• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERFUNGSIAN LATAR UNTUK MENDUKUNG PENOKOHAN DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SERTA KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBERFUNGSIAN LATAR UNTUK MENDUKUNG PENOKOHAN DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SERTA KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERFUNGSIAN LATAR UNTUK MENDUKUNG PENOKOHAN DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SERTA KELAYAKANNYA SEBAGAI

BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

Skripsi

Oleh Sulis Wardani

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Sulis Wardani

ABSTRAK

KEBERFUNGSIAN LATAR UNTUK MENDUKUNG PENOKOHAN DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SERTA KELAYAKANNYA SEBAGAI

BAHAN AJAR SASTRA DI SMA Oleh

Sulis Wardani

Masalah dalam penelitian ini adalah keberfungsian latar untuk mendukung

penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan keberfungsian latar untuk mendukung

penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy dan menentukan kelayakannya sebagai bahan ajar sastra di SMA.

Hasil penelitian ini ditemukan keberfungsian latar untuk mendukung penokohan. Melalui fungsi latar sebagai salah satu unsur fiksi, keberfungsian latar tempat

mendeskripsikan tokoh Aku yang berkehidupan sederhana, berpendidikan, tokoh Ibu yang religius, dan tokoh Ibu Mertua sebagai manusia yang berpendidikan.

Keberfungsian latar waktu mendeskripsikan tokoh Aku yang tepat waktu, tokoh Raihana sebagai isteri yang religius. Keberfungsian latar sosial mendeskripsikan

(3)

Sulis Wardani

anaknya, tokoh Pak Hardi yang suka memuji, dan tokoh Pak Qolyubi yang

berpendidikan dan hidupnya bergantung pada kekayaan orang tuanya.

Melalui fungsi latar sebagai metaforik, keberfungsian latar tempat mendeskripsikan tokoh Aku yang tidak menemukan hari-hari indahnya, bahagia

karena akan bertemu dengan orang yang didambakannya. Keberfungsian latar sosial mendeskripsikan tokoh Aku yang mandiri, tokoh Raihana yang anggun,

lembut, tenang, setia, dan patuh pada suaminya, tokoh Pak Susilo dilukiskan sebagai manusia yang menyukai sesuatu yang mulia.

Melalui fungsi latar sebagai atmosfer, keberfungsian latar tempat mendeskripsikan

tokoh aku yang menyesal namun sudah terlambat. Keberfungsian latar sosial mendeskripsikan tokoh Pak Qolyubi yang berstatus sosial tinggi.

Novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy layak untuk dijadikan bahan ajar sastra di SMA. Kelayakan novel tersebut karena memenuhi

(4)

KEBERFUNGSIAN LATAR UNTUK MENDUKUNG PENOKOHAN DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

KARYAHABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SERTA KELAYAKANNYA SEBAGAI

BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

Oleh

Sulis Wardani

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum. ………..

Sekretaris : Dra. Warnidah Akhyar …………...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Edi Suyanto, M.Pd. ………...

2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. NIP 19530528 198103 1 002

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sindang Agung (Lampung Utara), pada 21 Februari 1987. penulis adalah anak kedua dari pasangan suami istri Bapak Sajidin dan Ibu

Sumarmi.

Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1 Sindang Agung Lampung Utara diselesaikan pada tahun 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Tanjung Raja

Lampung Utara diselesaikan pada tahun 2001, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Kotabumi Lampung Utara diselesaikan pada tahun 2004.

Tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Pendidikan

(7)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecilku ini kepada

Dzat yang Mahaagung, Sang Penguasa Alam dan Jagat Raya atas limpahan rahmat dan karunia-Nya

Bapak dan Mamak,

yang telah memberikan doa, cinta, kata, dan harta. Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa.

Mamasku yang telah memberikan doa, harapan, kasih sayang, keringat, motivasi, untuk kesuksesanku masa depanku.

Keluarga besarku

atas senyum indah yang menghiasi hari-hari indah nan penuh makna.

(8)

MOTTO























Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(Al- Quran: Surat Al- Baqarah ayat 153).

[

























(9)

SANWACANA

Penulis bersyukur ke hadirat Allah Swt. atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai satu syarat mencapai gelar

sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Drs. Kahfie Nazarudin, M.Hum., selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan petunjuk, saran, dan bimbingan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

2. Dra. Warnidah Akhyar., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan petunjuk, saran, dan bimbingan kepada penulis.

3. Dr. Edi Suyanto, M.Pd., selaku Penguji dan Katua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Universitas Lampung yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran kepada penulis.

(10)

5. Drs. Imam Rejana, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,

FKIP Universitas Lampung.

6. Prof. Dr. H. Sudjarwo, M.S., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung.

7. Bapak dan Ibu dosen FKIP Universitas Lampung yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.

8. Bapak Sajidin dan Mamak Sumarmi, untuk semua doa, dukungan, dan kasih

sayangnya.

9. Mas Susilo Wardoyo, Mbak Siti Umayah, dan putri kecilnya (Nabila

Khorunnisa Islami), semangatku lahir karenamu.

10. Keluaga besarku atas doa, semangat yang diberikan, dan atas penantiannya.

11. Muhamad Mujib, S.Pd. dan Sally Liestari, S.Pd. untuk semua perhatian, bantuan, pengorbanan, dan motivasinya. Semoga Allah Swt. membalas semuanya dengan lebih baik.

12. Tia Hana Resmita, S.Pd., Suyatemi, S.Pd., Rusyda Ulfa, S.Pd., Mustika Malasari, S.Pd., Pitni Yuli, S.Pd., Abidah Almutmainah, S.Pd., Firda Hestidiani, S.Pd., atas persahabatan yang indah ini. Semoga abadi selamanya.

13. Eka Rahmawati, S.Pd., Sri Wahyuni, Nova Lestari, dan teman-teman Angkatan 2004 yang lain, untuk kebersamaan, bantuan, dan kerjasamanya

yang tak mungkin penulis lupakan.

14. Rini Ekawati, S.Pd., Debora Fransiska, Stentik Neisiomora, S.Pd., Erlin Mayesti, Supriyati, S.Pd., dll. yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

(11)

15. Teman-teman angkatan 2002, 2003, 2005 reguler dan Nonreguler, 2006

reguler dan nonreguler di Program Studi Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.

16. Kepala Sekolah, guru-guru, TU, dan teman-teman ketika PPL di SMPN 22 Bandar Lampung untuk bantuan dan kerja sama yang telah diberikan.

17. Keluarga Paseban Putri, Winarti, S.E., Siti Rokayah, S.H., Eva Sofyana, S.H.,

Erni Yunita, S.Pd., Fitri Ani, Catur Maryta, Siti Munawaroh, Nurul Suryaningrum, Akbar family, Ezzy family dan Pasebaners untuk doa, tawa, air

mata, dan dosa.

18. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga ketulusan dan kebaikan Bapak, Ibu, serta rekan-rekan mendapat pahala

dari Allah Subhanahuwataala. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan khususnya pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Bandar Lampung, Mei 2010 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

(13)

III.METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian ... 32

B. Sumber Data ... 32

C. Instrumen Penelitian ... 32

D. Prosedur Penelitian ... 33

E. Teknik Pengumpulan Data ... 34

F. Teknik Analisis Data ... 34

IV. PEMBAHASAN A. Hasil ... 35

B. Pembahasan ... 36

1. Latar Berfungsi sebagai Salah Satu Unsur Fiksi ... 36

2. Latar Berfungsi sebagai Metaforik ... 51

3. Latar Berfungsi sebagai Atmosfer ... 57

C. Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA ... 60

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 65

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(14)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mengapresiasi sebuah novel dapat dilakukan melalui unsur intrinsik dan

ekstrinsik. Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur yang berada di dalam novel dan secara langsung membangun cerita. Misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya

bahasa, dan lain-lain. Adapun unsur ekstrinsik novel adalah unsur-unsur yang berada di luar novel tetapi secara langsung mempengaruhi bangunan novel.

Unsur ekstrinsik ini berupa nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia. Misalnya, psikologi, ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain.

Terkait dengan latar sebagai salah satu unsur intrinsik novel, latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar sebagai salah satu unsur pembangun novel juga dapat

digunakan untuk mengkaji dan menganalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika novel itu merupakan sebuah karya yang berhasil, latarnya pasti terjalin secara harmonis dan saling melengkapi dengan

(15)

2

Latar bersama dengan tokoh dan plot termasuk ke dalam fakta (cerita), sebab

ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Latar yang mendapat penekan, yang dilengkapi dengan sifat-sifat khasnya,

akan sangat mempengaruhi penokohan dan keseluruhan cerita. Perbedaan latar, baik yang menyangkut hubungan tempat, waktu, maupun sosial,

menuntut adanya perbedaan pengaluran dan penokohan. Penokohan memang tak hanya ditentukan oleh latar, namun setidaknya peranan latar harus dipertimbangkan. Jika terjadi ketidakseimbangan antara latar dengan

penokohan, cerita menjadi kurang wajar, kurang meyakinkan. Pembaca yang kritis, barangkali akan menganggap hal semacam ini sebagai kelemahan karya

fiksi yang bersangkutan (Nurgiantoro, 2007:225-226).

Tokoh-tokoh cerita tidak akan hadir begitu saja kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang memungkinkan kehadirannya. Sebagai novel yang bersifat menyeluruh dan padu serta memiliki tujuan artistik, kehadiran dan

penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah juga dipertimbangkan dan tak lepas dari tujuan tersebut. Masalah penokohan dalam sebuah novel tak semata-mata

hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung

(16)

3

Latar sekitar tokoh sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan

latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar tertentu,

memang dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca, meskipun juga membutuhkan ketelitian dan kekritisan di pihak pembaca.

Latar dan penokohan memiliki hubungan yang sangat erat dan bersifat timbal

balik. Sifat-sifat latar akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal ini akan tercermin misalnya, sifat-sifat orang desa jauh di

pedalaman akan berbeda dengan sifat orang-orang kota. Cara berpikir dan bersikap orang desa lain dengan cara berfikir dan bersikap orang kota. Adanya

perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dan lain-lain yang menciri tempat-tempat tertentu, langsung atau tak langsung akan berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita. Di pihak lain, juga dapat dikatakan bahwa sifat-sifat

dan tingkah laku tertentu yang ditunjukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia berasal. Misalnya, orang-orang yang bergaya hidup mewah, menggunakan perhiasan yang berlebihan, kebanyakan menunju pada

orang-orang yang berstrata sosial tinggi. Begitu pula sebaliknya, orang-orang-orang-orang yang menggunakan pakaian compang-camping menunju pada orang-orang yang

(17)

4

Latar dan penokohan jika dikaitkan dengan pembelajaran sastra di SMA, tidak

akan lepas dari ruang lingkup mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu apresiasi novel. Pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang

besar untuk menyelesaikan masalah-masalah nyata, yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran sastra perlu diberikan sejak tingkat sekolah dasar dan pembelajaran sastra secara khusus

mulai diterapkan pada tingkat menengah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Semi berikut.

Pengajaran sastra di sekolah menengah pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra, diharapkan para siswa memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, dan mendapatkan ide-ide baru. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok pengajaran sastra adalah untuk mencapai kemampuan apresiatif (Semi, 1993:152-153).

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan

peserta didik agar berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap

hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006:15).

Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bertujuan agar peserta didik/siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang

berlaku, baik secara lisan maupun tulis.

2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa

(18)

5

3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan

kreatif untuk berbagai tujuan.

4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan

intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan berbahasa.

6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah

budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2006:15-16).

Novel Pudarnya Pesona Cleopatra merupakan buah karya Habiburrahman El Shirazy. Beliau adalah seorang pengarang yang sangat produktif sehingga

karya yang dihasilkannya menjadi fenomenal. Keproduktifan Habiburrahman El Shirazy dalam menulis novel-novelnya sudah diakui oleh para pembaca atau penikmat sastra sebab karya-karyanya tersaji dengan bahasa yang halus

tanpa terkesan menggurui. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin Nurdin (dalam Shirazy, 2007:83) yang menyatakan bahwa “kepiawaian Kang Abik menulis setara dengan HAMKA, Kuntowijoyo, dan bahkan menyamai

Gibran”. Karena kepiawaiannya dalam menulis itu, maka dua di antara

karya-karyanya sudah difilmkan. Novel yang sudah difilmkan itu berjudul Ayat-Ayat

(19)

6

Meskipun novel Pudarnya Pesona Cleopatra tidak difilmkan, namun isi dalam novel ini tidak kalah menariknya dengan novel yang telah difimkan. Boleh dikatakan novel Pudarnya Pesona Cleopatra adalah novel eksperimen sebelum menulis novel Ayat-Ayat Cinta. Karena sambutan yang cukup hangat dari pembaca atas Pudarnya Pesona Cleopatra barulah pengarang berani mempublikasikan Ayat-Ayat Cinta. Meskipun novel ini lebih pendek dan lebih

sederhana dari Ayat-Ayat Cinta, membaca novel mini ini akan mendapatkan sesuatu yang patut dipetik (Shirazy, 2007:v-vi).

Cukup banyak tanggapan yang disampaikan oleh pembaca, dan itu semua

berlangsung sebelum Ayat-Ayat Cinta terbit. Di antaranya adalah tanggapan dari seorang ustadz muda dari pesantren Raudhatush Shalihin, Batur, Klaten

yang bernama Al Ustadz K.H. Aswin Yunan Zarkasi, I.C. Usai membaca

karya ini beliau berkomentar “sungguh karya yang sarat hikmah dan

menyentuh. Bahasanya sederhana namun indah”. Tanggapan itu juga datang

(20)

7

Novel yang berjudul Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy berisi dua buah novel. Novel yang pertama berjudul Pudarnya Pesona Cleopatra dan novel yang kedua berjudul Setetes Embun Cinta Niyala. Namun, yang dikaji dalam penelitian ini adalah novel Pudarnya Pesona Cleopatra.

Dari uraian di atas, penulis bermaksud mengkaji keberfungsian latar untuk

mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El-Shirazy serta kelayakannya sebagai bahan ajar sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan masalah “Bagaimanakah keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El

Shirazy serta kelayakannya sebagai bahan ajar sastra di SMA?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. mendeskripsikan keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy;

2. mengetahui apakah novel tersebut layak digunakan sebagai alternatif bahan ajar sastra di SMA ditinjau dari keberfungsian latar untuk

(21)

8

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. meningkatkan pemahaman dan apresiasi pembaca khususnya siswa SMA

terhadap karya sastra mengenai keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy;

2. membantu guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam mencari alternatif bahan ajar yang diminati oleh siswa SMA;

3. menginformasikan kepada pembaca, siswa, dan guru tentang deskripsi keberfungsian latar untuk mendukung penokohan yang terdapat dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. keberfungsian latar untuk mendukung penokohan;

a. latar sebagai unsur fiksi b. latar sebagai metafora c. latar sebagai atmosfer

(22)

II. LANDASAN TEORI

A. Novel

Mursal Esten (1987:9) menyatakan bahwa sastra atau kesusastraan adalah

pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Sastra adalah bentuk dan

hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi: 1988:8). Prosa dalam bahasa

Inggris disebut prose: langue not in verse form (poetry), prosa bahasa bukan dalam bentuk baris-baris puisi, maksudnya prosa memiliki ciri ditulis dalam bentuk cerita atau narasi yang bebas bentuknya. Prosa dapat dibedakan

menjadi dua yakni prosa sastra dan prosa nonsastra. Prosa sastra dibagi lagi menjadi dua, yakni prosa sastra fiksi dan nonfiksi. Prosa sastra fiksi terdiri dari dongeng, hikayat, roman, novel, novellet, kisah atau lukisan, cerita epik, serta

prosa lirik. Prosa sastra nonfiksi terdiri dari esai, kritik, studi biografi otobiografi, sejarah, tambe, dan bebat. Adapun prosa nonsastra terdiri dari

(23)

10

Kata novel berasal dari bahasa latin novellas yang diturunkan pula dari kata noveles yang berarti ’baru’. Dikatakan ’baru’ karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis karya sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis

novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1991:164).

Novel (Jerman: Dichtung) dalam bentuknya yang paling sempurna merupakan sebuah epik modern. Selain itu, novel dianggap sebagai dokumen atau kasus

sejarah, sebagi pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan) sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah seseorang dan zamannya. Meskipun demikian, realitas dalam karya fiksi (novel) tidak selalu merupakan

kenyataan sehari-hari (Wellek dan Warren, 1995:276-278).

Novel juga dikenal sebagai salah satu bentuk prosa fiksi, yaitu sebuah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar,

serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita (Aminudin, 2004:6).

Menurut Tarigan (1991:164) novel dibangun oleh jalannya suatu cerita atau alur. Novel adalah suatu cerita yang panjang yang menceritakan kehidupan

pria atau wanita. Karena bentuk novel yang panjang, cerita tersebut ditulis dalam satu buku atau lebih, hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan

bahwa novel adalah sebuah cerita dengan suatu alur cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menggarap kehidupan pria atau wanita yang bersifat

(24)

11

Novel terdiri dari pelaku-pelaku. Mulai dari waktu muda sampai menjadi tua

mereka bergerak dari satu adegan ke adegan yang lain dari suatu tempat yang lain (H.E Batus dalam Tarigan, 1991:164).

Sumardjo (1984:66) berpendapat bahwa novel merupakan karya sastra atau

cerita berbentuk prosa dalam ukuran panjang dan luas. Ia mengungkapkan ciri-ciri pokoknya sebagai berikut.

1. Memiliki plot. Sebuah novel biasanya mempunyai plot pokok, yakni batang tubuh cerita, ditambah atau dirangkai dengan plot-plot kecil. Plot-plot kecil tadi hanyalah tambahan saja atau anak Plot-plot yang harus masih

merupakan kesatuan atau bersifat menjelaskan plot utamanya. Karena struktur bentuknya yang luas ini maka sebuah novel atau sebuah roman

dapat bercerita panjang lebar dan membahas secara luas pula.

2. Memiliki tema. Dalam tema juga terdapat tema utama dan tema-tema sampingan yang fungsinya sama dengan plot. Inilah sebabnya dalam

roman atau novel pengarang dapat membahas hampir semua segi persoalan dari tema pokok.

3. Karakter. Tokoh-tokoh dalam novel atau roman juga banyak. Ada kalanya

memang hanya melukiskan beberapa tokoh utama saja, sedangkan tokoh lain hanya digambarkan sekilas hanya untuk melengkapi penggambaran

tokoh-tokoh utama. Tetapi dalam novel atau roman, pengarang sering menghadirkan banyak tokoh cerita yang masing-masing digambarkan

(25)

12

Dari beberapa pendapat mengenai novel di atas, penulis mengacu pada

pendapat Aminudin yang menyebutkan novel sebagai sebuah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar, serta

tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita

B. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya

sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) membangun cerita. Kepaduan berbagai unsur intrinsik inilah yang

membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita (pembaca), unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya,

peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain (Nurgiantoro, 2007:23).

Dari unsur intrinsik yang telah disebutkan di atas, latar dan penokohan adalah

unsur yang cukup menarik jika dikaji secara bersamaan. Tokoh membutuhkan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, penokohan membutuhkan latar sebagai sarana

(26)

13

C. Latar

Pelataran atau latar secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, penunjuk, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan ruang,

waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Sudjiman dalam Jayawati, 2004:3). Latar/landas tumpu (setting) merupakan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan. Dalam arti luas latar (setting) meliputi aspek ruang, aspek waktu, dan aspek suasana saat kejadian atau peristiwa itu terjadi (Unbi,

2006:61). Latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (KBBI, 2002:643). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2007:216).

Dari beberapa pendapat mengenai latar di atas, pengarang mengacu pada

pendapat Nurgiantoro yang menyebutkan latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

D. Latar dan Unsur Fiksi yang Lain

Pada karya sastra tertentu, latar tampak sekedar dipergunakan sebagai tempat pijakan berlangsungnya saja. Sebaliknya, pada karya yang lain latar memiliki

peranan dalam pengembangan cerita, latar tampak mendapat penekanan. Penekanan latar pun dapat mencakup ketiga unsur sekaligus, atau hanya satu

(27)

14

Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun

tidak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Jika elemen tempat mendapat penekanan dalam sebuah novel,

ia akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang mencirikan, yang sedikit banyak dapat berbeda dengan tempat-tampat yang lain. Kekhasan keadaan geografis setempat, misalnya desa, kota, pelosok

pedalaman, daerah pantai, mau tak mau akan berpengaruh terhadap penokohan. Artinya tokoh dapat menjadi lain jika latar tempatnya berbeda.

Lingkungan geografis setempat yang dilengkapi dengan keadaan sosial budaya

yang khas sangat menonjol. Pada unsur latar terbukti mampu memengaruhi keseluruhan unsur yang lain sehingga tampak bahwa berbagai unsur dan cerita

bergantung pada latar. Latar menjadi sangat integral dengan tokoh. Latar menjadi lebih menonjol lagi karena sifat khasnya mungkin digantikan di daerah lain, dan karenanya ia menjadi bersifat tipikal. Latar mungkin

dipindahkan ke tempat lain tanpa mengubah cerita dan alur.

Penekanan peranan waktu juga banyak ditemukan dalam berbagai karya fiksi di Indonesia. Elemen waktu juga terbukti dapat dijalin secara integral dan

dapat memengaruhi pengembangan plot dan penokohan.

Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya

(28)

15

penekanan, yang dilengkapi dengan sifat-sifat khasnya, akan sangat

memengaruhi dalam hal pengaluran dan penokohan, dan karenanya juga keseluruhan cerita. Perbedaan latar, baik yang menyangkut hubungan tempat,

waktu, maupun sosial, menurut adanya perbedaan pengaluran dan penokohan.

Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar, dalam banyak hal akan memengaruhi sifat-sifat

tokoh. Bahkan, tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya, sifat-sifat orang desa jauh di pedalaman akan berbeda dengan sifat-sifat orang-orang

kota. Cara berpikir dan bersikap orang desa lain dengan orang kota. Adanya perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dan lain-lain yang menciri

tempat-tempat tertentu, langsung atau tak langsung, akan berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita. Di pihak lain, juga dapat dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu yang ditunjukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana

dia berasal.

Masalah status sosial juga berpengaruh dalam penokohan pengangkatan tokoh dari kelas sosial rendah tentu saja menuntut perbedaan dengan tokoh dari kelas

sosial yang tinggi, misalnya yang terlihat dalam hal cara berpikir, bersikap, bertingkah laku, juga dalam hal permasalahan yang dihadapi. Kelas sosial rendah mungkin dihubungkan dengan tempat-tempat pelosok dan terbelakang,

misalnya Dukuh Paruk, pelosok Gunung Kidul, pedalaman Kalimantan, atau tempat-tempat kumuh di kota. Bahkan masalah penamaan pun dapat dijadikan

(29)

16

Penokohan memang tak hanya ditentukan oleh latar, namun setidaknya

peranan latar harus diperhitungkan. Jika terjadi ketidakseimbangan antara latar dengan penokohan, cerita menjadi kurang wajar atau kurang meyakinkan.

Unsur latar akan menjadi dominan, fungsional, dan koheren dengan unsur fiksi

yang lain (penokohan) jika latar digarap secara teliti dan hati-hati oleh pengarang, yang antara lain dimaksudkan untuk mengesani pembaca agar

karya itu tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual. Latar secara langsung ataupun tak langsung akan berpengaruh terhadap pengaluran dan penokohan. Eksistensinya dalam sebuah karya tak mungkin

digantikan dengan latar lain tanpa memengaruhi perkembangan dan logika cerita.

Pelukisan latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh. Misalnya,

suasana rumah yang bersih, teratur, rapih, tak ada barang yang bersifat mengganggu pandangan, akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang cinta kebersihan lingkungan, teliti, teratur, dan sebagainya

yang sejenis. Sebaliknya, terhadap adanya suasana rumah yang tampak kotor, jorok, barang-barang yang tak teratur, semrawut, akan memberikan kesan

(30)

17

E. Unsur Latar

Menurut Nurgiantoro (2007:227-236), latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau

masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara terpisah, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.

1. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin

berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah

tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, Juranggede, Cemarajajar, Kramat, Grojogan, dan lain-lain seperti yang terdapat pada Burung-Burung Manyar.

Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama

suatu tempat, juga menyaran pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T, dan desa B seperti

(31)

18

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah

mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu

saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat yang lain, misalnya Gunung Kidul, Juraggede, Pejaten, dan Paruk.

Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuai yang bersifat khas,

tipikal, dan fungsional. Ia akan memengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa

-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada

kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan ntuk

mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan atau yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan

perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sungguh-sungguh ada dan

(32)

19

Misalnya, usaha memahami kehidupan tokoh Teto dalam Burung-Burung Manyar itu mau tak mau kita akan menghubungkannya dengan waktu sejarah, seperti keadaan tangsi militer Magelang zaman kekuasaan

Belanda, semasa pendudukan Jepang di tanah air, penyerbuan Belanda ke Yogyakarta pada masa clash II, walau tokoh Teto itu sendiri kita sadari betul sebagai tokoh fiktif. Tanpa memahami latar belakang sejarah

apresiasi kita terhadap novel tersebut akan menjadi lain, tak dapat mendapatkan kesan dan makna secara penuh. Demikian pula halnya jika

kita membaca Maut dan Cinta yang berlatar sejarah masa revolusi kemerdekaan. Dalam karya-karya lain seperti Lintang Kemukus Dini Hari, Kubah, Sri Sumarah, dan Bawok, peristiwa G-30-S/PKI bahkan menjadi inti konflik. Unsur waktu dalam novel-novel tersebut sangat dominan, secara jelas memengaruhi perkembangan plot dan cerita secara

keseluruhan. Latar waktu, dengan demikian, bersifat fungsional.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya

fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,

adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan

(33)

20

Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana

kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Di samping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, ia

dapat pula berupa dan diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Pengakuan Pariyem, Burung-Burung Manyar, Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, dan Sri Sumarah misalnya, dapat dicontohkan sebagai karya yang banyak mempergunakan kata dan ungkapan Jawa. Namun, penggunaan kata-kata saja tanpa didukung oleh

tingkah laku dan sikap tokoh, belum merupakan jaminan bahwa karya yang bersangkutan menjadi dominan latar sosialnya. Burung-Burung Manyar misalnya, jelas memakai kata Jawa. Oleh karena itu, Sri Sumarah walau sedikit penggunaan kata jawanya, karya tersebut menjadi lebih tipikal kejawaannya, khususnya unsur latar sosialnya.

Di samping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam

banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial. Nama-nama seperti Pariyem, Cokro Sentono, Sri Sumarah, Martokusumo, Bei Sertrakusumo, Hendraningrat, Karman, Sakarya, Kartaredjo, dan lain-lain menyaran pada

nama-nama Jawa. Sebaliknya, nama-nama seperti Wayan, Made, Ngurah, Ida Bagus, I Gusti menyaran pada nama orang Bali yang tentunya juga

berlatar Bali pula. Untuk lingkungan sosial budaya Jawa dan Bali, nama bahkan sekaligus menyaran pada status sosial dan atau kedudukan orang

(34)

21

untuk yang berstatus sosial rendah, sedang yang kedua tinggi, orang yang

berstatus sosial rendah Jawa tak mau (tak boleh?) memakai nama seperti

“kusumo, negoro, sarjana,” dan lain-lain karena takut kuwalat atau tak

kuat, tak pantas, menyandangnya.

Namanya Bu Marto. Lengkapnya Martokusumo. Tentu itu nama

suaminya. Atau tepatnya “nama tua” almarhum suaminya.

Sebab di Jawa, adalah hal yang mustahil anak laki-laki mendapat nama Martokusumo sejak dari lahirnya. Terlalu tua kedengarannya, dan terlalu berat bobotnya. Martokusumo, adalah nama yang baik dan memang nama yang berbobot. Nama itu menunjukkan bahwa si pembawa nama itu bukan orang kebanyakan. Artinya bukan nama seorang petani dusun yang hanya punya beberapa jengkal tanah, atau yang memburuhkan tenaganya untuk menggarap beberapa bahu sawah. Atau bahkan juga nama seorang tukang gerobak yang sehari-hari menyewakan gerobaknya mengangkut apa saja untuk dibawa ke mana saja.

(Sri Sumarah dan Bawuk, 1975:6)

F. Fungsi Latar

Nurgiantoro (2007:240-245) mengatakan latar dapat dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu fungsi latar sebagai salah satu unsur fiksi, latar sebagai metaforik,

dan latar sebagai atmosfer. Penjelasan menganai tiga fungsi latar tersebut adalah sebagai berikut.

1. Fungsi Latar sebagai Salah Satu Unsur Fiksi

Latar seperti pada penjelasan di atas adalah latar sebagai salah satu unsur fiksi, sebagai fakta cerita, yang bersama-sama unsur-unsur lain membentuk cerita. Latar berhubungan langsung dan mempengaruhi penokohan. Latar

(35)

22

2. Fungsi sebagai Metaforik

Penggunaan istilah metafor menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Secara

prinsip metafora merupakan cara memandang (menerima) sesuatu melalui sesuatu yang lain. Menurut Lakoff dan Johnson dalam Nurgiantoro, fungsi pertama metafor adalah menyampaikan pengertian dan pemahaman. Dalam

kehidupan sehari-hari untuk mengekspresikan berbagi keperluan, manusia banyak mempergunakan bentuk-bentuk metafora. Ekspresi yang berupa

ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dengan bentuk metafora daripada secara literal. Masih menurut Lakof dan Johnson dalam

Nurgiantoro, metafora erat berkaitan dengan pengalaman kehidupan manusia baik bersifat fisik maupun budaya dan tentu saja antara budaya bangsa yang satu dengan yang lain tak sama, sehingga bentuk-bentuk

ungkapan akan berbeda walau untuk mengekspresikan hal-hal yang hampir sama sekalipun.

Kenny dalam Nurgiantoro mengatakan Novel sebagai karya kreatif tentu saja kaya akan bentuk-bentuk ungkapan metafora, khususnya sebagai

sarana pendayagunaan unsur style, sesuai dengan budaya bahasa bangsa yang bersangkutan. Dalam kaitan ini adalah latar, latar yang berfungsi

metaforik. Deskripsi latar yang melukiskan sifat, keadaan, atau suasana tertentu sekaligus berfungsi metaforik terhadap suasana internal tokoh.

(36)

23

Dengan kata lain, deskripsi latar sekaligus mencerminkan keadaan batin

seorang tokoh. Deskripsi latar yang berupa awan kelabu berangkali sekaligus melukiskan kelamnya hati tokoh yang bersangkutan. Malam

bulan purnama dengan angin yang bertiup sepoi untuk menggambarkan suasana romantis yang memasuki dua sejoli yang sedang dimabuk cinta.

Deskripsi latar pada cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, misalnya, berhubungan secara metaforik dengan suasana hati Marno, tokohnya. Di tengah kota metropolitan itu Marno, yang berasal dari sebuah desa jawa, merasa terasing dan kesepian. Kadang hati itu ditopang dan

disarani secara meyakinkan oleh deskripsi latar. Bahkan sebenarnya, justru

deskripsi latar itu sendiri yang ”menggambarkan” kepada kita betapa

suasana hati Marno ”Dilongokkannya kepalanya ke bawah dan satu

belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.”

Unsur latar pada karya tertentu yang mendapat penekanan, biasanya relatif banyak detail deskripsi latar yang berfungsi metaforik. Atau paling tidak,

kita dapat menafsirkan demikian. Deskripsi latar tersebut khususnya yang menyangkut hubungan alam tak hanya mencerminkan suasana internal tokoh, namun juga menunjukkan suasana kehidupan suasana kehidupan

masyarakat, kondisi spiritual masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini sering terdapat hubungan timbal balik, saling mencerminkan antara latar

(37)

24

Keadaan tersebut dapat dicontohkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk beserta serial berikutnya. Lokasi geografis Dukuh Paruk yang terpencil sekaligus menyaran pada betapa keterpencilan dan kesederhanaan hidup

yang nyaris mendekati keprimitifan masyarakat penghuninya. Sebagai metaforiknya lokasi terpencil, terisolasi, masyarakat Dukuh Paruk pun sulit dibangunkan, disadarkan, keterbelakangn, kenaifan, dan kebodohan.

Mereka adalah gambaran masyarakat bodoh dan terbelakang yang tak menyadari kebodohan dan keterbelakangan. Mereka hidup dengan intuisi,

intuisi yang sepenuhnya didasarkan dari sasmita alam.

Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumul kecil di tengah padanga yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri.

(Ronggeng Dukuh Paruk, 1986:7)

Sementara Dukuh Paruk yang tua kelihatan makin renta oleh udara lebih dingin. Kemarau datang lagi ke dukuh paruk buat kesekian juta kali. Dan dukuh paruk selalu menyambutnya dengan ramah. Kepiting membuat lubang lebih dalam tepi pematang agar dirinya masih bisa mendapat air tanah. Siput mengunci diri di rumah kapurnya, pintu di lak dengan lendir beku agar tidak setitik uap air pun bisa keluar. Siput dan binatang-binatang lunak sejenisnya akan beristirahat panjang musim penghujan mendatang.

(Lintang Kemukus Dini Hari, 1985:148)

Dukuh Paruk yang renta menggambarkan betapa sudah tak berdayanya masyarakat setempat yang tak pernah punya obsesi ke kemajuan. Mereka menjalani kehidupan apa adanya, tanpa reserve, karena itu memang sudah digariskan alam. Alam diterimanya dengan ramah, kepiting membuat lubang lebih dalam, siput mengunci diri, adalah ungkapan-ungkapan

(38)

25

setempa. Kebodohan orang dukuh paruk itu dilukiskan dengan tepat dalam

deskripsi latar:”Di hadapan mereka Dukuh Paruk kelihatan remang seperti

seekor kerbau besar sedang lelap” (Lintang Kemukus Dini Hari, 1985:138)

3. Fungsi sebagai Atmosfer

Istilah atmosfer mengingatkan kita pada lapisan udara tempat kehidupan

berlangsung. Manusia hidup karena menghirup udara atmosfer. Atmosfer

dalam cerita merupakan ”udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki

dunia rekaan”. Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan

suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya. Suasana tertentu yang tercipta itu sendiri tak

dideskripsikan secara langsung, eksplisit, melainkan sesuatu yang tersarankan. Namun, pembaca umumnya mampu menangkap pesan suasana yang ingin diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi

dan kepekaan emosionalnya.

Misalnya, deskripsi latar yang berupa jalan beraspal yang licin, sibuk, penuh kendaraan ke sana ke mari, suara bising mesin dan klakson,

ditambah pengapnya udara bau bensin, adalah mencerminkan suasana kehidupan perkotaan. Dalam latar yang bersuasana seperti itulah cerita (akan) berlangsung. Dengan membaca deskripsi yang menyaran pada

(39)

26

Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa latar penyituasian.

Tahap awal, perkenalan, cerita sebuah novel seperti dikemukakan di atas pada umumnya berisi latar penyituasian, walau hal itu juga bisa terdapat di

tahap yang lain. Perkembangan cerita tentunya menuntut adanya penyituasian yang berbeda, di samping penyituasian itu sendiri dapat

memperkuat adegan. Adanya situasi tertentu yang mampu ”menyeret”

pembaca ke dalam cerita, akan menyebabkan pembaca terlibat secara emosional. Hal ini penting sebab dari sinilah pembaca akan tertarik,

bersimpati, berempati, meresapi, dan menghayati cerita secara intensif.

Pada pembukaan novel Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, kita langsung disuguhi deskripsi latar penyitusian yang berupa situasi Dukuh Paruk yang

sedang dilanda kemarau panjang, yang terpencil, yang berkiblat kebatinan pada cungkup leluhurnya, Ki Secamenggala, yang kesemuanya itu mewartakan dan membawa kita ke suasana kehidupan desa yang

terbelakang. Demikian pula halnya dengan pembukaan serial ketiganya, Jantera Bianglala, sekali lagi kita langsung disuguhi kehancuran Dukuh Paruk sehabis pemberontakan G-30-S/PKI. Dukuh Paruk yang penuh

(40)

27

Tetapi Dukuh Paruk sampai kapan pun tetap Dukuh Paruk. Ia sudah cukup berpengalaman dengan kegetiran hidup, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Dukuh Paruk hidup dalam kesadarannya sendiri yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali malapetaka tempe bongkrek, dengan kemiskinan langgeng dan kebodohan sepanjang masa.

(Jantera Bianglala, 1986:7)

Latar yang berfungsi sebagai metaforik dan sebagai atmosfir, walau menyaran pada pengertian dan fungsi berbeda, pada kenyataanya erat

berkaitan. Dalam deskripsi sebuah latar misalnya, di smping terasa sebagai pencipaan suasana tertentu sekaligus juga terdapat deskripsi tertentu yang

bersifat metaforik. Hal yang demikian justru menimbulkan efek kepadatan, sekaligus memperkuat pandangan bahwa sastra dapat dipahami dalam

berbagai tafsiran. Contoh kutipan di atas tak pelak lagi dapat menciptakan suasana tertentu bagi pembaca yang akan memasuki cerita. Namun, bukankah kita juga merasakan adanya fungsi metaforik latar itu di

dalamnya? Dukuh Paruk yang tetap survival terhadap petaka yang bagaimanapun, namun juga tetap mengalami kemiskinan dan kebodohan langgeng.

Alterberd & Lewis dalam Nurgiantoro berpendapat bahwa Akhirnya dapat

dikemukakan atmosfer cerita adalah emosi yang dominan yang merasukinya, yang berfungsi mendukung elemen-elemen cerita yang lain

untuk memperoleh efek yang mempersatukan. Atmosfer itu sendiri dapat ditimbulkan dengan deskripsi detil, irama, tindakan, tingkat kejelasan dan

(41)

28

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendapat Nurgiantoro sebagai alat

untuk mengkaji novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy karena, pendapat Nurgiantoro dijelaskan secara terperinci dan jelas di

dalam bukunya.

G. Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas

Standar Kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan

kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.

Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdiri atas dua aspek yakni kemampuan berbahasa dan bersastra. Kedua aspek tersebut masing-masing terdiri dari

subaspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada program pembelajaran untuk kelas XI semester 1, standar kompetensi kemampuan membaca sastra pada siswa adalah memahami berbagai hikayat, novel

Indonesia/novel terjemahan. Kompetensi dasarnya adalah menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat dan terbagi dalam beberapa indikator

pembelajaran yaitu; mengidentifikasi ciri hikayat sebagai bentuk karya sastra lama; menemukan unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dalam hikayat; menceritakan kembali isi hikayat

(42)

29

Dengan menentukan bahan pembelajaran sastra yang sesuai dengan

kurikulum KTSP, diharapkan siswa dapat menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra manusia Indonesia. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik agar berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia

Indonesia (Depdiknas, 2006:15).

Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (dalam KTSP) bertujuan agar peserta didik/siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis,

2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara,

3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan

kreatif untuk berbagai tujuan,

4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial,

5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan berbahasa,

6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah

(43)

30

Menurut Hardjana (1987:1-2) suatu karya sastra dapat dijadikan bahan

pembelajaran dengan mempertimbangkan tiga unsur, yaitu: (1) memberi pelajaran moral, maksudnya bahan pembelajaran sastra yang digunakan

hendaknya mengandung hal-hal yang mengarah pada pelajaran moral sehingga siswa dapat mengambil manfaat dari hasil membaca karya sastra tersebut, (2) memberi kenikmatan atau hiburan, maksudnya karya sastra yang

dijadikan alternatif bahan pembelajaran harus dapat memberikan suatu kesenangan atau hiburan bagi yang membacanya, sehingga tidak

menimbulkan kejenuhan, (3) memberikan ketepatan dalam wujud pengungkapan, hal tersebut dimaksudkan pada kemampuan pengarang dalam

menuangkan ide ceritanya dalam bentuk karangan.

Suatu karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan ajar sastra jika memberi kenikmatan atau hiburan, maksudnya karya sastra yang dijadikan alternatif bahan pembelajaran harus dapat memberikan suatu kesenangan atau hiburan

bagi yang membacanya, sehingga tidak menimbulkan kejenuhan bagi pembacanya dalam hal ini adalah siswa atau peserta didik. Peserta didik pasti akan merasa jenuh jika media pembelajarannya selalu menggunakan karya

sastra lama. Maka siswa atau peserta didik membutuhkan media baru yang dapat mengatasi kejenuhan bahkan menjadi hiburan dan kenikmatan bagi

(44)

31

Suatu karya sastra juga dapat dijadikan sebagai bahan ajar jika memberikan

ketepatan dalam wujud pengungkapan, hal tersebut dimaksudkan pada kemampuan pengarang dalam menuangkan ide ceritanya dalam bentuk

karangan. Siswa SMA akan merasa tertarik membaca sebuah novel jika bahasa yang digunakan oleh pengarang bersifat sederhana dan mudah dipahami.

(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah data yang terkumpul diinterpretasikan berdasarkan daya tangkap peneliti terhadap perspektif-perspektif (pandangan-pandangan) subjek penelitian secara akurat,

kemudian dideskripsikan sesuai dengan tujuan penelitian dengan menggunakan teknik analisis data (Semi, 1990:24).

B. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya

Habiburrahman El Shirazy. Novel ini berisi dua judul, judul yang pertama Pudarnya Pesona Cleopatra dan judul yang kedua Setetes Embun Cinta Niyala. Namun yang menjadi objek dalam penelitian ini hanyalah novel yang pertama yaitu novel Pudarnya Pesona Cleopatra. Novel ini diterbitkan

oleh Penerbit Republika cetakan ke-IX tahun 2007, tebal vii+111 halaman, dengan ukuran 20.5 x 13.5 cm.

C. Instrumen Penelitian

(46)

33

analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil

penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian. Namun, instrumen

penelitian di sini dimaksudkan sebagai alat pengumpul data seperti tes pada penelitian kuantitatif (Muleong, 2005:9 dan 168).

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam menganalisis keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El-Shirazy adalah sebagai berikut.

1. Membaca dengan teliti novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El-Shirazy.

2. Mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan latar dan langsung mengaitkannya dengan penokohan.

3. Menganalisis keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam

novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El-Shirazy. 4. Menentukan kelayakan novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya

Habiburrahman El-Shirazy sebagai alternatif bahan ajar sastra di SMA.

5. Menyimpulkan hasil analisis mengenai keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El-Shirazy.

(47)

34

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Membaca dan memahami novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy secara keseluruhan.

2. Mengumpulkan data yang berkaitan dengan latar dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy.

3. Mencari tokoh-tokoh berdasarkan latar yang sudah dikumpulkan dari novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy.

4. Menandai bagian-bagian dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy berdasarkan latar dan penokohan.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Mengklasifikasikan data yang diperoleh berdasarkan fungsi latar kemudian berdasarkan latar.

2. Mendeskripsikan keberfungsian latar terhadap penokohan yang ada dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy berdasarkan unsur-unsur yang telah ditentukan.

3. Mendeskripsikan kelayakan novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy sebagai bahan ajar sastra di SMA.

(48)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, diperolah simpulan bahwa

keberfungsian latar untuk mendukung penokohan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy meliputi: fungsi latar sebagai salah satu unsur fiksi, fungsi latar sebagai metaforik, dan fungsi latar

sebagai atmosfer.

Melalui fungsi latar sebagai salah satu unsur fiksi, keberfungsian latar tempat mendeskripsikan tokoh Aku yang berkehidupan sederhana dan berpendidikan,

tokoh Ibu yang religius, dan tokoh Ibu Mertua yang berpendidikan. Keberfungsian latar waktu mendeskripsikan tokoh Aku yang tepat waktu dan Raihana sebagai isteri yang religius. Keberfungsian latar sosial

mendeskripsikan tokoh Aku sebagai anak yang berbakti dan mau berubah, tokoh Raihana yang perhatian terhadap suaminya, tokoh Ibu yang egois dan

ingin yang terbaik untuk anaknya, tokoh Pak Hardi yang suka memuji, serta tokoh Pak Qolyubi yang berpendidikan dan hidupnya bergantung pada kekayaan orang tuanya.

(49)

66

Keberfungsian latar sosial mendeskripsikan tokoh aku yang mandiri, tokoh

Raihana yang anggun, lembut, tenang, setia, dan patuh pada suaminya, dan tokoh Pak Susilo yang menyukai sesuatu yang mulia.

Melalui fungsi latar sebagai atmosfer, keberfungsian latar tempat

mendeskripsikan tokoh aku yang menyesal namun sudah terlambat. Keberfungsian latar sosial mendeskripsikan tokoh Pak Qolyubi yang berstatus

sosial tinggi.

Jadi, dari ketiga fungsi latar untuk mendukung penokohan di atas ditemukan bahwa tokoh aku berkehidupan sederhana, berpendidikan, tepat waktu, anak

yang berbakti, mau berubah, tidak menemukan hari-hari indahnya, bahagia karena akan bertemu dengan orang yang didambakannya, tidak menemukan hari-hari indahnya, mandiri, dan menyesal namun sudah terlambat. Tokoh Ibu

yang religius, egois, dan ingin yang terbaik untuk anaknya. Tokoh Raihana yang religius, perhatian terhadap suaminya, anggun, lembut, tenang, setia, dan patuh pada suaminya. Tokoh Ibu Mertua yang berpendidikan. Tokoh Pak

Hardi yang suka memuji. Tokoh Pak Qolyubi yang berpendidikan, hidupnya bergantung pada kekayaan orang tuanya, dan berstatus sosial tinggi. Tokoh

Pak Susilo yang menyukai sesuatu yang mulia.

(50)

67

kenikmatan atau hiburan dan memberikan ketepatan dalam wujud

pengungkapan.

B. Saran

Berdasarkan penelitian di atas, penulis dapat memberikan saran-saran sebagai

berikut.

1. Novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy memberi kenikmatan atau hiburan dan memberikan ketepatan dalam wujud pengungkapan. Hal tersebut dapat terlihat jika novel Pudarnya Pesona Cleopatra dipahami dan diapresiasi secara tepat. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyarankan kepada guru bahasa dan sastra Indonesia untuk menggunakan novel Pudarnya Pesona Cleopatra sebagai alternatif

bahan ajar sastra di SMA terkait materi latar.

2. Bagi siswa SMA yang gemar membaca karya sastra, novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy sangat baik untuk dijadikan bahan bacaan. Selain siswa dapat mempelajari latar, siswa juga mendapatkan kenikmatan atau hiburan dan ketepatan dalam wujud pengungkapan.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Esten, Mursal. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Jayawati, Maini Trisna. 2004. Cerpen Pilihan Kompas 1992-2002:Analisis Struktur. Jakarta Pusat Bahasa.

Moelong, J.Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nurgiantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. --- Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA

Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas

--- Depdiknas.2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indones di SMAa. Jakarta: Depdiknas.

Rani, Drs. Supratman Abdul dan Dra. Yani Maryani. 2006. Intisari Sastra Indonesia untuk SLTP. Bandung: Pustaka Setia.

Semi, M. Atar.1988.Anotomi Sastra. Bandung: Angkasa.

---. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

---.1993.Rancangan Pengajaran Bahasa dan sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

(52)

69

Shirazy, Habiburrahman El. 2007. Pudarnya Pesona Cleopatra. Jakarta: Republika.

Sumardjo, Djakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni

Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Unbi, Rajah. 2006. Ikhtisar Bahasa dan Sastra Indonesia. Lampung: Al Fatah

Press.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan struktur yang membangun novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy; (2) mengungkapkan aspek

Skripsi ini berjudul “Aspek Kepribadian Tokoh Ayyas dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Psikologi” ini ditulis untuk memenuhi sebagian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai-nilai religius dalam novel- novel karya Habiburrahman El Shirazy yakni novel Bidadari Bermata Bening, Merindu Baginda Nabi

Kosakata yang digunakan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra sangat variatif, banyak digunakan kata konotasi dan kata serapan baik dari bahasa asing terutama bahasa

Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy dalam penelitian tersebut disimpulkan (1) dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra gaya bahasa yang paling

Karya sastra (baca : novel) adalah pengungkapan dan penghayalan manusia yang paling dalam. Perjalanan hidup di zaman dan tempat di dunia ini, sastra dan masyarakat adalah.. dua

Novel Api Tauhid karya Habiburrahman El-Shirazy yang akan penulis teliti, (1) unsur intrinsik yang meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang,

Pak Qalyubi Perasaan sedih yang dialami oleh tokoh Pak Qalyubi dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy, terlihat pada kutipan berikut: “Sungguh menyesal