• Tidak ada hasil yang ditemukan

Delik pornografi dan kaitannya dengan perlindungan terhadap perempuan (tinjauan hukum Islam dan hukum positif)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Delik pornografi dan kaitannya dengan perlindungan terhadap perempuan (tinjauan hukum Islam dan hukum positif)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

(TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD KHUDORI NIM: 107045100262

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

DELIK PORNOGRAGI DAN KAITANNYA DENGAN

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN

(TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD KHUDORI NIM: 107045100262

Dibawah Bimbingan,

Dr. Asmawi, M.Ag

NIP. 197210101997031008

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari yang saya gunakan dalam penulisan ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Juni 2011

Ahmad Khudori

(5)

i Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

dan pembantu Dekan I, II, dan III yang telah membimbing Penulis.

(6)

ii

selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi srata 1 dengan sebaik-baiknya.

3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

4. Prof. Masykuri Abdillah selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik.

5. Dr. Asmawi, MA., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan Ikhlas

menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

(7)

iii

dalam hidup, terutama ( Farhan, tarmizi, Rovic, Mamet, Ical, Hanifah Azwar, Hurry, Santi, Rahma, Tuty ), orang yang terdekat di hati ku Diana teman-teman yang tidak saya sebutkan sangat terimakasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang.

9. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2008 dan Angkatan 2008 terutama ( Indah, Amin, Fahdun, Rada, Maul ) terima kasih telah banyak memberi semangat dan do’anya.

10.Teman-teman Program studi Pidana Islam angkatan 2009 dan 2010 yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak telah memberikan semangat dan do’anya

Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 06 Juni 2011

(8)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasa dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN A. Definisi Pornografi ... 16

B. Bentuk dan Kategori Pornorgafi 1. Betuk Pornografi ... 21

2. Kategori Pornografi ... 24

C. Pornografi dan Wacana Perlindungan Terhadap Perempuan 1. Kesetaraan Gender (Gender Equality) ... 25

(9)

v

A. Delik Pornografi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1. Pengertian Delik ... 33 2. Delik Pornografi Sebagai Delik Kesusilaan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Positif ... 36 3. Perumusan Pasal-Pasal KUHP yang Mengatur Delik

Pornografi ... 37 B. Delik pornografi dalam Peraturan Perundang-Undangan di luar

KUHP

1. Delik Pornografi dalam UU No. 8 tahun 1982 tentang Perfilman ... 51 2. Delik Pornografi dalam UU No. 24 tahun 1997 tentang

Penyiaran ... 53 3. Delik Pornografi dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers 55 C. Pornografi dalam Pandangan Hukum Islam ... 58

(10)

vi

BAB IV TINJAUAN KASUS DELIK PORNOGRAFI

A. Kasus Delik Pornografi “Iklan Kalender Bir Bintang dan Iklan

Bintang dan Iklan FA Kosmetik” tahun 2003 dengan Terdakwa

Budi Han...73 B. Analisis Kasus ... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran-saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Seksualitas selalu menjadi tema penting sepanjang sejarah peradaban menurut Hendry Bergson, sebagaimana yang telah dikutip oleh Sigit Djatmiko, daya tarik seks adalah topik utama peradaban kita1.

Seksualitas hadir dalam kehidupan manusia di dunia tanpa melalui suatu rekayasa tertentu. Seksualitas adalah hal yang kodrati, namun pada perkembangannya seksualitas telah menjadi lebih sekedar fitrah manusia. Seksualitas telah dijadikan komoditi ekonomi yang termanifestasi dalam industri pornografi.

Dari pemberitaan media masa, dapat kita lihat bahwa peredaran pornografi di Indonesia sangat besar dan luas. Materi pornografi bertambah serta berkembang dengan cepat dan pesat. Pornografi subur di ladang bisnis entertainment, bahkan telah jadi komoditi bisnis dengan tingkat permintaan yang cukup tinggi. Pornografi adalah bumbu sajian media masa.

Berbagai materi pornografi juga tersedia dalam perdagangan black market (pasar gelap) dalam bentuk kategori yang kian variatif, dari mulai

1

(12)

2

pornography2 sampai hard-pornography3. Materi-materi pornografi itu dapat diperoleh dengan biaya relatif murah, dan diperdagangkan pada siapa saja yang berminat memperolehnya, termasuk anak-anak di bawah umur.

Peredaran pornografi semakin dipacu oleh revolusi yang terjadi, salah satu pencapaian besar di bidang ini adalah penemuan sistem komunikasi baru, yang biasa disebut sebagai internet. Melalui internet, berbagai materi pornografi mampu dihadirkan secara massive and direct pada setiap orang bertujuan, atau bahkan yang tidak berniat mendapatkannya. Internet telah menjadi surga bagi penikmat pornografi, sekaligus lahan bisnis yang menguntungkan bagi pengedarnya.

Permasalahan pornografi sebenarnya telah lama menjadi isu publik di Indonesia. Sejak permulaan abad ke-20 telah dilakukan sensor4 dan “digunting” oleh dewan redaksinya.5 Padahal di dalam Islam sudah sangat jelas bagi seorang muslim untuk tidak mendekati zina, sesuai dalam firman Allah Q.S Al-Israa’ : 32

2

Soft-pornography adalah kategori pornografi yang termasuk dalam klasifikasi ringan. Soft-pornography tidak menampilkan adegan coitus atau penetrasi, bagian genital (kelamin) tidak digambarkan secara mendetail.

3

Hard-pornography adalah katagori pornografi yang termasuk dalam klasifikasi berat. Katagori pornografi ini mengambarkan seks secara furgar. Homoseksualitas, bestiality (hubungan seks melibatkan hewan dan manusia), dan pornografi termasuk katagori hard-pornography.

4

Salah satu karya yang disensor oleh Volkslectuur adalah Belenggu karya Armijn Pane, yang justru kemudian dikenal sebagai salah stu karya terpenting dalam sejarah sastra modern Indonesia.

5

(13)

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Belakangan ini, pembahasan mengenai masalah pornografi berlangsung ramai setelah dipicu oleh peredaran beberapa VCD (Video Compact Disc) film porno amatir buatan dalam negeri yang juga dibintangi pemeran lokal atau artis lokal .6 Banyak kalangan, terutama dari kalangan pemuka agama, menilai media massa di Indonesia sarat dengan berbagai materi pornografi.

Selama ini, masalah pornografi di Indonesia jarang dilihat sebagai suatu permasalahan yang berkaitan dengan kaum perempuan. Pendekatan yang digunakan dalam melihat masalah pornografi adalah perspektif agama dan moralitas. Masalah pornografi di Indonesia jarang dilihat dalam perspektif perlindungan terhadap perempuan.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo bahwa pornografi adalah suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan.7 Namun, lebih lanjut dijelaskannya bahwa rumusan mengenai tindak kekerasan dalam KUHP sebagian besar bersifat umum dilihat dari segi korban.8 Di negara-negara lain yang lebih maju, permasalahan

6

Beberapa film porno ini diedarkan melalui pasar gelap, dalam bentuk VCD, dan lebih diketahui melalui beberapa judul. Belakangan ini muncul lagi film porno yang juga dibuat di Indonesia dan diperankan oleh warga negara Indonesia.

7

Harkristuti Harkrisnowo, “Hukum Pidana dan PerspektiF Kekerasaan Perempuan

Terhadap Perempuan Indonesia, Dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap

Perempuan dan Alternatif Pemecahannya”, disunting oleh Achic Sudiarti Luhulima, (Jakarta:

Kelompok kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, 2000),

hal. 83.

8

(14)

4

perempuan relatif lebih terakomodasi, berbeda dengan di Indonesia tindakan kekerasan terhadap perempuan sudah diangkat sebagai isu global, yang cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia.

Pornografi adalah sebuah permasalahan hukum pidana yang tidak kalah penting dibandingkan kejahatan dan pelanggaran pidana lainnya. Sampai sekarang, banyak negara masih mencari format regulasi yang paling tepat untuk menangani permasalahan ini. Beberapa negara telah meninjau delik pornografi dalam peraturan perundangan hukum pidananya demi mengikuti perkembangan sosial yang sangat cepat.9

Indonesia mewarisi hukum kolonial Belanda. Hingga kini, masih banyak produk perundangan Belanda yang berlaku di Indonesia hanya dengan diterjemahkan dan dibenahi secara tambal sulam. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia adalah produk perundangan yang diterjemahkan dari wetboek van strafrecht yang artinya sama dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda.

KUHP Indonesia mengatur mengenai pornografi ini dalam 10 :

1. Buku kedua KUHP (kejahatan), Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesopanan, yaitu pasal 282 dan 283

9

Andi Hamzah, “Pornografi Dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan”, Cet I, (Jakarta: Bima Mulia, 1987), hal. 33.

10

Kitab Undang-undang Hukum Pidana” (wetboek van strafrecht), diterjemahkan oleh Andi

(15)

2. Buku ketiga KUHP (pelanggaran), Bab VI KUHP tentang Pelanggaran terhadap kesopanan, yaitu pasal 532 s.d. 535.

Delik pornografi dalam KUHP digolongkan sebagai tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid), yaitu khusus yang berkaitan dengan seksualitas.11 Rumusan pasal-pasal dalam KUHP tidak menyebut istilah pornografi secara langsung (letterlijk).12 Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya para ahli ilmu hukum menggunakan istilah delik pornografi untuk membedakannya dengan kejahatan dan/atau pelanggaran kesopanan yang lain. Wirjono Prodjodikoro menyebut kejahatan dan pelanggaran ini sebagai “Tindak

Pidana mengenai Pornografi”.13

Selain itu, KUHP juga tindak memberikan suatu definisi yang jelas mengenai delik pornografi. Pornografi hanya didefinisikan sebagai suatu tulisan, gambar atau barang yang melanggar perasaan kesopanan. Untuk menentukan suatu materi tergolong pornografi atau bukan adalah wewenang hakim. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat.14

11

Wirjono Prodjodikoro, “Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia”, Cet. 4, ( Bandung: PT Eresco, 1986), hal. 110-111

12

Lihat rumusan pasal-pasal dalam KUHP. Rumusan pasal-pasal dalam KUHP tidak menyebutkan kata pornografi.

13

Wirjono Prodjodikoro, “Tindak-tindak Pidana... hal. 110-111

14

Indonesia, “Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

(16)

6

Menyerahkan penafsiran pornografi ini pada hakim dapat menyebabkan adanya ketidak-pastian hukum. Yurispudensi yang ada menunjukkan bahwa pertimbangan dari putusan-putusan hakim atas kasus-kasus delik pornografi tidak memberikan suatu gambaran tentang pemahaman hakim-hakim Indonesia mengenai masalah pornografi ini15.

Permasalahan lain yang menyangkut peraturan delik pornografi dalam KUHP adalah mengenai kategorisasi dan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran yang mempunyai implikasi pada pemberatan sanksi pidana.

Peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang juga mengatur mengenai pornografi adalah :

1. UU No. 8 tahun 1982 tentang Perfilman. 2. UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran 3. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP itu memuat ketentuan-ketentuan pidana yang berkaitan dengan masalah pornografi. Menurut Wirjono Prodjodikoro, pada prinsipnya KUHP adalah suatu kodifikasi, apabila diciptakan tindak-tindak pidana baru (Kriminaliasasi) maka harus dimasukan dalam KUHP.16 Berdasarkan pendapat ini, perlu dikaji mengenai UU Anti

15

Lihat pertimbangan putusan hakim pada kasus-kasus delik pornografi, misalnya, pada kasus pornografi “The Lebertines”, putusan PN selatan Jakarta, 16 Maret 1971 N0. 357/Pid/1971. Lihat juga pada pembahasan kasus tersebut di A. Hamzah op, cit, hal 147-158.

16

(17)

Pornografi yang sudah disusun, dalam kaitannya sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP.

Sebagaimana dijelaskan, perkembangan delik pornografi memang begitu cepat. Meskipun KUHP dan peraturan-peraturan perundangan lainnya yang memuat pasal-pasal yang mengatur mengenai delik pornografi, namun ada hal-hal yang dianggap masih harus diatur lebih lanjut.

Hal yang paling penting untuk diperhatikan menyangkut peraturan delik pornografi adalah mengenai perspektif perlindungan terhadap perempuan. Pembahasan mengenai pornografi perlu dilihat dalam kerangka konsep kesetaraan gender (gender equality).

Wacana kesetaraan gender adalah suatu hal baru dalam kajian akademik di Indonesia, terutama kajian ilmu hukum. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting dilakukan, sebagaimana juga dikatakan oleh Mansour Fakih bahwa analisis gender perlu untuk mempertajam kajian-kajian kritis lainnya.17 Analisis gender diharapkan dapat berfungsi sebagai pisau kajian yang mampu membedah dan menjelaskan mengenai akibat buruk (haram) yang ditimbulkan pornografi terhadap perempuan.

Berdasarkan latar-belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana tindak pidana pornografi terhadap perempuan, dan bagaimana tindak pornografi terhadap perempuan dipandang dari hukum Islam

17

(18)

8

dan hukum positif, yang dikemas dalam sebuah skripsi yang berjudul : DELIK

PORNOGRAFI DAN KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN

TERHADAP PEREMPUAN (TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF).

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

Agar pokok permasalahan ini dapat dipahami secara jelas, maka penulis perlu membatasi masalah yang akan dibahas dan kemudian merumuskannya, dengan tujuan supaya tidak keluar dari batasan-batasan masalah yang telah disusun berdasarkan latar-belakang masalah. Maka penulis memberikan pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap perempuan yang dimaksud oleh penulis adalah dalam delik pornografi, perempuan sebagai objek hukum.

2. Hukum Islam yang dimaksud oleh penulis adalah kajian hukum pidana Islam yang membahas tentang pelanggaran khususnya delik pornografi

3. Hukum positif yang dimaksud oleh penulis adalah kajian hukum pidana Indonesia dalam pelanggaran dan asusila pornografi dan perlindungan perempuan.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

(19)

2. Bagaimana pornografi dilihat dalam perspektif perlindungan terhadap perempuan?

3. Bagaimana yurisprudensi Indonesia mengenai kasus pornografi, dilihat dari perspektif perlindungan terhadap perempuan?

Sehubungan dengan perumusan masalah di atas ada beberapa hal yang perlu diberikan batasan atau penjelasan. Penelitian hanya terbatas pada tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 281, 282, 283, dan pasal-pasal di luar KUHP dan Buku III KUHP pelanggaran tentang kesopanan yang masing-masing permasalahannya diuraikan dalam penulisan skripsi.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui batasan dan ruang lingkup pornografi menurut hukum Islam dan hukum positif,

b. Mengetahui dan memahami perspektif perlindungan terhadap perempuan dalam memandang permasalahan pornografi,

c. Mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia yang mengatur delik pornografi.

(20)

10

2. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan studi Hukum Pidana Islam mengenai Hukum Pidana Positif khususnya mengenai batasan pornografi dalam KUHP.

b. Hasil peneliatian ini juga sangat penting untuk keperluan membuktikan skripsi bahwa hukum pidana Islam dapat diimplementasikan dalam Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila UUD 1945.

c. Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan

bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Syari’ah dan

Hukum dan para penegak hukum pada khususnya, atas hasil analisis mengenai penegakkan hukum pidana terhadap pelanggaran pornografi oleh aparat hukum dengan berpedoman kepada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, dan buku III Pelanggaran tentang kesopanan.

(21)

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dari segi jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif. Data yang dikumpulkn bersifat normatif dengan cara ricet keperpustakaan ( penelitian) dalam arti bahwa berbagi data tersebut berisi kandungan hukum yang bersifat umum tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang layak dianjurkan dan apa yang seharusnya dihindari. Data-data normatif tersebut didapat dari literatur dan berbagai tulisan para ahli menyangkut pokok permasalahan yang sedang dibahas. Literatur tulisan-tulisan tersebut ditemukan diberbagai perpustakan sebab penelitian dalam skripsi ini lebih merupakan penelitian kualitatif dalam bentuk studi keperpustakaan atau pemahaman keperpustakaan (liberary research)

2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, di mana bahan-bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media massa.18

18

(22)

12

3. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan cara menggambarkan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dan fakta-fakta tanpa menggunakan rumus dan angka.

Sedangkan metode pembahasan hasil analisis adalah metode komparatif atau perbandingan. Di mana melalui kedua kajian hukum antara Hukum Islam dan Hukum Positif, dapat ditarik kesimpulan kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”19

E. Tinjauan Pustaka

Untuk menunjang skripsi ini, dan sebagaimana bahan untuk mendukung penulisan skripsi ini maka beberapa literatur di antaranya adalah sumber dari skripsi dan buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, yaitu:

19 Tim Penulis Fakultas Syari’ah dan Hukum, “Pedoman Penulisan Skripsi”

editor Drs.

(23)

Karya dari Mariam Matina yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pornografi dan Pornoaksi (Studi Tentang Maqashid

Al-Syari’ah).20 Di dalam skripsi tersebut memberikan pandangan yang jelas

mengenai pornografi dalam perfektif Islam yang merujuk pada teks yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits. Menciptakan opini pada masyarakat bahwa pornografi itu sebuah kemungkaran dan harus diperangi secara bersama-sama. Memberikan pendidikan seks secara benar berdasarkan norma-norma agama, budaya dan kesehatan, menyadarkan lewat membangkitkan kontrol terhadap ruang edar pornografi terutama media massa baik elekronik maupun cetak,

adanya sebuah harmonisasi tindakan antara Ulama (da’i) dan pemerintah dalam

memerangi pornografi secara utuh sehingga terjadi kesamaan tindakan.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, yang bertajuk Hukum Pidana Persfektif Pornografi.21 Temuan pokok penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Yang dimaksud dengan pornografi adalah suatu tindakan kekerasaan terhadap perempuan. Namun, lebih lanjut dijelaskannya bahwa rumusan mengenai tindakan kekerasaan dalam KUHP sebagian besar bersifat umum dilihat dari segi korban. Di negara-negara lain yang lebih maju, permasalahan perempuan relatif lebih terakomodasi, berbeda dengan yang di Indonesia.

20

Mariam Matina, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pornografi dan Pornoaksi

(Studi Tentang Maqashid Al-Syari’ah)(skripsi fakultas syari’ah dan hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

21

(24)

14

Tindakan kekerasan terhadap perempuan, yang sudah diangkat sebagai isu global, cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia.

Karya Komnas Perempuan bertajuk Dukung Perempuan Korban Kekerasan Seksual.22 Temuan pokok penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Di dalam ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, perempuan diposisikan sebagai simbol kesucian dan moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Akibatnya, kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk membahas masalah efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran pornografi, agar supaya tersusun dengan baik, sistematis dan mudah dipahami akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan, penulis menggunakan sistematika penulisan yang berurutan sebagai berikut :

Bab I Berisi Pendahuluan yang mencakup: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

Bab II Mengenai kajian teori yang menjelaskan tentang definisi pornografi, bentuk pornografi,. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan

22

(25)

mengenai perspektif perlindungan perempuan dalam memandang permasalahan pornografi.

Bab III Pada bab ini menjelaskan mengenai delik pornografi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam

Bab IV Pada bab ini merupakan pembahasan pokok penelitian mengenai tinjauan putusan delik pornografi Perkara Pidana No. 918/Pid/B/2003/PN.Jak.Sel.

(26)

16

BAB II

PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN

TERHADAP PEREMPUAN

A. Definisi Pornografi

Pornografi dianggap sebagai kejahatan di berbagai negara. Namun, sampai saat ini, definisi hukum (legal definition) masih saja menjadi bahan perdebatan. Merumuskan definisi hukum dari pornografi adalah suatu yang tidak mudah. Nampak jelas para pelaku industri pornografi dan konsumennya tidak mempunyai kesulitan dalam memahami apa yang dimaksudkan dengan istilah pornografi ini.

Industri pornografi dapat berjalan dan berkembang menjadi besar sebab para pelaku industri pornografi memiliki pengetahuan mengenai komoditi yang mengasilkan keuntungan besar ini. Namun, dalam prakteknya tetap sulit untuk merumuskan suatu definisi hukum (legal definition) dari pornografi. Hal ini dikarenakan perbedaan pandangan berbagai pihak mengenai batasan-batasan pornografi.

(27)

Dalam kamus besar Indonesia, pornografi didefinisikan sebagai berikut1: 1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk

membangkitkan nafsu berahi;

2. Bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang unruk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.

Istilah Porngrafi sebenarnya berasal dari bahasa yunani, yaitu porni 2 yang artiny pelacur dan graphain artinya menulis.

Dalam perkembangan selanjutnya, makna dasar kata pornografi ini menjadi berkurang relevansinya. Istilah bahasa Yunani tersebut maknanya telaah meluas dan berbagai pihak telah menafsirkannya secara berbeda-beda. Batasannya pornografi terus mengalami peubahan seiring dengan pergeseran nilai-nili dalam masyarakat dan perkembangan maateri pornogrfi itu sendiri. Akan tetaapi, pornografi terkait dengan masalah seksualitas. Sejauh apapun istilah pornografi ini. Materi pornografi pasti mengungkapkan perilaku seksual, baik itu dalam tulisan, gambar, film, daan media lainnya.

Pornografi seringkali dipertentangkan dengan seni (art). Dalam hal ini, erotisme dianggap sebagai istilah yang berbeda dari istilah pornografi. Istilah erotisme berasal dari kata Yunani, Eros, yaitu nama dewa cinta, putera aphrodite. Padanan kata ini dalam bahasa inggris adalah Eroticsm atau dalam kata benda adalah Erotica. Menurut Benny Hoed, erotisme tidak mempunyai makna dasar

1

Kamus Besar Indonesia; 1992

2

(28)

18

“cabul”, melainkan penggambaran perilaku, keadaan, atau suasana berdasarkan

berilhamkan “libido dan seks”.3

Benny Hoed menjelaskan lebih lanjut bahwa pembedaan makna dasar ini penting agar kita dapat lebih memahami erotisme.4 Perbedaan erotisme dan pornografi dalam prateknya akan sangat sulit mana yang pornografi dan mana erotisme seringkali membingungkan banyak kalangan.

Peraturan perundang-undangan Indonesia sejauh ini tidak memberikan definisi pornografi secara renci dan jelas. Istilah pornografi bahkan tidak terdapat dalam rumusan dalam pasal-pasal KUHP Indonesia. KUHP hanya mengatur tentang gambar, tulisan, barang yang melanggar kesusilaan.

Dari penjelasan Prof. Oemar Seno Adji, pornografi dianggap sebagai sesuatu permasalahan moralitas, yang bisa berubah seiring dengan pandangan masyarakat yang berkembang menurut tempat dan waktu.

Definisi pornografi yang rinci dan jelas juga tidak ditemui dalam perumusan peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Dalam UU No. 8 tahun 1982 tentang perfilman, UU No.24 tahun 1997 tentang penyiaran dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tidak kita temukan istilah pornografi dalam pasal-pasalnya. Akan tetapi, dalam peraturan perundang-undangan tersebut , terdapat ketentuan pidana yang mengtur mengenai pelanggaran dan kejahatan terhadap kesusilaan. Penafsiran melanggaran kesusilaan pada peraturan perundang-undang

3

Benny H.Hoed, Dri Logika Tuyul ke Erotisme, magelang: Indonesia Tera,2001, hal. 189-190

4

(29)

di luar KUHP ini tidak berbeda dengan penafsiran melanggar kesusilaan dalam KUHP.

Selain definisi kamus dan definisi peraturan perundang-undangan, berbagai pihak juga memberikan definisinya mengenai pornografi. Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) pernah memberikan definisi pornografi di tahun 1956. Oemar Seno Adji mengutip definisi pornografi menurut OPI , sebagai berikut:

“suatu tulisan atau gambar dapat melanggar perasaan kesopanan

-kesopanan, jika tulisan atau gambar itu tidak sedikit pun mengandung nilai, melainkan hanya mengandung keinginan / semangat untuk dengan sengaja membangkitkan nafsu birahi belaka, sehingga menurut norma-norma (Agama, ketuhanan, keilmuan dan sebagainya) yang berlaku dalam suatu jaman dan dalam suatu masyarakat menimbulkan pikiran orang yang membaca / melihatnya pada

pelanggaran susila”.5

Definisi pornografi menurut OPI sangat abstrak karena menitikberatkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang relatif berdasarkan waktu dan tempat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan definisi melanggar kesusilaan terdapat dalam KUHP.

Definisi pornografi yang lebih rinci, meskipun sangat multi-interpretable, diberikan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia, sebagaimana dikutip oleh oleh A. Hamzah :

5

(30)

20

“Penyajian tulisan atau gambar-gambar yaitu:

1. Mempermainkan selera rendah masyarakat dengan semata-mata menonjolkan masalah sex dan kemaksiatan.

2. Bertentangan dengan:

a. Kaidah-kaidah moral dan tata susila serta kesopanan; b. Kode etik jurnalistik;

c. Ajaran agama yang merupakan prima causa di indonesia , dan d. Kemanusiaan adil dan beradab.

Kesemuanya itu dapat menimbukan nafsu birahi, rangsang dan pikiran-pikiran yang tidak sehat, terutama dikalangan anak-anak muda, serta menyingung rasa susila masyarakat luas, yang bertangungg jawab terhadap keselamatan generasi muda di masa datang dalam membina kepribadian bangsa yang berfalsalah Pancasila.

Pornografi adalah penyajian tulisan atau gambar-gambar yang dapat menimbulkan nafsu berahi dan menyinggung rasa susila masyarakat.6 Andi Hamzah menyatakan bahwa definisi pornografi menurut Departemen Penerangan tersebut lebih ditentukan dari segi jurnalistik.7

Meskipun definisi pornografi yang dirumuskan oleh Departemen penerangan ini sangat panjang, namun penekanannya pun tidak jauh berbeda dengan definisi pornografi menurut KUHP. Definisi pornografi menurut

6

Andi Hamzah, “Pornografi Dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan”, Cet I, (Jakarta: Bima Mulia, 1987), hal. 9

7 Andi Hamzah, “

(31)

Departemen penerangan menekankan pada prinsip moralitas masyarakat berdasarkan Pancasila, yang tentu saja sangat ideal dalam tataran nilai, namun dalam tataran praktis menjadi sulit diterjemahkan.

Definisi-definisi yang terdapat dalam kamus dan peraturan perundang-undangan Indonesia mempunyai persamaan mendasar, yaitu memandang pornografi perspektif moralitas masyarakat. Pornografi diterjemahkan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma kesusilaan yang hidup dari suatu masyarakat dalam masa tertentu.

B. Bentuk dan Kategori Pornografi

1. Bentuk Pornografi

Bentuk pornografi bermacam-macam. Pornografi dapat berupa tulisan, gambar, film, dan materi-materi lain yang terdapat dalam berbagai media. Bentuk-bentuk pornografi ini perlu disebutkan untuk memberi gambaran sejauh mana perkembangan materi pornografi.

Bentuk pornografi dalam perkembangannya, menjadi sangat bervariasi. Sulit untuk dapat menguraikannya satu persatu. Namun , berikut ini akan diberikan gambaran umum mengenai bentuk-bentuk pornografi dalam berbagai media, antara lain:

(32)

22

dan tidak berijin. Contoh pornografi di media massa cetak adalah majalah Playboy, majalah Penthause, majalah Mustler, yang semuanya adalah terbitan Amerika Serikat. Selain itu, di Indonesia terdapat tabloit-tabloit seperti misalnya: Bos, Hot, Sexxy, Lisptick, dan lain-lain.

Kedua, Pornografi yang terdapat dalam media massa elektronik, yaitu telivisi dan radio. Pornografi terdapat dalam acara produksi telivi lokal dan telivi negara lain yang bisa ditangkap secara langsung melalui parabola, atau yang perlu berlangganan melalui provider tertentu (Cable TV). Materi Pornografi juga terdapat acara dalam siaran radio. Selain itu, pornografi juga terdapat dalam iklan-iklan komersial yang juga ditanyakan oleh stasiun telivisi.

Ketiga, pornografi yang terdapat dalam buku cerita (novel). Buku cerita pornografi terdapat dalam berbagai bahasa. Buku cerita ini yang diterbitkan dengan ijin, dan ada yang tidak berijin (stensialan). Salah satu novel porno stasiun (tanpa ijin) yang diterbitkan di Indonesia.8

Keempat, pornografi yang terdapat dalam komik-komik. Komik pornografi ini diterbitkan di berbagai negara. Komik-komik ini dijual secara resmi atau melalui pasar gelap.

Kelima, pornografi dalam film, materi film pornografi ini, selain diputar di bioskop, di jual dalam bentuk DVD resmi dan bajakan. Selain itu,

8

(33)

berbagai DVD porno juga disewakan lewat tempat-tempat persewaan DVD yang terdapat di banyak tempat. Materi film pornografi ini juga ditemukan dalam film-film animasi (kartun).9

Keenam, pornografi juga berupa alat seks (sex toys). Alat-alat seks ini berupa tiruan kelamin laki-laki (dildo), dan boneka seks berbentuk tubuh perempuan lengkap dengan tiruan payudara dan vagina.10

ketujuh, berbagai bentuk pornografi tersedia dalam dunia maya (cyberworld). Pornografi dhadirkan oleh situs internet, mailing list, serta internet relay chats (IRCs). Berbagai bentuk pornografi ini dihadirkan secara gratis, diperdagangkan, serta dibarter antar para pengguna internet (netters). Situs porno dalam bahasa indonesia yang termasuk paling sering dikunjungi oleh pengguna internet di Indonesia adalah www.youporn .com dan www.ceritaseru.org11.

Berbagai bentuk pornografi yang diuraikan diatas ditemui dalam peredarannya di indonesia. Baik diantara resmi maupun ilegal. Dalam pengamatan yang dilakukan oleh penulis di jakarta, bentuk-bentuk pornografi ini tidak sulit untuk didapatkan.

9

Film kartun porno ini biasanya disebut sebagai Anime/hentai , yang kebanyakan adalah produksi jepang.

10

Berbagai iklan penjualan alat-alat seks dpat dilihat diharian dan tabloid yang terbit di Indonesia.

11

Situs www.ceritaseru.org dikelolah oleh warga negara indonesia yang menggunkan nama

(34)

24

Bentuk pornografi yang paling banyak jumlahnya, adalah VCD porno bajakan yang terdapat di beberapa lokasi penjualan di jakarta 12. Satu keeping VCD porno dijual rata-rata Rp. 5.000,-, bahkan bisa lebih murah dari harga tersebut. Tempat penyewaan VCD yang terdapat di banyak tempat juga menyediakan VCD porno. Satu keeping VCD porno ini biasanya disewakan seharga 2.500,-.

Majalah porno terbitan luar negri semacam Playboy, Penthouse atau Hustler juga tersedia di Indonesia. Majalah porno ini dijual seharga Rp. 15.000, per edisi (bekas). Lokasi penjualan majalah-majalah porno bekas ini di jakarta terdapat di lapak-lapak di daerah senen, Jakarta Pusat.

2. Kategori Pornografi

Pornografi, selain menampilan tubuh telanjang perempuan dan laki-laki, juga merupakan perilaku-perilaku seksual yang sangat beragam. Perilaku-perilaku seksual ini dari mulai yang wajar sampai yang di luar kewajaran. Berbagai perilaku seksual yang terdapat dalam materi-materi pornografi, anatara lain:

a. Hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. (heterosexuality) b. Hubungan seks sejenis (homosexsuality)

c. Hubungan yang melibatkan waria (transexsuality) d. Hubungan seks yang melibatkan hewan (bestiality)

12

(35)

e. Hubungan seks dengan kekerasan (sexsual violence dan sado masochim) f. Hubungan seks sedarah (incest)

g. Hubungan seks yang melibatkan peran banyak orang (orgy) h. Masturbasi (masturbation)

i. Hubungan seks di tempat umum (exhibitionism)

j. Hubungan seks yang melibatkan anak dibawah umur (paedophilia) k. Hubungan seks tukar pasang (swapping)

l. Hubungan dengan mayat (necrophilia)

m. Perbuatan mengintip ketelanjangan dan aktiviatas seks orang lain (voyeurism)

n. Prilaku seks dengan menggunakan berbagai alat seks, atau yang biasanya dengan menggunakan berbagai aksesoris perempuan ( celana dalam, bra dan sebagainya) untuk alat pembangkit gairah seks (fethisism)

o. Perilaku-perilaku seksual lainnya.

Berbagai perilaku seksual ini dalam materi-materi pornografi yang sangat banyak jumlahnya. Sebagai contoh, situs .com menyajikan berbagai materi tersebut diatas.

C. Pornografi dan Wacana Perlindungan Terhadap Perempuan

1. Kesetaraan Gender (Gender Equality)

(36)

26

Hukum agama, kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dibentuk bedasarkan premis bahwa perempuaan adalah tercipta untuk pria. Dalam sistem sosial patriarkis, perempuan ditempatkan sebagai warga negara kelas dua (second class), berbeda dengan laki-laki.

Menurut Julia Cleves Mosses, patriarki merembes ke semua aspek masyarakat dan sistem sosial yang memberikan hak istemewa pada laki-laki dan mengorbankan perempuan.13

Ketidakadilan yang dialami perempuan terlihat, misalnya, pada sistem ekonomi politik : perempuan dijadikan subordinat dan dianggap tidak penting dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik.

Dalam memahami struktur patriakis yang menindas perempuan, terdapat suatu model pendekatan yang lazim disebut dengan analisis gender (gender analysis). Menurut Mansour Fakih, pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka mmenjelaskan masalah hubungan antara perempuan dan laki-laki, atau masalah hubungan kemanusian kita.14

Analisis gender merupakan suatu analisis baru untuk membongkar sistem sosial dominan yang telah melahirkan ketidakadilan sosial, khususnya

13

Julia cleves Mosses, Gender & Pembangunan (Half The world Half A Chance, an Introduction to Gender and Development), diterjemahkan oleh Hartian Silawati (Yogyakarta: Puska Pelajar, 1996),hal.65

14

(37)

memfokuskan pada ketidakdilan terhadap perempuan. Analisis gender adalah analisis kritis lain yang sudah ada.15

Untuk memahami analisis gender dengan lebih jelas, pertama-tama harus dipahami perbedaan mendasar antara gender16 dan seks.17 Perbedaan antara seks dan gender, yaitu:

“Seks adalah pembagian jenis kelamin ditentukan oleh Tuhan.

Misalnya laki-laki mempunyai penis dan bisa memproduksi sperma. Serta perempuan punya vagina, payudara dan rahim, karenanya perempuan mempunyai menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui. Seks adalah juga yang semua melekat pada laki-laki dan perempuan secara biologis, karena tidak dapat dipertukarkan. Seks juga sering disebut kodrat, karena sifatnya yang abadi tidak bisa dipertukarkan dan sama disamping abad

dan tempat.”18

“Gender adalah suatu sifat dan prilaku yang diletakan pada laki-laki

dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena bentukan maka gender tidak berlaku selamanya. Gender bisa tergantung kepada trend,

(38)

28

Gender juga sangat tergantung kepada tempat dan wilayah, karena bentukan, maka gender bisa dipertukarkan..”19

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan taken for granted, adalah kodrat penciptaan manusia. Sebaliknya, konsep gender dikonsruksi secara sosial maupun kultural.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Mansour Fikih bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities).20 Namun, perbedaan gender ini ternyata telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan.21

Ketidakadilan gender ini termanifentasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan, yaitu:

a. Margenalisasi atau proses pemiskinan ekonomi

b. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik c. Pembentukn stereotype atau stigmatisasi sosial

d. kekerasan (violence)

e. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (working burden)

19

Forum kesejahteraan Fatayat, Jender dan Islam, (Yogyakarta: FKY, 2001), hal.2

20

Mansour fakih, Analisis Gender dan Transormasi Sosial, ( yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 8.

21

(39)

Logika yang dianut Mansour Fakih, bahwa perbedaan gender yang dilahirkan ketidakadilan sosial, meskipun tidak terdapat data valid yang menyebutkan jumlah perempuan dalam industri pornografi, namun dapat diungkapkan bahwa pornografi melibatkan banyak perempuan. Perempuan lebih banyak menjadi pemeran dalam industri film porno misalnya, dibandingkan sebagai pembuat film porno. Perempuan telah dijadikan komoditi dalam industri pornografi.

Perempuan yang dijadikan komoditi dalam industri pornografi adalah perempuan-perempuan miskin, biasanya tidak berpendidik.profensi-profensi yang ditawarkan industri pornografi menjadi sangat menarik sebagai jalan pintas untuk merahi kehidupan yang lebih baik. Dalam masyarakat patriarkis yang memarjinalkan perempuan, nilai ekonomis perempuan lebih ditentukan oleh tubuh perempuan yang dijadikan komoditas dalam pasar. Hal ini ditambah lagi dengan tingkat pendidikan perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Meski banyak perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, namun sebagian besar perempuan lainnya masih terbelakang.

(40)

30

Perempuan dalam kondisi rumah tangga yang kurang harmonis (broken home) seringkali dijadikan sasaran para pelaku industri pornografi. Perempuan yang lari dari rumah mereka kemudian ditampung oleh para mucikari yang menciptakan kondisi ketegantungan secara materil, dan juga menggunakan narkotika sebagai umpan.

Anggapan-anggapan salah mengenai motivasi perempuan yang terlibat dalam pornografi biasanya diakibatkan oleh ketidaktahuan para penikmat pornografi mengenai hal-hal dibalik industri pornografi. Dalam film-film porno misalnya, perempuan selalu digambarkan menikmati peren mereka, padahal ini adalah suatu tuntutan skenario. Para penikmat pornografi seringkali lupa atau justru tidak lagi memperhatikan bahwa film porno juga dibuat bedasarkan suatu skenario.

2. Pornografi dan Kekerasan terhadap Perempuan

Pornografi adalah salah satu hal yang memainkan peran besar sehingga posisi perempuan menjadi subordinat dan marjinal. Catatan Komnas Perempaun sejak tahun 1998-2010 menunjukkan hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau ada 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan.22

22

(41)

Kekerasaan seksual bisa terjadi dimana saja. Baik di ranah personal, artinya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban; ranah publik, artinya korban dan pelaku tidak memilki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Pelaku bisa saja majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenali; ranah negara, artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.

Di sisi lain, peristiwa kekerasan seksual seringkali justru direkatkan pada penilaian tentang “jejak moralitas” perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berhubungan sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu.

Dari data-data yang dihimpun Komnas Perempuan sejak 1998-2010 dan dengan merujuk pada berbagai dokumen tentang kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mengenali sebelas jenis kekerasan seksual yang dialami perempuan Indonesia.

(42)

32

(43)

33

A. Delik Pornografi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

1. Pengertian Delik

Sebelum membahas mengenai delik pornografi, perlu dijelaskan

terlebih dahulu pengertian “delik”, yang merupakan terjemahan dari strafbare

feit. Hal ini penting sebab dalam ilmu pidana dikenal istilah-istilah lain sebagai terjemahan istilah strafbare feit.

Para ahli ilmu hukum pidana indoneesia menggunaka berbagai istilah untuk menterjemahkan strafbare feit. Istilah strafbare feit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai1:

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum, b. Peristiwa pidana,

c. Perbuatan pidana, d. Tindak pidana, dan e. Delik

Para sarjana hukum memberikan pendapat atau alasan-alasannya, mengapa harus menggunakan istilah-istilah terjemahan dari strafbaar dan

1

(44)

34

feit.2 Porf. Satochid Kartanegara, salah seorng sarjana hukum yang menggunakan istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari straafbare feit, memberikan penjelasan bahwa istilah tindak (tindakan) mencakup pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling).3 S.R. Sianturi menyatakan bahwa istilah “Tidak Pidana” yang digunakan Prof. Satochid Kartanegara, lebih tepat. Selain itu, S.R. Sianturi

juga menggunakn istilah “delik” yang menurut pendapatnya mempunyai arti

yang sama dengan “tindak pidana”4

. Terjemahan straafbare feit yang lebih

tepat menurut S.R. Sianturi adalah “delik” dan “tindak pidana”.

Wirjono Prodjodikoro menjelaskan secara singkat bahwa tindak pidana (delik) adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.5 E. Utrecht menerjemahkan istilah strafbare feit dalam

bahasa Indonesia sebagai “peristiwa pidana”, meskupun sering juga ia

menyebutkan sebagai delik.6 Secara teoritis, suatu “peristiwa pidana” adalah suatu pelanggaran kaidah/tata hukum (normovertreding), yang diadakan

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, edisi kedua, (bandung: PT Eresco,1989), hal.55

6

(45)

karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.7

Suatu delik (tindak pidana) dapat diuraikan unsur-unsurnya, yaitu8: a. Subjek,

b. Kesalahan,

c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan),

d. Suatu tindakan aktif/pasif yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.

e. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Dari uraian unsur-unsur delik tersebut, Sianturi dapat merumuskan pengertian dari delik (tindak pidana) sebagai berikut:

“Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang

dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorng

(yang mampu bertanggung jawab).”9

7

E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas), hal. 252.

8

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perempun, cet.4, (Jakarta: ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, 1996), hal.207

9

(46)

36

2. Delik Pornografi Sebagai Delik Kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia

Ada dua macam penempatan delik pornografi dalam peraturan undang-undang hukum pidana di berbagai negara, yaitu10:

a. Menggambungkan delik pornografi dalam bab delik kesusilaan. b. Memisahkan delik pornografi dan menempatkannya secara tersendiri.

Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Indonesia menggabungkan delik pornografi dalam bab delik pornografi, sama seperti wetboek van Strafecht.11

Delik pornografi diatur dalam buku II KUHP, Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan melanggar kesopanan dan buku III KUHP, Bab VI mengenai pelanggaran-pelanggaran kesopanan.12 R. Soesilo menjelaskan

bahwa “kesopanan” dapat diartikan sebagai “kesusilaan” yaitu perasaan malu

yang berhubungan dengan nafsu kelamin. 13 Pengertian kesusilaan yang terdapat penjelasan KUHP terjemahan R. Soesilo kurang jelas, sehingga sulit diphami.

10 Andi Hamzah, “

Pornografi Dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan”, Cet I, (Jakarta: Bima Mulia, 1987), hal. 31

11 Andi Hamzah, “

Pornografi Dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan”, Cet I, (Jakarta: Bima Mulia, 1987), hal. 31

12

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht), diterjemahkan oleh R. Soesilo, cet.10, (Bogor;Politeia, 1995), Buku III bab VI

13

(47)

Sianturi menjelaskan pengertian kesusilaaan, sebagai berikut:

“yang dimksud kesusilaan adalah dalam arti yang bukan hanya

menyangkut soal kebirahin atau sex saja. Akan tetapi mempunyai kebiasaan hidup yang pantas dan berahlak dalam suatu kelompok masyarakat (tertentu)

yang sesuai dengan sifat msyarakat yang bersangkutan.”14

Pengertian yang diberikan oleh Sianturi ini lebih jelas, namun sulit dipahami. Akan tetapi, ada suatu titik temu dari pendapat R. Soesilo dan Sianturi, yaitu bahwa kedua pendapat itu melihat kesusilaan sebagai suatu hal yang berhubungan dengan nafsu kelamin dan seksualitas.

Demikianlah KUHP telah menggolongkan delik pornografi sebagai delik kesusilaan, dimana permasalahan pornografi lebih dilihat sebagai persoalan moralitas.

3. Perumusan Pasal-Pasal KUHP yang Mengatur Delik Pornografi

a. Delik Pornografi dalam Buku II KUHP tentang Kejahatan

Andi Hamzah menyatakan bahwa di dalam buku II KUHP Bab XIV terdapat pasal-psal yang langsung dan tidak langsung terkait dengan delik pornografi.15 disebutkan oleh Andi Hamzah bahwa pasal 282 dan pasal 283 KUHP adalah pasal-pasal yang lansung terkait dengan

14

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perempun, cet.4, (Jakarta: ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, 1996), hal. 26

15 Andi Hamzah, “

(48)

38

pornografi.16 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tetentu di Indonesia, memsukkan Pasal 282 dan 283 KUHP dalam pembahsannya di sub bab pornografi.17

Untuk lebih memahami pasal 281,282,283 KUHP, berikut ini adalah perumusan Pasal-Pasal KUHP itu dan pembahasannya:

Pasal 281 KUHP

Di hukum penjara selama-selamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- :

1e. Barangsiapa sengaja merusak kesopanan di muka umum;

2e. Barangsiapa sengaja merusak kesopanan dimuka orng lain, yang hadir tidak karena kemauannya sendiri.

Unsur-unsur Pasal 281 (1) KUHP :

Barangsiapa : Setiap orang dapat dikenai Pasal ini. Unsur “barangsiapa” menerangkan bahwa semua orang yang terbukti memenuhi semua unsur dari Pasal 281 (1) KUHP, maka ia dapat dipandang sebagai dader atau pelaku dari tindak pidana yang diancam Pasal 281 (1) ini.

Dalam perkembangan ilmu hukum pidana, terdapat teori yang

menjelasan mengenai gradasi “kesengajaan”, sebagaimana diuraikan oleh

Sianturi sebagai berikut18:

16 Andi Hamzah, “

Pornografi Dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan”, Cet I, (Jakarta: Bima Mulia, 1987), hal. 32

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, edisi kedua, (bandung: PT Eresco,1989), hal. 112-114.

18

(49)

a. Kesengajaan sebagai maksud (oorgmerk) :

Kesengajaan sebagai maksud berarti, terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu (yang sesuai dengan perumusan-perumusan undang-undang hukum pidana), adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku. Contoh: dalam delik material, misalnya menghilangkan jiwa orang lain seperti tersebut dalam pasal 338 KUHP, matinya seorang tersebut adalah merupakan perwujudan dari mksud dan tujuan dari pelaku.19

b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan

Yang menjadi pokok dari gradasi kesengajaan ini adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan atau akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Dalam hal ini yang termasuk tindakan atau akibat-akibat yang pasti/harus terjadi

c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan

Kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan ini disebut juga dengan kesadaran bersyarat. Sering sukar memperbedakan dengan kealpaan (culpa) . Dalam kesengajaan kemungkinan ini, yang menjadi sandaran adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang (beserta tindakan atau akibat lainnya) yang mungkin akan terjadi. Termasuk juga dalam jenis kesengajaan ini, kesadaran pelaku mengenai

19

(50)

40

kemungkinannya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa syarat-syarat tertentu.

Jadi harus dibuktikan untuk unsur sengaja ini adalah apakah sipetindak mengetahui ia telah melanggar kesusilaan, dan menyadari bahwa dengan berbuat begitu ada orang lain yang melihatnya kemudian tersinggung perasaan malunya.

Jika sama sekali ia tidak mengetahuinya dan ia tidak berkehendak melnggar kesusilaan, maka ia tidak akan melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal KUHP.

Merusak kesusilaan disini adalah perbuatan yang melanggar kesoponan dibidang kesusilaan yang berhubungan dengan kelammin dan/atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat menimbulkan perasaan malu, perasaan jijik atau terangsangnya nafsu birahi orng lain. Yang dimaksud di muka umum adalah di suatu tempat dimana umum dapat mendatangi tempat itu atau di suatu tempat yang dapat dilihat, didengar atau disaksikan oleh umum (yang berada di tempat itu atau di tempat lainnya).

(51)

Pasal 281 KUHP tidak mengatur delik pornografi secara langsung. Akan tetapi, pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 281 KUHP adalah delik yang mengatur pornografi secara umum (lex generalis) atau Pasal 282 adalah delik yang mengatur secara khusus (lex specilis) adalah pendapat-pendapat yang benar.

Untuk memahami hubungan antara Pasal 281 dan Pasal terlebih dahulu perlu untuk membahas unsur-unsur dalam Pasal 282 KUHP, yaitu:

(1) Barang siapa yang menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu tulisan yang diketahui isinya atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya melanggar perasaan kesusilaan, maupun membuat, membantu masuk, mengirimkan langsung membawa keluar atau menyidiakan tulisan, gambar atau barang untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan orang banyak, ataupun dengan menyiarkan sesuatu surat, gambar, atau barang itu boleh didapat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah).

(2) Barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan sesuatu tulisan, gambar atau barang yang melanggar perasaan kesusilaan, maupun membawa masuk, mengirimkan terus, membawa keluar atau menyediakan surat atau gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan, sehingga kelihatan oleh orang banyak ataupun dengan berterang-terngan atau dengan menyiarkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat di hukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 45.000 (empat puluh lima ribu rupiah), jika ia ada alasan yang sungguh-sungguh untuk menduga, bahwa tulisan, gambar atau barang itu melanggar perasaan kesusilaan.

(3) Jika melakukan kegiatan yang diterangkan dalam ayat pertama itu dijadikan suatu pencarian atau kebiasaan, oleh tersalah, dapat dijadikan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah).

(52)

42

1) Menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan yang diketahui isinya, gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesusilaan.

2) Membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya, untuk diserahkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan.

3) Dengan terang-terangn atau dengan menyiarkan suatu tulisan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh didapat.

Bedanya ayat (1) dan ayat (2) adalah pada ayat (1) orang yang berbuat

harus “mengetahui” bahwa isi tulisan dan sebagainya itu melanggar perasaan

kesusilaan, sedangkan pada ayat (2) orang itu tidak perlu mengetahuinya, cukup apabila padanya ada alasan yang sungguh-sungguh untuk menduga, bahwa tulisan dan sebagainya itu melanggar perasaan kesusilaan.

(53)

Pasal 283 KUHP

(1) Dengan hukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 9000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan ditangan atau mempertunjukan kepada orng yang belum dewasa yang diketahuainya atau patut disangkanya bahwa orang itu belum cukup umurnya 17 tahun sesuatu tulisan, suatu gambar atau suatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau sesuatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu hamil, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu di ketahuinya.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dihadapan seseorang yang belum dewasa seperti tersebut dalam ayat diatas memperdengarkan isi surat atau tulisan yang melanggar perasaan kesopanan.

(3) Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan atau kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,- dihukum barangsiapa menawarkan, menyerahkan, buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan ditangan atau memperlihatkan kepada seorang yang belum dewasa sebagai tersebut dalam ayat pertama, sesuatu surat (tulisan) suatu gambar atau suatu barang yang melanggar kesopanan, demikian pula memperdengarkan dihadapan seorng yang belum dewasa sebagai tersebut dalam ayat pertama, isi surat yang menyinggung perasaan kesopanan, jika ia ada alasan yang cukup untuk menyangka, bahwa tulisan, gambar atau barang itu melanggar perasaan kesopanan atau cara itu ialah cara untuk mencegah atau mengganggu hamil.

Unsur-unsur Pasal 283 (1) KUHP

(1) Barangsiapa20

(2) Menawarkan : unsur ini cukup jelas.

(3) Memberikan untuk seterusnya maupun untuk sementara : Lamintang menyatakan bahwa unsur ini dapat dengan ditafsirkan melalui tata

20

(54)

44

bahasa.21 Peulis menafsirkan unsur ini sebagai “memberikan” atau

“meminjamkan”.

(4) Menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan : unsur ini cukup jelas.

(5) Tulisan, gambar, atau barang yang menyinggung perasaan

kesopanan dimaksud adalah tulisan, gambar, dan barang yang berisi mengenai hal-hal yang berkenan dengan kehidupan seksual yang menurut

pendapat umum di Indonesia dianggap “cabul”.

(6) Alat untuk mencegah atau menggugurkan kandungan dimaksud dengan alat untuk mencegah kehamilan itu ialah alat yang menurut sifatnya memang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tersebut.

(7) Pada seorang yang belum dewasa, atau patut disangkanya bahwa

orang itu belum cukup umurnya 17 tahun: unsur ini cukup jelas dan dengan mudah dipahami.

(8) Kalau isi surat ini diketahuinya atau jika gambar, barang, dan cara

itu diketahuinya: Menurut I. N. Suwandha, unsur ini merupakan syarat bagi dapat dipidananya pelaku yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 283 (1) KUHP, yang apabila syarat tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan, akan menyebabkan Hakim memberikan putusan bebas bagi pelaku.

21

(55)

Menurut Lamintang, unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 283 (1), yaitu

“yang diketahuinya” dan “yang patut disangka” menandakan bahwa tindak pidana

yang diatur dalam pasal 283 (1) KUHP merupakan suatu tindak pidana yang mempunyai unsur subjektif pro parte dolus pro parte culpa.

Penjelasan Pasal 283 (2) KUHP

1. Barangsiapa22

2. Dihadapan orang yang belum dewasa seperti tersebut dalam ayat diatas :

Unsur ini cukup jelas.

3. Memperdengarkan isi surat (tulisan) yang melanggar perasaan

kesopanan : Menurut Lamintang, unsur ini diterjemhkan dari kata-kata “ten

gehore brengen”, yang arti sebenarnya adalah “membuat orang

mendengar”.23

sehingga lebih lanjut dijelaskan oleh Lamintang bahwa

kata-kata ““ten gehore brengen” ini hanya tepat jika diartikan sebagai

“membacakan” atau “membicarakan”.24

Namun demikian, patut juga diperhatikan mengenai kemungkinan perbuatan melanggar

kesusilaan/kesopanan itu. Dilakukan dengan “ memperdengarkan suatu

rekaman”, sehingga unsur ini perlu diterjemahkan sebagai “mendengarkan”25

22

Lihat penjelasan di skripsi ini,hal. 39

23

Lamintang, Delik-Delik Khusus:Tindak Pidana-Tindak Pidana-Tindak Pidana melanggar norma-Norma Kesusilaan Dan Norma-Norma kepatutan, cet.1, (Bandung:Mandar Maju,1990),hal. 73-74.

24

Lamintang, Delik-Delik Khusus:Tindak Pidana-Tindak Pidana-Tindak Pidana melanggar norma-Norma Kesusilaan Dan Norma-Norma kepatutan, cet.1, (Bandung:Mandar Maju,1990),hal. 75.

25

(56)

46

Pasal 283 KUHP ini bertujuan untuk melindungi anak dibawah umur atau anak muda dari materi pornografi (meteri yang melanggar kesopanan). Dalam Pasal 283 (1) KUHP ditetapkan bahwa yang patut dilindungi itu adalah yang berusia dibawah umur 17 tahun. Di negara-negara lain, seperti misalnya di Belanda, Jerman, Dernmark, dan lain-lain menyatakan bahwa mereka yang belum cukup umur adalah yang berusia dibawah 16 tahun. Hal ini perlu dikji ulang, mengingat definisi anak sangat rancu dalam peraturan perundangan di Indonesia, sehingga perlu di definisikan mengenai siapa yang disebut sebagai anak.

Pasal 283 bis

“Jika tersalah melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 282 dan 283 itu dalam pekerjaannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi liwat 2 tahun sesudah tetap hukumanya yang dahulu karena salah satu kejahatan yang tersebut, maka ia dapat dipecat dari menjalankan pekerjaannya.”

Pasal 283 bis mengatur mengenai pemberatan pidana karena mengulang kejahatan . syarat-syarat supaya dapat dilakukan pemberatan pidana berdasarkan Pasal 283 bis adalah:

1. Melakukan kejahatan yang diterangkan pasal 282 dan 283 dalam pekerjaannya.

(57)

Pengulangan kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 283 bis adalah dapat dipecat dari pekerjaanya.

b. Delik Pornografi dalam buku III tentang Pelanggaran

Selain diatur dalam Pasal 281,282, dan 283 yang terdapat dalam buku II KUHP tentang kejahatan, delik pornografi juga diatur dalam Pasal 532, 533, 534, dsebanyak-banyaknya 535 Buku III KUHP tentang pelanggaran.

Pasal 532 KUHP

Dengan kurungan selama-lamanya tiga hari atau benda sebanyak-banyaknya Rp. 225,-, dihukum:

1e. Barangsiapa di muka umum menyayikan lagu-lagu yang melanggar perasaan kesopanan;

2e. Barangsiapa di muka umum berpidato yang melanggar perasaan kesopanan; 3e. Barangsiapa di tempat yang dapat kelihatan dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambar yang melanggar perasaan kesopanan.

Dalam Pasal 532 KUHP ini, yang mengatur delik pornografi adalah Pasal 532 (e). Pasal 532 (1e) dan 532 (2e) lebih mengatur mengenai pelnggaran kesusilaan di muka umum atau hampir sama dengan Pasal 281 KUHP.

Alasan perbuatan pada Pasal 532 tersebut digolongkan sebagai pelanggaran, menurut A. Hamzah adalah:

Sering nyanyian atau pidato tersebut dilakukan sebagai humor atau kenakalan; sedangkan perbuatan mencoret-coret tembok dan lain-lain seringkali merupakan perbuatan kenakalan remaja dan tidak ada kaitanya dengan keinginan mencari untung.26

26

Gambar

gambar atau barang yang melanggar perasaan kesopanan. Untuk menentukan
gambar, film, dan materi-materi lain yang terdapat dalam berbagai media.

Referensi

Dokumen terkait

KUHP memang menganggap bahwa persetubuhan diluar nikah adalah pezinaan, namun tidak semua perbuatan perzinaan dapat dihukum. Perbuatan perzinaan yang memungkinkan untuk dihukum

undang hukum acara pidana merupakan peraturan yang mengatur beracara dalam proses peradilan pidana memberikan tempat khusus pada tersangka atau.. terdakwa tetapi tidak

Pada asalnya, permulaan pelaksanaan yang tidak selesai karena kehendak sendiri dalam KUHP tidaklah dijatuhkan hukuman berdasarkan Pasal 53 KUHP. Akan tetapi

a) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan

Dalam pembahasan bab 2 dijelaskan bahwa hukum positif (KUHP) dalam buku II bab XIX pasal 338-350 tentang kejahatan terhadap nyawa dan pembahasan khusus tentang

Skripsi dengan judul “Studi Komparasi Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak Di Bawah Umur Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam” yang ditulis oleh Diah Ayu

Pasal 387 ayat (2) Konsep KUHP menyebutkan bahwa salah satu syarat bagi pria yang bersetubuh sehingga mengakibatkan hamilnya perempuan itu, untuk dapat diberikan

Penelitian ini ingin membahas mengenai perbandingan hukuman pasal 351 rancangan KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara dengan Pasal 207 KUHP tentang delik