• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Benchmarking Kompetitif Produk Susu UHT Regular Berperisa Berdasarkan Komposisi dan Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Benchmarking Kompetitif Produk Susu UHT Regular Berperisa Berdasarkan Komposisi dan Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDY CASE OF PRODUCT COMPETITIVE BENCHMARKING AMONG REGULAR

FLAVORED UHT MILK BASED ON COMPOSITION AND NUTRITION FACTS

Widita Sukma Wimala, Juwita Astuti and Eko Hari Purnomo

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 857 10098275, E-mail: widitawimala@yahoo.com

ABSTRACT

The increasing of milk consumption makes UHT milk is potentially to be developed in Indonesia market. UHT milk market in Indonesia is led by three biggest players. They are denoted by AAZ, BBY and CCX. Based on consumer research, known that single packed regular flavored UHT milk, especially chocolate flavored, becomes the most interesting product variant to be benchmarked since it has higher preferences by consumer research‟s respondent. From this study, known that AAZR, a regular variant from AAZ, used less food additives than other product references. It also had closest nutrition profile to cow milk which is good in protein and calcium content. BBYR that is produced by YY used recombined milk-based product and fortified it product with various vitamins. BBYR has no distinctive character in its two products variant but both of the variants are high in total energy content. It is known that CCXR also used recombined milk and add various kinds of food additives to it product. However, CCXR has fortified their product with beneficial compounds such as dietary fiber and prebiotics FOS. It is recommended to develop a UHT milk product that optimized nutritional content of fresh milk and composed of minimum synthetic- food additives but it may be good to add some beneficial components to the product to increase the product value.

(2)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Persaingan dagang pada era globalisasi berkembang menjadi sangat ketat. Untuk dapat bertahan di tengah persaingan ini, sebuah perusahaan harus peka terhadap tren yang sedang meningkat di masyarakat. Perkembangan industri pangan di Indonesia cukup pesat dan menghasilkan berbagai jenis produk pangan olahan. Pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, serta perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia telah mendorong peningkatan konsumsi produk pangan yang mengandung protein hewani. Susu, sebagai salah satu jenis protein hewani merupakan produk pangan yang memiliki potensi yang baik di Indonesia.

Industri susu di Indonesia saat ini sangat potensial mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Selain itu, konsumsi susu di Indonesia sudah mulai meningkat dari 7.7 liter per kapita pada tahun 2008 menjadi 11.7 liter per kapita pada tahun 2010 (Purwoko, 2010). Penjualan produk susu dan krim di Indonesia pada tahun 2007 bahkan menempati peringkat 8 dunia (Nielsen, 2008). Permintaan susu dimasa mendatang akan meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan atau daya beli, maupun kesadaran pangan dan gizi (Rahman, 2008). Selain itu, peningkatan konsumsi susu merupakan salah satu sarana untuk mencegah terjadinya lost generation dari bangsa Indonesia (khususnya bagi generasi muda) akibat kekurangan asupan protein. Berdasarkan data UNDP (United Nations Development Programme), bangsa Indonesia menduduki peringkat ke 110 dan berada di bawah Vietnam dalam perihal terjadinya lost generation (Usmiati dan Abubakar, 2009).

(3)

2

simpannya yang relatif lama serta memiliki sensori dan mutu gizi yang relatif sama dengan susu segar. Hal ini merupakan nilai lebih yang dimiliki susu UHT sehingga besar peluangnya untuk terus dikembangkan.

Untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas serta dapat bersaing dengan produk kompetitor, diperlukan suatu tahapan pengembangan produk. Salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh suatu perusahaan dalam pengembangan produk adalah kegiatan

benchmarking. Salah satu proses benchmarking yang banyak digunakan oleh suatu perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya adalah benchmarking produk pesaing. Melalui proses benchmarking ini, perusahaan dapat mengetahui peta persaingan pasar yang berlangsung. Selain itu, perusahaan dapat memperoleh informasi dan menganalisis faktor-faktor kesuksesan pesaing. Informasi ini dapat dijadikan salah satu landasan awal dalam pengembangan produk. Selanjutnya informasi ini dapat dijadikan suatu masukan untuk menghasilkan atau mengembangkan produk baru yang lebih baik.

Benchmarking sebagai salah satu tahapan pengembangan produk, biasa dilakukan oleh PT Nestlé Indonesia sebagai salah satu langkah untuk mengetahui posisi produknya dibandingkan produk kompetitor. Melalui proses benchmarking, PT Nestlé Indonesia dapat mengumpulkan informasi mengenai kecenderungan produk yang terdapat di pasar, baik segi keunggulan maupun kelemahannya.

B.

TUJUAN

(4)

II.

PROFIL PERUSAHAAN

A.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN

Nestlé merupakan produsen makanan terkemuka di dunia yang memasok lebih dari 10

juta produk makanan ke pasaran setiap tahunnya. „Good Food, Good Life‟ merupakan slogan

Nestlé yang menggambarkan komitmen Nestlé sebagai produsen makanan yang peduli akan kesehatan umat manusia dengan menghasilkan makanan yang sehat, bermutu, aman, berkualitas, bergizi, dan menyenangkan untuk dikonsumsi demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Nestlé didirikan pada tahun 1866 di Vevey, Swiss. Pendirinya adalah Henry Nestlé, seorang ahli gizi berkebangsaan Jerman. Hal yang melatarbelakangi Henry Nestlé adalah banyaknya bayi yang meninggal dunia sebelum usia mereka mencapai satu tahun, hal ini dikarenakan para ibu tidak dapat menyusui sendiri bayinya. Terlebih lagi saat teman Henry Nestlé menghampiri dirinya untuk menyelamatkan bayi prematur. Henry Nestlé kemudian membawa bayi itu kerumahnya dan memberikan makanan berupa paduan dari roti, susu dan gula. Kondisi bayi tersebut pun berangsur pulih dari hari ke hari. Penemuan ini memberikan kabar gembira dan langsung tersebar luas.

„Ferine Lactee Nestlé‟ mejadi makanan pendamping ASI sekaligus makanan penambah

gizi yang berhasil menekan angka kematian bayi. Sejak saat itu Nestlé menjadi perusahaan produsen makanan yang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Henry Nestlé memanfaatkan nama keluarganya 'Nestlé', yang dalam bahasa Jerman Swiss berarti sarang burung kecil (little nest), menjadi logo perusahaannya. Logo tersebut menjadi lambang rasa aman, kasih sayang, kekeluargaan dan pengasuhan.

Henry Nestlé bukan saja melahirkan makanan bayi yang bermutu, namun juga menjadi orang Swiss pertama yang membangun industri modern yang berpikir akan pentingnya citra merek dan perusahaan. Melalui simbol dua anak burung dalam sarang bersama induknya dengan penuh kasih sayang memberi makanan kepada anakanya, citra Nestlé langsung dikenal sebagai perusahaan yang menghasilkan makanan bermutu penuh gizi. Simbol ini kemudian diubah pada tahun 1868 dan langsung diterapkan di berbagai materi iklan dan publikasi. Sampai sekarang, logo ini tetap digunakan dalam nuansa modern sesuai dengan kemajuan zaman.

Pada tahun 1910 susu „Tjap Nona‟ masuk ke pasaran Indonesia melalui distributor yang

ada di Singapura. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1965 pemerintah membuka kesempatan berinvestasi bagi investor asing. Kebijakan ini mendorong Nestlé dan para mitranya untuk membuka usaha di Indonesia. Pada tanggal 29 Maret 1971, Nestlé S.A yang berpusat di Vevey, Swiss bersama mitra lokalnya mendirikan PT. Food Specialties

Indonesia. Pabrik pertama didirikan di Waru, Jawa Timur. Pabrik ini didirikan pada tahun 1972 dan mulai beroperasi pada tahun 1973 yang menghasilkan susu Tjap Nona.

(5)

4

Pada tahun 1979, PT Nestlé Beverages Indonesia (dahulu bernama PT Indofood Jaya Raya) yang memiliki pabrik di Panjang, Lampung, mulai memproduksi kopi instan

„Nescafé‟. Selain pure coffee, PT Nestlé Beverages Indonesia juga memproduksi mixes

coffee dalam berbagai aroma. Pada tahun 1997 Nescafé mulai memasuki pasaran Rusia dalam kemasan jar dan dua tahun kemudian produksi kopi instan dalam kemasan kaleng dihentikan. Selanjutnya pada tahun 2001 sebagian proses pengemasan untuk produk 3in1 diserahkan ke co-manufacturer dan PT Nestlé Beverages Indonesia berganti nama menjadi PT Nestlé Indonesia.

Pada tahun 1988 Nestlé pusat mengakusisi Rowntree Macintosh dari Inggris sehingga membuka peluang Nestlé untuk mengembangkan usahanya di bidang kembang gula. Pabrik PT Food Specialties Indonesia yang merupakan anak perusahaan Nestlé mengambil alih PT Multi Rasa Agung, yang memiliki pabrik di Cikupa, Tangerang dan menghasilkan permen dengan merek dagang „Foxs‟. Pada tahun 1990 diresmikan pabrik baru di Cikupa, Tangerang. Pada tahun 1992, dalam rangka memperluas usahanya, PT Multi Rasa Agung memperluas pabriknya dan memproduksi permen dengan merek dagang „Polo‟. Pada 1996 PT Multi Rasa Agung berganti nama menjadi PT. Nestlé Confectionery Indonesia dan mulai

memproduksi „Nestea Powder‟ pada tahun 1997.

Selain pabrik Waru, Kejayan, Cikupa dan Panjang, Nestlé Indonesia juga memiliki sebuah pabrik di Telaga yang memproduksi mie instan. Sejak tahun 1999 dilakukan penggabungan manajemen secara bertahap di PT Nestlé Indonesia dan pabrik-pabriknya. Pada Desember 1999, PT Nestlé Indonesia dan PT Nestlé Asean Indonesia berubah menjadi PT Nestlé Indonesia, yang kedua pada akhir tahun 2000 PT Nestlé Confectionery Indonesia bergabung dengan PT Supmi Sakti, kemudian berubah menjadi PT Nestlé Indonesia dan pabrik Telaga ditutup. Ketiga, pada akhir tahun 2001 PT Nestlé Beverages Indonesia dan PT Nestlé Distribution Indonesia bergabung dengan PT Nestlé Indonesia. Pada Juni 2002, pabrik Waru dilikuidasi dan digabung dengan pabrik Kejayan.

(6)

5

Tabel 1. Sejarah singkat PT Nestlé di Indonesia

Waktu Perkembangan

Abad 19 Produk Nestlé Milkmaid dikenal sebagai „Tjap Nona‟. 29 Maret 1971 Berdirinya PT Food Specialties Indonesia.

1972 Berdirinya Pabrik Waru, Jawa Timur.

1973 Pabrik Waru mulai beroperasi dengan menghasilkan produk susu. 12 April 1978 Berdirinya PT Indofood Jaya Raya yang kemudian berganti nama

menjadi PT Nestlé Beverages Indonesia.

1979 Berdirinya Pabrik Panjang, Lampung yang menghasilkan produk-produk kopi.

1988 Berdirinya Pabrik Kejayan, Jawa Timur yang menghasilkan produk-produk susu bubuk.

1990 Berdirinya Pabrik Cikupa, Tangerang yang menghasilkan produk-produk confectionery.

1993 Perubahan nama PT Food Specialties menjadi PT Nestlé Indonesia. 1995 Pengakusisian PT Supmi Sakti yang memproduksi mie instant dengan

pabrik yang berlokasi di Telaga.

1998 PT Sumber Pangan Segar dan PT Rola Perdana ditunjuk sebagai distributor utama PT Nestlé Indonesia. Selanjutnya kedua perusahaan ini bergabung dan berganti nama menjadi PT Nestlé Distribution

Indonesia yang merupakan distributor tunggal.

2001 Penggabungan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup PT Nestlé Indonesia menjadi satu badan hukum PT Nestlé Indonesia. 2002 Pengintregasiaan Pabrik Waru dengan Pabrik Kejayan.

2005 Pembentukan joint venture dengan PT Indofood Sukses Makmur, TBK dengan nama perusahaan PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia.

B.

LOKASI PERUSAHAAN

PT Nestlé Indonesia berkantor pusat di Wisma Nestlé, Perkantoran Hijau Arkadia, Menara B, Lantai 5 Jl. TB Simatupang Kav 88, Jakarta 12520, Indonesia

Saat ini, PT Nestlé Indonesia mempunyai 3 pabrik untuk menunjang proses produksi, yaitu:

1. Pabrik Kejayan, didirikan pada tanggal 2 Juni 1988 Lokasi: Desa Kejayan, Pasuruan – Jawa Timur

Hasil Produksi: Susu bubuk, susu kental manis dan susu sterilisasi 2. Pabrik Panjang, didirikan pada tahun 1979

Lokasi: Desa Seampok, Panjang – Lampung Hasil Produksi: Kopi bubuk dan kopi bubuk instan 3. Pabrik Cikupa, didirikan pada bulan Oktober 1990

Lokasi: Desa Bitung Jaya, Cikupa – Tangerang

Hasil Produksi: Permen, minuman serbuk teh instan, choco snack

Selain itu, daerah pemasaran PT Nestlé Indonesia juga dibagi menjadi empat wilayah kantor penjualan, yaitu:

(7)

6

Kantor ini berlokasi di Jl. M.G. Manurung I Km. 9,3 Kelurahan Tanjung Morawa, Medan, Sumatra Utara

2. Kantor wilayah penjuallan II

Kantor ini berlokasi di Jl. Paus no 91, Rawamangun, Jakarta Timur, DKI Jakarta 3. Kantor wilayah penjualan III

Kantor ini berlokasi di Jl. Berbek Industri I/ 23 komp. SIER, Waru, Surabaya, Jawa Timur

4. Kantor wilayah penjualan IV

Kantor ini berlokasi di Jl. Kapasan Raya 3 (Makassar Industrial Estate), Makassar, Sulawesi Tengah.

C.

STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN

PT Nestlé Indonesia merupakan badan usaha Perseroan Terbatas (PT) yang merupakan bentuk perusahaan untuk menjalankan perusahaan yang mempunyai modal usaha terbagi atas saham-saham. Anggotanya memiliki hak suara penuh dalam rapat anggota, sehingga pemegang saham atau anggota turut menentukan jalannya perusahaan tersebut.

Struktur organisasi yang berlaku di PT Nestlé Indonesia meliputi dua bagian, yaitu struktur organisasi di kantor pusat dan struktur organisasi di setiap pabrik. Pemegang jabatan tertinggi di PT Nestlé Indonesia adalah seorang Presiden Direktur yang mengepalai Divisi Teknikal, Divisi Keuangan, Divisi Supply Chain, Divisi Sumber Daya Manusia, Divisi Legal and Corporate Affairs, Divisi Penjualan, Divisi Infant Nutrition, Divisi Dairy Products, Divisi Coffee and PPP (Popularly Position Products), Divisi Confectionery, Divisi Nestlé Profesional, Divisi Liquid Products, Divisi Pelayanan Penjualan, serta Divisi Global. Presiden direktur bersama masing – masing pimpinan divisi disebut sebagai Management Committee (Macom).

D.

VISI DAN MISI PERUSAHAAN

PT Nestlé Indonesia, sebagai salah satu produsen makanan terbesar di Indonesia memiliki misi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat. Selain itu, visi dari PT Nestlé Indonesia adalah:

1. Meraih kepercayaan konsumen, dan menjadi perusahaan makanan dan nutrisi yang terkemuka serta terpandang di Indonesia

2. Menjamin keuntungan dan kelangsungan pertumbuhan jangka panjang dengan modal yang efisien bagi perusahaan, melalui pelayanan yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan konsumen

3. Menjadi pemimpin pangsa pasar atau posisi no. 2 yang kuat di setiap kategori

Selain visi dan misi, PT Nestlé Indonesia juga menetapkan motto perusahaan mereka, yaitu “Passion for Our Consumers”. Melalui motto ini, PT Nestlé Indonesia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi konsumennya. Berdasarkan hal ini pula, PT Nestlé Indonesia menerapkan beberapa kebijakan Kualitas dan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan.

Kebijakan Kualitas meliputi :

1. Produk dan jasa tidak pernah mengabaikan faktor keamanan pangan 2. Selalu mematuhi peraturan yang berlaku

3. Zero waste dan zero defect

(8)

7

Kebijakan Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan meliputi :

1. Karyawan dan mitra bisnis adalah alat yang paling berharga

2. Menerapkan praktek bisnis yang ramah lingkungan (mencegah pencemaran lingkungan) 3. Mematuhi semua peraturan di bidang lingkungan dan K3

4. Menihilkan kecelakaan kerja dan keluhan masyarakat

5. Perbaikan secara terus menerus di bidang lingkungan dan PT Nestlé Indonesia selalu menerapkan nilai-nilai yang selama ini menjadi landasan bagi perusahaan dan seluruh karyawan, nilai-nilai tersebut dikenal dengan istilah “PRIDE”, yang merupakan singkatan dari Passion (Semangat), Respect (menghormati), Integrity (Integritas), Determination

(Gigih), dan Excellence (Unggul).

E.

PROSES PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT NESTLĖ

INDONESIA

Proses pengembangan produk baru di PT Nestlé Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1. Diketahui bahwa pengembangan produk baru di PT Nestlé Indonesia diawali dengan adanya ide baru. Selanjutnya pihak pemasaran akan mengadakan survei konsumen awal mengenai ide tersebut. Langkah ini bertujuan untuk melihat kelayakan ide tersebut untuk dikembangkan menjadi produk yang nyata. Selain itu, survei konsumen ini juga bertujuan untuk menggali informasi dari konsumen mengenai produk yang mereka sukai. Hasil survei ini selanjutnya dijadikan sebuah konsep awal yang diberikan kepada pihak Manufacture.

Gambar 1. Diagram alir proses pengembangan produk baru di PT Nestlé Indonesia

Langkah awal yang dilakukan oleh pihak Manufacture adalah benchmarking. Pada tahapan ini, pihak Manufacture memilih beberapa merek produk yang sesuai atau mendekati konsep produk untuk diidentifikasi dan dijadikan acuan dasar produk. Merek yang dipilih haruslah merek produk yang dianggap unggul di kelasnya. Unggulnya suatu merek terhadap merek lain dapat diketahui melalui informasi pangsa pasar produk tersebut. Hasil dari proses

(9)

8

trial produksi, namun juka penerimaan konsumen menunjukan hasil yang negatif maka akan dilakukan kajian ulang terhadap prototype. Hasil produk dari trial yang telah dilakukan kemudian diuji kepada konsumen. Jika hasil dari uji konsumen menunjukan hasil yang positif maka produk siap untuk diregistrasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun jika hasil uji konsumen menunjukan hasil negatif, maka akan dilakukan trial ulang berdasarkan kajian hasil uji.
(10)

III.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

SUSU

Menurut segi kimia, susu merupakan cairan kompleks yang mengandung lebih dari 100 senyawa kimia terpisah (Chandan, 1997). Komponen utamanya berupa air, lemak, laktosa, kasein, protein whey, dan mineral yang jumlahnya beragam disetiap spesies hewan. Menurut sudut pandang psikologis, susu merupakan sekresi yang dihasilkan dari kelenjar mamal mamalia betina yang diproduksi sebagai sumber nutrisi awal bagi spesies baru. Sedangkan menurut sudut pandang fisikokimia, susu merupakan cairan putih dari fase multidispersi.

Dipandang dari segi gizi, susu merupakan makanan yang hampir sempurna dan merupakan makanan alamiah bagi binatang menyusui yang baru lahir (Buckle et al, 2009). Susu menyediakan nutrisi yang baik bagi manusia. Pada dasaranya susu terdiri dari air, lemak susu, dan padatan non-lemak. Padatan non-lemak terbagi menjadi protein, laktosa, dan mineral. Total lemak susu dan padatan non-lemak disebut total padatan. Hingga saat ini, susu yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia berasal dari sapi. Secara kimiawi, susu sapi tersusun atas air (87 %), dan substansi kering, yaitu lemak (4 %), protein (3.5 %), laktosa (4.7 %), serta abu (0.8 %) (Bylund, 1995).

Tabel 2. Syarat mutu susu segar

No Karakteristik Satuan Syarat

1. Berat jenis minimum (pada suhu 27,5o C) g/ml 1,0270

2. Kadar lemak minimum % 3,0

3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8

4. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada

perubahan

5. Derajat asam oSH 6,0 – 7,5

6. pH - 6,3 – 6,8

7. Uji alkohol (70 %) v/v - Negatif

8. Cemaran mikroba maksimum:

Total plate count CFU/ml 1 x 106

Staphylococcus aureus CFU/ml 1 x 102

Enterobacteriaceae CFU/ml 1 x 103

9. Jumlah sel somatis maksimum sel/ml 4 x 105 10. Residu antibiotik (golongan penisilin,

tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida)

- Negatif

11. Uji pemalsuan - Negatif

12. Titik beku oC -0,520 s.d. -0,560

13. Uji peroksidase - Positif

Cemaran logam berat maksimum:

Timbal (Pb) μg/ml 0,02

Merekuri (Hg) μg/ml 0,03

Arsen (As) μg/ml 0,1

(11)

10

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3141-1998 susu segar adalah susu murni yang tidak mendapatkan perlakuan apapun kecuali proses pendinginan dan tanpa memengaruhi kemurniannya. Pada Tabel 2, ditunjukan bahwa syarat susu yang baik meliputi beberapa faktor seperti berat jenis, kadar lemak minimum, kadar bahan kering tanpa lemak minimum, warna, bau, rasa, kekentalan, derajat asam, pH, uji alkohol, cemaran mikroba maksimum, jumlah sel somatis maksimum, residu antibiotik, uji pemalsuan, titik beku, uji peroksidase, serta cemaran logam berat.

Warna susu bergantung pada beberapa faktor seperti jenis ternak dan pakannya. Warna susu normal biasanya berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih merupakan hasil dispersi cahaya dari globula lemak, koloid misel kasein, dan mineral kalsium fosfat yang ada di dalam susu (Goff dan Hill, 1993). Susu juga mengandung pigmen karoten dan xantofil yang memberikan warna kuning keemasan pada lemak susu. Susu terasa sedikit manis dan asin (gurih) yang disebabkan adanya kandungan gula laktosa dan garam mineral di dalam susu. Globula lemak juga bertanggungjawab atas pembentukan rasa krim pada susu (Walstra et al., 2006). Rasa susu sendiri mudah sekali berubah bila terkena benda-benda tertentu, misalnya makanan ternak penghasil susu, kerja enzim dalam tubuh ternak, bahkan wadah tempat menampung susu yang dihasilkan nantinya. Susu segar memiliki sifat amfoter, artinya dapat berada di antara sifat asam dan sifat basa. Secara alami pH susu segar berkisar 6,5–6,7. Bila pH susu lebih rendah dari 6,5 berarti terdapat kolostrum ataupun aktivitas bakteri.

B.

NILAI GIZI SUSU

Zat gizi adalah substansi pangan yang memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan atau pemeliharaan kesehatan, serta bila terjadi kekurangan maka dapat menyebabkan perubahan karakteristik biokimia sehingga terjadi perubahan fisiologi tubuh (BPOM, 2004). Suatu pangan dapat dikatakan bergizi apabila mengandung lebih dari tiga macam zat gizi yang masing-masing dalam jumlah lebih dari 10 % Angka Kecukupan Gizi (AKG). Suatu pangan dapat dikatakan bergizi lengkap apabila pangan tersebut mengandung semua zat gizi seperti tercantum dalam AKG masing-masing dalam dalam jumlah minimum 50 % AKG. Suatu pangan dapat disebut mempunyai komposisi zat gizi yang seimbang apabila pangan tersebut memberikan kontribusi kalori dari karbohidrat 50 % sampai dengan 60 %, lemak 20 % sampai dengan 30 %, dan protein 10 % sampai dengan 15 %. Sedangakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) itu sendiri merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Susu sebagai salah satu pangan bergizi, memiliki beberapa komponen zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti lemak, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.

1. Lemak

Lemak terdapat di dalam susu dalam bentuk jutaan bola kecil yang bergaris tengah antara 1 – 20 mikron dengan rata-rata garis tengah 3 mikron (Buckle et al, 2009). Biasanya terdapat sekitar 1000 x 106 butiran lemak dalam setiap ml susu. Butiran inilah yang menyebabkan susu mudah menyerap flavor asing. Menurut Buckle et al (2009), kerusakan yang dapat terjadi pada lemak susu merupakan sebab dari berbagai perkembangan flavor yang menyimpang dalam produk-produk susu, seperti:

(12)

11

menyenangkan. Ketengikan terutama ditimbulkan oleh enzim lipase yang terdapat secara alami di dalam susu.

2. Tallowiness yang disebabkan karena oksidasi asam lemak tak jenuh. 3. Flavor teroksidasi yang disebabkan karena oksidasi fosfolipid.

4. Amis/ bau seperti ikan yang disebabkan karena oksidasi dan reaksi hidrolisa.

Lemak susu berkontribusi terhadap 48% total kalori pada susu. Lemak susu mengandung sekitar 66 % lemak jenuh, 30 % lemak tak jenuh rantai tunggal, serta 4 % lemak tak jenuh rantai banyak (Chandan, 1997). Komponen mikro dari lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E), karoten, vitamin A, serta vitamin D. susu mengandung kira-kira 0.3 % fosfolipid terutama lesitin, sphingomielin dan sepalin. Pada waktu susu dipisahkan menjadi skim milk dan krim, sekitar 70 % fosfolipid terdapat pada krim. Fosfolipid dapat dengan cepat teroksidasi di dalam udara dan akibatnya ikut menyebabkan penyimpangan cita rasa susu (Buckle et al, 2009).

2. Protein

Secara garis besar, protein susu terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan protein utama susu yang jumlahnya mencapai 80 % dari total protein susu sapi. Kasein dapat diendapkan oleh asam dan enzim rennin. Homogenisasi yang biasa dilakukan dalam pengolahan susu menyebabkan sebagian dari partikel-partikel kasein menyatu dengan butiran lemak.

Protein merupakan polimer kompleks dari asam amino (Ronzio, 2003). Asam amino dibedakan menjadi asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial merupakan asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia sehingga harus didapat dari bahan pangan. Asam amino esensial terdiri dari leusin, isoleusin, valin, lisin, treonin, triptofan, metionin, fenilalanin dan histidin. Sedangkan asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino ini terdiri dari arginin, alanin, aspargin, asam aspartat, sistein, glutamine, asam glutamate, glisin, prolin, serin, dan tirosin.

3. Laktosa

Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat dalam susu (Buckle et al, 2009). Laktosa berkontribusi terhadap 30 % dari total kalori susu. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Jika susu dipanaskan seperti pada produk susu UHT, laktosa dapat mengalami isomerisasi menjadi laktulosa. Jumlah laktulosa dalam produk susu yang dipanaskan dapat menjadi indikator kecukupan panas proses.

4. Mineral

(13)

12

Tabel 3. Kandungan mineral dalam susu sapi

Mineral Kandungan (mg/ 100 ml)

Natrium 35-50

Kalium 140-155

Kalsium 115-125

Magnesium 11-14

Fosfor 90-100

Klorida 95-110

Zat Besi 0,03--0,11

Tembaga 0,01-0,12

Mangan 0,003-0,037

Zink 0,22-1,9

Iodium 0,005-0,07

Sumber: (Chandan et al., 1992)

5. Vitamin

Susu mengandung berbagai jenis vitamin yang diperlukan tubuh. Kandungan vitamin dalam susu segar dapat dilihat pada Tabel 4. Dipandang dari sudut gizi, susu merupakan sumber yang cukup baik dari vitamin larut air yaitu B dan C, serta vitamin larut lemak yaitu A, D, dan E (Buckle et al., 2009). Namun untuk beberapa vitamin yang sensitif terhadap panas seperti vitamin C dan B9, kandungannya dapat berubah secara signifikan untuk produk susu yang diolah menggunakan panas tinggi.

Tabel 4. Kandungan vitamin rata-rata dalam susu

Vitamin Kandungan per 100 g susu

Vitamin A 160 IU

Vitamin C 2,0 mg

Vitamin D 0,5-4,4 IU

Vitamin E 0,08 mg

Vitamin B1 (Tiamin) 0,035 mg Vitamin B2 (Riboflavin) 0,17 mg Vitamin B3 ((Niasin) 0,08 mg Vitamin B5 (Asam Pantotenat) 0,35 – 0,45 mg Vitamin B6 (Piridoksin) 0,05 - 0,1 mg Vitamin B9 (Asam Folat) 3 – 8 μg

Vitamin B12 0,5 μg

Biotin 0,5 μg

Sumber: (Buckle et al., 2009)

C.

SUSU UHT (

ULTRA HIGH TEMPERATURE

)

(14)

13

rekombinasi yang disterilkan pada suhu tidak kurang dari 135oC selama 2 detik dan dikemas segera dalam kemasan yang steril dan secara aseptis. Sistem UHT sendiri merupakan salah satu cara pengolahan yang berlangsung secara kontinyu dengan pemanasan yang tinggi dan dalam waktu singkat serta diikuti dengan pendinginan secara cepat untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial (Von Bockelmann, 1998). Pemanasan dengan suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen) dan spora. Waktu pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma, dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segarnya (Astawan, 2005). Karena pemanasan pada suhu tinggi dapat menyebabkan warna coklat akibat reaksi Maillard (Clare et al, 2005). Susu UHT ditemukan pada tahun 1960-an dan sudah mulai umum dikonsumsi pada tahun 1970-an (Elliot, 2007).

Kelebihan-kelebihan susu UHT adalah masa simpannya yang relatif panjang pada suhu kamar walau tanpa penambahan bahan pengawet dan tidak perlu dimasukkan ke lemari pendingin. Jangka waktu ini lebih lama dari umur simpan produk susu cair lainnya. Selain itu susu UHT merupakan susu yang sangat higienis karena bebas dari seluruh mikroba baik mikroba patogen (penyebab penyakit) maupun mikroba pembusuk, serta spora sehingga potensi kerusakan mikrobiologis sangat minimal. Kontak panas yang sangat singkat pada proses ini menyebabkan mutu sensori (warna, aroma, dan rasa khas susu segar) dan mutu zat gizi, relatif tidak berubah. Selain itu susu UHT memiliki kandungan yang lebih murni dibanding susu bubuk maupun susu kental manis.

Pengolahan susu cair segar menjadi susu UHT sangat sedikit pengaruhnya terhadap kerusakan protein. Di lain pihak kerusakan protein sebesar 30 % terjadi pada pengolahan susu cair menjadi susu bubuk. Kerusakan protein pada pengolahan susu dapat berupa terbentuknya pigmen coklat (melanoidin) akibat reaksi Mallard. Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatik yang terjadi antara gula dan protein susu akibat proses pemanasan yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama seperti pada proses pembuatan susu bubuk. Reaksi pencoklatan tersebut menyebabkan menurunnya daya cerna protein. Proses pemanasan susu dengan suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama juga dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam-asam amino yaitu perubahan konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D. Tubuh manusia umumnya hanya dapat menggunakan asam amino dalam bentuk L. Dengan demikian proses rasemisasi sangat merugikan dari sudut pandang ketersediaan biologis asam-asam amino di dalam tubuh.. Reaksi pencoklatan (Mallard) dan rasemisasi asam amino telah berdampak kepada menurunnya ketersedian lisin pada produk-produk olahan susu. Penurunan ketersediaan lisin pada susu UHT relatif kecil yaitu hanya mencapai 0-2 %, sedangkan pada susu bubuk penurunannya dapat mencapai 5-10 %.

(15)

14

maka kesegaran susu UHT akan tetap terjaga. Teknologi UHT dan kemasan aseptik multilapis menjamin susu UHT bebas bakteri dan tahan lama serta tidak membutuhkan bahan pengawet.

Tabel 5. Syarat mutu susu UHT (tawar dan berperisa)

Sumber: SNI (1998)

Tabel 5 menunjukan syarat mutu susu UHT tawar dan berperisa menurut SNI (1998). Syarat mutu untuk warna, bau, rasa serta cemaran logam dan mikroba adalah sama untuk jenis susu UHT tawar dan berperisa. Sedangkan nilai protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, total padatan, serta pewarna tambahan untuk kedua jenis susu memilliki nilai yang berbeda-beda. Susu UHT tawar harus mengandung minimal 2,7 % protein (b/b), 3,0 % lemak (b/b) dan 8 % bahan kering tanpa lemak (b/b). Sedangkan untuk jenis susu UHT berperisa, dipersyaratkan untuk mengandung minimal 2,4 % protein (b/b) dan 2,0 % lemak (b/b). Jumlah bahan kering tanpa lemak pada susu UHT berperisa tidak dipersyaratkan nilainya. Dari persyaratan tersebut terlihat bahwa standar minimal lemak dan protein pada susu UHT tawar lebih tinggi dari susu UHT berperisa. Standar minimal protein pada susu UHT tawar (2,7 %) mendekati standar minimal protein pada susu segar (2,8 %). Bahkan standar lemak susu UHT tawar sama dengan standar minimal lemak pada susu segar, yaitu 3,0 %. Hal ini menunjukan susu UHT tawar memiiliki karakteristik yang sangat dekat dengan susu segar. Syarat lain yang membedakan jenis susu UHT tawar dan berperisa adalah adanya tambahan

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Jenis A*) Jenis B*) 1. Keadaan

1.1 Warna - Khas, normal, sesuai

label

Khas, normal, sesuai label

1.2 Bau - Khas, normal, sesuai

label

Khas, normal, sesuai label

1.3 Rasa - Khas, normal, sesuai

label

Khas, normal, sesuai label

2 Protein (N x 7) %, b/b Min. 2,7 Min. 2,4

3 Lemak %, b/b Min. 3,0 Min. 2,0

4 Bahan kering tanpa

lemak %, b/b Min. 8,0

Tidak

dipersyaratkan 5 Total padatan - Tidak dipersyaratkan Min. 12 6 Pewarna tambahan - Tidak dipersyaratkan Sesuai 7 Cemaran logam

7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 3,0 Maks. 3,0

7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0 Maks. 20,0

7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0

7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0

7.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03

8 Cemaran arsen mg/kg Maks. 0,10 Maks. 0,10

9 Cemaran mikroba

9.1 Angka lempeng total Koloni/g 0 0

*) Jenis A = Susu UHT tawar

(16)

15

bahan pewarna. Pada susu UHT tawar tidak dipersyaratkan adanya pewarna tambahan, sedangkan pada susu UHT berperisa pewarna tambahan harus sesuai dengan jenis rasa susu.

D.

PROSES PRODUKSI SUSU UHT

Teknik dasar proses UHT dihasilkan dari prinsip sterilisasi pada kombinasi suhu tinggi dan waktu singkat yang mampu memberikan tingkat inaktivasi mikroba sesuai dengan target yang diinginkan; tetapi sekaligus melindungi zat gizi sehingga hanya menyebabkan kerusakan mutu dan gizi yang minimum (Hariyadi, 2010). Menurut Bylund (1995) hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan reaksi perubahan selama proses panas. Laju inaktivasi mikroba memiliki nilai z yang lebih rendah sehingga kenaikan suhu akan menyebabkan penurunan nilai D yang lebih tajam. Sedangkan laju kerusakan mutu produk seperti kerusakan vitamin, citarasa dan perubahan kimia lainnya memiliki nilai z yang tinggi, sehingga kenaikan suhu akan mengakibatkan perubahan nilai D yang lebih lambat. Dengan kata lain, suhu yang lebih tinggi akan efektif mempercepat laju inaktivasi mikroba namun memberikan efek perlindungan yang lebih terhadap degradai mutu dan gizi. Sebaliknya jika proses pemanasan dilakukan pada suhu yang lebih rendah maka degradasi mutu juga akan terjadi lebih cepat daripada reaksi inaktivasi mikroba. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu yang menyebabkan pengurangan jumlah mikroba sebesar 1 siklus log. Sedangkan nilai z adalah besarnya nilai suhu yang mengakibatkan perubahan nilai D sebesar 1 siklus log.

(17)

16

Susu segar T < 10 º C

Standarisasi susu

Pemanasan awal (pasteurisasi)

T: 80ºC t: 20 detik

Homogenisasi

Penampungan sementara T: 6-10 ºC

Bahan-bahan kering

Pencampuran bahan kering

pencampuran

Sterilisasi T: 135-145º C

t: 2-5 detik

Homogenisasi

Pengisian aseptik Kemasan

steril

vitamin

Produk Akhir

Gambar 2. Proses produksi susu UHT berperisa

E.

BENCHMARKING

Benchmarking adalah kegiatan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menyesuaikan praktek bisnis yang sukses serta proses yang digunakan oleh perusahaan lain untuk meningkatkan kualitas kinerja perusahaan sendiri. American Productivity and Quality Centre

(18)

17

baik. Tujuan dan keberhasilan implementasi sistem benchmarking sangat mengandalkan para karyawan yang melakukan proses tersebut.

Brah et al. (1999) menunjukkan bahwa keberhasilan benchmarking diukur dengan sejauh mana praktisi pembandingan telah mencapai tujuan mereka. Benchmarking terdiri dari 2 jenis utama, yaitu :

1. Benchmarking kompetitif: merupakan uji pembanding terhadap pesaing langsung di pasar. Hal ini mungkin melibatkan pembandingan dari langkah strategis (misalnya, pangsa pasar serta kepuasan pelanggan), fungsi atau proses. Jika perusahaan dapat memperoleh informasi yang rinci mengenai kompetitor mereka, maka hal tersebut baik untuk merangsang proses perbaikan. Namun biasanya informasi ini sulit untuk didapatkan.

2. Benchmarking non-kompetitif: merupakan pembanding langkah strategis, fungsi atau proses perusahaan non-pesaing atau fungsi proses dalam organisasi yang sama (internal benchmarking)

Secara rinci, Spendolini (1992) menyatakan bahwa berdasarkan jenis obyek yang digunakan, benchmarking dapat dibagi menjadi 4 macam yaitu:

1. Proses: proses benchmarking yang dilakukan terhadap proses bisnis ataupun tahapan proses lainnya.

2. Strategi: proses benchmarking yang dilakukan terhadap struktur organisasi, kegiatan manajerial maupun strategi bisnis yang dijalankan.

3. Performa: proses benchmarking yang dilakukan terhadap biaya, keuntungan, pendapatan maupun suatu indicator spesifik lainnya

4. Produk: proses benchmarking yang dilakukan terhadap produk maupun jasa yang dihasilkan suatu perusahaan

Sedangkan berdasarkan jenis hubungannya, benchmarking terbagi menjadi 4 yaitu : 1. Internal: pengukuran dan perbandingan antar proses atau produk di dalam perusahaan

sendiri.

2. Fungsional: pengukuran dan perbandingan operasional suatu perusahaan dengan praktek terbaik dalam suatu jenis industri tertentu.

3. Generik: pengukuran dan perbandingan yang dilakukan terhadap suatu praktek yang terbaik namun mengabaikan jenis industri yang diukur.

4. Kompetitif: pengukuran dan perbandingan yang berfokus pada produk atau proses yang dimiliki oleh kompetitor.

Benchmarking kompetitif dapat membantu perusahaan untuk mengembangkan diri mereka. Untuk mendapat hasil yang maksimal, standar acuan yang digunakan pada saat

benchmarking haruslah merupakan standar tertinggi di kelasnya. Benchmarking terhadap kompetititor memiliki beberapa keuntungan. Jika kita mengamati dan mengawasi produk kompetitor, maka secara tidak langsung kita telah mengawasi pasar. Semakin kita memahami apa yang terjadi di pasar, semakin mudah pula kita melihat peluang bagi produk baru ataupun cara baru untuk menyegarkan produk kita (Nicolino, 2001).

F.

LABEL PANGAN

(19)

18

Pangan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan dan atau pembuatan makanan dan minuman. Tujuan dari pelabelan pangan ini adalah agar masyarakat yang membeli dan mengonsumsi pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikonsumsinya.

Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 menyebutkan label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan dalam pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Pada pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa sebuah label harus memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang pangan yang bersangkutan, nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal, dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

Moniharapon (1998) mengungkapkan tujuan pelabelan secara umum, antara lain : 1. Memberi info tentang isi produk yang diberi label tanpa harus membuka kemasan. 2. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal yang

perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal yang tidak kasat mata/tidak dapat diketahui secara fisik.

3. Sarana periklanan bagi produsen. 4. Memberi rasa aman pada konsumen.

Pada label pangan sekurang-kurangnya tercantum keterangan mengenai: 1. Nama produk

2. Berat bersih atau isi bersih

3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia

4. Nomor pendaftaran

5. Komposisi atau daftar bahan 6. Keterangan kadaluwarsa 7. Tanggal atau kode produksi

Menurut BPOM (2004), Secara garis besar label pangan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagian Utama, merupakan bagian label yang memuat keterangan penting unuk diketahui

masyarakat. Bagian utama label setidaknya memuat keterangan mengenai nama produk, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia, nomor pendaftaran.

2. Bagian Informasi, merupakan bagian label yang tidak termasuk bagian utama label. Bagian ini dicantumkan keterangan mengenai daftar bahan atau komposisi, informasi nilai gizi, serta keterangan lain yang sesuai dengan bab II, pasal PP No 69 Tahun 1999 seperti kode produksi, tanggal kadaluwarsa, petunjuk penyimpanan dan petunjuk penggunaan.

(20)
(21)

20

Tabel 6. Keterangan tentang label pangan dan fungsinya

No Jenis Pengertian Fungsi

1. Nama produk atau merek dagang

Tanda yang dipakai untuk membedakan makanan yang diperniagakan oleh seseorang atau badan dari makanan yang diperdagangkan oleh orang atau badan lain.

Memudahkan pengenalan produk.

2. Daftar bahan yang digunakan

Susunan bahan penyusun dan/ atau komponen yang terdapat dalam makanan.

Lebih memahami produk.

3. Berat bersih Berat produk di luar kemasan.

Catatan: Produk yang menggunakan/ bercampur media cair harus disertai berat tuntas yaitu berat pangan dikurangi media cairnya.

Mengetahui proporsi isi terhadap kemasan dan media.

4. Nama dan alamat produsen

Alamat lengkap yang memproduksi atau mengedarkan produk pangan tersebut.

Memudahkan

konsumen melakukan pengaduan jika terjadi sesuatu merugikan. 5. Tanggal

kadaluwarsa

Keterangan yang mengindikasikan tahun, bulan, tanggal kapan makanan tersebut aman dikonsumsi dari produksi sampai diterima konsumen.

Antisipasi keamanan dan keselamatan konsumen saat mengonsumsi suatu produk.

6. Kode produksi Keterangan berupa huruf atau angka atau perpaduannya yang menunjukkan riwayat barang diproduksi.

Memudahkan mendata serta mengidentifikasi produk.

7. Nomor pendaftaran

Kode dan nomor yang diberikan Departemen Kesehatan RI untuk makanan yang telah terdaftar .

Mengetahui apakah produk tersebut telah melalui pemeriksa standar depkes sehingga aman dikonsumsi.

Sumber: Moniharapon (1998)

G.

INFORMASI NILAI GIZI

Informasi nilai gizi adalah informasi mengenai kandungan zat-zat gizi yang terdapat di dalam suatu makanan kemasan. Informasi nilai gizi merupakan daftar kandungan zat gizi pangan pada label pangan sesuai dengan format yang dibakukan (Sandjaja, 2009). Informasi ini dapat berupa gram atau persen lemak, protein, karbohidrat, natrium, kalium, vitamin, dan mineral yang terkandung dalam suatu produk.

(22)

21

apabila label pangan memuat sejumlah keterangan tertentu. Menurut BPOM (2005), pencantuman informasi nilai gizi diwajibkan pada label pangan yang memuat keterangan tertentu, yaitu label pangan yang:

1. Disertai pernyataan bahwa pangan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi lainnya yang ditambahkan; atau

2. Dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang mutu dan gizi pangan, wajib ditambahkan vitamin, mineral, dan atau zat gizi lainnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan zat gizi lain yaitu karbohidrat, protein, lemak, dan komponen serta turunannya, termasuk energi.

Melalui informasi nilai gizi, produsen berkesempatan untuk menyampaikan informasi zat gizi yang terkandung dalam produknya yang kemungkinan merupakan keunggulan produk tersebut dibanding produk lainnya. Bagi konsumen informasi nilai gizi merupakan media yang berperan penting untuk mendapatkan informasi yang benar dan tidak menyesatkan dari label pangan. Dengan informasi tersebut, konsumen dapat melakukan pemilihan yang bijak terhadap produk pangan yang akan dibeli, terutama yang berkenaan dengan kandungan zat gizi di dalamnya.

Berdasarkan luas permukaan label pangan, format „Informasi Nilai Gizi‟ dikelompokkan atas:

1. Format Vertikal, untuk kemasan dengan luas permukaan label lebih dari 100 cm2

2. Format Horizontal, untuk kemasan dengan luas permukaan label kurang dari atau sama dengan 100 cm2

(23)

22

Gambar 3. Format Umum Informasi Nilai Gizi

Format Vertikal merupakan jenis format informasi nilai gizi yang banyak digunakan. Format vertikal terdiri dari beberapa model yang sesuai dengan peruntukan masing-masing yaitu:

1. Umum

2. Pangan yang ditujukan bagi bayi atau anak usia 6 sampai 24 bulan 3. Pangan yang ditujukan bagi anak usia 2 sampai 5 tahun

4. Pangan yang berisi 2 atau lebih pangan yang dikemas secara terpisah dan dimaksudkan untuk dikonsumsi masing-masing.

5. Pangan yang berbeda dalam hal rasa, aroma atau warna

6. Pangan yang biasa dikombinasikan dengan pangan lain sebelum dikonsumsi 7. Pangan yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi

Keterangan minimal yang harus dicantumkan pada informasi nilai gizi merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada informasi nilai gizi. Keterangan ini ditunjukan oleh tulisan berwarna biru pada Gambar 3. Keterangan minimal yang wajib dicantumkan antara lain adalah:

1. Ukuran takaran saji. 2. Jumlah saji per kemasan.

(24)

23

5. Kandungan karbohidrat per saji (dalam gram).

6. Kandungan lemak per saji (dalam gram). 7. Kandungan natrium per saji (dalam milligram) 8. Persentase dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

Keterangan yang dicetak dengan warna merah pada Gambar 3 merupakan jenis keterangan yang wajib dicantumkan dengan persyaratan tertentu. sedangkan yang dicetak dengan warna hijau merupakan jenis keterangan yang secara sukarela dicantumkan.

Menurut Kurniali dan Abikusno (2007), format umum label informasi nilai gizi (Gambar 3 ) terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Bagian pertama, memuat tulisan “INFORMASI NILAI GIZI‟ serta keterangan tentang

„Takaran Saji‟ dan „Jumlah Sajian per Kemasan‟

2. Bagian kedua, menyajikan keterangan mengenai kandungan zat gizi. Bagian ini dibagi menjadi tiga sub-bagian dan diawali dengan kalimat „JUMLAH PER SAJIAN”. Sub -bagian pertama memuat informasi yang berkenaan dengan energi. Sub--bagian kedua memuat keterangan yang berkenaan dengan lemak, protein, karbohidrat dan natrium. Sedangkan sub-bagian ketiga memuat keterangan tentang vitamin dan mineral lainnya. 3. Bagian ketiga, merupakan catatan kaki yang menerangkan bahwa perhitungan persentase

(25)

24

Tabel 7. Nilai Acuan Label Gizi untu Kelompok Konsumen

Sumber: BPOM (2007)

H.

PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS

(26)

25

Pada analisis komponen utama, nilai rataan dari variabel pengamatan dihitung dan dikonversikan menjadi nilai baku (nilai Z) dengan rumus:

=Nilai variabel sampel−Rataan variabel Standar deviasi sampel

Nilai baku selanjutnya diolah untuk menghasilkan plot analisis yang berupa loading plot, score plot serta biplot.

I.

ANALISIS BIPLOT

Biplot merupakan teknik statistik deskriptif dimensi ganda yang dapat disajikan secara visual dengan menyajikan secara simultan segugus obyek pengamatan dan peubah dalam suatu grafik pada suatu bidang datar sehingga ciri-ciri peubah dan obyek pengamatan serta posisi relatif antara obyek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis.

Menurut Rawlings (1988), analisis biplot dapat menunjukan hubungan antar peubah, kemiripan relatif antar obyek pengamatan, serta posisi relatif antara obyek pengamatan dengan peubah. Pada prinsipnya, biplot merupakan upaya grafis terhadap tabel ringkasan dalam tampilan dua dimensi. Informasi yang diberikan oleh biplot mencakup obyek dan peubah dalam satu gambar, sehingga disebut biplot. Beberapa informasi penting yang didapat dari tampilan biplot adalah:

1. Kedekatan antara obyek

Informasi ini dapat dijadikan panduan obyek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan obyek tertentu. Dua obyek dengan karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan.

2. Keragaman peubah

Informasi ini digunakan untuk melihat apakah ada peubah tertentu yang nilainya hampir sama untuk setiap obyek, atau sebaliknya bahwa nilai dari setiap obyek ada yang sangat besar dan ada juga yang sangat kecil. Dengan adanya informasi ini, bisa diperkirakan pada peubah mana strategi tertentu harus ditingkatkan, serta sebaliknya. Dalam biplot, peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek, sedangkan peubah yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang. 3. Hubungan (korelasi antar peubah)

Informasi ini dapat digunakan untuk menilai bagaimana peubah yang satu mempengaruhi ataupun dipengaruhi peubah yang lain. Dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut mendekati 90o

4. Nilai peubah pada suatu obyek

(27)
(28)

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilakukan melalui kegiatan magang di kantor pusat PT Nestlé Indonesia, Jakarta selama empat bulan terhitung dari tanggal 7 Februari 2011 hingga 6 Juni 2011. Kegiatan magang difokuskan pada departemen Manufacture and Regulatory Affair, divisi Teknikal.

B.

METODE PENELITIAN

Proses Benchmarking

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan melalui proses benchmarking yang meliputi beberapa tahapan seperti yang terlihat pada Gambar 4, yaitu:

a. Identifikasi awal produk pilihan

Pada tahapan ini dilakukan analisis awal mengenai produk spesifik yang akan dijadikan obyek benchmarking. Tahapan identifikasi awal ini sendiri terbagi menjadi sub-tahap, yaitu identifikasi varian produk berdasarkan rasa, serta identifikasi sub-varian berdasarkan kategori konsumen produk. Hasil tahapan ini didapat berdasarkan hasil survei konsumen yang dilakukan.

Survei konsumen dilakukan untuk mengetahui atribut apakah yang menjadi prioritas konsumen dalam memilih suatu produk. Hasil survei ini dapat menjadi informasi tambahan untuk menitikberatkan pada atribut terpenting yang perlu diperhatikan. Selain itu penulis juga menggali beberapa informasi lainnya seperti varian rasa yang digemari, kategori yang sering dikonsumsi, frekuensi konsumsi per minggu hingga ukuran kemasan yang sering dikonsumsi. Informasi-informasi ini nantinya akan digunakan sebagai latar belakang saat melakukan benchmarking. Hasil survei ini dapat digunakan untuk memfokuskan jenis susu UHT yang akan dilakukan benchmarking, mengingat ada banyak sekali jenis susu UHT yang beredar di pasaran baik dalam segi varian rasa, ukuran kemasan, maupun target konsumen. Oleh karena itu perlu dicari jenis susu UHT yang paling banyak dikonsumsi dan digemari. Survei ini melibatkan responden yang berusia minimal 13 tahun. Responden merupakan pengguna jaringan internet karena survei dilakukan melalui onlineweb survey. Kuisoner yang diberikan pada online web survey ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Responden yang digunakan dalam survei ini adalah sebanyak 410 orang.

b. Pemilihan produk acuan

Produk acuan dipilih berdasarkan data pangsa pasar produk di Indonesia. Selain itu juga digunakan data mengenai kepuasan konsumen terhadap suatu produk. Data mengenai pangsa pasar serta kepuasan konsumen ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari salah satu lembaga survei di Indonesia. Produk acuan yang dipilih merupakan beberapa merek produk yang memiliki pangsa pasar terbesar secara signifikan karena proses benchmarking menganjurkan untuk menggunakan acuan berupa produk serupa yang terbaik di kelasnya.

(29)

28

Atribut produk acuan yang akan diidentifikasi dipilih berdasarkan hasil survei yang dilakukan. Pengamatan dilakukan terhadap parameter yang menjadi faktor utama responden saat memilih produk susu UHT. Parameter produk ini terdiri dari komposisi dan kandungan nilai gizi. Data mengenai parameter ini diperoleh dari pengamatan langsung pada label kemasan produk. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai beberapa bahan serta komponen utama yang ditemukan pada produk acuan.

d. Analisis data kandungan nilai gizi produk acuan

Analisis dilakukan terhadap parameter nilai gizi menggunakan program XLSTAT dengan analisis komponen utama atau yang biasa disebut principle component analysis

(PCA) dan selanjutnya divisualisasikan menggunakan biplot. Analisis biplot digunakan untuk melihat kedekatan, keragaman, korelasi dan nilai peubah dari suatu obyek yang diukur.

Nilai rataan dari setiap data kandungan nilai gizi yang ada diolah menjadi nilai Z (nilai baku) dengan rumus:

=Nilai variabel sampel−Rataan variabel Standar deviasi sampel

Selanjutnya nilai Z diolah menggunakan program XLSTAT sehingga dihasilkan nilai akar ciri (eigenvalue), % variance, dan cumulative %. Eigenvalue atau akar ciri merupakan suatu nilai yang menunjukkan seberapa besar pengaruh suatu variabel terhadap pembentukan karakteristik sebuah vektor atau matriks. Persen variance

menunjukan besarnya keragaman data yang dapat dijelaskan pada setiap komponoen utama. Nilai persen variance diperoleh dari nilai eigen value dibagi dengan banyaknya jumlah komponen utama kemudian dikali dengan 100 %.

% �� ��=���� �

nPC x 100 %

Penentuan komponen utama didasari oleh besarnya nilai % variance. Komponen utama yang dipilih merupakan komponen utama yang memiliki % variance terbesar dan terbesar kedua. Penjumlahan nilai % variance disebut % cumulative.

% � � �= % �� ��

Selanjutnya hasil analisis data objek pengamatan dan variabel berdasarkan dua komponen utama divisualisasikan melalui grafik biplot yang dapat menunjukan kedekatan, keragaman, korelasi dan nilai peubah dari suatu obyek.

e. Penarikan kesimpulan

Tahapan akhir dari proses ini adalah penarikan kesimpulan dari hasil benchmarking

(30)

29

Proses Benchmarking

Identifikasi awal produk pilihan (survei konsumen

Pemilihan produk acuan (pangsa pasar)

Identifikasi atribut produk acuan (survei konsumen)

Analisis atribut produk acuan

[image:30.595.248.405.87.388.2]

Penarikan kesimpulan

(31)

30

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PROSES

BENCHMARKING

Inti tahapan dari proses benchmarking adalah identifikasi dan analisis. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa tahapan dalam proses ini yang terdiri dari:

a. Identifikasi Awal Produk Pilihan

Pada tahapan identifikasi awal, diperlukan adanya informasi yang dapat digunakan sebagai latar belakang dalam proses identifikasi. Informasi ini diperoleh melalui survei konsumen yang dilakukan. Berdasarkan survei yang dilakukan melalui

online web survey, didapat sebanyak 410 responden. Responden tersebut mengisi kuisoner yang terdiri dari profil responden serta isi utama kuisoner yang berupa perilaku responden.

1. Profil Responden

Profil responden terdiri dari jenis kelamin, usia, pekerjaan, domisili tempat tinggal, tingkat pendapatan rata-rata per bulan dan tingkat pengeluaran rata-rata per bulan.

Jenis Kelamin

Pada Gambar 5, diperlihatkan proporsi jenis kelamin responden. Responden yang didapat pada survei konsumen ini terdiri dari 150 responden pria dan 260 responden wanita. Hal ini menunjukan bahwa 37 % responden dalam survei ini berjenis kelamin pria, sedangkan 63 % lainnya berjenis kelamin wanita.

Gambar 5. Responden berdasarkan jenis kelamin Usia

[image:31.595.252.441.413.492.2]

Usia responden dalam survei ini dikelompokan berdasarkan rentang usia. Responden dikelompokan ke dalam lima kelompok rentang usia, yaitu 13 – 22 tahun, 23 – 32 tahun, 33 – 42 tahun, 43 – 52 tahun, dan > 52 tahun. Batas terendah rentah usia responden yang dipilih adalah 13 tahun. Hal ini dilandasi oleh alasan bahwa usia 13 tahun merupakan usia rata-rata seorang anak menginjak remaja. Pada usia ini mereka telah dianggap cukup dewasa untuk memutuskan pilihan pembelian terhadap produk susu UHT.

Gambar 6. Responden berdasarkan rentang usia 37%

63%

Pria Wanita

69% 13%

9% 8%

1%

(32)

31

Pada Gambar 6 terlihat bahwa sebanyak 69 % responden (282 orang) yang berpartisipasi dalam survei ini berada dalam rentang usia 13 – 22 tahun. Responden dengan rentang usia 23- 32 tahun ditemukan sebanyak 13 % (52 orang). Sebanyak 9 % (36 Orang) responden memiliki rentang usia 33-42 tahun. Sedangkan 8 % (34 Orang) responden berada dalam rentang usia 43- 52 tahun. Responden yang memiliki usia diatas 52 tahun hanya ditemukan sebanyak 1 % (5 Orang).

Domisili

[image:32.595.202.489.624.737.2]

Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 7, diketahui bahwa 24 % atau sebanyak 99 orang responden berdomisili di Jakarta. Sebanyak 27 % responden (111 orang) berdomisili di Bogor. Responden yang berdomisili di Depok, Tangerang dan Bekasi diketahui masing-masing sebanyak 7 % (29 orang), 14 % (58 orang) dan 6 % (26 orang). Terdapat 87 orang responden atau sekitar 21 % yang berdomisili di tempat lainnya seperti Bandung, Lampung, Medan, Kalimantan, dan Bali. Dari data ini dapat disimpulkan sebagian besar responden berdomisili di Bogor dan Jakarta yang merupakan wilayah terdekat dari tempat penelitian.

Gambar 7. Responden berdasarkan domisili tempat tinggal

Pekerjaan

Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Gambar 8, diketahui bahwa sebanyak 69 % atau 281 orang berprofesi sebagai pelajar atau mahasiswa. Jika dikaitkan dengan profil usia responden, maka data ini sangat sesuai karena pelajar dan mahasiswa rata-rata berada pada rentang usia 13 – 22 tahun. Sebanyak masing-masing 6 % (24 orang), 12 % (49 orang), 6 % (26 orang), dan 5 % (22 orang) responden berprofesi sebagai pegawai negri, pegawai swasta, wirausaha, dan ibu rumah tangga. Sedangkan 2 % (8 orang) responden tercatat memiliki jenis profesi lainnya.

Gambar 8. Responden berdasarkan jenis pekerjaan 24%

27% 7%

14% 7%

21% Jakarta

Bogor Depok Tangerang Bekasi Lainnya

69% 6%

12% 6%5%

2%

Pelajar/ Mahasiswa Pegawai Negri Pegawai Swasta Wirausaha

(33)

32

Tingkat Pendapatan Rata-Rata per Bulan

Tingkat pendapatan rata-rata per bulan dari responden terbagi menjadi lima bagian, yaitu pendapatan di bawah Rp 1.000.000, antara Rp 1.000.000 – Rp 2.500.000, antara Rp 2.500.000 – Rp 5.000.000, antara Rp 5.000.001 – Rp 10.000.000 dan di atas Rp 10.000.000. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa sebanyak 198 orang responden atau 48% memiliki tingkat pendapatan kurang dari Rp 1.000.000 per bulan lalu diikuti oleh responden yang memiliki tingkat pendapatan antara Rp 1.000.000 – Rp 2.500.000per bulan yaitu sebanyak 115 orang responden atau 28 %. Responden dengan tingkat pendapatan antara Rp 2.500.001 – Rp 5.000.000 per bulan dan antara Rp 5.000.001 – Rp 10.000.000 per bulan tercatat masing-masing sebanyak 10 %. Sedangkan sebanyak 14 orang responden atau sekitar 3 % memiliki tingkat pendapatan di atas Rp 10.000.000 per bulan. Mayoritas responden memiliki tingkat pendapatan rata-rata per bulan di bawah Rp 1.000.000. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa mayoritas responden merupakan pelajar dan mahasiswa yang pada umumnya memiliki pendapatan lebih rendah dibanding degan pekerja.

Gambar 9. Responden berdasarkan tingkat pendapatan rata-rata per bulan

Tingkat Pengeluaran Rata-Rata untuk Konsumsi per Bulan

Pada survei ini, tingkat pengeluaran rata-rata responden untuk konsumsi per bulan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu pengeluaran di bawah Rp 500.000 per bulan, antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 per bulan, antara Rp 1.000.001 – Rp 2.000.000 per bulan, antara Rp 2.000.001 – Rp 5.000.000 per bulan, serta pengeluaran di atas Rp 5.000.000 per bulan. Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 9, terlihat bahwa sebanyak 70 orang responden atau 17 % memiliki tingkat pengeluaran rata-rata untuk konsumsi per bulan di bawah Rp 500.000. Mayoritas responden yang terhimpun memiliki tingkat pengeluaran rata-rata untuk konsumsi per bulan di antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 per bulan, yaitu sebanyak 185 orang, atau sekitar 45 %. Masing-masing sebanyak 19 % (78 orang) dan 13% (53 orang) responden memiliki tingkat pengeluaran rata-rata untuk konsumsi sebesar Rp 1.000.001 – Rp 2.000.000 per bulan dan Rp 2.000.001 – Rp 5.000.000 per bulan. Sedangkan sebanyak 6 % (24 orang) memiliki tingkat pengeluaran rata-rata untuk konsumsi di atas Rp 5.000.000 per bulan.

48%

28% 10%

11% 3%

< Rp 1.000.000

(34)
[image:34.595.247.445.397.514.2]

33

Gambar 10. Responden berdasarkan tingkat pengeluaran rata-rata untuk

konsumsi per bulan 2. Perilaku Responden

Tujuan utama dari survei ini adalah mengetahui latar belakang reponden dalam memilih suatu produk susu UHT. Selain itu melalui survei ini juga didapat beberapa informasi yang akan mendukung proses benchmarking. Informasi tersebut dihasilkan dari beberapa pertanyaan yang tersaji dalam survei. Informasi ini antara lain adalah

Pola Konsumsi Susu UHT

Sebanyak 360 orang dari total 410 responden atau sekitar 88 %, diketahui pernah mengonsumsi produk susu UHT. Hal ini menunjukan bahwa susu UHT merupakan salah satu produk yang familiar di pasaran. Sehingga susu UHT dapat dikatakan memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan.

Gambar 11. Pola konsumsi susu UHT responden Alasan Tidak Mengonsumsi Susu

Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 11, terlihat bahwa 12 % responden (50 orang) mengaku tidak pernah mengonsumsi susu UHT. Penulis kemudian mencari tahu alasan mengapa para responden tersebut tidak pernah mengonsumsi UHT. Hasil alasan responden yang tidak pernah mengonsumsi susu UHT tersaji pada Gambar 12. Berdasarkan data yang terlihat pada gambar, diketahui bahwa sebanyak 12 % dari 50 orang responden tersebut (6 orang), mengaku alergi terhadap susu. Mayoritas dari mereka yaitu sebesar 58 % (29 orang) mengaku lebih menyukai produk susu lainnya seperti susu bubuk, susu kental manis, ataupun susu pasteurisasi. Hal ini dapat dipahami mengingat popularitas susu UHT di Indonesia masih kalah dibandingkan susu bubuk. Selain itu tingkat konsumsi susu cair seperti susu UHT baru mengalami peningkatan yang pesat di kurun lima tahun terakhir, yaitu sebesar 17,39 % per tahun (USDA, 2010).

17%

45% 19%

13% 6%

< Rp 500.000

Rp 500.000 - Rp 1.000.000 Rp1.000.001 - Rp 2.000.000 Rp 2.000.001 - Rp 5.000.000 > Rp 5.000.000

88% 12%

Pernah

(35)

34

Gambar 12. Alasan responden yang tidak pernah mengonsumsi susu UHT

Selain itu ditemukan sebanyak 22 % responden (11 orang) mengaku tidak mengetahui adanya jenis produk susu UHT. Fakta ini dapat menjadi dorongan bagi industri susu UHT untuk melakukan promosi terhadap produk ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan promosi lewat media masa dalam bentuk iklan komersial. Sebanyak 8 % responden atau sekitar 4 orang memberikan alasan lain mengapa mereka tidak pernah mengonsumsi susu UHT. Alasan tersebut adalah karena mereka memang tidak menyukai produk susu pada umumnya. Sedangkan 12% lainnya mengaku memiliki alergi terhadap susu atau yang biasa disebut lactose intolerant.

Tingkat Konsumsi Rata-Rata Susu UHT per Minggu

Sebanyak 360 orang responden yang mengaku pernah mengonsumsi susu UHT kemudian diberi pertanyaan yang berhubungan dengan tingkat konsumsi rata-rata produk, faktor utama pemilihan produk, preferensi varian produk, preferensi ukuran produk, serta preferensi rasa produk. Gambar 13 menunjukan tingkat konsumsi rata-rata susu UHT per minggu. Tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kurang dari 2 kali per minggu, antara 2 – 5 kali per minggu, serta lebih dari 5 kali per minggu. Dari 369 orang responden diketahui bahwa 47 % (170 orang) memiliki tingkat konsumsi rata-rata yang rendah atau di bawah 2 kali per minggu. Responden yang memiliki tingkat konsumsi sedang atau yang mengonsumsi susu UHT sebanyak 2 – 5 kali per minggu sebesar 42 % (152 orang). Sebanyak 9 % (38 orang) memiliki tingkat konsumsi susu UHT yang tinggi, yaitu lebih dari 5 kali per minggu. Jika dilihat dari tingkat konsumsi susu UHT per minggu, dapat diketahui bahwa susu UHT bukan merupakan jenis produk yang biasa dikonsumsi secara rutin setiap hari karena tingkat konsumsinya masih tergolong rendah dan sedang.

Gambar 13. Tingkat konsumsi susu UHT per minggu Kategori Susu UHT yang Sering Dikonsumsi

Informasi mengenai jenis kategori susu yang sering dikonsumsi dapat membantu dalam pemilihan sub varian produk yang akan dijadikan obyek

benchmarking. Semakin sering suatu kategori produk dikonsumsi, maka akan semakin besar peluang pembelian terhadap kategori produk tersebut.

12%

58% 22%

8% Alergi susu

Lebih menyukai produk susu lain

Tidak mengetahui adanya jenis susu UHT Lainnya

47%

42% 11%

(36)

35

Berdasarkan survei yang dilakukan, terlihat bahwa 87 % responden lebih sering mengonsumsi susu UHT regular. Susu UHT regular memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah penggunaanya yang luas baik dari segi konsumen maupun segi hasil olahan. Selain dapat dikonsumsi langsung, susu UHT regular juga biasa digunakan sebagai bahan utama maupun campuran berbagai jenis panganan. Hasil kuisoner ini menunjukan bahwa susu UHT kategori regular atau umum merupakan kategori produk yang paling potensial untuk dikembangkan.

Gambar 14. Kategori susu UHT yang sering dikonsumsi

Faktor yang Paling Berpengaruh dalam Pemilihan Produk Susu UHT Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 15, terlihat bahwa faktor yang paling mempengaruhi responden dalam memilih produk susu UHT adalah faktor komposisi dan zat gizi yang terkandung di dalamnya, yaitu sebesar 43 %. Hal ini menunjukan tingkat kesadaran konsumen akan kualitas gizi suatu produk pangan mulai meningkat. Selain itu, susu memang merupakan salah satu pangan sumber gizi yang baik sehingga konsumen menuntut suatu produk susu UHT yang memiliki kandungan gizi terbaik. Faktor lain yang cukup mempengaruhi konsumen dalam memilih produk susu UHT adalah faktor varian rasa. Beberapa konsumen masih mengutamakan rasa produk yang sesuai dengan preferensi mereka. Varian rasa berpengaruh sebesar 30 % dari total faktor. Sebesar 17 % responden memilih brand atau merek sebagai faktor yang paling berpengaruh saat mereka memilih susu UHT. Hal ini menunjukan bahwa masih ditemukan konsumen yang cenderung „brand minded”. Faktor harga hanya diutamakan oleh 6 % responden. Harga produk susu UHT yang tergolong terjangkau menjadikan faktor harga tidak terlalu banyak diutamakan konsumen saat memilih susu UHT. Kemasan, serta iklan dan promosi yang ditawarkan oleh produsen hanya sedikit berpengaruh kepada responden dalam pemilihan produk susu UHT. Responden yang memilih faktor kemasan dan iklan menjadi faktor utama pemilihan susu UHT masing-masing sebanyak 2 %.

2% 4%

87% 4%

2% 1%

Kids

Kids & Regular

Regular

Specialties

Regular & Specialties

(37)

36

Gambar 15. Faktor yang paling berpengaruh dalam pemilihan produk susu UHT

Varian Rasa Susu UHT yang Sering Dikonsumsi

Berdasarkan informasi yang didapat dari Gambar 16, terlihat bahwa 26 % dari 360 orang yang pernah mengonsumsi susu UHT lebih menggemari susu UHT plain/ tawar/ tanpa perisa. Gambar 16 juga menunjukan bahwa mayoritas responden sering mengonsumsi susu UHT berperisa coklat, yaitu sebanyak 59 % (213 orang). Responden yang lebih sering mengonsumsi susu UHT berperisa stroberi adalah sebanyak 12 % (43 orang). Sedangkan sebanyak 3 % responden atau sekitar 9 orang menngaku lebih sering mengonsumsi susu UHT berperisa lainnya seperti vanilla, keju, dan moka. Hasil ini menunjukan bahwa susu UHT berperisa, terutama berperisa coklat, lebih digemari dibandingkan susu UHT tanpa perisa.

Gambar 16. Varian rasa susu UHT yang sering dikonsumsi Tempat yang Paling Sering Dipilih untuk Membeli Susu UHT

Informasi mengenai tempat yang paling sering dipilih oleh responden untuk membeli susu UHT dapat digunakan sebagai informasi tambahan yang penting. Informasi ini dapat menunjukan tempat apa yang perlu difokuskan oleh suatu produsen susu UHT ketika akan mendistribusikan produk mereka. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa sebanyak 48 % responden lebih gemar membeli susu UHT di minimarket. Hanya 1 % responden yang gemar membeli susu UHT di pasar tradisional. Hal

Gambar

Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian
Gambar 6. Responden berdasarkan rentang usia
Gambar 7. Responden berdasarkan domisili tempat tinggal
Gambar 10. Responden berdasarkan tingkat pengeluaran rata-rata untuk
+7

Referensi

Dokumen terkait