• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN DAN NON RAMAH LINGKUNGAN SERTA PENYEBAB RENDAHNYA MINAT PETANI UNTUK MENERAPKAN BUDIDAYA CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN DAN NON RAMAH LINGKUNGAN SERTA PENYEBAB RENDAHNYA MINAT PETANI UNTUK MENERAPKAN BUDIDAYA CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN DAN NON RAMAH LINGKUNGAN SERTA PENYEBAB

RENDAHNYA MINAT PETANI UNTUK MENERAPKAN BUDIDAYA CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN

DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Oleh

PUJI ASTUTI

Penelitian bertujuan untuk menghitung dan membandingkan harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan, serta menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya minat petani cabai untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Natar, Way Sulan, Candipuro, Kalianda dan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survey dengan alat bantu quisioner. Uji beda harga pokok produksi dianalisis menggunakan program SPSS dengan analisis compare mean independent sample t test. Faktor penyebab rendahnya minat petani dianalisis dengan analisis faktor program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan adalah Rp 4.859/kg, dengan total biaya usahatani Rp. 43.804.375/ha dan rata-rata produksi 9.063 kg/hektar. Harga pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan adalah Rp. 5.682/kg dengan total biaya usahatani Rp. 54.502.535/ha dan rata-rata produksi 9.592 kg/hektar. Hasil analisis uji beda menunjukkan bahwa nilai t hitung adalah 2,059 pada signifikansi 0,043. Secara statistik harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan berbeda nyata dengan harga pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan. Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan harga pkok produksi cabai merah non ramah lingkungan. Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan harga pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan. Melalui analisis faktor diperoleh 3 faktor yang menyebabkan rendahnya minat petani untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan yaitu faktor aplikasi budidaya dan bimbingan petugas, faktor sarana dan serangan hama penyakit tanaman serta faktor hasil budidaya.

(2)

ABSTRACT

PRODUCTION COST ANALYSIS OF ENVIRONMENTALLY FRIENDLY AND NON FRIENDLY ENVIRONMENT OF RED CHILLI FARMING

AND CAUSES OF FARMER’S LOW INTEREST TO APPLY

ENVIRONMENTALLY FRIENDLY RED CHILLI CULTIVATION IN SOUTH LAMPUNG REGENCY

By PUJI ASTUTI

This research aims to analyzing the production cost of environmentally friendly and non-riendly environment of red chilli farming, comparing the cost of production of red chilli environmentally friendly with non-friendly environment and analyzing the factors that cause low interest of red chilli farmers to apply environmentally friendly of red chilli cultivation in South Lampung Regency. The research was conducted in five districts in South Lampung Regency, namely Natar District, Way Sulan, Candipuro, Kalianda and Penengahan. The method used in this research is a survey method with the instrument of quisionere. Data were analyzed with compare mean independent sample t test and factor analyzing SPSS program. The results show the cost production of environmentally friendly red chilli Rp 4.859/kg, with a total cost Rp. 43.804.375/ha, and the production is 9.063 kg/hectare. the cost production of non environmentally friendly red chilli Rp. 5.682/kg with a total cost Rp. 54.502.535/ha and the production is 9.592 kg/hektare. The result of different test analysis showed that the t-value was 2,059 at the significance 0,043. Statistically the production cost of red chilli environmentally friendly differed significantly from the production cost of non environmentally friendly red chilli. Throght analysis factors obtained, there were three factors that lead to low interest of farmers to apply environmentally friendly red chilli cultivation, namely the cultivation application and guidance officer factor, means factor and pests attact, and factors of cultivation result.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibutuhkan konsumen di Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok masyarakat, dengan tingkat konsumsi yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 permintaan akan cabai nasional untuk cabai merah mencapai 1.220.088 ton dengan rata-rata konsumsi cabai per kapita mencapai 0,43 kg/kapita/bulan, sehingga konsumsi per kapita per tahun penduduk Indonesia mencapai 4 – 5 kg (Rostini, 2011).

Siklus kebutuhan cabai di Indonesia meningkat menjelang event tertentu, seperti memasuki bulan puasa dan lebaran, natal dan tahun baru. Pada saat-saat tertentu, permintaan cabai yang tinggi diiringi dengan harga yang melambung, terutama jika event- event tersebut bertepatan dengan musim hujan. Biasanya pada musim hujan petani yang menanam cabai hanya sedikit dan banyak gagal panen akibat serangan hama dan penyakit. Akibatnya , keberadaan cabai di pasaran menjadi langka dan secara otomatis harganya melonjak tinggi (Wiryanta, 2011).

(4)

masyarakat yang belum dapat tergantikan dengan komoditas lain. Tingginya harga cabai merah di pasaran, telah menjadikan salah satu penyebab inlasi. Pada bulan Desember 2010, angka inflasi nasional sebesar 0,92% dan 0,22% disumbangkan dari komoditas cabai merah (Badan Pusat Statistik, 2011).

Provinsi Lampung merupakan salah satu produsen cabai merah di Indonesia, Beberapa kabupaten yang menjadi sentra produksi dan pengembangan cabai merah di Provinsi Lampung di antaranya antara lain Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan dan

Pringsewu. Total produksi cabai merah di Provinsi Lampung tahun 2011 mencapai 66.783 ton dengan luas tanam mencapai 38.798 ha seperti disajikan pada Tabel 1 (Dinas Pertanian TPH Provinsi Lampung, 2011).

Tabel 1. Luas tanam dan produksi cabai merah Provinsi Lampung, tahun 2011

No Kabupaten Luas panen (ha) Produksi (ton)

1 Tanggamus 15.132 3.701

2 Lampung Timur 5.443 7.514

3 Pesawaran 3.440 407

4 Lampung Tengah 2.943 2.661

5 Way Kanan 2.888 283

6 Pringsewu 2.463 1.692

7 Lampung Barat 2.063 45.243

8 Lampung Utara 1.898 529

9 Lampung Selatan 576 3.666

10 Tulang Bawang 498 305

11 Mesuji 395 38

12 Tulang Bawang Barat 288 633

13 Bandar Lampung 117 90

14 Metro 35 21

TOTAL 38.179 66.783

(5)

Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu sentra penghasil cabai merah di Provinsi Lampung, dengan total luas tanam dan luas panen pada tahun 2011 mencapai 391 ha dan 576 ha, serta produksi sebanyak 36.656 kwintal. Beberapa sentra penghasil cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan adalah Kecamatan Natar, Kalianda, Penengahan, Candipuro dan Way Sulan seperti tersaji pada Tabel 2. Jenis cabai merah yang diproduksi oleh petani di Provinsi Lampung Selatan adalah jenis cabai merah keriting. Jenis cabai ini banyak diminati karena memiliki tingkat kepedasan yang tinggi dibandingkan dengan jenis cabai merah lainnya, (Dinas Pertanian TPH Provinsi Lampung, 2011).

Tabel 2. Sebaran luas tanam, luas panen dan produksi cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

Sumber : Dinas Pertanain TPH Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

(6)

Komoditas cabai merah merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Lampung Selatan. Komoditas ini sudah menjadi salah satu pilihan usahatani bagi petani di Kabupaten Lampung Selatan, walaupun jumlah petaninya tidak

sebanyak jumlah petani tanaman pangan (padi dan jagung), karena usahatani cabai merah membutuhkan ketekunan, keuletan dan modal yang lebih tinggi

dibandingkan dengan usahatani tanaman pangan. Pengembangan usahatani cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan hampir setiap tahun mendapat dukungan program/kegiatan yang bersumber dari dana Tugas Pembantuan (APBN), dan dana APBD (Dinas Pertanian TPH Kabupaten Lampung Selatan, 2011).

Pada tahun 2011 Bank Indonesia telah mengalokasikan Program Klaster Cabe Nasional di Provinsi Lampung, dengan lokasi klaster cabe di Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Program Pengembangan Klaster Cabai Nasional tersebut merupakan wujud dari Momerandum of Understanding (MoU) antara Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2011, melalui Sekolah Lapang cabai merah keriting. Peserta Sekolah Lapang tersebut adalah 25 orang petani cabai yang berasal dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kalianda dan Kecamatan Palas. Pelaksanaan sekolah lapang tersebut diharapkan dapat membuat petani cabai mampu melkukan budidya cabai merah keriting sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Good Agriculture Practices (GAP) cabai merah (Dinas Pertanian TPH Provinsi Lampung, 2011).

(7)

keriting dianjurkan budidaya dengan pola ramah lingkungan. Usahatani cabai merah merupakan salah satu jenis usahatani yang mempunyai resiko cukup tinggi, yaitu resiko kegagalan karena serangan hama dan penyakit dan resiko anjloknya harga. Selain itu usahatani cabai merah juga membutuhkan dana investasi yang cukup tinggi pada proses produksinya. Rata-rata biaya investasi usahatani cabai merah dapat mencapai Rp. 40.000.000 per musimnya (Dinas Pertanian TPH Kabupaten Lampung Selatan, 2011).

Tingginya biaya investasi yang harus dikeluarkan petani membuat mereka sangat intensif dalam pengendalian hama dan penyakit, yang merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan usahatani selain anjloknya harga. Tindakan preventif petani biasanya dilakukan dengan mengaplikasikan pestisida walaupun belum terdapat gejala serangan, karena beberapa petani beranggapan lebih baik mereka mengeluarkan dana pencegahan berupa pembelian pestisida dan membayar tenaga kerja untuk menyemprot daripada tanaman cabainya akan terserang hama dan penyakit yang dapat mengakibatkan gagal panen. Penggunaan pestisida yang tinggi mengakibatkan produk cabai yang dihasilkan pun menjadi kurang aman untuk dikonsumsi (Wiryanta, 2011).

(8)

pada tanaman pangan (padi dan jagung). Hal ini disebabkan oleh pada tahap awal pelaksanaan pertanian organik, biasanya terjadi penurunan produksi akibat pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar petani masih ragu untuk melaksanakan program tersebut, terutama petani cabai yang telah mengeluarkan biaya investasi yang cukup tinggi.

Pelaksanaan pertanian organik tidak dapat langsung diterapkan pada usahatani di lapangan, namun harus dilaksanakan secara bertahap. Budidaya ramah

lingkungan merupakan tahapan usahatani menuju pertanian organik. Usahatani ramah lingkungan dicirikan oleh pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, di antaranya penggunaan pestisida nabati dan agen hayati. Selama ini, usahatani, khususnya tanaman cabai, dalam upaya pengendalian hama dan penyakit hanya mengandalkan pestisida kimia saja (BPTPH Provinsi Lampung, 2011).

Sejak tahun 2010 telah dibentuk Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) sebagai instansi atau lembaga yang berwenang untuk melakukan pembinaan, pengawasan pangan serta pemberian sertifikasi keamanan pangan (Prima 3) bagi produk-produk pertanian. Pada awal terbentuknya, OKKPD Provinsi Lampung memprioritaskan untuk mensertifikasi produk sayur dan buah. Untuk produk sayur, yang lebih diproritaskan adalah cabai merah, karena selain merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, cabai merah juga merupakan komoditas hortikulura unggulan Provinsi Lampung. Akan tetapi, sejak

(9)

mengandung pestisida yang cukup tinggi (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2011).

Sebenarnya fenomena tingginya kandungan bahan kimia pada beberapa produk pertanian telah lama menjadi suatu permasalahan. Untuk mengatasinya, maka sejak tahun 2006 Kementerian Pertanian melalui Direktorat Perlindungan Tanaman telah mengeluarkan Program atau Kegiatan Sekolah Lapang Pengedalian Hama Terpadu (SL PHT) yang bertujuan untuk memberikan pengenalan, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengendalian hama dan penyakit pada tanaman, sehingga mereka mampu mengenali hama dan penyakit pada tanaman, musuh alami, agen hayati serta membuat sendiri pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tersebut (BPTPH Provinsi Lampung, 2011).

Selain SL PHT, program Sekolah Lapang yang bertujuan untuk memberikan pemahaman dan ketrampilan petani cabai merah untuk dapat melaksanakan budidaya cabai merah yang ramah lingkungan adalah Sekolah Lapang Good Agriculture Practices (GAP) dan Sekolah Lapang Cabai Merah Ramah

Lingkungan. Sekolah Lapang tersebut, baik SL PHT, SL GAP dan SL Ramah Lingkungan, merupakan suatu kegiatan untuk mengenalkan petani pada usahatani cabai merah yang ramah lingkungan, di mana penggunaan pupuk dan pestisida kimia dikurangi atau dibatasi, sehingga produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi (Dinas Pertanian TPH Provinsi Lampung, 2011).

(10)

menghindari kegagalan akibat serangan hama dan penyakit. Masih banyak petani yang mengaplikasikan pupuk kimia berlebihan dan penyemprotan pestisida pada tanaman cabai merah secara rutin walaupun belum terlihat ada serangan hama penyakit. Dengan mengaplikasikan pestisida secara rutin tersebut, petani berharap dapat menyelamatkan tanaman cabai dari kegagalan akibat serangan hama dan penyakit, sehingga pendapatan mereka dapat diperoleh seperti yang diharapkan.

Namun seringkali petani tidak menghitung berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan pestisida yang berlebihan dalam usahataninya. Di sisi lain pendapatan yang tinggi dapat juga diperoleh melalui usahatani dengan biaya yang. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis mengenai harga pokok produksi cabai merah pada usahatani ramah lingkungan dan non ramah lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya minat petani cabai untuk menerapkan usahatani ramah lingkungan. Hasil analisis tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi petani untuk menerapkan usahatani cabai merah yang paling menguntungkan mereka.

B. Rumusan Masalah

Usahatani cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu pilihan usahatani yang telah lama dilaksanakan oleh sebagian besar petani. Harga cabai merah yang sangat berfluktuasi, seringkali membuat petani cabai

(11)

harga cabai merah di tingkat petani di lokasi yang sama anjlok sampai pada harga Rp. 5.000/kg sebagaimana tersaji pada Gambar 1 (Dinas Pertanian TPH

Kabupaten Lampung Selatan, 2011).

Gambar 1. Fluktuasi harga cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangna dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

(12)

Direktorat Budidaya Sayuran Kementerian Pertanian Republik Indonesia, melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan, telah banyak menyelenggarakan SL PHT, SL GAP dan SL Ramah Lingkungan pada tanaman cabai. Tujuan SL PHT, SL GAP dan SL Ramah Lingkungan tersebut adalah memberikan pemahaman kepada petani cabai untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan, agar produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan dapat mengurangi biaya produksi. Namun dari pelaksanaan Sekolah Lapang tersebut diketahui bahwa petani cabai merah yang mau menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan masih di bawah 10 % dari total petani cabai merah di masing-masing wilayah (Dinas Pertanian TPH Kabupaten Lampung Selatan, 2011).

Hal tersebut mendorong penulis untuk mengkaji mengapa minat petani untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan masih rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka disusun pertanyaan-pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

1. Berapakah harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan?

(13)

3. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya minat petani cabai di Kabupaten Lampung Selatan untuk menerapkan usahatani cabai merah ramah lingkungan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, maka tujuan penelitian adalah : 1. Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi cabai merah ramah

lingkungan dan non ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan

2. Membandingkan harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dengan non ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan

3. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya minat petani cabai untuk menerapkan usahatani cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Petani, sebagai acuan untuk melakukan usahatani cabai merah yang paling menguntungkan.

2. Petugas Lapang, sebagai acuan dalam melaksanakan pembinaan kepada petani cabai di wilayah binaannya.

(14)
(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Ekonomi Cabai

Cabai merah merupakan salah satu jenis produk hortikultura yang banyak diminati dan dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia. Tingkat konsumsi cabai ini cukup tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik rata-rata konsumsi cabai per kapita pada tahun 2011 mencapai 0,43 kg/kapita/bulan . Jumlah produksi cabai nasional cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2010 terjadi lagi penurunan produktisi cabai merah akibat cuaca ekstrem dan serangan hama dan penyakit serta adanya bencana alam di sentra cabai merah nasional seperti meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah (Wiryanta, 2011).

(16)

Harga cabai merah yang melonjak tinggi ini, menarik minat petani lainnya untuk ikut menanam cabai merah, sehingga pada tahun 2011 di Provinsi Lampung yang merupakan salah satu provinsi penghasil cabai merah nasional, terjadi kenaikan luas panen cabai merah sebesar 616 ha dari tahun 2010. Kenaikan luas tanam ini meningkatkan produksi cabai merah di provinsi Lampung dari 286.561 kuintal menjadi 443.745 kuintal. Akibatnya pada tahun 2011 harga cabai merah anjlok hingga Rp. 5.000/kg di tingkat petani.

Kabupaten Lampung Selatan yang merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di Provinsi Lampung juga mengalami fluktuasi harga di tingkat petani. Fluktuasi harga seringkali membuat petani cabai mendapatkan keuntungan yang besar, namun seringkali pula sebaliknya. Pada bulan Januari tahun 2011, harga cabai merah di tingkat petani di Kabupaten Lampung Selatan mencapai Rp. 55.000/kg, sedangkan pada bulan Juli 2011 harga cabai merah di tingkat petani di lokasi yang sama anjlok sampai pada harga Rp. 5.000/kg (Dinas Pertanian TPH Kabupaten Lampung Selatan, 2011).

Fluktuasi harga cabai merah juga disebabkan belum adanya jaminan harga cabai dari pemerintah, seperti halnya komoditas beras dan gula, sehingga harga yang berlaku hanya ditentukan oleh pasar. Akibatnya, petani hanya mampu mengikuti sistem yang berlaku di pasar. Selain ditentukan oleh pasar, pihak yang dapat menentukan harga cabai adalah tengkulak. Umumnya, petani hanya

(17)

dibandingkan dengan harga di pasar. Walaupun terjadi peningkatan harga cabai yang sangat tinggi, petani tidak mendapatkan untung yang sama besarnya dengan yang diperoleh tengkulak (Rostini, 2011).

Komoditas cabai merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki tingkat keuntungan tinggi dan resiko yang tinggi pula. Salah satu resiko dalam usahatani cabai merah adalah masalah harga. Beberapa solusi untuk

mengantisipasi anjloknya harga cabai menurut Wiryanta (2011) adalah a. Tidak menanam cabai secara serentak dalam satu blok hamparan dengan

tujuan agar rentang waktu panjang, sehingga kemungkinan memperoleh harga rendah dapat dihindari.

b. Mencari harga jual cabai yang relatif aman, yaitu melalui pola kemitraan dengan industri pengolah cabai.

c. Manfaatkan event-event seperti hari raya, tahun baru dan hari-hari besar lainnya, dengan mengatur pola tanam.

d. Melakukan sortasi terhadap hasil panen. Salah satu penyebab rurunnya harga cabai adalah akibat kualitas cabai yang rendah, atau tidak dilakukan

penyortiran hasil panen.

Permasalahan lain dalam usahatani cabai merah, selain masalah anjloknya harga, adalah permodalan. Saat ini sektor perbankan belum tertarik untuk mengucurkan kredit kepada sektor pertanian, karena memiliki tingkat resiko yang tinggi,

(18)

2. Harga Pokok Produksi

Harga pokok produksi merupakan total biaya yang dikeluarkan untuk

memproduksi atau menghasilkan suatu produk dalam satu periode. Harga pokok produksi usahatani cabai merah merupakan total biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk memproduksi cabai merah dalam suatu proses budidaya pada satu musim tanam. Komponen biaya produksi usaha tani cabai merah meliputi biaya alat dan bahan (saprodi), biaya tenaga kerja dan biaya overhead usahatani

(Sukiyono, 2005). Alat dan bahan (saprodi) dalam usahatani cabai merah meliputi benih, pupuk, pestisida, mulsa, ajir, dan lain-lain. Biaya tenaga kerja merupakan total upah tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani dalam proses budidaya cabai merah dari mulai persiapan lahan, pengolahan lahan, persiapan tanam, tanam, pemeliharaan, panen, dan pasca panen.

Biaya overhead usahatani meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses budidaya cabai merah dalam satu musim tanam selain biaya pembelian alat dan bahan (saprodi) dan biaya tenaga kerja. Biaya overhead usahatani cabai merah meliputi biaya sewa lahan, pajak tanah, biaya bahan bakar minyak, biaya sewa alat serta biaya penyusutan alat.

Menurut Sunarto (2008) ada 2 pendekatan dalam menentukan harga pokok produksi, yaitu :

a. Metode full costing

Metode full costing merupakan suatu metode penentuan harga pokok

(19)

costing terdiri dari unsur harga pokok produksi (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik variabel dan biaya overhead pabrik tetap) ditambah dengan biaya non-produksi (biaya pemasaran, biaya administrasi dan biaya umum).

b. Metode variable costing

Metode variable costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi. Harga pokok produksi yang dihitung dengan menggunakan pendekatan variable costing terdiri dari unsur harga pokok produksi variabel (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik) ditambah dengan biaya non-produksi variabel (biaya pemasaran, biaya administrasi dan biaya umum) dan biaya tetap (biaya overhead pabrik, biaya pemasaran dan biaya administrai dan umum).

3. Biaya Produksi Usahatani

Biaya produksi dibedakan menjadi dua macam, yaitu biaya tetap dan biaya

variabel. Jumlah biaya tetap seluruhnya dan biaya variabel seluruhnya merupakan biaya total produksi. Dalam notasi matematika biaya total dirumuskan sebagai : TC = TFC + TVC ……….…..……….. ( 1 ) di mana : TC = Biaya total produksi

TFC = Biaya tetap total TVC = Biaya variabel total

(20)

merah adalah biaya sewa lahan, pajak lahan, biaya peralatan dan biaya penyusutan alat. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengasilkan output pada usahatani di luar biaya sewa lahan, pajak, biaya penyusutan dan biaya peralatan (Soekartawi, 1986).

4. Pendapatan Usahatani

Selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan total pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi tenaga kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Oleh karena itu, pendapatan bersih merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat digunakan untuk membandingkan beberapa penampilan usahatani (Soekartawi. 1986).

Selanjutnya Soekartawi (1986), menyatakan bahwa pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani cabai merah diperoleh dari perhitungan :

TL = Y.Py - Σ X i . Pi ………...………..( 2 ) di mana : TL = Pendapatan usahatani cabe merah.

Y = Produksi cabai Py = Harga cabai per unit

(21)

5. Budidaya Cabai Merah Ramah Lingkungan

Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala terbesar dalam usahatani cabai, selain iklim yang tidak menentu. Penurunan produksi akibat serangan hama dan penyakit semakin tinggi pada musim hujan, karena curah hujan dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang optimal untuk perkembangan dan

penyebaran penyakit pada cabai. Kerusakan dan penurunan produksi akibat serangan hama dan penyakit dapat mencapai 70 – 100 % pada musim hujan (Wiryanta, 2011).

Pada umumnya petani cabai merah dalam kegiatan usahataninya hanya mengharapkan produksi cabai merah yang tinggi saja, belum memperhatikan aspek keamanan produk dan kelestarian lingkungan. Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman cabai, umumnya hanya menggunakan pestisida kimia, dengan alasan cepat dalam pengendaliannya. Sisi buruk penggunaan pestisida kimia selain merusak lingkungan, juga memperbesar biaya produksi berupa pembelian pestisida serta produk yang dihasilkan kurang aman untuk dikonsumsi karena banyak mengandung residu pestisida. Selain itu penggunaan pestisida kimia yang terus-menerus juga dapat mengakibatkan resistensi pada hama dan penyakit tertentu (BPTPH Provinsi Lampung, 2011).

(22)

di masyarakat petani tetapi harus dilakukan secara bertahap karena persyaratan dalam pertanian organik sangat ketat. Adapun tahapan menuju sistem pertanian organik adalah dengan memperkenalkan sistem usahatani ramah lingkungan.

Cabai merah merupakan salah satu produk pertanian yang hampir setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat baik langsung maupun melalui produk turunan. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan produk cabai merah yang aman dikonsumsi dengan kandungan pestisida yang rendah. Untuk memperoleh produk cabai merah seperti yang diharapkan oleh konsumen maka pemerintah telah meamperkenalkan kepada petani tentang pertanian organik yang produknya dijamin sehat dan aman

dikonsumsi. Namun dalam pelaksanaanya ssstem pertanian organik ini sangat sulit diterapkan oleh petani karena ketatnya persyaratan dalam pertanian organik, oleh karena itu diperkenalkan juga system usahatani ramah lingkungan sebagai tahapan menuju pertanian organik.

a. Ketentuan pada Budidaya Sayuran Organik

Beberapa ketentuan dalam budidaya sayuran organik berdasarkan petunjuk teknis budidaya sayuran organik Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung (2010) adalah :

(1). Lahan

- Lahan harus terbebas dari bahan kimia (pupuk dan pestisida).

- Jika lahan yang digunakan berasal dari lahan pertanian non organik harus dilakukan konversi.

(2). Benih

(23)

- Benih harus berasal dari produk pertanian organik.

- Jika tidak tersedia, diperbolehkan menggunakan benih dari produk non organik, namun tidak boleh diberi perlakuan kimia pada benih.

(3). Bahan Penyubur

- Dilarang menggunakan bahan penyubur yang berasal dari bahan-bahan kimia, seperti Superpospat, Urea, Ammonium Sulfat, KCl, Kalium nitrat, Kalsium Nitrat.

- Dilarang menggunakan bahan penyubur yang megandung GMO (Genetically Modified Organism).

(4). Air

Begitu rumit dan tidak sederhanya budidaya pertanian organik, maka pemerintah memperkenalkan suatu budidaya pertanian yang merupakan tahapan untuk menuju pertanian organik, yaitu budidaya ramah lingkungan.

b. Ketentuan dalam Budidaya Cabai Merah Ramah Lingkungan

Beberapa ketentuan dalam budidaya cabai merah ramah lingkungan berdasarkan petunjuk teknis budidaya sayuran ramah lingkungan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung (2010), adalah :

(1). Benih masih diperbolehkan menggunakan benih yang bersumber dari rekayasa genetika (benih hibrida).

(2). Bahan penyubur tanaman yang digunakan sebagian besar harus berasal dari limbah tanaman atau peternakan yang telah terdekomposisi.

(24)

(4). Pengendalian hama dan penyakit, lebih diutamakan pengendalian hama dan penyakit secara kultur teknis, manual, mekanik dan fisik, serta pengendalian secara hayati. Penggunaan pestisida kimia merupakan alternatif terakhir, apabila sudah tidak dapat dikendalikan lagi dengan pengendalian mekanik, fisik dan hayati. Budidaya ramah lingkungan ditandai dengan telah

digunakannya pupuk dan pestisida alternatif (organik/nabati) sebagai pengganti pestisida kimia.

Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian Republik Indonesia, dalam rangka sosialisasi budidaya pertanian ramah lingkungan menuju budidaya pertanian organik, telah meluncurkan beberapa program, seperti Program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) cabai merah oleh Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Lampung, Sekolah Lapang Ramah Lingkungan cabai merah oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, Sekolah Lapang Good Agriculture Practices (GAP) cabai merah oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan, serta Budidaya cabai merah semi organik oleh Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Provinsi Lampung. Semua program tersebut bertujuan untuk mensosialisasikan pertanian ramah lingkungan menuju pertanian organik, dengan mengurangi atau melarang penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam proses budidaya.

(25)

penyakit tersebut. Pada prinsip PHT, pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan pengamatan pada tanaman secara intensif (setiap hari) sehingga dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian secara dini. Pengendalian hama dan penyakit diupayakan menggunakan musuh alami dan pestisida nabati, yaitu pestisida yang dapat dibuat sendiri oleh petani dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka dan pestisida kimia merupakan alternatif terakhir pengendalian hama dan penyakit. Dengan demikian diharapkan produk buah cabai yang dihasilkan petani aman untuk dikonsumsi karena tingkat residu pestisidanya rendah (BPTPH Provinsi Lampung, 2011).

c. Jenis-jenis Pestisida

Novizan (2002), membagi pestisida menjadi 2 bagian yaitu pestisida sintesis dan pestisida alami. Pestisida sintetis mulai dikenal dalam dunia pertanian setelah ditemukannya DDT tahun 1874 dan bubur bordeoux tahun 1882, yang selanjunya pada dekade 1930-an pestisida komersil mulai diperdagangkan di Amerika

Serikat. Di Indonesia pestisida sintetis mulai digunakan secara besar-besaran pada program intensifikasi pertanian untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Pada saat pelaksanaan program intensifikasi tersebut, pemerintah memberikan subsidi terhadap pestisida hinga 80%, sehingga harga pestisida menjadi murah. Program penyuluhan pertanian juga selalu merekomendasikan penyemprotan tanaman secara berkala tanpa melihat ada tidaknya serangan hama dan penyakit, sehingga penggunaan pestisida sintetis ini menimbulkan berbagai permasalahan di

(26)

pengganggu tanaman, terjadinya serangan hama sekunder, kematian organisme yang menguntungkan, serta timbulnya kekebalan OPT terhadap pestisida sintetis.

Dari beberapa kelemahan pestisida sintetis tersebut, saat ini mulai dikenalkan dan dikembangkan pestisida yang aman bagi manusia dan lingkungan, dengan

menggunakan bahan-bahan yang banyak terdapat di alam yaitu yang dikenal dengan pestisida alami. Pestisida ini dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yang banyak tersedia di alam, selanjutnya bahan-bahan tersebut diekstrak, diproses dan dan dibuat konsentrat dengan tidak mengubah struktur kimianya.

Pestisida alami dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu :

(1). Pestisida botani, yaitu yang berasal dari ekstrak tanaman yang kemudian diambil dan dipakai untuk melindungi tanaman.

(2). pestisida biologis, yaitu yang mengandung mikroorganisme pengganggu OPT yaitu bakteri patogenik, virus dan jamur.

(3). Pestisida berbahan dasar mineral anorganik yang terdapat pada kulit bumi. Biasanya berbentuk kristal, tidak mudah menguap, dan bersifat stabil secara kimia, seperti belerang dan kapur.

(27)

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi

Budidaya ramah lingkungan merupakan salah satu inovasi di bidang budidaya pertanian, yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan dan keamanan produk yang dihasilkan, dan tidak semata-mata untuk meningkatkan produksi. Seperti halnya dengan teknologi pertanian lainnya, budidaya ramah lingkungan

merupakan suatu bentuk inovasi di bidang pertanian. Suatu inovasi budidaya pertanian diharapkan dapat diadopsi oleh petani sebagai pelaku usaha di lapangan. Dalam prakteknya adopsi inovasi tidak serta merta dapat diadopsi, tetapi memerlukan suatu proses. Adopsi terhadap suatu inovasi biasanya diawali dengan proses difusi, yang artinya penyebaran informasi dari satu individu kepada individu lainnya atau sekelompok sistem (Setyarini, 2007).

(28)

a. Faktor Internal Petani

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa faktor-faktor situasional dalam difusi inovasi merupakan faktor-faktor yang dapat menjelaskan alasan mengapa petani tertentu mengadopsi inovasi praktek pertanian dengan cepat pada suatu waktu dari pada yang lain. Yang termasuk faktor ini adalah pendapatan usahatani, ukuran usahatani, status kepemilikan lahan, prestise masyarakat, sumber-sumber informasi yang digunakan dan tingkat kehidupan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi proses difusi inovasi adalah faktor kebudayaan, sosial, personal dan situasional. Dari faktor-faktor kebudayaan, yang sangat berpengaruh terhadap proses difusi inovasi adalah tata nilai dan sikap. Faktor-faktor inilah yang kemudian disebut sebagai faktor internal petani.

Faktor sosial yang mempengaruhi difusi inovasi adalah (1) keluarga, nilai-nilai positif dalam keluarga yang berhubungan dengan adopsi inovasi, (2) tetangga, belajar dari tetangga akan lebih berhasil daripada belajar dari orang lain yang tempat tinggalnya berjauhan, (3) kelompok sosial, melibatkan mekanisme aktif dan pasif dalam pengendalian aktivitas sosial, (4) kelompok referensi, berperan mempengaruhi pikiran, penilaian dan keputusan untuk bertindak, (5) kelompok formal, berperan untuk mengorganisasi penyebarluasan informasi, dan (6) status sosial, membentuk pola komunikasi, di mana komunikasi akan lebih efektif pada orang-orang yang mempunyai status sosial yang sama.

Faktor personal atau individu terdiri dari : (1) umur, orang yang lebih tua

(29)

menguntungkan dapat diciptakan, dan (3) karakteristik psikologi, petani yang cenderung bermental kaku (statis) akan sulit melakukan difusi inovasi. Faktor-faktor situasional terdri dari : (1) pendapatan usahatani. Pendapatan usahatani yang tinggi menyebabkan proses difusi inovasi, (2) ukuran usahatani, berhubungan positif terhadap tingkat difusi inovasi, (3) status pemilikan tanah, pemilikan tanah dapat membuat keputusan secara langsung untuk mengadopsi inovasi sesuai dengan keinginannya, dan (4) prestise masyarakat. Kedudukan seseorang dalam masyarakat berpengaruh positif dengan tingkat difusi inovasi

b. Faktor Eksternal Petani

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa faktor eksternal petani atau situasi lingkungan yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan adalah frekuensi kontak dengan sumber informasi, kesukaan mendengarkan radio dan menonton televisi, membaca, menghadiri pertemuan, dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Mosher (1981), sarana dan prasarana merupakan syarat yang penting dalam keberhasilan suatu pembangunan pertanian. Sarana dan prasarana tersebut terdiri dari sarana jalan, saprodi, pemasaran dan tersedianya kredit yang membantu permodalan petani.

Proses transfer arus informasi dalam kaitannya dengan penolakan atau

(30)

pemerintah, yang kemudian dituangkan dalam praktek diteruskan kepada para petani. Dengan demikian proses adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh peranan penyuluh pertanian. Semakin giat penyuluh pertanian melakukan promosi tentang inovasi, maka semakin cepat adopsi inovasi oleh petani (Setyarini, 2007)).

c. Faktor Karakteristik Inovasi

Kecepatan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang menurut Soekartawi (1988) terdiri dari (1) macam inovasi, dan (2) sifat dan ciri inovasi, yang terdiri dari keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, triabilitas, observabilitas, saluran komunikasi, ciri sistem sosial, dan kegiatan promosi. Selanjutnya menurut Rogers dan Booth (1982) dalam Nasriati (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan petani dalam mengadopsi inovasi adalah (a) complexity, semakin rumit suatu inovasi maka semakin sulit petani menerimanya, (b)

divisibility, petani hanya mengadopsi bagian-bagian tertentu saja dari inovasi. (c) compatibel kesesuaian dengan obyek pertanian mereka, (d) ekonomi, secara hipotesis yang lebih menguntungkan akan diadopsi lebih cepat, (e) resiko dan ketidakpastian akan menjadi perhatian mereka. (f) sumber terkait dan paling meyakinkan menjadi prioritas, dan (g) ketersediaan infrastruktur pertanian.

(31)

adopsi teknologi adalah keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan untuk dicoba dan kemudahan dilihat hasilnya.

7. Analisis Faktor

Analisis faktor merupakan salah satu dari alat analisis pada statistika multivariate. Analisis faktor termasuk pada kategori independent techniques, yaitu tidak ada variabel dependent ataupun variabel independent pada analisis tersebut, yang berarti juga tidak diperlukan sebuah model tertentu untuk factor analysis, Hal ini berbeda dengan dependent techniques seperti regresi berganda, yang mempunyai sebuah variabel dependent dan variabel independent, sehingga diperlukan sebuah model (Singgih, 2010). Selanjutnya dalam melakukan analisis faktor dengan menggunakan program SPSS, dibutuhkan beberapa tahapan kerja. Tahap awal dari analisis faktor adalah uji data. Uji data ini penting dilakukan agar analisis faktor dapat dilakukan dengan tepat, sehingga kesimpulan yang diambil tidak bias.

a. Uji Data

(1). Pengujian akan adanya missing data, yakni data tidak lengkap atau data hilang. Uji ini diperlukan karena missing data atau data hilang akan mempengaruhi analisis secara keseluruhan.

(32)

(3). Pengujian beberapa asumsi metode-metode mutivariat, seperti uji normalitas data, uji linieritas data dan uji homoskedastisitas data.

Proses analisis faktor ini, mencoba menemukan hubungan (interrelationship) antara sejumlah variabel-variabel yang saling independen satu dengan yang lainnya, sehingga dapat dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Variabel- variabel yang mungkin

mempengaruhi rendahnya minat petani cabai untuk melakukan budidaya cabai merah ramah lingkungan adalah variabel produksi, pertanaman, aplikasi, harga, hama dan penyakit, tenaga kerja, waktu, pengetahuan, petugas dan bahan.

b. Tujuan Analisis Faktor

(1). Data summarization, yakni mengidentifikasikan adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi. Jika korelasi dilakukan antar variabel, dinamakan R Faktor Analisis, sedangkan jika korelasi dilakukan antar responden atau sampel, dinamakan Q Factor Analysis atau Cluster Analysis.

(2). Data reduction, yakni setelah melakukan korelasi, dilakukan proses membuat sebuah variabel set baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan

sejumlah variabel tertentu.

c. Asumsi Analisis Faktor

(33)

(2). Besar korelasi parsial, yaitu korelasi antara dua variabel dengan mengganggap variabel yang lain tetap, justru harus lebih kecil. Dalam Program SPSS, deteksi terhadap korelasi parsial diberikan lewat pilihan Anti Image Correlation.

(3). Pengujian seluruh matrik korelasi (korelasi antar variabel), yang diukur dengan besaran Bartlett Test Of Sphericity atau Measure Sampling Adequacy (MSA). mengharuskan adanya korelasi yang signifikan di antara variabel.

d. Proses Analisis Faktor

Dalam proses analisis faktor, dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut : (1). Menentukan variabel-variabel apa saja yang akan dianalisis. Untuk

mengetahui penyebab rendahnya minat petani cabai dalam menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan telah ditetapkan beberapa variabel yaitu variabel produksi, pertanaman, aplikasi, harga, hama dan penyakit, tenaga kerja, waktu, pengetahuan, petugas dan bahan.

(2). Menguji variabel-variabel yang telah ditentukan, dengan metode Bartlett Test of Sphericity serta pengukuran MSA (Measure Sampling of Adequacy). Tahap awal analisis faktor adalah melakukan penyaringan terhadap sejumlah variabel, sehingga didapat variabel-variabel yang memenuhi syarat untuk dianalisis. Logika pengujian adalah jika sebuah variabel memang

(34)

variabel lainnya, maka cenderung untuk tidak mengelompok dalam faktor tertentu.

Hipotesis untuk signifikasi :

- Angka sig. > 0,05 maka Ho diterima, dapat dianalisis lebih lanjut - Angka sig. < 0,05 maka Ho ditolak, tidak dapat dianalisis lebih lanjut Ho : sampel (variabel) belum memadai untuk dianalisis lebih lanjut H1 : sampel (variabel) sudah memadai untuk dianalisis lebih lanjut

Angka MSA (Measure of Sampling Adequacy) berkisar 0 sampai 1, dengan kriteria :

MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel yang lain.

MSA>0,05, variabel masih bisa diprediksi dan bisa dianalisis lebih lanjut. MSA<0,05, variabel tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari model

(35)

dengan melihat nilai korelasi masing-masing variabel. Nilai korelasi yang digunakan sebagai dasar untuk memasukkan dalam suatu faktor adalah yang nilainya lebih dari 0,5.

(4). Apabila sebuah variabel sulit ditentukan untuk masuk ke faktor yang mana (masih diragukan apakah layak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk atau tidak), maka dilakukan rotasi faktor yang dapat dilakukan dengan :

(a). orthogonal rotation, yakni memutar sumbu 90 derajat.

(b). oblique rotation, yakni memutar sumbu ke kanan, namun tidak harus 90 derajat.

(5). Interpretasi atas faktor yang telah terbentuk, atau pemberian nama baru atas faktor yang telah terbentuk, yang dianggap bisa mewakili variabel-variabel anggota faktor tersebut.

8. Kajian Penelitian Sebelumnya

Kajian tentang usahatani cabai merah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Di antaranya hasil peneliti-penelitian tentang “faktor-faktor penentu tingkat efisiensi teknis usahatani cabai merah di Kecamatan Selupu Kabupaten Rejang Lebong” oleh Sukiyono (2005). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa secara umum efisiensi teknis usahatani cabai merah di lokasi penelitian cukup tinggi, yaitu lebih dari 80%. Faktor pendidikan formal berpengaruh sangat nyata, namun umur petani dan pengalaman petani tidak berpengaruh nyata

(36)

efisiensi teknis pada lahan sempit dengan meningkatkan teknis budidaya melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan yang dilakukan secara berkesinambungan.

Selanjutnya Sumaryono (2006) menyatakan dalam penelitiannya bahwa” faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan pola tanam diversifikasi usaha tani dengan komoditas cabai merah” adalah faktor kondusif dan tidak kondusif. Faktor kondusif adalah jumlah anggota keluarga yang bekerja pada usaha tani, kemampuan permodalan, peranan usahatani di lahan sawah dalam ekonomi rumah tangga, tingkat kelangkaan air irigasi yang terjadi di lahan garapan dan kepemilikan pompa irigasi. Faktor tidak kondusif adalah fragmentasi lahan garapan.

Agung, dkk (2006) dalam penelitian “analisis usahatani cabai merah (Capsicum Annum L) di Desa Perean Tengah Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan Bali”, menyimpulkan bahwa degan rata-rata luas kepemilikan lahan sawah responden adalah 0,6 ha dan 23 % (0,14 ha) ditanami dengan cabai merah. Dari hasil usahatani cabai merah tersebut, petani memperoleh rata-rata pendapatan sebesar Rp. 12.141.229/musim atau 83.594.714/ha/musim. Hasil perhitungan R/C rasio dapat disimpulkan bahwa usahatani cabai merah di Desa Perean Tengan

Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan Bali sangat layak diusahakan, yaitu nilai R/C rasio 6,10. Selain itu juga usahatani cabai merah memberikan sumbangan sebesar 80,51% dari total pendapatan petani di Desa Perean Tengah Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan Bali.

(37)

bahwa usahatani cabai merah di kawasan agropolitan atau di perkotaan mempunyai keuntungan, yaitu mudah dalam hal pemasaran hasil panen cabai merah, dan mendapatkan harga yang lebih tinggi karena hasil panen langsung dapat dijual ke konsumen. Selain itu, usahatani cabai merah di perkotaan lebih mudah mendapatkan sarana produksi usahatani cabai merah, meliputi benih, pupuk dan sarana lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan usahatani cabai merah di kawasan agropolitan mencapai Rp 98.804.635,96 per hektar. Analisis SWOT menghasilkan koordinat (0,2 ; 0,52) pada kuadran I, termasuk dalam strategi agresif. yaitu situasi yang sangat menguntungkan jika menerapkan strategi usahatani panca usahatani dengan tepat.

Satyarini (2009) mengkaji “analisis kelayakan usaha tani cabai di lahan pantai (study kasus di pantai pandan simo bantul DIY)” dengan metode deskriptif, menyimpulkan bahwa pendapatan petani cabai merah di lahan pantai sebesar Rp 14.706.246 /ha. Usahatani cabai merah di lahan pantai tersebut layak untuk usahakan, karena nilai R/C rasio lebih dari 1, yaitu 3,89. Total biaya usahatani cabai merah di lahan pantai adalah Rp. 4.790.861, dan biaya pembelian pestisida mencapai Rp 1.092.433 (23 %). Tingginya biaya pembelian pestisida ini

selanjutnya disarankan mulai menggunakan pestisida nabati yang ramah lingkungan, karena selain harganya murah juga tidak mencemari lingkungan.

Hasil penelitian Mulyanti, dkk (2010) pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, tentang “Pengaruh pemberian beberapa pupuk hayati terhadap

pertumbuhan dan produksi cabai merah di Lampung Selatan” diperoleh

(38)

merah yang lebih tinggi, yaitu 123,6 cm dan 7,352 ton/ha, sedangkan pada tanaman cabai perlakuan petani hanya 110,2 cm dan 3,461 ton/ha. Perlakuan pupuk hayati bio-triba juga memberikan pengaruh positif berupa jumlah panen tanaman cabai merah yang mencapai 13 kali panen, sedangkan pada tanaman cabai merah perlakuan petani hanya 10 kali panen. Serangan hama penyakit tanaman cabai merah dengan perlakuan pupuk hayati bio triba lebih rendah dibandingkan dengan tanaman cabai merah perlakuan petani.

(39)

Budiwati, dkk (2011) dalam penelitian “Analisis usahatani cabai merah pada

usahatani organik dan non organik di Kelurahan Landasan Ulin Utara Kecamatan Liang Anggang Banjar Baru Kalimantan” menyimpulkan bahwa keuntungan usahatani cabai merah organik adalah Rp. 212.447.655 dan total penerimaan Rp. 257.686.000 dengan total biaya Rp. 45.238.345. Pada usahatani cabai merah non organik diperoleh keuntungan sebesar Rp. 170.728.690 dengan total biaya Rp. 49.981.797. Usahatani cabai merah organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani cabai merah non organik. Selain itu, usahatani oganik lebih ramah lingkungan dan tidak mencemari lingkungan.

B. Kerangka Pemikiran

(40)

pupuk dan pestisida kimia harus dikurangi seiring dengan meningkatnya kesuburan tanah.

Pengendalian hama penyakit pada usaha tani cabai merah ramah lingkungan adalah sistem pengendalian hama terpadu secara fisik, nabati, dan mekanis. Penggunaan pestisida digunakan apabila sangat dibutuhkan. Pada usahatani cabai merah non ramah lingkungan pengendalian hama dan penyakit lebih

mengandalkan penggunaan pestisida saja (pengendalian secara kimia). Selain itu, pada usahatani cabai merah ramah lingkungan juga telah digunakan beberapa pupuk organik baik, untuk pemeliharaan maupun sebagai pupuk dasar. Dengan perbedaan cara budidaya tersebut, diduga membutuhkan sarana pengendalian produksi yang berbeda pula, sehingga diduga harga pokok produksi pada kedua jenis budidaya juga berbeda.

(41)

cabai merah ramah lingkungan masih kurang, dan bahan untuk pembuatan pestisida nabati sulit didapat.

Dari variabel-variabel tersebut, akan diperoleh data kualitatif yang selanjutnya akan diolah menggunakan analisis faktor. Dengan analisis faktor diharapkan akan terbentuk varaibel baru yang lebih sedikit dari varabel awal, namun dapat

mewakili variabel awal.

(42)

Ke

Gambar 2. Kerangka pemikiran analisis harga pokok produksi cabai merah dan faktor penyebab rendahnya minat petani menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan, 2012

USAHA TANI

(43)

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga terdapat berbedaan harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan. 2. Diduga rumitnya aplikasi, rendahnya produksi serta kurangnya bimbingan

petugas merupakan faktor penyebab rendahnya minat petani cabai di

(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Batasan operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Usahatani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan oleh petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan untuk peningkatan produksi.

2. Harga pokok produksi cabai merah per satuan adalah jumlah total biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead usahatani cabai merah yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 kg cabai merah, diukur dalam satuan rupiah per kg (Rp/kg).

3. Biaya bahan-bahan (sarana produksi) adalah keseluruhan bahan atau sarana yang dibutuhkan dalam usahatani cabai merah meliputi benih, pupuk,

pestisida, mulsa, ajir, dan peralatan usahatani cabai merah lainnya dalam satu kali musim tanam. Masing-masing bahan (sarana produksi) diukur dalam satuan rupiah (Rp).

4. Biaya tenaga kerja adalah keseluruhan upah yang dikeluarkan oleh petani dalam proses budidaya cabai merah mulai dari persiapan lahan hingga panen dalam satu kali musim tanam, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

(45)

periodenya. Dalam penelitian ini biaya annuity yang dihitung adalah biaya annuity mulsa, ajir, pompa air, handsprayer dan cangkul, dihitung

sebagaimana rumus (5) pada halaman 50, dan diukur dalam satuan rupiah (Rp).

6. Biaya overhead adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses budidaya cabai merah, selain biaya bahan dan tenaga kerja dalam satu kali musim tanam, terdiri dari biaya sewa lahan, sewa alat pertanian serta biaya bahan bakar minyak, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

7. Biaya sewa alat adalah seluruh biaya sewa alat yang dikeluarkan petani dalam usahataninya. Dalam penelitian ini biaya sewa alat adalah biaya sewa

handtractor untuk olah tanah cabai merah per hektar, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

8. Biaya sewa lahan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk sewa lahan usahataninya. Dalam penelitian ini biaya sewa lahan adalah biaya sewa lahan usahatani cabai merah per tahun, diukur dalam satuan rupuah (Rp). 9. Biaya bahan bakar minyak adalah keseluhan biaya yang harus dikeluarkan

oleh petani untuk membeli bahan bakar minyak. Dalam penelitian ini bahan bakar minyak yang dikeluarkan adalah bahan bakar minyak handtractor untuk olah tanah dan bahan bakar minyak pompa air untuk pengairan, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

(46)

pestisida (bahan kimia) serta penggunaan pupuk organik hanya pada pemupukan dasar saja.

11.Usahatani cabai merah ramah lingkungan adalah usahatani cabai merah yang telah menerapkan sistem pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, yaitu secara mekanis, fisik, dan nabati. Penggunaan pestisida kimia merupakan alternatif terakhir apabila hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai tidak dapat dikendalikan dengan pengendalian secara mekanis, fisik dan nabati. Selain itu, telah digunakan berbagai pupuk organik alternatif dalam budidaya cabai merah selain sebagai pupuk dasar.

12.Analisis faktor adalah metode analisis multivariat yang mencoba menemukan hubungan (interrelationship) antara sejumlah variabel-variabel yang saling independen satu dengan yang lainnya, sehingga dapat dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Variabel-variabel dalam analisis faktor merupakan data kualitatif yang diukur dalam bentuk score 1 sampai dengan 5, dengan pilihan jawaban sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju.

13.Variabel produksi adalah total produksi yang dihasilkan dalam budidaya cabai.

14.Variabel pertanaman cabai adalah tampilan tajuk tanaman dan buah yang dihasilkan dalam budidaya cabai merah.

15.Variabel aplikasi adalah cara budidaya cabai merah meliputi pemupukan, pembibitan, pengendalian hama dan penyakit pada tanaman cabai merah. 16.Variabel harga adalah harga yang diterima oleh petani dari hasil budidaya

(47)

17.Variabel hama dan penyakit adalah serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai merah.

18.Variabel tenaga kerja adalah tenaga kerja yang dikeluarkan/dicurahkan untuk kegiatan pemeliharaan, pembibitan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit pada tanaman cabai merah ramah.

19.Variabel waktu adalah waktu yang dibutuhkan oleh tenaga kaerja untuk budidaya cabai merah.

20.Variabel pengetahuan adalah pengetahuan petani dalam budidaya cabai merah.

21.Variabel bimbingan teknis adalah bimbingan teknis dari Penyuluh Pertanian Lapangan/Pengamat Organisme Penggangu Tanaman (PPL/POPT) tentang budidaya cabai merah ramah lingkungan.

22.Variabel bahan adalah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk budidaya cabai merah ramah lingkungan meliputi bahan pembuatan pupuk organik, pestisida nabati, sarana PHT dan agen hayati.

23.Hari orang kerja (HOK) adalah jumlah hari yang dibutuhkan oleh tenaga kerja untuk melakukan suatu pekerjaan usahatani. Dalam penelitian ini HOK

dihitung berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk upah tenaga kerja dibagi dengan rata-rata upah tenaga kerja per hari di wilyah tersebut, diukur dalam satuan OH (orang hari).

(48)

mesin. Alat pertanian manual yang digunakan dalam usahatani cabai merah adalah cangkul, handsprayer manual.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 5 kecamatan sentra penghasil cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan yaitu Kecamatan Natar, Way Sulan, Candipuro, Kalianda dan Penengahan. Dasar pemilihan lokasi ini adalah selain merupakan sentra produksi cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan, juga telah menerima kegiatan sekolah lapang Good Agriculture Practices (GAP) cabai merah dan sekolah lapang cabai merah ramah lingkungan (Tabel 4). Pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sd Juni 2012.

Tabel 3. Penyebaran sekolah lapang cabai merah yang telah dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2009 - 2011

No. Lokasi (Kecamatan)

Jenis kegiatan Sumber dana Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan, 2011

C. Jenis Dan Sumber Data

(49)

(quisioner) meliputi : (1) data input usahatani cabai merah yang merupakan pengeluaran petani meliputi: upah tenaga kerja, harga bibit, harga pupuk, harga pestisida, harga peralatan, besarnya sewa lahan dan data umum lainnya, (2) data output, merupakan data produksi dan harga cabai merah. Data input dan output usahatani merupakan data kuantitatif, yang selanjutnya dianalisis untuk

mengetahui harga pokok produksi usahatani cabai merah di lokasi penelitian.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya minat petani untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan dibutuhkan data persepsi petani yang merupakan alasan petani kurang berminat menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan. Data ini merupakan data kualitatif berupa variabel-variabel yang menjadi alasan petani kurang berminat untuk melaksanakan budidaya cabai merah ramah lingkungan. Dari hasil survey awal variabel-variabel tersebut di antaranya variabel produksi, pertanaman, aplikasi, harga, hama dan penyakit, tenaga kerja, waktu aplikasi, pengetahuan petani, petugas dan bahan. Pengambilan data ini dibantu dengan alat bantu berupa daftar pertanyaan (quisioner) yang diharapkan dapat dijawab oleh petani cabai merah yang telah ditetapkan sebagai sampel. Sampel diberi pilihan jawaban yang selanjutnya dibuat score.

(50)

D. Populasi dan Sampel

Dari pelaksanaan sekolah lapang, baik SL GAP maupun SL cabai merah ramah lingkungan tersebut, ternyata tidak semua petani yang di lokasinya telah

dilaksanakan sekolah lapang GAP maupun cabai merah ramah lingkungan mau menerapkan budidaya ramah lingkungan pada usaha tani cabainya seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Penyebaran jumlah petani cabai merah non ramah lingkungan dan ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

No Kecamatan Petani cabai merah non ramah lingkungan

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan, 2011

(51)

Dengan menggunakan rumus (3), maka diperoleh jumlah sampel responden petani cabai merah non ramah lingkungan adalah :

n = 71 sampel

Dari 71 sampel petani cabai merah non ramah lingkungan tersebut, selanjutnya dilakukan pengambilan sampel secara acak pada masing-masing kecamatan, dengan rumus :

……….. (4)

di mana : ni = jumlah sampel petani cabai non ramah lingkungan pada masing-masing kecamatan

Ni = jumlah populasi pada masing-masing kecamatan N = jumlah seluruh populasi (253)

n = jumlah sampel secara keseluruhan (71)

Responden petani cabai merah non ramah lingkungan pada masing-masing kecamatan tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Penyebaran responden petani cabai merah non ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

No Lokasi (kecamatan) Populasi

(orang)

Sampel (orang)

1 Penengahan 25 9

2 Natar 98 27

3 Way Sulan 25 9

4 Kalianda 25 9

5 Candipuro 60 17

(52)

E. Metode Analisis Data

1. Analisis Harga Pokok Produksi

Untuk menganalisis harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan digunakan perhitungan seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Perhitungan harga pokok produksi usaha tani cabai merah di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

No Input (Biaya) Per musim (Rp)

1 Biaya bahan-bahan (sarana produksi) xxx

2 Biaya tenaga kerja xxx

3 Biaya annuity xxx

4 Biaya over head xxx

Total biaya (C) xxx

4 Output (produksi) yyy

5 Rata-rata harga cabai merah xxx

6 Pendapatan (R) zzz

7 HPP (Rp/kg) xxx/yyy

8 R/C (%) zzz/xxx

Perhitungan biaya annuity menggunakan rumus : n

i (1 + i)

A = P ______________ ...(5) n

(1 + i) - 1 Di mana

P = present value (jumlah awal)

F = future amount, Jumlah yang harus dikembalikan A = annuity (uniform series)

(53)

Setelah diperoleh data harga pokok produksi (HPP) masing-masing sampel, baik usahatani cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan, selanjutnya, dibuat rata-rata HPP cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan.

2. Uji Beda Harga Pokok Produksi (HPP)

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dengan non ramah lingkungan secara statistic pada penelitian digunakan metode independent samples t-test dengan program SPSS versi 18. Sebelum dilaksanakan analisis uji t, terlebih dahulu dilakukan uji kesamaan varians dengan menggunakan uji F (Lavene test). Uji t mensyaratkan kesamaan varians pada dua kelompok data yang akan dibandingkan. Jika varians pada kedua kelompok yaitu data harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan sama, maka dilanjutkan dengan uji t.

Hipotesis pada pengujian varians,

Ho = kedua varians populasi adalah sama Hi = kedua varians populasi berbeda. Pengambilan keputusan,

Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima (varians sama) Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak (varians berbeda)

Hipotesis pada uji t

Ho = Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan adalah sama

(54)

harga pokok produksi pada budidaya cabai merah non ramah lingkungan.

Pengambilan keputusan,

Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima, harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan adalah sama.

Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak, harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan dan non ramah lingkungan adalah berbeda.

3. Analisis Faktor

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya minat petani cabai menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan dilaksanakan dengan pengambilan data terhadap 71 responden petani cabai merah non ramah

lingkungan melalui wawancara dengan alat bantu quisioner. Quisioner berisikan daftar pertanyaan dan pilihan jawaban yang telah disiapkan untuk dapat dipilih oleh responden yang berkaitan tentang alasan petani tidak/belum melakukan budidaya cabai merah ramah lingkungan. Jawaban responden selanjutnya dibuat score dengan tingkatan sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Nilai score selanjutnyadianalisis dengan analisis multivariat yaitu analisis faktor dengan Program SPSS versi 18.

Tahapan dalam analisis faktor adalah :

(55)

budidaya cabai merah ramah lingkungan telah ditetapkan beberapa variabel melalui survey pendahuluan, yaitu variabel produksi, pertanaman, aplikasi, harga, hama dan penyakit, tenaga kerja, waktu, pengetahuan, petugas dan bahan.

b. Menguji variabel-variabel yang telah ditentukan, dengan metode Bartlett Test of Sphericity dengan pengukuran MSA (Measure Sampling of Adequacy). Pada tahap ini dilakukan penyaringan terhadap 10 variabel tersebut, sehingga didapat variabel-variabel yang memenuhi syarat untuk dianalisis. Variabel yang memenuhi syarat untuk dilakukan uji lanjutan analisis faktor adalah yang memiliki nilai MSA lebih dari 0,05. Apabila terdapat variabel yang memiliki nilai MSA kurang dari 0,05 maka harus dilakukan uji ulang. Pada uji ulang ini, jika terdapat lebih dari 1 variabel yang memiliki nilai MSA kurang dari 0,05 maka pengujian ulang dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dengan membuang variabel dengan nilai MSA terkecil.

c. Mengekstrak beberapa variabel yang telah lolos uji sebelumnya sehingga terbentuk satu atau lebih faktor yang berisi beberapa variabel (factoring). Dalam proses ekstraksi ini yang digunakan adalah metode Principal component analysis. Jumlah faktor baru yang terbentuk dapat dilihat dari nilai eigenvalues. Nilai eigenvalues di bawah 1 tidak dapat digunakan untuk menentukan jumlah faktor yang terbentuk.

(56)
(57)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten

Lampung Selatan tahun 2012 adalah Rp 4.859/kg, sedangkan harga pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012 adalah Rp. 5.682/kg .

2. Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan berbeda nyata dengan harga pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan. Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan harga pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan.

3. Terdapat 3 faktor penyebab rendahnya minat petani untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan yaitu faktor aplikasi budidaya dan bimbingan petugas, faktor sarana dan serangan hama penyakit tanaman serta faktor hasil budidaya.

B. Saran

(58)

pokok produksi cabai merah non ramah lingkungan dan nilai R/C lebih tinggi dibandingkan dengan nilai R/C pada budidaya cabai merah non ramah lingkungan.

2. Lebih mengintensifkan pendampingan dan bimbingan petugas lapang kepada petani, karena hasil analisis faktor salah satu penyebab rendahnya minat petani untuk melaksanakan budidaya cabai merah ramah lingkungan adalah kurangnya bimbingan dan pengawalan petugas lapang dalam budidaya cabai merah ramah lingkungan.

3. Harga pokok produksi cabai merah ramah lingkungan lebih rendah dan nilai R/C lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya cabai merah non ramah lingkungan, sehingga disarankan kepada Pemerintah untuk melanjutkan program budidaya cabai merah ramah lingkungan dan memperluas lokasi program budidaya cabai merah ramah lingkungan hususnya di Kabupaten Lampung Selatan.

(59)

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI CABAI MERAH RAMAH LINGKUNGAN DAN NON RAMAH LINGKUNGAN SERTA PENYEBAB

RENDAHNYA MINAT PETANI UNTUK MENERAPKAN BUDIDAYA CABAI MERAH RAMAH LINGKUGAN

DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(Tesis)

Oleh PUJI ASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(60)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

1. Kondisi Geografis Daerah

Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105° 10’ –106° 00’ Bujur

Timur dan 5° 10’ –6° 10 ‘ Lintang Selatan. Oleh karena itu Kabupaten Lampung Selatan termasuk dalam daerah tropis. Kabupaten Lampung Selatan mempunyai daerah daratan lebih kurang 2.007,01 km2, dengan kantor pusat pemerintahan di kota Kalianda, yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 11 Februari 1982. Berdasarkan undang-undang nomor 33 tahun 2007 tanggal 26 Agustus 2007 tentang pembentukan Kabupaten Pesawaran, sebagai daerah pemekaran Kabupaten Lampung Selatan, maka wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan saat ini mempunyai batas-batas :

Sebelah Utara : berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur.

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Sunda.

(61)

Secara administratif Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari 17 kecamatan, 248 desa definitif dan 3 kelurahan. Luas Kabupaten Lampung Selatan dirinci menurut kecamatan tertera pada tabel 7.

Tabel 7. Jumlah kecamatan dan desa serta luas wilayah di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011

Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan, 2011

2. Kondisi Topografi dan Klimatologi

Dilihat dari segi geologi, maka daerah Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bagian-bagian :

(62)

b. Pegunungan vulkanis muda

c. Daratan bagian Timur yang termasuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan tidak begitu luas, bebatuan andesit ditutupi turfazam.

d. Dataran alluvial berawa–rawa dengan pohon bakau.

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, antara lain: a. Tanah Latosal

Jenis tanah ini paling banyak terdapat di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, hampir menutupi seluruh wilayah Barat dan sebagian besar dari bagian tengah. Tanah latosal berwarna coklat tua sampai kemerah-merahan. b. Tanah Podsolid

Jenis tanah ini adalah pelapukan dari bahan induk turfazam sedimen batuan plotonik yang bersifat asam, tersebar pada wilayah yang bertopografis berbukit sampai bergunug. Tanah podsolid berwarna merah kuning, juga terdapat di daerah yang luas, tesebar pada wilayah bagian Utara Kabupaten Lampung Selatan

c. Tanah Andosal

Jenis tanah ini adalah pelapukan dari bahan induk komplek turfinmedier dan basah, berwarna coklat sampai coklat kuning. Penyebarannya terdapat pada daerah bertopografis bergelombang sampai bergunung. Jenis tanah ini tidak begitu banyak di wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

d. Tanah Hidromorf

(63)

e. Tanah Alluvial

Jenis tanah ini adalah hasil pelapukan dari bahan induk endapan marine atau endapan sungai-sungai, terdapat pada daerah dengan bentuk wilayah datar, tersebar di daerah pantai bagian Timur Lampung Selatan.

Kondisi klimatologi di Kabupaten Lampung Selatan sama halnya dengan daerah lain di Indonesia. Iklim di Kabupaten Lampung dipengaruhi oleh adanya pusat tekanan rendah dan tekanan tinggi yang berganti di daratan sentra Asia dan Australia pada bulan Januari dan Juli. Akibat adanya pengaruh angin muson, maka daerah Lampung Selatan seringkali tidak terasa adanya musim peralihan (pancaroba) antara musim kemarau dan musim hujan.

3. Gambaran Umum Demografis

Penduduk Kabupaten Lampung Selatan secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu penduduk asli Lampung dan penduduk pendatang. Penduduk asli Lampung, khususnya sub suku Lampung Peminggir sebagian besar bermukim di sepanjang pantai pesisir, seperti di kecamatan Penengahan,

Kalianda, dan Katibung. Penduduk sub suku Lampung yang lain tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Penduduk yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bermacam - macam suku bangsa, seperti dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan lain - lain.

Gambar

Gambar 2.   Kerangka pemikiran analisis harga pokok produksi cabai merah dan faktor penyebab rendahnya minat petani menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan, 2012
Tabel 5. Penyebaran responden petani cabai merah non ramah lingkungan di                Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011
Tabel  6.    Perhitungan harga pokok produksi usaha tani cabai merah di                    Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2011
Tabel 7.  Jumlah kecamatan dan desa serta luas wilayah di Kabupaten Lampung                  Selatan, tahun 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

ARIEF W G, NIM 120304093 ANALISIS EFISIENSI DAN OPTIMASI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN PUPUK KIMIA OLEH PETANI PADA TANAMAN CABAI MERAH

ARIEF W G, NIM 120304093 ANALISIS EFISIENSI DAN OPTIMASI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN PUPUK KIMIA OLEH PETANI PADA TANAMAN CABAI MERAH

Dengan ini saya menyatakan bahwa laporan tugas akhir berjudul Minat Pemuda Tani Pada Usahatani Bawang Merah Ramah Lingkungan di Kecamatan Bayongbong Kabupaten

Dengan ini saya menyatakan bahwa laporan tugas akhir berjudul Minat Petani Milenial dalam Penggunaan Feromon Seks pada Budidaya Bawang Merah Di Kecamatan Wanaraja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kapasitas petani mengelola padi sawah ramah lingkungan di kedua kabupaten tergolong sedang pada kemampuan teknis budidaya, mengatasi

Berdasarkan kriteria nilai B/C, nilai B/C ratio yang diperoleh lebih besar dari 1 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa usaha tani budidaya bawang merah