• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Tepung Elot dalam Pakan sebagai Pengganti Jagung terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penambahan Tepung Elot dalam Pakan sebagai Pengganti Jagung terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pakan buatan merupakan salah satu aspek yang memiliki peranan penting dalam budidaya ikan intensif. Bahan baku pakan seperti tepung ikan sebagai sumber protein memiliki harga yang relatif mahal (BBBAP, 2009). Hal ini mengakibatkan harga pakan buatan menjadi mahal. Oleh karena Itu, berbagai bahan alternatif yang berfungsi menggantikan tepung ikan pada pakan mulai digunakan untuk mendapatkan harga pakan yang lebih murah.

Protein sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi jaringan, memelihara dan memperbaharui jaringan tubuh serta proses pertumbuhan. Protein juga dapat berperan sebagai sumber energi (Furuichi, 1988). Bahan-bahan pengganti protein mulai digunakan pada formulasi untuk menekan biaya penggunaan bahan baku pakan yang semakin mahal tersebut. Salah satu bahan baku yang digunakan adalah jagung. Jagung digunakan dalam formulasi pakan sebagai sumber energi untuk metabolisme ikan sehingga sumber protein pada pakan dapat digunakan untuk pertumbuhan secara lebih maksimal. Namun, di dalam jagung terdapat kandungan afla toksin yang berbahaya bagi ikan, sehingga penggunaannya dalam pakan menjadi terbatas. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati, 2006). Oleh karena itu, perlu dicari sumber bahan baku alternatif yang relatif murah, serta memiliki kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang dapat memenuhi kebutuhan dalam pembuatan pakan serta ketersediaannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu bahan baku yang dapat digunakan adalah tepung elot.

(2)

2

jagung yang memiliki harga sebesar Rp 3.500,-/kg. Pada beberapa daerah sentra penghasil ubi kayu seperti Lampung dan Kebumen, tepung elot memiliki potensi yang lebih besar sebagai bahan alternatif karena memiliki harga yang lebih murah.

Dengan demikian, maka dibuat kombinasi tepung elot dalam formulasi pakan, sehingga dapat diketahui seberapa banyak tepung elot yang dapat digunakan didalam pakan tanpa mengurangi pertumbuhan ikan dan secara ekonomi lebih menguntungkan.

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran pertumbuhan dan kecernaan pakan uji pada ikan nila Oreochromis niloticus. Ikan ini dipilih sebagai hewan uji karena merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan, dimana ikan ini merupakan ikan yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan sub tropis (Lovell, 1989).

1.2. Tujuan

(3)

3

II. TINJAUAN PUSTAK

A

2.1. Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Oreochromis niloticus

Nutrisi pada pakan merupakan sumber energi untuk metabolisme ikan. Sebagai hewan yang hidup di lingkungan perairan dimana sumber karbohidrat lebih sedikit dari pada di darat, ikan teradaptasi untuk menggunakan energi yang berasal dari protein dan lemak. Ikan nila merupakan salah satu ikan tropis omnivora (Lovell, 1989). Ikan yang bersifat omnivora dapat memanfaatkan karbohidrat lebih baik karena usus ikan omnivora memiliki enzim amylase yang dapat menghidrolisis karbohidrat lebih baik (Nagayama dan Saito, 1968; Furuichi, 1988 dalam Watanabe 1988).

Formulasi dari suatu pakan ikan harus memenuhi kebutuhan nutrisi dari ikan yang dibudidayakan dalam hal kebutuhan protein (asam amoni esensial), lemak (asam lemak esensial), energi, vitamin, dan mineral (Watanabe, 1988). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu formulasi pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ikan sehingga ikan dapat tumbuh dengan baik.

2.1.1. Kebutuhan Protein

Protein merupakan kumpulan asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida (NRC 1993), dimana sekitar 65-75 % dari tubuh ikan dalam berat kering merupakan protein (Halver 1989). Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi (Lovell 1989). Selain itu, hewan akuatik membutuhkan protein untuk mempertahankan metabolisme tubuh (maintenance) seperti mengganti jaringan yang rusak dan membentuk jaringan yang baru atau pertumbuhan dan reproduksi (Millamena dalam SEADFEC, 2002).

(4)

4

Tingkat kebutuhan protein optimum pada pada ikan nila (ukuran di atas 40 gr) diduga berkisar antara 27,5 – 35% (Jauncey and Roses, 1982 dalam Webster dan Lim, 2002). Pada praktiknya kandungan protein pakan yang digunakan untuk pembesaran ikan nila berkisar antara 25-35%. Sedangkan pada kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan protein bagi ikan, maka kadar protein dalam pakan yang memadai untuk ikan dapat berkisar antara 20-25% (Newman, et.al. 1979: Lovell, 1980 dalam Webster dan Lim, 2002)

2.1.2. Kebutuhan Lemak

Lemak dan minyak merupakan salah satu sumber energi dalam pakan ikan. Lemak memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam protein atau karbohidrat. Dalam satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9,4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 kkal (Watanabe, 1988). Kadar lemak dalam pakan sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam pakan ditingkatkan menjadi 12% akan memberi pengaruh berupa perkembangan maksimal pada ikan nila (Chou dan Shiau, 1996 dalam Webster, 2002).

Millena dalam SEADFEC (2002) menyatakan bahwa asam lemak esensial sangat penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan, juga berperan sebagai pelarut beberapa vitamin yang tidak larut dalam air seperti vitamin A, D, E, dan K, sumber steroid untuk menjaga sistem mebran, transpor lemak, dan sebagai prekusor steroid. Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan diantaranya asam lemak ω3 dan ω6, berupa asam linolenat (18:3ω3), asam

linoleat (18:2ω6), asameicosapentaenoic (EPA, 20:5ω3), dandecosahexaenoic

(DHA, 20:6ω3) (Millamena dalam SEADFEC 2002). Akan tetapi menurut Takeuchi et al (1983) dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan nila adalah 18:2ω6 1.0% asam lemak linoleat.

(5)

5

dapat menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan yang lambat, dan pembengkakan pada ikan, pucat, dan lemak pada hati (Lovell 1989).

2.1.3. Kebutuhan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tanaman yang termasuk di dalamnya adalah gula sederhana, pati, selulosa, getah, dan substansi lainnya (Millamena dalam SEADFEC 2002). Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan dapat menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena dalam SEADFEC 2002). Hal yang sama dinyatakan oleh Watanabe (1988) bahwa karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan berlimpah di alam, sehingga penggunaannya menjadi subjek yang penting untuk pengembangan budidaya ikan.

Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencerna karbohidrat. Kandungan karbohidrat dalam pakan harus digunakan pada kandungan yang paling tinggi yang dapat ditoleransi oleh ikan (NRC 1993). Dalam pakan, karbohidrat terdapat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan serat kasar (Zooneveld et al, 1991). Sumber karbohidrat seperti pati digunakan dalam pakan sebagai perekat (binder) dalam pakan ikan dan udang untuk meningkatkan ketahanan pakan dalam air (water stability) (Millamena et al.

2002).

Kadar optimum karbohidrat dalam pakan ikan sulit untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat sebagai sumber energi (Nagai dan Ikeda, 1973; Furuichi, 1988 dalam Watanabe, 1988). Tetapi pada umumnya ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal sebanyak 10-20% dalam pakan, sedangkan ikan omnivora rata-rata 30-40% (Furuichi dalam Watanabe, 1988). Ikan omnivora seperti nila dan mas lebih dapat mencerna pati (starch) daripada jenis ikan karnivora. Hal ini karena ikan omnivora memiliki enzim amylase yang lebih baik untuk menghidrolisis pati (Nagayama dan Saito, 1968; Furuichi, 1988 dalam Watanabe 1988).

(6)

6

dan disimpan dalam hati dan otot sebagai glikogen (Tucker dan Hargreaves, 2004).

Sumber pati yang berbeda akan menyebabkan perbedaan nilai kecernaan karbohidrat (Millamena et al., 2002). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin (Guillaume et al., 2001) yang terdapat dalam pati. Dimana amilosa lebih mudah dicerna daripada amilopektin karena perbedaan struktur rantainya (Muhtadi dan Sugiyono, 1992 dalam Suryani 2001). Oleh karena itu, semakin besar rasio amilosa dan amilopektin, maka nilai kecernaan karbohidrat menjadi semakin baik (Cruz-suarez, 1994 dalam Noegroho, 2000). Marini (1997) dalam Suryani (2001) melaporkan bahwa kandungan amilosa dalam pati adalah berkisar 10-20% sedangkan amilopektin 80-90%. Adapun menurut Bennion (1980) dalam Suryani (2001) menyatakan bahwa proporsi amilosa adalah 17-32% dari total pati.

2.2. Tepung Elot

Elot merupakan pati yang memiliki kualitas yang kurang bagus (Anonima, 2004). Tepung elot didapatkan dari hasil sisa endapan tapioka. Saripati yang berasal dari perasan parutan singkong yang telah diendapkan menghasilkan tepung tapioka. Setelah air dan tapioka dipisahkan, maka air sisa pengendapan tersebut diendapkan kembali. Hasil pengendapan yang kedua inilah yang disebut dengan elot atau lindur. Tepung elot dikatakan sebagai pati yang kualitasnya kurang bagus karena masih adanya kandungan getah pada pati tersebut, sehingga biasanya memiliki warna kekuning-kuningan dan terkadang memiliki sifat asam. Kadar nutrisi yang terdapat dalam tepung elot dan tepung tapioka adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Data proksimat tepung elot dan tapioka

Komposisi Proksimat Kadar (%)

Tepung elot Tepung tapioka*

Protein 3,4 1,29

Lemak total 0,54 0,25

Karbohidrat / BETN 80,72 85,71

Serat kasar 1,5 0

Abu 1,32 0.34

Kadar Air 12,52 12,41

(7)

7

Salah satu masalah yang timbul dari penggunaan tepung berbahan dasar singkong ini adalah adanya kandungan HCN yang bersifat toksik. Daryanto dan Muryati (1980) dalam Sihombing (2007) menyatakan bahwa HCN yang terkandung dalam singkong akan hilang saat proses ekstraksi. Saat umbi diparut dan sel-selnya pecah, enzim linamarase akan memecah glikosida sianorganik dan HCN akan terlepas yang dapat terjadi dalam waktu 4-6 jam. Glikosida dan HCN akan terbuang bersama air yang digunakan dalam proses pengolahan tepung tapioka. Selain itu, menurut Febriyanti (1990) dalam Suryani (2001) menyatakan bahwa proses pencucian dapat menghilangkan HCN sebanyak 36.02%. Pengukusan juga dapat menyebabkan penguapan HCN dan menginaktivasi enzim linamarinase yang berperan dalam pembebasan HCN. HCN akan dengan mudah menguap kerena bersifat volatil dan titik didihnya rendah yaitu pada suhu 26o C (Muharam, 1992 dalam Suryani 2001).

Pemasakan pada tepung tapioka dilakukan untuk meningkatkan nilai kecernaannya (Suryani, 2001). Hal ini dilakukan karena kandungan amilosa dan amilopektin pada tapioka, dimana rasio antara amilosa dan amilopektin yang hanya sebesar 17/83 (Elliasson, 2004) sehingga menyebabkan nilai kecernaan tepung tapioka rendah.

Tabel 2. Perbandingan amilosa dan amilopektin beberapa sumber karbohidrat

Sumber Karbohidrat Diameter (mikron) Amilosa / Amilopektin

Ganduma - 20/80

Terigub 1-45 25/75

Tapiokab 4-3 17/83

Gaplekd - 22.4/77.6

Sagub 15-65 26/74

Jagungb 5-30 25/75

Kedelaic - 22/78

Sumber :

a) Cheftel and cheftel (1976); Cruz-suarez et al. (1994) dalam Noegroho (2000). b) P. Taggart, National Starch and Chemical, UK dalam Eliasson (2004).

c) Stevenson et al. (2006), http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=18186124. d) Guanaratne and Hoover, 2001 in Freitas, et. al., (2003),

(8)

8

Bahan baku yang baik akan menghasilkan 400 kg tapioka dan 160 kg onggok dari bahan baku total sebanyak 1 ton. Total pati yang didapat berkisar antara 19-25% rendemen tapioka dari bahan baku singkong segar (Anonimb, 2003). Adapun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengrajin tapioka di daerah Tarik Kolot, Bogor Utara, maka rendemen elot yang didapat hanya sekitar 2%, namun sebagian besar para pengrajin tapioka langsung membuang sisa air pengendapan tapioka. Greenfield (1971) mengemukakan bahwa limbah industri tapioka mengandung bahan organik seperti pati, serat, protein, gula, dsb. Sebagai contoh limbah cair sisa pengendapan mengandung tanah, protein, serat, gula, dan pati terlarut.

2.3. Tepung Gaplek

Tepung gaplek merupakan salah satu bahan yang digunakan pada pakan ikan. Murtidjo (2001) menyatakan bahwa tepung ini biasa digunakan dalam pakan tidak lebih dari 5 % sebagai binder atau perekat. Tepung gaplek sendiri merupakan ubi kayu yang telah dikeringkan kemudian digiling menjadi bentuk tepung. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam tepung gaplek diantaranya protein 1,1%, lemak 0,5%, karbohidrat 88,2% (Soetanto, 2008).

Sebagai salah satu bahan yang terbuat dari ubi kayu, masalah yang dihadapi dalam penggunaan tepung ini hampir sama dengan tepung elot, yakni kandungan HCN yang terdapat dalam ubi kayu. Namun kandungan HCN tersebut ternyata dapat dikurangi hingga batas aman dalam penggunaannya sebagai bahan pakan ikan melalui beberapa proses yang dilalui dalam pembuatan tepung gaplek (Murtidjo, 2001). Rangkaian proses tersebut meliputi pengupasan kulit ubi kayu, pencincangan ubi kayu, perendaman pada larutan garam 5 % selama 24 jam, penjemuran, penggilingan menjadi tepung.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penggunaan tepung gaplek hingga 15% sebagai sumber karbohidrat dalam pakan ikan masih dapat diterima oleh ikan (personal communication).

2.4. Jagung

(9)

9

Penggunaan jagung dalam pakan dibatasi oleh adanya kandungan afla toksin pada jagung. Afla toksin merupakan komponen metabolit sekunder kapang Aspergillus sp. Umumnya efek yang ditimbulkan karena mengkonsumsi afla toksin pada hewan ternak adalah rendahnya pertumbuhan, kerusakan hati, gangguan pembekuan darah, menurunkan respon terhadap imun, dan meningkatkan kematian (Lovell, 1989).

Negara beriklim tropis seperti Indonesia merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan jamur. Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban, sangat berperan dalam munculnya kontaminasi aflatoksin. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati, 2006). Pada ikan channel catfish, dosis yang mematikan (LD50) berkisar antara 15 – 30 ppm.

2.5. Kecernaan

Kecernaan dapat menggambarkan fraksi nutrien atau energi dalam pakan yang dicerna dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses (NRC, 1993). Melalui pengukuran kecernaan, maka akan dapat dievaluasi potensi cocok atau tidaknya suatu bahan jika diberikan pada ikan tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Watanabe (1988) bahwa hal pertama yang harus dilakukan untuk mengevaluasi potensi sebuah bahan baku untuk digunakan pada pakan adalah mengukur kecernaannya. Hal ini dilakukan karena setiap jenis bahan memiliki tingkat kecernaan yang berbeda-beda pada setiap jenis ikan. Pada umumnya, bahan pakan nabati lebih sukar dicerna daripada bahan hewani. Hal ini dikarenakan adanya kandungan serat kasar dalam bahan nabati, dimana serat kasar ini sulit dicerna dan memiliki dinding sel yang kuat sehingga sulit dipecahkan (Hepher, 1988).

(10)

10

menentukan nilai kecernaan energi, protein kasar, karbohidrat, lemak dan bahan kering pada berbagai jenis ikan (Cho, 1982 dalam NRC, 1993)

Selain dari jenis bahan yang berbeda, nilai kecernaan suatu bahan juga dipengaruhi oleh proses pengolahan bahan-bahan tersebut. Proses pengolahan yang terlalu ekstrim seperti pemanasan yang berlebih, dapat menyebabkan kerusakan dalam bahan pakan yang akhirnya mengurangi nilai nutrisi (Finley, 1989 dalam NRC, 1993).

2.6. Kualitas Air

Walaupun ikan nila termasuk ikan air tawar, ikan ini bersifat euryhaline dan dapat bertahan, tumbuh, dan beberapa spesies dapat memijah pada perairan yang bersalinitas 40 mg/l. Beberapa jenis nila yang telah dibudidayakan mampu bertahan pada kadar oksigen 0.1 mg/l (Lovell, 1988). Aktifitas makan ikan akan berkurang pada suhu di bawah 20oC dan berhenti makan pada suhu 16oC (Lovell, 1989).

Sebagai hewan yang bersifat poikilothermal, suhu sangat memperngaruhi laju metabolisme ikan. Suhu yang tinggi akan mempercepat metabolisme dan sebaliknya, suhu yang rendah akan menurunkan metabolisme. Umumnya ikan tropis dan sub tropis tidak dapat tumbuh baik di bawah suhu 25oC, dan suhu mematikan pada suhu dibawah 10 atau 15oC. Spesies periaran hangat akan tumbuh baik pada suhu 20-28 oC (Boyd, 1998) .

Kadar oksigen sangat penting untuk kelangsungan metabolisme pada tubuh ikan. Pescod et al. (1973) dalam Merantica (2007) menyatakan bahwa kadar oksigen yang baik untuk budidaya adalah lebih besar dari 2 ppm.

pH merupakan logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen (Boyd, 1998). Organisme akuatik mengeluarkan buangan atau ekresi utama berupa nitrogen. Hal yang sama dikemukakan oleh Lovell (1998) bahwa ikan teleostei air tawar mengeluarkan 60-90% buangan nitrogen dalam bentuk amoniak yang dikeluarkan melalui insang. Kadar pH yang cocok bagi kelangsungan hidup organisme akuatik seperti ikan berkisar antara 7-8.5 (Effendi, 2003)

(11)

11

(12)

12

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Pakan Uji

Pada Penelitian ini digunakan tiga perlakuan pakan buatan dengan kadar tepung elot yang berbeda-beda yang dikombinasikan dengan tepung gaplek, serta satu perlakuan pembanding menggunakan pakan yang dicampur dengan tepung elot tanpa kombinasi dengan tepung gaplek. Tiap perlakuan digunakan tiga ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah :

1. Perlakuan V : penambahan tepung elot 10% tanpa tepung gaplek 2. Perlakuan W : penambahan tepung elot 5% dan tepung gaplek 15% 3. Perlakuan X : penambahan tepung elot 10% dan tepung gaplek 15% 4. Perlakuan Y : penambahan tepung elot 15% dan tepung gaplek 15%

Bahan penyusun pakan dicampurkan dan dicetak dalam bentuk pelet dengan ukuran diameter 2 mm. Pakan yang sudah jadi disimpan di dalam kulkas sebelum digunakan. Komposisi dari pakan perlakuan disajikan pada Tabel 3 dan hasil analisa proksimat pakan pada Tabel 4.

Tabel 3. Komposisi pakan perlakuan

Bahan Pakan

Perlakuan (% Elot + % Gaplek) V

E10+ G0

W E5+G15

X E10+G15

Y E15+G15 Komposisi (%)

Elot Ex Lampung 10.000 5.000 10.000 15.000

Gaplek Tepung 0.000 15.000 15.000 15.000

Jagung Lokal 25.84 15.84 10.84 5.84

Wheat Bran 11.800 11.800 11.800 11.800

Soy Bean Meal 17.400 17.400 17.400 17.400

Hydrolyze Chicken Feather Meal 1.000 1.000 1.000 1.000

Fish Meal 14.200 14.200 14.200 14.200

Minyak Ikan Lokal 1.600 1.600 1.600 1.600

DL-Methionine 0.046 0.046 0.046 0.046

TM Mix-Fish mineral 0.050 0.050 0.050 0.050

Vitamin Mix 0.197 0.197 0.197 0.197

Ethoxiquin 0.015 0.015 0.015 0.015

Kalsium Propionat 0.050 0.050 0.050 0.050

Meat Bone Meal 10.000 10.000 10.000 10.000

Poultry By Product Meal 5.000 5.000 5.000 5.000

Tepung Ikan Lokal 2.800 2.800 2.800 2.800

(13)

13

Tabel 4. Komposisi proksimat pakan perlakuan

Komposisi Proksimat

Pakan Uji (% Elot + % Gaplek)

V W X Y

E10+ G0 E5+ G15 E10+G15 E15+G15

Protein 31.04 30.57 30.32 30.10

Lemak 6.56 6.34 6.19 6.04

Abu 10.98 10.74 10.85 10.97

Serat Kasar 2.80 2.97 3.05 3.12

BETN 39.02 40.01 40.26 40.48

GE (kkal/100g)* 395.47 394.83 393.04 391.30

C/P** 12.74 12.92 12.96 13.00

Kadar Air 9.60 9.37 9.33 9.29

Keterangan :

BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen. *GE = Gross Energy.

1 gram protein = 5,6 kkal GE

1 gram karbohidrat/BETN = 4,1 kkal GE

1 gram lemak = 9,4 kkal GE (Watanabe, 1988). ** C = energi ; P = protein.

3.2. Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data

Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan nila dengan bobot rata-rata sebesar 8,59 ± 0.04 g. Ikan uji berasal dari daerah Petir, Bogor. Ikan uji mulai diadaptasikan dalam wadah pemeliharaan pada tanggal 16 Juni 2009 selama 1 minggu, kemudian perlakuan pakan uji dimulai pada tanggal 23 Juni – 22 Agustus 2009.

Pemeliharaan ikan selama penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Wadah yang digunakan untuk masing-masing ikan adalah akuarium berukuran (39 x 35 x 49) cm3 sebanyak 12 buah serta 1 buah bak fiber sebagai tandon. Akuarium diset membentuk suatu sistem resirkulasi yang dilengkapi dengan filter fisik berupa zeolit dan kapas dan filter biologi berupa bioball. Akuarium diisi dengan ketinggian air efektif 29-30 cm dan diaerasi selama 24 jam. Pemasangan jaring di atas akuarium dilakukan untuk mencegah ikan loncat keluar akuarium. Masing-masing akuarium dilengkapi dengan thermostat sehingga suhu berada pada kisaran 28-31°C.

Sebelum dilakukan sampling awal, ikan dipuasakan selama 1 hari. Pemeliharaan ikan untuk mengukur pertumbuhan dilakukan selama 60 hari dengan waktu sampling setiap 15 hari.

Proses pemeliharaan ikan meliputi pemberian pakan tiga kali sehari yaitu pukul 08.00. 13.00, dan 17.00 WIB. Pakan diberikan secara at satiation

(14)

14

jumlah pakan yang dimakan setiap hari. Ikan uji ditebar dengan padat tebar 10 ekor/akuarium.

Gambar 1. Tata Letak Akuarium Penelitian Keterangan :

V, W, X, Y = Label Pakan Perlakuan 1, 2, 3 = Ulangan Perlakuan T = Tandon.

Pengamatan harian yang dilakukan meliputi pencatatan pemberian pakan harian dan pencatatan serta penimbangan ikan yang mati. Pengukuran bobot ikan uji dilakukan setiap 15 hari. Ikan yang mati pada masa pemeliharaan segera dikeluarkan dari dalam akuarium ditimbang dan dicatat bobotnya serta diamati penyebab kematian ikan tersebut.

Untuk mempertahankan kualitas air, maka dilakukan penyiponan feses ikan nila setelah 1-2 jam dari pemberian pakan. Pergantian filter dilakukan setiap 1 minggu sekali, sedangkan pergantian air dilakukan setiap 5 hari sekali sebanyak 75%.

Faktor kualitas air yang diperhatikan antara lain adalah suhu yang diamati setiap pagi hari sebelum pemberian pakan. Pengukuran suhu dilakukan secara

in situ dengan menggunakan termometer. Pengukuran parameter kualitas air lainnya yaitu amoniak, kesadahan, pH, alkalinitas, dan DO dilakukan sebelum dan sesudah pergantian air. Selama pemeliharaan, parameter kualitas air yang diukur adalah suhu yang berkisar antara 29 - 30 oC, oksigen terlarut 3,39 - 5,65 mg/l, pH 6,17 - 7,14, amoniak 0,003 – 0,120 mg/l, dan alkalinitas 3,98 – 23,9 mg/l.

W 3 Y 3 X 1 Y 2 X 3 Y1 V1

W 1 V 2 X 2 V 3 W 2

(15)

15

3.3. Analisis Kimia

3.3.1. Analisis Kimia Pakan dan Ikan Uji

Analisis lemak kering dilakukan dengan metode Soxchlet, lemak basah dengan metode Folch, protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl, abu dengan pemanasan sampel dalam tanur bersuhu 600 °C, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta pemanasan, dan kadar air dengan metode pemanasan dalam oven bersuhu 105-110 °C (Takeuchi,1988). Ikan yang digunakan pada analisa proksimat sebanyak 3 ekor tiap akuarium. Prosedur analisis proksimat dijelaskan pada Lampiran 1. Analisa proksimat pakan dan ikan uji dilakukan di laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan.

3.3.2. Analisis Kecernaan

Pengukuran kecernaan dilakukan pada akhir penelitian setelah pemeliharaan selama 60 hari untuk pengukuran kinerja pertumbuhan telah selesai. Ikan uji yang digunakan berjumlah 6 ekor per akuarium, dimana tiap perlakuan digunakan 3 ulangan. Pakan uji dicampur dengan marker berupa Cr2O3 yang ditambahkan pada masing-masing pakan uji sebanyak 0.5%. Setelah 5 hari dari pemberian pakan yang dicampur dengan Cr2O3, feses mulai dikumpulkan setiap harinya. Proses pengumpulan feses ikan dilaksanakan selama 15 hari. Penyimpanan feses dilakukan dalam freezer. Feses yang telah terkumpul kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven (110oC) selama 4-6 jam. Analisis Cr2O3 terhadap feses yang sudah dikeringkan dilakukan oksidasi dilanjutkan dengan pembacaan nilai absorban dengan bantuan alat spektrofotometer yang memiliki panjang gelombang 350 nm. Pengukuran kadar Cr2O3 dalam feses dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.4. Analisis Biologis

3.4.1. Jumlah Konsumsi Pakan (JKP)

(16)

16

3.4.2 Kecernaan Total (KT)

Parameter kecernaan yang diukur adalah kecernaan total pakan. Nilai kecernaan total dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Takeuchi (1988), yaitu:

Kecernaan total (KT) = [1-a/a’] x 100% Keterangan:

a = % Cr2O3 dalam pakan a’ = % Cr2O3 dalam feses

3.4.3. Laju Sintasan

Laju sintasan dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan Huissman (1987), yaitu:

SR = [ Nt / No ] x 100% Keterangan:

Nt = Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan

3.4.4. Specific Growth Rate

Specific growth rate ikan uji dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Huissman (1987), yaitu:

% 100 1 x Wo

Wt t

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜

⎝ ⎛

− =

α

Keterangan:

α = Laju pertumbuhan spesifik (%)

Wt = Rata-rata bobot individu pada waktu akhir pemeliharaan (g) Wo = Rata-rata bobot individu pada waktu awal pemeliharaan (g) t = Lama waktu pemeliharaan (hari)

3.4.5. Efisiensi Pakan (EP)

Efisiensi pakan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: EP = {[(Wt + D) – Wo]/ F} x 100%

Keterangan:

EP = Efisiensi pakan (%)

(17)

17

3.4.6. Retensi Lemak (RL)

Nilai retensi lemak dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Takeuchi (1988), yaitu:

RL = [(F-I)/L] x 100% Keterangan:

RL = Retensi lemak (%)

F = Jumlah lemak tubuh ikan pada akhir pemeliharaan (gram) I = Jumlah lemak tubuh ikan pada awal pemeliharaan (gram) L = Jumlah lemak yang dikonsumsi ikan (gram)

3.4.7. Retensi Protein (RP)

Nilai retensi protein dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Takeuchi (1988), yaitu:

RP = [(F-I)/P] x 100% Keterangan :

RP = Retensi protein (%)

F = Jumlah protein tubuh ikan pada akhir pemeliharaan (gram) I = Jumlah protein tubuh ikan pada awal pemeliharaan (gram) P = Jumlah protein yang dikonsumsi ikan (gram)

3.5. Analisis Statistik

(18)

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Pertambahan biomass dari masing-masing ikan uji selama 60 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 2. Biomass rata-rata awal ikan uji perlakuan V (E 10 + G0) adalah sebesar 85,94 g sedangkan pada akhir pemeliharaan menjadi 592,23 g atau terjadi penambahan biomass sekitar 6,89 kali lipat. Pada perlakuan W (E5 + G15) memiliki biomass rata-rata awal sebesar 85,94 g dan biomass rata-rata akhir 565,50 g atau terjadi peningkatan sebesar 6,58 kali lipat. Perlakuan X (E10 + G 15) memiliki biomass rata-rata awal sebesar 86,13 g dan biomass rata-rata akhir 616,28 g atau terjadi peningkatan biomass sebesar 7,15 kali lipat, sedangkan pada perlakuan Y (E15 % G15) terjadi peningkatan pertambahan biomass sekitar 7,08 kali lipat dimana biomass rata-rata awal sebesar 85,77 g dan bioamass akhir sebesar 607,63 g.

85.94 85.94 86.13 85.77 592.23

565.50

616.28 607.63

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00

V (E 10 & G 0) W (E 5 & G 15) X (E 10 & G 15) Y (E 15 & G 15)

P e rla kua n

Bi

o

m

a

s

s

 

(g

)

B iomas s rata‐rata awal B iomas s rata‐rata ak hir

Gambar 2. Grafik biomass awal dan biomass akhir ikan uji.

(19)

19

hidup. Hasil uji dari pengamatan parameter yang diukur disajikan pada Lampiran 11. Parameter yang diukur selama penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan harian (LPH), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), kecernaan total pakan (KT), dan kelangsungan hidup (SR) dari ikan nila

Parameter

Pakan Uji (% Elot + % Gaplek) V

E 10 + G 0

W E 5 + G 15

X E 10 + G 15

Y E15 + G 15 JKP (gram) 691,92 + 43,56 685,45 + 65,53 731,23 + 76,06 763,89 + 60,97

LPS (%) 3,36 + 0,09 3,20 + 0,30 3,41 + 0,13 3,40 + 0,18 EP (%) 73,09 + 2,18 69,57 + 6,42 72,35 + 2,20 68,22 + 4,02

RP (%) 38,33 + 2,20 40,40 + 7,01 39,41 + 1,95 37,45 + 5,00

RL (%) 92,29 + 3,58 90,72 + 12,27 86,21 + 11,31 87,07 + 4,55

KT (%) 58,29 + 1,15 55,10 + 5,59 57,24 + 0,33 56,26 + 0,80

SR (%) 93,33 + 5,77 90,00 + 10,00 93,33 + 5,77 93,33 + 11,55 Ket : Uji statistik menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05) untuk semua parameter..

4.2 Pembahasan

Sumber karbohidrat digunakan dalam pakan untuk mendukung kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh ikan. Karbohidrat merupakan sumber energi yang relatif murah dapat digunakan untuk menggantikan atau menghemat penggunaan protein yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena dalam SEADFEC, 2002).

Tepung elot merupakan produk sampingan dari pembuatan tapioka. Tepung ini memiliki karakter yang hampir sama dengan tepung tapioka, akan tetapi kualitasnya kurang bagus sehingga tepung ini juga sering disebut sebagai lindur atau pati yang kualitasnya kurang bagus (Anonima, 2004). Dikatakan kualitasnya kurang bagus karena tidak seperti tepung tapioka yang berwarna putih, tepung elot memiliki warna agak kekuningan yang disebabkan masih tersisanya campuran getah singkong pada tepung ini. Akan tetapi, tepung elot masih mengandung karbohidrat (pati) sebesar 80,72% yang dapat dimanfaatkan oleh ikan sebagai sumber energi. Oleh karena itu, tepung ini masih memiliki potensi yang sama untuk dapat menggantikan penggunaan jagung sebagai sumber karbohidrat dalam pakan

(20)

20

kecernaan pakan dari masing-masing pakan yaitu berkisar antara 55,10 – 58,29%. Hal inilah yang menyebabkan laju pertumbuhan spesifik dan

efisiensi pakan pada masing-masing perlakuan menjadi tidak berbeda nyata. Laju pertumbuhan harian ikan uji berkisar antara 3.20 - 3.41%, sedangkan efisiensi pakan berkisar antara 68.22 - 73.09%. Pada awal pemeliharaan bobot rata-rata ikan sebesar 8,59 ± 0.04 g, sedangkan pada akhir pemeliharaan berkisar antara 57,45 ± 10,14 – 64,36 ± 4,85 g. Pertumbuhan ikan yang hampir sama ini disebabkan kualitas pakan uji yang relatif sama. Masing-masing pakan uji memiliki nilai nutrisi seperti protein, lemak, BETN, dan kandungan energi pakan (gross energy) yang relatif sama (Tabel 4).

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi pada pakan yang relatif murah dibandingkan dengan protein sebagai sumber energi. Kecernaan karbohidrat terutama pati tergantung dari rasio amilosa dan amilopektin dalam bahan karbohidrat tersebut. Semakin besar rasio amilosa dan amilopektin maka kecernaannya akan semakin baik (Cruz-suarez, 1994 dalam Noegroho, 2000). Dalam formula pakan uji terdapat empat jenis bahan baku sumber karbohidrat yang memiliki rasio amilosa dan amilopektin yang berbeda. Bahan baku tersebut adalah tepung elot dengan rasio 17/83, tepung gaplek dengan rasio 22,4/77,6, jagung dengan rasio 25/75, dan kulit gandum (wheat brean)dengan rasio 20/80. Rasio amilosa dan amilopektin pada tapioka atau elot dillaporkan sebesar 17/83, dan nilai ini tergolong rendah sehingga nilai kecernaannya kurang baik (Eliasson, 2004).

(21)

21

bahan. Sehingga baik penggunaan tepung elot hingga 15% yang dikombinasikan dengan gaplek 15% maupun penggunaan tepung elot 10% tanpa dikombinasikan dengan gaplek masih dapat diterima oleh ikan nila. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata pada parameter kecernaan total pakan maupun efisiensi pakan.

Retensi protein menggambarkan banyaknya jumlah protein pakan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ikan untuk membangun dan memperbaiki sel tubuh yang rusak, serta metabolisme harian (Halver, 1989). Hasil pengujian terhadap retensi protein dari keempat jenis pakan uji menunjukkan bahwa penggantian jagung dengan tepung elot hingga kadar kadar 15% yang dikombinasikan dengan tepung gaplek 15% atau tanpa tepung gaplek, tidak memberikan pengaruh terhadap retensi protein dari ikan uji. Hal ini dikarenakan nilai kecernaan dari keempat pakan perlakuan memiliki nilai yang relatif sama sehingga jumlah nutrien yang diserap pun sama.

Retensi lemak dari keempat perlakuan memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan kadar karbohidrat, protein, maupun lemak dari keempat pakan perlakuan relatif sama, sehingga jumlah energi dalam pakan pun sama. Selain itu kadar lemak dalam keempat pakan perlakuan yang berkisar antara 6,04 – 6,56% diduga telah mencukupi kebutuhan lemak ikan nila. Hal ini sesuai dengan Chou dan Shiau dalam Webster (2002) bahwa kadar lemak sebesar 5% sudah mencukupi kebutuhan ikan nila.

(22)

22

V. KESIMPULAN

(23)

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG ELOT DALAM PAKAN SEBAGAI PENGGANTI JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA Oreochromis niloticus

MOCHAMMAD JOHAN CHANDRA

SKRIPSI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(24)

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG ELOT DALAM PAKAN SEBAGAI PENGGANTI JAGUNG TERHADAP

PERTUMBUHAN IKAN NILA Oreochromis niloticus

MOCHAMMAD JOHAN CHANDRA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(25)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG ELOT DALAM PAKAN SEBAGAI PENGGANTI JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA Oreochromis niloticus.

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

(26)

iii

Judul skripsi : Pengaruh Penambahan Tepung Elot dalam Pakan

sebagai Pengganti Jagung terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus.

Nama Mahasiswa : Mochammad Johan Chandra

Nomor Pokok : C14052986

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dedi Jusadi Ir. Widyatmoko, M.Sc

NIP.196210261988031001

.

Diketahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Indra Jaya

NIP. 196104101986011002

(27)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat dan

karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Pengaruh Penambahan Tepung Elot Dalam Pakan Sebagai

Pengganti Jagung Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus” ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat

dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rosululloh SAW, para sahabatnya

dan semua yang mengikuti mereka hingga hari akhir.

Pada kesempatan ini penulis megucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Dedi Jusadi sebagai Pembimbing I Skripsi atas segala bimbingan

dan arahannya selama penelitian hingga penyusunan skripsi ini..

2. Bapak Ir. Widyatmoko, M.Sc. sebagi Pembimbing II atas arahannya selama

penelitian ini hingga penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Agus Oman Sudrajat sebagai pembimbing akademik atas segala

motivasi dan arahannya selama penulis menjadi mahasiswa sekaligus

sebagai dosen penguji dalam sidang skripsi

4. Ibu, Bapak, dan seluruh keluarga tercinta atas doa dan semua dukungannya

yang tidak terhitung jumlahnya.

5. Bapak Wasjan dan ibu Retno atas bimbingannya selama penelitian di

laboratorium

6. Bapak Maryanta dan ibu Yuli saat mengurus administrasi studi.

7. Bapak Henda, Bapak Aam dan tim teknisi kolam BDP atas segala motivasi

dan dukungannya

8. Keluarga BDP 42, khususnya Asep, Angga K, tim Nutrisionist 2009, Tunggul,

dan Harir yang selalu membantu dari mulai proses penelitian hingga

penulisan skripsi ini.

9. Keluarga besar Al Munawar dan rekan-rekan BDP 41, 43 serta 44 atas

semua dukungan yang diberikan.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

(28)

v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, 18 Juni 1987 dari pasangan yang

berbahagia Bapak Lili Sularto dan Ibu Ai Rohani. Penulis merupakan anak

keempat dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan masa pendidikan di SMA Al Ma’soem, Jatinangor,

Sumedang tahun 2005. Kemudian melanjutkan studi di IPB melalui jalur

undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan setelah menyelesaikan studi pada

tingkat persiapan bersama (TPB), penulis melanjutkan studi pada Program

Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif pada beberapa organisasi

kemahasiswaan, diantaranya LDK-DKM Al Hurriyyah sebagai anggota

(2005-2008), Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam LAWALATA IPB sebagai anggota

dan pengurus (2006-2009). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada

beberapa mata kuliah yaitu Dasar-dasar Akuakultur (2008-2009), Nutrisi Ikan

(2009), Engineering Akuakultur (2009), dan Industri Perbenihan Organisme

Akuatik (2009).

Penulis pernah melakukan praktek lapangan pembenihan abalone Haliotis asinina di BBL Lombok pada bulan Juli-Agustus 2008. Penulis juga tergabung dalam tim “CP ’42” sebagai konsultan budidaya dan pernah mengisi beberapa

pelatihan budidaya di beberapa tempat seperti departemen komunikasi dan

informasi (DEPKOMINFO), departemen keuangan (DEPKEU), dan departemen

sosial (DEPSOS) RI. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis

dengan menulis skripsi berjudul “PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG ELOT

(29)

vi

RINGKASAN

MOCHAMMAD JOHAN CHANDRA. Pengaruh Penambahan Tepung Elot Dalam Pakan Sebagai Pengganti Jagung Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus. Dibimbing oleh DEDI JUSADI, dan WIDYATMOKO.

Pakan buatan memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha budidaya. Dalam pembuatannya, salah satu bahan baku sumber karbohidrat yang digunakan adalah jagung. Namun, di dalam jagung terdapat kandungan afla toksin yang berbahaya bagi ikan, sehingga penggunaannya dalam pakan menjadi terbatas. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati, 2006). Oleh karena itu, perlu dicari sumber bahan baku alternatif yang memiliki kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang dapat memenuhi kebutuhan dalam pembuatan pakan. Salah satu bahan baku yang dapat digunakan adalah tepung elot. Tepung elot merupakan produk sampingan dari pembuatan tepung tapioka, tepung ini masih memiliki kandungan pati sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat dalam pakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung elot yang berbeda dalam pakan sebesar 5, 10, 15% yang dikombinasikan dengan gaplek (15%) dan pakan dengan 10% elot (tanpa tepung gaplek) sebagai pengganti jagung terhadap pertumbuhan ikan nila Oreochromis niloticus .

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2009 di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing-masing 3 ulangan. Pakan perlakuan terdiri atas pakan V (elot 10%), W (elot 5% dan gaplek 15%), X (elot 10% dan gaplek 15%), dan Y (elot 15% dan gaplek 15%). Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila dengan bobot rata-rata

8,59 ± 0.04 gram. Pemberian pakan dilakukan dengan metode at satiation

(sekenyangnya) dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.00, 13.00, dan 17.00 WIB. Dalam penelitian ini parameter yang diukur meliputi kecernaan total pakan dan kinerja pertumbuhan yang meliputi jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan harian (LPH), efisiensi pakan (EP), retensi lemak (RL), retensi protein (RP), kecernaan total pakan dan survival rate

(SR).Data diuji dengan analisis ragam dan uji lanjut dengan Uji Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kadar tepung elot dengan kadar yang berbeda (5, 10, dan 15%) yang dikombinasikan dengan tepung gaplek 15% maupun penggunaan elot 10% tanpa kombinasi dengan tepung gaplek pada pakan, masih dapat dicerna dengan baik oleh nila. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah konsumsi pakan, laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan, kecernaan total pakan, retensi protein, retensi lemak, dan tingkat kelangsungan hidup. Namun berdasarkan evaluasi ekonomi, pakan perlakuan tepung elot 10% + tepung gaplek 15% merupakan pakan yang paling menguntungkan karena memiliki gain cost yang paling rendah yaitu sebesar Rp 9.802.

(30)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ...……….. xi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)... 3

2.1.1 Kebutuhan Protein………. 3

2.1.2 Kebutuhan Lemak

………. 4

2.1.3 Kebutuhan Karbohidrat ……… 5

2.2 Tepung Elot ... 6

2.3 Tepung Gaplek ... 8

2.4 Jagung ... 8

2.5 Kecernaan ... 9

2.6 Kualitas Air ... 10

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Pakan Uji ... 12

3.2 Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data ... 13

3.3 Analisis Kimia ... 15

3.3.1 Analisis Kimia Pakan dan Ikan Uji ... 15

3.3.2 Analisis Kecernaan ... 15

3.4 Analisis Biologis ... 15

3.4.1 Jumlah Konsumsi Pakan (JKP) ... 15

3.4.2 Kecernaan Total (KT) ... 16

3.4.3 Laju Sintasan (SR) ... 16

3.4.4 Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) ... 16

3.4.5 Efisiensi Pakan (EP) ... 16

3.4.6 Retensi Lemak (RL) ... 17

(31)

viii

3.5 Analisis Statistik ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil ... 18

4.2 Pembahasan ... 19

(32)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Data proksimat tepung elot dan tapioka... 6

2. Perbandingan amilosa dan amilopektin beberapa sumber

karbohidrat ... 7

3. Komposisi pakan perlakuan... 12

4. Komposisi proksimat pakan perlakuan ... 13

5.

Jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan harian (LPH), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), kecernaan total pakan (KT), dan kelangsungan hidup (SR) dari ikan nila...

(33)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tata Letak Akuarium Penelitian... 14

2. Grafik biomass awal dan biomass akhir ikan

(34)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur analisis proksimat (Takeuchi, 1988)... 27

2. Prosedur analisis Cr2O3 (Takeuchi, 1988)... 30

3. Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan ikan nila... 31

4. Laju sintasan ikannila... 31

5. Jumlah konsumsi pakan (JKP) dan efisiensi pakan (EP) ikan

nila... 31

6. Laju pertumbuhan relatif ikan ikan nila... 32

7. Hasil proksimat tubuh ikan nila... 32

8. Retensi protein ikannila... 33

9. Retensi lemak ikannila... 34

10. Kecernaan total pakan ikan nila... 35

11.

Hasil analisis statistik survival rate (SR), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), laju pertumbuhan harian (LPH), retensi protein, dan retensi lemak dan kecernaan total pakan pada ikan nila...

35

(35)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pakan buatan merupakan salah satu aspek yang memiliki peranan penting dalam budidaya ikan intensif. Bahan baku pakan seperti tepung ikan sebagai sumber protein memiliki harga yang relatif mahal (BBBAP, 2009). Hal ini mengakibatkan harga pakan buatan menjadi mahal. Oleh karena Itu, berbagai bahan alternatif yang berfungsi menggantikan tepung ikan pada pakan mulai digunakan untuk mendapatkan harga pakan yang lebih murah.

Protein sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi jaringan, memelihara dan memperbaharui jaringan tubuh serta proses pertumbuhan. Protein juga dapat berperan sebagai sumber energi (Furuichi, 1988). Bahan-bahan pengganti protein mulai digunakan pada formulasi untuk menekan biaya penggunaan bahan baku pakan yang semakin mahal tersebut. Salah satu bahan baku yang digunakan adalah jagung. Jagung digunakan dalam formulasi pakan sebagai sumber energi untuk metabolisme ikan sehingga sumber protein pada pakan dapat digunakan untuk pertumbuhan secara lebih maksimal. Namun, di dalam jagung terdapat kandungan afla toksin yang berbahaya bagi ikan, sehingga penggunaannya dalam pakan menjadi terbatas. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati, 2006). Oleh karena itu, perlu dicari sumber bahan baku alternatif yang relatif murah, serta memiliki kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang dapat memenuhi kebutuhan dalam pembuatan pakan serta ketersediaannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu bahan baku yang dapat digunakan adalah tepung elot.

(36)

2

jagung yang memiliki harga sebesar Rp 3.500,-/kg. Pada beberapa daerah sentra penghasil ubi kayu seperti Lampung dan Kebumen, tepung elot memiliki potensi yang lebih besar sebagai bahan alternatif karena memiliki harga yang lebih murah.

Dengan demikian, maka dibuat kombinasi tepung elot dalam formulasi pakan, sehingga dapat diketahui seberapa banyak tepung elot yang dapat digunakan didalam pakan tanpa mengurangi pertumbuhan ikan dan secara ekonomi lebih menguntungkan.

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran pertumbuhan dan kecernaan pakan uji pada ikan nila Oreochromis niloticus. Ikan ini dipilih sebagai hewan uji karena merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan, dimana ikan ini merupakan ikan yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan sub tropis (Lovell, 1989).

1.2. Tujuan

(37)

3

II. TINJAUAN PUSTAK

A

2.1. Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Oreochromis niloticus

Nutrisi pada pakan merupakan sumber energi untuk metabolisme ikan. Sebagai hewan yang hidup di lingkungan perairan dimana sumber karbohidrat lebih sedikit dari pada di darat, ikan teradaptasi untuk menggunakan energi yang berasal dari protein dan lemak. Ikan nila merupakan salah satu ikan tropis omnivora (Lovell, 1989). Ikan yang bersifat omnivora dapat memanfaatkan karbohidrat lebih baik karena usus ikan omnivora memiliki enzim amylase yang dapat menghidrolisis karbohidrat lebih baik (Nagayama dan Saito, 1968; Furuichi, 1988 dalam Watanabe 1988).

Formulasi dari suatu pakan ikan harus memenuhi kebutuhan nutrisi dari ikan yang dibudidayakan dalam hal kebutuhan protein (asam amoni esensial), lemak (asam lemak esensial), energi, vitamin, dan mineral (Watanabe, 1988). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu formulasi pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ikan sehingga ikan dapat tumbuh dengan baik.

2.1.1. Kebutuhan Protein

Protein merupakan kumpulan asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida (NRC 1993), dimana sekitar 65-75 % dari tubuh ikan dalam berat kering merupakan protein (Halver 1989). Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi (Lovell 1989). Selain itu, hewan akuatik membutuhkan protein untuk mempertahankan metabolisme tubuh (maintenance) seperti mengganti jaringan yang rusak dan membentuk jaringan yang baru atau pertumbuhan dan reproduksi (Millamena dalam SEADFEC, 2002).

(38)

4

Tingkat kebutuhan protein optimum pada pada ikan nila (ukuran di atas 40 gr) diduga berkisar antara 27,5 – 35% (Jauncey and Roses, 1982 dalam Webster dan Lim, 2002). Pada praktiknya kandungan protein pakan yang digunakan untuk pembesaran ikan nila berkisar antara 25-35%. Sedangkan pada kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan protein bagi ikan, maka kadar protein dalam pakan yang memadai untuk ikan dapat berkisar antara 20-25% (Newman, et.al. 1979: Lovell, 1980 dalam Webster dan Lim, 2002)

2.1.2. Kebutuhan Lemak

Lemak dan minyak merupakan salah satu sumber energi dalam pakan ikan. Lemak memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam protein atau karbohidrat. Dalam satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9,4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 kkal (Watanabe, 1988). Kadar lemak dalam pakan sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam pakan ditingkatkan menjadi 12% akan memberi pengaruh berupa perkembangan maksimal pada ikan nila (Chou dan Shiau, 1996 dalam Webster, 2002).

Millena dalam SEADFEC (2002) menyatakan bahwa asam lemak esensial sangat penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan, juga berperan sebagai pelarut beberapa vitamin yang tidak larut dalam air seperti vitamin A, D, E, dan K, sumber steroid untuk menjaga sistem mebran, transpor lemak, dan sebagai prekusor steroid. Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan diantaranya asam lemak ω3 dan ω6, berupa asam linolenat (18:3ω3), asam

linoleat (18:2ω6), asameicosapentaenoic (EPA, 20:5ω3), dandecosahexaenoic

(DHA, 20:6ω3) (Millamena dalam SEADFEC 2002). Akan tetapi menurut Takeuchi et al (1983) dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan nila adalah 18:2ω6 1.0% asam lemak linoleat.

(39)

5

dapat menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan yang lambat, dan pembengkakan pada ikan, pucat, dan lemak pada hati (Lovell 1989).

2.1.3. Kebutuhan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tanaman yang termasuk di dalamnya adalah gula sederhana, pati, selulosa, getah, dan substansi lainnya (Millamena dalam SEADFEC 2002). Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan dapat menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena dalam SEADFEC 2002). Hal yang sama dinyatakan oleh Watanabe (1988) bahwa karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan berlimpah di alam, sehingga penggunaannya menjadi subjek yang penting untuk pengembangan budidaya ikan.

Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencerna karbohidrat. Kandungan karbohidrat dalam pakan harus digunakan pada kandungan yang paling tinggi yang dapat ditoleransi oleh ikan (NRC 1993). Dalam pakan, karbohidrat terdapat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan serat kasar (Zooneveld et al, 1991). Sumber karbohidrat seperti pati digunakan dalam pakan sebagai perekat (binder) dalam pakan ikan dan udang untuk meningkatkan ketahanan pakan dalam air (water stability) (Millamena et al.

2002).

Kadar optimum karbohidrat dalam pakan ikan sulit untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat sebagai sumber energi (Nagai dan Ikeda, 1973; Furuichi, 1988 dalam Watanabe, 1988). Tetapi pada umumnya ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal sebanyak 10-20% dalam pakan, sedangkan ikan omnivora rata-rata 30-40% (Furuichi dalam Watanabe, 1988). Ikan omnivora seperti nila dan mas lebih dapat mencerna pati (starch) daripada jenis ikan karnivora. Hal ini karena ikan omnivora memiliki enzim amylase yang lebih baik untuk menghidrolisis pati (Nagayama dan Saito, 1968; Furuichi, 1988 dalam Watanabe 1988).

(40)

6

dan disimpan dalam hati dan otot sebagai glikogen (Tucker dan Hargreaves, 2004).

Sumber pati yang berbeda akan menyebabkan perbedaan nilai kecernaan karbohidrat (Millamena et al., 2002). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin (Guillaume et al., 2001) yang terdapat dalam pati. Dimana amilosa lebih mudah dicerna daripada amilopektin karena perbedaan struktur rantainya (Muhtadi dan Sugiyono, 1992 dalam Suryani 2001). Oleh karena itu, semakin besar rasio amilosa dan amilopektin, maka nilai kecernaan karbohidrat menjadi semakin baik (Cruz-suarez, 1994 dalam Noegroho, 2000). Marini (1997) dalam Suryani (2001) melaporkan bahwa kandungan amilosa dalam pati adalah berkisar 10-20% sedangkan amilopektin 80-90%. Adapun menurut Bennion (1980) dalam Suryani (2001) menyatakan bahwa proporsi amilosa adalah 17-32% dari total pati.

2.2. Tepung Elot

[image:40.612.128.448.544.664.2]

Elot merupakan pati yang memiliki kualitas yang kurang bagus (Anonima, 2004). Tepung elot didapatkan dari hasil sisa endapan tapioka. Saripati yang berasal dari perasan parutan singkong yang telah diendapkan menghasilkan tepung tapioka. Setelah air dan tapioka dipisahkan, maka air sisa pengendapan tersebut diendapkan kembali. Hasil pengendapan yang kedua inilah yang disebut dengan elot atau lindur. Tepung elot dikatakan sebagai pati yang kualitasnya kurang bagus karena masih adanya kandungan getah pada pati tersebut, sehingga biasanya memiliki warna kekuning-kuningan dan terkadang memiliki sifat asam. Kadar nutrisi yang terdapat dalam tepung elot dan tepung tapioka adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Data proksimat tepung elot dan tapioka

Komposisi Proksimat Kadar (%)

Tepung elot Tepung tapioka*

Protein 3,4 1,29

Lemak total 0,54 0,25

Karbohidrat / BETN 80,72 85,71

Serat kasar 1,5 0

Abu 1,32 0.34

Kadar Air 12,52 12,41

(41)

7

Salah satu masalah yang timbul dari penggunaan tepung berbahan dasar singkong ini adalah adanya kandungan HCN yang bersifat toksik. Daryanto dan Muryati (1980) dalam Sihombing (2007) menyatakan bahwa HCN yang terkandung dalam singkong akan hilang saat proses ekstraksi. Saat umbi diparut dan sel-selnya pecah, enzim linamarase akan memecah glikosida sianorganik dan HCN akan terlepas yang dapat terjadi dalam waktu 4-6 jam. Glikosida dan HCN akan terbuang bersama air yang digunakan dalam proses pengolahan tepung tapioka. Selain itu, menurut Febriyanti (1990) dalam Suryani (2001) menyatakan bahwa proses pencucian dapat menghilangkan HCN sebanyak 36.02%. Pengukusan juga dapat menyebabkan penguapan HCN dan menginaktivasi enzim linamarinase yang berperan dalam pembebasan HCN. HCN akan dengan mudah menguap kerena bersifat volatil dan titik didihnya rendah yaitu pada suhu 26o C (Muharam, 1992 dalam Suryani 2001).

[image:41.612.109.513.453.619.2]

Pemasakan pada tepung tapioka dilakukan untuk meningkatkan nilai kecernaannya (Suryani, 2001). Hal ini dilakukan karena kandungan amilosa dan amilopektin pada tapioka, dimana rasio antara amilosa dan amilopektin yang hanya sebesar 17/83 (Elliasson, 2004) sehingga menyebabkan nilai kecernaan tepung tapioka rendah.

Tabel 2. Perbandingan amilosa dan amilopektin beberapa sumber karbohidrat

Sumber Karbohidrat Diameter (mikron) Amilosa / Amilopektin

Ganduma - 20/80

Terigub 1-45 25/75

Tapiokab 4-3 17/83

Gaplekd - 22.4/77.6

Sagub 15-65 26/74

Jagungb 5-30 25/75

Kedelaic - 22/78

Sumber :

a) Cheftel and cheftel (1976); Cruz-suarez et al. (1994) dalam Noegroho (2000). b) P. Taggart, National Starch and Chemical, UK dalam Eliasson (2004).

c) Stevenson et al. (2006), http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=18186124. d) Guanaratne and Hoover, 2001 in Freitas, et. al., (2003),

(42)

8

Bahan baku yang baik akan menghasilkan 400 kg tapioka dan 160 kg onggok dari bahan baku total sebanyak 1 ton. Total pati yang didapat berkisar antara 19-25% rendemen tapioka dari bahan baku singkong segar (Anonimb, 2003). Adapun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengrajin tapioka di daerah Tarik Kolot, Bogor Utara, maka rendemen elot yang didapat hanya sekitar 2%, namun sebagian besar para pengrajin tapioka langsung membuang sisa air pengendapan tapioka. Greenfield (1971) mengemukakan bahwa limbah industri tapioka mengandung bahan organik seperti pati, serat, protein, gula, dsb. Sebagai contoh limbah cair sisa pengendapan mengandung tanah, protein, serat, gula, dan pati terlarut.

2.3. Tepung Gaplek

Tepung gaplek merupakan salah satu bahan yang digunakan pada pakan ikan. Murtidjo (2001) menyatakan bahwa tepung ini biasa digunakan dalam pakan tidak lebih dari 5 % sebagai binder atau perekat. Tepung gaplek sendiri merupakan ubi kayu yang telah dikeringkan kemudian digiling menjadi bentuk tepung. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam tepung gaplek diantaranya protein 1,1%, lemak 0,5%, karbohidrat 88,2% (Soetanto, 2008).

Sebagai salah satu bahan yang terbuat dari ubi kayu, masalah yang dihadapi dalam penggunaan tepung ini hampir sama dengan tepung elot, yakni kandungan HCN yang terdapat dalam ubi kayu. Namun kandungan HCN tersebut ternyata dapat dikurangi hingga batas aman dalam penggunaannya sebagai bahan pakan ikan melalui beberapa proses yang dilalui dalam pembuatan tepung gaplek (Murtidjo, 2001). Rangkaian proses tersebut meliputi pengupasan kulit ubi kayu, pencincangan ubi kayu, perendaman pada larutan garam 5 % selama 24 jam, penjemuran, penggilingan menjadi tepung.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penggunaan tepung gaplek hingga 15% sebagai sumber karbohidrat dalam pakan ikan masih dapat diterima oleh ikan (personal communication).

2.4. Jagung

(43)

9

Penggunaan jagung dalam pakan dibatasi oleh adanya kandungan afla toksin pada jagung. Afla toksin merupakan komponen metabolit sekunder kapang Aspergillus sp. Umumnya efek yang ditimbulkan karena mengkonsumsi afla toksin pada hewan ternak adalah rendahnya pertumbuhan, kerusakan hati, gangguan pembekuan darah, menurunkan respon terhadap imun, dan meningkatkan kematian (Lovell, 1989).

Negara beriklim tropis seperti Indonesia merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan jamur. Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban, sangat berperan dalam munculnya kontaminasi aflatoksin. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati, 2006). Pada ikan channel catfish, dosis yang mematikan (LD50) berkisar antara 15 – 30 ppm.

2.5. Kecernaan

Kecernaan dapat menggambarkan fraksi nutrien atau energi dalam pakan yang dicerna dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses (NRC, 1993). Melalui pengukuran kecernaan, maka akan dapat dievaluasi potensi cocok atau tidaknya suatu bahan jika diberikan pada ikan tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Watanabe (1988) bahwa hal pertama yang harus dilakukan untuk mengevaluasi potensi sebuah bahan baku untuk digunakan pada pakan adalah mengukur kecernaannya. Hal ini dilakukan karena setiap jenis bahan memiliki tingkat kecernaan yang berbeda-beda pada setiap jenis ikan. Pada umumnya, bahan pakan nabati lebih sukar dicerna daripada bahan hewani. Hal ini dikarenakan adanya kandungan serat kasar dalam bahan nabati, dimana serat kasar ini sulit dicerna dan memiliki dinding sel yang kuat sehingga sulit dipecahkan (Hepher, 1988).

(44)

10

menentukan nilai kecernaan energi, protein kasar, karbohidrat, lemak dan bahan kering pada berbagai jenis ikan (Cho, 1982 dalam NRC, 1993)

Selain dari jenis bahan yang berbeda, nilai kecernaan suatu bahan juga dipengaruhi oleh proses pengolahan bahan-bahan tersebut. Proses pengolahan yang terlalu ekstrim seperti pemanasan yang berlebih, dapat menyebabkan kerusakan dalam bahan pakan yang akhirnya mengurangi nilai nutrisi (Finley, 1989 dalam NRC, 1993).

2.6. Kualitas Air

Walaupun ikan nila termasuk ikan air tawar, ikan ini bersifat euryhaline dan dapat bertahan, tumbuh, dan beberapa spesies dapat memijah pada perairan yang bersalinitas 40 mg/l. Beberapa jenis nila yang telah dibudidayakan mampu bertahan pada kadar oksigen 0.1 mg/l (Lovell, 1988). Aktifitas makan ikan akan berkurang pada suhu di bawah 20oC dan berhenti makan pada suhu 16oC (Lovell, 1989).

Sebagai hewan yang bersifat poikilothermal, suhu sangat memperngaruhi laju metabolisme ikan. Suhu yang tinggi akan mempercepat metabolisme dan sebaliknya, suhu yang rendah akan menurunkan metabolisme. Umumnya ikan tropis dan sub tropis tidak dapat tumbuh baik di bawah suhu 25oC, dan suhu mematikan pada suhu dibawah 10 atau 15oC. Spesies periaran hangat akan tumbuh baik pada suhu 20-28 oC (Boyd, 1998) .

Kadar oksigen sangat penting untuk kelangsungan metabolisme pada tubuh ikan. Pescod et al. (1973) dalam Merantica (2007) menyatakan bahwa kadar oksigen yang baik untuk budidaya adalah lebih besar dari 2 ppm.

pH merupakan logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen (Boyd, 1998). Organisme akuatik mengeluarkan buangan atau ekresi utama berupa nitrogen. Hal yang sama dikemukakan oleh Lovell (1998) bahwa ikan teleostei air tawar mengeluarkan 60-90% buangan nitrogen dalam bentuk amoniak yang dikeluarkan melalui insang. Kadar pH yang cocok bagi kelangsungan hidup organisme akuatik seperti ikan berkisar antara 7-8.5 (Effendi, 2003)

(45)

11

(46)

12

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Pakan Uji

Pada Penelitian ini digunakan tiga perlakuan pakan buatan dengan kadar tepung elot yang berbeda-beda yang dikombinasikan dengan tepung gaplek, serta satu perlakuan pembanding menggunakan pakan yang dicampur dengan tepung elot tanpa kombinasi dengan tepung gaplek. Tiap perlakuan digunakan tiga ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah :

1. Perlakuan V : penambahan tepung elot 10% tanpa tepung gaplek 2. Perlakuan W : penambahan tepung elot 5% dan tepung gaplek 15% 3. Perlakuan X : penambahan tepung elot 10% dan tepung gaplek 15% 4. Perlakuan Y : penambahan tepung elot 15% dan tepung gaplek 15%

Bahan penyusun pakan dicampurkan dan dicetak dalam bentuk pelet dengan ukuran diameter 2 mm. Pakan yang sudah jadi disimpan di dalam kulkas sebelum digunakan. Komposisi dari pakan perlakuan disajikan pada Tabel 3 dan hasil analisa proksimat pakan pada Tabel 4.

Tabel 3. Komposisi pakan perlakuan

Bahan Pakan

Perlakuan (% Elot + % Gaplek) V

E10+ G0

W E5+G15

X E10+G15

Y E15+G15 Komposisi (%)

Elot Ex Lampung 10.000 5.000 10.000 15.000

Gaplek Tepung 0.000 15.000 15.000 15.000

Jagung Lokal 25.84 15.84 10.84 5.84

Wheat Bran 11.800 11.800 11.800 11.800

Soy Bean Meal 17.400 17.400 17.400 17.400

Hydrolyze Chicken Feather Meal 1.000 1.000 1.000 1.000

Fish Meal 14.200 14.200 14.200 14.200

Minyak Ikan Lokal 1.600 1.600 1.600 1.600

DL-Methionine 0.046 0.046 0.046 0.046

TM Mix-Fish mineral 0.050 0.050 0.050 0.050

Vitamin Mix 0.197 0.197 0.197 0.197

Ethoxiquin 0.015 0.015 0.015 0.015

Kalsium Propionat 0.050 0.050 0.050 0.050

Meat Bone Meal 10.000 10.000 10.000 10.000

Poultry By Product Meal 5.000 5.000 5.000 5.000

Tepung Ikan Lokal 2.800 2.800 2.800 2.800

(47)
[image:47.612.129.508.101.305.2]

13

Tabel 4. Komposisi proksimat pakan perlakuan

Komposisi Proksimat

Pakan Uji (% Elot + % Gaplek)

V W X Y

E10+ G0 E5+ G15 E10+G15 E15+G15

Protein 31.04 30.57 30.32 30.10

Lemak 6.56 6.34 6.19 6.04

Abu 10.98 10.74 10.85 10.97

Serat Kasar 2.80 2.97 3.05 3.12

BETN 39.02 40.01 40.26 40.48

GE (kkal/100g)* 395.47 394.83 393.04 391.30

C/P** 12.74 12.92 12.96 13.00

Kadar Air 9.60 9.37 9.33 9.29

Keterangan :

BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen. *GE = Gross Energy.

1 gram protein = 5,6 kkal GE

1 gram karbohidrat/BETN = 4,1 kkal GE

1 gram lemak = 9,4 kkal GE (Watanabe, 1988). ** C = energi ; P = protein.

3.2. Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data

Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan nila dengan bobot rata-rata sebesar 8,59 ± 0.04 g. Ikan uji berasal dari daerah Petir, Bogor. Ikan uji mulai diadaptasikan dalam wadah pemeliharaan pada tanggal 16 Juni 2009 selama 1 minggu, kemudian perlakuan pakan uji dimulai pada tanggal 23 Juni – 22 Agustus 2009.

Pemeliharaan ikan selama penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Wadah yang digunakan untuk masing-masing ikan adalah akuarium berukuran (39 x 35 x 49) cm3 sebanyak 12 buah serta 1 buah bak fiber sebagai tandon. Akuarium diset membentuk suatu sistem resirkulasi yang dilengkapi dengan filter fisik berupa zeolit dan kapas dan filter biologi berupa bioball. Akuarium diisi dengan ketinggian air efektif 29-30 cm dan diaerasi selama 24 jam. Pemasangan jaring di atas akuarium dilakukan untuk mencegah ikan loncat keluar akuarium. Masing-masing akuarium dilengkapi dengan thermostat sehingga suhu berada pada kisaran 28-31°C.

Sebelum dilakukan sampling awal, ikan dipuasakan selama 1 hari. Pemeliharaan ikan untuk mengukur pertumbuhan dilakukan selama 60 hari dengan waktu sampling setiap 15 hari.

Proses pemeliharaan ikan meliputi pemberian pakan tiga kali sehari yaitu pukul 08.00. 13.00, dan 17.00 WIB. Pakan diberikan secara at satiation

(48)

14

[image:48.612.107.412.138.247.2]

jumlah pakan yang dimakan setiap hari. Ikan uji ditebar dengan padat tebar 10 ekor/akuarium.

Gambar 1. Tata Letak Akuarium Penelitian Keterangan :

V, W, X, Y = Label Pakan Perlakuan 1, 2, 3 = Ulangan Perlakuan T = Tandon.

Pengamatan harian yang dilakukan meliputi pencatatan pemberian pakan harian dan pencatatan serta penimbangan ikan yang mati. Pengukuran bobot ikan uji dilakukan setiap 15 hari. Ikan yang mati pada masa pemeliharaan segera dikeluarkan dari dalam akuarium ditimbang dan dicatat bobotnya serta diamati penyebab kematian ikan tersebut.

Untuk mempertahankan kualitas air, maka dilakukan penyiponan feses ikan nila setelah 1-2 jam dari pemberian pakan. Pergantian filter dilakukan setiap 1 minggu sekali, sedangkan pergantian air dilakukan setiap 5 hari sekali sebanyak 75%.

Faktor kualitas air yang diperhatikan antara lain adalah suhu yang diamati setiap pagi hari sebelum pemberian pakan. Pengukuran suhu dilakukan secara

in situ dengan menggunakan termometer. Pengukuran parameter kualitas air lainnya yaitu amoniak, kesadahan, pH, alkalinitas, dan DO dilakukan sebelum dan sesudah pergantian air. Selama pemeliharaan, parameter kualitas air yang diukur adalah suhu yang berkisar antara 29 - 30 oC, oksigen terlarut 3,39 - 5,65 mg/l, pH 6,17 - 7,14, amoniak 0,003 – 0,120 mg/l, dan alkalinitas 3,98 – 23,9 mg/l.

W 3 Y 3 X 1 Y 2 X 3 Y1 V1

W 1 V 2 X 2 V 3 W 2

(49)

15

3.3. Analisis Kimia

3.3.1. Analisis Kimia Pakan dan Ikan Uji

Analisis lemak kering dilakukan dengan metode Soxchlet, lemak basah dengan metode Folch, protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl, abu dengan pemanasan sampel dalam tanur bersuhu 600 °C, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta pemanasan, dan kadar air dengan metode pemanasan dalam oven bersuhu 105-110 °C (Takeuchi,1988). Ikan yang digunakan pada analisa proksimat sebanyak 3 ekor tiap akuarium. Prosedur analisis proksimat dijelaskan pada Lampiran 1. Analisa proksimat pakan dan ikan uji dilakukan di laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan.

3.3.2. Analisis Kecernaan

Pengukuran kecernaan dilakukan pada akhir penelitian setelah pemeliharaan selama 60 hari untuk pengukuran kinerja pertumbuhan telah selesai. Ikan uji yang digunakan berjumlah 6 ekor per akuarium, dimana tiap perlakuan digunakan 3 ulangan. Pakan uji dicampur dengan marker berupa Cr2O3 yang ditambahkan pada masing-masing pakan uji sebanyak 0.5%. Setelah 5 hari dari pemberian pakan yang dicampur dengan Cr2O3, feses mulai dikumpulkan setiap harinya. Proses pengumpulan feses ikan dilaksanakan selama 15 hari. Penyimpanan feses dilakukan dalam freezer. Feses yang telah terkumpul kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven (110oC) selama 4-6 jam. Analisis Cr2O3 terhadap feses yang sudah dikeringkan dilakukan oksidasi dilanjutkan dengan pembacaan nilai absorban dengan bantuan alat spektrofotometer yang memiliki panjang gelombang 350 nm. Pengukuran kadar Cr2O3 dalam feses dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.4. Analisis Biologis

3.4.1. Jumlah Konsumsi Pakan (JKP)

(50)

16

3.4.2 Kecernaan Total (KT)

Parameter kecernaan yang diukur adalah kecernaan total pakan. Nilai kecernaan total dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Takeuchi (1988), yaitu:

Kecernaan total (KT) = [1-a/a’] x 100% Keterangan:

a = % Cr2O3 dalam pakan a’ = % Cr2O3 dalam feses

3.4.3. Laju Sintasan

Laju sintasan dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan Huissman (1987), yaitu:

SR = [ Nt / No ] x 100% Keterangan:

Nt = Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan

3.4.4. Specific Growth Rate

Specific growth rate ikan uji dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Huissman (1987), yaitu:

% 100 1 x Wo

Wt t

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜

⎝ ⎛

− =

α

Keterangan:

α = Laju pertumbuhan spesifik (%)

Wt = Rata-rata bobot individu pada waktu akhir pemeliharaan (g) Wo = Rata-rata bobot individu pada waktu awal pemeliharaan (g) t = Lama waktu pemeliharaan (hari)

3.4.5. Efisiensi Pakan (EP)

Efisiensi pakan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: EP = {[(Wt + D) – Wo]/ F} x 100%

Keterangan:

EP = Efisiensi pakan

Gambar

Tabel 1.  Data proksimat tepung elot dan tapioka
Tabel 2. Perbandingan amilosa dan amilopektin beberapa sumber karbohidrat
Tabel 4. Komposisi proksimat pakan perlakuan
Gambar 1. Tata Letak Akuarium Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan tepung onggok singkong sebagai bahan baku pakan ikan nila dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung onggok singkong dengan proporsi 5%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung Azolla pinnata dapat dijadikan sebagai substitusi pada pakan ikan, dari keempat pakan yang memberikan pertumbuhan terbaik yaitu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung Azolla pinnata dapat dijadikan sebagai substitusi pada pakan ikan, dari keempat pakan yang memberikan pertumbuhan terbaik yaitu

Laju pertumbuhan berat ikan Nila dengan perlakuan pemberian pakan yang mengandung protein 26% tanpa penambahan enzim lebih tinggi yaitu 4,38% perhari, sedangkan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan tepung ikan teri pada pakan buatan ikan nila memberikan pengaruh yang nyata terhadap total konsumsi

Penggunaan tepung kiambang terfermentasi sebesar 10% dalam pakan ikan nila memberikan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi.. Studi

Hasil penelitian penambahan tepung alga coklat (S. cristaefolium) dalam pakan buatan terhadap nilai total konsumsi pakan (TKP), efisiensi pemanfaatan pakan (EPP),

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi tepung ikan dan tepung daun indigofera sebagai sumber protein dalam ransum pakan benih ikan nila tidak berbeda nyata P>0,05