• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH PENYANDANG DISABILITAS (Studi Putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY) Oleh. M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH PENYANDANG DISABILITAS (Studi Putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY) Oleh. M."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH PENYANDANG DISABILITAS (Studi Putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY)

Oleh. M. Robi’in

ABSTRAK

Kajian ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap pencurian yang dilakukan oleh penyandang disabilitas.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif-komparatif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan hukum hakim terhadap pencurian yang dilakukan orang penyandang disabilitas dalam putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY., menyatakan bahwa tersangka merupakan penyandang disabilitas kapasitas intelegensi pada kapasitas retardasi mental ringan dengan gangguan intelektual, sehingga Hakim memutuskan status hukum tersangka dengan keputusan tidak bersalah dan dibebaskan dari tuntutan hukum. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pencurian yang dilakukan orang penyandang disabilitas terhadap putusan No.

2607/Pid.B/2017/PN.SBY, Agustinus Dwijo Widodo tidak bersalah karena berada pada kondisi tidak sadar dan tidak bisa membedakan baik dan buruk. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan Ahli Psikologi, yang menyatakan bahwa Agustinus Dwijo Widodo memiliki kapasitas intelegensi pada kapasitas retardasi mental ringan, secara fisik tampak normal, namun rendahnya fungsi intelektual umum yang terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan salah satu atau lebih diantara faktor (1) kemasakan, (2) kemampuan belajar, (3) penyesuaian sosial. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur„an surat an- Nur, ayat 59, bahwa: “Dihapuskan ketentuan dari tiga hal; dari orang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh dan dari anak kecil sampai ia dewasa”.

Sejalan dengan simpulan di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk menambah kasanah pengetahuan berkaitan dengan pengklasifikasian pelaku pidana terutama cara pandang terhadap pelaku pidana, sehingga sedikit banyak hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran di bidang hukum Islam.

Masyarakat lebih mengkaji lagi, dalam praktek sosial masyarakat sehingga hasil penelitian ini nantinya diharapkan masyarakat mengetahui bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang disabilitas.

A. Latar Belakang Masalah

Modernisasi di bidang kehidupan seiring dengan tuntunan perkembangan jaman, membawa masyarakat menuju pada sauatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Namun sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidana pun tidak dapat disangkal. Sebagaimana dialami Negara- negara yang sedang berkembang maupun Negara yang maju sekalipun, setiap pencapaian di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru di bidang ekonomi dan sosial.

Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah, yaitu bahwa suatu kejahatan akan selalu berkembang sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, khususnya menyangkut masalah sosial adalah luas sekali dan semakin tinggi tingkat peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa diimbangi semangat kemanusiaan, maka akan berakibat pada akses-akses yang negatif. Akses-akses negatif dari suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang baru disalahgunakan, dimana perwujudan perbuatan itu merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materiil maupun inmaterial yang cukup besar bagi masyarakat, bahkan kehidupan Negara.

Dari berbagai macam bentuk tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat, salah satunya adalah kejahatan pencurian, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana pencurian dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan pencurian yang semakin kompleks. Selain itu, pelaku tindak pidana pun semakin beragam dari anak-anak hingga orang dewasa, dari orang normal sampai orang penyandang disabilitas.

Difabilitas dan difabel atau disabilitas mungkin istilah yang baru kita dengar dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Difabilitas dalam kenyataannya bukanlah sebuah istilah yang menggambarkan kekurangan seseorang dalam segi fisik maupun sosial. Namun disabilitas adalah sebuah perjuangan atas pengakuan hak dan kesetaraan antara orang yang berkebutuhan khusus dengan orang lain pada umumnya.

Disabilitas merupakan istilah yang baru, sebelumnya digunakan kata penyandang cacat. Penyandang cacat merupakan istilah yang banyak digunakan tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh pemerintah selama belasan tahun. Pengertian penyandang cacat diatur dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, “Penyandang

(2)

cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya”.

Pada tahun 2016, Undang-undang Penyandang Cacat tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Istilah “cacat” diganti dengan “Disabilitas”. Dalam Undang-undang No. 8 tahun 2016 tersebut, penyandang disabilitas adalah “Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yagn dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.

Kasus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum semakin meningkat. Beberapa tahun terakhir, kasus-kasusnya bahkan ramai diperbincangkan. Persoalannya terletak pada cara pandang aparat penegak hukum. Saat penyandang disabilitas berstatus sebagai korban, saksi, maupun pelaku, hak-haknya banyak yang tercabut. Dukungan sistem peradilan sangat minim. Dengan kata lain, saat berhadapan dengan hukum, penyandang disabilitas menjadi terdiskriminasikan.

Penyandang disabilitas beragam, bergantung pada jenis disabilitasnya, mereka membutuhkan sarana dan prasarana serta proses komunikasi yang berbeda-beda sesuai dengan hambatan-hambatan yang terjadi. Permasalahan lain yang seringkali ditemui adalah soal pengetahuan. Para penegak hukum belum memahami siapa itu penyandang disabilitas. Apa rintangan-rintangan yang dihadapi dan apa kebutuhan ketika berproses di pengadilan. Pengetahuan penegak hukum terkait disabilitas tergambar dalam beberapa fakta berikut1.

Pertama, dalam kasus pidana seorang tuli yang menjadi korban pemerkosaan kerap disudutkan oleh pertanyaan-pertanyaan penegak hukum. Kedua, seorang penyandang disabilitas netra kerap tidak diproses laporan pidananya oleh penegak hukum, alasannya karena korban tidak bisa melihat pelaku pemerkosaan. Ketiga, seorang tulis yang kasusnya tidak diproses di peradilan, penyidik seringkali tidak terlibat dalam proses tanya jawab, dan menyerahkan sepenuhnya kepada penerjemah. Keempat, penegak hukum kerap merendahkan martabat penyandang disabilitas.

Banyak sikap yang salah terkait dengan penyandang disabilitas. Penegak hukum dan norma hukum masih memperlakukannya sebagai kumpulan orang yang tidak mampu, tidak normal, dibawah pengampuan dan tidak cakap hukum. Secara otomatis, penyandang disabilitas seolah menjadi korban dari proses pengadilan.

Maka, disinilah hukum Islam harus berperan untuk mencegahnya, yaitu dalam fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah hukum yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan kronologisnya, membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Dalam fiqh jinayah dibicarakan pula upaya preventif, rehabilitatif, edukatif serta upaya- upaya represif dalam menanggulangi kejahatan disertai dengan teori-teori tentang hukuman. Kejahatan atau tindak pidana dalam fiqh jinayah disebut sebagai jarimah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata kejadian (masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah.

Dalam fiqh jinayah istilah tindak pidana dapat disejajarkan dengan jarimah yaitu segala larangan-larangan yang haram karena dilarang oelh Allah dan diancam dengan hukuman baik had ataupun takzir, larangan-larangan tersebut adakalanya mengerjakan perbuatan yang dilarang, maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.2

Suatu perbuatan dikatakan jarimah apabila perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya nash yang melarang perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan tersebut.

Unsur ini dikenal dengan nama formil (al-rukn al-ayr‟i).

b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan nama unsur materiil (al-rukn al-maddi).

c. Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif artinya pelaku kejahatan adalah mukallaf. Unsur ini dikenal dengan nama unsur moral (al rukn al-adabi).3

Konsep Jinayah berkaitan erat dengan masalah larangan, karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟. Larangan ini timbul karena perbuatan- perbuatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya suatu larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup masyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara. Larangan untuk sesuatu dapat dipertahankan bila disertai kronologis (hukuman).

Dalam fiqh jinayah, jarimah dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya para ulama menjadi jarimah berdasarkan aspek berat ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur‟an dan Hadits. Atas dasar itu maka para ulama membaginya menjadi tiga macam, yaitu:

1. Jarimah hudud, yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had (hak Allah).

2. Jarimah qisas/diyat, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas atau diyat. Baik hukuman qisas maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah atau tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata.

3. Jarimah takzir yaitu setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenai hukuman hadd atau kafarat dan tidak ditentukan kronologisnya oleh al-Qur‟an dan Hadits. Jarimah takzir terbagi dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Jarimah hudud atau qisas/diyat yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat.

b. Jarimah-jarimah yang sudah ditentukan al-Qur‟an dan Hadits namun tidak ditentukan kronologisnya.

1 M. Syafi‟ie, Purwanti dan Mahrus Ali, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, (Yogyakarta: Sigab, 2014), 105-126.

2 Juhaya S. Praja dan Ahmad Sihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Angkasa, tt), 77

3 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), 138.

(3)

c. Jarimah-jarimah yag sudah ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini nilai ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.

Hukuman-hukuman takzir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai berat. Hakim diberi wewenang untuk memilih hukuman-hukuman tersebut, yaitu sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman takzir, antara lain:4

1. Hukuman mati 2. Hukuman jilid

3. Hukuman kawalan (penjara kurungan) 4. Hukuman salib

5. Hukuman ancaman (tahdid), teguran (tanbih), dan peringatan (al-Wa‟dhu).

6. Hukuman pengucilan (al-hajru), dan 7. Hukuman denda (al-Gharamah).

Peristiwa pencurian yang dilakukan oleh penyandang disabilitas. Bahwa terdakwa Agustinus Dwijo Widodo bin Jc. Maniso pada hari Senin tanggal 26 Juni 2017 atau setidaknya pada waktu tertentu dalam bulan Juli 2017 bahwa terdakwa melakukan tindak pencuriaan dua buah jam tangan merk ETINNE AIGNER dan merk CITIZEN, bertempat di perum IKIP Gununganyar Indah blok C No. 100 Kec. Gununganyar. Terdakwa diperintah menjaga rumah saksi korban pada saat saksi korban berlibur ke Australia dan pembantu saksi korban pulang mudik lebaran. Atas perbuatan terdakwa, saksi korban Moch. Oloan Ritonga menderita kerugian Rp. 7.000.000,- (tujuh juta rupiah).

Dalam putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa Agustinus Dwijo Widodo bin Bc. Maniso, dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Sedangkan dalam konsep sariqah pelaku tersebut harus diberi hukuman potong tangan.

Atas permasalahan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini dengan mengangkat judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pencurian yang Dilakukan Oleh Penyandang Disabilitas (Studi Putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY)”.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SARIQAH DAN UNSUR JARIMAH PENCURIAN 1. Pengertian

Menurut bahasa, mencuri (sariqah) adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara sembunyi- sembunyi. Adapun menurut istilah, mencuri adalah mengambil harta yang terjaga dan mengeluarkan dari tempat penyimpanannya tanpa ada kerancuan (syubhat) di dalamnya dan dilakukan secara sembunyi- sembunyi.5

Dalam bukunya, Sayid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud mencuri adalah mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Mencuri adalah mengambil milik orang lain dengan tidak hak untuk dimilikinya tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Kemudian ada juga pengertian umum mencuri berarti mengambil sesuatu barang secara sembunyi- sembunyi, baik yang melakukan itu anak kecil atau orang dewasa, baik yang dicuri itu sedikit atau banyak, dan barang yang dicuri itu disimpan di tempat yang wajar untuk menyimpan atau tidak.

Dari beberapa pendapat di atas, maka yang dimaksud mencuri adalah mengambil harta orang lain yang terjaga atau tidak dari tempat penyimpanannya, dengan cara sembunyi-sembunyi dan harta tersebut tidak syubhat. Mencuri hukumnya adalah haram, dan dalam hadits dikatakan bahwa mencuri merupakan tanda hilangnya iman seseorang.

ْهَع َةَم ِرْكِع ْهَع َنا َو ْزَغ ُهْب ُمْيَضُف اَىَثَّدَح َد ُواَد ُهْب ِ َّاللَّ ُدْبَع اَىَثَّدَح ٍّيِهَع ُهْب وُرْمَع يِىَثَّدَح َهَع ُ َّاللَّ َّهََ ِّيِبَّىنا ْهَع اَمُُْىَع ُ َّاللَّ َي ِِ ََ ٍٍاَّبَع ِهْبا

َمَّهَس َو ِهْي

ٌهِم ْؤُم َوُه َو ُق ِرْسَي َهي ِح ُق َِاَّسنا ُق ِرْسَي َلَ َو ٌهِم ْؤُم َوُه َو يِو ْزَي َهي ِح يِوا َّزنا يِو ْزَي َلَ َلاَق

Artinya: “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri”.

(H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah) 2. Syarat dan Had Mencuri

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai mencuri apabila memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

a. Orang yang mencuri adalah mukallaf, yaitu sudah baligh dan berakal.

b. Pencurian itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.

c. Orang yang mencuri sama sekali tidak memiliki andil terhadap barang yang dicuri.

d. Barang yang dicuri adalah benar-benar milik orang lain.

e. Barang yang dicuri mencapai jumlah nisab.

f. Barang yang dicuri berada di tempat penyimpanan atau di tempat yang layak.

Apabila suatu perbuatan tidak memenuhi syarat di atas maka suatu perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mencuri, dan juga tidak dapat dijatuhi had mencuri. Had mencuri atau hukuman di dunia bagi pencuri adalah potong tangan.

Firman Allah SWT, dalam surat al-Maidah ayat 38 :

4 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 30.

5 Rizka Umami, Makalah: Mencuri dalam Syari‟at Islam (https://zkamiye.blogspot.com), 17 Juni 2013

(4)

ُ ق ِراَّسلٱ َو

َُوُ

ُ ةَق ِراَّسلٱ

ُ ا ٓو عَطۡقٱَُُف

ُ َنِ مُ الٗ ََٰكَنُاَبَسَكُاَمِبُ ََۢءٓا َزَجُاَم هَيِدۡيَأُ

ُهَِّللٱ

َُوُ

ُ َّللٱ

ُ ٞميِكَحُ ٌزي ِزَعُ

ُ

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

3. Dampak Negatif Perbuatan Mencuri

Terdapat hukum sebab akibat yang selalu mengikuti suatu perbuatan yang dilakukan, tanpa terkecuali perbuatan tercela mencuri. Dampak negatif perbuatan mencuri tidak hanya bagi pelaku pencurian, tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Dampak negatif mencuri adalah sebagai berikut:

a. Bagi Pelaku

1) Mengalami kegelisahan batin, pelaku pencurian akan selalu dikejar-kejar trasa bersalah dan takut jika perbuatannya terbongkar.

2) Mendapat hukuman, apabila tertangkap, seorang pencuri akan mendapatkan hukuman sesuai undang-undang yang berlaku.

3) Mencemarkan nama baik dan keluarga, seseorang yang telah terbukti mencuri nama baik dirinya dan keluarga akan tercemar di mata masyarakat.

4) Merusak keimanan, seseorang yang mencuri berarti telah rusak imannya. Jika ia mati sebelum bertobat maka ia akan mendapat azab yang pedih.

b. Bagi Korban dan Masyarakat

1) Menimbulkan kerugian dan kekecewaan, peristiwa pencurian akan sangat merugikan dan menimbulkan kekecewaan bagi korbannya.

2) Menimbulkan ketakutan, peristiwa pencurian menimbulkan rasa takut bagi korban dan masyarakat karena mereka merasa harta bendanya terancam.

3) Munculnya hukum rimba, perbuatan pencurian merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-nilai hukum. Apabila terus berlanjut akan memunculkan hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah.

1. Pengertian

Dalam banyak kesempatan fuqaha seringkali menggunakan kata jinayah dengan maksud jarimah.

Kata jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Kata jana juga berarti

“memetik buah dari pohonnya“. Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna „alaih. Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai pengertian, seperti yang diungkapkan Imam al-Mawardi :

"Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta‟zir."

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut :

"Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh Syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya."6

2. Syarat-syarat Jarimah Pencurian

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam : a. Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan

hukuman.

b. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).

c. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

Ketiga unsur tersebut harus terpenuhi ketika menentukan suatu perbuatan untuk digolongkan kepada jarimah. Di samping unsur-unsur umum tersebut, dalam setiap perbuatan jarimah juga terdapat unsur-unsur yang dipenuhi yang kemudian dinamakan dengan unsur khusus jarimah, misalnya suatu perbuatan dikatakan pencurian jika barang tersebut itu minimal bernilai 1/4 (seperempat) dinar, dilakukan diam-diam dan benda tersebut disimpan dalam tempat yang pantas. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, seperti barang tak berada dalam tempat yang tidak pantas. Nilainya kurang dari 1/4 (seperempat) dinar atau dilakukan secara terang-terangan. Meskipun memenuhi unsur-unsur umum bukanlah dinamakan pencurian yang dikenakan hukuman potong tangan seperti dalam ketentuan nash Al-Qur'an. Pelakunya hanya terkena hukuman ta'zir yang ditetapkan oleh penguasa.

3. Sanksi Jarimah Pencurian

Dalam tidak pidana pencurian, para ulama mempermasalahkan ganti rugi dan sanksi. Menurut Imam Abu Hanifah, ganti rugi dan sanksi itu tidak dapat digabungkan, artinya bila pencuri sudah dikenal sanksi hukuman had, maka baginya tidak ada keharusan untuk membayar ganti rugi. Alasannya, al-Qur‟an hanya menyebutkan masalah sanksi saja, sebagaimana disebutkan di atas. Selain itu, jika pencuri harus membayar ganti rugi, maka seakan-akan harta itu adalah miliknya.

6 Audah, Abdul Qadir. At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1.

(5)

Akan tetapi mazhab Hanafi pada umumnya berpendapat bahwa pemilik harta itu boleh meminta dikembalikannya harta itu setelah pencurinya dikenai sanksi hukuman bila harta itu masih ada, baik masih berada di tangan pencuri maupun telah berpindah ke tangan orang lain, maka orangtersebut dapat meminta ganti rugi kepada pencuri.

Menurut Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad, sanksi dang anti rugi itu dapat digabungkan. Alasannya, pencuri melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah berupa keharaman mencuri dan hak hamba berupa pengambilan atas harta orang lain. Oleh karena itu, pencuri harus mempertanggungjawabkan akibat dua hak ini, jadi pencuri itu harus mengembalikan harta yang dicurinya bila masih ada dan harus membayar ganti rugi bila hartanya sudah tidak ada. Selain itu, ia harus menanggung sanksi atas perbuatannya. Inila yang disebut dengan prinsip dhaman di kalangan ulama.

Dengan demikian, sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta yang dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya. Hanya mereka berbeda pendapat bila harta yang dicuri itu telah tidak ada ditangan pencuri. Apakah pencuri itu hanya dikenai had saja, ataupun disertai dengan kewajiban membayar ganti rugi? Adapun dasar hukum potong tangan terdapat firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 38:

ٌميِكَح ٌزي ِزَع ُ َّاللَّ َو ۗ ِ َّاللَّ َهِم ًلَاَكَو اَبَسَك اَمِب ًءا َزَج اَمَُُيِدْيَأ اوُعَطْقاَف ُةَق َِاَّسنا َو ُق َِاَّسنا َو

Artinya: "Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Hukuman potong tangan ini tidak dapat dimaafkan, jika perkaranya sudah diserahkan dan ditangani oleh Ulul Amri.Berkenaan dengan anggota badan yang dipotong dan batas pemotongannya, para ulama berbeda pendapat.

a. Imam Malik dan Imam Syafi‟I berpendapat pada pencurian pertama yang dipotong adalah tangan kanan, pada pencurian kedua yang dipotong adalah kaki kiri, pada pencurian yang ketiga yang dipotong adalah tangan kiri, pada pencurian ke empat yang dipotong adalah tangan kanan. Jika pencuri masih mencuri yang kelima kalinya maka dipenjara sampai dia bertobat.

b. Atha berpendapat bahwa pencurian yang pertama dipotong tangannya, dan mencuri yang kedua kalinya dihukum ta‟zir.

c. Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa pada pencurian pertama dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong tangan kirinya, pada pencurian ketiga dikenai hukuman ta‟zir.

d. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pada pencurian pertama pencuri dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong kaki kirinya, pencurian ketiga dipenjara sampai tobat.

Salah satu hal yang disepakati oleh para ulama adalah bahwa kewajiban potong tangan itu dihapus, jika tangan yang akan dipotong itu telah hilang sesudah pencurian terjadi.

Batas pemotongan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟I, Imam Ahmad dan Zahiri adalah dari pergelangan tangan ke bawah, begitupula bila yang dipotong kakinya. Alasannya adalah batas minimal anggota yang disebut tangan dan kaki adalah telapak tangan atau kaki dengan jari-jarinya. Selain itu Rasulullah melakukan pemotngan tangan pada pergelangan tangan pencuri.7

4. Cara Pembuktian Jarimah Pencurian

Cara pembuktian jarimah pencurian, diantaranya:

a. Dengan saksi

Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian sama halnya dengan jumlah saksi pada jarimah sariqah, yaitu minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman. Saksi bisa diambil dari para korban atau orang-orang yang terlibat langsung dalam kejadian perampokan.

b. Dengan dengan pengakuan

Pengakuan seorang pencuri merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana perampokan.

Menurut Jumhur Ulama pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Hanabilah bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.8

A. Pengklasifikasian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam 1. Unsur Formal Jarimah

Suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila sebelumnya sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Unsur ini disebut unsur formal jarimah. Dalam membicarakan unsur formal ini, terdapat lima masalah pokok sebagai berikut : a. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam

Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.

b. Sumber-sumber aturan-aturan pidana Islam

Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur‟an, As- Sunnah, ijma‟, dan qiyas.

7 H.A.Dzajuli. Fiqih Jinayah. (Jakarta: PT Raja Grafindo. 1997). Hlm. 80-84

8 M. Nurul Irfan. Fiqih Jinayah. (Jakarta: Amzah. 2013). Hlm. 113-114

(6)

c. Masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam

Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan hukum Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan.

d. Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam

Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian, yaitu Negeri Islam dan Negeri Bukan Islam.

e. Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana Islam

Hukum pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak membeda-bedakan tingkatan manusia. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, dan sebagainya.

2. Unsur Materiil Jarimah

Unsur materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat.

a. Percobaan melakukan jarimah

Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka terdapat tiga fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan.

b. Turut serta melakukan jarimah

Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta secara langsung dan secara tidak langsung. Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut disertai dengan kesengajaan.

3. Unsur Pertanggungjawaban (Moral) Jarimah a. Pertanggungjawaban pidana

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.

b. Hapusnya pertanggungjawaban pidana

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman itu ada empat macam, yaitu paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.

C. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH PENYANDANG DISABILITAS 1. Tinjauan Umum Tindak Pidana

a. Pengertian

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undangundang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa- peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah: 9

1) STRAFBAAR FEIT adalah peristiwa pidana.

2) STRAFBARE HANDLING diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan

3) CRIMINAL ACT diterjemahkan dengan istialh Perbuatan Kriminal.

Seperti yang diungkapkan oleh Moeljatno, ahli hukum pidana yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istiah beliau yakni perbuatan pidana adalah.

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.10

Jadi menurut pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.

Sementara Jonkers (Amir Ilyas 2012 : 20) merumuskan bahwa,

9 Ilyas, Amir, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pukap Indonesia, 2012), 18

10 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), 11

(7)

Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 11

Pompe (P.A.F. Lamintang 2011 : 271 ) juga mengartikan strafbaarfeit sebagai berikut:

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.

Adapun simons (P.A.F. Lamintang 2011 : 271 ) merumuskan Strafbaarfeit adalah :

“suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 12

Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaarfeit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaarfeit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.

Tidak pidana merupakan suatu dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine pravia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Asas legalitas ini mengandung tiga pengertian yaitu:13

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsurunsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subyjektif dan unsur-unsur objektif.

Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.14

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah : 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHPidana.

3) Macam-macam maksud atau oogmenk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHPidana.

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHPidana.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 15 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

11 Ilyas, Amir, Asas-asas Hukum Pidana, 20

12 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), 271

13 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005), 172

14 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, 193

15 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, 194

(8)

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHPidana atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHPidana;

3) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam membahas tindak pidana kita pasti menemukan beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidka sengaja. Tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai berikut:16

1) Menurut Sistem KUHPidana, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran dimuat dalam Buku III.

Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara.

Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan itu merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran itu sebagai berikut :

a) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu dituntut.

b) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.

c) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan pelanggaran .

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu.

Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syara penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian tergantung pada selesinya perbuatan mengambil.

Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya di gantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.

3) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak sengaja (culpa).

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.

Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana yang pasif murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.

Sementara itu, tindak pidana pasif yang di tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.

5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadi dalam waktu waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung

16 Ilyas, Amir, Asas-asas Hukum Pidana, 28

(9)

lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHPidana sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tidak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHPidana.

7) Dilihat dari sudut subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu)

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian tersebar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orangorang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri sipil (pada kejahatan jabatan) atau nahkoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.

8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksud ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatannya, tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.

9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :

a) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;

b) Dalam bentuk yang diperberat;dan c) Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya, sangat tergantung pada kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHPidana didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilingi ini maka dapat disebutkan misalnya dalam buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I KUHPidana), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHPidana), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti pencurian (Bab XXII KUHPidana), Penggelapan (Bab XXIV KUHPidana), Pemerasan dan pengancaman (Bab XXII KUHPidana) dan seterusnya.

11) Dari sudut berapa kali dan perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk untuk dipandang selesainya indak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHPidana adalah berupa tindak pidana tunggal.

Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dandapat dipidananya pelaku, diisyaratkan dilakukan secara berulang.

2. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Pencurian a. Pengertian

Dari segi bahasa (etimologi) pencurian berasal dari kata “curi” yang mendapat awalan “pe” akhiran

“an”. Menyatakan bahwa kata curi adalah sembunyi-sembunyi atau diam-diam atau tidak dengan jalan yang sah atau melakukan pencurian secara sembunyi-sembunyi atau tidak dengan diketahui orang lain perbuatan yang dilakukannya itu.

Dari segi hukum dan unsur-unsurnya tindak pidana pencurian merupakan kejahatan terhadap harta benda yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHPidana, Bab XXII. Kejahatan tersebut merupakan tindak pidana formil yang berarti perbuatannya yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Pengertian tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHPidana yang dirumuskan sebagai berikut (R. Soesilo 1995: 249):17

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena

17 Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, (Bogor: Politea, 1995), 249

(10)

pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900.

Dalam pasal 362 KUHPidana ini merupakan bentuk pokok dari pencurian dengan unsur-unsur sebagai berikut :

1) Mengambil suatu barang

2) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain 3) Dengan maksud untuk memilikinya secara

4) Melawan hukum

b. Jenis-jenis Pencurian

Penyusun Undang-undang mengelompokkan tindak pidana pencurian ke dalam klasifikasi kejahatan terhadap harta kekayaan yang terdapat pada buku II KUHPidana yang diatur daam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHPidana. Delik pencurian terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu :

1) Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHPidana)

Istilah “pencurian biasa “ digunakan oleh beberapa pakar hukum pidana untuk menunjuk pengertian “pencurian dalam arti pokok”. Pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHPidana yang dirumuskan sebagai berikut :

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900

Berdasarkan rumusan Pasal 362 KUHPidana, maka unsur-unsur pencurian biasa adalah : a) Perbuatan Mengambil

b) Suatu barang

c) Seluruhnya atau sebagian milik orang lain d) Melawan hukum

2) Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHPidana)

Istilah “pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doctrinal disebut sebagai “pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa. Oleh karena pencurian yang dikualifikaskan tersebut merupakan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP, maka unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah :

a) Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHPidana.

b) Unsur-unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHPidana yang meliputi;

 Pencurian ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHPidana)

 Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, gempa bumi, atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHPidana)

 Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau dikehendaki oleh yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHPidana)

 Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHPidana)

 Pencurian dengan jalan membongkar, merusak, dan sebagainya (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHPidana)

3) Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)

Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsurunsur dari pencurian yang didalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan) ancaman pidananya menjadi diperingan. Jenis pencurian ini diatur dalam ketentuan Pasal 364 KUHPidana yang menentukan:

“perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 No.4 begitu juga apa yang diterangkan dalam pasal 363 No.5, asal saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, maka jika harga barang yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.900.

Berdasarkan rumusan Pasal 364 KUHPidana, maka unsur-unsur pencurian ringan adalah : a) Pencurian dalam bentuknya yang pokok (pasal 362)

b) Pencurian yang dilakukan dua orang atau lebih secara bersama-sama; atau

c) Pencurian dengan masuk ke tempat kejahatan atau mencapai barang yang dicuri dengan jalan membongkar, memecah, memanjat, kunci palsu dan sebagainya , jika :

 Tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya.

(11)

 Nilai dari benda tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.

4) Pencurian dalam kalangan keluarga

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHPidana ini merupakan pencurian dikalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga, misalnya yang terjadi, apabila seseorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya.

1. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia18 penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.20

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.

2. Jenis-jenis Penyandang Disabilitas

Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang disabilitas :

a. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari :21

4) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.

5) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.

6) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh

b. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu : 22

1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

2) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.

3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.

4) Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.

c. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)

18 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa ,Edisi Ke empat, (Departemen Pendidikan Nasional: Gramedia, Jakarta,2008).

19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tamabahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251)

20 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670).

21 Reefani, Nur Kholis, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta:Imperium.2013), 17

22 Reefani, Nur Kholis, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus, 17

(12)

Pengaturan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas

1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia pada tanggal 10 November 2011 Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas. Sehingga penyandang disabilitas bebas dari penyiksaan, perlakuaan yang semena-mena, tidak manusiawi, diskriminatif, eksploitasi, serta berhak atas perlindungan hukum apabila penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Ketentuan dalam Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dalam bidang hukum, tertuang dalam Pasal 13 yang mengatur tentang akses terhadap keadilan. Ketentuan ini mengharuskan Indonesia melakukan pengaturan yang memberikan akses yang baik bagi penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum, serta meningkatkan kompetensi terhadap penegak hukum dan petugas lembaga pemasyarakatan.

Pasal 15 Konvensi mengatur penyandang disabilitas harus dapat dicegah dari perlakukan penyiksaan dan pengenaan hukuman yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Maka pengaturan terhadap model penegakan hukum dan penghukuman terhadap anak penyendang disabilitas seperti dalam pendekatan keadilan restoratif menjadi relevan dilakukan dalam perundang-undangan di Indonesia.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan undang-undang tentang penyandang disabilitas yang mengedepankan hak asasi manusia yang tidak diketemukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas sebelumnya. Undang-undang sebelumnya lebih banyak bernuansa diskriminatif sehingga hak penyandang disabilitas belum sepenuhnya terlaksana. Undang-undang ini memuat terutama pengaturan tentang hak dan perlindungan yang didapatkan anak apabila berhadapan dengan hukum. Amanat Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan wajib menyediakan Unit Layanan Disabilitas. Unit layanan disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi, memastikan apabila terdapat anak penyandang disabilitas, maka dalam kurun waktu tidak kurang dari enam bulan pelayanan di tempat penahanan atau lembaga pemasyarakatan dapat dilaksanakan baik berupa sarana dan prasarana maupun obat-obatan yang melekat pada anak penyandang disabilitas. Termasuk penyediaan bagi kebutuhan khusus adalah memberikan layanan rehabilitasi untuk penyandang disabilitas mental.

Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Berdasarkan Pasal 31 dan Pasal 28 UU NO.4 Tahun 2004, Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU No.4 Tahun 2004. Hakim wajib menggali, mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim diberi fungsi UU No.4 Tahun 2004 untuk menerima, memeriksa, dan memutus dalam menyelesaikan perkara tindak pidana, selalu dituntut untuk memberikan putusan yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya serta dalam menjatuhkan pidana selalu memperhatikan aspekaspek lain terdakwa maupun masyarakat.

Putusan akhir merupakan tahapan paling akhir dalama persidangan. Dalam putusan akhir ini nantinya hakim akan menjatuhkan vonis terdakwa bersalah atau tdak bersalah. Ada beberapa alasan yang dijadikan pertimbangan hakim sebelum menyusun putusannya. Pertama unsur-unsur dakwaan Penuntut Umum terpenuhi semua sehingga terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal yang didakwakan oleh penuntun umum. Apabila ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi maka hakim tidak bisa menjatuhkan vonis untuk menghukum terdakwa. Kedua tidak ada alasan pembenar dan atau pemaaf sehingga terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Alasan pemaaf adalah halhal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya dijatuhkan kepadanya menjadi terhapus.

Misalnya daya paksa/overmacht Pasal 48 KUHP, Pembelaan terpaksa / Noodweer Pasal 49 ayat (1) KUHP, melaksanakan ketentuan Undang-undang Pasa 50 KUHP, dan melaksanakan perintah jabatan Pasal 51 ayat (1) KUHP.

Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menjadikan dapat dibenarkannya perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku sehingga secara hukum sudah tidak merupakan perbuatan pidana lagi.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 183 dijelaskan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseornag kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti kasus pidana dalam Pasal 184 KUHAP dijelaskan tentang alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Secara teori dan berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 Jo. UU No. 5 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikenal ada 3 jenis putusan majelis hakim sebagai berikut :

1. Putusan Unianimoust adalah jika semua anggota majelis hakim setuju terhadap isi putusan, putusan ini juga sering disebut putusan bulat.

2. Putusan concurring Opinion adalah jika semua anggota majelis hakim dsetuju dengan isi putusan secara bulat, tetapi ada sebagian anggota majelis yang memiliki alasan yang berbeda.

3. Putusan dissenting opinion adalah jika terhadap isi putusan yang ditetapkan oleh majelis, tetapi ada anggota majelis yang sebenarnya sama sekali berbeda pandangan dan putusan dengan majelis hakim secara keseluruhan.

Meskipun dimungkinkan ada anggota majelis hakim yang mempunyai pertimbangan dan putusan berbeda pada saat membuat putusan akhir tetapi putusan hakim tersebut harus berdasarkan kepastian hukum semata. Meskipun idealnya putusan hakim harus memuat tiga unsur yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssichherheit), dan kemanfaatan (zzmeckmmasisigkeit).

(13)

D. ANALISIS SANKSI PIDANA PENCURIAN MELALUI KEPUTUSAN PENGADILAN NEGERI SURABAYA NO. 2607/PID.B/2017/PN.SBY DALAM PANDANGAN ISLAM

Keputusan Hukum Hakim Terhadap Pencurian Yang Dilakukan Orang Penyandang Disabilitas Dalam Putusan No. 2607/Pid.B/2017/PN.SBY

1. Kronologis dan Pembelaan Terhadap Kasus Agustinus Dwijo Widodo (Data YLBHI-LBH Surabaya – LBH Disabilitas – Disability Motorcycle Indonesia (DMI) Surabaya)

Agustinus Dwijo Widodo merupakan penyandang disabilitas dengan kombinasi secara kognitif, mental serta emosional. Berdasarkan hasil pemeriksaan Ahli Psikologi Riza Wahyuni, S.Psi, Msi. yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 13 November 2017, Agustinus Dwijo Widodo memiliki kapasitas intelegensi pada kapasitas retardasi mental ringan, secara fisik tampak normal, namun rendahnya fungsi intelektual umum yang terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan salah satu atau lebih diantara faktor (1) kemasakan, (2) kemampuan belajar, (3) penyesuaian sosial. Pada aspek kepribadian, bahwa Terdakwa cenderung kesulitan penyesuaian diri, perasaan diri dingin, perasaan takut, sikap tanpa perhitungan serta cenderung mengalami gangguan intelektual.

Nasib Agustinus Dwijo Widodo menjadi Terdakwa (selanjutnya tertulis Terdakwa) dalam perkara pidana nomor : 2607/Pid.B/2017/PN.Sby bermula pada tanggal 2 Juli 2017, Ia dijemput di rumahnya di Jl.

Gununganyar 3 C No. 40 RT. 05/RW. 01, Kecamatan Gununganyar, Surabaya oleh saksi Siatin (Asisten Rumah Tangga/ART) karena kamar rumah majikannya yang bertempat di Perum IKIP Gununganyar Indah Blok C No.

100 Kec. Gununganyar Surabaya ditemukan dalam keadaan berantakan. Saksi Siatin tidak pernah menaruh curiga apapun ketika mendatangi Terdakwa, bahwa Terdakwalah pelaku pencurian. Kemudian Terdakwa bersama saksi Ketua RT (Herry Prationo) dan Asisten Rumah Tangga (ART) dibawa ke Polsek Rungkut untuk dimintai keterangan. Terdakwa diperiksa paling akhir diantara 3 orang terperiksa tersebut. Berdasarkan keterangan saksi Ketua RT, penyidik menyuruh Ketua RT dan ART pulang sedangkan Terdakwa tidak diperkenankan pulang karena informasi dari Penyidik dia akan mengaku.

Berdasarkan investigasi LBH Surabaya, Terdakwa kepada orang tua dan saudaranya mengatakan bahwa dalam proses pemeriksaan dipaksa mengaku sebagai pelaku pencurian oleh penyidik. Terdakwa mengaku dipukul menggunakan sepatu dan diancam akan dihukum berat jika tidak mengaku, dan juga mengaku dijanjikan akan dihukum ringan jika mengaku. Hal ini sepertinya yang membuat Terdakwa awalnya enggan untuk didampingi Penasihat hukum karena takut dihukum berat seperti ancaman Penyidik. Pengakuan Terdakwa tentang pemaksaan dari Penyidik ini patut diduga benar adanya, karena dalam proses penyidikan di Polsek Rungkut, Terdakwa tidak didampingi oleh siapapun selama proses pemeriksaan. Ketua RT dan ART yang datang bersama Terdakwa tidak diperkenankan bertemu dengan Terdakwa oleh Penyidik. Akibatnya, patut diduga bahwa Terdakwa memberikan keterangan kepada Penyidik dalam keadaan tertekan. Sehingga, terdakwa mengakui dalam BAP-nya bahwasanya Terdakwa melakukan pencurian. Celakanya, pengakuan tersebut menjadi “satu-satunya” pegangan Penyidik untuk menjadikan Terdakwa sebagai tersangka pada saat itu.

Dalam kasus ini, YLBHI-LBH Surabaya berpendapat bahwa Penyidik tidak profisional dalam menangani kasus ini. Penyidik mengabaikan prinsip-prinsip fair trial dan cenderung „memanfaatkan‟ Terdakwa yang menyandang disabilitas untuk dijadikan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas peristiwa pencurian ini. Ketidakprofisonalan Penyidik terlihat dari beberapa kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan oleh Tim Penasihat Hukum Terdakwa (YLBHI-LBH Surabaya) ketika melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap berkas perkara Terdakwa (Berkas diperoleh pada tahap persidangan di PN Surabaya). Kejanggalan- kejanggalan tersebut antara lain :

1) Dalam keterangannya di BAP, saksi Siatin (Asisten Rumah Tangga Korban), pada hari Minggu tanggal 02 Juli 2017 Pukul 08.00 wib datang ke TKP (vide BAP ART);

2) Berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sprin-Kap/56/VII/2017/RESKRIM & Berita Acara Penangkapan, pada hari Minggu tanggal 02 Juli 2017 Pukul 10.00 wib, Terdakwa ditangkap oleh Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya Sektor Rungkut (Polsek Rungkut) (vide Sprinkap dan Berita Acara Penangkapan);

3) Berdasarkan BAP, Pelapor atas nama Herry Prationo (Ketua RT) diperiksa pada hari Minggu tanggal 02 Juli 2017 pukul 13.15 wib. Dalam keterangannya, saksi Pelapor tidak tahu ada barang yang hilang (vide BAP Pelapor/RT);

4) Berdasarkan BAP, Saksi Siatin (ART) diperiksa pada hari Minggu tanggal 02 Juli 2017 pukul 15.00 wib.

Dalam keterangannya juga menyampaikan tidak tahu ada barang yang hilang (vide BAP saksi ART);

5) Berdasarkan BAP, Terdakwa diperiksa pada hari Minggu tanggal 02 Juli 2017 pukul 18.15 wib dengan status sebagai tersangka. Dalam keterangannya terdakwa mengaku mengambil barang berupa dua jam tangan perempuan merk Etinne Agner dan Citizen (vide BAP terdakwa);

6) Berdasarkan BAP, Saksi Korban Moch. Oloan Ritonga diperiksa pada hari Senin tanggal 03 Juli 2017 pukul 07.00 wib (Keesokan harinya), dalam keterangannya Saksi Korban mengatakan barang yang hilang berupa dua jam tangan perempuan merk Etinne Agner dan Citizen (vide BAP Saksi Korban);

7) Berdasarkan Berita Acara Penyitaan, penyitaan barang bukti (satu buah obeng warna putih pegangan bergambar bendera America) dilakukan di Jl. Rungkut Asri Timur 17 No. 01 Surabaya. Padahal locus delictie berada di Perum IKIP Gununganyar Indah Blok C No. 100, Kecamatan Gununganyar Surabaya dan Rumah Terdakwa berada di Jl. Gununganyar 3 C No. 40 RT. 05/RW. 01, Kecamatan Gununganyar, Surabaya (vide Berita Acara Penyitaan). Sedangkan dalam BAP, Terdakwa menerangkan bahwa obeng tersebut diletakkan kembali di atas meja yang ada di samping kulkas yang ada di dapur rumah yang menjadi locus delictie (vide BAP Terdakwa).

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian keterampilan dilakukan guru dengan melihat kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan hasil analisis sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan

Adapun FLAIR adalah teknik yang dikembangkan oleh tim peneliti Hammersmith pada awal 1990-an untuk menghasilkan citra yang lebih jelas dibandingkan dengan citra

Tujuan dari permainan Find the pair adalah melatih kosentrasi dan daya ingat bagi yang memainkannya, tampilan permainan ini dibuat semenarik mungkin dengan adanya

Pada fase ini, iterasi dimulai pencarian solusi neighborhood dari solusi sebelumnya (solusi awal untuk iterasi pertama), kemudian dilakukan pengecekan status move apakah

Adapun yang menjadi alasannya adalah untuk menghindarkan para muzakki yang sekaligus menjadi wajib pajak tidak terkena beban ganda ( double burden ) dan untuk memacu

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan yaitu hasil pengujian dan pengolahan dengan metode Principal Component Analysis (PCA) menunjukkan

didukung dengan potensi yang dimiliki oleh Indonesia sebagai salah satu negara tropis dengan potensi rotan yang besar. Kabupaten Indragiri Hulu tepatnya di Desa

Pelaksanaan penelitian dilakukan di SDN Tahai Jaya-1 Kecamatan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Bahwa para siswa disana terkhusus kelas III masih banyak shalat