• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effects of Shrinkage to Thin Layer Drying Characteristics of Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effects of Shrinkage to Thin Layer Drying Characteristics of Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Pengaruh Penyusutan Terhadap

Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

(3)

ABSTRACT

INGE SCORPI TULLIZA. The Effects of Shrinkage to Thin Layer Drying Characteristics of Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) of ARMANSYAH H. TAMBUNAN and USMAN AHMAD.

In this study, the shrinkage effects on the thin layer drying model of temu putih herb slices was investigated. Numerous of thin layer drying have been suggested by researchers, either theoretical or empirical, but the role of shrinkage in the model is not clearly defined. The objective of this study is to observe the occurrence of shrinkage during thin layer drying of temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) and analize its effects to the thin layer drying model. The experiments were conducted using a laboratory scale dryer equipped data acquisition and machine vision system. The drying condition was controlled at a combination of temperature and relative humidity, i.e at temperature 50 °C, 60 °C, 70 °C for 40% relative humidity (RH), and RH 20%, 30%, 40%, 50% for temperature 50ºC. The drying air velocity was set at range 0.78 m/s–0.95 m/s

The changes in products geometry was recorded with a camera during the process and analyzed with image processing system to obtain the surface area ratio of the product (AR). The drying data was used to determine the constans of the models, i.e Henderson and Pabis, Lewis, and Page model. It was found that Page model is the best model to describe the drying data. Inclusion of the surface area ratio to the models by modifying the k constant gave no positive effect to the improvement of the models performance.

(4)

Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe). Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN dan USMAN AHMAD.

Proses pengeringan lapisan tipis temu putih dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya meliputi sifat termofisik bahan, sedangkan faktor eksternal adalah suhu, kelembaban udara dan kecepatan pengering. Semakin tinggi suhu dan kecepatan udara serta semakin rendah kelembaban udara, maka laju pengeringan semakin cepat dan menyebabkan proses penurunan kadar air serta penyusutan bahan semakin cepat.

Penyusutan pada permukaan bahan menyebabkan pengerutan, keretakan dan pembengkokan serta case hardening. Hal ini dapat dapat diminimalkan dengan penurunan laju pengeringan, sehingga pengkerutan pada permukaan bahan berkurang. Perubahan bentuk dan ukuran yang terjadi selama pengeringan perlu diamati lebih lanjut, karena selama ini dalam berbagai model pengeringan penyusutan yang terjadi selalu diabaikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari penyusutan bahan pada proses pengeringan lapisan tipis temu putih dengan image processing dan menentukan pengaruh penyusutan temu putih terhadap karakteristik pengeringan.

Untuk mengetahui seberapa besar penyusutan bahan yang terjadi selama proses pengeringan digunakan bantuan pengolah citra (image processing) dengan menggunakanweb camera. Pengolahan citra merupakan proses mengolah piksel-piksel dalam citra digital untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu. Dengan menggunakan sistem standar pengambilan citra berupa web camera, komputer (hardware dan software) semua parameter yang berhubungan dengan bentuk (area) dianalisa. Sehingga perubahan area pada bahan selama pengeringan berlangsung dengan interval waktu 8-13 jam akan diketahui.

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah irisan temu putih yang berumur ±9 bulan dan diperoleh dari Kebun Petak Pamer Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Cimanggu Bogor.

Alat yang digunakan adalah mesin pengering berakuisisi dengan prinsip kerja berdasarkan pada udara panas yang berasal dari elemen listrik berkapasitas 2000 W yang dihembuskan ke bahan. Sedangkan untuk kontrol RH digunakan humidifier. Udara panas yang basah yang berasal dari ruang air heater akan didorong oleh kipas ke dalam ruang pengering. Kecepatan udara yang masuk dalam ruang pengering dapat diatur dengan menarik atau mendorong tuas pada bagian flow controller. Apabila suhu dan RH yang dicapai melebihi set point, maka dilakukan pembuangan uap air melalui dehumidifier yang memiliki efek pendinginan dan pengembunan.

(5)

Hasil dari pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa area ratio (AR) akibat dari penyusutan yang terjadi memperlihatkan hubungan yang linier dengan moisture ratio(MR). Perhitungan pengeringan lapisan tipis temu putih dilakukan dengan menggunakan model Lewis, Henderson dan Pabis, dan Page. Model Page mampu menggambarkan karakteristik pengeringan temu putih karena memiliki nilai error terendah dan efisiensi tertinggi dengan rata-rata persentase pada semua perlakuan berkisar antara 99.43% - 99.70%. Nilai konstanta pengeringan (k) model Page bervariasi antara 0.0032 mnt-1–0.0067 mnt-1.

Modifikasi model dilakukan dengan memodifikasi konstanta laju (k) menjadi fungsi AR. Akan tetapi pengujian model termodifikasi tersebut baik Henderson dan Pabis serta Lewis, menunjukkan kesalahan (error) yang lebih tinggi dibandingkan model tanpa modifikasi. Dengan demikian, peranan penyusutan terhadap model-model pengeringan tersebut masih memerlukan penelusuran lebih lanjut.

(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENGARUH PENYUSUTAN TERHADAP

KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS

TEMU PUTIH (

Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe

)

INGE SCORPI TULLIZA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Penyusutan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe)

Nama : INGE SCORPI TULLIZA

NRP : F151080031

Mayor : Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Dr. Ir. Radite P. Agus Setiawan, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya penulisan karya ilmiah dengan judul

”Pengaruh Penyusutan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe)” ini sesuai dengan rencana yang diharapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, sebagai ketua komisi pembimbing yang selalu memberi masukan dan bimbingan dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr., sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran dan masukan dalam menyusun karya ilmiah penelitian ini. 3. Dr. Leopold O. Nelwan, STP, MSi., sebagai penguji luar komisi atas

pertanyaan, saran dan masukan dalam karya ilmiah penelitian ini.

4. Dr. Ir. Radite P.E. Setiawan, M.Agr., sebagai ketua Mayor TMP yang telah memberikan arahan selama penulis menyelesaikan studi.

5. Hibah Kompetisi 2009, yang telah mensponsori penelitian ini.

6. Teman-teman TMP angkatan tahun 2008 yang selalu memberikan semangat 7. Akhirnya suamiku tercinta Andi Fajar Lapatau dan putra-putri kesayanganku

Andi Sya Fritzie P.Lapatau, Andi Muhammad Abhiraj P. Lapatau dan Andi Muhammad Algebra P. Lapatau serta saudara-saudara yang selalu memberikan inspirasi, dorongan dan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini. Oleh karena itu dengan segala keterbukaan, saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penelitian ini sangat diharapkan.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Bogor, Agustus 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Padang pada 05 November 1977. Anak ke-empat dari lima bersaudara pasangan Udjang Tulis Simabua (alm) dan Ernawaty Isa (alm). Menamatkan pendidikan Dasar di Sekolah Dasar Negeri Gurun Lawas Padang pada Tahun 1986. Kemudian melanjutkan ke pendidikan Menengah Pertama Negeri IV Padang dan Lulus di tahun 1989. Pada tahun 1995 menamatkan pendidikan Sekolah menengah Atas Negeri II Ujungpandang dan lalu masuk ke Universitas Hasanuddin pada tahun yang sama. Sejak menjadi mahasiswa, aktif pada kegiatan-kegiatan organisasi dan sosial. Menjadi Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Pertanian dan Kehutanan pada Tahun 1999 dan menyelesaikan studi pada Tahun 2000 dengan predikat memuaskan dan menjadi wisudawan Terbaik.

(12)

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

DAFTAR SIMBOL ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Komposisi Kimia Temu Putih ... 5

Perkembangan Biofarmaka ... 5

Pengolahan Simplisia Biofarmaka Rimpang... 6

Pengeringan ... 7

Pengeringan Lapisan Tebal ... 12

Pengeringan Lapisan Tipis ... 12

Model Semi Teoritis Pengeringan Lapisan Tipis ... 14

Penyusutan dan Model Pengeringan ... 16

Pengolahan Citra... 18

METODOLOGI PENELITIAN ... 21

Waktu dan Tempat ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Bahan... 21

Alat... 21

Prinsip Kerja Mesin Pengering Berakuisisi... 21

Prosedur Percobaan... 22

Pengambilan Data ... 23

Suhu dan RH... 23

Kecepatan Aliran Udara ... 23

Massa Bahan... 23

Kadar Air ... 24

(13)

iv

Perlakuan dan Pengulangan... 25

Analisis Data... 25

Perhitungan Perubahan Kadar Air ... 25

Pemodelan Pengeringan Lapisan Tipis dan MR... 26

Pengujian Keabsahan Model ... 27

Modifikasi model ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis ... 28

Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu ... 28

Perubahan Laju Pengeringan Terhadap Waktu ... 31

Perubahan Laju Pengeringan terhadap Kadar Air ... 32

Nilai k, A dan n dari Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih... 34

Pengujian Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih... 35

Penyusutan Selama Pengeringan ... 38

Perubahan Area Bahan terhadap Waktu... 39

Hubungan AR dan MR... 40

Koefisien Pengeringan Sebagai Fungsi Rasio Penyusutan Area ... 42

Modifikasi Model Henderson dan Pabis ... 42

Modifikasi Model Lewis ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

Kesimpulan... 49

Saran... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(14)

Tabel 1. Perlakuan suhu dan kelembaban relatif (RH) ... 25

Tabel 2. Model Matematika pengeringan lapisan tipis... 26

Tabel 3. Data kadar air dan waktu pengeringan pada suhu 50°C... 28

Tabel 4. Data kadar air dan waktu pengeringan pada RH 40% ... 29

Tabel 5. Nilai konstanta pengeringan pada RH 40%... 35

Tabel 6. Nilai konstanta pengeringan pada T 50 ºC ... 35

Tabel 7. Analisaerrormodel pada semua perlakuan ... 36

Tabel 8. Analisa EF model pada semua perlakuan... 37

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman temu putih (Curcuma zedoaria(Berg) Roscoe)... 4

Gambar 2. Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria(Berg) Roscoe)... 7

Gambar 3. Kurva pengeringan (Brookeret al.1992) ... 9

Gambar 4. Kurva karakteristik pengeringan (Bala, 1997) ... 11

Gambar 5. Diagram Alir Mesin Pengering Berakuisisi ... 22

Gambar 6. Skematik perekaman citra... 24

Gambar 7. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu pada suhu 50oC ... 30

Gambar 8. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu pada RH 40%... 31

Gambar 9. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada suhu 50oC ... 32

Gambar 10. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada RH 40%... 32

Gambar 11. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air pada suhu 50oC ... 33

Gambar 12. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air pada RH 40% ... 33

Gambar 13. Kurva hubungan antara MR dengan waktu pada suhu 50 ºC :... 37

Gambar 14. Kurva hubungan antara MR dengan waktu pada RH 40% : ... 38

Gambar 15. Kurva AR selama pengeringan pada RH 40% ... 39

Gambar 16. Kurva AR selama pengeringan pada T 50 ºC ... 40

Gambar 17. Kurva hubungan rasio perubahan kadar air (MR) dengan rasio area penyusutan (AR) yang terjadi selama pengeringan (RH 40%)... 41

Gambar 18. Kurva Kurva hubungan rasio perubahan kadar air (MR) dengan rasio area penyusutan (AR) yang terjadi selama pengeringan (T=50°C) ... 42

Gambar 19. Kurva hubungan MR data dengan MR perhitungan pada T 50 °C ... 43

Gambar 20. Kurva hubungan MR data dengan MR perhitungan pada RH 40% ... 44

Gambar 21. Kurva hubungan antara MR dengan waktu pada T 50 ºC... 44

Gambar 22. Kurva hubungan antara MR dengan waktu pada RH 40% ... 45

Gambar 23. Kurva hubungan MR data dengan MR perhitungan pada suhu 50°C ... 46

Gambar 24. Kurva hubungan MR data dengan MR perhitungan pada RH 40% ... 46

Gambar 25. Kurva hubungan antara MR dengan waktu pada suhu 50 C ... 47

(16)

Halaman

Lampiran 1. Gambar alat yang digunakan dalam penelitian...54

Lampiran 2. Skema Proses Penelitian...56

Lampiran 3. Data pengeringan pada RH 40% dengan T 70 ºC... 57

Lampiran 4. Data pengolahan citra pada suhu 50 ºC dengan RH 40% ... 58

Lampiran 5. Data MR model dan eksperimen pada RH 40% dengan suhu 70 ºC ....59

Lampiran 6. Analisa EF model modifikasi pada semua perlakuan ... 60

Lampiran 7. Tampilan program citra ...61

(17)

DAFTAR SIMBOL

Simbol Latin Satuan

A Luas (kontak) permukaan m2

A (pers 8) konstanta pengeringan B (pers 8) konstanta pengeringan

AR Rasio penyusustan area

bb Basis basah %

bk Basis kering %

D Divusivitas efektif

Do koefisien difusi

Ea aktifitas energi kJ/mol

h ketebalan bahan m2

h (pers 1) koefisien konveksi W/mºK

hfg Panas laten penguapan kJ/kg

k koefisien pengeringan mnt-1

k11 k12 k13

k21 k22 k23 konstanta

k31 k32 k33

LP Laju pengeringan %bk/menit

LPi Laju pengeringan saat (i) %bk/menit

m kadar air basis basah %bb

mA massa air gram

mAi massa air saat (i) gram

mB massa bahan gram

mi massa (i) gram

mP massa padatan gram

M Kadar air basis kering %bk

Mi Kadar air bk (i) %bk

MR Moisture Ratio

MRpre Moisture Ratio model

MRexp Moisture Ratio percobaan

M0 kadar air awal %bk

Me kadar air keseimbangan %bk

N jumlah data

n konstanta pengeringan

Pa tekanan atmosfir N/m2- Pascal

Ps Tekanan uap jenuh N/m2- Pascal

R konstanta gas J/mol K

RH kelembaban relatif %

t waktu menit

T Suhu ºC

twb suhu bola basah ºC

t∞ suhu bola kering ºC

Tabs suhu udara abs ºC

θ (pers 2) waktu mnt/detik

(18)

Perhatian masyarakat terhadap tanaman obat semakin meningkat dengan berkembangnya keyakinan masyarakat bahwa tanaman obat-obatan dapat digunakan dalam penyembuhan berbagai macam penyakit dan mudah ditemukan serta tidak membutuhkan biaya yang mahal. Salah satu tanaman obat yang mulai diperhatikan adalah temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe). Tanaman ini dapat digunakan dalam pengobatan kanker dan sebagai food suplement. Saat ini tingkat permintaan akan temu putih semakin meningkat, sedangkan temu putih belum banyak dibudidayakan, sehingga di pasaran harga temu putih cukup tinggi (Gusmainiet al.2004).

Pengolahan temu putih di Indonesia masih dilakukan secara tradisional dan belum memperhatikan syarat mutu. Sebagian besar petani dan pedagang pengumpul biasanya mengeringkan temu putih dengan cara menjemur secara langsung setelah dipanen tanpa terlebih dahulu melalui proses pembersihan dengan dicuci dan perlakuan lainnya. Pengeringan dengan cara konvensional ini memang murah dan praktis, namun memiliki beberapa kelemahan yang terkait dengan mutu simplisia.

Proses pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi sifat termofisik bahan, sedangkan faktor eksternal meliputi suhu, kelembaban udara dan kecepatan udara pengering. Semakin tinggi suhu dan kecepatan udara serta semakin rendah kelembaban udara, maka laju pengeringan semakin cepat. Disamping itu, perubahan kadar air dan geometri bahan selama proses pengeringan juga berpengaruh terhadap pelepasan air dalam bahan. Pengeringan untuk bahan-bahan pertanian dengan kadar air awal bahan yang tinggi biasanya menggunakan pengeringan lapisan tipis.

(19)

2

dilakukan untuk mendapatkan model matematis yang sesuai pada kondisi pengeringan. Model yang digunakan didasarkan pada model difusi, perpindahan massa dan panas, empiris dan semi teoritis. Distribusi air dalam padatan dapat terjadi secara difusi. Model difusi yang berawal dari hukum II Fick dikembangkan untuk berbagai bentuk geometris padatan, dengan asumsi koefisien difusi konstan, distribusi kadar air awal seragam, serta mengabaikan tahanan luar, gradien suhu dan penyusutan volume padatan.

Penelitian eksperimental umumnya menggunakan model semi teoritis untuk mendapatkan model pengeringannya. Dari model-model semi teoritis yang ada kemudian dibandingkan untuk mendapatkan salah satu model yang paling sesuai denganerrorpaling minimum. Disamping model-model semi teoritis yang telah ada, model matematis untuk pengeringan dapat diperoleh dengan mengembangkan persamaan difusi yang berawal dari hukum II Fick dengan kondisi batas dan asumsi yang berbeda-beda pada setiap penelitian.

Selain mendapatkan model yang cocok untuk pengeringan, banyak penelitian percobaan pengeringan yang bertujuan mendapatkan difusivitas efektif, dan sering mengabaikan penyusutan sebagai salah satu parameter yang mempengaruhi model tersebut. Penyusutan yang terjadi selama pengeringan perlu diamati lebih lanjut, karena selama ini dalam berbagai model pengeringan penyusutan selalu diabaikan. Beberapa peneliti (Boyce 1966; Nellist 1974 dan Spencer 1972) mengatakan bahwa penyusutan sangat tergantung pada perubahan kadar air, sedangkan Bala (1983) memprediksi penyusutan pada butiran dengan dasar data eksperimen untuk gandum tanpa menggunakan tools untuk melihat penyusutan tersebut (Bala 1997).

Untuk mengetahui seberapa besar penyusutan bahan selama pengeringan digunakan bantuan pengolah citra (image processing) dengan menggunakanweb camera. Pengolahan citra merupakan proses mengolah piksel-piksel dalam citra

(20)

Penelitian ini mencoba memasukkan hasil penyusutan bahan yang diperoleh dengan bantuan pengolah citra sebagai suatu parameter untuk melihat pengaruh penyusutan terhadap model pengeringan.

Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyusutan terhadap karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih. Sedangakan secara spesifik penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mempelajari bentuk fisik penyusutan bahan pada proses pengeringan lapisan tipis temu putih denganimage processing.

(21)
(22)

Menurut Syukur (2003), temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) dapat mengatasi beberapa jenis penyakit dan gangguan kesehatan antara lain kanker dan tumor, peradangan dalam seperti maag, menurunkan kolesterol, penurun demam dan peluruh keringat. Pemanfaatan temu putih dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, kapsul serbuk, dan kapsul ekstrak.

Menurut Depkes RI dalam SP. NO 383/12.01/1999, sejak lama temu putih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk terapi penyakit diare, muntah dan disentri. Dari hasil penelitian diketahui bahwa temu putih sangat baik untuk penyakit yang diakibatkan oleh gangguan paru-paru, diantaranya asma, TBC, dan sinusitis. Saat ini temu putih telah banyak diolah secara modern sehingga menghasilkan rasa enak dan bermanfaat untuk pengobatan alternatif.

Komposisi Kimia Temu Putih

Temu putih berbentuk rimpang mengandung komponen minyak atsiri, cineole, resin, camphene, zingeberene, borneol, camhor, tepung, curcumin, dan zedoarin. Minyak atsiri yang mudah menguap (volatil oil) merupakan komponen

pemberi aroma yang khas.

Menurut Rukmana (1994) kandungan minyak atsiri dalam temu putih sekitar 0.85%. Komponen utama minyak atsiri temu putih yang menyebabkan bau harum adalah zingiberene. Kadar pati pada temu putih sekitar 55.54%, kadar serat 3.83%, dan kadar abu sekitar 5.87%. Indeks bias dan bobot jenis masing-masing bernilai 1.49% dan 0.98%. Sedangkan warna minyak dari ekstraksi rimpang temu putih ini berwarna putih jernih.

Perkembangan Biofarmaka

(23)

6

nilai ekspor biofarmaka Indonesia mencapai US $ 30-40 juta. Sementara itu pangsa pasar biofarmaka dalam negeri berkisar USD 210 juta pertahun (Ditjen Hortikultura 2006).

Susenas tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk yang meminum dan memakai jamu/obat tradisional cukup tinggi, yaitu total 31.7%. Dari jumlah itu, pengguna di lapisan ekonomi menengah ke bawah dan masyarakat pedesaan jumlahnya jauh lebih besar yaitu 70%. Hal ini didukung oleh data omzet penjualan industri jamu nasional yang mencapai Rp 4 triliun dari sekitar 900 pengusaha. Pelaku usaha industri biofarmaka tahun 1981 sebanyak 165 pelaku, tumbuh menjadi 443 pelaku pada tahun 1990, dan meningkat lagi menjadi 997 pelaku pada tahun 2001. Nilai jual produk farmaka Indonesia terus meningkat, pada tahun 1991 sebanyak Rp 95.5 miliar menjadi Rp 600 miliar pada tahun 1999, dan total agribisnis biofarmaka diperkirakan mencapai Rp 4 triliun pada tahun 2013 (Sumarno 2004).

Pengolahan Simplisia Biofarmaka Rimpang

Dalam proses pengolahan biofarmaka rimpang (jahe, kunyit, kencur, temu-temuan dan lain sebagainya), pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi harus memperhatikan kandungan senyawa yang berperan dalam performansinya, karena berkaitan dengan mutu hasil akhir olahan. Bahan baku biofarmaka rimpang dapat diproses menjadi berbagai produk yang sangat bermanfaat dalam menunjang industri obat tradisional, farmasi, kosmetik dan pangan (makanan/minuman). Ragam bentuk hasil olahannya antara lain berupa simplisia, tepung hasil penggilingan, oleoresin, minyak atsiri dan tepung kristal (Paramawati 2006).

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali pengeringan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia plikan atau mineral. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh atau bagian tanaman.

(24)

Gambar 2. Rimpa

Setelah pencucian pencucian. Pengupasan akan dikeringkan. Peng pengeringan dan mening atau bersih. Pengupas (Syukur 2003).

Rimpang yang su untuk temulawak dan ja adalah 3-5 mm (Sembir mm. Setelah itu temu pengering buatan/oven. Um telah mencapai sekitar 8 telah dianggap cukup. plastik yang kedap udara rendah.

Menurut Bala (19 oleh Lewis pada tahun mengklasifikasikan mek dalam tiga bagian :

pang temu putih (Curcuma zedoaria(Berg) Rosco

ian, rimpang diangin-anginkan untuk mengeri an kulit rimpang merupakan tahap terpenting bil ngupasan rimpang dimaksudkan untuk memperce ingkatkan kualitas karena penampakannya akan pasan kulit rimpang dapat menggunakan jari a

sudah dikupas, selanjutnya diiris. Ketebalan jahe sekitar 7-8 mm, sedangkan untuk kunyit d biring 2007). Ketebalan pengirisan untuk temu mu putih dikeringkan dengan energi surya ata n. Umumnya suhu pengeringan 36 ºC - 46 °C. Bila

r 8 - 10%, yaitu bila rimpang bisa dipatahkan, pe . Rimpang kering dapat dikemas dalam peti, ka ara, dan dapat disimpan dengan aman, apabila ka

Pengeringan

1997) penelitian pertama pada teori pengeringan un 1921 dan Sherwood pada 1929, dimana

ekanisme dasar yang terjadi selama proses pe scoe).

eringkan air bila rimpang rcepat proses n lebih baik i atau pisau

n pengirisan t dan kencur u putih 3-5 atau dengan ila kadar air pengeringan karung atau kadar airnya

(25)

8

1. Penguapan air pada permukaan bahan daninternal resistancedari difusi cairan sangat kecil dibandingkan daya tahan menguapnya air dari permukaan bahan.

2. Penguapan air pada permukaan bahan daninternal resistancedari difusi cairan lebih besar dibandingkan daya tahan menguapnya air dari permukaan bahan.

3. Penguapan air pada bagian dalam padatan dan internal resistance dari difusi cairan lebih besar dibandingkan jumlah daya tahan menguapnya keseluruhan air

Proses pengeringan menyangkut perpindahan massa uap dari bahan dan energi panas ke bahan secara simultan Proses pengeringan merupakan proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia (Henderson dan Perry (1989); Brooker et al. (1992). Mujumdar dan Devahastin (2001) dalam Mulyantara (2008) menyebutkan bahwa pengeringan adalah operasi yang rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia yang pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan mutu.

Pengeringan biasanya menggambarkan proses thermal dimana panas dipindahkan dari medium fluida menjadi partikel cairan solid yang mudah menguap. Pindah panas dapat terjadi dalam bentuk konduksi, konveksi dan radiasi.

Pengeringan yang umum digunakan untuk bahan temu-temuan adalah pengeringan lapisan tipis, dimana tiap permukaan bahan menerima panas dari udara pengering. Menurut Hall (1980), pada proses pengeringan bahan pertanian terjadi dua proses dasar yaitu pindah panas untuk menguapkan cairan bahan dan pindah massa akibat adanya perbedaan tekanan uap. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengontrol perpindahan kadar air dalam bahan adalah: a) difusi antara cairan dan uap, b) gaya kapilaritas, c) gradien penyusutan dan tekanan uap, d) gravitasi, dan e) penguapan kadar air.

(26)

bahan dan yang pertama-tama mengalami penguapan. Laju penguapan air bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap tekanan uap pengering. Bila konsentrasi air permukaan cukup besar, maka akan terjadi laju penguapan yang konstan.

Kandungan air dalam bahan merupakan indikator dari kualitas dan kunci untuk proses penyimpanan (Bala 1997). Air dalam bahan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan dan mudah menguap pada proses pengeringan. Air bebas dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya serta dijadikan sebagai media reaksi-reaksi kimia. Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih kecil daripada menguapkan air terikat.

Air terikat dibagi menjadi dua, yaitu air yang terikat secara fisik dan air yang terikat secara kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air yang terdapat dalam jaringan matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik. Apabila kandungan ini diuapkan maka pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan (browning), hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.

Gambar 3. Kurva pengeringan (Brookeret al.1992)

(27)

10

sekitar. Semua proses terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dengan bagian luar bahan.

Sherwood (1929) dalam Bala (1997) menyebutkan bahwa pada proses pengeringan terdapat laju pengeringan konstan (constant rate period) dan laju pengeringan menurun (first falling rate period) dan laju pengeringan menurun kedua (second falling rate period). Umumnya laju pengeringan konstan merupakan periode yang singkat sehingga dapat diabaikan dalam proses pengeringan (Henderson dan Perry 1976).

Besarnya laju pengeringan pada laju pengeringan konstan tergantung pada (1) luas hamparan produk yang dikeringkan, (2) perbedaan kelembaban antara udara yang mengalir dan permukaan yang masih basah, (3) koefisien pindah massa, dan (4) kecepatan udara pengering. Hal ini seperti yang digambarkan pada persamaan (Brookeret al. 1992; Bala 1997) :

(

wb

)

fg

T T h

A h t M

− ∞ =

∂ ∂

…...(1)

Nilai h dipengaruhi oleh kecepatan udara pengering. Persamaan tersebut di atas belum dapat digunakan untuk menentukan laju pengeringan konstan secara teliti, karena nilai-nilai h, hfg dan A (luas permukaan pindah panas) sulit

ditentukan secara teliti (Brookeret al. 1992) .

Laju pengeringan menurun pertama terjadi pada saat berkurangnya permukaan bahan yang basah karena kecepatan pergerakan air dari dalam lebih kecil dibandingkan kecepatan penguapan di permukaan (Heldman dan Singh 1981). Sedangkan laju pengeringan menurun kedua terjadi pada saat air dari bagian dalam bahan menguap dan uap air berdifusi ke permukaan.

Grafik laju pengeringan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Brooker et al. (1992), laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan pada

produk dengan kadar air lebih besar dari 70% bb dan merupakan fungsi dari suhu, kelembaban udara, dan kecepatan udara pengering.

(28)

Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada periode laju pengeringan menurun terjadi penurunan tekanan uap dari permukaan produk di bawah tekanan uap jenuh. Karena uap air secara terus menerus meninggalkan bahan, maka tekanan uap dalam bahan semakin kecil, yang berarti perbedaan tekanan uap antara bahan dengan udara disekitarnya semakin kecil. Kondisi tersebut akan menghasilkan penurunan pada laju pengeringan produk, sehingga disebut dengan laju pengeringan menurun (Gambar 4).

M

Gambar 4. Kurva karakteristik pengeringan (Bala, 1997)

dimana:

A-B : adalah periode pemanasan B-C : adalah laju pengeringan konstan C : adalah kadar air kritis

C-D : adalah periode penurunan laju pengeringan pertama D-E : adalah periode penurunan laju pengeringan kedua

Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah:

1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan.

Laju pengeringan menurun Laju pengeringan tetap

E

D

C B

(29)

12

2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktifitas termal dan emisivitas termal.

3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal 4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu, kelembaban udara

Pengeringan Lapisan Tebal

Pengeringan lapisan tebal dapat dianggap sebagai pengeringan lapisan tipis yang berlapis-lapis, atau biasa dikenal dengan pengeringan tumpukan. Pada pengeringan ini terjadi proses dimana difusi internal pergerakan air dari dalam bahan (bagian bawah tumpukan) lebih besar jika dibandingkan difusi eksternal pergerakan air dari permukaan (bagian atas tumpukan) ke udara luar.

Pengeringan lapisan tebal adalah pengeringan yang di dalam prosesnya terdapat gradien kadar air pada lapisan pengeringan untuk setiap waktu (Henderson dan Perry 1976).

Pengeringan lapisan tebal biasanya digunakan untuk pengeringan biji-bijian, dimana bahan ditumpuk sampai ketinggian tertentu. Udara pengering bergerak dari bawah tumpukan ke bagian atas melewati bahan akan dikeringkan. Pengeringan ini tidak cocok jika digunakan untuk bahan-bahan pertanian dengan kadar air awal bahan yang tinggi.

Pengeringan Lapisan Tipis

Pada proses pengeringan lapisan tipis pergerakan air yang terjadi pada bagian permukaan ke udara lebih cepat dibandingkan pergerakan air dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan.

(30)

P K T K M K P P K T K M K T P K T K M K M 33 2 32 2 31 2 23 2 22 2 21 2 13 2 12 2 11 2 ∇ + ∇ + ∇ = ∂ ∂ ∇ + ∇ + ∇ = ∂ ∂ ∇ + ∇ + ∇ = ∂ ∂

... (2)

Dengan pendekatan teoritis, Luikov mengembangkan persamaan penduga pengeringan lapisan tipis dalam bentuk persamaan diferensial berdasarkan karakteristik fisik air atau uap air pada bahan berpori, dimana migrasi uap yang terjadi disebabkan : perbedaan konsentrasi air, gaya kapiler, perbedaan tekanan, perbedaan suhu, perbedaan konsentrasi uap dan difusi. Koefisien yang ada dalam persamaan diferensial merupakan perpaduan dari keadaan suhu, uap air, gradient tekanan uap air, energi dan total perpindahan massa.

Pada prakteknya menurut Brookeret al.(1992), pengaruh suhu dan tekanan yang terdapat dalam model Luikov dapat diabaikan, sehingga menjadi :

DM M atau M K M 2 11 2 , ∇ = ∂ ∂ ∇ = ∂ ∂   ... (3)

Untuk menduga laju perubahan kadar air bahan pada pengeringan lapisan tipis, parameter yang dianggap paling berpengaruh adalah parameter geometri dan parameter difusi bahan. Distribusi air pada bahan diasumsikan seragam dan pindah massa terjadi secara simetris pada bagian tengah, dimana kadar air permukaan bahan mencapai kadar air keseimbangan jika penyusutan bahan diabaikan maka MR(moisture ratio)untuk lapisan tipis menjadi :

(

+

)

− +  = − − =

∞ = 2 2 2 0 2 2 0 4 . ) 1 2 ( exp 1 2 1 8 h t D n n Me M Me M MR n

 ... (4)

Untuk periode dehidrasi yang lama (MR<0.6), persamaan (4) untuk pengeringan lapisan tipis dapat disederhanakan dengan mengambil hanya pada segmen pertama (n=0) sehingga persamaan diatas menjadi :

  

 −

= 2 22

4 . exp 8 h t D MR   ...(5)

Nilai dari difusi uap air efektif diperoleh dengan metode kemiringan (slop),

(31)

14

metode implisit Euler. Menurut (Rizvi 2005 dan Wang et al. 2007), hubungan antara kondisi pengeringan dan nilai dari difusivitas efektif dapat dilihat dengan memakai persamaan Arrhenius seperti :

    − = abs a T R E D D . exp 0 ...(6)

Model Semi Teoritis Pengeringan Lapisan Tipis

Henderson dan Perry (1976), memberikan model semi-teoritis untuk memprediksi pengeringan lapisan tipis yang juga berdasarkan parameter difusi dan geometri bahan seperti persamaan (7) berikut :

  K K Ae MR atau Ae Me M Me M − − = = − − ,

0 ... (7)

dimana A adalah konstanta yang ditentukan berdasarkan geometri bahan. Untuk bahan berbentuk lempeng = 0.811, untuk bentuk bola = 0.608 dan 0.533 untuk tumpukan balok.

Peneliti lainnya (Nellist 1974; Sharaf-Eldeen et al. 1979; Sharma et al. 1982; Bala dan Woods 1984; dalam Bala 1997) menggunakan persamaan two-term eksponensial untuk menggambarkan pengeringan lapisan tipis pada bijian, jagung, padi dan gandum dengan persamaan :

M = A exp (-k1t) + B exp (-k2t) + Me……… (8)

Dimana A dan B merupakan spesifik bahan dan juga fungsi dari suhu dan kadar air, t adalah waktu pengeringan sedangkan MR adalah moisture rasio. (Wang et al. 1978 dalam Brooker et al. 1992) merekomendasikan persamaan empiris dimana a dan b merupakan fungsi dari suhu bahan dan RH udara seperti persamaan 9 dibawah ini :

MR = 1 + at + bt2……….(9)

(32)

memecahkan persamaan difusi, sehingga persamaan lapisan tipis menjadi (Henderson dan Pabis 1961 dalam Bala 1997).

)

exp(

0

kt

A

Me

M

Me

M

MR

=

=

...(10) 2 2

4

h

D

k

=

... (11)

Model semi teoritis lainnya yang digunakan pada penelitian ini adalah model yang dikemukakan oleh (Lewis 1921; Page 1949; dalam Bala 1997), dimana n merupakan konstanta.

)

exp(

0

kt

Me

M

Me

M

MR

=

=

……….(12)

)

exp(

0 n

kt

Me

M

Me

M

MR

=

=

……… (13)

Penelitian eksperimental umumnya menggunakan model semi-teoritis untuk mendapatkan model pengeringannya. Dari model-model semi teoritis yang ada kemudian dibandingkan untuk mendapatkan salah satu model yang paling sesuai denganerrorpaling minimum.

Penelitian karakteristik pengeringan temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) telah dilakukan Chrysanty (2009) dengan menggunakan mesin pengering berakuisisi dengan sumber pemanas dari energi listrik 2000 Watt, dengan beberapa perlakuan suhu, RH dan kecepatan aliran udara. Suhu 70 oC, RH 20% dan kecepatan aliran udara 0.78 – 0.95 m/s memiliki waktu pengeringan 330 menit dengan kadar air keseimbangan 4.01 %bk, sedangkan suhu 40oC, RH 60% dan kecepatan aliran udara 0.15 – 0.28 m/s memiliki waktu pengeringan 1390 menit dengan kadar air keseimbangan 35.00 %bk.

Manaluet al. (2009) meneliti pengeringan temu putih dengan suhu 40 oC–

60 oC, dan RH 20 – 80%. Performa dari model pengeringan ini dibandingkan dengan nilai efisiensi model dan disimpulkan bahwa model yang cocok untuk pengeringan lapisan tipis temu putih adalah model yang dikemukakan oleh Page.

(33)

16

koefisien difusi efektif persamaan difusi diselesaikan dengan menggunakan persamaan difusi Crank untuk lapisan tipis.

Penyusutan dan Model Pengeringan

Permintaan untuk produk kering dengan kualitas tinggi sangatlah besar di seluruh dunia. Oleh karena itu penting untuk mengetahui kerusakan dan retak yang terjadi pada produk kering tersebut. Berbagai model telah dikembangkan untuk pemodelan proses pengeringan. Dalam sebagian besar model, penyusutan selama pengeringan diasumsikan tidak terjadi (diabaikan).

Namun asumsi yang solid dan kaku jarang berlaku dalam pengeringan. Teori penyusutan telah diterapkan oleh beberapa peneliti. Pendekatan lain yang sesuai untuk mendeskripsikan perubahan bentuk dalam beberapa produk yang ditemukan menjadi karakteristik viskoelastis.

Pada tahun 1988, Haghighi mempelajari persamaan modern dari analisis stres dalam bahan viskoelastis selama pengeringan. Itaya (1995) melakukan analisis perubahan 3 dimensi dan Kowalski (2001) mencoba satu pendekatan termomekanik untuk melihat penyusutan dan keretakan yang terjadi selama pengeringan (Chemkhiet al. 2004).

(34)

karakteristik yang dapat diketahui dengan menentukan perubahan yang terjadi pada volume dan atau dimensi bahan (Wanget al.2002).

Penyusutan pada permukaan bahan menyebabkan pengerutan, keretakan dan pembengkokan. Difusifitas pada bahan akan berkurang sejalan dengan berkurangnya kadar air. Pada kasus yang ekstrim, difusivitas air terhalang oleh kulit yang kedap air, sehingga kadar air pada bagian dalam bahan tidak berubah (tetap). Hal ini disebutcase hardening.

Pengerutan, pembengkokan, keretakan dan case hardening dapat diminimalkan dengan penurunan laju pengeringan, sehingga penyusutan pada permukaan bahan berkurang dan difusivitas bahan akan mendekati konstan. Untuk itu perlu mengontrol laju pengeringan dengan mengontrol kelembaban udara pengering.

Menurut Bala (1997) penyusutan dalam produk pertanian selama pengeringan adalah kejadian yang dipengaruhi oleh laju pengeringan dan distribusi udara. Beberapa peneliti yang meneliti tentang hal ini (Boyce 1966; Nellist 1974 dan Spencer 1972 dalam Bala 1997) mengatakan bahwa penyusutan sangat tergantung pada perubahan kadar air, sedangkan hasil penelitian Bala (1983) menyebutkan bahwa penyusutan tidak dipengaruhi oleh penurunan kadar air tetapi laju dari penyusutan selama pengeringan menurun dengan meningkatnya penurunan kadar air.

Rohaeni (2003), menganalisa penyusutan biji coklat selama pengeringan dengan menggunakan pengolahan citra. Biji coklat yang telah difermentasi diambil citranya dengan menggunakan kamera digital. Citra dari memori kamera dipindahkan ke komputer dengan resolusi 256x256 piksel. Diperoleh hasil bahwa RH dan suhu selama pengeringan tidak banyak berpengaruh terhadap penyusutan biji coklat, dan penyusutan terjadi sekitar 20%.

(35)

18

(browning) pada bahan selama pengeringan yang berlangsung dengan interval waktu 3 – 7 jam. Kadar air akhir diperoleh sebesar 12%bb. Nilai-nilai dari parameter yang diukur berubah drastis pada pengeringan 6 jam pertama, kecuali pada bentuk kebundaran buah apel yang hampir mencapai konstan setelah 6 jam pengeringan.

Esmaiili dan Sotudeh (2006), membuat model mengenai proses pengeringan buah anggur dengan memperhatikan variabel difusivitas pada penyusutan, dimana anggur dikeringkan dengan suhu 40 ºC–700C dengan kecepatan alitan udara 0.5

–1.5 m/s.

Peneliti lainnya Sturm dan Hofacker (2008), meneliti tentang perubahan bentuk dan warna pada pengeringan irisan buah apel. Dengan bantuan analisis citra, dimana sangat diperlukan sistem kontrol otomatis dan pengukuran secara real time untuk menentukan bentuk dan warna pada bahan.

Yadollahinia dan Jahangiri (2009), meneliti tentang penyusutan terhadap buah kentang selama pengeringan dengan pengolah citra. Hasilnya menunjukkan bahwa penyusutan dari irisan kentang meningkat sejalan dengan menurunnya kadar air bahan, dimana juga terlihat bahwa laju aliran udara pada suhu 70 0C sangat berpengaruh terhadap pengecilan pada bahan dengan diameter 60 inci.

Penyusutan dari wortel selama pengeringan dengan menggunakanfluidized bed dryerjuga telah diteliti oleh Hatamipour dan Mowla (2002), sedangkan untuk penyusutan selama pengeringan pada potongan buah apel diteliti oleh Sjoholm dan Gekas (1994).

Pengolahan Citra

Pengolahan citra merupakan proses mengolah piksel-piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan citra pada citra digital antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap lebih lanjut dalam pemrosesan analisis citra. Dalam proses akuisisi, citra yang akan diolah ditransformasikan dalam suatu representasi numerik (Rachmawati 2008).

(36)

sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel adalah sama pada seluruh bagian citra (Ahmad 2005).

Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversinya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysisyang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer.

Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan serta menghitung gambar dan terdiri dari langkah : Perolehan citra dan segmentasi

Sistem pengambilan citra (gambar) terdiri dari 4 (empat) komponen dasar yaitu : illuminasi, kamera, hardware dan software. Untuk memperoleh gambar digunakan penerangan yang juga berguna untuk memperoleh kontras ketajaman pada bidang dari satu gambar (Honget al. 2001).

Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan beberapa tahap : (1). Menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner; (2). Memperkecil nilai noisy (gangguan) pada gambar (Da Fontoura dan Marcondes 2001).

Thresholdingatau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya. Dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang(Ahmad 2005).

(37)

20

keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses.

Analisis citra biner dapat dihasilkan dengan menjalankan sub menu tersendiri, dalam hal ini adalah dengan menganalisis atau mengkalkulasi ukuran obyek yang sudah dipisahkan dengan latar belakangnya melalui operasi thresholding, dan diperbaiki melalui operasi morfologi. Ukuran obyek yang akan

(38)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Juni 2010 di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Bagian Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian, FATETA IPB.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan adalah temu putih berumur ±9 bulan yang didapat dari Kebun Petak Pamer Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu-Bogor.

Alat

Alat yang digunakan meliputi : Mesin pengering berakuisisi, Timbangan digitalmodel AQT 200dengan kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram,Oven drying IKEDA SCIENTIFIC SS204D, Desikator, Seperangkat komputer, AnemometerKANOMAX model A541,danWeb camera

Prinsip Kerja Mesin Pengering Berakuisisi

(39)

22

Humidifier Air Heater Flow

Controler Blower

Condition Chamber

Scale

Dehumidifier

Computer

[image:39.612.122.516.135.390.2]

Untuk mencapai dan menjaga kondisi ruangan agar sesuai dengan setpoint, diimplementasikan dua buah subsistem kontrol yang independen yaitu kontrol suhu dan kontrol RH.

Gambar 5. Diagram Alir Mesin Pengering Berakuisisi

Prosedur Percobaan

Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan bahan, persiapan peralatan, pengukuran massa dan kadar air, kontrol suhu, kontrol RH, dan pengambilan citra.

Temu putih yang sebelumnya telah dicuci dan dipotong-potong dengan ukuran sekitar 3 mm sebanyak 150 gram dikeringkan. Sebelum pengeringan dimulai diukur terlebih dahulu kadar air awal bahan dengan metode oven. Kemudian pengeringan dilakukan dengan mengatur terlebih dahulu suhu dan RH yang diinginkan sesuai perlakuan. Setiap 5 menit data mengenai perubahan berat, suhu, RH, dan perekaman citra diukur dan dicatat hingga pengeringan berakhir. Data yang diambil akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan seperangkat komputer.

(40)

citra yang sudah direkam atau disimpan dalam bentuk file sebelumnya yang langsung ditangkap kamera. Jenis program lainnya adalah real-time program, yaitu program yang menangkap citra, memindahkan bingkai ke dalam memori komputer, melakukan analisis dan menghasilkan citra lain tergantung tujuannya.

Pengambilan Data

Pada pengujian alat pengering berakuisisi ini parameter yang diukur meliputi : (1) Massa dan kadar air ; (2) Suhu (lingkungan, inlet, outlet, ruang pengering, dan bahan); (3) Kelembaban relatif (RH) ruang pengering; (4) Waktu pengoperasian alat; (5) dan perekaman citra menggunakan webcam.

Suhu dan RH

Pengukuran menggunakan termokopel yang dirangkaikan pada AVR Atmel microprocessor controller dengan tingkat ketelitian 1 0C. Pembacaan data dilakukan setiap 5 menit. Kontrol suhu menggunakan algoritma PID (proportional-integral-derivative) yang dalam mengambil keputusan aksi kontrol mempertimbangkan:

1. P : selisih antara kondisi aktual dengansetpoint(error) 2. I : jumlah dari selisih antara kondisi aktual dansetpoint 3. D : kecepatan perubahan kondisi

Subsistem pengontrol suhu akan mengeluarkan perintahon/offuntuk heater sesuai perhitungan berdasarkan algoritma PID. Kontrol RH menggunakan algoritma PD (proportional-derivative). Subsistem pengontrol RH akan mengeluarkan perintah ke steamer untukon/offsesuai dengan hasil formula PD.

Kecepatan Aliran Udara

Kecepatan aliran udara pengering yang digunakan adalah kecepatan aliran udara V = 0.78 m/s – 0.95 m/s. Kecepatan aliran udara diatur sebelum pengeringan dilakukan.

Massa Bahan

(41)

massa bahan dilakukan dapat diatur sesuai kebut tidak ada udara yang m langsung terekam (teraku

Kadar Air

Kadar air bahan y penurunan kadar air ba awal ditentukan denga Penurunan kadar air bah setiap 5 menit sekali. mendekati kadar air kese

Perekaman Citra

Selama pengerin komputer dengan resolus jarak 15 cm terhadap ba tiap 5 (lima) menit hing telah direkam, kemudian

Ga Temu putih Citra Biner Filter Background Area

n secara otomatis oleh mesin. Selang waktu pen butuhan. Pada saat penimbangan, kipas akan mat masuk ke ruang pengering. Data hasil penimban akuisisi).

yang diukur meliputi kadar air awal, kadar air bahan selama proses pengeringan berlangsung. gan metode oven pada suhu 105 oC selama bahan diukur dengan menimbang sampel bahan li. Pengeringan dihentikan jika kadar air ba esetimbangan.

ringan berlangsung citra irisan temu putih di lusi 640 x 480 piksel dari bagian atas alat pengeri bahan. Citra direkam dengan menggunakan We

[image:41.612.110.507.450.667.2]

ingga pengeringan berakhir. Citra irisan temu p ian disimpan dalam sebuah arsip (file).

Gambar 6. Skematik perekaman citra Temu putih Citra Biner Filter Background ea (piksel) 24 enimbangan ati sehingga bangan akan

air akhir dan g. Kadar air ma 24 jam. n (otomatis) bahan telah

direkam ke ering dengan Web camera

u putih yang

(42)

Citra irisan temu putih dianalisa dengan program khusus yang dibuat untuk mengeringkan bahan tersebut. Analisis dilakukan terhadap area (luasan) penampang bahan. Data hasil analisis citra berbentuk piksel-piksel yang diperoleh kemudian dihitung dan dicari rasio perubahan area penyusutan bahan yang terjadi selama proses pengeringan berlangsung.

Obyek terdiri dari beberapa piksel, bahkan banyak sekali piksel yang saling terkoneksi. Dalam citra digital yang dipresentasikan dalam bentuk rangkaian kotak persegi-empat, sebuah piksel mempunyai empat piksel tetangga yang bersentuhan sisi dan empat piksel tetangga lainnya yang bersentuhan sudut.

Operasi morfologi diterpakan pada citra biner, suatu citra yang hanya mengandung dua macam informasi intensitas, yaitu piksel-piksel obyek (warna putih) dan intensitas piksel-piksel latar belakang (warna hitam).

Perlakuan dan Pengulangan

Perlakuan pada proses pengeringan temu putih ini terdiri dari dua faktor, yaitu faktor suhu, dan kelembaban relatif (RH). Kombinasi perlakuan suhu dan RH yang dapat mencapai kadar air keseimbangan sekitar 10% adalah pada suhu 50 oC – 70 oC dengan RH 20% - 40% (Chrysanty 2009). Perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan suhu dan kelembaban relatif (RH)

Suhu/RH 20% 30% 40% 50%

50 ºC

60 ºC X X

X

70 ºC X X

X

X = Tidak dilakukan

= Dilakukan

Analisis Data

Perhitungan Perubahan Kadar Air

(43)

bahan selama proses pen proses pengeringan. Pers

m m m LP p i i

i 

      −

= (+1)

Pemodelan Pengeringa

Pemodelan peng yang sesuai dengan hasi pada grafik MR terhad percobaan. Nilai k, A da MR model.

[image:43.612.155.507.117.331.2]

Persamaan penger menyederhanakan peny model persamaan yang d

Tabel 2. M

No MODE PERSAMAAN Tahun

1 Lewis MR = exp(-kt) 1921

2 Henderson & MR = A exp(-kt) 1961

3 Page MR = exp(-ktn) 1949

Ketiga model ini d model-model tersebu menggambarkan karak penyederhanaan model t

engeringan diolah untuk mengetahui kadar air bah ersamaan yang digunakan adalah :

………..……… ……… ……… ………..……… t i ∆     / ………

gan Lapisan Tipis dan MR

ngeringan lapisan tipis dilakukan untuk model p asil uji keabsahan model. Model persamaan dig adap waktu dan membandingkannya dengan gr dan n hasil pemodelan digunakan untuk menghas

eringan lapisan tipis diturunkan secara semi teor nyelesaian persamaan difusi dan pengeringan. g digunakan dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah in

. Model Matematika pengeringan lapisan tipis

No ODEL PERSAMAAN

1 wis MR = exp(-kt)

2 & Pabis MR = A exp(-kt)

3 ge MR = exp(-ktn)

i dipilih sebagai pembanding dengan data percoba but merupakan model yang umum digunak akteristik pengeringan lapisan tipis dan m el teoritis yang diperoleh dari persamaan difusi (

26

ahan selama

…….. (14)

…... (15)

……. (16)

…... (17)

…... (18)

l persamaan digambarkan grafik hasil asilkan nilai

eoritis untuk n. Beberapa ini :

No MODEL PERSAMAAN Tahun

1 Lewis MR = exp(-kt) 1921

2 Henderson & Pabis MR = A exp(-kt) 1961

3 Page MR = exp(-ktn) 1949

(44)

Fick). Nilai k, A da Henderson dan Pabis, da Pabis dan model Lewi menggunakan aplikasi yang mendekati konst persamaan Page menggu konvergen untuk model P

Pengujian Keabsahan M

Pengujian keabsah (root mean square error al. 2009; Menges 2006

antara nilai prediksi mo kemampuan model untuk

Modifikasi model

Model dengan nil dimodifikasi dengan cara pada slang waktu ter

memasukkan nilai AR,

nilai-nilai tersebut dapat

) (M Me k t M − − = ∂ ∂ se ) (

' f AR

k =

dan n disusun berdasarkan model matema , dan Page (Tabel 2). Konstanta untuk model Hend

ewis diperoleh dengan metode non linear lea i Curve Expert dengan memasukkan nilai-nila nstanta pada masing-masing model, sedangk ggunakan persamaan logaritmik karena metode d el Page.

n Model

sahan model untuk pengeringan lapisan tipis men ror (RMSE), dan EF (modeling efficiency) (Meis 06; Ertekin dan Yaldiz 2004). RMSE merupaka

odel dengan nilai percobaan, sedangkan EF men tuk memprediksi karakteristik pengeringan produk

…….………

nilai EF yang rendah serta nilai RMSE yang ti ara mencari nilai koefisien pengeringan yang beru tertentu, kemudian mencari hubungan nilai

, sehingga k’ merupakan fungsi dari penyusuta

at dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

sehingga

) (M Me

t M k −∂ ∂ − = ……… matis Lewis, Henderson dan least square

ilai penduga gkan untuk diatas tidak

enggunakan eisami-asl et akan deviasi enunjukkan uk.

…… (19)

…..… (20)

tinggi akan erubah-ubah i k dengan

utan, dimana

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis

Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai dengan kondisi bahan yang seragam dalam lapisan, maka penampilan pengeringan lapisan tipis merupakan gambaran dari penampilan pengeringan individual bahan. Oleh sebab itu, untuk memprediksi penampilan pengeringan lapisan tipis dapat didekati dengan tampilan pengeringan individu bahan lapisan tipis (Anwar 1992).

Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu

Proses pengeringan temu putih terjadi dari kadar air awal sekitar 90%bb sampai kadar air mendekati kesetimbangan yang berkisar antara 7.95%bb hingga 19.3%bb, tergantung pada perlakuan suhu dan RH saat pengeringan berlangsung. Dari hasil penelitian diperoleh kurva penurunan kadar air terhadap waktu. Waktu pengeringan rimpang temu putih bervariasi menurut tingkatan suhu, kelembaban udara dan kecepatan udara. Tabel 3 dan 4 menampilkan data kadar air awal dan akhir serta waktu pengeringannya pada masing-masing perlakuan.

Tabel 3. Data kadar air dan waktu pengeringan pada suhu 50°C

Suhu (°C) RH(%) Kadar air (%bb) Kadar air (%bk) Waktu pengeringan (menit)

Awal Akhir Awal Akhir

50

20 88.42 9.16 763.55 10.08 420

30 89.50 9.19 852.47 10.12 385

40 90.49 8.14 952.41 8.72 400

50 88.53 19.30 771.83 23.92 545

Tabel 3 (perlakuan T 50 ºC dengan RH berbeda) menunjukkan kadar air awal temu putih sekitar 89%bb dan kadar air akhir temu putih bervariasi menurut kombinasi kelembaban. Suhu 50oC dengan RH 30% memiliki waktu pengeringan tercepat yaitu 385 menit dan kadar air akhir terendah yaitu 8.72 %bk.

(46)
[image:46.612.125.517.228.312.2]

Perlakuan perbedaan RH tidak memberikan pengaruh yang konsisten terhadap penurunan kadar air maupun terhadap waktu pengeringan. Perlakuan RH yang rendah pada proses ini menyebabkan besarnyainternal resistancedifusi air pada bagian dalam bahan ke permukaan dibandingkan denganeksternal resistancedari permukaan bahan ke udara luar, sehingga menyulitkan air dalam bahan untuk bergerak ke permukaan yang menyebabkan waktu pengeringan lebih lama.

Tabel 4. Data kadar air dan waktu pengeringan pada RH 40%

RH (%)

40

Suhu (°C) Kadar air (%bb) Kadar air (%bk) Waktu pengeringan

(menit)

Awal Akhir Awal Akhir

50 90.27 9.06 927.74 9.96 370

60 91.26 8.17 1036.36 8.90 255

70 92.70 7.95 1269.86 8.63 225

Perlakuan RH 40% dengan suhu berbeda (Tabel 4) menunjukkan T 70 °C membutuhkan waktu pengeringan tercepat yaitu 225 menit dengan kadar air akhir 8.63%bk, dan waktu pengeringan terlama terjadi pada T 50 °C yang mencapai 370 menit dengan kadar air akhir 9.96%bk. Dari hasil tersebut diatas dapat disimpulkan semakin tinggi suhu serta rendahnya kelembaban maka waktu pengeringan akan semakin singkat. Waktu pengeringan juga dipengaruhi oleh kadar air awal bahan, semakin tinggi kadar air awalnya maka semakin lama waktu yg digunakan untuk mencapai kadar air keseimbangannnya pada lingkungan tertentu.

Pada Tabel 4 kadar air awal sekitar 90%bb karena bahan yang digunakan untuk pengeringan langsung berasal dari pemasok dan belum mengalami penyimpanan di lemari pendingin. Hal lain yang mempengaruhi adalah bagian rimpang yang digunakan untuk pengeringan memiliki lebih banyak air daripada seratnya, sedangkan pada Tabel 3 terdapat kadar air awal bahan sekitar 88%bb karena bahan telah disimpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari sebelum dikeringkan, sehingga mengurangi kadar air awal bahan saat digunakan.

(47)
[image:47.612.165.442.162.342.2]

hingga 100 menit perta hingga pengeringan ber rendah, sedangkan pada waktu pengeringan juga

Gambar 7. Kurva p

Kurva penurunan ditunjukkan pada Gamba 70 ºC lebih menurun den suhu 50 ºC.

Penurunan kadar a tahap tersebut masih te besar, sehingga terjadi p air sampai tekanan ua berikutnya, terjadi perpi yang menyebabkan pen setelah air bahan berkur keseimbangan dengan Demikianlah terjadi ben hingga tercapai keseimba

0 500 1000 1500 0 K a da r a ir ( %b k )

rtama, kemudian terjadi penurunan kadar air ya erakhir. Hal ini sangat terlihat jelas pada perla da RH 50% penurunan kadar air terjadi lebih l ga lebih lama.

a penurunan kadar air terhadap waktu pada suhu 5

n kadar air pada perlakuan RH 40% dengan suh bar 8, dimana terlihat penurunan kadar air pada dengan cepat pada 100 menit pertama dibandingk

r air yang relatif besar diawal pengeringan, diseba terdapat massa air pada permukaan bahan dala i perpindahan massa dari bahan ke udara dalam b uap air pada permukaan akan menurun. Pa rpindahan air dari dalam bahan ke permukaan sec enurunan kadar air terjadi secara lambat. Pada urang, tekanan uap air bahan akan menurun sam n udara sekitarnya dan tidak ada lagi perpind

entuk kurva yang semakin landai pada akhir pe bangan.

100 200 300 400 500

waktu (menit)

30

yang lambat erlakuan RH h landai dan

u 50oC

uhu berbeda da pada suhu gkan dengan

(48)
[image:48.612.167.472.83.284.2]

Gambar 8. Kurva

Dari Gambar 7 dan semakin rendah kelemb bahan akan semakin cep ini dipengaruhi oleh se kemampuan memenuhi p

Perubahan Laju Penge

Laju pengeringan waktu. Dalam proses p kecepatan udara penger kecepatan udara penge digunakan maka semakin Grafik hubungan Gambar 9 dan 10, yang periode laju pengeringa menunjukkan laju peng berlangsung, kemudian pengeringan berakhir. G drastis jika dibandingkan

0 500 1000 1500 0 K a da r a ir ( %b k )

rva penurunan kadar air terhadap waktu pada RH 4

dan 8 terlihat bahwa semakin tinggi suhu pengeri mbaban udaranya maka kemampuan untuk men epat dan waktu pengeringan akan berlangsung sin semakin besarnya energi panas yang dibawa

i panas laten penguapan semakin meningkat.

geringan Terhadap Waktu

an menunjukkan banyaknya air yang diuapkan p s pengeringan, laju pengeringan dipengaruhi ol

ering juga kelembaban udara. Semakin tinggi ngering serta semakin rendah kelembaban ud

kin tinggi pula laju udara pengeringnya.

n antara laju pengeringan dan waktu dapat di ng menunjukkan bahwa selama proses pengering ngan menurun. Gambar 9, pada RH 20%, 3

ngeringan menurun pertama pada 170 menit pe ian terjadi laju pengeringan menurun kedu Gambar 10, T 70 ºC mengalami laju pengeringan

an T 50 ºC pada 100 menit pertama.

100 200 300 400 50

waktu (menit) 40% eringan serta engeringkan singkat. Hal wa sehingga

n per satuan oleh suhu, gi suhu dan udara yang

dilihat pada ngan terjadi , 30%, 40% pengeringan dua hingga gan menurun

(49)

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

0 200 400 600

L

P

(

%

b

k

/m

e

ni

t)

Waktu (menit)

RH 20

RH 30

RH 40

RH 50

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

0 200 400 600

L

P

(%

b

k

/m

n

t)

waktu (menit)

T=70C

T=60C

(50)
[image:50.612.165.475.81.279.2]

Gambar 11. Kurva

[image:50.612.160.475.413.588.2]

Pada Gambar 11 pengeringan, sehingga da putih proses difusi me pergerakan air dari dala sesuai dengan Manaluet

Gambar 12. Kurva

Gambar 11, pada grafik yang berhimpit. sama dan penurunan kad berpengaruh signifikan

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

0 2

L

P

(

%b

k

/m

n

t)

va laju pengeringan terhadap kadar air pada suhu 5

1 dan 12 tidak terjadi laju pengeringan tetap p dapat dikatakan bahwa pada pengeringan lapisan t merupakan proses yang dominan terjadi sejala

alam bahan ke permukaan selama pengeringan. et al. (2009).

rva laju pengeringan terhadap kadar air pada RH 4

a perlakuan suhu 50 °C untuk RH 20% dan 30 t. Hal ini disebabkan karena kadar air bahan ya kadar air dengan perlakuan perbedaan RH yang k n terhadap laju pengeringan. Perlakuan RH ya

200 400 600 800 1000 12

Kadar air(%bk)

u 50oC

p pada awal an tipis temu alan dengan an. Hal ini

40%

(51)

34

pada proses ini menyebabkan besarnyainternal resistance difusi air pada bagian dalam bahan ke permukaan dibandingkan dengan eksternal resistance dari permukaan bahan ke udara luar, sehingga menyulitkan air dalam bahan untuk bergerak ke permukaan yang menyebabkan laju pengeringan sedikit terhambat.

Nilai k, A dan n dari Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih

Konstanta pengeringan merupakan paduan unsur difusivitas dan geometris. Nilai koefisien pengeringan (k) dan konstanta A dan n yang diperoleh pada pengeringan temu putih ini berasal dari data penurunan kadar air yang merupakan hasil curve fittingdari data empirik. Tiap-tiap model pengeringan menghasilkan konstanta pengeringan tersendiri. Oleh karena itu nilai konstanta pengeringan akan berbeda dan hanya berlaku pada selang suhu dan kadar air tertentu (Brooker et al. 1974). Pendekatan bentuk untuk temu putih adalah pendekatan bentuk

geometris tipe lempeng tak hingga.

Koefisien pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas, dimana k dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam). Makin tinggi nilai k, makin cepat suatu bahan membebaskan airnya. Menurut Brooker et al. (1992) k tergantung pada tipe bahan, suhu bahan dan kelembaban bahan itu sendiri. Nilai A dan k pada persamaan Henderson dan Pabis diperoleh dari hubungan semi-logaritmik antara MR dan waktu, sedangkan k merupakan nilai slope dari hubungan tersebut. Nilai k pada persamaan Lewis juga diperoleh dengan cara membuat hubungan semi-logaritmik antara MR dan waktu, sedangkan nilai k dan n pada persamaan Page diperoleh dengan membuat grafik log-log hubungan antara MR dan waktu, dimana n merupakan nilai slop positif.

Tabel 5 dan 6 menampilkan nilai k dan konstanta n, A untuk pendekatan model Lewis, Henderson dan Pabis, Page yang digunakan dengan berbagai perlakuan suhu dan kelembaban udara.

(52)
[image:52.612.150.487.206.372.2]

nilai k model Henderson dan Pabis berkisar 0.0085 mnt-1 – 0.0135 mnt-1. Dari Tabel 5 dan 6 dapat dilihat semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH yang digunakan dalam pengeringan maka koefisien pengeringan akan semakin tinggi, sehingga kemampuan untuk membebaskan air akan semakin besar dan waktu pengeringanpun akan semakin cepat.

Tabel 5. Nilai konstanta pengeringan pada RH 40%

Nilai konstanta persamaan MR (RH = 40%)

T Model k(1/mnt) A n

Lewis 0.0128

70 ºC Henderson & Pabis 0.0140 1.1011

Page 0.0034 1.3124

Lewis 0.0114

60 ºC Henderson & Pabis 0.0122 1.0733

Page 0.0041 1.2374

Lewis 0.0103

50 ºC Henderson & Pabis 0.0108 1.0589

[image:52.612.150.484.414.619.2]

Page 0.0048 1.1690

Tabel 6. Nilai konstanta pengeringan pada T 50 ºC

Nilai konstanta persamaan MR (T = 50 ºC)

RH Model k (1/mnt) A n

50%

Lewis 0.0080

Henderson & Pabis 0.0085 1.0646

Page 0.0032 1.1955

40%

Lewis 0.0103

Henderson & Pabis 0.0108 1.0592

Page 0.0045 1.1834

30%

Lewis 0.0123

Henderson & Pabis 0.0130 1.0646

Page 0.0053 1.1910

20%

Lewis 0.0127

Henderson & Pabis 0.0135 1.0612

Page 0.0067 1.1393

Pengujian Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih

(53)

36

Henderson dan Pabis, dan Page. Perhitungan dilakukan dengan menurunkan persamaan menjadi persamaan linear sederhana seperti yang terlihat pada Tabel 2. Kemudian dilakukan analisa error untuk melihat keabsahan model dengan menggunakan RMSE dan EF.

[image:53.612.149.491.216.380.2]

Nilai rata-rataerrormodel Page berada pada kisaran 0.0013 sampai 0.0029, dapat dilihat pada tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Analisaerrormodel pada semua perlakuan

AnalisaerrorRMSE

Suhu RH Lewis Henderson & Pabis Page

50 ºC

50% 0.0248 0.0194 0.0011

40% 0.0242 0.0188 0.0029

30% 0.0242 0.0184 0.0008

20% 0.0199 0.0147 0.0003

Rata-rata 0.0232 0.0178 0.0013

70ºC

40%

0.0539 0.0442 0.0037

60ºC 0.0373 0.0433 0.0039

50ºC 0.0250 0.0194 0.0011

Rata-rata 0.0387 0.0356 0.0029

Model Henderson dan Pabis dan model Lewis memiliki nilai error lebih besar jika dibandingkan dengan model Page, yaitu berkisar 0.0147 sampai 0.0442 untuk semua perlakuan pada model Henderson dan Pabis, dan 0.0199 sampai 0.0539 untuk semua perlakuan pada model Lewis. Asumsi kedua model tersebut yang tidak memasukkan faktor penyusutan dalam perhitungannya dianalisa

Gambar

Gambar 2. Rimpapang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoscoe).
Gambar 3. Kurva pengeringan (Brooker et al. 1992)
Gambar 4. Kurva karakteristik pengeringan (Bala, 1997)
Gambar 5. Diagram Alir Mesin Pengering Berakuisisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

terhadap prestasi belajar matematika, (2) pengaruh keaktifan siswa terhadap prestasi belajar matematika, (3) efek interaksi antara model Treffinger dan pembelajaran aktif

1. Seruling ditiup dengan tiupan bibir berbentuk thu sambil menghembuskan udara dari bibir. Untuk nada – nada yang ketinggian standart, udara dihembuskan dari bibir

To the extent permitted by law, Phillip Futures, or persons associated with or connected to Phillip Futures, including but not limited to its officers,

London Sumatra Indonesia Tbk, Unit Bah Lias Estate, sebagaimana humas atau public relations pada perusahaan lain, petugas humas di perusahaan ini memiliki tugas

Determinan kejadian komplikasi persalinan di Indonesia adalah paritas satu atau lebih sama dengan empat anak, adanya komplikasi kehamilan dan adanya riwayat komplikasi

Penyebaran Kuesioner dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap keputusan pembelian produk sikat gigi formula dan dimensi persepsi mana yang paling

Analisis Pengaruh Rasio-rasio Keuangan Terhadap Kinerja Bank Umum di Indonesia (Studi Empiris Bank- bank Umum.. yang Beroperasi

dan optimis agat dapat membangkitkan pengharapan setiap pengikutnya. g) Disipilin, pengendalian diri mutlak diperlukan agar seseorang dapat mencapai keberhasilan dalam