Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
S O P I A N
NIM : 104045201530
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan ssuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Juni 2011
i
Dengan segala upaya dan usaha, penulis bersyukur kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat selesai. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
risalah dan suri tauladan terbaik. Dengan ini pula, disampaikan terima kasih kepada
seluruh dosen, rekan, serta sahabat karib, yang semuanya selalu memberikan
masukan, saran, dan ilmu. Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih kepada
pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Bapak
Afwan Faidzin, M.Ag selaku sekertaris Program Studi Siyasah syar’iyyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
membantu dan melayani dalam penyelesaian skripsi dan melengkapi
persyaratan administrasi
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Atep Abdurrofiq, M.Si selaku Dosen
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran, dan tenaga untuk
memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam
ii
5. Yang tercinta ayahanda H. Suhaeli dan ibunda Siti Romlah yang selalu
memberikan do’a serta dukungan kepada penulis sehingga dapat
terselesaikannya karya tulisan ini.
6. Teruntuk kakanda, Drs. Samsudin Kohar, Saipul Anwar, SH. H. Muhammad, S.
Pd. Bohari, S. Pd. Sukriyah. Safa’ah, SH. Soleha, S.Pd. Euis. yang telah
member motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
iii
8. Yang penulis hormati kawan-kawan seperjuangan, Nurul el-Huda Baros Banten
(Hamdi, Harun, Ombaks, Adit, maskur, berod, rikay, Aufa, Geveng, Nano,
Satibi, Mohan, Jaenudin, Begeng, Hamdani, Idham) yang memberikan do’a
nyang kaga putus-putus kepada penulis.
9. IRMAS Lkw , 79 Club Motor, Sepeda Club cacink 79, Sepeda S2DL, team
tafakurin, terima kasih untuk kebersamaannya.
10. Malaikat penjaga kost san, bang Udin koeng, yang telah memfasilitasi penulis selama ada di kost san. Bang Tora, si penjaga Warnet, Rudi Copma, Oman, H. Suhad, Atin Tb, thanks dukunganya ok.
11. Semua rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan dorongannya, semoga
Allah SWT memberi balasan yang setimpal.
Jakarta: 22 Juni 2011 M
Penulis
ii
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 8
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
D.Metode Penelitian ... 11
E.Tinjauan Pustaka ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAMPANYE NEGATIF A.Definisi Kampanye Negatif ... 15
B.Makna Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Di Negara Demokrasi ... 21
C.Dinamika Transformasi Politik di Indonesia ... 26
BAB III TINJAUAN YURIDIS PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah ... 37
iii
A.Permasalahan dalam Proses Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 69
B.Kampanye dan Kemenangan Pemilu ... 84
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 95
B.Saran-saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 98
1
A. Latar Belakang
Klimaks tuntutan demokratisasi pemilihan Kepala Daerah setelah
berakhirnya era pemerintahan sentralistik adalah disahkannya Undang-udang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jika UU Pemerintahan
Daerah sebelumnya, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999, masih mengatur
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD sebagai lembaga
legislatif daerah, UU Pemerintahan Daerah yang baru mengamanatkan Pilkada
dilaksanakan secara langsung. Pengaturan Pilkada langsung menunjukkan respon
atas tiga hal tuntutan yang mendasar dan saling terkait. Pertama, respon terhadap
keinginan melaksanakan demokratisasi hingga ke tingkat lokal. Kedua,respons
legal formal,kebutuhan untuk melakukan penyesuaian dengan ketentuan
ketentuan baru. Ketiga, respons praktikal, keinginan menemukan model sistem
pemilihan (Pemilu) kepala daerah yang mampu menjadi solusi praktis bagi
kelemahan-kelemahan sistem pemilihan kepala daerah sebelumnya yang
dipenuhi berbagai macam praktek kecurangan.
Pelaksanaan Pilkada secara langsung ternyata menunjukkan dinamika
yang tinggi. Selain kesuksesan menghadirkan pemimpin daerah, Pilkada secara
langsung dibeberapa daerah dinodai oleh konflik sosial. Dinamika tersebut
penyelenggaraan pemerintahan. Respons terhadap perkembangan tersebut
mendorong perlunya pencermatan terhadap aturan mengenai penyelenggaraan
Pilkada. Pelbagai aspek perlu dikaji, mulai dari makna demokrasi yang bersifat
filosofis sampai dengan hal-hal yang menyangkut teknis penyelenggaraan,
seperti pendaftaran pemilih dan pencalonan. Studi tersebut disertai pula dengan
telaah akademik mengenai dasardasar pelaksanaan pemerintahan dan melakukan
komparasi dengan praktek pemerintahan daerah di negara lain.
Setiap event demokrasi langsung baik Pemilihan Presiden, Pemilihan
Kepala Daerah, maupun Pemilihan Legislatif di sejumlah wilayah ditandai
dengan kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign) oleh kandidat. Masing-masing kandidat bukan hanya menonjolkan diri sendiri tetapi juga membuat citra negatif kandidat lawan. Kampanye negatif
ini ada yang dilakukan secara terang-terangan lewat kampanye terbuka, tetapi
ada juga yang dilakukan secara tersembunyi misalnya melalui selebaran atau
percakapan dari mulut ke mulut.
Kampanye negatif akhir-akhir ini kian populer dalam kosa kata politik di
Indonesia. Kendati demikian pemahaman terhadap makna kampanye negatif
nampak belum dilakukan secara maksimal selama masa demokrasi langsung
pasca reformasi. Pertama, terkait pemahaman terhadap makna kampanye negatif.
Baik publik, birokrasi, elit politik maupun para pelaku politik seringkali belum
mampu memahami apa makna dari kampanye negatif yang sebenarnya.
kampanye hitam. Kedua istilah ini mirip tetapi pada dasarnya berbeda, tentu saja
memiliki makna dan implikasi yang berbeda dalam perilaku dan budaya politik.
Kedua, terkait dengan studi terhadap fenomena kampanye negatif juga nampak
belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa kajian yang berkembang dalam
ilmu komunikasi politik selama ini nampak hanya sebatas melakukan analisis
terhadap strategi dan taktik kampanye baik dalam Pilkada maupun Pemilu
Presiden. Kampanye politik cenderung hanya dilihat sebagai salah satu
instrument dalam kontestasi politik. Sedangkan studi yang fokus pada
pembahasan kampanye negatif masih cenderung absen dalam bidang kajian ilmu
politik maupun ilmu komunikasi politik.
The American Heritage Dictionary of the English Language
mendefinisikan kampanye negatif (negative campaign) sebagai sebuah kampanye
yang berisi : “a statement or act indicating or expressing a contradiction, denial,
or refusal”; a statement or act that is highly critical of another or of others.
Kampanye negatif dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kampanye politik yang
mengekspresikan, memuat atau di dalamnya terdapat negasi, atau penyangkalan
terhadap kebenaran fakta.1 Cleveland Ferguson mendifinisikan kampanye negatif
sebagai kampanye politik yang dilakukan oleh masing-masing kandidat dan
partai politik untuk mendapatkan keuntuntungan dengan cara memberikan
referensi atau mengalamatkan aspek-aspek negatif dari competitor baik kandidat
1
maupun partai. Aspek-aspek negative tersebut dapat berupa atribut, isu, atau
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan public. Aspek-aspek
negatif tersebut disampaikan dengan cara yang beragam, mulai dengan membuat
logika, hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih.
Fenomena dilapangan yang seringkali berkembang, kampanye negatif diwarnai
dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif seringkali terus digunakan
untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif
seringkali dilakukan dengan mengkobinasikan jaringan dan teknik dari
kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik
kepada lawan.2
Beberapa Pilkada di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan
Maluku Utara marak dengan menunjukkan informasi negatif mengenai calon
(misalnya dugaan korupsi, penghinaan agama, sejarah masa lalu dan sebagainya)
sangat menentukan preferensi pemilih pada calon. Mereka yang percaya dengan
informasi negatif mengenai calon, cenderung untuk tidak memilih calon tersebut
dalam Pilkada. Sebaliknya mereka yang tidak mempercayai informasi negatif itu,
cenderung untuk tetap memilih calon. Hal ini menunjukkan gambaran pemilih
yang pasif, statis dan tidak rasional, tidak selamanya benar. Pemilih ternyata
memeriksa isu-su yang ada di seputar kandidat. Kepercayaan mereka terhadap
2
isu-isu itu sedikit banyak menentukan kandidat yang akan dipilih. Akan tetapi,
besar kecilnya dampak dari informasi negatif calon itu sangat ditentukan oleh
seberapa banyak orang yang tahu (pernah mendengar) mengenai informasi
negatif. Jika informasi negatif mengenai calon itu hanya dikenal oleh sedikit
pemilih, informasi itu hanya informasi elitis yang juga hanya berdampak pada
sedikit pemilih saja.3
Cleveland Ferguson berpendapat bahwa iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) telah lama berkembang dalam tradisi demokrasi di Amerika sejak masa kemenangan John Adams terhadap Thomas Jefferson dalam
Pemilu presiden Amerika tahun 1796. Ada beberapa definisi yang berkembang
terkait dengan iklan kampanye negatif. Namun dari beragam definisi yang ada,
nampak belum ada kesepakatan yang tetap tentang makna dari iklan kampanye
negatif. Yang menjadi kesamaan dari kecenderungan definisi dari iklan
kampanye negatif yang muncul adalah kesamaan tujuan yang ingin dicapai, yaitu
meningkatkan pengaruh dan tingkat dukungan dalam arena pemilihan. Beberapa
definisi tentang iklan kampanye negatif (negative campaign advertising)
misalnya dikemukakan oleh Terry Cooper. Ia mendefinisikan iklan kampanye
negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat
persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan berbagai
kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.4
3 Terry Cooper, “Negative Image”, Campaigns & Elections, September 1991, hal. 21 4
Fenomena menarik dalam proses Pemilukada Tangerang Selatan, dari
aspek strategi komunikasi para kandidat. Pemilihan Langsung Walikota
Tangerang Selatan (Tangsel) yang berjalan dua putaran, pada 13 November
2010 dan 27 Februari 2011, telah meninggalkan fenomena menarik. Tidak hanya
dari sudut kalkulasi kekuatan politik serta konstelasinya, tetapi juga aspek
komunikasi yang merupakan bagian penting dari proses Pilkada tersebut. Pilkada
yang diikuti oleh empat pasangan calon Yayat – Norodom, Rodhiyah –
Sulaeman, Arsyid – Andre, dan Airin – Benyamin tersebut, masing-masing
memiliki gaya kampanye (campaign) yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh
latar belakang si calon, pengalaman, sumber daya, serta strategi kampanye.
Sengketa hasil pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah menjadi
wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula merupakan kewenangan
Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
memasukkan pilkada dalam pengertian “pemilu”. Didalan pasal 24C UUD 1945
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus
perselisihan hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian
“pemilu”, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, penanganan Hasil pemilihan umum Daerah dialihkan dari
Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
2011, melalui Keputusan KPU Kota Tangerang Selatan Nomor 44/Kpts/KPU
Tangerang Selatan/XI/2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan
Wakil Walikota Terpilih dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota
Tangerang Selatan Tahun 2011, memutuskan :
1. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang
Selatan dengan Nomor urut 1 atas nama Drs. Yayat Sudrajat, MM,M.Si. dan
H. Moch Norodom Sukarno, S.ip memperoleh sejumlah 22.640 suara
2. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang
Selatan dengan Nomor urut 2 atas nama Hj.Rodhiyah Nasibah,S.Pd dan H.E
Sulaiman Yasin memperoleh sejumlah 7518 suara
3. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang
Selatan dengan Nomor urut 3 atas nama Drs. Arsid, M.Si. dan Andreas
Taulany memperoleh sejumlah 187.778 suara
4. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang
Selatan dengan Nomor urut 4 atas nama Hj. Airin Rachmy Diani,SH.MH dan
Drs.H. Benyamin Davnie memperoleh sejumlah 188.893 suara
Terhadap putusan KPUD tersebut di atas, pasangan calon nomor urut 1
dan nomor urut 3 mengajukan permohonan keberatan. Dalam putusannya, MK
mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak
mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan tersebut. Pemohonan
yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan. Selain itu MK juga
menarik dari putusan ini ialah terkait objek yang diperkarakan berupa
pelanggaran yang bukan merupakan hasil dari pemilihan umum dan putusan
untuk melaksanakan pemungutan suara ulang. Dalam hal ini MK mendasarkan
pada yurisprudensinya yang telah dibangun dalam memberikan pandangan
hukumnya. Putusan MK ini menarik untuk dianalisis karena telah kesekian
kalinya MK dapat mengesampingkan aturan formalnya. Proses beracara dalam
perkara ini dapat dianalisis dalam perspektif hukum acara MK.
Maka penulis mencoba melihat prespektif politik dalam lingkup
kecamatan Serpong. Kecamatan Serpong merupakan suatu kawasan sub urban
pingiran Jakarta yang masyarakatnya heterogen dan multi etnis di mana infra
struktur politiknya sudah terbentuk secara matang dan tingkat kesadarannya
cukup tinggi.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kampanye
negatif, sehinga penulis tertarik untuk menulis tugas akhir dengan judul
“Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
a. Bagaiman pengaruh masyarakat terhadap Kampanye Negatif yang terjadi
di Tangerang Selatan ?
Selatan?
c. Metode apasajakah yang diterapakan pada saat terjadi kampanye negatif
di Tangerang Selatan?
d. Bagaimana pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?
e. Bagaiman Proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?
2. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan
ini dibatasi pada:
a. Kampanye negatif sebagai informasi negatif mengenai kandidat
b. Sejauh mana pemilih mendengar dan percaya akan berbagai informasi
negatif mengenai calon tersebut. Bagaimana pemilih menggunakan
informasi negatif itu sebagai dasar untuk memilih kandidat dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan 2011.
3. Perumusan Masalah
Tulisan ini akan menyoroti sejauh mana Kampanye Negatif itu
diketahui oleh pemilih pada umumnya, maka rumusan permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah (pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?
(pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya :
1. Untuk mengetahui pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) Tanerang Selatan (Tangsel) 2011.
2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai barikut :
1. Berdasarkan pendekatan political science diharapkan dapat memperkaya penelitian di bidang politik khususnya pada Kampanye Negatif di Tangerang
Selatan.
2. Kegunaan praktis dari penelitian kuantitatif ini untuk memberi informasi,
masukan dan pertimbangan bagi stake holder untuk memahami persoalan-persoalan politik.
3. Diharapkan dapat mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kampanye negatif daerah Tangerang Selatan terutama dengan pendekatan
religio-politik yang jarang dilakukan.
4. Diharapkan dapat mengungkap fenomena kampanye negatif di Tangerang
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu metode untuk
memahami fenomena sosial yang diteliti. Data yang diperoleh berupa data
sistematis, faktual, dan akurat. Serta menunjukkan data yang otentik.5
2. Teknik Pengumpulan Data
Metode penghimpunan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah
dengan menggunakan:
Studi Dokumentasi. Penulis mengumpulkan data-data yang akan
digunakan untuk memperkaya skripsi diantaranya adalah bersumber dari
buku, jurnal, dokumen hasil penelitian, literatur-literatur lain berupa, media
elektronik.
3. Teknik Analisis Data.
Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif.6
Analisis deskriptif adalah untuk memperoleh gambaran tentang uraian dan
informasi tentang Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011. Dengan kata
lain analisis deskriptif7 adalah analisis untuk memperoleh gambaran secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta informasi tentang
Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
5 Soerjono Soekamto dan Sri Mujdi, “Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat”,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo 2006), hal. 24.
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Reserch dan Development, Bandung, Alfabeta, 2007, Cet. Ketiga, h. 8-9
7
(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelitian ini, penulis berupaya untuk mencari
berbagai informasi dan tinjauan pustaka yang mendukung penelitian ini. Berikut
paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya peneliti tersebut :
Clevelland Ferguson, 2000 dalam The Politics of Ethic and Election, Can Negativ, menjelaskan bahwa politik untuk mendapat keuntungan dengan cara memberikan refrensi atau menyelamatkan aspek-aspek negatif dari compotitor
baik kandidat maupun partai melalui kampanye negatif. Aspek-aspek negatif
tersbebut, dapat berupa atribut, isu atau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan
kepentingan publik. Aspek-aspek negatif tersebut disampaikan dengan cara yang
beragam mulai dengan membuat logika pembeda (contrast), hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan
harapan mendapatkan keuntungan politik lebih. Fenomena di lapangan yang
sering kali berkembang, kampanye negatif diwarnai dengan cara-cara dan trik
yang kotor. Isu-isu negatif sering kali digunakan untuk mengundang daya tarik
publikasi media. Bahkan kampanye negatif sering kali dilakukan dengan
mengombinasikan jaringan dan teknik dari kelompok-kelompok lobbying untuk
melakukan serangan-serangan politik kepada lawan.8
8
Terry Cooper mndefinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian
iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat persuasif untuk menyerang
kekuatan lawan dengan menunjukan berbagai kelemahannya berdasarkan data
dan fakta yang ada.9 Sedangkan Gina M. Garrmone mendefinisikan kampanye
iklan negatif merupakan iklan politik yang berisi hal-hal yang bersifat menyerang
(attacks) kepada personalitas kandidat lainnya atau partai politik dari kandidat tertentu dengan menggunakan isu tertentu.10
Bill Huey mendefinisikan iklan kampanye negatif sebagai sebuah iklan
politik yang berisi segala sesuatu yang memuat informasi negatif untuk
melemahkan kekuatan kandidat atau partai politik lainnya yang menjadi
kompetitor.11
Data-data yang diperoleh di lapangan akan menjadi data primer dalam
penulisan skripsi ini. Di samping itu, dalam penulisan ini penulis juga memuat
tulisan-tulisan artikel dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan sebagai
data sekunder dan penunjang yang mendukung dalam fokus pembahasan yang
dipilih. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada judul skripsi yang khusus
mengkaji tentang Pengaruh Pemilihan Umum Kepala Daerah Respon Tangerang
Selatan terhadap Fakta Kampanye Negatif Dalam Pilkada 2011 yang dibahas
rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum jurusan Siyasah
9
Terry Cooper, Negative Image, Campaigns and Elections, 1991, h. 21.
10
Gina M. Garrmone, Voter Respons to Negative political ADS, Jurnalism Quarterly, 1984, h. 251-253.
11 Bill Huey, Where’s The Beef, Cam
Syar‟iyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu penulis tertarik
mengungkap dan mendeskrisikan Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan 2011.
F. Sistematika Penulisan
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penelitian.
BAB II Menjelaskan konsep dasar atau teori Kampanye Negatif, Konsep Kampanye Negatif politik di negara demokrasi, Bentuk-bentuk Kampanye Negatif,
Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum.
BAB III Menguraikan tinjauan Yuridis Pemilihan Umum Kepala Daerah di Tangerang Selatan.
BAB IV Berusaha menganalisis permasalahan terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah, faktor yang Mempengaruhi Terhadap Kampanye Negatif Tangerang
Selatan.
BAB V Penutup akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang telah dituangkan dalam bab-bab sebelumnya dan mengajukan saran atau rekomendasi
15
A. Definisi Kampanye Negatif
Dalam terminology politik dan pemilu, ada yang disebut sebagai
kampanye hitam atau black campaign. Istilah ini bukan berarti kampanye yang dilakukan malam hari, atau kampanye yang dilakukan oleh orang berkulit hitam.
Black Campaign, memang istilah “prokem” atau istilah serapan dari bahasa asing
(Inggris). Sebelum kita mengetahui apa definisi dari istilah black campaign atau
kampanye hitam, secara sistematis kita harus mengetahui dahulu apa arti dari
kampanye.
Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang disebut sebagai kampanye
adalah: kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan
menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Jadi berdasarkan pada
definisi diatas, kampanye dalam perhelatan pemilu, apapun bentuk pemilu itu
(Pemilu DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wapres, Bupati, Walikota, Kepala Desa,
dan pemilihan lain dalam konteks pemberian suara oleh masyarakat), harus
dilakukan dengan cara yang lurus, bersih dan terang.1
1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum,
Artinya, kampanye adalah sebuah propose to something. Kampanye adalah suatu perilaku dari seorang calon atau dari orang-orang atau partai atau
kelompok yang mendukungnya, untuk meyakinkan orang-orang agar mau
memilihnya, dengan menunjukkan dan menawarkan atau menjanjikan apa yang
akan diperbuat, apa yang akan dilakukan, apa yang akan diperjuangkan, apabila
orang-orang memilih calon tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
definisi kampanye menurut Undang-Undang 1 angka 26 Undang-Undang Nomor
10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sebuah
definisi yang positif.
Kampanye Negatif merupakan salah satu fenomena politik yang
seringkali muncul dalam berbagai peristiwa Pemilu di berbagai negara
demokrasi. Bahkan hampir dipastikan kontestasi Pemilu dalam sistem yang
demokrasi tidak lepas dari munculnya kampanye politik negatif. Oleh karena itu,
fenomena kampanye politik negatif dianggap menjadi perhatian utama dari
banyak kalangan. Sebab, kampanye politik negatif dalam hal ini berkembang
tidak hanya pada arena panggung kampanye formal yang ditetapkan oleh
lembaga penyelenggara pemilu, namun juga dalam keseluruhan peristiwa
Pemilu yang sedang berlangsung. Kampanye negatif di sini dapat berlangsung
dalam media Televisi baik melalui pemberitaan dan iklan maupun di luar media
Kampanye negative dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kampanye
politik yang mengekspresikan, memuat atau di dalamnya terdapat negasi, atau
penyangkalan terhadap kebenaran fakta.2 Cleveland Ferguson mendefinisikan
kampanye negatif sebagai kampanye politik yang dilakukan oleh masing- masing
kandidat dan partai politik untuk mendapatkan keuntuntungan dengan cara
memberikan referensi atau mengalamatkan aspek-aspek negatif dari competitor
baik kandidat maupun partai.
Aspek-aspek negatif tersebut dapat berupa atribut, isu, atau
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. Aspek-aspek negatif tersebut
disampaikan dengan cara yang beragam, mulai dengan membuat logika pembeda
(contrast), hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih.
Fenomena di lapangan yang seringkali berkembang, kampanye negatif diwarnai
dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif seringkali terus digunakan
untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif
seringkali dilakukan dengan mengkobinasikan jaringan dan teknik dari
kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik
kepada lawan.3
2
Lihat The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition, 2000
3
Cleveland Ferguson berpendapat bahwa iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) telah lama berkembang dalam tradisi demokrasi di Amerika sejak masa kemenangan John Adams terhadap Thomas Jefferson dalam
Pemilu presiden Amerika tahun 1796. Ada beberapa definisi yang berkembang
terkait dengan iklan kampanye negatif. Namun dari beragam definisi yang ada,
nampak belum ada kesepakatan yang tetap tentang makna dari iklan kampanye
negatif. Yang menjadi kesamaan dari kecenderungan definisi dari iklan
kampanye negatif yang muncul adalah kesamaan tujuan yang ingin dicapai, yaitu
meningkatkan pengaruh dan tingkat dukungan dalam arena pemilihan.
Beberapa definisi tentang iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) misalnya dikemukakan oleh Terry Cooper. Ia mendeinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang
bersifat persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan
berbagai kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.4 Sedangkan Gina
M. Garromone mendiinisikan kampanye iklan negatif merupakan iklan politik
yang berisi hal-hal yang bersifat menyerang (attacks) kepada personalitas kandidat lainnya atau partai politik dari kandidat tertentu dengan menggunakan
isu tertentu.5 Bill Huey mendeinisikan iklan kampanye negatif sebagai sebuah
iklan politik yang berisi segala sesuatu yang memuat informasi negatif (negative
4 Terry Cooper, “Negative Image”, Campaigns & Elections, September 1991, hal. 21
5 Gina M. Garromone, “Voter Response to Negative Political Ads”, Journalism Quarterly,
information) untuk melemahkan kekuatan kandidat atau partai politik lainnya yang menjadi kompetitor.6 Pakar lainnya, seperti Adam Goodman mendeisikan
iklan kampanye negative sebagai sebuah iklan yang menggunakan metode pesan
kampanye yang berisi pembeda (contrasting) terhadap kandidat dan parpol yang menjadi kompetitor dengan menggunakan pendekatan yang membangkitkan
aspek-aspek emosi pemilih.7 Sedangkan Sharyne Merritt mendefinisikan iklan
kampanye negatif adalah iklan politik yang memuat pesan-pesan politik yang
dianggap mampu mendegradasi persepsi publik terhadap kandidat dan partai
politik yang menjadi lawannya.8
Di Indonesia, adanya kampanye negatif termasuk iklan kampanye negatif
dianggap akan meningkatkan rasionalitas pemilih berhadapan dengan elite
politik. Kampanye negatif merupakan sarana efektif untuk menggeser paradigma
masyarakat pemilih dalam kehidupan politik, yakni dari tendensi emosional
menuju rasionalitas pemilih. Bangkitnya rasionalitas pemilih ditandai dengan
semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa kandidat yang layak untuk
menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan penilaian visi dan misi,
integritas kandidat, kualitas individu dan programnya, bukan pilihan-pilihan
karena satu agama, satu suku, satu keluarga, dan satu kelompok. Melalui
6 Bill Huey, “Where‟s the Beef?”,
Campaigns & Elections, Juni 1995, hal. 67.
7 Adam Goodman, “Going Negative! Producing TV: A Survival Guide”, Campaigns and
Elections, Juli 1995, hal. 22.
8 Sharyne Merritt, “Negative Political Advertising: Some Empirical Findings”, Journal of
kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit para politikus korup yang selama ini
memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari arena politik.9
Cleveland Ferguson membagi kampanye iklan (NegateNegatif Campaign Advertising) melalui media massa dalam tiga jenis. Pertama, Fair Negative Campaign Advertising. Kedua, False Negative Campaign Advertising Ketiga,
Deceptive Negative Campaign Ddvertising. Pola pemilihan tema dan isi dari iklan kampanye negatif seringkali menggunakan salah satu atau beberapa strategi
Pertama, Reinforcement Strategy. Kedua, Rationalization Strategy. Ketiga,
Inducement Strategy. Keempat Confrontazion Strategy.10
Pilihan-pilihan strategi dalam menjalankan kampanye negatif juga terus
mengalami modiikasi yang luar biasa karena kreatiitas masing-masing politisi
dan konsultan politiknya. Di luar itu semua, teknik, metode dan strateg
penggunaan kampanye negatif saat ini terus berkembang dengan pesar di
berbagai negara demokrasi. Adakalanya kampanye negatif atau negative political
advertising dapa dilakukan dengan cara dan tujuan yang etis dan positif, sesuai
dengan derajat rasionalitas dan budaya politik masyarakat. Namun banyak juga
yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak etis dan negatif.
Kampanye Politik, Negative Campaign, dan Black Campaign. Dalam
arena Pemilu, baik kandidat maupun partai politik setidaknya dapat melakukan
9 Adnan Topan Husodo, “Politisasi Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah”, Koran Tempo,
23 Februari 2005.
10
tiga cara dalam proses kampanye politik.11 Pertama, dengan pola Public Relations, yaitu dengan serangkaian teknik dan metode Public Relations melalui daya dukung industri media masa cetak dan elektronik. Kedua, Personal Contact,
yaitu melalui sejumlah kontak personal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan
berbagai pertemuan langsung dalam kampanye politik, safari politik dan kegiatan
interaksi langsung lainnya dengan pemilih. Ketiga, Advertisements, yaitu dengan menggunakan sejumlah iklan-iklan politik baik iklan politik dalam media massa
cetak dan elektronik maupun iklan media ruang.
B. Makna Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Negara Demokrasi
Dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.12 Didalam Pasal 84 tersebut
terdapat larangan terhadap kampanye pemilu yang tidak boleh dilakukan adalah:
1. Kampanye tidak boleh mempersoalkan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
2. Kampanye tidak boleh dilakukan yang membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
11 Gunter Schweiger dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political
Parties”, dalam Bruce I Newman (eds), Handbook of Political Markerting, London, Sage Publications, hal. 355.
12 Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning”
3. Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras,
suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain.
4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
5. Mengganggu ketertiban umum.
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan
kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain.
7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye Peserta Pemilu.
8. Menggunakan fasilitas pemerintah,tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari
tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan.
10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
kampanye.
Kesepuluh larangan kampanye tersebut itulah yang bisa dikategorikan
sebagai kampanye negatif. Larangan kampanye yang pertama dan kedua adalah
karena hal tersebut adalah bentuk kampanye yang inskonstitusional atau
melanggar UUD 1945. Larangan kampanye yang ketiga dan keempat inilah yang
disebut sebagai black campaign. Larangan kampanye yang kelima, keenam dan ketujuh adalah karena hal tersebut adalah bentuk kampanye yang anarkhis dan
chaos atau yang rawan menimbulkan huru hara dan kerusuhan. Larangan kampanye yang kedelapan dan kesembilan adalah karena hal tersebut adalah
karena hal tersebut adalah bentuk kampanye money politics atau kampanye
menggunakan kekuasaan uang.
Sehingga berdasarkan pada definisi Pasal 1 angka 26 dan Pasal 84
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, yang dimaksud black campaign adalah suatu model atau perilaku
atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu
domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang
calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon
terhadap lawan atau calon lainnya.
Kampanye terbuka untuk pemilu presiden baru dimulai 12 Juni 2009.
Namun, perang kata-kata dan wacana di antara para kandidat dengan tim
kampanyenya sudah dimulai berminggu- minggu lalu. Kampanye damai, etis,
santun, dan tidak saling menyerang cuma ilusi? Nyatanya, ajakan untuk beretika
dalam berpolitik selalu saja dibarengi dengan serangan-serangan terhadap para
pesaing. Bahkan, ajakan tersebut merupakan bentuk serangan juga karena ada
pesan implisit di baliknya yang ingin menunjukkan bahwa lawan politik tidak
mengenal etika dan kesantunan dalam berpolitik. Ajakan ini sudah menjadi
semacam mekanisme defensif dari para kandidat yang ”diserang”.
Di satu sisi, memang rakyat menginginkan kampanye damai dan bebas
dari kekerasan. Di sisi lain, rakyat juga membutuhkan dan menginginkan
bijak pada hari pencontrengan. Kampanye yang sekadar damai adalah kampanye
yang jauh dari memuaskan. Kampanye perlu disertai dengan keterbukaan dan
kejujuran sehingga kampanye dapat menjadi bentuk pendidikan politik untuk
rakyat.13
Kritik terbuka terhadap pesaing sering kali divonis sebagai bentuk
kampanye negatif dan kampanye negatif sering kali diidentikkan dengan sesuatu
yang buruk. Sulit dilupakan ketika salah seorang calon presiden setelah
”diserang” oleh pesaingnya mengatakan bahwa tidaklah elok menjelek-jelekkan,
tidaklah baik dan santun di mata rakyat. Tunggu dulu. Justru kampanye yang
melulu serba positif dapat menyebabkan pembodohan publik karena memberikan
gambaran realitas yang tidak lengkap.
Kenyataannya, kampanye negatif tidaklah selalu buruk. Bahkan
kampanye negatif justru bisa dilihat sebagai bentuk pendidikan politik. Sangat
salah kaprah jika kita menolak habis kampanye negatif, padahal lewat kampanye
negatif rakyat bisa mengenal lebih jauh para kandidat yang berkompetisi. Kita
semua ingin rakyat menentukan pilihannya pada hari pemilu bukan berdasarkan
janji dan klaim sepihak. Tapi kita ingin rakyat memilih pemimpinnya untuk lima
tahun mendatang dengan pengetahuan dan informasi yang
selengkap-lengkapnya. Sayangnya, memang dalam demokrasi, meski ada kebebasan media
yang relatif cukup baik, informasi masih relatif mahal dan tidak mudah diakses
13
oleh kebanyakan rakyat jelata. Informasi yang tersedia, apalagi dalam musim
kampanye, kebanyakan datang dari para elite politik yang bertarung.
Jika kampanye serba normatif dan serba positif, akan sangat sulit bagi
rakyat untuk mengenal para kandidatnya secara lengkap, mengingat informasi
yang tersedia hanya yang baik-baik. Kampanye negatif memberikan kesempatan
bagi rakyat untuk memperoleh informasi tentang para kandidat yang lebih
lengkap. Paling tidak, ada penyeimbang terhadap wacana maupun informasi
sepihak yang serba baik dan positif seorang calon.
Inilah indahnya demokrasi. Dalam demokrasi ada persaingan antarelite
dan dalam persaingan antarelite inilah rakyat dapat meraup keuntungan yang
optimal. Ketika ada kampanye negatif yang dilakukan para elite terhadap
pesaingnya, rakyat sebagai pemilih dapat melihat sisi negatif para kandidat.
Dengan kata lain, adanya kampanye negatif merupakan kesempatan bagi rakyat
sebagai pemilih untuk bukan hanya tahu keunggulan dan keberhasilan para
kandidat, tetapi juga kelemahan dan kegagalan mereka.
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak para calon kandidat untuk
memfitnah. Fitnah penuh dengan ketidakjujuran. Justru tulisan ini mengajak para
kandidat untuk berkampanye secara jujur dan terbuka agar kampanye tidak hanya
menjadi kesempatan tebar pesona, tapi juga kesempatan untuk mendidik rakyat.
Sepertinya perlu ada redefinisi kampanye negatif. Kampanye negatif
kampanye yang semata menunjukkan kelemahan lawan politik. Tentu ini sah-sah
saja dalam berdemokrasi dan berkompetisi.
Para kandidat dan tim kampanyenya hendaknya memaknai etika dan
kesantunan politik secara lebih substansial dan mendalam, bukan sekadar wacana
indah yang semu. Memang ada yang aneh dengan standar kesantunan dan etika
kita. Sebenarnya kesantunan dan etika yang sejati adalah kejujuran dan
keterbukaan, terhadap lawan maupun terhadap rakyat. Kesantunan dan etika
politik yang sejati adalah ketika para elite politik yang bersaing dapat berjabat
tangan serta bekerja sama membangun bangsa setelah bersaing dalam pemilu dan
saling mengkritik secara jujur dan terbuka.
C. Dinamika Transformasi Politik di Indonesia
Perilaku elit yang berorientasi kepada kekuasaan subyektif
mengakibatkan setelah lebih satu dasa warsa transformasi politik, masyarakat
belum banyak mencapai kemajuan. Pada hal bangsa Indonesia memiliki semua
persyaratan untuk berhasil.14 Selama lebih dari satu dekade bangsa Indonesia
telah mengalami suatu proses perubahan politik yang sangatsubtansial. Suatu
perubahan politik dari sistem otoritarian ke demokrasi yang kalau dilihat dari
tingkat akselerasi perubahan dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi
demokrasi. Sebuah peristiwa yang bisa disebut contradictio in terminis, karena
demokrasi tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Sementara itu bangsa
14
Indonesia dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi perubahan yang luar
biasa, mulai dari perubahan UUD 1945, pemilihan presiden secara langsung,
dibentuknya parlemen bikameral, pembentukan Mahkamah Konstitusi, pemilihan
kepala daerah langsung, dan lain sebagainya. Karakter revolusioner itulah yang
menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat menyusun konstitusi yang sempurna
serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang
struktur kekuasaan demokrasi yang masih sangat muda. Oleh karena itu wajah
perpolitikan di Indonesia selama lebih satu dasa warsa sepuluh tahun sarat
dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa, mempertahankanm
kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. Kiblat politik yang sangat
didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan arti politik sebagai
perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik
didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan
intrik dan kompromi politik yang pragmatis dan oportunistik, politik uang, tebar
pesona dan janji-jani sebagai alat merayu dukungan, perselingkuhan politik dan
segala bentuk serta manifestasi keserakahan mengejar kenikmatan kekuasan. Bila
disalahgunakan hal itu dapat menimbulkan konflik kekerasan, ataupun perang
saudara yang sangat kejam.15
Selain beberapa faktor obyektif diatas, aspek utama yang menyebabkan
transisi politik seakan–akan berjalan tanpa arah disebabkan pula oleh karena para
elit politik tidak memahami konsep-konsep dasar politik dan tata negara untuk
15Gunter Schweiger dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political
menyusun tatatan kehidupan demokrasi kedepan. Sebagian besar elit lebih
mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar
mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan memahami
konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia
sebagai negara kesatuan dan hubungan dengan desetralisasi atau otonomi daerah.
Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan
dipertahankan, maka prinsipprinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan
pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang
penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan ke daerah
berasal dari pemerintah pusat.16 Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat
mengemban kewenangan yang diberikan maka tidak dapat dilaksanakan secara
bertanggungjawab atau terjadi krisis pemerintahan daerah, pemerintahan pusat
harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut.
Pemicu krisis di daerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan
kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon
independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik.
Asimetris hubungan kekuasaan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi
potensi konflik didaerah yang berlarut-larut.
Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan
daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan
yang jelas, supervisi, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup. Tetapi
16
karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten,
banyak sekali terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang
berlarur larut. Misalnya, mengenai Penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja (APBD).
Dalam mengantisipasi krisis, pemerintahan mungkin dapat mengambil
pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal,
namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan
parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.17 Namun kewenangan
tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi
harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat
mengatasi masalah tersebut. Kedua,Presiden harus harus mendapatkan
persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan gubernur.
Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan
judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung
menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah (state) dapat
berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar
presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang
kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak
dan tetap dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat
berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif.
17
Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka
peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk
mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem
kepartaian yang multi partai.
Makna penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik
dilakukan dengan sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam
skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan
untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik
komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan
primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu
banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan
apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan umum di Indonesia. Salah satunya
adalah tajuk majalah The Ecomomist, tahun 2004.18
Naskah akademik ini ingin meletakkan RUU Pilkada dalam konteks
makor politik dan perspektif politik politik Indonesia kedepan. Oleh sebab itu agenda perubahan sistem politik harus dilakukan pada tataran yang sangat
18
mendasar, yaitu amandemen Konstitusi yang kelima. Agar amandemen tidak
dilakukan secara parsial maka sangat diperlukan proses yang disepakati bersama
baik mengenai jadwal maupun substasi sehingnga akamendemen kelima menjadi
amandemen yang dapat memperbaiki UUD 1945 secara komprehensif. Oleh
sebab itu selain amandemen juga harus dilakukan berdasarkan paradigm yang
jelas, harus dilakukan pula prinsip-prinsip konstitusionalisme, antara lain sebagai
berikut : (1) pembatasan wilayah kekuasaan negara, (2) pengaturan
cabang-cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia,
(4) prinsip-prinsip terkondiskannya suhu politik yang demokratis, (5)
independensi lembaga peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip
desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi serta (9)
partisipasi/pelibatan masyarakat. Bebagai prinsip atau paradima tersebut harus
dijabarkan lebih rinci melalui perdebatan yang mendalam, jernih dan
komprehensif agar pasalpasal yang dituangkan dalam UUD yang baru.19
Sementara itu prosedur amandemen merupakan hal yang penting pula
karena dimaksudkan agar proses amandemen tersebut dapat menghasilkan suatu
kualitas perobahan sesuai dengan kehendak masyarakat. Beberapa tahapan yang
mungkin dapat dipertimbangkan sebagai berikut: Pertama, MPR menetapkan
Komisi Reformasi konstitusi yang yang bersifat independen dan diberi tugas
untuk menyusun draft konstitusi dalam jangka waktu tertentu. Kedua,
keanggotaan Komisi terdiri dari berbagai tokoh yang mempunyai berbagai
19
keahlian terutama ahli tata negara, ilmu politik, pemerintahan, administrasi dan
ahli perumus (drafting) konstitusi serta perwakilan dari tokoh-tokoh di daerah.
Tugas masing-masing anggota Komisi dari provinsi adalah menampung aspirasi
daerah mengenai hal-hal yang ingin dimasukkan dalam konstitusi, dan
memperdebatkan rancangan konstitusi. Ketiga, sebelum menyusun rancangan
Komisi terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan mendasar
sesuai dengan paradigma yang telah disetujui bersama. Keempat, setelah Komisi
berhasil menyusun draft konstitusi, konstitusi tersebut disosialisasikan dan
masyarakat diberikan kesempatan untuk memperdebatkan rancangan konstitusi.
Kelima, hasil perdebatan masyarakat tersebut kemudian diakomodasi dalam
rancangan konstitusi. Keenam, Komisi Konstitusi melaporkan hasil kerja draft
final konstitusi kepada MPR. Oleh sebab itu kalau situasi sudah lebih
memungkinkan, amandeman perlu dilakukan, namun tidak hanya melayani
kepentingan parsial dan sesaat.
Namun diatas semua itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
bangsa Indonesia segera mulai juga membangun kultur politik yang demokratis.
Bagaimana kesetaraan, pluralisme, toleransi menjadi bagian dari proses
pendidikan politik rakyat yang mulai diajarkan sedini mukin terhadap generasi
muda Indonesia. Akhirnya, menyusun konstitusi yang ideal (meskipun penting)
hanya merupakan satu bagian (meskipun penting) dari serangkaian agenda dan
proses mewujudkan sistem politik yang kompleks dan rumit, tatanan dan tertib
Sementara itu partai politik sebagai pilar demokrasi juga harus dilakukan
reformasi. Pertama-tama adalah dengan melakukan pengakaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang
kapabel, akuntabel, mempunyai komitmen, kepakaan serta ketrampilan
menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai
sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan
lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan
melakukan kaderisasai dan pendidikan poltik secara reguler maka kapasitas
partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan
pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dll juga
akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai
akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang
kredibel.
Kedua, mendorong kepemimpinan partai yang demokratis dengan melakukan seleksi kepemimpinan partai yang demokratis serta menegaskan
kedaulatan anggota dan desentralisai kewenangan pengurus partai ditingkat pusat
kedaerah sebagai upaya meningkatkan demokratisasi internal.
Ketiga, memperkuat basis dan struktur kepartaian, memperkuat basis dan struktur partai, termasuk menyertakan 30% perempuan. Basis sosial yang jelas
dan berakar pada masyarakat akan menjadikan partai lebih kuat, melembaga
sehingga akan memermudah menyerap aspirasi masyarakat. Basis dan struktur
ideolog kebijakan yang akan menjadi discourse dari partai politik. Perdebatan
publik tidak lagi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keungguluan identitas
primordial tetapi mengenai dasar-dasar kebijakan yang ditujukan utnuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partaipartai yang gagal mendapatkan Electoral Thershold (ET) di dtingjkat local berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan.
Kelima, mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen.
Keenam, larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu untuk mencegah konflik kepentingan (conflict of
interest) dari pejabat yang bersangkutan. Konsekwensinya akan lebih besar lagi
kalau birokrasi kemudian menjadi ajang pertarungan politik dari partai politik.
Birokrasi yang berfungsi sebagai pelayan publik, akan menjadi sekedar intrumen
partai politik.
Sejalan dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif, selain
pembenahan partai politik, perlu pula dilakukan beberapa penegasan dalam
prinsip sehingga sistem Pemilu harus semakin mengarah untuk untuk
meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya. Oleh sebab itu
prinsip one person, one vote, one value perlu diterapkan. Secara ideal, prinsip
tersebut harus dilakukan dengan konsekwen, karena kesetaraan diantara warga
pencalonan. Artinya pencalonan dilakukan dengan sistem dari bawah keatas
(bottom-up). Artinya, setiap calon anggota lembaga perwakilan rakyat harus dipilih secara demokratis dan terbuka sehingga bobot pengaruh dan kualitas
komitmen para anggota lembaga perwakilan rakyat diharapkan lebih baik bila
dibandingkan dengan pemilihan calon yang dilakukan berdasarkan putusan
pimpinan partainya. Ketiga, mempertegas sistem audit dan pengelolaan danadana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Selama ini tidak ada pengaturan
dana politik yang menyangkut jenis sumbangan, batasan sumbangan, larangan
menerima sumbangan dari sumber tertentu, pencatatan sumbangan, pelaporan,
audit, akuntabilitas publik, dan sangsi apabilan melangggar.
Dalam kaitan tersebut diperlukan penguatan dan penegasan peran
lembaga-lembaga perwakilan, antara lain memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat
dilalakukan dengan merubah lembaga pimpinan MPR permanen menjadi
fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan
kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang
gabungan (joint session) serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945. Sehingga MPR kewenangannya
tidak sebesar sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
saat ini berlaku.
Mencermati perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan
makna bahwa meskipun masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi
ditingkatkan menjadi legitimasi politik yang bermartabat mendesak untuk
dilakukan. Membiarkan demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik
hanya akan memberikan pembenaran bagi yang merasa mendapat mandat rakyat
untuk merusak tatanan demokrasi. Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan
alat legitimasi juga akan mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi
demokrasi kunthet.20 Perpolitikan semacam itu jelas lebih banyak mudaratnya
dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan
sikap dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta
berpolitik yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan
kehidupan bersama yang sejahtera.
20
37
A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah
Ketentuan yang menegaskan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi
terdapat pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Ketentuan
tersebut menentukan syarat demokratis setiap pemilihan kepala daerah. Dengan
demikian, pemilihan kepala daerah dengan cara yang melanggar prinsip-prinsip
demokrasi.
Kata “demokratis” dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut juga harus
dimaknai sebagai demokratisasi tahapan Pilkada secara keseluruhan. Semua
proses Pilkada mulai dari penetapan daftar pemilih, penetapan calon, kampanye,
pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil, bahkan terhadap
perselisihan hasil semestinya dilaksanakan dalam kerangka demokratis yang
diamanatkan oleh konstitusi. Pada proses pembahasan ketentuan ini di MPR
dapat dicermati para pembentuk konstitusi memang sepakat bahwa pemilihan
gubernur, bupati dan walikota dilakukan dengan demokratis, namun juga terdapat
keinginan dari pembentuk kontitusi untuk memberikan kesempatan bagi para
pembentuk undang-undang untuk mengatur pemilihan kepala daerah lebih lanjut
bertentangan dengan prinsip demokratis.1
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa dalam proses pembahasan
perubahan UUD 1945 pilihan-pilihan mekanisme Pilkada juga telah diajukan
oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR, baik pemilihan oleh rakyat secara langsung
maupun pemilihan melalui mekanisme perwakilan oleh DPRD. Namun kedua
mekanisme tersebut, secara eksplisit, tidak menjadi putusan MPR. Dengan
memutuskan “dipilih secara demokratis” maka dimungkinkan pembentuk
undang-undang mempertimbangkan mekanisme yang paling cocok untuk
pemilihan kepala daerah.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor
072/PUU-II/2004 juga dapat diketahui bahwa dalam pelaksanan Pemilu-Kada
“secara demokratis” pembuat undang-undang harus memperhatikan penghargaan
konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antar daerah
yang berbeda-beda, sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.“ Selain mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah,
ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) ini juga memberi pesan bahwa konstitusi
hanya mengamanatkan Pemilihan Kepala Daerah saja tanpa menyebut jabatan
1
wakil kepala daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan untuk
kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan
demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur
jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja gubernur, bupati dan walikota
dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan
mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja
dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Hal lain yang
juga penting untuk ditegaskan kembali dari ketentuan konstitusi mengenai
pemerintahan daerah bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah-daerah, tetap
dalam kerangka implementasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah
Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten,
dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan
Undang-Undang.” Menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
bersifat hirarkhis dan vertikal.2 Seperti juga disebutkan dalam penjelasan UUD
1945 naskah asli “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka
Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat
“staat” juga”.3
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor
072/PUU-II/2004 yang merupakan pengujian terhadap UU No. 32 tahun 2004.
2
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002) hlm. 21
3
Hal di atas perlu ditegaskan untuk mengingatkan bahwa pemerintahan
daerah yang terbentuk hasil Pemilu-Kada langsung betapapun mendapat
legitimasi langsung dari rakyat harus tetap menyadari kedudukannya sebagai
daerah yang merupakan bawahan pemerintah pusat dan harus menjalankan
kebijakan pemerintah pusat.
Agar Pemilu demokratis, regulasi harus mampu menjadi alat yang
menjamin terlaksananya asa-asas Pemilu yang demokratis. (1). Langsung, (2).
Umum, (3). Bebas, (4). Rahasia, (5) Jujur, dan (6). Adil. Sedangkan secara
substantif, harus dijamin asas sebagai berikut : (1). Partisipatif, dan (2).
Kompetitif. Elaborasi berikut mencoba mencermati regulasi Pemilu-Kada
mewujudkan pelaksanaan asas-asas tersebut.
Pemilhan Umum Kepala Daerah merupakan implemetasi konstitusi pasal
18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan
Kota dipilih secara demokratis”.Pada tingkat regulasi yang lebih rendah,
ditungkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Ketentuan pertama mengatur mengenai Pemilu-Kada langsung pasal 24
ayat (5) yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana
langsung, mulai pasal 56 s/d pasal 119. Undang-Undang 32/2004 64 pasal yang
mengatur tentang pemilihan kepala daerah.
Namun beberapa pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan
dengan peraturan yang lain maupun bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Kontroversi itu meliputi pasal-pasal yang dinilai tidak demokratis karena
menghalangi akses partaipartai kecil untuk berpartisipasi dalam Pemilu-Kada.
Akibatnya, muncul aspirasi dari perbagai pihak, misalnya 21 KPUD, organisasi
masyarakat sipil, dan partai politik untuk mengajukan judicial review Undang-Undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. karena dianggap kontradiktif
dengan regulasi lain. judicial review terhadap 5 pasal Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah25;
1. Pasal 57 ayat (1) berbunyi : “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah diselenggarakan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD.”
Keputusan MK KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD, sebab DPRD
terdiri atas unsur-unsur parpol sebagai pelaku kompetisi sehingga dapat
mempengaruhi independensi KPUD sebagai lembaga yang mandiri.
2. Pasal 66 ayat (3) huruf berbunyi : “tugas dan wewenang DPRD dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah meminta
pertanggung jawaban pelaksanaan tugas KPUD”. putusan MK menetapkan
bahwa KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi
bertanggungjawab kepada publik. Kepada DPRD, KPUD hanya
3. Pasal 67 ayat (1) Huruf e tentang kewajiban KPUD menyatakan bahwa
KPUD mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD”.
putusan MK adalah KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan
dana Pemilu-Kada kepada DPRD, karena dana bukan berasal dari APBD
tetapi APBN.
4. Pasal 82 ayat (2) berbunyi “pasangan calon dan/atau tim kampanye yang
terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum
tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh DPRD”. Ketentuan ini
mengakibatkan DPRD tidak dapat menjatuhkan sanksi pembatalan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah
5. 59 ayat (1) yang berbunyi : “ partai politik atau gabungan partai politik
dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang
memiliki kursi di DPRD”. Serta ayat (2) yang berbunyi “Partai politik atau
gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan suara
sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) d