• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relationship of psychosocial stimulation at home and learning process in school with multiple intelligences of kindergarten students at Pamulang district in South Tangerang city.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Relationship of psychosocial stimulation at home and learning process in school with multiple intelligences of kindergarten students at Pamulang district in South Tangerang city."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

MAJEMUK ANAK TAMAN KANAK-KANAK DI

KECAMATAN PAMULANG

KOTA TANGERANG SELATAN

DIAN NOVITA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul hubungan stimulasi psikososial di rumah dan proses pembelajaran dengan kecerdasan majemuk anak taman kanak-kanak di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian Akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)

RINGKASAN

DIAN NOVITA, Hubungan stimulasi psikososial di rumah dan proses pembelajaran dengan kecerdasan majemuk anak taman kanak-kanak di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan MELLY LATIFAH

Anak prasekolah merupakan kelompok usia yang berada dalam proses perkembangan yang unik, karena perkembangannya bersamaan dengan masa peka (golden age). Masa ini merupakan waktu yang paling tepat untuk memberikan bekal yang kuat kepada anak karena pertumbuhan otak anak sangat cepat sehingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi karakteristik sekolah dan proses pembelajaran anak prasekolah, mengidentifikasi tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah, menganalisis hubungan karakteristik anak, karakteristik keluarga, dan stimulasi psikososial dengan tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah, menganalisis hubungan proses pembelajaran dengan tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di empat sekolah di Kecamatan Pamulang Tangerang Selatan pada bulan April-Mei 2012. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Pamulang kota Tangerang Selatan penarikan contoh dilakukan secara acak (random sampling) sehingga terpilihlah delapan sekolah yang mewakili Kecamatan Pamulang Tangerang Selatan. Dari delapan data tersebut dilakukan penentuan sekolah yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan didasarkan pada beberapa kriteria yaitu (1) sekolah dengan jumlah anak didik lebih dari 100 orang anak setiap tahun; (2) sekolah untuk kalangan menengah atas; (3) proses pembelajaran yang dilakukan menggunakan sistem sentra; (4) memiliki kategori sekolah non agama dan sekolah agama. Selanjutnya, kriteria contoh dalam penelitian ini adalah anak kelas TK B dari sekolah terpilih yang berusia 5 sampai 6 tahun, sehingga contoh yang di dapat sehingga terpilihlah empat sekolah yaitu dua sekolah TK umum dan dua sekolah TK agama dari masing-masing sekolah maka dipilihlah 30 anak, maka jumlah total keseluruhan contoh adalah 120 anak. Jenis data yang digunakan ini adalah data primer dan sekunder. Data primer (karakteristik anak dan keluarga, stimulasi psikososial, proses pembelajaran, kecerdasan majemuk) dikumpulkan dengan alat bantu kuesioner dan pengamatan langsung, sedangkan data sekunder (jumlah anak, profil sekolah, keadaan umum sekolah serta karakteritik sekolah) dikumpulkan melalui data sekolah. Kuesioner stimulasi psikososial dengan menggunakan Home Observation for Measurement of Environmental (HOME)

Inventory yang dikembangkan oleh Caldwell, (1984) dengan α= 0.777 terdiri

dari 55 butir pernyataan. Kuesioner proses pembelajaran terdiri 36 butir pertanyaan sementara, kuesioner kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh

Hastuti (2006) dengan α= 0.793 yang terdiri dari 40 butir pernyataan untuk

(5)

inferensial yang digunakan adalah uji korelasi Spearman dan Pearson, serta uji beda.

Berdasarkan sebaran anak, proporsi anak pada penelitian ini yaitu anak perempuan sebesar (57,5%), oleh anak laki-laki sebesar (42,5%) Pada karakteristik keluarga terlihat bahwa tiga perempat ayah rata-rata usia 38,45 tahun dan separuh dari ibu rata-rata usia 34,45 tahun. Rata-rata pendapatan keluarga per bulan adalah Rp 11.717.500 per bulan. Stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak berada pada kategori tinggi dan sedang yaitu 67,5 persen pada kategori tinggi dan pada kategori sedang yaitu 30.1 persen. Proses pembelajaran baik pada TK umum dan TK agama berada pada kategori tinggi yaitu 100,0 persen. Kecerdasan majemuk pada TK umum dan TK agama berada pada kategori tinggi yaitu 98,0 persen. sisanya memiliki kecerdasan majemuk 2,0 persen terkategori sedang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka terlihat bahwa tidak ada hubungan nyata antara karakteristik anak, baik usia anak maupun urutan kelahiran dengan stimulasi psikososial yang diberikan keluarga. Pada karakteristik keluarga, dalam penelitian ini terlihat ada beberapa variabel yang berhubungan nyata dengan stimulasi psikososial yaitu pendidikan ayah, pendidikan ibu, penghasilan ibu dan penghasilan keluarga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin baik stimulasi psikososial yang diberikan orang tua kepada anak. Disisi lain juga terlihat adanya hubungan positif antara penghasilan keluarga dengan stimulasi psikososial. Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam stimulasi psikososial berdasarkan asal sekolah anak kecuali pada dimensi keteladanan di mana TK agama menunjukkan skor yang lebih baik. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga dengan kecerdasan majemuk anak. Demikian pula stimulasi psikososial secara umum tidak berhubungan dengan kecerdasan majemuk. Namun demikian terdapat dimensi stimulasi psikososial yang berhubungan dengan kecerdasan majemuk yaitu dimensi keteladanan (Modelling) dan variasi stimulus.

(6)

SUMMARY

DIAN NOVITA , Relationship of psychosocial stimulation at home and learning process in school with multiple intelligences of kindergarten students at Pamulang district in South Tangerang city. Supervised by the DWI HASTUTI and MELLY LATIFAH

Preschool children are the age group in a unique development process, because it is the sensitive period or the golden age.

This period is the best time to give a strong provision to the child because

in this period, the child’s brain grows 50 percent of overall brain development

during his or her lifetime. Under this condition, this study was conducted in order to identify the characteristics of schools and preschool learning process, to identify multiple intelligence preschool level, to analyze the relation between

children’s characteristics, family characteristics, and psychosocial stimulation and

the multiple intelligence preschool level, and to analyze the relationship between learning process and level of intelligence of the preschoolers.

This study used cross-sectional design study and conducted in four schools in the District of South Tangerang Pamulang from April-May 2012. The location of the research was in the District of South Tangerang city Pamulang. Eight schools represented South Tangerang District Pamulang were chosen randomly. Selected sample (purposive ) from eight schools refer to several criteria: ( 1 ) the number of school students are more than 100 children each year , (2 ) the schools are for upper middle class, (3 ) the learning process is done using a central system, (4 ) the schools are non- religious kindergarten and religious kindergarten. Other than those, the criteria of the samples in this study are children at kindergarten class B from selected schools aged 5 to 6 years. Based on these criteria, the samples are elected, they are four schools, two non-religious kindergartens and two religious kindergartens with 30 students each.

The type of data used are primary and secondary data. Primary data (characteristics of children and families , psychosocial stimulation, learning process, and multiple intelligences) were collected by questionnaires and observation. Whereas secondary data (number of children, school profiles, public schools and state school characteristic) were collected from the data from the school. Psychosocial stimulation Questionnaire using Home Observation for Measurement of Environmental ( HOME ) Inventory was developed by Caldwell ,

(1984 ) with α = 0.777 consists of 55 statements. The questionnaire on learning

process comprises 36 questions. The questions on multiple intelligence

questionnaire developed by Hastuti (2006 ) with α = 0.793 consists of 40 items,

each statement consists of 5 questions covering gross motor, fine motor, language, mathematical , interpersonal , intrapersonal , musical and visual-spatial.

(7)

average age of 38.45 years and half of the mother are at an average age of 34.45 years. Average family income is Rp 11,717,500 per month. Psychosocial stimulations given by the parents are in high and medium categories, 67,5 % for the high category and 30,1 % for the medium one. This means there is no low category psychosocial stimulation. Learning process both in public kindergarten and religion kindergarten is in high category that is 100.0 percent. Multiple intelligences in public kindergarten and religion kindergarten are at the high category (98.0 percent). The remaining 2.0 percent is in the medium category.

Based on the results of this research, it seems that there is no significant relationship between the characteristics of the student and psychosocial stimulation given by the parents. On family characteristics, there are several variables that significantly correlated with psychosocial stimulation, such as father's education, mother's education, mother's income and family income. The results showed that the higher the parents' education, the better the psychosocial stimulation given to their children. It is also a positive relationship between families income with psychosocial stimulation. There is no significant difference in psychosocial stimulation based on the type of school. Based on Spearman correlation, there is no significant correlation between characteristics of families

and children’s multiple intelligences. It is also shown in general psychosocial

stimulation is not related to the learning process and multiple intelligences. However, there are psychosocial dimensions which are associated with the stimulation of multiple intelligences, they are exemplary dimensions (Modelling) and variations in stimulus.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hal Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

HUBUNGAN STIMULASI PSIKOSOSIAL DI RUMAH DAN

PROSES PEMBELAJARAN DENGAN KECERDASAN

MAJEMUK ANAK TAMAN KANAK-KANAK DI

KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN

DIAN NOVITA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Depertemen Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul : Hubungan Stimulasi Psikososial di Rumah dan Proses Pembelajaran dengan Kecerdasan Majemuk Anak Taman Kanak-Kanak di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan

Nama : DIAN NOVITA NIM : I251090041

Disetujui oleh

Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M. Sc Ir. Melly Latifah, M. Si

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program studi Dekan sekolah Pascasarjana Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M. ScAgr

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tesis ini. Penulisan ini tentunya tidak terlepas dari dorongan dan semangat serta sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:

1. Dr.Ir. Dwi Hastuti, M.Sc dan Ir. Melly Latifah, M. Si. Selaku komisi pembimbing atas bimbingan, waktu, nasehat, kesabaran, kesempatan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Herien Psupitawati, M.Sc, M.Sc atas kesediaan dan waktunya untuk menjadi penguji pada ujian tesis.

3. Pimpinan Universitas Terbuka yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan studi lanjut.

4. Teman-teman di FKIP-UT khususnya sahabat tersayang Della, Mery dan Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini yang telah memberikan semangat dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

5. Kepala Sekolah dan seluruh jajaran guru/staf serta anak-anak TK B (tahun ajaran 2011-2012) serta orang tua murid di TK Ananda, TK Pertiwi, TK Islam Al-hanif, TK Islam Al-Syukqro atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Keluarga tersayang, terutama suami dan anak-anak (shaquille, dan Shane), yang

telah mencurahkan cinta, kasih dan sayang, doa, semangat dan pengorbanan moril dan materiil untuk keberhasilan penulis menyelesaikan studi ini. Emak yang

selalu mendo’a penulis dan (Alm) papa atas cintanya yang menjadi motivasi

penulis untuk selalu semangat. Kakak-kakak tersayang yang selalu siap membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

7. Teman-teman IKA angkatan 2009, Kenty, Ilham, Puji, Mulyati, Wiwik dan Nia yang telah menemani penulis dalam perkuliahan terima kasih atas kebersamaan yang tak terlupakan selam penulis menjalankan studi. Teman-teman IKA angakatan 2010 dan angkatan 2011 yang selalu siap membantu penulis dalam mengejar ketertinggalan

8. Ibu Wahyuni Kadarko yang telah memberikan dukungan yang sangat besar, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas pelajaran kehidupan yang telah diberikan selama menjalani studi ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat

Bogor, 30 Agustus 2013

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

BAB I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

Karakteristik Keluarga 6

Pengertian Keluarga 6

Pendidikan Orang tua 9

Pendapatan Orang tua 10

Usia Orang tua 10

Karakteristik Anak 11

Jenis Kelamin 11

Usia Anak 11

Anak Usia Prasekolah 12

Stimulasi Psikososial 12

Proses Pembelajaran 14

Komponen Perencanaan Pembelajaran 14

Tema/Isi (Materi Pembelajaran) 14

Satuan Kegiatan Harian (SKH) 15

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) 16

Hasil Penilaian /Evaluasi 16

Kesan Umum Kegiatan Pembelajaran 17

Pembelajaran Sistem Sentra 18

Perbedaan TK Umum dan TK Agama 18

Kecerdasan Majemuk 19

Kecerdasan Verbal-Linguistik 20

Kecerdasan Logis-Matematis 21

Kecerdasan Visual-Spasial 22

Kecerdasan Musikal 22

Kecerdasan Kinestetik 23

Kecerdasan Interpersonal 24

Kecerdasan Intrapersonal 25

KERANGKA PEMIKIRAN 26

BAB III METODE PENELITIAN 29

(14)

Jumlah Dan Teknik Pemilihan Contoh 29

Jenis Dan Cara Pengumpulan Dara 30

Pengolahan dan Analisis Data 31

Definisi Operasional 35

BAB IV HASIL PENELITIAN 38

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 38

Keadaan Umum Sekolah 40

Lokasi Sekolah pertama 40

Lokasi Sekolah kedua 40

Lokasi Sekolah ketiga 41

Lokasi Sekolah keempat 41

Karakteristik Sekolah 41

Karakteristik Keluarga 44

Usia Orang Tua 44

Pendidikan Orang Tua 44

Pekerjaan Orang Tua 45

Pendapatan Ayah 46

Pendapatan Ibu 47

Pendapatan Keluarga 47

Karakteristik Anak . 48

Jenis Kelamin dan Usia Anak 48

Urutan Kelahiran 49

Stimulasi Psikososial 49

Proses Pembelajaran 51

Kecerdasan Majemuk 52

Hubungan Keluarga dan Anak dengan Stimulasi Psikososial 53 Hubungan Karakteristik Keluarga dan Anak dengan Kecerdasan

Majemuk

55

Hubungan Stimulasi Psikososial, Proses Pembelajaran, dan

kecerdasan Majemuk 55

Pembahasan Umum 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 60

Kesimpulan 60

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 67

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran 28

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 31

Tabel 2. Hasil Uji Reabilitas 31

Tabel 3. Variabel Penelitian, Skala dan Kategori Data 32 Tabel 4. Cara Pengkategorian Data Stimulasi Psikososial Usia 3-6 Tahun 34 Tabel 5. Keragaman Fasilitas Sekolah Contoh 45 Tabel 6. Keragaan SDM Sekolah Contoh Menurut Jabatan 43 Tabel 7. Kondisi Pembelajaran Berdasarkan Sentra 43 Tabel 8. Sebaran Contoh Menurut umur Orang Tua dan Jenis Sekolah 44 Tabel 9. Sebaran Contoh Menurut Pendidikan Orang Tua dan Jenis

Sekolah 45

Tabel 10. Sebaran Contoh Menurut Pekerjaan Orang Tua dan Jenis Sekolah 46 Tabel 11. Sebaran Contoh Menurut Pendapatan Ayah dan Jenis Sekolah 46 Tabel 12. Sebaran Contoh Menurut pendapatan Ibu dan Jenis Sekolah 47 Tabel 13. Sebaran Contoh Menurut Pendapatan Keluarga dan Jenis Sekolah 47 Tabel 14. Sebaran Contoh Menurut Usia Jenis Kelamin dan Jenis Sekolah 49 Tabel 15. Sebaran Urutan Kelahiran Contoh Menurut Jenis Sekolah 49 Tabel 16. Skor capaian Rataan Stimulasi Psikososial pada Keluarga menurut

Jenis Sekolah 50

Tabel 17. Sebaran Contoh menurut kategori Psikososial dan Jenis Sekolah 50

Tabel 18. Rataan Skor Proses Pembelajaran 51

Tabel 19. Sebaran Skor Proses Pembelajaran menurut Jenis Sekolah 52

Tabel 20. Rataan Skor Kecerdasan Majemuk 53

Tabel 21. Sebaran contoh kecerdasan majemuk dan tipe sekolah 53 Tabel 22. Sebaran Skor Berdasarkan Keluarga, Anak dan Stimulasi

Psikososial 54

Tabel 23. Hubungan Karakteristik Keluarga Anak dan Kecerdasan Majemuk 55 Tabel 24. Koefisien Korelasi Stimulasi Psikososial dan Kecerdasan

Majemuk 56

Tabel 25. Koefisien Korelasi Proses Pembelajaran dan kecerdasan Majemuk 56

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1980 dari ayah Mansyurdin (alm) dan ibu Nurmi. Penulis adalah putri bungsu dari enam bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Swasta Pusaka Nusantara I Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Negeri Jakarta melalui jalur PMDK dan diterima di Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan.

Penulis menyelesaikan kuliah di jenjang strata satu pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama penulis menjadi staf pengajar dan perancang kurikulum di Sanggar Kreativitas BOBO di Galaxy Bekasi Selatan. Pada bulan Januari tahun 2005 penulis diterima sebagai pegawai negeri dan menjadi staf educatif di Universitas Terbuka pada program studi Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak dan program studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini. Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Bambang Sutriyono. Penulis dipercaya mewakili program studi pada unit pengembangan soal dan ujian Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka pada tahun 2007.

(17)

1. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Anak usia dini (AUD) merupakan kelompok usia yang berada dalam proses perkembangan unik karena proses perkembangannya terjadi bersamaan dengan

golden age (masa peka). Aisyah (2010) menyatakan golden age merupakan waktu yang paling tepat untuk memberikan bekal yang kuat kepada anak karena pada masa ini kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi sehingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat di katakan bahwa masa golden age merupakan masa yang sangat penting tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya. Anak pada usia prasekolah berada pada masa keemasan (golden age). Theresia (1983) mengatakan bahwa anak usia prasekolah berada pada proses perkembangan penting yaitu perubahan dari terikat menjadi bebas, dari koordinasi yang kaku menjadi lebih teratur dan terampil, dari bahasa tubuh ke bahasa verbal, dari ketaatan yang kuat terhadap kendali dari luar ke perkembangan kendali dari diri sendiri (inner control) dan dari kepedulian personal ke tumbuhnya kepedulian sosial. Sejalan dengan hal tersebut Myers (1992) mendefinisikan bahwa perkembangan anak merupakan proses perubahan di mana anak belajar pada tingkatan yang lebih komplek dalam berfikir, bergerak, berperasaan dan berhubungan dengan yang lain.

Dalam rangka menggiatkan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai sebuah stimulus yang komprehensif, holistik dan integrative maka lahirlah payung hukum, undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pada pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang di tujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani (Depdiknas, 2003). Hal tersebut meneguhkan terintegrasinya PAUD dalam sistem pendidikan di Indonesia (Rahman, 2012). Beragam pengembangan di tambah perhatian pemerintah pusat maupun daerah serta pelbagai elemen masyarakat melalui gerakan masyarakat secara nasional (Nasional Public Movement) menjadikan pendidikan bagi anak usia 0-6 tahun lebih bergairah, baik bentuk formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal atau sederajat), non formal (kelompok bermain, Taman Penitipan Anak atau sederajat), maupun informal (pendidikan keluarga dan lingkungan). Angka partisipasi kasar PAUD hingga tahun 2011 tercatat 53,6 persen atau mencapai 15,3 juta anak yang terlayani PAUD. Pada Tahun 2012 dari estimasi jumlah anak usia 0-6 tahun sebanyak 30,3 juta ditargetkan sebanyak 19,9 juta (65,7 persen) mengikuti PAUD (Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini, 2011).

(18)

proses peningkatan kualitas SDM anak sebagai penerus bangsa. Rahman (2012) mengatakan stimulus yang di berikan dalam PAUD baik dalam bentuk aneka kegiatan bermain sambil belajar dengan memberikan rangsangan yang baik bagi seseorang anak. Selanjutnya Yuliana (2009) mengatakan bahwa peran dan tanggung jawab orang tua pada proses pembimbingan dan pengasuhan pada anak sangat besar, terutama dalam membantu anak melewati masa penting dalam rentang usia 3-6 tahun. Namun banyak orang tua yang belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang benar tentang perkembangan anak usia dini dan bagaimana memberikan stimulasi psikososial. Namun perlu di ingat bahwa peran orang tua dalam bentuk PAUD informal tetaplah memegang posisi sentral. Karena dari sisi interaksi waktu yang terbangun hubungan anak dengan keluarga mengambil porsi yang paling besar. Oleh karena itu, orang tua harus benar-benar peduli dan mengambil bagian dalam menstimulus kecerdasan anak melalui PAUD.

Pembelajaran yang optimal bagi anak usia prasekolah diperlukan program yang terencana yang menyediakan jumlah pengalaman belajar yang dapat mengembangkan seluruh potensi dan aspek perkembangan secara optimal. Masitoh (2009) mengatakan bahwa kurikulum yang di gunakan di sekolah harus benar-benar memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan tahap perkembangannya, selain itu Bredekamp (2007) juga mengatakan bahwa bukan anak-anak yang harus di sesuaikan dengan program, tetapi program yang harus di sesuaikan dengan anak. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa program yang di kembangkan sekolah yang tertuang dalam kurikulum yang di kembangkan harus di rancang sesuai dengan potensi dan perkembangan anak yang mencakup aspek perkembangan intelektual, fisik motorik, sosial, emosional dan bahasa anak. Dengan kata lain kurikulum TK bersifat dinamis, selalu berubah seiring dengan lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain pendidikan di sekolah, pendidikan keluarga juga memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kecerdasan anak. Agar orang tua dan lembaga pendidikan tidak melakukan kesalahan dalam mendidik anak, maka harus terjalin keselarasan dan kerja sama yang baik di antara kedua belah pihak. Orang tua mendidik anaknya di rumah sedangkan pendidik melakukan tugas mendidik anak di lembaga pendidikan. Agar proses pendidikan yang di lakukan di lembaga sejalan dengan pendidikan di rumah maka perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, keduanya harus berada dalam satu jalur agar dapat seiring, sejalan, seirama dalam memperlakukan anak sehari-hari sesuai dengan kesepakatan bersama.

Salah satu temuan yang sangat bermanfaat adalah setiap individu memiliki tidak hanya satu intelegensi tetapi lebih, yang di sebut dengan multiple intelligence

(19)

berkembang. Padahal mengembangkan potensi kecerdasan anak sejak dini, berarti memberikan anak jalan untuk lebih mudah mencapai puncak sukses di kemudian hari.

PERUMUSAN MASALAH

Usia prasekolah adalah usia yang rentan bagi anak. Pada usia ini anak memiliki sifat imitasi terhadap segala sesuatu yang dilihatnya. Pendidikan yang baik dan benar yang diberikan keluarga, akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosial anak. Hurlock (1978) menyatakan bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman sebaya, karena dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik. Dalam hal ini orang tua merupakan pendidik yang paling utama, sedangkan guru dan teman sebaya merupakan lingkungan kedua bagi anak.

Kenyataannya banyak orang tua terutama ibu sebagai pengasuh utama untuk anak bekerja diluar rumah sehingga pengasuhan yang seharusnya dilakukan oleh ibu diambil alih oleh nenek atau pembantu rumah tangga. Mengingat keterbatasan yang di miliki orang tua dalam memberikan bimbingan kepada anak mereka, maka agar fitrah dan potensi anak semakin berkembang dan terarah diperlukan bimbingan guru sebagai lembaga pendidikan secara formal sehingga anak mendapatkan bimbingan untuk mengekpresikan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, anak juga dapat berinteraksi dengan teman sebaya karena segala sesuatu yang di tanamkan dan di biasakan oleh orang tua sebagai pola asuh di rumah maka akan tercermin ketika anak berinteraksi dengan teman-teman dan lingkungan sosialnya di sekolah. Tugas guru di sini hanya membantu orang tua untuk membimbing dan mengembangkan potensi anak agar lebih terarah. Karena waktu guru bersama anak dan orang tua bersama anak berbanding 25 persen dan 75 persen. Anak lebih kurang hanya punya waktu 25 persen perhari bersama guru di sekolah, sisanya 75 persen lagi anak menghabiskan waktu bersama orang tua di rumah.

Kenyataannya pada saat ini program pendidikan yang berlangsung masih lebih banyak dilaksanakan dengan cara membuat generalisasi terhadap potensi dan kemampuan anak. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman pendidik tentang karakteristik individu, sehingga para pendidik yaitu guru perlu mengetahui dan memahami bagaimana cara berinteraksi. Selain itu, pendidik harus mampu menghayati karakteristik keunikan setiap anak. Hal tersebut diperkuat oleh Kostelnik (1998) yang menyatakan bahwa dengan memahami karakteristik anak akan memberikan kemudahan bagi guru untuk memahami masalah perbedaan khusus di antara anak atau mengenal secara tepat masalah-masalah penting yang dialami anak yang memerlukan penanganan khusus.

(20)

(holistic). Konseksuensinya dalam proses pembelajaran, guru seyogianya memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan aktivitas belajar dan menstimulasi anak untuk mengembangkan salah satu atau beberapa kecerdasan tertentu (kecerdasan majemuk) agar anak lebih cakap dan terampil. Menurut Susanto (2005) kecerdasan majemuk dapat menjembatani proses pengajaran yang membosankan menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan. Selain hal tersebut pembelajaran dengan menerapkan kecerdasan majemuk dapat memberikan pengalaman dalam kehidupan nyata yang mereka alami sendiri dan memiliki kesan yang mendalam, sehingga proses kegiatan belajarnya dapat mengakomodir setiap kebutuhan anak sesuai dengan keunikan masing-masing.

Gardner (2003) mengatakan bahwa masyarakat cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa tetapi kadang lupa memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sehingga, saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan dorongan di sekolahnya sehingga pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat di akomodasi oleh sekolah karena pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.

Beberapa permasalahan yang terjadi sekarang adalah dalam proses pembelajaran dan penggunaan metode pembelajaran pada anak yang kurang optimal di antaranya adalah guru masih menggunakan metode konvensional, yaitu guru menggunakan metode ceramah atau bercakap-cakap sehingga anak lebih banyak diam dan mendengar, guru kurang memberikan kebebasan pada anak untuk menggunakan idenya secara variatif sehingga jawaban yang di hasilkan anak cenderung sama, selain itu guru masih kurang optimal dalam menyediakan alat dan bahan dalam mempersiapkan proses pembelajaran yang membutuhkan media pembelajaran yang inovatif.

Dengan penelitian ini di harapkan akan di peroleh informasi yang lebih komprehensif terutama yang berkaitan dengan stimulasi psikososial orang tua dirumah dan proses pembelajaran yang berhubungan nyata dengan kecerdasan majemuk anak. Lebih lanjut lagi hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk meminimalisir permasalahan mengenai stimulasi psikososial dan proses pembelajaran yang kerap terjadi.

Pemilihan sekolah juga kerap menjadi pertimbangan orang tua dalam memasukkan anak-anak mereka kesekolah. Kebanyakan orangtua memilih untuk memasukkan anak-anak mereka kesekolah yang memiliki pelajaran berdasarkan agama dengan pertimbangan mereka jadi lebih ringan dalam mendidik dan membiasakan anak dalam melakukan ritual keagamaan. Hal ini disebabkan kebanyakan orangtua hanya memiliki waktu sedikit sehingga merasa kurang maksimal dalam memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka.

Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

(21)

2) Bagaimanakah tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah?

3) Bagaimanakah hubungan karakteristik anak, karakteristik keluarga, dan stimulasi psikososial dengan tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah?

4) Bagaimanakah hubungan proses pembelajaran dengan tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah?

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan stimulasi psikososial dan proses pembelajaran terhadap tingkat kecerdasan majemuk anak taman kanak-kanak di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan.

Tujuan Khusus

1) Mengidentifikasi karakteristik sekolah dan proses pembelajaran anak prasekolah 2) Mengidentifikasi tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah

3) Menganalisis hubungan karakteristik anak, karakteristik keluarga, dan stimulasi psikososial dengan tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah

4) Menganalisis hubungan proses pembelajaran dengan tingkat kecerdasan majemuk anak prasekolah

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi orang tua dalam memberikan stimulasi yang tepat kepada anak sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi anak dalam meningkatkan kecerdasannya. Karena setiap anak adalah unik mereka belajar dengan cara mereka sendiri-sendiri. Dengan mengetahui potensi yang dimiliki oleh anak diharapkan orang tua dapat memberikan stimulasi yang tepat sesuai dengan tahap perkembangannya,

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki yaitu guru agar dapat melaksanakan proses kegiatan mengajar sesuai dengan tahap perkembangan anak dan dapat memfasilitasi setiap kecerdasan dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak,

(22)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan keilmuan khususnya dalam ilmu keluarga dan perkembangan anak serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya di masa mendatang. Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan kecerdasan majemuk anak usia prasekolah.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Keluarga

Keluarga

Pengertian Keluarga diartikan sebagai kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga ialah ibu, bapak dan anak-anaknya. Sekelompok manusia ini (ibu, bapak dan anak-anak mereka) disebut keluarga inti (nuclear family) yang mencakup semua orang yang berketurunan daripada kakek-nenek yang sama, termasuk keturunan masing-masing istri dan suami (Widjaya, 1986).

Keluarga adalah satuan unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Keluarga merupakan sub-sistem yang terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan suatu yang kuat. Dadang Hawari menjelaskan keluarga sebagai suatu organisasi bio-pscyho-sosial

(raga, jiwa, sosial) dengan aturan-aturan tertentu yang telah disepakati oleh setiap anggota tersebut terutama oleh ayah sebagai kepala keluarga. Ayah dan ibu sebagai orang-orang terbentuknya sebuah keluarga memiliki tanggung jawab yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan keluarganya. Kedua orang tua harus dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing sebagai pendidik dan pelindung bagi anak-anaknya, sehingga mereka bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Menurut Achir (1991) fungsi keluarga untuk membudidayakan manusia melalui pendidikan, mengembangkan emosional dan sosialisasi anggota keluarga. Selain itu peran keluarga juga harus membentuk anak memiliki ilmu pengetahuan dan beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar dapat diandalkan.

(23)

Pendapat lain juga disampaikan Shochib (1998) yang mengatakan bahwa keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan kepada anak. Keluarga, terutama orang tua, memberikan contoh kepada anak-anaknya dan juga memberikan motivasi agar dapat meraih cita-cita yang diinginkannya serta dapat berguna bagi keluarga mereka pada masa yang akan datang.

Herien (2010) keluarga sangat tergantung dalam lingkungan disekitarnya, begitu pula sebaliknya, keluarga juga mempengaruhi lingkungan disekitarnya. Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam mengerti proses sosialisasi anak-anak.

Gambar 1: Hubungan keluarga dengan lingkungannya ( model ekologi dari Bronfenbrenner, 1989)

Teori Ekologi Bronfenbrenner (1989) menjelaskan bahwa perkembangan kkanak adalah sebagai hasil interaksi antara alam dan lingkungan sekitar anak-anak tersebut. Dalam konteks ini, interaksi antara anak-anak-anak-anak dengan lingkungan disekitar anak dipercaya dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Merujuk kepada konsep di dalam teori ini, kita menyadarinya atau tidak anak-anak yang merupakan individu yang berada dalam ruang lingkup mikro (berpusat di tengah) dapat dipengaruhi oleh faktor disekitarnya.

(24)

perkembangan kanak-kanak yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, kronosistem.

Mikrosistem adalah yang paling dekat dengan pribadi anak yaitu meliputi keluarga, guru, individu, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan dan sebagainya yang sehari-hari ditemui anak. Dalam mikrositem melibatkan lingkungan sekitar yang paling dekat dengan anak dimana anak-anak memiliki interaksi secara langsung dan menghabiskan waktu paling banyak dengan anak. Mesosistem adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks misal hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman, dapat juga hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru. Para developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam setting majemuk untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan individu.

Eksosistem dalam teori Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain dimana individu tidak memiliki peran yang aktif mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Atau sederhananya menurut eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak perjalanan yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orangtua-anak. Maka diketahui bahwa eksosistem tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi masih besar pengaruhnya seperti koran, televisi, dokter, keluarga besar, dll.

Makrosistem meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kita ketahui bahwa kebudayaan mengacu pada pola prilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kita ketahui pula bahwa studi lintas budaya perbandingan antara satu kebudayaan dengan satu atau lebih kebudayaan lain member informasi tentang generalitas perkembangan. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dll. Kronosistem meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dankeadaan sosiohistoris. Misal, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah percaraian atau dengan mempertimbangkan keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan tampaknya sangat didorong untuk meniti karier dibanding pada 20 atau 30 tahun lalu.

(25)

kompleksitas ekosistem dengan beberapa asumsi dasar sebagai berikut : 1) Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan, 2) Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dengan lingkungan, 3) Interaksi manusia dengan lingkungan bersifat dinamis, 4) Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung pada fungsinya.

Pendekatan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang diterapkan. Newman dan Graverlolz (2002) menyatakan bahwa teori struktural fungsional dapat digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat.

Keluarga akan berfungsi dengan baik apabila dapat memenuhi beberapa persyaratan structural hal ini sesuai dengan Levy yang dikutip Megawangi (1999) meliputi: (1) diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi internaslisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam emmenuhi tuntunan norma-norma yang berlaku.

Keluarga yang berfungsi stabil harmoni dan sempurna dari segala segi termasuk dari segi kerjasama, persatuan, hormat menghormati, bersikap possitif senantiasa seimbang, disenangi dan mudah bergaul satu sama lain merupakan keluarga yang fungsional. Sedangkan, keluarga yang tidak fungsional adalah keluarga yang tidak stabil, tidak hormat, kacau, tidak ada kerjasana dan tidak menghormati satu sama lain. Keluarga memiliki peran yang sangat vital dalam mendidik dan mempersiapkan anak-anaknya untuk menyesuaikan diri kedalam kehidupan dunia luar.

Teori struktural fungsional yang menyangkut urusan aturan peran, fungsi dan tanggung jawab para anggota keluarga menempatkan orangtua pada fungsi dan peran sebagai pelindung, pemimpin bagi anak-anaknya. Apabila keluarga mempunyai struktur yang kokoh dan menjalankan semua fungsinya dengan optimal, maka akan menghasilkan outcome yang baik pada seluruh anggota keluarganya.

Pendidikan Orang tua Aspek paling penting dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah pendidikan. Dengan pendidikan seseorang memiliki kemampuan untuk memahami perannya dalam mengelola sumber daya dalam suatu keluarga hal tersebut tergantung dari pengetahuan yang dimiliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka persepsi, pemahaman, dan kepribadian. Hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang dapat menjadi faktor penentu dalam berkomunikasi dalam keluarga. Oleh karena itu, Gunarsa & Gunarsa (1995) menyatakan bahwa secara langsung maupun tidak tingkat pendidikan mempengaruhi baik buruknya hubungan antar anggota keluarga.

(26)

Rahmaulina 2007). Dalam pengasuhan anak, dalam menentukan kualitas pengasuhan anak pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting untuk diperhatikan karena pendidikan akan turut menentukan kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang tinggi pada ibu membuat pola pengasuhan akan bertambah baik, (Amelia 2001). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hastuti, Alfiasari dan Chandriyani (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan stimulasi psikososial.

Pendapatan Orang tua Unsur yang cukup penting untuk mendapatkan kestabilan keluarga adalah faktor sosial ekonomi karena faktor tersebut dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Hastuti (2009) menyatakan kestabilan keluarga diperlukan agar fungsi-fungsi keluarga dapat berjalan dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut Gerungan (1999) dalam Ruhidawati (2005) menyatakan bahwa keadaan ekonomi keluarga memiliki peranan terhadap tingkah laku anak, karena apabila keluarga memiliki keadaan ekonomi yang baik akan memberikan kesempatan yang luas kepada anak untuk mengembangkan berbagai macam kecakapan dan anak tentunya juga akan memperoleh pendidikan yang lebih baik.

Keadaan ekonomi keluarga akan menggambarkan tingkat kesejahteraannya. Sejalan dengan hasil penelitian Rachmawati (2006) menyatakan bahwa keadaan ekonomi keluarga berperan dalam perkembangan anak dan menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Kondisi sosial yang serba kekurangan akan menyebabkan kondisi yang kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dan menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Kondisi sosial yang serba kekurangan akan menyebabkan kondisi yang kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hasil penelitian Watson dan Lidgen (1979) dalam Hernawati (2002) menyatakan bahwa orang tua dari kelas ekonomi menengah lebih menekankan pada komunikasi antara anak dan orang tua, memberi informasi yang jelas dan masuk akal dan bersifat terbuka kepada anak-anaknya.

Usia Orang tua Hastuti (2009) menyatakan faktor stimulasi psikososial dapat ditentukan pada saat orang tua memasuki jenjang pernikahan. Pasangan yang relatif muda akan lebih rentan dalam menghadapi tantangan dan permasalahan kehidupan keluarga. Pada umumnya usia seseorang yang relatif muda belum memiliki kematangan dalam hal pengendalian dan kestabilan emosi, sehingga menyulitkan pada saat menyesuaikan diri dengan pasangan hidupnya.

Karakteristik Anak

(27)

dari 18 Bulan ) memiliki stimulasi psikososial yang lebih baik dibandingkan dengan anak perempuan. Sehingga jenis kelamin akan mempengaruhi orang tua dalam memperlakukan anaknya, misalnya anak laki-laki diberi kebebasan dibandingkan dengan anak perempuan.

Pada masyarakat Jawa kuno, anak laki-laki biasanya memperoleh pendidikan lebih tinggi dibandingkan saudara-saudaranya yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa laki-lakilah yang harus mencari nafkah, sedangkan perempuan setelah menikah akan dibawa oleh suami. Berbeda dengan masa sekarang ini, anak perempuan dapat menempuh pendidikan yang tinggi setara dengan anak laki-laki merupakan suatu yang biasa dan umum meskipun masih ada sedikit keterbelakangan terhadap anak laki-laki (Monks, Knoers, & Haditono 2003).

Ada tiga alasan penting mengapa jenis kelamin individu penting bagi perkembangan anak selama hidupnya Hurlock (1990) menyatakan, Pertama, setiap bulan anak mengalami peningkatan pemahaman perilaku orang tua, teman sebaya, dan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku yang dipandang sesuai dengan jenis kelamin. Kedua, pengalaman belajar ditentukan oleh jenis kelamin individu. Ketiga, adalah sikap orang tua dan anggota keluarga lainnya sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap penerimaan orang tua dan keluarga terhadap anak, yang selanjutnya berpengaruh juga pada perilaku dan hubungan mereka dengan anak.

Usia anak Piaget dalam Ormrod (2003) mengatakan bahwa anak usia prasekolah belum mampu memusatkan perhatian pada dua dimensi yang berbeda secara serempak. Ketika anak mulai mengerti mengenai objek yang ada di lingkungannya, anak akan mulai menggunakan simbol dan kata. Fungsi simbol pada anak usia prasekolah adalah kemampuan anak untuk mewakilkan sesuatu yang tidak ada dan tidak terlihat dengan sesuatu yang lain atau sebaliknya. Fungsi simbolik ini dapat bersifat abstrak atau nyata. Pada usia prasekolah anak juga mulai mengerti dasar-dasar dalam mengelompokkan sesuatu. pada masa ini juga sudah mulai dapat melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku. Anak akan memperlihatkan tingkah laku yang sama seperti tingkah laku yang dilihatnya pada waktu yang berbeda. Pada masa ini anak tidak langsung meniru model tingkah laku seseorang, tetapi anak mengamati, menyimpan dan pada saat yang lain memperlihatkan sesuatu kembali (Turner & Helms 1991).

Cara berpikir anak usia prasekolah sangat memusat (egosentris) dan cara pikirnya tidak dapat dibalik. Egosentrisme adalah pemusatan pada diri sendiri dan merupakan suatu proses dasar yang banyak dijumpai pada tingkah laku anak dan pengamatan anak banyak ditentukan oleh pandangan sendiri. Anak belum mampu menempatkan diri dalam keadaan orang lain (Turner & Helms 1991). Dalam penelitiannya Hikmayanti (2005) mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia anak dengan stimulasi psikososial.

(28)

anak usia lainnya. Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal. Munandar (1992) mengatakan masa prasekolah merupakan masa-masa untuk bermain dan mulai memasuki taman kanak-kanak. Waktu bermain merupakan sarana untuk tumbuh dalam lingkungan dan kesiapannya dalam belajar formal (Gunarsa 2004). Pada tahap perkembangan anak usia prasekolah ini, anak mulai menguasai berbagai keterampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya ( Hurlock 1977). Anak pada usia prasekolah berada pada proses perkembangan penting yaitu perubahan dari terkait menjadi lebih bebas, dari koordinasi yang kaku menjadi lebih teratur dan terampil, dari bahasa tubuh ke bahasa verbal, dari ketaatan yang kuat terhadap dari luar ke perkembangan kendali dari diri sendiri (inner control), dan dari kepedulian personal ke tumbuhnya kepedulian sosial (Theresia & Caplan 1983).

Hurlock (1977) mengatakan ciri-ciri anak usia prasekolah meliputi fisik, motorik, intelektual, dan sosial. Ciri fisik anak prasekolah yaitu otot-otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras. Anak prasekolah mempergunakan gerak dasar seperti berlari, berjalan, memanjat dan melompat sebagai bagian dari permainan mereka. Kemudian secara motorik anak mampu memanipulasi obyek kecil, menggunakan balok-balok dan berbagai ukuran dan bentuk. Selain itu juga anak memiliki rasa ingin tahu, rasa emosi, iri dan cemburu. Hal ini timbul karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya. Sedangkan secara sosial anak mampu menjalani kontak sosial dengan orang-orang yang ada di luar rumah, sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang dewasa, serta saudara kandung di dalam keluarga.

Stimulasi Psikososial

Stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Stimulasi adalah perangsangan yang datangnya dari lingkungan di luar individu anak. Pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi yang terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi. Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang diperlukan anak. Stimulasi semacam ini akan menimbulkan rasa aman dan rasa percaya diri pada anak sehingga anak lebih respontif terhadap lingkungannya dan lebih berkembang optimal (Soetjiningsih 1995).

(29)

kecerdasan, stabilitas dan kemampuan berkomunikasi, sehingga dapat membentuk kesehatan fisik dan mental anak dengan baik. Pendapat lain juga dijelaskan oleh Hastuti (2009) tentang arti pengasuhan yaitu cara mengasuh anak yang mencakup pengalaman, keahlian, kualitas dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat. Stimulasi merupakan rangsangan yang datangnya dari luar. Stimulasi psikososial merupakan salah satu cara untuk memberikan pengalaman pendidikan bagi anak. Menurut Darmawan (2002) dalam Sununingsih (2006) menyatakan bahwa stimulasi psikososial diberikan di antaranya melalui aktivitas bermain, bernyanyi dan menggambar. Depdiknas (2002) mengatakan bahwa stimulasi psikososial adalah pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif , fisik atau motorik, serta sosial emosi anak.

Menurut Satoto (1990) dan Zeitlin, et al. (1992) dalam Hastuti (2009) agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik terdapat dua faktor yang saling berkaitan, yakni interaksi ibu dan anak secara timbal balik dan pemberian Stimulasi. Zeitlin, et al. (1992) dalam Hastuti (2009) mengatakan interaksi pengasuhan dapat dilihat dalam hal kasih sayang atau pola afeksi sebagai suatu hal yang diukur dengan frekuensi pertemuan, mendekap, menggendong, dan membelai atau mengajak bicara. Sedangkan pemberian stimulasi dapat dilihat dalam bentuk sosialisasi kepada anak.

Menurut Caldwell dan Bradley (1983) dalam Hastuti (2009), stimulasi psikososial adalah stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga dalam pemberian pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa, serta dorongan bagi kemampuan akademik anak. Dengan demikian stimulasi psikososial dapat diukur melalui interaksi pemberian kasih sayang dan pemberian stimulasi yang terangkum dalam stimulasi psikososial yang dikembangkan oleh Caldwell dan Bradley (1983) melalui alat ukur kualitas asuh HOME ( Home Observation and Measurement of Environment). Stimulasi Psikososial yang dikembangkan oleh Caldwell dan Bradley (1983) dibedakan dalam usia 0-3 tahun dan 3-6 tahun. Untuk anak dengan usia 3-6 tahun, stimulasi psikososial yang diukur adalah stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modelling, variasi kepada anak, dan hukuman positif.

(30)

Proses Pembelajaran

Pembelajaran bagi anak usia dini termasuk Taman Kanak-kanak di dalamnya memiliki kekhasan tersendiri. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Bermain secara alamiah akan memotivasi anak untuk mengetahui sesuatu lebih mendalam, dan secara spontan anak akan mengembangkan kemampuannya. Bredecamp (1977) mengatakan bermain pada dasarnya mementingkan proses daripada hasil karena bermain merupakan wahana yang penting untuk perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak yang direfleksikan pada kegiatan.

Proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara guru dan anak untuk berbagi dan mengolah informasi dengan tujuan agar pengetahuan yang terbentuk

ter-“internalisasi” dalam diri peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Maka kriteria keberhasilan sebuah proses pembelajaran adalah munculnya kemampuan belajar berkelanjutan secara mandiri. Sebuah proses pembelajaran yang baik, paling tidak harus melibatkan 3 aspek, yaitu: aspek psikomotorik, aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek Psikomotorik dapat difasilitasi lewat adanya praktikum-praktikum dengan tujuan terbentuknya keterampilan eksperimental. Aspek kognitif difasilitasi lewat berbagai aktivitas penalaran dengan tujuan adalah terbentuknya penguasaan intelektual. Sedangkan aspek afektif dilakukan lewat aktivitas pengenalan dan kepekaan lingkungan dengan tujuan terbentuknya kematangan emosional. Ketiga aspek tersebut bila dapat dijalankan dengan baik akan membentuk kemampuan berpikir kritis dan munculnya kreativitas.

Perencanaan sangat penting dalam untuk pelaksanaan proses pembelajaran di Taman kanak-kanak, karena memungkinkan anak diberi kesempatan terbaik sehingga memperoleh kemajuan dalam perkembangan dan belajar. Sehingga guru dapat memahami peranannya dan tugas-tugasnya yang harus dicapai anak untuk berkembang dan belajar. Hal terpenting yang harus disiapkan guru dalam mendukung proses pembelajaran adalah menyediakan sumber-sumber belajar guna mendukung kegiatan belajar yang ingin disampaikan sehingga anak tertarik dan termotivasi untuk mengikuti.

Komponen Perencanaan Pembelajaran Perencanaan pembelajaran menurut Raiser (1986) dalam Syaodih (1993) adalah apa yang dikerjakan guru dan anak didik di dalam kelas dan di luar kelas. Selain itu Nana Sujana (1988) dalam Masitoh (2003) mengatakan bahwa perencanaan pembelajaran adalah memproyeksikan tindakan apa yang akan dilaksanakan dalam suatu pembelajaran dengan mengoordinasikan komponen-komponen pengajaran sehingga memiliki arah kegiatan (tujuan), isi kegiatan (materi) cara pencapaian kegiatan (metode dan teknik) serta bagaimana mengukurnya (evaluasi) sehingga menjadi jelas dan sistematis. Suatu

(31)

Faturrohman (2007) Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan berbuat dalam lingkungan sosial, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Komponen utama dalam perencanaan pembelajaran adalah tujuan pembelajaran. Menurut Robert Mager (1996) dalam Masitoh (2003) “ jika kita tidak memiliki gagasan yang jelas tentang tujuan apa yang akan dicapai anak, maka guru tidak akan dapat membuat perencanaan yang baik untuknya”. Oleh karena itu suatu perencanaan harus diawali dengan tujuan yang jelas. Pada Taman Kanak-kanak memiliki tujuan khusus yaitu kemampuan anak di mana kemampuan merupakan hal yang harus diamati guru dalam mencapai tujuan tersebut.

Tema/Isi (Materi Pembelajaran) Arikunto (1990) mengatakan bahwa unsur inti yang ada di dalam kegiatan belajar mengajar karena memang bahan pelajaran itulah yang di upayakan untuk dikuasai oleh anak didik. Oleh karena itu guru dan pengembang kurikulum harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan atau topik yang tertera dalam silabus berkaitan dengan kebutuhan peserta didik di masa depan. Sebab, minat peserta didik akan tertantang apabila bahan yang diajarkan sesuai dengan kebutuhannya. Materi atau bahan yang akan diajarkan harus sesuai dengan tujuan yang akan di capai. Pembelajaran di TK tidak menyajikan bidang studi akan tetapi materi di sajikan ke dalam tema-tema belajar. Tema akan memudahkan anak membangun konsep tentang benda atau peristiwa yang ada di lingkungan anak. Tema yang akan di kembangkan dapat di mulai dari hal-hal yang ada di lingkungan anak dan telah di kenal anak.

Dengan demikian, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak dapat diabaikan dalam pengajaran, sebab bahan pengajaran merupakan inti dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut di perkuat oleh penyataan Maslow yang dikutip oleh Sudirman (1988). Yang menyatakan bahwa minat seseorang akan muncul apabila sesuatu itu berkaitan dengan kebutuhannya. Jadi bahan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak didik akan memotivasi anak didik dalam jangka waktu tertentu.

Satuan Kegiatan Harian (SKH) Dalam merancang kegiatan pembelajaran yang tertuang dalam satuan kegiatan harian (SKH) guru harus mengidentifikasi apa yang akan dipelajari oleh anak dan bagaimana anak mempelajarinya. Setiap komponen dalam pembelajaran menggambarkan kegiatan yang harus dilakukan anak dan kegiatan yang dilakukan guru dalam memfasilitasi belajar anak. Rancangan kegiatan pembelajaran untuk anak Taman kanak-kanak harus sesuai dengan karakteristik kebutuhan anak, karakteristik belajar anak dan karakteristik perkembangan anak.

(32)

Media merupakan sarana pembelajaran yang dapat di gunakan untuk memfasilitasi aktivitas belajar hal ini di nyatakan oleh Pribadi (2009). Hal senada juga di katakan bahwa penggunaan media perlu menjadi bagian integral dari proses pembelajaran yang dialami oleh anak agar dapat memberikan peran yang positif. Pribadi (2009) mengatakan setiap jenis media pembelajaran memiliki kekuatan (strength) dan juga kelemahan (weakness) yang perlu dipertimbangkan sebelum dipilih dan diimplementasikan dalam aktivitas pembelajaran.

Suparman (1997) mendefinisikan media merupakan alat yang di gunakan untuk menyalurkan pesan atau informasi dari pengirim kepada penerima pesan. Sedangkan sumber belajar menurut Fathurrohman (2007) merupakan segala sesuatu yang dapat di gunakan sebagai tempat di mana bahan pengajaran bisa didapat. Sedangkan Nasution (1993) menjelaskan bahwa sumber belajar dapat berasal dari masyarakat dan kebudayaannya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak didik. Guru dapat menemukan sumber belajar di mana saja, bisa di sekolah, pusat kota, pedesaan, benda mati, lingkungan, toko dan lain-lain. Dalam penggunaan sumber belajar dibutuhkan kreativitas guru, waktu, biaya serta kebijakan lainnya.

Lain halnya Roestiyah N. K (1989) dalam Faturohman mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah manusia (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat), buku/perpustakaan, media massa (majalah, surat kabar, radio, TV), lingkungan alam, sosial, alat pelajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol), museum (tempat penyimpanan benda-benda kuno). Hal senada juga disampaikan oleh Sudirman N. (1991), mengemukakan macam-macam sumber belajar yaitu manusia, bahan (materialis) lingkungan (setting) alat dan perlengkapan (tool and equipment) aktivitas (activities)

Dengan demikian maka dapat di katakan bahwa media dan sumber belajar, merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran. Media dan sumber belajar yang di gunakan harus sesuai dengan kegiatan dan dapat memberikan pengalaman langsung bagi anak. Media dan sumber yang di gunakan harus dapat di gunakan secara kelompok maupun individu bagi anak. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media dan sumber belajar adalah sejauh mana sumber-sumber belajar dapat memberi dukungan terhadap proses belajar anak.

Hasil Penilaian/ Evaluasi Penilaian adalah salah satu komponen penting dalam pembelajaran berorientasi perkembangan. Beaty (1994) mendefinisikan penilaian sebagai suatu proses mengobservasi, mencatat, mendokumentasikan hal-hal yang telah dilakukan anak dan bagaimana mereka melakukan kegiatan tersebut sebagai dasar untuk menentukan berbagai keputusan pendidikan yang mempengaruhi anak. Penilaian yang dilakukan untuk anak Taman Kanak-kanak berbeda dengan anak sekolah dasar atau jenjang sekolah yang lebih tinggi.

(33)

berkomunikasi dengan orang tua, 2) mengidentifikasi anak yang memerlukan bantuan dan layanan khusus, 3) apakah aspek-aspek perkembangan anak sudah tercapai dalam pelaksanaan kegiatan.

Menurut Abu Ahmadi & Widodo Supriyono (1991) dalam Fatturohman menyatakan bahwa evaluasi memiliki tujuan yaitu 1) untuk merangsang kegiatan anak, 2) menemukan sebab kemajuan dan kegagalan belajar, 3) memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan bakat masing-masing anak, 4) memperoleh bahan laporan tentang perkembangan anak yang diperlukan orang tua dan lembaga pendidikan, 5) untuk memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan mengajar. Melihat hal tersebut maka pelaksanaan evaluasi memiliki manfaat yang sangat besar baik berkaitan dengan proses belajar mengajar maupun yang berhubungan dengan produk suatu pendidikan dan desain proses belajar mengajar di masa mendatang.

Merujuk hal di atas maka dapat di katakan bahwa evaluasi merupakan sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar dan di dalamnya melibatkan guru dan anak, yang memiliki fungsi sebagai umpan balik bagi guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses pengajaran serta mengadakan perbaikan program yang diberikan kepada anak didik.

Kesan Umum Kegiatan Pembelajaran Pada saat guru melakukan kegiatan belajar mengajar guru seharusnya menguasai substansi rancangan kegiatan yang mereka rencanakan, dalam mendukung rancangannya media apa yang akan di gunakan dan bagaimana guru memanfaatkan media yang di gunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran tersebut, dalam proses kegiatan berjalan akan terdapat banyak pertanyaan yang akan diajukan oleh anak maka dari itu diperlukan kepekaan guru dalam menanggapi kesalahan berbahasa anak. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh guru selain perencanaan pembelajaran dan penggunaan media serta penentuan tema adalah penampilan mereka di dalam kelas. Apa bila seorang guru memiliki penampilan yang menarik, bersih dan ceria dapat membuat anak-anak nyaman dipastikan anak akan merasa senang dan nyaman bersama guru, lain hal nya ketika seorang guru dalam mengajar terlihat kusam, murung dan tidak bersahabat maka anak-anak akan berpikir ulang untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut maka akan terlihat kesan umum kegiatan pembelajaran tersebut apakah proses kegiatan pembelajaran yang dilakukan efektif, hal ini dapat dilihat dari hasil proses belajar dan kemampuan anak setelah mengikuti kegiatan tersebut.

(34)

mendukung perkembangan anak dalam 3 jenis main, yaitu sensorimotor atau main fungsional, main peran dan main pembangunan.

Mayesky (1990) menjelaskan sentra mempunyai keterkaitan yang kuat dengan beberapa pandangan ahli pendidikan, seperti Pestalozzi yang percaya bahwa anak-anak belajar melalui interaksi langsung dengan anak-anak lain dan lingkungannya; John Dewey dengan penekanannya pada “ belajar sambil bekerja” dan hubungan organic antara pendidikan dan pengalaman seseorang”; serta Montessori dengan pemikirannya bahwa anak kecil belajar melalui tugas-tugas dan alat-alat belajar yang disiapkan dengan hati-hati.

Model pembelajaran berdasarkan sentra memiliki ciri utama pemberian pijakan (scaffolding) untuk membangun konsep, aturan, ide, dan pengetahuan anak serta konsep densitas serta intensitas bermain. Model pembelajaran ini berfokus pada anak yang dalam proses pembelajarannya berpusat di sentra bermain dan pada saat anak berada dalam lingkaran. Pada umumnya pijakan/dukungan dalam model ini untuk mendukung perkembangan anak, yaitu pijakan sebelum bermain, pijakan selama bermain dan pijakan setelah bermain. Pijakan ini dimaksudkan untuk mendukung perkembangan anak lebih tinggi. Ada 3 jenis permainan yang disediakan dalam model ini yaitu; bermain sensorimotorik atau fungsional, bermain peran, dan bermain pembangunan (konstruktif, yaitu membangun pemikiran anak).

Perbedaan Taman kanak-kanak umum dan taman kanak-kanak agama.

Program pembelajaran di taman kanak-kanak mencakup bidang pengembangan perilakku dan pengembangan kemampuan dasar dilaksanakan melalui kegiatan bermain bertahap, berkesinambungan dan bersifat pembiasaan. Bidang pengembangan perilaku merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak, sehingga menjadi kebiasaan yang baik yang meliputi perkembangan nilai moral agama, sosial emosional dan kemandirian. Pada bidang pengembangan kemampuan dasar merupakan kegiatan yang dipersiapkan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas sesuai dengan tahap perkembangan anak. Bidang tersebut meliputi lingkup perkembangan agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa dan sosial emosi. Pada taman kanak-kanak islam pengembangan dibidang agama memiliki porsi waktu yang lebih, dan dilaksanakan pada awal kegiatan dan akhir pengembangan. Pada TK umum memiliki jam belajar efektif dalam satu kali pertemuan adalah 150-180 menit lima hari dalam seminggu, sedangkan pada TK Islam memiliki jam belajar efektif 300-360 menit lima hari dalam seminggu.

Kecerdasan Majemuk

(35)

memiliki arti yang sangat luas, kecerdasan itu sendiri memiliki arti keseluruhan kapasitas atau kemampuan untuk belajar, memahami lingkungan, dan memecahkan masalah. sedangkan kecerdasan yang mencakup banyak bidang dalam kehidupan kita sehari-hari, sering diistilahkan sebagai kecerdasan majemuk atau multiple intelligence (Mini, 2010). Menurut Gardner (1983) kecerdasan dalam kecerdasan majemuk meliputi kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematik (cerdas angka), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna), kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecedasan intrapersonal (cerdas diri), Setiap kecerdasan dalam kecerdasan majemuk memiliki indikator tertentu. Kecerdasan majemuk anak diidentifikasi melalui observasi terhadap perilaku, tindakan, kecenderungan bertindak, kepekaan anak terhadap sesuatu, kemampuan yang menonjol, reaksi spontan, sikap dan kesenangan.

Pendidikan anak usia dini di Indonesia mengalami masa-masa penuh dilema. Pendidik hingga saat ini masih menerapkan pendekatan akademik penuh hafalan. Keberhasilan belajar anak diukur dari kepatuhan, kemampuan kognitif dan sosial anak. Kekeliruan pandangan terhadap potensi anak didik oleh pendidik merupakan sesuatu hal yang fatal. Kekeliruan pandangan ini memunculkan sikap meremehkan, merendahkan, dan menghambat kegiatan dan perkembangan anak yang justru tidak disadari atau bahkan dianggap benar oleh pendidik.

Setelah Gardner mengumumkan teori multiple intelligencenya, anak-anak dengan kecerdasan nonlinguistic dan matematis mendapat perhatian. Cap-cap negatif terhadap anak diterjemahkan ulang sebagai gaya atau kecenderungan belajar. Anak yang banyak gerak, banyak bicara, suka menyentuh benda-benda, berani berdekatan dengan hewan suka menyendiri tidak lagi diidentifikasi sebagai anak nakal atau berkelainan. Lebih lanjut Gardner mengatakan bahwa cara mudah mengetahui kecerdasan anak adalah dengan memperhatikan ”kenakalan-kenakalan mereka’ yaitu perilaku menonjol yang sangat dinikmati anak (Armstrong, 1993). Semua anak adalah cerdas, hal tersebut merupakan pandangan teori multiple intellingence dapat memberikan ruang gerak yang luas bagi anak. Perilaku dan kecenderungan anak diamati dan diidentifikasi sehingga kecenderungan kecerdasan anak ditemukan dan dijadikan dasar dalam mengembangkan program kegiatan. Berbagai kegiatan dan variasinya di gunakan untuk merangsang kemunculan dan penguatan setiap indikator yang dimiliki anak.

Gardner dalam (Armstrong, 2003) mengatakan pendidikan yang berbasis

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran
Gambar 1: Hubungan keluarga dengan lingkungannya ( model ekologi dari
Gambar 1: Kerangka pemikiran hubungan stimulasi psikososial di rumah dan proses
Gambar 2.  Gambar 2.  Kerangka penarikan contoh
+7

Referensi

Dokumen terkait