• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penerapan Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung European Society of Cardiology Terhadap Pasien Gagal Jantung Periode Januari 2013 – Juni 2014 di RSUP H. Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penerapan Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung European Society of Cardiology Terhadap Pasien Gagal Jantung Periode Januari 2013 – Juni 2014 di RSUP H. Adam Malik"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

KHALIS HAMDANI 110100336

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN PENERAPAN PEDOMAN TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG EUROPEAN SOCIETY OF CARDIOLOGY TERHADAP PASIEN

GAGAL JANTUNG PERIODE JANUARI 2013 – JUNI 2014 DI RSUP H. ADAM MALIK

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

KHALIS HAMDANI 110100336

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

GAMBARAN PENERAPAN PEDOMAN TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG

EUROPEAN SOCIETY OF CARDIOLOGY TERHADAP PASIEN GAGAL

JANTUNG PERIODE JANUARI 2013 – JUNI 2014 DI RSUP H. ADAM MALIK Nama : Khalis Hamdani

NIM : 110100336

Pembimbing Penguji I

dr. Andika Sitepu, Sp. JP(K), FIHA Nenni Dwi Aprianti Lubis, S.P., M.Si. NIP. 197911122008011004 NIP. 197604102003122002

Penguji II

dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked.Ped, Sp.A NIP. 197909282005012004

Medan, 20Desember 2014

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda, mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan gagal jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pedoman tata laksana gagal jantung European Society of Cardiology (ESC) terhadap pasien gagal jantung kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini merupakan studi cross-sectionalyang bersifat deskriptif observasional terhadap 97 data rekam medis pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi (≤ 40%) yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik pada Januari 2013 – Juni 2014. Penerapan pedoman tata laksana dinilai berdasarkan: (1) peresepan obat (“ya” atau “tidak”), dan (2) guideline adherence indicator (GAI), baik GAI-3 ataupun GAI-5, dimana menghitung perbandingan obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikanolehpedoman tata laksana gagal jantung ESC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa GAI-3 dan GAI-5 yang terbanyak adalah kategori moderate, yaitu masing-masing sebanyak 45,4% dan 59,8%. Selain itu, untuk penggunaan setiap obat yang diindikasikan adalah:ACE-i atau ARB 78,4%, Beta-blocker 61,9%, MRA 61,9%, Furosemid 89,7%, dan Digoxin 26,8%.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan pedoman tata laksana gagal jantungEuropean Society of Cardiologydalam penatalaksanaan gagal jantung kronis masih perlu ditingkatkan.

(5)

ABSTRACT

Heart failure is a complex clinical syndrome and a major cause of morbidity and mortality worldwide. The aim of treatment in patients who have been diagnosed with heart failure is to relieve symptoms and signs, preventing hospitalization, and improve survival. The treatment of heart failure should also be applied appropriately and properly in order to improvethe management of heart failure. This study aims to evaluate the adherence toEuropean Society of Cardiology (ESC) guidelinesfor the management of chronic heart failure patients at H. Adam Malik Hospital.

This study is an observational descriptive cross-sectional study with 97 medical record data of chronic heart failure patients with reduced ejection fraction (≤ 40%) who visited H. Adam Malik Hospital in period of January 2013 – June 2014. The guideline adherence was assessed by: (1) drugs prescribing (“yes” or “no”), and (2) guideline adherence indicator (GAI), which considers GAI-3 or GAI-5, by calculating the proportion as the number of drugs prescribed by number of drugs indicated according to ESC guidelines.

The results showed that the predominant category of GAI-3 and GAI-5 are moderate.Furthermore, the use of each indicated drugs are: ACE-i or ARB 78,4%, Beta-blockers 61,9%, MRA 61,9%, Furosemide 89,7%, and Digoxin 26,8%.

This study demonstrate that the adherence to European Society of Cardiology guidelines for the treatment of chronic heart failure is still need to be improved.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan anugerah yang diberikan-Nya sepanjang hidup penulis, serta atas bimbingan, petunjuk dan rahmat-Nya yang sempurna senantiasa menyertai sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Gambaran Penerapan Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung European Society of Cardiology terhadap Pasien Gagal Jantung Januari 2013 - Juni 2014 di RSUP H. Adam Malik”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun dalam rangka mengajukan penelitian selanjutnya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang turut membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, antara lain kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K), FIHA, selaku dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.

3. Ibu Nenni Dwi Aprianti Lubis, S.P., M.Si selaku dosen penguji I dan dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked.Ped, Sp.A selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun dalam KTI ini.

4. dr. Siska Mayasari Lubis, Sp.A, selaku dosen penasehat akademik yang telah mengarahkan dan memberi banyak masukan bagi penulis.

(7)

6. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Fatma Diana yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata, semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat dan dapat dilanjutkan ke seminar hasil.

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan umum ... 3

1.3.2. Tujuan khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1. Di bidang akademik/ilmiah ... 3

1.4.2. Di bidang pelayanan kesehatan ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Gagal Jantung ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Faktor risiko ... 5

2.1.3. Etiologi ... 6

2.1.4. Patofisiologi ... 7

2.1.5. Gejala dan tanda klinis ... 9

2.1.6. Diagnosis ... 11

2.1.7. Penatalaksanaan ... 12

2.1.7.1.ACE-inhibitor ... 12

2.1.7.2.ARB ... 13

2.1.7.3.Beta-blocker ... 14

2.1.7.4.MRA ... 14

2.1.7.5.Diuretik ... 15

2.1.7.6.Digitalis ... 15

2.2. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung ... 17

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 19

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 19

3.2. Definisi Operasional ... 19

3.2.1. Gagal jantung ... 19

3.2.2. Penilaian penerapan pedoman tata laksana ... 20

3.2.3. ACE-inhibitor ... 23

3.2.4. ARB ... 23

(9)

3.2.6. MRA ... 23

3.2.7. Diuretik ... 24

3.2.8. Digitalis ... 24

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 25

4.1. Jenis Penelitian ... 25

4.2. Tempat dan Waktu penelitian ... 25

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

4.3.1. Populasi penelitian ... 25

4.3.2. Sampel penelitian ... 25

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 26

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 27

4.5.1. Metode pengolahan data ... 27

4.5.2. Metode analisis data ... 28

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Hasil Penelitian ... 30

5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian ... 30

5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel ... 30

5.1.2.1.Umur ... 30

5.1.2.2.Jenis kelamin ... 31

5.1.2.3.Denyut jantung ... 31

5.1.2.4.Tekanan darah sistolik ... 31

5.1.2.5.Tekanan darah diastolik ... 31

5.1.2.6.Etiologi ... 32

5.1.2.7.Komorbid ... 32

5.1.2.8.Gejala dan tanda ... 33

5.1.2.9.Gambaran ekokardiografi ... 33

5.1.3. Tata laksana ... 33

5.1.3.1.Gagal jantung ... 33

5.1.3.2.Non-gagal jantung ... 34

5.1.3.3.Karakteristik pasien gagal jantung dan GAI ... 35

5.2. Pembahasan ... 37

5.2.1. Umur ... 37

5.2.2. Jenis kelamin ... 38

5.2.3. Denyut jantung ... 38

5.2.4. Tekanan darah sistolik ... 39

5.2.5. Tekanan darah diastolik ... 39

5.2.6. Etiologi ... 39

5.2.7. Komorbid ... 40

5.2.8. Gejala dan tanda ... 40

5.2.9. Gambaran ekokardiografi ... 40

5.2.10.Tata laksana ... 41

5.2.10.1.Gagal jantung ... 41

5.2.10.2.Non-gagal jantung ... 43

(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1. Kesimpulan ... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Gejala dan tanda klinis ... 10

Tabel 3.1. Algoritma penilaian penerapan pedoman tata laksana gagal jantung ... 21

Tabel 5.1. Distribusi karakteristik berdasarkan umur ... 30

Tabel 5.2. Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin ... 31

Tabel 5.3. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah sistolik ... 31

Tabel 5.4. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik ... 32

Tabel 5.5. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi... 32

Tabel 5.6. Distribusi karakteristik berdasarkan komorbid ... 32

Tabel 5.7. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda ... 33

Tabel 5.8. Distribusi karakteristik tata laksana gagal jantung ... 33

Tabel 5.9. Distribusi karakteristik tata laksana gagal jantung berdasarkan GAI-3 dan GAI-5 ... 34

Tabel 5.10. Distribusi karakteristik tata laksana non-gagal jantung ... 34

Tabel 5.11. Distribusi karakteristik dan GAI-3 ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Mekanisme kompensasi neurohormonal ...9

Gambar 2.2. Algoritma tata laksana gagal jantung kronik ...16

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian ...19

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ... 57

Lampiran 2 Data Induk Penelitian ... 59

Lampiran 3 Hasil Output Data Penelitian ... 71

Lampiran 4 Surat Izin Studi Pendahuluan ... 99

Lampiran 5 Ethical Clearance ... 100

(14)

DAFTAR ISTILAH

ACE Angiotensin converting enzyme

ACE-i Angiotensin converting enzyme inhibitor AF Atrial fibrilasi

AHA American Heart Association

AKI Acute kidney injury

AngI Angiotensin I AngII Angiotensin II

ARB Angiotensin receptor blocker

AT1 AngiotensinII type Ireceptor

AV Atrioventrikular

BNP B-type natriuretic peptides

BPH Benign prostatic hyperplasia

CAD Coronary artery disease

CHD Congenital heart disease

CKD Chronic kidney disease

DM Diabetes melitus EKG Elektrokardiografi

ESC European Society of Cardiology

GAI Guideline adherence indicator

GI Gastrointestinal

HHD Hipertensive heart disease

ISDN Isosorbid dinitrat

ISPA Infeksi saluran nafas akut

IQR Interquartile range

LV Left ventricle

MRA Mineralocorticoid receptor antagonist

NT-proBNP N-terminal pro-B-Natriuretic peptide NYHA New York Heart Association

OAD Oral antidiabetic drug

OP Orthopnoea

(15)
(16)

ABSTRAK

Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda, mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan gagal jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pedoman tata laksana gagal jantung European Society of Cardiology (ESC) terhadap pasien gagal jantung kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini merupakan studi cross-sectionalyang bersifat deskriptif observasional terhadap 97 data rekam medis pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi (≤ 40%) yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik pada Januari 2013 – Juni 2014. Penerapan pedoman tata laksana dinilai berdasarkan: (1) peresepan obat (“ya” atau “tidak”), dan (2) guideline adherence indicator (GAI), baik GAI-3 ataupun GAI-5, dimana menghitung perbandingan obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikanolehpedoman tata laksana gagal jantung ESC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa GAI-3 dan GAI-5 yang terbanyak adalah kategori moderate, yaitu masing-masing sebanyak 45,4% dan 59,8%. Selain itu, untuk penggunaan setiap obat yang diindikasikan adalah:ACE-i atau ARB 78,4%, Beta-blocker 61,9%, MRA 61,9%, Furosemid 89,7%, dan Digoxin 26,8%.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan pedoman tata laksana gagal jantungEuropean Society of Cardiologydalam penatalaksanaan gagal jantung kronis masih perlu ditingkatkan.

(17)

ABSTRACT

Heart failure is a complex clinical syndrome and a major cause of morbidity and mortality worldwide. The aim of treatment in patients who have been diagnosed with heart failure is to relieve symptoms and signs, preventing hospitalization, and improve survival. The treatment of heart failure should also be applied appropriately and properly in order to improvethe management of heart failure. This study aims to evaluate the adherence toEuropean Society of Cardiology (ESC) guidelinesfor the management of chronic heart failure patients at H. Adam Malik Hospital.

This study is an observational descriptive cross-sectional study with 97 medical record data of chronic heart failure patients with reduced ejection fraction (≤ 40%) who visited H. Adam Malik Hospital in period of January 2013 – June 2014. The guideline adherence was assessed by: (1) drugs prescribing (“yes” or “no”), and (2) guideline adherence indicator (GAI), which considers GAI-3 or GAI-5, by calculating the proportion as the number of drugs prescribed by number of drugs indicated according to ESC guidelines.

The results showed that the predominant category of GAI-3 and GAI-5 are moderate.Furthermore, the use of each indicated drugs are: ACE-i or ARB 78,4%, Beta-blockers 61,9%, MRA 61,9%, Furosemide 89,7%, and Digoxin 26,8%.

This study demonstrate that the adherence to European Society of Cardiology guidelines for the treatment of chronic heart failure is still need to be improved.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia (Bleumink, et al., 2004). Gagal jantung, secara klinis, didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan gejala yang khusus seperti sesak nafas, kelelahan, edema pre-tibial dan tanda seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah, dan displace apex beat yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung (McMurray, et al., 2012).

Di dunia, 23 juta jiwa mengalami gagal jantung (Mann, 2012). Penderita gagal jantung di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5,1 juta jiwa dan prevalensi gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat sekitar 1-2% untuk usia 45-54 tahun dan lebih dari 6% untuk usia di atas 65 tahun (Go, et al., 2013). Penelitian yang dilakukan di Rotterdam, Belanda, juga melaporkan bahwa prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia, sebagai berikut: prevalensi gagal jantung 0,7% pada usia 55-64 tahun, 2,7% pada usia 65-74 tahun, 13% pada usia 75-84 tahun, dan lebih dari 10% pada usia di atas 85 tahun (Mosterd, et al., 1999).

Cowie, et al. (1999) juga menyatakan bahwa angka kejadian gagal jantung terus meningkat dengan bertambahnya usia. 0,02 insiden per 1000 populasi per tahun pada usia 25-34 tahun dan mencapai 11,6 insiden per 1000 populasi per tahun pada usia di atas 85 tahun. Angka kejadian gagal jantung juga lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Menurut Bleumink, et al. (2004) 5-year

survival rate gagal jantung hanya 35%. Stewart, et al. (2001) juga melaporkan bahwa angka kematian karena gagal jantung lebih tinggi daripada kanker prostat, payudara, kolon, kandung kemih.

(19)

sebelumnya belum pernah terdiagnosis dengan prevalensi tertinggi pada penderita usia di atas usia 75 tahun.

Gagal jantung merupakan manifestasi terakhir dan terburuk yang dapat terjadi pada hampir semua jenis penyakit jantung seperti infark miokard, penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, hipertensi, penyakit jantung bawaan dan kardiomiopati (Chatterjee dan Fifer, 2011). Semua kondisi yang dapat menyebabkan perubahan pada stuktur dan fungsi jantung dapat menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Penyakit jantung koroner menjadi penyebab utama pada 60-75% kasus gagal jantung dan hipertensi menjadi faktor komorbid utama pada 75% pasien (Mann, 2012). Menurut Cowie, et al. (1999) etiologi utama gagal jantung disebabkan penyakit jantung koroner sebanyak 36%, tidak diketahui 34%, hipertensi 14%, penyakit jantung katup 7%, fibrilasi atrium 5%, lain-lain 5%.

Penanganan gagal jantungrumit, sehinggasetiap doktermembutuhkan pengalaman dan pengetahuan tentang pedoman tata laksana yang berlaku saat ini (Shoukat, et al., 2011). Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda (seperti edema), mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup (McMurray, et al., 2012). Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan pasien gagal jantung (Maggioni, et al., 2013).

Walaupun ketersediaan pedoman tata laksana gagal jantung yang lengkap secara luas, penatalaksaan gagal jantung yang dilakukan oleh dokter masih kurang optimal (Shoukat, et al., 2011). Padahaldalam penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2005) menyatakan bahwa kepatuhan terhadap penerapan pedoman tata laksana gagal jantung menjadi prediktor yang kuat terhadap kurangnya kejadian rawat inap.

Pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of

(20)

Mineralocorticoid/aldosteron receptor antagonists. Beta-blocker dan ACE-inhibitor harus segera diberikan apabila telah didiagnosis gagal jantung. Obat diuretik juga dapat diberikan pada pasien yang mengalami tanda dan gejala kongestif.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan belum adanya penelitian penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology yang dilakukan di Indonesia. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of

cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european

society of cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Mengetahui tata laksana gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Di bidang akademik/ilmiah

1. Sebagai bahan bacaan dan pengajaran terutama dalam hal penatalaksanaan gagal jantung.

(21)

1.4.2. Di bidang pelayanan kesehatan

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Jantung

2.1.1. Definisi

Gagal jantung, secara klinis, didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan gejala yang khusus seperti sesak nafas, kelelahan, edema pre-tibial dan tanda seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah, dan displace apex beat yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung (European Society of

Cardiology, 2012).

2.1.2. Faktor risiko

Beberapa keadaan dapat berhubungan dengan kecenderungan terhadap penyakit jantung struktural seperti usia, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, sindrom metabolik, penyakit jantung koroner, infark miokard, hipertropi ventrikel kiri, anemia, kelainan jantung katup dan kardiomiopati.Yancy, et al. (2013) menyebutkan hipertensi, diabetes melitus, sindrom metabolik, dan penyakit aterosklerotik merupakan faktor risiko yang penting untuk gagal jantung.

Kejadian gagal jantung lebih sering pada pasien yang menderita hipertensi kronis dan usia lanjut. Hipertensi dapat menjadi berkembang penyakit jantung dan gagal jantung melalui dua cara, yaitu hipertrofi ventikel kiri dan penyakit jantung koroner. Walaupun risiko gagal jantung karena hipertensi lebih sedikit dibandingkan dengan penyakit jantung koroner, tetapi hipertensi lebih sering ditemukan daripada miokard. Pengobatan hipertensi jangka panjang dapat menurunkan risiko gagal jantung sekitar 50% (Mosterd dan Hoes, 2007; Abrahamdan Hasan, 2007; Yancy, et al., 2013).

(23)

Pengobatan yang tepat untuk hipertensi, diabetes melitus dan dislipidemia pada pasien sindroma metabolik dapat mengurangi risiko gagal jantung secara signifikan (Yancy, et al., 2013).Pasien dengan penyakit aterosklerotik seperti pada arteri koroner, serebral, dan pembuluh darah perifer, dapat berkembang menjadi gagal jantung dan harus dikontrol risiko vaskularnya (Yancy, et al., 2013).Pada penelitian yang dilakukan oleh Brouwers, et al. (2013), selama follow-up, gagal jantung terjadi pada usia lebih tua, cenderung laki-laki dan memiliki BMI, tekanan darah, dan denyut jantung yang tinggi, penurunan fungsi ginjal dan memiliki faktor risiko kardiovaskular seperti hipertensi, diabetes melitus, dan hiperkolesterolemia.

2.1.3. Etiologi

Etiologi gagal jantung dapat dikelompokkan karena gangguan kontraktilitas ventrikel, peningkatan afterload, dan gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan karena gangguan kontraktilitas ventrikel dan peningkatan afterload yang kronis disebut dengan gagal jantung sistolik (gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi), sedangkan gagal jantung yang disebakan karena gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel disebut dengan gagal jantung diastolik (gagal jantung tanpa penurunan fraksi ejeksi) (Chatterjee dan Fifer, 2011).

Gangguan kontraktilitas ventrikel pada gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner seperti infark miokard atau iskemik miokard transient, volume overload yang kronis seperti regurgitasi mitral atau regurgitasi aorta dan dilated cardiomyopathies. Sedangkan gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi karena peningkatan afterload dapat disebabkan oleh stenosis aorta yang sudah lanjut dan hipertensi yang tidak terkontrol (Chatterjee dan Fifer, 2011).

(24)

Yancy, et al. (2013) menyebutkan beberapa penyebab gagal jantung karena abnormalitas struktur jantung seperti dilated cardiomyopathies, familial

cardiomyopathies, kardiomiopati karena penyebab endokrin dan metabolik (obesitas, diabetes, penyakit tiroid, akromegali dan insuffisiensi growth hormon),

toxic cardiomyopathy (alkoholik, kokain, terapi kanker), tachycardia-induced

cardiomyopathy, miokarditis dan kardiomiopati karena inflammasi (miokarditis, AIDS, penyakit chagas), inflammation-induced cardiomyopathy (miokarditis hipersensitivitas, reumatologik), kardiomiopati peripartum, kardiomiopati karena kelebihan besi, amyloidosis, sarkoidosis jantung, stress (takotsubo)

cardiomyopathy. Menurut Cowie, et al. (1999) etiologi utama gagal jantung disebabkan penyakit jantung koroner sebanyak 36%, tidak diketahui 34%, hipertensi 14%, penyakit jantung katup 7%, fibrilasi atrium 5%, lain-lain 5%.

2.1.4. Patofisiologi

Beberapa mekanisme kompensasi terjadi pada penderita gagal jantung untuk menanggulangi akibat dari penurunan curah jantung dan membantu menjaga tekanan darah untuk perfusi ke organ vital (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

Mekanisme Frank-Starling merupakan salah satu kompensasi yang terjadi pada jantung ketika ventrikel tidak mampu memompa secara adekuat, sehingga isi sekuncup lebih rendah dari normal. Isi sekuncup yang rendah ini menyebabkan volume yang tersisa setelah kontraksi jantung (end-systolic volume) menjadi lebih banyak, sehingga darah yang akan berada di dalam ventrikel selama fase diastolik akan lebih banyak. Volume yang tinggi pada fase diastolik ini menyebabkan peningkatan regangan miofiber di jantung yang akan menginduksi kontraksi yang lebih kuat, sehingga isi sekuncup lebih besar. Tetapi mekanisme ini tidak dapat terpenuhi pada kasus gagal jantung yang sudah parah (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

(25)

renin-angiotensin-aldosteron, sistem sitokin (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

Penurunan curah jantung yang terjadi pada gagal jantung akan mengaktifkan sistem saraf simpatis. Regulasi sistem saraf simpatis ini diatur oleh baroreseptor pada arcus aorticus dan sinus carotid, baroreseptor kardiopulmonari,

cardiovascular low-threshold polymodal receptor, dan peripheral

chemoreceptors. Ketika terjadi penurunan curah jantung, aktivitas baroreseptor yang berada pada arcus aorticus dan sinus carotid berkurang terhadap curah jantung, sehingga sinyal afferen yang dihantarkan melalui N.XII dan N.X ke sistem saraf pusat pada pusat kardiovaskular di medulla oblongata berkurang. Berkurangnya sinyal ini menyebabkan berkurangnya respon parasimpatis, sehingga terjadi peningkatan respon simpatis seperti peningkatan denyut jantung, penigkatan kontraktilitas jantung, penurunan kapasitas vena dan vasokonstriksi pembuluh darah melalui stimulasi reseptor-α. Sinyal effren dari aktivasi respon simpatis berjalan melalui saraf autonomik atau somatis (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas oleh stimulasi reseptor β1 -adrenergik akan meningkatkan curah jantung. Vasokonstriksi vena akan meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung, sehingga memperbesar

preload dan peningkatan isi sekuncup melalui mekanisme Frank-Starling. Vasokonstriksi arteri akan meningkatkan tahanan sirkulasi perifer, sehingga mekanisme ini semua akan membantu menjaga tekanan darah untuk mempertahan kan perfusi ke organ-oragan vital (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

(26)

Renin berfungsi untuk memecah angiotensin menjadi angiotensin I (AngI), yang kemudian akan dipecah lagi oleh angiotensin converting enzyme (ACE) membentuk angiotensin II. Angiotensin II (AngII) merupakan vasokonstriktor yang poten, sehingga meningkatkan tahanan sirkulasi perifer untuk mempertahankan tekanan darah. AngII juga berperan dalam peningkatan tekanan intravaskular dengan cara merangsang pusat haus di hipotalamus dan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi aldosteron (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

Mekanisme kompensasi neurohormonal ini pada awalnya bermanfaat, tetapi aktivasi jangka panjang mempunyai efek yang merusak terhadap struktur dan kondisi jantung, sehingga memperburuk gagal jantung itu sendiri (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).

Gambar 2.1. Mekanisme kompensasi neurohormonal (Mann, 2012)

2.1.5. Gejala dan tanda klinis

(27)

Dispnoea juga dapat terjadi, walaupun tanpa ada kongesti di paru, karena penurunan pasokan darah ke otot-otot respiratori dan juga penumpukan asam laktat (Chatterjee dan Fifer, 2011).

Orthopnoea adalah sesak nafas yang dirasakan ketika penderita dalam posisi berbaring dan membaik ketika duduk. Hal ini terjadi karena redistribusi cairan intravaskular dari abdomen dan ekstremitas bawah menuju ke paru setelah berbaring (Chatterjee dan Fifer, 2011).

Paroxysmal nocturnal dispnoea adalah sesak nafas yang terjadi ketika penderita telah tertidur sekitar 2-3 jam. Gejala ini timbul karena reabsorbsi cairan interstitial pada edema ekstremitas bawah ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan cairan intravaskular dan meningkatkan preload (Chatterjee dan Fifer, 2011).

Gejala lain yang dapat dijumpai adalah seperti gangguan mental status karena hipoperfusi ke jaringan otak. Gangguan produksi juga terjadi pada penderita, seperti nocturia karena peningkatan perfusi darah ke ginjal ketika berbaring. Periferal edema dan nyeri perut terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik vena (Chatterjee dan Fifer, 2011).

Tanda klinis yang dapat dijumpai pada penderita gagal jantung adalah seperti diaforesis, takikardia, takipnoea, ronki basah, S3 gallop, S4 gallop, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali (Chatterjee dan Fifer, 2011).

Tabel 2.1. Gejala dan tanda klinis (McMurray, et al., 2012) Gejala

Khas Kurang khas

Dispnoea Batuk malam hari

Orthopnoea Mengi

Paroxysmal nocturnal dispnoea Peningkatan berat badan (>2kg/minggu) Toleransi aktivitas berkurang Penurunan berat badan (pada gagal jantung tingkat lanjut)

Lelah, letih Kembung

Edema pre-tibial Hilang nafsu makan Kebingungan

Depresi Palpitasi

Pingsan Tanda

(28)

Peningkatan TVJ Edema perifer (tibial, sakral, skrotal)

Reflux hepatojugular Ronki basah

S3 gallop (irama gallop) Efusi pleura

Laterally displaced apical impulse Takikardia

Bising jantung Aritmia

Takipnoea (>16x/min) Hepatomegali

Asites Cachexia

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis gagal jantung ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain seperti ekokardiografi, elektrokardiografi, chest x-ray dan pemeriksaan natriuretik peptida. Berdasarkan sistematik review yang dilakukan oleh Jant, et al. (2009), banyak dari gejala dan tanda yang dapat muncul pada pasien gagal jantung memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi. Misalnya dispnoea merupakan gejala yang hanya memiliki sensitivitas tinggi 87% dibandingkan gejala dan tanda yang lain, tetapi hanya memiliki spesifisitas 51%. Sedangkan gejala klinis yang lain memiliki spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas yang rendah, seperti orthopnoea 89%, edema 72%, peningkatan tekanan vena jugularis 70%, kardiomegali 85%, suara jantung tambahan 99%, ronki basah 81%, dan hepatomegali 97%. Dengan sensitivitas masing-masing 44% (orthopnoea), 53% (edema), 52% (peningkatan TVJ), 27% (kardiomegali), 11% (suara jantung tambahan), 51% (ronki basah), 17% (hepatomegali). Selain gejala klinis yang telah disebutkan, riwayat infark miokard juga memiliki spesifisitas yang tinggi sekitar 89%, tetapi sensitivitas yang hanya 26%.

Elektrokardiografi digunakan untuk menentukan ritme jantung, denyut jantung, morfologi dan durasi QRS dan kelainan lain yang dapat terdeteksi. EKG juga digunakan untuk membantu dalam menentukan penatalaksanaan. EKG yang normal dapat menyingkirkan kemungkinan gagal jantung sistolik (McMurray, et al., 2012). Jant, et al. (2009) EKG memilikki sensitivitas yang tinggi sekitar 89%, sedangkan spesifisitasnya hanya 56%.

(29)

BNP tidak dapat menegakkan diagnosis gagal jantung, tetapi kadar BNP yang normal dapat menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Pemeriksaan natriuretik peptida lain seperti N-terminal pro-B-Natriuretic peptide (NT-proBNP) juga memiliki sensitivitas yang tinggi 93% dan spesifisitas yang bervariasi, tetapi spesifisitas yang lebih rendah daripada BNP (Jant, et al., 2009).

Chestx-ray memiliki spesifisitas sekitar 76-83% dan sensitivitas sekitar 67-68%. Penemuan chest x-ray yang abnormal dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, tetapi chest x-ray yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis gagal jantung (Jant, et al., 2009).

Ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang berguna dalam mendiagnosis pasien gagal jantung. Ekokardiografi ini digunakan untuk menilai struktur dan fungsi jantung, mengukur fraksi ejeksi, dalam mendiagnosis gagal jantung dan penentuan penatalaksanaannya (McMurray, et al., 2012). Menurut Jant, et al. (2009) pemeriksaan ekokardiografi harus segera dilakukan pada pasien dengan gejala klinis yang dicurigai gagal jantung dan memiliki salah satu kondisi sebagai berikut: Riwayat infark miokard, ronki basah, laki-laki dengan edema pre-tibial.

2.1.7. Penatalaksanaan

2.1.7.1. ACE-inhibitor (angiotensin converting enzyme inhibitor) Mekanisme :

(30)

efek vasodilatasi melalui stimulasi NO dan prostaglandin (Nafrialdi, 2009; Yamin, et al., 2011).

ACE-i memiliki efek samping seperti, hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria dan efek teratogenik. Kontraindikasi penggunaan ACE-i berupa riwayat angioedema, stenosis arteri renalis bilateraldan hamil (Nafrialdi, 2009; McMurray, et al., 2012).

Efek antiremodelling:

Pembentukan AngII, sebagai respon dari stimulus patologi, berperan penting dalam proses pengembangan hipertrofi jantung yang patologis. AngII akan mengaktifkan GPCR (G-protein coupled receptor), yang akan menyebabkan disosiasi Gαq. Aktivasi yang berlebih dari reseptor AngII AT1 dan Gαq akan

menyebabkan hipertrofi jantung pada hewan percobaan yang berhubungan dengan perubahan ekspresi gen dan/atau disfungsi jantung dan kematian prematur (McMullen dan Jennings, 2007).

AngII, di otak, akan menyebabkan feedback positif dengan cara meningkatkan jumlah reseptor AngII AT1, inhibisi NO dan meningkatkan produksi anion superoksida, sehingga akan meningkatkan laju simpatis dan perburukan gagal jantung (Triposkiadis, et al., 2009).Efek AngII terhadap perburukan gagal jantung (i.e remodelling jantung) itu sendiri akan dihambat oleh ACE-i dengan mengurangi hipertrofi miokard dan penurunan preload (Setiawati dan Nafrialdi, 2009).

2.1.7.2. ARB (angiotensin reseptor blocker) Mekanisme:

ARB bekerja dengan cara menghambat reseptor AngII, sehingga akan memberikan efek yang mirip dengan ACE-i. ARB tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, sehingga tidak memiliki efek samping batuk kering dan angioedema. ARB digunakan sebagai alternatif dari ACE-i(Nafrialdi, 2009).

(31)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Aleksova (2012) terhadap ARB (i.e candesartan) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap fraksi ejeksi ventrikel kiri, penurunan diameter volumeend-diastolic ventrikel kiri, penurunan kadar aldosteron, penurunan kadar B-natriuretic peptide.

2.1.7.3. Beta-blocker Mekanisme:

Beta-blocker menghambat efek simpatis yang terjadi karena stimulasi reseptor adrenergik-β. Stimulasi reseptor adrenergik-β1 akan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Tetapi efek ini akan dihambat oleh beta-blocker sehingga akan menurukan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini juga akan mengurangi beban jantung dan oxygen demand. Beta-blocker juga akan menghambat pelepasan renin, dan produksi AngII dan aldosteron, dengan menghambat reseptor adrenergik-β1 yang ada pada sel jukstaglomerulus ginjal (Lόpez-Sendόn, et al., 2004; Nafrialdi, 2009).

Beta-blocker juga memiliki efek samping seperti bradikardi yang berlebihan, penurunan fungsi kontraksi ventrikel, bronkokonstriksi, memperburuk kontrol diabetes, kelelahan dan kontraindikasi pada asma dan second- atau

third-degree AV block (Nafrialdi, 2009; McMurray, et al., 2012).

Efek antiremodelling:

disosiasi Gαq, yang berperan dalam proses hipertofi jantungseperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, juga dapat disebabkan oleh norepinefrin. Beberapa literatur (Engelhardt, 2005; Setiawati dan Nafrialdi, 2009;Triposkiadis, et al., 2009; van Berlo, 2013) juga menyatakan bahwa aktivasi berlebihan reseptor adrenergik-β1 akan menyebabkan hipertrofi dan apoptosis ventrikel jantung.

Bersama dengan ACE-inhibitor/ARB, beta-blocker akan memberikan efek antiremodelling. Beta-blocker juga dapat menurunkan angka kematian dan meningkatkan fungsi sistolik jantung (Engelhardt, 2005; McMurray, et al., 2012).

(32)

Mekanisme:

MRA bekerja dengan cara menghambat reseptor aldosteron pada tubulus colligens renalis kortikal dan bagian distal akhir, sehingga mencegah sekresi K+(Ives, 2007).

MRA memiliki efek samping seperti ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi, gangguan libido pada pria dan kontraindikasi pada pasien dengan hiperkalemia dan disfungsi ginjal (Nafrialdi, 2009).

Efek antiremodelling:

Spironolakton dapat mencegah remodelling matriks ekstraselular (Mann, 2012). Pada uji klinis terhadap pasien gagal jantung yang telah menerima ACE-I dan diuretik, spironolakton dapat mengurangi angka mortalitas dan memperbaiki gejala gagal jantung (Chatterjee dan Fifer, 2011). Eplerenon, MRA yang lebih spesifik, telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pasien gagal jantung yang telah infark miokard akut (Chatterjee dan Fifer, 2011).

2.1.7.5. Diuretik Mekanisme:

Loop diuretic bekerja dengan menghambat simporter (kotransport) Na+ -K+-2Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit secara reversibel pada ansa Henle asenden bagian epitel tebal. Tiazid bekerja dengan cara menghambat transporter Na+-Cl- pada tubulus distal ginjal (Nafrialdi, 2009; Mann, 2012).

Efek samping loop diuretic dan thiazid adalah hipokalemia, hiponatremia, hipomagnesemia dan hiperkalsemia (Nafrialdi, 2009).

2.1.7.6. Digitalis Mekanisme:

(33)

yang banyak dalam retikulum sarkoplasmik ini akan menyebabkan kontraktilitas jantung meningkat. Efek ini disebut inotropik positif (Setiawati dan Nafrialdi, 2009).

Dalam dosis terapi (1-2 ng/mL), digitalis akan meningkatkan tonus vagal dan menurunkan aktivitas simpatis pada nodus SA dan AV. Hal ini akan menimbulkan bradikardia sinus dan/atau perpanjangan konduksi AV bahkan sampai blok AV. Efek ini disebut kronotropik negatif (Setiawati dan Nafrialdi, 2009).

(34)

2.2. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung

Pedoman tata laksana merupakan ringkasan dan evaluasi dari semua penelitian yang tersedia untuk membantu dokter dalam menentukan penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien, dengan mempertimbangkan dampak dari outcome serta juga rasio risiko-manfaat sarana tata laksana tertentu (McMurray, et al., 2012).

Sejumlah besar pedoman telah dikeluarkan oleh ESC dan juga beberapa perkumpulan oraganisasi lain seperti ACCF/AHA (American College of

Cardiology Foundation/American Heart Association), HFSA (Heart Failure

Society of American), CCS (Canadian Cardiovascular Society), dan (ISHLT)

International Society for Heart and Lung Transplantation.

Penerapan pedoman tata laksana gagal jantung berpengaruh terhadap

outcome secara positif. Komajda, et al. (2005) menyebutkan bahwa kepatuhan terhadap penerapan pedoman tata laksana gagal jantung menjadi prediktor yang kuat terhadap kurangnya kejadian rawat inap. Penerapan farmakoterapi yang baik berkaitan dengan prognosis yang lebih baik pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, terlepas dari umur dan jenis kelamin (Störk, et al., 2008). Penerapan pedoman gagal jantung akut yang terdekompensasi menunjukkan penurunan angka kematian, jangka waktu yang pendek, dalam tiga bulan (Braun, et al., 2009). Richardson, et al. (2010) juga menyatakan penurunan angka kematian pada usia lanjut dengan sebesar ≤ 6,1% dan angka kematian sekitar 20% pada pasien tanpa pengobatan. Menurut Frankenstein, et al. (2010), peningkatan penatalaksanaan berdasarkan pedoman tata laksana menurunkan angka kematian 1 tahun menjadi 14,1-4,8% antara tahun 1994-2000 dan 2001-2007, dan angka kematian 3 tahun menjadi 29,5-10,9%.Zugck, et al.(2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penerapan GAI-3 yang baik diprediksi memberikan perubahan yang menguntungkan terhadap fraksi ejeksi ventrikel kiri dan diameter

(35)
(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penulisan karya tulis ilmiah yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Gagal jantung

a. Definisi :

Gagal jantung adalah sindroma klinis akibat kelainan struktur dan fungsi jantung yang terjadi secara kronis dan dengan penurunan fraksi

Pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology 2012

− ACE-inhibitor/ARB

− Beta-blocker

− MRA

− Diuretik

− Digitalis

Penerapan pedoman tata laksana gagal jantung European Society of Cardiology 2012

(37)

ejeksi ≤ 40% yangdidiagnosis berdasarkan anamnesis (penyakit jantung terdahulu), gejala klinis(tabel tanda dan gejala), dan pemeriksaan ekokardiografi (penurunan fraksi ejeksi ≤ 40%).

b. Alat ukur : Rekam Medis. c. Hasil pengukuran :

Hasil pengukuran dinyatakan dengan dua cara

- Ya Pasien didiagnosis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ≤ 40% berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan ekokardiografi oleh dokter.

- Tidak Pasien tidak didiagnosis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ≤ 40% berdasarkan anamnesis, geja la klinis dan pemeriksaan ekokardiografi oleh dokter.

d. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal.

3.2.2. Penilaian penerapan pedoman tata laksana a. Definisi :

Penilaian terhadap dokter dalam menerapkan pedoman tata laksana gagal jantung ESC 2012, berdasarkan kriteria yang diindikasikan oleh ESC, dalam penggunaan ACE-inhibitor/ARB, Beta-blocker, Mineralocorticoid receptor antagonist, Diuretik, Digitalis (Komajda, et al., 2005).

b. Alat ukur :

1) ‘Algoritma penilaian penerapan pedoman tata laksana gagal jantung’.

2) Guideline adherence indicator-3 (GAI-3). 3) Guideline adherence indicator-5 (GAI-5). c. Cara ukur :

(38)

Tabel 3.1. Algoritma penilaian penerapan pedoman tata laksana gagal jantung (Komajda, et al., 2005; Störk, et al., 2008)

Kelas terapi Kriteria penerapan pedoman tata laksana gagal jantung

Hasil ukur penerapan pedoman tata laksana

gagal jantung

ACE-inhibitor / ARB

APABILA NYHA kelas II-IV, MAKA pedoman dapat diterapkan

 APABILA pedoman dapat diterapkan DAN ACE-i/ARB diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi  APABILA pedoman

dapat diterapkan DAN ACE-i/ARB ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi

Beta-blocker APABILA NYHA kelas II-IV, DAN ‘TIDAK’ terdiagnosis asma, MAKA pedoman dapat diterapkan

 APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Beta-blocker diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi  APABILA pedoman

dapat diterapkan DAN Beta-blocker ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi

MRA APABILA NYHA kelas II-IV, MAKA pedoman dapat diterapkan

 APABILA pedoman dapat diterapkan DAN MRA diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi

 APABILA pedoman dapat diterapkan DAN MRA ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi

Diuretik APABILA NYHA kelas II-IV, DAN ‘YA’ dispnoea atau edema, MAKA pedoman dapat diterapkan

 APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Diuretik diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi  APABILA pedoman dapat

(39)

Kelas terapi Kriteria penerapan pedoman tata laksana gagal jantung

Hasil ukur penerapan pedoman tata laksana

gagal jantung

Digitalis APABILA NYHA kelas II-IV, DAN ‘TIDAK’ bradikardi (<50x/menit), MAKA pedoman dapat diterapkan

 APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Digitalis diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi  APABILA pedoman dapat

diterapkan DAN Digitalis ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi

2) Menghitung perbandingan obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikanberdasarkan 3 kelas terapi (yaitu, ACE-i/ARB, Beta-blocker, MRA) pada setiap pasien(Komajda, et al., 2005):

0/3[0%]; 1/3[33%]; 2/3[67%]; 3/3[100%]

3) Menghitung perbandingan obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikan berdasarkan 5 kelas terapi(yaitu, ACE-i/ARB, Beta-blocker, MRA, Diuretik, Digitalis) pada setiap pasien(Komajda, et al., 2005):

0/5[0%]; 1/5[20%]; 2/5[40%]; 3/5[60%]; 4/5[80%]; 5/5[100%]

d. Hasil ukur :

1) Ya () / Tidak ()

2) - High adherence (100%), - Moderate adherence (50-67%), - Low adherence (0-33%). 3) - High adherence (80-100%),

- Moderate adherence (40-60%), - Low adherence (0-20%). e. Skala ukur :

(40)

3.2.3. ACE-inhibitor

a. Defisini : Obat penghambat Angiotensin-converting enzyme. b. Sediaan : Captopril, Enalapril, Lisinopril, Ramipril,

Trandolapril. c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()

e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal.

3.2.4. ARB (angiotensin receptor blocker)

a. Definisi : - Obat penghambat reseptor angiotensin II

- ARB digunakan sebagai terapi alternatif kepada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap ACE-inhibitor.

b. Sediaan : Candesartan, Valsartan, Losartan. c. Alat ukur : Rekam medis.

d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()

e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal.

3.2.5. Beta-blocker

a. Definisi : Obat penghambat adrenoseptor β.

b. Sediaan : Bisoprolol, Carvedilol, Metoprolol succinate, Nebivolol.

c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()

e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal.

3.2.6. MRA (mineralocorticoid receptor antagonist)

a. Definisi : Obat penghambat reseptor mineralokortikoid. b. Sediaan : Spironolakton, Eplerenon.

c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()

(41)

3.2.7. Diuretik

a. Definisi : Obat untuk meningkatkan ekskresi cairan melalui urin.

b. Sediaan : Furosemide, Bumetanide, Torasemide,

Bendroflumethiazide, Hydrochlorothiazide, Metolazone, Indapamidec.

c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()

e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal.

3.2.8. Digitalis

a. Definisi : Obat untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan mengurangi frekuensi denyut jantung.

b. Sediaan : Digoxin. c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()

(42)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang bersifat deskriptif observasional untuk menilai bagaimana penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiologyterhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik.

4.2. Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada bulan Juli hingga September 2014. RSUP H. Adam Malik dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi. Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik pada periode Januari 2013 – Juni 2014.

4.3.2. Sampel penelitian

Sampel penelitian ini merupakan pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi yang diambil dari populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi berikut:

Kriteria inklusi: - Usia > 18 tahun.

- Pasien gagal jantung kronis. - Penurunan fraksi ejeksi ≤ 40%.

(43)

Kriteria eksklusi: - Asma.

- Hipotensi yang simtomatik (tekanan sistolik < 90 mmHg).

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini diambil dengan metode

consecutive sampling yang merupakan jenis non-probability sampling dimana semua pasien gagal jantung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).

Perhitungan untuk menentukan perkiraan besar sampel dengan menggunakan rumus (Madiyono, et al., 2011):

�= �� ���

�� Keterangan :

n = jumlah subyek

Zα= tingkat kemaknaan α, nilai 95% = 1,96

P = proporsi keadaan yang akan dicari, P= 63% (Komajda, et al., 2005)

d = tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki, d= 10%

Q = (1-P)

Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah :

�= (�,��)

(,��)(,)

(�,�)�

�= ��,����� ≈ ��������

4.4. Metode Pengumpulan Data

(44)

rekam medis RSUP H. Adam Malik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi menggunakan rekam medis.

Gambar 4.1. Alur kerja penelitian

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Metode pengolahan data

Proses pengolahan data yang diperoleh pada penelitian ini akan diproses menggunakan program SPSS (Statistic Package for Social Science) dengan tahap-tahap sebagai berikut (Notoatmodjo, 2012):

1. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan ketepatan data.

Rekam Medis Pasien Gagal Jantung di RSUP H. Adam Malik

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Pasien Gagal Jantung Kronis dengan Penurunan Fraksi Ejeksi

Pengolahan Data

Analisis Data

− ACE-inhibitor/ARB

− Beta-blocker

− MRA

− Diuretik

(45)

2. Coding

Selanjutnya dilakukan coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

3. Data Entry

Kemudian dimasukkan ke dalam program SPSS. 4. Cleaning

Dilakukan pengecekan kembali untuk menghindari kemungkinan kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

5. Saving

Data yang telah dimasukkan dan telah diperiksa disimpan dalam folder.

4.5.2. Metode analisis data

Data yang telah diolah selanjutnya dilakukan analisis. Analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut (Bower, 2003; Wahyuni, 2007; Notoatmodjo, 2012):

1. Analisis Univariat (Analisis deskriptif)

Bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

2. Analisis bivariat

Analisis ini dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi.

Tahapan yang dilakukan dalam analisis bivariat antara lain:

a) Analisis proporsi atau presentase, dengan membandingkan distribusi silang antara dua variabel yang bersangkutan.

b) Analisis dari hasil uji statistik:

− Data nominal atau data ordinal pada kedua variabel akan dipakai uji

chi-square/x2atau Fisher’s exact test (statistika non-parametrik).

(46)

− Uji Kruskal-Wallis (statistika non-parametrik) digunakan sebagai alternatif apabila asumsi terhadap uji ANOVA tidak terpenuhi.

(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit ini merupakan rumah sakit umum pemerintah tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.Total kunjungan pasien gagal jantung yang berobat rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan selama periode 1 Januari 2013 – 30 Juni 2014 berjumlah 4.437 pasien.

5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 97 orang. Semua sampel merupakan pasien gagal jantung yang berobat rawat jalan di Poliklinik Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

5.1.2.1. Distribusi karakteristikberdasarkan umur

Umur rata-rata pasien adalah 55,64 ± 11,765 tahun dengan umur termuda adalah 19 tahun dan umur tertua adalah 80 tahun.

Tabel 5.1. Distribusi karakteristik berdasarkan umur

Umur Frekuensi (n) Persentase (%)

(48)

Berdasarkan tabel 5.1. dapat dilihat bahwa pasien gagal jantung terbanyak adalah kelompok usia 59-68 tahun, yaitu sebanyak 33 orang (34%).

5.1.2.2. Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Sebagian besar pasien gagal jantung adalah laki-laki, yaitu sebanyak 78 orang (80,4%).

Tabel 5.2.Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 78 80,4

Perempuan 19 19,6

5.1.2.3. Distribusi karakteristik berdasarkan denyut jantung

Denyut jantung rata-rata pasien adalah 86,28 ± 19,81kali/menit. Denyut jantung tercepat adalah 162 kali/menit, dan denyut jantung terlambat adalah 59 kali/menit.

5.1.2.4. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah sistolik

Tekanan darah sistolik rata-rata adalah 124,42 ± 23,39 mmHg. Tekanan sistolik tertinggi adalah 220 mmHg, dan tekanan sistolik terendah adalah 90 mmHg.

Tabel 5.3. Distribusi karakteristik berdasarkantekanan darah sistolik (Mancia, et al., 2013)

Tekanan Sistolik Frekuensi (n) Persentase (%)

Optimal 39 40,2

Berdasarkan tabel 5.4. dapat dilihat bahwa tekanan darah sistolik yang paling banyak adalah optimal (<120 mmHg), yaitu 39 orang (40,2%).

5.1.2.5. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik

(49)

Tabel 5.4.Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik(Mancia, et al., 2013)

Tekanan Sistolik Frekuensi (n) Persentase (%)

Optimal 42 43,3

Berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat bahwa tekanan darah diastolik yang paling banyak adalah optimal (<80 mmHg), yaitu42 orang (43,3%). Tekanan darah diastolik rata-rata adalah 80,22 ± 16,57mmHg.

5.1.2.6. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi

Berdasarkan tabel 5.6. dapat dilihat bahwa etiologi gagal jantung tersering adalah CAD sebanyak 65 kasus (67%), dan etiologi HHD berjumlah 46 kasus (47,4%).

Tabel 5.5. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi

Etiologi Frekuensi (n) Persentase (%)

CAD 65 67

HHD 46 47,4

Kelainan katup 15 15,5

Kardiomiopati 7 7,2

CHD 2 2,1

5.1.2.7. Distribusi karakteristik berdasarkan komorbid

Berdasarkan tabel 5.7. dapat dilihat bahwa penyakit penyerta yang paling sering dijumpai adalah hipertensi, yaitu 20 kasus (20,6%). AF dan DM tipe 2 masing-masing berjumlah 19 (19,6%) dan 10 (10,3) kasus.

Tabel 5.6. Distribusi karakteristik berdasarkankomorbid

Komorbid Frekuensi (n) Persentase (%)

(50)

Komorbid Frekuensi (n) Persentase (%)

Congestive Hepatopathy 1 1

Spondilolistesis Lumbalis 1 1

Dispepsia 1 1

5.1.2.8. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda

Berdasarkan tabel 5.8. dapat dilihat bahwa dispnoea merupakan gejala yang paling sering yang dikeluhkan oleh 87 orang (89,7%).

Tabel 5.7. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda

Tanda dan Gejala Frekuensi (n) Persentase (%)

Dispnoea 87 89,7

5.1.2.9. Distribusi karakteristik berdasarkan gambaran ekokardiografi

Fraksi ejeksi rata-rata pasien adalah 32,77 ± 6,12%. Fraksi ejeksi tertinggi adalah 40%, dan fraksi ejeksi terendah adalah 14,8%.

5.1.3. Tata laksana 5.1.3.1. Gagal jantung

Penggunaan obat-obat gagal jantung yang paling banyak diresepkan adalah furosemid, yaitu sebanyak 87 orang (89,7%). Penggunaan obat ACE-i/ARB sebanyak 76 orang (78,4%), Βeta-blocker dan MRA masing-masing sebanyak 60 orang (61,9%).

Tabel 5.8. Distribusi tata laksana gagal jantung

Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%) ACE-i

Captopril 57 58,8

(51)

Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

Spironolakton 60 61,9

Diuretik

Furosemid 87 89,7

Digitalis

Digoxin 26 26,8

Tata laksana gagal jantung terbanyak berdasarkan GAI-3 dan GAI-5 adalah moderatemasing-masing sebanyak 44 orang (45,4%) dan 58 orang (59,8%). Niali median GAI-3 lebih tinggi, yaitu 67% (33-100%), dibandingkan dengan GAI-5.

Tabel 5.9. Distribusi tata laksana gagal jantung berdasarkan GAI-3 dan GAI-5 Low Moderate High Median(IQR) GAI-3 28 (28,9%) 44 (45,4%) 25 (25,8%) 67% (33-100%) GAI-5 36 (37,1%) 58 (59,8%) 3 (3,1%) 60% (60-80%)

5.1.3.2. Non-gagal jantung

Antiplatelet merupakan obat yang banyak digunakan berdampingan dengan obat gagal jantung, yaitu pada 65 orang (66%).

Tabel 5.10. Distribusi tata laksana non-gagal jantung

Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%) Antikoagulan

Warfarin 32 33

Antiplatelet

Aspirin 51 52,6

Clopidogrel 2 2,1

Aspirin+Clopidogrel 11 11,3

(52)

Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

Glyceryl Guaiacolate 1 1

Antivertigo

5.1.3.3. Distribusi karakteristik pasien gagal jantung dan GAI

Komorbid hipertensi dan GAI-3, umur dan GAI-5, etiologi kardiomiopati dan GAI-5 masing-masing memiliki nilai p < 0,05.

(53)

Low

Denyut jantung 86,28 ± 19,81 kali/menit 0,963

Etiologi

Tabel 5.12. Distribusi karakteristik pasien gagal jantung dan GAI-5 Guideline adherence indicator-5 Low

Umurrerata, (IK) 69(55,6-83,0) 56,6(53,3-59,9) 52,9(49,5-56) 0,041

Jenis Kelamin

0,795 Laki-laki 3 (100%) 45 (77,6%) 30 (83,3%)

Perempuan 0 13 (22,4%) 6 (16,7%)

(54)

Sistol 124,42 ± 23,39 mmHg 0,352

Diastol 80,22 ± 16,57 mmHg 0,236

Denyut jantung 86,28 ± 19,81 kali/menit 0,104

Etiologi

5.2. Pembahasan

5.2.1. Distribusi karakteristik berdasarkan umur

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa kelompok usia yang paling banyak menderita gagal jantung adalah kelompok usia 59-68 tahun. Hasil hampir sesuai dengan data Riskesdas (2013) dengan prevalensi terbesar untuk kelompok usia 65-74 tahun. Tetapi, hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cowie, et al. (1999) dan Mosterd, et al. (1999), dimana kelompok usia 75-84 tahun merupakan kelompok usia dengan prevalensi gagal jantung terbesar, dan penelitian yang dilakukan oleh Bleumink, et al. (2004) kelompok usia ≥ 85 tahun memil iki prevalensi terbesar.Hal ini dapat terjadi berhubungan dengan angka harapan hidup di negara Indonesia yang lebih rendah, yaitu 70 tahun (Badan Pusat Statistik, 2013).

(55)

usia 19-28 tahun sebanyak 2 orang (2,1%) menjadi 33 orang (34%) pada kelompok usia 59-68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian Cowie, et al. (1999), Mosterd, et al. (1999), Bleumink, et al. (2004) dan Riskesdas (2013). Hal ini berhubungan dengan penelitian Cowie, et al. (1999) dan Bleumink, et al. (2004) yang menyebutkan bahwa angka kejadian gagal jantung meningkat seiring bertambahnya usia.

Selain peningkatan jumlah pasien seiring dengan bertambahnya usia, juga diperoleh penurunan jumlah pasien gagal jantung pada kelompok usia ≥ 69 tahun, hasil ini juga sejalan dengan hasil Riskesdas (2013), yang mana terjadi penurunan prevalensi gagal jantung pada kelompok usia ≥ 75 tahun.

5.2.2. Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa gagal jantung lebih banyak diderita oleh laki-laki, yaitu sebanyak 78 orang (80,4%), dibandingkan dengan perempuan 19,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bleumink, et al. (2004), dimana prevalensi laki-laki yang menderita gagal jantung lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Dalam penelitian Peters-Klimm, et al. (2008)juga menyebutkan laki-laki memiliki proporsi yang terbesar.Maggioni, et al. (2010) dan Maggioni, et al. (2013) juga melaporkan bahwa pasien gagal jantung perempuan masing-masing hanya 29,7% dan 28,8%.Hal ini berkaitan dengan penelitian Bleumink, et al. (2004) yang menyebutkan bahwa angka kejadian gagal jantung dua kali lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Tetapi, hasil ini berbeda dengan data Riskesdas (2013), dimana prevalensi laki-laki sama dengan prevalensi perempuan.

5.2.3. Distribusi karakteristik berdasarkan denyut jantung

(56)

5.2.4. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah sistolik

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa tekanan darah sistolik rata-rata pasien gagal jantung adalah 124,42 mmHg dengan standar deviasi 23,397. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Davies, et al. (2001), yaitu 148,4± 21,1 mmHg.

5.2.5. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik

Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa tekanan darah diastolik rata-rata pasien gagal jantung adalah 80,22 mmHg dengan standar deviasi 16,567. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Davies, et al. (2001), yaitu 87,1± 12,3 mmHg.Tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih rendah ini dapat terjadi karena pada penelitian ini kebanyakan adalah pasien hipertensi terkontrol.

5.2.6. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi

Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa secara keseluruhan

(57)

(2013) juga menyebutkan CAD merupakan penyebab tersering gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.

5.2.7. Distribusi karakteristik berdasarkan komorbid

Pada penelitian ini, hipertensi dan AF merupakan komorbid yang paling sering, yaitu masing-masing sebanyak 20,6% (20 kasus) dan19,6% (19 kasus). Hal ini sesuai dengan Oudejans (2012) yang menyatakan bahwa hipertensi dan AF merupakan dua komorbid yang paling sering, yaitu hipertensi 43%, AF 38%. Oudejans, et al. (2011) jugamelaporkan hal yang sama bahwa hipertensi dan AF juga sering ditemukan, masing-masing 41% dan 38%. Yoo, et al. (2014) juga menyatakan bahwa penderita hipertensi juga cukup tinggi oleh 58,4%, tetapi AF hanya diderita oleh 29,5%. Laporan Peters-Klimm, et al. (2008) menyatakan bahwa hipertensi merupakan komorbid yang terbanyak sekitar 76,1%, tetapi AF hanya diderita oleh 19,8% orang. Reibis, et al. (2006) juga melaporkan bahwa sekitar 67,4% pasien gagal jantung menderita hipertensi. Penelitian dengan studi

cohort yang dilakukan oleh Frankenstein, et al. (2010), pada tahun 1994-2000 dan 2001-2007 hipertensi diderita oleh masing-masing 40,9% dan 59,9% orang. Maggioni, et al. (2013) juga melaporkan bahwa hipertensi merupakan komorbid tersering sebesar 58,2%. Yancy, et al. (2013) menyebutkan bahwa kejadiangagal jantung lebih sering pada pasien hipertensi yang sudah lama dan usia lanjut.

5.2.8. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda

Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa gejala dan tanda yang paling sering dikeluhkan adalah dispnoea sebanyak 87 kasus (89,7%). Hal ini sesuai dengan Oudejans (2012),Oudejans, et al. (2011), dan Kelder, et al. (2011) yang menyatakan keluhan dispnoea merupakan tanda dan gejala yang paling banyak dikeluhkan, yaitu masing-masing sebanyak 95%, 93%, dan 72,5%.Sistematik review yang dilakukan oleh Jant, et al. (2009), menyatakan gejala dispnoea memiliki sensitivitas tinggi 87%.

(58)

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata fraksi ejeksi sampel adalah 32,77%± 6,12 %. Hal ini sejalan dengan laporan Peters-Klimm, et al. (2008) yang melaporkan nilai rata-rata fraksi ejeksi adalah 33,3% ± 6,9%.

5.2.10. Tata laksana 5.2.10.1. Gagal jantung

Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa penggunaan obat gagal jantung yang paling banyak diresepkan adalah furosemid (89,7%), tetapi untuk penggunaan obat gagal jantung yang wajib dan harus diberikan kepada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi,seperti yang direkomendasikan ESC (McMurray, et al., 2012), yaitu3 obat antagonis neurohormonal (ACE-i/ARB, Beta-blocker, dan MRA) masih rendah peresepannya. Hal ini juga sejalan dengan yang dilaporkan oleh Komajda, et al. (2003) dan Störk, et al. (2008) bahwa diuretik merupakan penggunaan obat yang lebih sering digunakan dibandingkan dengan obat-obat antagonis neurohormonal, yaitumasing-masing sebanyak87,9% dan 78,9%.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2003) dan Komajda, et al. (2005), dimana penggunaan yang paling banyak adalah ACE-i/ARB, yaitu masing-masing sebanyak 85,9% dan 86,6%. Hal serupa juga dilaporkan oleh Yoo, et al. (2014), dimana peresepan obat yang paling sering adalah ACE-i/ARB mencapai 89,7%.

Dalam penelitian ini sendiri diperoleh bahwa penggunaan obat antagonis neurohormonal, seperti ACE-i/ARB sebanyak 78,4%dan Beta-blocker sebanyak 61,9%, sejalan dengan Störk, et al. (2008) yang melaporkan penggunaan ACE-i/ARB dan Beta-blocker masing-masing sebanyak 74,3% dan 63,2%.Hal yang sejalan juga dilaporkan dalam penelitian Peters-Klimm, et al. (2008), dimana peresepan terbanyak ACE-i/ARB sudah sekitar 80%, tetapi untuk pemberian Beta-blocker sudah lebih tinggi, yaitu sekitar 75%.

(59)

Yoo, et al. (2014) dan Peters-Klimm, et al. (2008), dimana penggunaan MRA sekitar65,9% dan 57%.

Berdasarkan penelitian ini penggunaan digitalis adalah sebanyak 26,8%. Hal ini sesuai dengan penelitian Maggioni, et al. (2013), dimana penggunaan hanya 23,9%. Tetapi, hasil ini ini tidak sesuai dengan beberapa laporan penelitian oleh Komajda, et al. (2005), Peters-Klimm, et al. (2008), Störk, et al. (2008), dan Frankenstein, et al. (2010), dimana penggunaan digitalis lebih tinggi, yaitu masing-masing sebesar 41%, 38%, 43,2% dan 34,6%.

Selain itu juga perlu dilihat bahwa berdasarkan laporan oleh Maggioni, et al. (2013),yang menyatakan bahwa penggunaan ACE-I/ARB, Beta-blocker, dan MRA sudah cukup baik, yaitu masing-masing 92,2%, 92,7%, dan 67%. Selain itu, dalam penelitian Maggioni, et al. (2013) lainnya, yang membagi hasilnya berdasarkan daerah demografi, menyebutkan bahwa penggunaan ACE-i/ARB dan Beta-blocker sudah cukup tinggi dan konsisten untuk setiap daerahnya, dimana penggunaan ACE-i/ARB terendahdi daerah Eropa Selatan berkisar 86,9%, tertinggi di daerah Eropa Timur 91,5%, dan penggunaan Beta-blocker terendah di daerah Eropa Selatan 84,4%, tertinggi di daerah Eropa Barat 91,4%

Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa GAI-3 kategori moderate merupakan yang terbanyak, yaitu 45,4 %. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2005) danStörk, et al. (2008), dimana GAI-3 kategori high adalah yang paling banyak, yaitu masing-masing 45,6% dan 38%.

Penelitian ini didapatkan bahwa GAI-5 kategori moderate juga merupakan yang terbanyak, yaitu 59,8 %. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Störk, et al. (2008), dimana GAI-5 kategori high adalah yang paling banyak, yaitu 47%.

Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme kompensasi neurohormonal (Mann, 2012)
Tabel 2.1. Gejala dan tanda klinis (McMurray, et al., 2012)
Gambar 2.2. Algoritma tata laksana gagal jantung kronik (McMurray, et al., 2012)
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rancang Bangun Aplikasi Pencarian Lokasi Rumah Sakit Bedah Mulut dan Praktek Dokter Gigi Berbasis Android Guna.. Memudahkan Masyarakat dalam Mencari Lokasi Rumah sakit

Merupakan kebanggaan tersendiri karena telah melalui perjuangan sangat berat, dan akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Penggunaan Metode Sosiodrama Melalui

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan analisis mengenai gambaran tema cinta antar sepasang kekasih dari pilihan kata (diksi) yang terdapat dalam sembilan lirik

Mengenai kebenaran beliau, Hadrat Masih Mau'ud ‘alaihis salaam menulis: 'Aku melihat bahwa orang yang mau mengikuti alam dan hukum alam telah diberikan kesempatan bagus oleh

Alhamdani (2010), mencatat bahwa elemen kontekstual tergantung pada banyak faktor, di antaranya: (1) fitur fisik bangunan; konfigurasi letak bangunan (bentuknya

Lakukan pengamatan pemeriksaan atas pemeriksaan/pengujian yang dilakukan oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan apakah telah sesuai dengan pedoman

Berdasarkan analisa AHP yaitu dengan menyatukan persepsi beberapa pihak terkait pengelolaan pulau lumpur Sarinah Kabupaten Sidoarjo, urutan prioritas yang dapat