• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota di Kota Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota di Kota Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota adalah suatu pusat pemukiman penduduk yang besar dan luas. Kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Sebuah kota memililki fungsi majemuk, yaitu sebagai pusat populasi, perdagangan, pemerintahan, industri, maupun pusat budaya (Irwan 2008).

Perkembangan kota yang ditandai dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik sebagai penunjang aktivitas penduduk kota merupakan simbol kemajuan peradaban manusia yang cenderung memenuhi tuntutan zaman. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan besarnya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota mengakibatkan semakin hilangnya ruang hijau di perkotaan. Penurunan jumlah ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan timbulnya beberapa permasalahan lingkungan seperti hilangnya pemandangan, suhu kota meningkat dan pencemaran udara yang akan mengancam kesehatan manusia dan dapat menurunkan produktivitas masyarakat kota. Dahlan (2004) menyatakan bahwa penurunan kualitas lingkungan kota akan menimbulkan berbagai ancaman seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya suhu udara kota, kebisingan, sampah, banjir dan intrusi air laut.

(2)

peningkatan sebesar 11,3% sedangkan untuk lahan bervegetasi tinggi (hutan), tanaman semusim, perkebunan dan tubuh air justru jumlah lahannya semakin berkurang. Jumlah lahan bervegetasi di Kota Bogor mengalami penurunan luas sebesar 32,73% (Tursilowati et al., 2004). Hal ini berdampak pada perubahan iklim mikro terutama peningkatan suhu udara dan penurunan kelembaban udara. Berdasarkan data iklim dari tahun 1970 – 2003, Tursilowati et al. (2004) menyatakan bahwa Kota Bogor mengalami kenaikan suhu udara (24 – 28 0C) sebesar 29,56% dengan suhu tertinggi yang mengalami kenaikan yaitu suhu 27 – 28 0C.

Penerapan konsep hutan kota di dalam perencanaan tata kota akan mengatasi masalah penurunan kualitas lingkungan kota. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dahlan (2004) bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi lingkungan kota yang terus menurun kualitasnya adalah dengan membangun Kota Kebun Bernuansa Hutan Kota. Konsep dasarnya adalah memaksimalkan keberadaan dan fungsi hutan dan taman serta berbagai bentuk penghijauan kota lainnya untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada.

Program pembangunan hutan kota harus direncanakan sebaik mungkin agar pada akhirnya hutan kota tersebut dapat memberikan manfaat yang nyata bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Namun, program pembangunan hutan kota tidak akan berhasil tanpa dukungan dari berbagai pihak khususnya masyarakat kota itu sendiri. Hal ini sejalan menurut pernyataan Dahlan (1992) yang juga menyatakan bahwa masalah hutan kota yang paling mendasar hingga saat ini adalah dukungan dari berbagai pihak, salah satunya masyarakat. Dukungan masyarakat kota akan sangat berarti bagi kelangsungan program hutan kota, salah satu caranya melalui ikut serta dalam menghijaukan lingkungan sekitar dan turut memeliharanya.

(3)

keberhasilan dalam pengembangan hutan kota. Lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan juga memiliki peranan yang penting dalam terciptanya program pembangunan hutan kota. Partisipasi para pihak ini akan sangat membantu pemerintah dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Untuk itu diperlukan strategi untuk meningkatan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota sehingga pemerintah dapat mengoptimalkan partisipasi berbagai pihak dengan sebaik mungkin untuk membantu pengelolaan hutan kota yang ada.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian adalah untuk:

a. Mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap hutan kota yang ada di wilayahnya serta pengaruh karakteristik sosial ekonomi terhadap tingkat persepsi masyarakat tersebut.

b. Mengetahui persepsi dan peran para pihak dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota

c. Menyusun strategi peningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota.

1.3 Manfaat

Manfaat penelitian adalah :

a. Memberikan masukan berupa strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan kota di Kota Bogor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para perencana dan pengambil keputusan dalam mengembangkan program hutan kota di Kota Bogor.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya atau studi yang berkaitan dengan hutan kota.

1.4 Kerangka Pemikiran

(4)

menyebabkan pemanfaatan kota untuk ruang terbuka hijau semakin berkurang. Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan perkotaan yang semakin berkurang.

Kualitas lingkungan perkotaan yang semakin menurun, menuntut untuk segera dilakukan berbagai perbaikan guna mengatasi permasalahan tersebut. Hutan kota merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kualitas lingkungan di perkotaan. Hutan kota yang memiliki berbagai fungsi ekologis, sangat dibutuhkan oleh kota-kota yang kualitas lingkungannya sudah semakin buruk. Namun permasalahan yang ada sekarang yaitu bagaimana membangun dan mengembangkan hutan kota yang baik agar peranannya untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan dapat dirasakan. Karena pada kenyataannya kondisi aktual dan faktual hutan kota dan ruang terbuka hijau justru mendapat banyak rintangan untuk menerapkannya secara sesuai.

(5)

Gambar 1 Kerangka pemikiran. Penurunan kualitas lingkungan kota

Kebutuhan terhadap hutan kota

Bagaimana membangun dan mengembangkan hutan kota?

Kondisi aktual dan faktual hutan kota dan ruang terbuka hijau di Kota Bogor

Lemahnya dukungan masyarakat

Lemahnya lembaga pengelola RTH Penurunan luas

akibat alih fungsi lahan

Masyarakat LSM

Variabel-variabel esensial dalam membangun dan mengembangkan hutan kota di Kota Bogor

Strategi meningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota

Pemerintah

 Karakteristik  Persepsi  Motivasi  Partisipasi 

 Persepsi  Kemampuan

yang dimiliki

 Perepsi  Kemampuan

yang dimiliki  Kebijakan Perguruan tinggi

 Persepsi  Kemampuan

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

2.1.1 pengertian persepsi

Menurut Salim dan Salim (1991) dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, mendefinisikan persepsi sebagai pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang didapat atau diterima, atau dapat diartikan sebagai proses diketahuinya suatu hal pada seseorang melalui pancaindera yang dimiliki. Persepsi terhadap lingkungan mencakup aspek yang lebih luas, tidak sekedar persepsi sensoris individual seperti yang dilihat dan didengar, melainkan mencakup pula kesadaran dan pemahaman manusia terhadap lingkungan.

Menurut Surata (1993) persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kartini (1984) yang menyatakan bahwa persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya. Dengan demikian persepsi bisa mempengaruhi orang dalam menentukan sikap dan tindakannya sehingga orang akan ikut berpartisipasi di dalam proses pembangunan.

2.1.2 Faktor-faktor persepsi

Menurut Kayam (1985) diacu dalam Purwanto (1998) menyatakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor dalam individu (internal) dan faktor luar individu (eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu dan perbedaan latar belakang sosial budaya.

(7)

a. Faktor Struktural

Faktor-faktor yang terdapat dalam situasi fisik seperti gerakan, perubahan, frekuensi, intensitas dan peristiwa-peristiwa neural yang dihasilkan oleh sistem syaraf individu.

b. Faktor Fungsional

Faktor yang terdapat dalam diri individu seperti kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan sifat-sifat lain dari individu.

Menurut Mauludin (1994) faktor pendidikan dapat dijadikan faktor penduga persepsi paling baik dibandingkan faktor-faktor lainnya seperti umur, jenis kelamin dan pekerjaan. Faktor pendidikan dalam pengaruhnya terhadap persepsi juga telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (1998) menyatakan bahwa tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang cukup erat terhadap persepsi masyarakat. Hubungan tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka persentase nilai persepsi semakin besar. Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan Kurniasih (2004) bahwa tingkat pendidikan dan komposisi umur berdasarkan angkatan kerja memiliki hubungan yang lebih dekat terhadap tingkat persepsi dibandingkan dengan pendidikan, pekerjaan dan jarak tempat tinggal dari pusat kota. Sedangkan menurut Zakih (1997) menyatakan bahwa media massa merupakan sumber yang efektif dalam menyebarkan informasi. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara informasi dengan tingkat persepsi bahwa semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat tingkat persepsi juga semakin tinggi.

2.1.3 Persepsi masyarakat terhadap hutan kota

(8)

Penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap hutan kota sebelumnya telah dilakukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwanto (1998) di Kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta Barat menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki persepsi yang tinggi terhadap lingkungan hijau di pemukiman. Persepsi yang tinggi dapat dilihat dari kemampuannya dalam menilai manfaat atau fungsi pepohonan dan tanaman lain yang ada di pemukiman, serta dukungan dalam pengelolaannya. Namun pada kenyataannya persepsi masyarakat tersebut tidak menunjukkan hubungan dengan perilakunya. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang lebih berpengaruh dari pada persepsi yaitu tingkat pendapatan dan keterbatasan lahan.

Mauludin (1994) juga melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap hutan kota yang dilakukan di Kecamatan Bogor Timur dan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat memiliki persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Persepsi yang positif terhadap hutan kota diwujudkan dalam bentuk kesukaan masyarakat terhadap tanaman dengan tujuan menciptakan kesejukan, kenyamanan, indah dan asri. Sedangkan menurut Fuad (2003) yang melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap hutan kota di Kabupaten Serang menyatakan bahwa persepsi masyarakat Kabupaten Serang terhadap hutan kota tergolong sedang. Djatmiko (2008) menyatakan bahwa persepsi masyarakat dari RW.013, RW.002 dan RW.020 Kelurahan Kayuringin Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan memiliki tingkat persepsi yang sama dan tergolong tingkat persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Tingginya tingkat persepsi masyarakat tersebut menjadi potensi keberhasilan program pengembangan dan pengelolaan hutan kota di Bekasi.

(9)

meskipun masyarakat kota Cilegon memiliki persepsi yang masih tergolong sedang terhadap hutan kota, namun mereka mendukung penyelenggaraan pembangunan hutan kota.

2.2 Partisipasi

2.2.1 Pengertian partisipasi

Menurut Suharto dan Iryanto (1989) diacu dalam Rahmawaty et al. (2006) pengertian partisipasi adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Dengan demikian dapat dikatakan partisipasi tersebut sama dengan peranserta. Menurut PP No.69 Tahun 1996 Tentang Penataan Ruang peranserta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Canter (1977) mendefinisikan peranserta masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggungjawab.

2.2.2 Faktor-faktor partisipasi

Menurut pendapat Sastropoetro (1986) diacu dalam Siahaan (2010) ada 5 (lima) unsur penting yang menentukan gagalnya dan berhasilnya partisipasi, yaitu: 1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif atau berhasil

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran

3. Kesadaran yang didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan

4. Enthousiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain 5. Adanya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan bersama

Selain itu Sastropoetro (1986) menjelaskan bahwa ada 5 (lima) hal yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat, yaitu :

1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, pendidikan, sosial dan rasa percaya pada diri sendiri.

2. Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama

(10)

yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya terjadi di beberapa negara

4. Kesediannya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan

5. Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan

2.2.3 Tingkat-tingkat partisipasi

Arstein (1969) menggambarkan delapan tingkatan partisipasi yang setiap tingkatannya menggambarkan peningkatan pengaruh masyarakat dalam menentukan produk akhir pembangunan. Delapan tingkatan tersebut dari yang terendah hingga tertinggi adalah manipulasi, terapi, informasi, konsultasi, penentraman, kemitraan, pelimpahan kekuasaan dan kontrol masyarakat. Tabel 1 menggambarkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat yang dapat dikelompokkan dalam tiga level yaitu tidak ada partisipasi, partisipasi semu dan partisipasi aktif.

Tabel 1 Tangga partisipasi Arnstein

Tingkatan terendah adalah manipulasi dan terapi yang dideskripsikan sebagai tidak adanya partisipasi. Pada tingkatan ini tidak ada partisipasi dari masyarakat dalam merencanakan maupun melaksanakan program. Pemegang kekuasaan mendikte masyarakat, tidak ada dialog diantara mereka.

Tingkatan tiga, empat dan lima merupakan peningkatan pada level partisipasi semu yang memungkinkan masyarakat yang semula tidak didengarkan menjadi didengarkan dan memiliki suara. Ada tindakan dari masyarakat untuk mulai terlibat dalam partisipasi. Namun pada tingkatan ini, tidak ada jaminan bahwa suara mereka akan didengarkan oleh pemegang kekuasaan.

8 Kontrol masyarakat

Partisipasi aktif 7 Pelimpahan kekuasaan

6 Kemitraan

5 Penentraman

Partisipasi semu 4 Konsultasi

3 Informasi

2 Terapi Tidak ada partisipasi

(11)

Pada tingkatan partisipasi aktif, masyarakat dapat bermitra dengan pemegang kekuasaan yang memungkinkan mereka bernegoisasi. Jika tingkat partisipasi diperdalam hingga level tertinggi yaitu kontrol masyarakat, masyarakat memiliki kekuasaan penuh untuk membuat keputusan. Tingkatan partisipasi masyarakat dapat diidentifikasikan dengan mengkaji darimana asal partisipasi apakah dari pemerintah, masyarakat ataukah bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat.

Huda (2008) menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pada tahapan perencanaan, pelaksanaan awal, adopsi program/persetujuan, implementasi/pelaksanaan serta tahapan pemantauan dan evaluasi. Secara tipologi, Pretty (1995) mengklasifikasikan partisipasi atas tujuh karakteristik (Tabel 2).

Tabel 2 Tipologi dan karakteristik partisipasi

Tipologi Karakteristik

Partisipasi pasif Masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang terjadi di lingkungan mereka

Partisipasi informasi Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan ekstraktif yang diajukan pihak luar (misalnya peneliti dengan menggunakan kuesioner), di mana hasil temuan tidak dimiliki,dipengaruhi, dan diperiksa akurasinya oleh masyarakat

Partisipasi konsultasi Masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi dengan pihak luar, di mana pihak luar tersebut mengidentifikasi masalah dan sekaligus mencarikan solusinya serta memodifikasi penemuan berdasarkan respons masyarakat

Partisipasi intensif material

Masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya, misalnya tenaga kerja dan lahan untuk ditukar dengan insentif material, namun partisipasi masyarakat terhenti seiring berakhirnya imbalan insentif tersebut

Partisipasi fungsional Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok dan melibatkan pihak luar dalam rangka menentukan tujuan awal program/kegiatan , di mana pada umumnya pihak luar terlibat setelah keputusan rencana utama dibuat

Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam melakukan analisis kolektif dalam perumusan kegiatan aksi melalui metode interdisiplin dan proses pembelajaran terstruktur, di mana masyarakat mengawasi keputusan lokal dan berkepentingan dalam menjaga serta sekaligus memperbaiki struktur dan kegiatan yang dilakukan

Partisipasi mobilisasi swadaya

Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif dan tidak terikat dalam menentukan masa depan, di mana pihak luar hanya diminta bantuan dan nasihat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya

(12)

2.3 Peran Para Pihak

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pengelolaan RTH. Peran masyarakat, swasta dan badan hukum dalam penyediaan RTH publik meliputi penyediaan lahan, pembangunan dan pemeliharaan RTH. Peran dalam penyediaan RTH ini dapat berupa:

a. Pengalihan hak kepemilikan lahan dari lahan privat menjadi RTH publik (hibah)

b. Menyerahkan penggunaan lahan privat untuk digunakan sebagai RTH publik c. Membiayai pembangunan RTH publik

d. Membiayai pemeliharaan RTH publik e. Mengawasi pemanfaatan RTH publik

f. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH publik dalam peningkatan kualitas dan keamanan lingkungan, sarana interaksi sosial serta mitigasi bencana.

Peran masyarakat pada RTH privat meliputi:

a. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH dalam peningkatan kualitas lingkungan

(13)

c. Mengisi seoptimal mungkin lahan pekarangan dan lahan kosong lainnya dengan berbagai jenis tanaman, baik ditanam langsung maupun ditanam dalam pot

d. Turut serta secara aktif dalam komunitas masyarakat pecinta RTH.

Organisasi non pemerintah atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta akses masyarakat ke sumber daya. Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain:

a. Membentuk sistem mediasi dan fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau

b. Menyelenggarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat

c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi d. Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk

memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat dan/atau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau, maupun dengan proses diskusi dan seminar

e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta untuk aktif melakukan mediasi

(14)

Dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif dengan peran sebagai berikut (White et al. 1994):

a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif.

b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bias mengakomodasi aspirasi masyarakat.

c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.

d. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok masyarakat yang berhasil.

e. Menegakkan hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal, maka pemerintah perlu mendelegasikan kepada kelompok masyarakat. Tetapi pemerintah harus siap memberikan bantuan dalam penegakan hukum, jika masyarakat membutuhkannya. Hal ini berarti bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan partisipatif oleh masyarakat.

f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan.

g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat. 2.4 Strategi

2.4.1 Strategi meningkatkan partisipasi

Beberapa penelitian mengenai peningkatkan partisipasi masyarakat telah dilakukan. Kristianto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan menyebutkan bahwa strategi peningkatan partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut :

(15)

2. Pemerintah harus memberikan dana-dana stimulus pembangunan yang berkelanjutan,

3. Pemerintah perlu secara terbuka dan akuntabel memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga infrastruktur yang dibangun merupakan keperluan masyarakat secara mayoritas,

4. Pemberian pendidikan nonformal kepada masyarakat sebagai upaya penguatan modal sosial dengan meningkatkan pelibatan masyarakat dalam kegiatan, berangsur mengurangi peran fasilitator dalam ikut mengambil keputusan, serta meningkatkan intensitas kegiatan kepada masyarakat,

5. Memperkuat keberadaan jaringan sosial yang berupa organisiasi-organisasi kemasyarakatan.

2.4.2 Strategi pembangunan hutan kota

Fakultas Kehutanan IPB (1987) menyatakan bahwa strategi yang harus dilakukan dalam pengembangan hutan kota meliputi beberapa aspek, yaitu:

1. Peraturan Perundangan, terdiri dari:

a. Peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa setiap daerah perkotaan mempunyai Rencana Umum Tata Ruang

b. Peraturan Daerah yang mewajibkan kepada setiap Pengusaha untuk mengalokasikan lahan Ruang Terbuka Hijau

c. Peraturan Daerah yang mewajibkan warga perkotaan untuk menanam, memelihara pohon/vegetasi berkayu pada lokasi-lokasi tertentu, serta harus melaporkan dan meminta ijin apabila akan menebangnya.

d. Peraturan Daerah yang mengatur tentang tata cara mendirikan bangunan, membuat sumur dan membuang air limbah

2. Organisasi

(16)

3. Pendanaan

Perumusan sistem pendanaan dengan sumber-sumber yang jelas, yang dapat digali dari masyarakat dan anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah untuk pembangunan hutan kota.

4. Peningkatan Partisipasi Masyarakat

Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat harus dilakukan progran penyuluhan terpadu meliputi:

a. Memasukkan masalah lingkungan termasuk lingkungan perkotaan dan hutan kota ke dalam bagian kurikulum pendidikan

b. Membuat leaflet dan poster tentang pentingnya hutan kota, agar dimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas

c. Melaksanakan penyuluhan melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat tentang masalah lingkungan perkotaan dan hutan kota.

5. Penelitian

Pelaksanaaan penelitian meliputi:

a. Pemilihan jenis dan pengadaan bibit untuk masing-masing bentuk dan tipe hutan kota

b. Teknik pembuatan dan pemeliharaan tanaman c. Sistem manajemen hutan kota.

2.5 Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Hutan Kota

(17)

Pembentukan organisasi yang menangani hutan kota meliputi perencanaan dan pengendalian di bawah koordinasi Bappeda Tk.II serta pelaksana dibawah tanggung jawab Walikota/Bupati dengan tim pembina di bawah koordinasi Bappeda Tk.I (Fakultas Kehutanan IPB 1987). Secara umum organisasi pengelolaan dan pengembangan hutan kota dapat didekati dengan Gambar 2.

Gambar 2 Organisasi pengelolaan dan pengembangan hutan kota (Dahlan 2004). Sedikitnya ada lima instansi yang merupakan pihak yang berperan dalam penyelenggaraan hutan kota di Kota Bogor yaitu (Abdurahman 2005):

1. Bappeda Kota Bogor yang berperan dalam perencanaan alokasi ruang,

2. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI sebagai pengelola Kebun Raya Bogor,

3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam sebagai pengelola Hutan Penelitian Darmaga dan Arboretum Gunung Batu,

Penanggung Jawab

Kepala Wilayah (Walikota/Bupati)

Pelaksana

 Dinas Kehutanan Dinas Pertamanan  Dinas Tata Kota Dinas Perkebunan  Dinas Pertanian Perusahaan Negara  Dinas Kebersihan Swasta

 Dinas Perkebunan Kampus/Sekolah  Perorangan, dll

Perencana

(18)

4. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor sebagai pengelola jalur hijau, taman kota, kuburan dan Taman Makam Pahlawan,

5. Badan Penelitian In Vitro (Balittro) sebagai pengelola Kebun Percobaan Cimanggu.

(19)

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2009)

Gambar 3 Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. Kepala dinas

Sekretariat

Sub bagian umum dan kepegawaian

Sub bagian keuangan

Sub bagian

perencanaan dan pelaporan Kelompok jabatan fungsional Bidang kebersihan Seksi Penyapuan Seksi Pengangkutan Bidang penerangan jalan umum dan dekorasi kota

Seksi pembangunan PJU

dan dekorasi kota

Seksi pemeliharaan PJU dan dekorasi kota Bidang pertamanan Seksi pembangunan dan penataan taman

Seksi pemeliharaan taman

Bidang pembinaan pengelolaan sampah

Seksi pengembangan teknologi

penanggulangan sampah

Seksi pengembangan kemitraan

UPTD Pemakaman UPTD Pengolahan

air limbah

(20)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Letak dan Luas

Wilayah Kecamatan Bogor Tengah mempunyai luas wilayah sebesar 8,13 km2, terdiri dari sebelas Kelurahan, 98 RW dan 431 RT. Rincian wilayah Kecamatan Bogor Tengah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Wilayah Kecamatan Bogor Tengah

No Kelurahan Luas (km2) RW RT

1 Gudang 0,32 12 52

2 Paledang 1,78 13 58

3 Pabaton 0,63 5 17

4 Cibogor 0,44 6 28

5 Babakan 1,22 7 31

6 Sempur 0,63 7 32

7 Tegallega 1,23 9 52

8 Babakan Pasar 0,46 10 39

9 Panaragan 0,27 7 34

10 Kebon Kalapa 0,74 12 43

11 Ciwaringin 0,46 10 45

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2009)

Wilayah Kecamatan Bogor Tengah sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kedung Jaya dan Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal, sebelah Timur berbatasan dengan Jl. TOL Jagorawi dan Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur dan Kelurahan Sukasari, sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cisadane dan Kelurahan Menteng Kecamatan Bogor Barat serta sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Bondongan dan Kelurahan Empang Kecamatan Bogor Selatan.

3.2 Keadaan Fisik Wilayah

(21)

hujan rata-rata tahunan di Kecamatan Bogor Tengah berkisar antara 4.000 sampai 4.500 mm/tahun.

Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi antara datar dan berbukit (antara 0 ─ 200 mdpl sampai dengan >300 mdpl). Wilayah Kecamatan Bogor Tengah berada pada ketinggian >200 mdpl dengan rincian 317,33 ha berada pada ketinggian 201-250 mdpl, 491,27 ha berada pada ketinggian 251-300 mdpl dan 4,40 pada ketinggian diatas 300 mdpl.

Kemiringan lereng di Kota Bogor berkisar 0 ─ 2% sampai dengan > 40%. Sebagian besar wilayah Kecamatan Bogor Tengah berada dalam kemiringan lereng yang landai. Kemiringan lereng wilayah Bogor Tengah adalah 0 ─ 2% (datar) seluas 125,44 ha, 2 ─ 15% (landai) seluas 560,47 ha, 15 ─ 25% (agak curam) seluas 0 ha, 25 ─ 40% (curam) seluas 117,54 ha, dan > 40% (sangat curam) seluas 9,55 ha.

Secara umum, Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan, yang tentunya baik untuk vegetasi. Untuk wilayah Kecamatan Bogor Tengah ditutupi oleh lapisan kipas aluvial, endapan, tufa, lanau breksi tufan dan capili.

3.3 Kependudukan

Berdasarkan hasil pemetaan kependudukan, jumlah penduduk Kecamatan Bogor Tengah Tahun 2009 adalah 112.425 Jiwa dengan perincian Kelurahan Gudang 7.714 jiwa, Kelurahan Paledang 13.888 jiwa, Kelurahan Pabaton 3.153 jiwa, Kelurahan Cibogor 7.861 jiwa, Kelurahan Babakan 11.274 jiwa, Kelurahan Sempur 9.354 jiwa, Kelurahan Tegallega 19.409 jiwa, Kelurahan Babakan Pasar 10.168 jiwa, Kelurahan Panaragan 7.514 jiwa, Kelurahan Ciwaringin 10.759 jiwa dan Kelurahan Kebon Kalapa 11.331 jiwa. Kepadatan penduduk per Km2 yaitu 13.828 jiwa.

(22)

perekonomian dan pariwisata serta terdapatnya sarana dan prasarana yang mendukung sehingga banyak masyarakat bermukim di wilayah ini.

3.4 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang dominan di Kecamatan Bogor tengah adalah perumahan. Meskipun kecamatan ini sudah bersifat kota namun masih terdapat penggunaan lahan yang bersifat tegalan dan persawahan. Penggunaan lahan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan luasnya. Seiring dengan perkembangan kota yang cukup pesat, penggunaan lahan untuk perdagangan dan jasa serta perkantoran akan mengalami kenaikan yang cukup pesat, begitu pula dengan penggunaan lahan untuk perumahan. Tata guna lahan Kecamatan Bogor Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tata guna lahan Kecamatan Bogor Tengah tahun 2007

Jenis Luas (Ha) Persentase (%)

Kawasan terbangun

Pemukiman 405,6 51,92

Perumahan/komplek 41,47 5,31

Komplek Militer 9,65 1,24

Perdagangan dan jasa 40,93 5,24

Terminal 2,37 0,3

Lapangan olahraga 5,4 0,69

Taman 48,99 6,27

TPU 1,61 0,21

Kawasan non terbangun

Hutan kota 72,12 9,23

Ruang Terbuka Hijau 34,89 4,47

Kebun 21,4 2,74

Tanah kosong 68,85 8,81

Semak 8,8 1,13

Situ 1,43 0,18

Kolam 0,02 0

Sungai 17,68 2,26

Jumlah 781,39 100

Sumber: Bappeda Kota Bogor (2007)

(23)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada daerah dengan kepadatan penduduk paling tinggi di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Tengah dengan lokasi sampel yaitu sekitar Taman Kencana, Lapangan Sempur dan sekitar Taman Peranginan. Waktu studi mengenai strategi meningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota di Kota Bogor dilaksanakan selama dua bulan, September sampai bulan November 2011. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4.2 Alat dan Obyek

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Kuisioner, sebagai alat bantu untuk pengambilan data primer b. Kamera, sebagai alat untuk mendokumentasikan penelitian

(24)

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah responden pada daerah sampel yang terpilih dengan teknik sampling yang digunakan.

4.3 Metode Penelitian

4.3.1 Jenis dan metode pengambilan data

Data yang diambil terbagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil melalui wawancara langsung dengan responden sedangkan data sekunder mengenai kondisi wilayah dan kependudukan diperoleh dari Kantor Kecamatan dan data mengenai ruang terbuka hijau dan rencana strategis taman kota diperoleh dari Dinas Pertamanan Kota Bogor. Jenis dan metode pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis data yang dikumpulkan

No Jenis Data Sumber Metode

1 Primer

a. Persepsi Responden Wawancara

b. Partisipasi Responden Wawancara

1 c. Karakteristik responden

- Jenis kelamin

- Umur

- Pendidikan

- Pekerjaan

Responden Wawancara

2 Sekunder

a. Kondisi wilayah Monografi kecamatan

b. Kependudukan

c. Rencana strategis taman kota Dinas Pertamanan Kota Bogor

d. Data ruang terbuka hijau Kota

Bogor

(25)

tingkat ekonomi tinggi. Penggolongan tingkat ekonomi didasarkan pada daya listrik yang dimiliki setiap rumah. Rumah dengan daya listrik < 900 Watt dikategorikan kelas rendah, daya listrik 900 – 2200 Watt dikategorikan kelas sedang dan daya listrik >2200 Watt dikategorikan sebagai kelas tinggi.

Responden yang diambil sebanyak 90 orang dengan jumlah masing-masing responden 30 orang tiap kelas. Hal ini didasarkan pada Singarimbun dan Effendi (1989) yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisa data dengan statistik, jumlah sampel terkecil adalah sebanyak 30 orang.

Pengambilan data untuk persepsi dan peran pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi dilakukan dengan metode wawancara dengan pihak yang terkait. Data untuk persepsi dan pemerintah diambil dari Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Bogor dengan melakukan wawancara terhadap Kepala Bidang Pertamanan dan Kepala Seksi Pembangunan dan Penataan Taman. Data untuk lembaga swadaya masyarakat diambil dari seluruh lembaga yang bergerak di bidang lingkungan. Data untuk perguruan tinggi diambil dari perguruan tinggi dengan jurusan dalam bidang lingkungan dengan melakukan wawancara dengan tenaga pengajar.

4.3.2 Metode analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan uji non parametrik. Penyajian secara deskriptif dilakukan untuk menjelaskan gambaran dari setiap bentuk hubungan pertanyaan dengan jawaban responden.

Untuk mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi responden dalam pembangunan hutan kota, tanggapan yang diberikan diberikan nilai (score). Penentuan nilai untuk setiap tanggapan dilakukan dengan menggunakan Skala Linkert. Nilai tanggapan berkisar dari satu sampai tujuh dengan kategori Sangat Buruk (nilai 1), Buruk (nilai 2), Agak Buruk (nilai 3), Sedang (nilai 4), Agak Baik (nilai 5), Baik (nilai 6) dan Sangat Baik (nilai 7).

(26)

Keterangan :

x2 : Nilai Chi-Kuadrat A : Nilai amatan H : Nilai harapan

Hipotesis yang dipakai untuk menguji hubungan antar variabel dengan tingkat persepsi responden yaitu :

a. H0 = Tidak terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi

responden

b. H1 = Terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi responden

Kemudian nilai dibandingkan dengan pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan derajat bebas tertentu. Kriteria keputusan untuk uji nyata ini adalah sebagai berikut:

a. Apabila nilai maka terima H1, yang berarti terdapat hubungan

antara variabel dengan tingkat persepsi responden

b. Apabila nilai maka terima H0, yang berarti tidak terdapat

(27)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Hutan Kota

5.1.1 Persepsi masyarakat

Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya (Kartini 1984). Persepsi masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan program pengelolaan hutan kota. Jika tidak ada faktor lain yang berpengaruh, persepsi yang rendah atau negatif akan menghambat jalannya pelaksanaan pengelolaan, sedangkan persepsi yang tinggi atau positif merupakan dukungan dalam menciptakan dan memelihara hutan kota yang sudah ada.

Hasil perhitungan dari sembilan puluh responden menunjukkan bahwa rata-rata nilai persepsi masyarakat Kota Bogor khususnya Kecamatan Bogor Tengah terhadap hutan kota tergolong dalam tingkat persepsi yang cenderung baik dengan nilai rata-rata responden untuk tingkat persepsi yaitu 5,88 dari skala 7. Komposisi tingkat persepsi masyarakat terhadap hutan kota disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Banyaknya responden berdasarkan tingkat persepsi

Tingkat persepsi Jumlah Persentase (%)

Cenderung sedang 1 1,11

Cenderung agak baik 18 20

Cenderung baik 66 73,33

Baik 3 3,33

Cenderung sangat baik 2 2,22

Total 90 100,00

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Persepsi yang tinggi ini ditunjukkan dengan 73,33% responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik yaitu sebanyak 66 orang dari 90 responden.

(28)

Persepsi masyarakat Kota Bogor pada tingkat ekonomi rendah cenderung sangat baik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan 63,33% dari 30 responden tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 26,67% memiliki tingkat persepsi yang cenderung agak baik, 6,67% yang memiliki tingkat persepsi yang cenderung sangat baik dan 3,33% dengan tingkat persepsi yang cenderung sedang. Hal tersebut juga tidak berbeda pada masyarakat dengan tingkat ekonomi atas, 86,67% dari 30 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 10% cenderung agak baik dan 3,33% baik. Persepsi masyarakat pada tingkat ekonomi menengah, sebagian besar masyarakat hanya memiliki persepsi pada tingkat yang cenderung baik. Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah, 70% dari 30 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 23,33% cenderung agak baik dan 6,67% baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 5).

Gambar 5 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel tingkat ekonomi memiliki nilai X2hitung sebesar 11,515, dimana nilai X2hitung tersebut lebih kecil

daripada nilai X2tabelnya yang sebesar 15,507. Nilai signifikasi pada hasil uji

(29)

berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan persepsi masyarakat.

Persepsi masyarakat Kota Bogor terhadap hutan kota dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar ada pada tingkat persepsi yang cenderung sangat baik. Untuk responden dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), 50% dari 10 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 40% cenderung agak baik dan 10% cenderung sedang. Responden dengan pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP), 70% dari 10 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 20% cenderung agak baik dan 10% cenderung sangat baik. Responden dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), 80% dari 45 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 15,56% cenderung agak baik, 2,22% dengan tingkat persepsi yang baik dan 2,22% dengan tingkat persepsi yang cenderung sangat baik. Responden dengan tingkat pendidikan terakhir Perguruan Tinggi, 72% dari 25 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 20% cenderung agak baik dan 8% dengan tingkat persepsi yang baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 6).

Gambar 6 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel tingkat pendidikan memiliki nilai X2hitung sebesar 17,447, dimana nilai X2hitung tersebut lebih kecil

(30)

Chi-Square untuk variabel tingkat pendidikan memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95%, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H0 yang

berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat.

Persepsi masyarakat Kota Bogor terhadap hutan kota dilihat dari jenis kelamin berada pada tingkat persepsi yang sama yaitu cenderung sangat baik. Responden dengan jenis kelamin laki-laki, 68,75% dari 32 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 21,88% cenderung agak baik, 6,25% baik dan 3,13% cenderung sangat baik. Responden dengan jenis kelamin perempuan, 75,86% dari 58 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 18,97% cenderung agak baik, 1,72% cenderung sangat baik, 1,72% baik dan 1,72% dengan persepsi yang cenderung sedang. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 7).

Gambar 7 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan jenis kelamin.

Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel jenis kelamin memiliki nilai X2hitung sebesar 2,231, dimana nilai X2hitung tersebut lebih kecil daripada nilai

X2tabelnya yang sebesar 9,488. Nilai signifikasi pada hasil uji Chi-Square untuk

variabel jenis kelamin memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95%, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H0 yang berarti

(31)

sampai 55 tahun. Kelas umur tidak produktif yaitu umur lebih dari 55 tahun. Persepsi masyarakat Kota Bogor terhadap hutan kota dilihat dari segi kelas umur berada pada tingkat persepsi yang cenderung sangat baik. Responden dengan kelas umur produktif, 74,60% dari 63 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 17,46% cenderung agak baik, 3,17% baik, 3,17% cenderung sangat baik dan 1,59% cenderung sedang. Responden dengan kelas umur tidak produktif, 70,37% dari 27 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 25,93% cenderung agak baik dan 3,70% dengan tingkat persepsi yang baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan kelas umur dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 8).

Gambar 8 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan kelas umur.

Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel kelas umur memiliki nilai X2hitung sebesar 2,025, dimana nilai X2hitung tersebut lebih kecil daripada nilai

X2tabelnya yang sebesar 9,488. Nilai signifikasi pada hasil uji Chi-Square untuk

variabel kelas umur memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95%, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H0 yang berarti bahwa tidak

terdapat hubungan antara kelas umur dengan persepsi masyarakat.

(32)

pendidikan memiliki hubungan yang cukup erat dengan tingkat persepsi. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh beberapa faktor dimana tidak hanya pendidikan yang berpengaruh terhadap persepsi. Pendidikan termasuk kedalam faktor internal yang mempengaruhi persepsi selain pendapatan, jenis kelamin kecerdasan dan emosi. Namun, ada faktor-faktor eksternal juga yang mempengaruhi persepsi yaitu pengaruh dari kelompok di sekelilingnya dan pengalaman masa lalu (Kayam 1985 diacu dalam Purwanto 1998). Adanya media massa sebagai sumber informasi juga diindikasikan memiliki hubungan dengan tingkat persepsi. Zakih (1997) menyatakan bahwa media massa merupakan sumber yang efektif dalam menyebarkan informasi. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara informasi dengan tingkat persepsi bahwa semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat tingkat persepsi juga semakin tinggi. Adanya media massa baik cetak maupun elektronik masyarakat dapat mendapatkan berbagai informasi dan pengetahuan yang banyak selain dari bangku sekolah. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah (SD) mayoritas adalah penghuni lama Kota Bogor, mereka mengalami metamorphosis Kota Bogor dari yang dahulunya sangat sejuk dan rimbun hingga menjadi kota dengan hunian yang padat. Mereka benar-benar merasakan manfaat adanya vegetasi (pepohonan) bagi lingkungan mereka sehingga mereka memiliki persepsi yang positif terhadap hutan kota. Kedekatan tempat tinggal masyarakat dengan hutan kota juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap hutan kota. Kedekatan tempat tinggal dengan hutan kota memberikan manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap hutan kota.

5.1.2 Partisipasi dan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kota

(33)

Bentuk partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan kota di Kota Bogor khususnya Kecamatan Bogor Tengah yang dikemukakan oleh seluruh responden penelitian adalah sama, yaitu pada umumnya masyarakat belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengelolaan hutan kota di Kota Bogor. Hal ini sangat bertentangan dengan persepsi dan sikap masyarakat yang positif terhadap kawasan hutan kota. Masyarakat mengetahui arti pentingnya hutan kota yang ada bagi kehidupan mereka dan perlunya kegiatan pelestarian terhadap kawasan, tapi masyarakat belum pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tidak adanya partisipasi terhadap pengelolaan hutan kota ini terjadi dikarenakan dari pemerintah sendiri memang belum pernah mengadakan kegatan-kegiatan yang menuntut keterlibatan masyarakat baik berupa penyuluhan maupun upaya-upaya pengelolaan lainnya. Berdasarkan karakteristik partisipasi Pretty (1995), partisipasi masyarakat ini digolongkan kedalam partisipasi pasif. Masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang terjadi di lingkungan mereka.

Masyarakat memang belum berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan, namun mereka merasa bertanggungjawab menjaga areal yang ada itu dengan tidak melakukan partisipasi yang negatif seperti mencoret-coret dan menebang pohon di wilayah hutan kota dan melakukan perburuan satwa. Bahkan mayoritas dari masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan dengan melakukan penanaman di sekitar rumah atau halaman mereka. Beberapa responden dengan tingkat ekonomi atas bersedia berpartisipasi dalam upaya pembiayaan pengelolaan hutan kota, hanya saja tidak adanya pengelolaan dari pemerintahnya sendiri untuk hal tersebut.

(34)

dengan pernyataan Surata (2003) persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Masyarakat dapat bertindak sebagai pelaku utama, penerima manfaat dan sekaligus sebagai pengawas kegiatan dalam program pengelolaan hutan kota. Masyarakat merupakan penerima langsung manfaat dari adanya hutan kota karena faktor keberadaan mereka yang dekat dengan kawasan hutan kota. Sebagai pengawas, masyarakat dapat mengawasi/kontrol berbagai kegiatan di kawasan hutan kota kapan saja tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka. Dengan peran masyarakat sebagai pengawas, maka permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan hutan kota dapat dideteksi sedini mungkin dan dapat segera dilaporkan ke pemerintah. Sehingga pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama menangani permasalahan yang timbul dengan cepat. Peran masyarakat sebagai pelaku utama memegang peran sentral dalam implementasi program pembangunan dan pengelolaan hutan kota, sehingga pengelolaan tidak lagi terpaku pada pemerintah. Bentuk partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai operasional mengelola hutan kota. Sesuai dengan pernyataan Huda (2008) yang menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pada tahapan perencanaan, pelaksanaan awal, adopsi program/persetujuan, implementasi/pelaksanaan serta tahapan pemantauan dan evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut dalam mengelola merupakan suatu aset sumber daya manusia yang harus dimanfaatkan secara maksimal guna memelihara hutan kota yang ada.

(35)
[image:35.595.98.520.113.785.2]

Tabel 7 Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan kota

Tahapan Partisipasi peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kota Perencanaan Partisipasi dalam pengumpulan data dasar dan pelatihan pengumpulan data

Menghadiri pertemuan dalam identifikasi dan analisis isu.

Pemberi masukan terhadap permasalahan serta penentuan prioritas isu Berpartisipasi dalam penyusunan draft perencanaan

Pelaksanaan awal Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup Berpartisipasi dalam pelatihan pengelolaan

Berpartisipasi dalam pembuatan konsep rencana pengelolaan

Pengambil keputusan dan pelaksanaan dalam kegiatan pelaksanaan awal Berpartisipasi dalam penentuan kelompok inti/kelompok perencanaan

Pengambil keputusan dan pemberi masukan dalam rencana pengelolaan hutan kota

Adopsi program/ Berpartisipasi dalam menentukan isu prioritas, tujuan pengelolaan, dan kegiatan yang akan dilakukan, serta waktu pelaksanaan.

persetujuan

Berpartisipasi dalam persetujuan rencana pengelolaan, dan pendanaan Memberi dukungan terhadap pendanaan dan bantuan teknis

Mencari dukungan dana dan bantuan teknis melalui swadaya masyarakat, pengusaha, lembaga donor lain, LSM, perguruan tinggi, selain dukungan dana dari pemerintah.

Bersama-sama dengan pemerintah menyetujui rencana pengelolaan, strategi, dan pendanaannya.

Berpartisipasi dalam peluncuran dokumen rencana pengelolaan Implementasi/ Berpartisipasi dalam rapat untuk menentukan rencana tahunan

pelaksanaan Berpartisipasi dalam rapat untuk menentukan anggota kelompok pengelola Pengambil keputusan bagi prioritas kegiatan dalam rencana tahunan Penyusunan rencana kerja/kegiatan

Pemberi kontribusi tenaga dan dana Berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan

Berpartisipasi dalam pembuatan laporan dan pertanggungjawaban keuangan dan program

Berpartisipasi dalam presentasi laporan dalam rapat umum Pemantauan dan Berpartisipasi dalam pelatihan pemantauan dan evaluasi

evaluasi Bertindak sebagai pengawas kesepakatan/aturan dan pelaporan pelaksanaan aturan dan rencana

Bertindak sebagai pemantau dan pengevaluasi pelaksanaan rencana kerja tahunan dan dana.

5.2 Persepsi dan Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Kota

(36)

dari berbagai pihak, mengingat bahwa hutan kota merupakan kepentingan bersama dan manfaatnya dirasakan oleh semua pihak.

[image:36.595.97.536.162.769.2]

Persepsi yang baik merupakan dasar dari tindakan partisipasi. Hal ini penting mengingat persepsi para pihak berbeda antara satu dengan lainnya, baik individu maupun kelompok. Feldman (1996) mengemukakan bahwa persepsi tersebut dapat berupa pandangan terhadap kebijakan, program, kegiatan, dan upaya promosi yang dilakukan pihak eksternal terhadap masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengetahuan tentang persepsi para pihak mulai dari di mana mereka, apa yang mereka ketahui, apa yang mereka miliki, hingga apa yang mereka inginkan, merupakan elemen penting untuk memotivasi komitmen mereka dalam kegiatan pengelolaan hutan kota. Persepsi para pihak ini perlu diperhatikan dalam pengintegrasian peran dan tugas para pihak (Iqbal 2007). Pada penelitian ini, pihak-pihak yang dilibatkan dalam pengelolaan hutan kota yaitu pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat. Peran masing-masing pihak dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Skema peran para pihak dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor.

Dinas Pertamanan

Perencana, pelaksana, pemegang kekuasaan dan kebijakan serta pemrakarsa kegiatan

Lembaga Swadaya Masyarakat

Sarana penghubung,

penyadar, alat kontrol dalam proses pembangunan serta mitra pemerintah dalam menjalankan programnya

Perguruan Tinggi

Perencana dan mitra pemerintah

Masyarakat

Membantu desain taman dan tanaman yang ramah sesuai dengan iklim kota Bogor

Pelaku utama,

penerima manfaat dan sekaligus sebagai pengawas kegiatan Merekomendasikan jenis

tanaman untuk hutan kota

Mempublikasikan bahwa kota Bogor sebagai kota yang hijau

(37)

5.2.1 Persepsi dan peran pemerintah

Pemerintah merupakan salah satu pihak yang memiliki peranan penting dalam program pembangunan hutan kota yaitu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengelolaan hutan kota. Pemerintah Kota Bogor dalam kaitannya dengan ruang terbuka hijau memiliki misi untuk mewujudkan kota yang bersih dengan sarana prasarana transportasi yang berkualitas. Peningkatan keindahan dan keasrian kota dilakukan melalui upaya memperluas ruang terbuka hijau, diantaranya dengan cara pemeliharaan taman dan penghijauan kota, penataan taman-taman dan pembuatan sarana pendukung lainnya serta penambahan pohon-pohon pelindung jalan dan bantaran sungai dengan tanaman penghijauan. Untuk mewujudkan misi ini pemerintah memiliki program pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH) yang meliputi:

a. Peningkatan kuantitas dan kualitas taman kota dan taman lingkungan, yang meliputi kegiatan Perencanaan RTH, Pembangunan RTH, Pemeliharaan RTH, Penataan RTH, Penyediaan dan pemutakhiran data RTH dan Pengujian pohon peneduh rawan tumbang

b. Tertatanya lokasi eks PKL, dengan indikasi kegiatan penataan jalur hijau eks PKL

(38)
[image:38.595.81.533.85.697.2]

Tabel 8 Daftar kegiatan Dinas Pertamanan Kota Bogor tahun 2011

No. Kegiatan Pekerjaan

1 Renovasi taman lingkungan Renovasi bangku taman, bloombak taman, dan penggantian lantsai keramik dengan batu alam di Taman Kencana Pengadaan tanaman dan media tanam dalam rangka renovasi Taman Kencana

2 Renovasi taman dan jalur hijau di 25 taman kota/ jalur hijau di Kota Bogor

Revitalisasi areal taman bermain anak di Taman Sudut Lap. Sempur

Renovasi taman sudut pertigaan Jl. Ir. H. Juanda - Jl. Kapten Muslihat

3 Revitalisasi taman kota dan jalur hijau

Penataan Median Jalur Hijau Jalan Pajajaran dari Pertigaan Bangbarung s.d. Pertigaan Jambu Dua

Penataan Median Jalur Hijau Jalan Pajajaran dari Simpang lima Ekalokasari s.d. U-Turn Balebinarum

Pengadaan Tanaman dan Media Tanam dalam Rangka Revitalisasi Median Jalur Hijau U-Turn Jl. Tol Jagorawi

4 Penyulaman drum, pot, dan bloombak tanaman

Pengadaan media tanam, pot tanaman, dan tanaman untuk penyulaman pot dan bloombak tanaman

5 Penanaman pohon penghijauan di jalur hijau jalan, sempadan jalan, dan penghijauan di trotoar jalan

Pengadaan pohon pelindung dan media tanam dalam rangka penanaman pohon penghijauan di jalur hijau

6 Pembangunan taman dan jalur hijau di pulau jalan dan eks U-Turn

Pembangunan Taman pulau Jalan Surya Kencana, Jl. Mawar, Jl. Otto Iskandar Dinata Pertigaan Tugu Kujang dan Jl. Kapten Muslihat depan Toko Pria

7 Pemeliharaan pagar dan ornamen taman

Pengadaan peralatan dan bahan perbaikan pagar dan ornamen taman

Perbaikan pagar jalur hijau Jl.Ir. H. Juanda depan Hotel Salak dan depan Kantor BNI 46 s.d. Kantor KPPN, Jl. Kapten Muslihat depan Kantor PLN, Jl. Pajajaran Sekitar Kebun Raya Bogor, dan pagar taman Peranginan

8 Penataan jalur hijau sekitar kebun raya

Penataan Jalur Hijau Jl. Otto Iskandar Dinata dari Pertigaan Jl. Surya Kencana s.d. Jembatan

Pemasangan Pagar Pelindung Jalur Hijau Jl. Otto Iskandar Dinata dari Pertigaan Jl. Surya Kencana s.d. Jembatan

(39)

rencana program mengajak pihak-pihak lain untuk bekerja sama dalam pengelolaan ruang terbuka hijau Kota Bogor. Kerjasama yang akan dijalin oleh Dinas Pertamanan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kerjasama yang akan dijalin oleh Dinas Pertamanan Kota Bogor

No Pihak Bentuk Kerjasama

1. Perhimpunan Burung Indonesia

Merekomendasikan jenis tanaman yang ramah burung dan mempublikasikan bahwa Kota Bogor sebagai kota hijau yang ramah burung.

2. Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Memberikan tanaman koleksi/langka untuk ditanam di seputar Kebun Raya Bogor

3. Institut Pertanian Bogor (IPB)

Membantu desain taman dan tanaman yang ramah burung sesuai dengan iklim Kota Bogor

4. Pedagang tanaman Penyediaan tanaman

5. PT. Trans Pakuan Menyumbang pot-pot tanaman hias untuk ditempatkan di setiap halte bus Trans Pakuan

6. Pengurus Masjid Raya Bogor

Pembuatan taman di jalur hijau depan Masjid Raya Bogor dan memeliharanya

7. PDAM Menata jalur penyebrangan di median Jalan Pajajaran dengan

menggunakan batu alam, membangun taman pulau jalan dan menempatkan pot-pot tanaman hias depan Ekalokasari serta membuat taman jalur hijau depan masjid PDAM

Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa salah satu tugas pemerintah yaitu mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan kemitraan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Dukungan dari pihak pemerintah sebagai lembaga formal dalam proses menuju kemitraan sangat diperlukan mengingat pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam menentukan kebijakan. Walaupun dalam kemitraan kedudukan aktor pelakunya sejajar, namun dukungan dari pemerintah merupakan dorongan/ motivasi terbentuknya kemitraan.

Berdasarkan hal tersebut Dinas Pertamanan Kota Bogor perlu merubah strategi pengelolaan hutan kota tersebut dengan menerapkan pola pendekatan kemitraan karena masyarakat juga menghendaki adanya pengelolaan hutan kota secara maksimal. Pola dari kemitraan juga melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan rencana tindak kerja, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya.

(40)

kepentingan yang merasakan langsung dampak dari pengelolaan hutan kota. Kelompok instansi pemerintah merupakan pemegang mandat dari undang-undang untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang ada agar dapat bermanfaat secara lestari. Pada dasarnya kedua kelompok tersebut dapat bekerja secara sinergi, karena mempunyai kepentingan yang sama. Tetapi kekurangpahaman dan kurang komunikasi antar keduanya bisa menimbulkan perbedaan peran yang saling bertentangan. Oleh karena itu, perlu diupayakan turun rembug antar berbagai pihak pada saat sosialisasi kegiatan.

Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan kota disini jelas sangat berpengaruh, yakni sebagai perencana dan pelaksana sekaligus pemegang kekuasaan dan kebijakan. Tidak hanya itu, pemerintah juga berperan sebagai pemrakarsa/fasilitator dari keterlibatan berbagai pihak seperti masyarakat, swasta dan lembaga-lembaga lainnya. Iqbal (2007) menyatakan bahwa fungsi peran pemerintah seyogianya lebih bersifat sebagai koordinator dan fasilitator, sehingga implementasi program pembangunan berjalan efisien dan efektif. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peran pemerintah daerah sangat strategis dalam menjembatani para pemangku kepentingan guna memperlancar pembangunan hutan kota.

White et al. (1994) juga menyatakan bahwa dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif dengan peran sebagai berikut:

a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif.

b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat.

c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.

(41)

e. Menegakkan hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal, maka pemerintah perlu mendelegasikan kepada kelompok masyarakat. Tetapi pemerintah harus siap memberikan bantuan dalam penegakan hukum, jika masyarakat membutuhkannya. Hal ini berarti bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan partisipatif oleh masyarakat.

f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan.

g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat. 5.2.2 Persepsi dan peran lembaga swadaya masyarakat

Pengertian lembaga swadaya masyarakat atau lebih dikenal LSM dalam Inmendagri No. 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.

Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam program pengelolaan hutan kota tidak kalah pentingnya yaitu sebagai mitra pemerintah dalam menjalankan programnya. Selain itu, LSM juga berperan untuk menyediakan sistem mediasi untuk memfasilitasi pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi keesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau. Sehingga dalam posisi ini, LSM juga berperan sebagai sarana penghubung, penyadar, sekaligus sebagai alat kontrol dalam proses pembangunan. Kedekatan LSM dengan rakyat bawah memungkinkan melihat persoalan dari sisi yang berimbang, pada tahap lanjut LSM dapat membawanya pada pemerintah beserta alternatif solusi yang memadai.

(42)

bahwa Organisasi non pemerintah atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta akses masyarakat ke sumber daya. Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain:

a. Membentuk sistem mediasi dan fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau

b. Menyelenggarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat

c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi

d. Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat dan/atau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau, maupun dengan proses diskusi dan seminar

e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta untuk aktif melakukan mediasi

f. Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa pengecualian

(43)

Burung Indonesia. Lembaga ini memiliki persepsi yang cenderung sangat baik dengan nilai 6,43 dari skala 7. Program yang dimiliki Burung Indonesia untuk pengelolaan ruang terbuka hijau di kota Bogor yaitu BArU (Birds Around Us). Program ini bertujuan untuk mewujudkan kota Bogor sebagai kota yang ramah burung. Lembaga ini ikut serta dalam program pembangunan yang dimiliki pemerintah dimana program yang mereka miliki bersinergi dengan program pemerintah. Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah dengan visi yang berbeda untuk kepentingan bersama sehingga terjalin keserasian.

5.2.3 Persepsi dan peran perguruan tinggi

Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang turut berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan ruang hutan kota. Perguruan tinggi memberikan pendidikan berupa mata kuliah yang terkait dengan hutan kota, ruang terbuka hijau beserta pengelolaannya. Pendidikan yang diberikan tidak hanya teori-teori saja, melainkan praktek-praktek langsung pada ruang terbuka hijau yang ada. Lulusan-lulusan dari perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menjadi tenaga ahli yang dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan kemajuan bagi ruang terbuka hijau kota Bogor.

Beberapa tenaga pengajar perguruan tinggi merupakan ahli dalam bidang hutan kota dan ruang terbuka hijau. Berbagai penelitian terkait dengan hutan kota dan ruang terbuka hijau telah dilakukan oleh para tenaga pengajar di perguruan tinggi sebagai upaya kontribusi dalam pengelolaan hutan kota. Perguruan tinggi juga dapat memegang peranan dalam pengelolaan hutan kota melalui kerjasama dengan pemerintah. Bentuk kerjasama tersebut dapat berupa rekomendasi-rekomendasi terkait dengan pengelolaan hutan kota dari berbagai penelitian yang dilakukan, perguruan tinggi disini dapat bertindak sebagai perencana. Bersama-sama dengan pemerintah merencanakan pembangunan dan pengelolaan hutan kota yang baik. Bentuk kerjasama juga dapat berupa pengadaan workshop atau penyuluhan kepada masyarakat tentang hutan kota dan manfaatnya, dalam hal ini pihak perguruan tinggi dapat berperan sebagai narasumber.

(44)

memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,23 dan Universitas Pakuan memiliki persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,11. Perguruan tinggi yang turut berpartisipasi secara aktif dalam program pembangunan dan pengelolaan hutan kota di Kota Bogor yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) khususnya Departemen Arsitektur Lanskap. Bentuk partisipasi yang diberikan oleh IPB dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor yaitu memberikan rekomendasi jenis-jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di hutan kota, membantu desain taman bagi taman-taman kota di Kota Bogor dan melakukan berbagai penelitian tentang hutan kota dan ruang terbuka hijau.

5.3 Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak

Partisipasi merupakan kunci utama dalam menjalin rasa saling memahami, keterlibatan dalam implementasi kegiatan kolektif, dan kekuatan dalam membangkitkan pemberdayaan. Pengelolaan hutan kota membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak. Program pembangunan dan pengelolaan hutan kota dilaksanakan secara terpadu antar berbagai pihak agar perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutan kegiatan sesuai dengan sasaran, yakni dalam konteks memperluas jumlah ruang terbuka hijau yang ada.

Pemerintah Kota Bogor perlu merubah strategi pengelolaan hutan kota dengan menerapkan pola pendekatan kemitraan. Pola dari kemitraan harus melibatkan masyarakat baik secara perorangan maupun forum dalam semua proses mulai dari proses penyusunan rencana tindak kerja, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Melalui pola kemitraan diantara masyarakat, pemerintah, LSM serta perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga memunculkan rasa tanggungjawab dan keinginan untuk melestarikan.

(45)

Masyarakat berada dalam tingkat partisipasi paling rendah yaitu manipulasi dan terapi yang dideskripsikan sebagai tidak adanya partisipasi. Diperlukan sebuah strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan hutan kota sehingga partisipasi masyarakat dapat mencapai tingkatan tertinggi pada tangga partisipasi Arnstein yaitu partisipasi aktif dengan level kontrol masyarakat. Pada tingkatan partisipasi aktif, masyarakat dapat be

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran.
Tabel 2  Tipologi dan karakteristik partisipasi
Gambar 2  Organisasi pengelolaan dan pengembangan hutan kota (Dahlan 2004).
Gambar 3  Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor.
+7

Referensi

Dokumen terkait

MEI analisis efektif digunakan untuk penentuan status produktivitas suatu perairan, namun untuk penentuan keperuntukan perairan masih diperlukan analisis labolatorium lebih

Cất giữ các dụng cụ máy không sử dụng ngoài tầm với của trẻ em và không cho bất kỳ người nào không có hiểu biết về dụng cụ máy hoặc các hướng dẫn này vận

Keputusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) menjadi pedoman bagi Wali Nagari dalam rangka menjalankan pemerintahan Nagari dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat dan

• Def.2.6: Suatu fungsif(x) adalah fungsi rapat peluang untuk peubah acak kontinyu X yang didefinisikan ke seluruh himpunan bilangan riil R,

Mengenai hal ini, Alkitab mencatat bahwa “langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada

Sebagai upaya memberi saran/masukan kepada pengambilan kebijak:an, dalam rangka optimalisasi kebijak:an SOP pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sukamara maka

Tabungan Aneka Guna merupakan Produk Bank Aceh Syariah yang penyetoran dan penarikannya hanya dapat dilakukan di kantor Bank Aceh Syariah yang ada

 merupakan petugas yang tetap pada pelayanan rujukan.  Ramah tamah dan tekun.  Bersedia membantu pemakai perpustakan.  Memiliki pengetahuan umum yang luas. 