bersama – sama dengan

Pengujian hipotesis 1 menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel produk, harga, promosi, dan tempat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian mobil

Dari pernyataan mufassir diatas bahwa peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa, objek yang diperintahkan kepada nabi Muhammad itu adalah Alquran, ini menunjukkan

Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh Trichoderma harzianum sebagai starter untuk fermentasi limbah tauge kacang hijau dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik

Materi lompat jauh merupakan salah satu nomor aletik yang diajarkan dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK). Dalam proses belajar mengajar kehadiran