ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP : 150 169 102
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH D AN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB
SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 April 2009. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
(SHI) pada Program Ahwal Syakhsiyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 29 April 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM.
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA.
(...) NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH.
(...) NIP. 150 285 072
3. Pembimbing: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA.
(………..) NIP. 150 169 102
4 Penguji I : Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, MA (………..)
NIP. 150 326 896
5 Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag.
(...)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 April 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah saw serta iringi doa untuk keluarga, sahabat dan
seluruh pengikut yang selalu setia sampai akhir zaman. Penulis bersyukur kepada
Illahi Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada penulis
sehingga skripsi ini yang berjudul: “ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN
MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH” telah terselesaikan.
Masa begitu cepat berlalu sehingga tidak terasa perjalanan panjang
menempuh studi di Universiti Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullh Jakarta
telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalanan yang
telah telusuri, yang akhirnya penulis tersadar bahwa perjalanan menyelesaikan
skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari,
sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan dengan penuh keikhlasan, maka tidak
akan menghasilkan kesia-siaan dan tidak akan terasa sulit.
Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dari
berbagai pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM. Dekan Fakultas Syariah
dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
2. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. dan Drs. Kamarusdiana Sag, MA,
masing-masing selaku ketua dan sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah
banyak memberikan motivasi kepada penulis.
3. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. selaku dosen bimbingan yang dengan penuh
kesabaran dalam memberi arahan dan masukan kepada penulis dan telah
memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan motivasi yang besar
dalam proses penulisan skripsi ini hingga tuntasnya sudah skripsi ini, hanya
Allah saja yang selayaknya membalas jasanya.
4. Seluruh staff pengajar (dosen) jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah
dan Hukum, serta kepada karyawan dan staff perpustakaan.
5. Seluruh pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang banyak membantu
penulis hingga tuntasnya skripsi ini.
6. Dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah terutama Bapak Rektor
Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen, Ustaz Tarmizi, Ustaz Ibrahim, Ustaz Roslan,
Ustaz Fuzi, Ustaz Baharuddin, Ustazah Masyitah dan Ustazah Zuraidah yang
telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penulis hingga
dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia ini.
7. Teristimewa buat tatapan ayahanda Mustafa Bin Ismail dan Ibunda Zaini Binti
Salleh yang amat disayangi. Terima kasih atas perhatian segala doa dan
kesabaran atas jerih payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas serta
dapat menyelesaikan pengajian, segala jasa pengorbanan kalian senantiasa
terpahat di ingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan,
melainkan hanya dengan sebuah kejayaan.
8. Khas buat suami tersayang Zulkifli bin Mat Nor, yang segala pengorbanan
telah memberikan curah kasih sayang yang tidak terhingga, dan memberi
dorongan yang sangat berharga sehingga penulis dapat mencapai sebuah
kejayaan yang diimpikan, dan penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah swt membalas segala perbuatan amal kebaikan yang telah
dilakukan.
9. Keluargaku yang tercinta, Mohd Syaifullah, Mu’adz Arrodzy, Nurul Shuhada,
Khairulanuar Naim, Rabiatul Adawiyah, Farah Nasuha dan Jalilah Badriah
yang telah mendukung penulis dalam menyiapkan skripsi.
10.Kepada bapak mertua dan Ibu mertua yang disayangi, Mat Nor Bin Ismail dan
Rohani binti Abdul Rahman, serta adik ipar, Nor Hafiza, Rosli, Nor Azlina,
Aminah, Mailatul Sa’diah, Nurul Huda dan anak saudaraku, Mohd Danish
Islam yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menuntut ilmu.
11.Kepada bapa saudara, emak saudara dari pihak ayah maupun ibu yang telah
banyak memberikan pertolongan dan dorongan dalam menuntut ilmu di bumi
indonesia ini dari berbagai aspek sehingga penulis dapat menyiapkan skripsi
ini.
12.Buat sahabat-sahabat seperjuangan dalam menuntut ilmu yang dikasihi Nur
Shuhada, Khairulneza, Surina, Noor Baizura, Nurul Huda, Habibah, Erni
Islam Dan Dakwah (APID) dan teman-teman dari Kolej Universiti Darul
Quran Islamiyyah (KUDQI), terima kasih atas semangat dan dorongan kalian
semua.
13.Tidak lupa juga buat saudara-saudaraku di Malaysia yang setia menanti
kepulangan penulis membawa kejayaan untuk semua.
14.Teman-teman dari muslimin dan muslimat seangkatan 2007/2009 jurusan
Ahwal Syakhshiyah. Terima kasih atas kebersamaanya selama penulis
menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
ini.
15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini
sehingga selesai.
Terakhir, semoga kehadiran skripsi ini dapat mendatangkan manfaat dan
memberikan kontribusi positif dalam mencari ilmu. Untuk mereka semua,
penulis pribadi tidak bias membalas kecuali dengan ucapan ”Jazakumullah
Khaira al-Jaza”. Semoga Allah swt memberi keberkatan kepada semua dalam
mengharungi tribulasi dalam kehidupan.
-Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, 7 April 2009 M
11 Rabiul Awal 1430 H
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...v
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...3
C. Tujuan dan Manfaat penelitian...5
D. Review Studi Terdahulu... 5
E. Metode Penelitian...7
F. Definisi Oferasional...9
G. Sistematika Penulisan...33
BAB II IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH………...35
A. Profil Imam Syafi’i...35
1. Nama Imam Syafi’i dan Nasabnya...35
2. Latar Belakang Pendidikannya...36
B. Guru-guru Imam Syafi’i dan Murid-Muridnya...38
D.Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Imam Syafi’i Dalam Menetapkan Hukum
Islam...44
BAB III EKSISTENSI HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH...55
A. Pengertian Saksi dan Dasar Hukumya...55
B. Kedudukan Saksi Dalam Akad Nikah...58
C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah...61
BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH...77
A. Pendapat Ulama Secara Umum...77
B. Pendapat Mazhab Syafi’i...82
C. Dalil-dalil Yang Digunakan Serta Pemahamannya...84
D. Akibat Hukum...87
BAB V PENUTUP...90
A. Kesimpulan...90
B. Saran-saran...92
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam telah mensyariatkan pernikahan serta meletakkan peraturan-peraturan
yang jelas dan tepat. Peraturan-peraturan ini diasaskan di atas prinsip-prinsip
kukuh yang menjamin kesejahteraan masyarakat, kebahagiaan rumah tangga,
penyebaran kebaikan, penjagaan akhlak serta pengekalan keturunan manusia.
Allah SWT telah mencipta manusia serta membekalkan dengan keinginan kepada
wanita. Fitrah ini juga dibekalkan kepada wanita-wanita.
Oleh karena Islam merupakan agama fitrah, maka Islam telah mensyariatkan
perkawinan untuk menyahut seruan fitrah yang ada pada jiwa manusia.1
Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.2
Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan
antara lain adalah saksi dalam akad nikah, karena ia merupakan salah satu rukun
1 Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie Menghuraikan Bab Undang-undang kekeluargaan: Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan,(Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. 2005), Cet I, h. 572
nikah. Saksi merupakan peranan yang penting dalam akad nikah. Walaupun akad
nikah sama dengan akad-akad lain yang mensyaratkan keredaan, ijab dan qabul,
tetapi Islam amat memuliakan akad nikah. Islam menjadikannya sebagian
daripada agama dan pengabdian diri kepada Allah SWT. Oleh itu, melakukannya
dikira sebagai melakukan ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya serta mendapat pahala kepada siapa yang melakukannya.
Oleh karena akad nikah dan kesannya amat besar dan berat yaitu menghalalkan
kehidupan suami isteri, wajibnya memberikan mas kahwin kepada isteri, nafkah,
dan sebagainya. Islam telah mengambil langkah berjaga-jaga dengan mewajibkan
adanya saksi untuk menyaksikan akad nikah yang akan dilansungkan. Disamping
meletakkan beberapa syarat pada saksi yang melayakkannya menjadi tempat
kepercayaan untuk memperakui kesan-kesan tersebut apabila diperlukan yaitu
ketika difitnah dan berlaku kekecokan antara suami isteri atau salah seorang
enggan melaksanakan hak-hak dan tanggungjawab. Dengan demikian jelaslah
bahwa perkawinan yang berlansung tanpa ada saksi akan menimbulkan
permasalahan dan sukar dalam menyelesaikan masalah yang telah berlaku dalam
pernikahan.3
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting dalam pernikahan. Apabila
tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah
walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi
merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa
saksi dalam akad nikah termasuk rukun pernikahan.4 Dua orang saksi tersebut
diisyaratkan mengetahui bahasa yang dipergunakan oleh calon suami dan isteri5
Pendapat tersebut berbeda dengan imam Malik dan para sahabatnya bahwa
saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka
beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika
berlansungnya jual beli sebagaimana tersebut di dalam Al-Quran bukan
merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi.
Menyedari bahwa masih banyak lagi yang perlu diketahui dan diselidiki tentang
kesaksian dalam akad nikah, dan berdasarkan pengamatan inilah penulis merasa
terpanggil untuk membuat kajian dengan judul “ANALISA TERHADAP
PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah:
Dalam penelitian untuk tidak melebar pembahasan, penulis memfokuskan
penelitian tentang analisa terhadap pemikiran mazhab Syafi’i tentang hukum
kesaksian dalam akad nikah.
4ibid., h. 99
2. Rumusan Masalah:
Imam Syafi’i mengatakan hukum kesaksian dalam akad nikah merupakan
rukun pernikahan. Saksi merupakan rukun yang ke lima. Ternyata dikalangan
mereka Imam empat mazhab berbeda pendapat tentang kehadiran saksi
dalam akad nikah. Hal ini yang ingin penulis selusuri dalam penulisan skripsi
ini.
Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut;
1. Apakah konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fiqih?
2. Bagaimanakah pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam
akad nikah?
3. Apakah dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian
dalam akad nikah dan persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut
Kompilasi Hukum Islam?
4. Faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti mempuyai tujuan tersendiri,
demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai
tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian terdahulu, maka penelitian ini
bertujuan untuk;
1. Mengetahui konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fikih.
2. Mengetahui pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam akad
nikah.
3. Mengetahui dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap
hukum kesaksian dalam akad nikah dan mengetahui persepsi kehadiran saksi
dalam akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam.
4. Mengetahui faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut
mazhab Syafi’.
D. Rewiew Studi Terdahulu No
1
Nama penulis/ Judul / Tahun
Abdul Azis, Kedudukan Saksi
dalam Perkawinan Menurut
Tinjauan Imam Syafi’i dan
Imam Hanafi, 2003. Fakultas
Syariah dan Hukum
Subtansi
Dalam skripsi ini,
penulisnya ingin
mengtahui
tentang
bagaimana saksi
Keterangan
Di sini, al-Imam
asy-Syafi’i
mensyaratkan
saksi yang
dalam akad
perkawinan
menurut al-Imam
asy-Syafi’i dan
al-Imam Abu
Hanifah.
Bahwasanya
kedua imam ini
menyepakati
dalam beberapa
hal tentang saksi,
namun ada
perbedaan akan
kehadiran saksi
pada
perlaksanaan
akad perkawinan
yaitu dalam hal
harus ada atau
tidaknya sifat adil
pada saksi, dan
menyaksikan
akad pernikahan
harus memiliki
sifat adil sehingga
akad pernikahan
itu menjadi sah,
selain itu agar
dapat diterima
kesaksian atau
pemberitahuan
para saksi itu
kepada khalayak
ramai. Kemudian
al-Imam Abu
Hanifah tidak
mensyaratkan
saksi yang
menghadiri dan
menyaksikan
akad pernikahan
dihadiri atau
disaksikan oleh
saksi laki-laki
atau wanita dalam
menyaksikan
proses akad
perkawinan
tersebut. Dengan
adanya perbedaan
ini akan
mengakibatkan
sah tidaknya akad
perkawinan.
sifat adil, maka
dengan demikian
akad pernikahan
itu sah karena
hadirnya saksi
dalam akad
pernikahan hanya
untuk
pemberitahuan
saja pada
khalayak ramai.
Dari judul skripsi di atas, terdapat persamaan pembahasannya dengan skripsi
yang akan dibahaskan oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas secara
mendalam tentang Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum
Kesaksian Dalam Akad Pernikahan.
E. Metode Penelitian
Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah,
tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat
mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin
dicapai. Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan
merupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang
bersangkutan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Penentuan Jenis Data
Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubung dengan topik yang
dikaji, yaitu Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum
Kesaksiaan Dalam Akad Nikah
2. Sumber Data
a) Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber
pertama adalah dari kitab-kitab Syafi’iyyah.6 Data Sekunder merupakan data
pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal, ensiklopedia, kamus dan
sebagainya.
3. Pengumpulan Data
Merupakan library research yaitu melakukan penelitian kepustakaan dan
mengumpulkan data seperti kitab-kitab yang muktabar antaranya: Kitab Fiqih
mazhab Syafi’i, Fiqih Munakahat, Bidayatul Mujtahid, Panduan Keluarga
Muslim, Fikih Lima Mazhab, Kompilasi Hukum Islam dan lainya.
4. Teknik Analisis Data
Yaitu pengumpulan data-data melalui bacaan, penelusuran kitab-kitab dan
lain-lain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahaskan dan
kemudian dianalisis terhadap masalah yang ada sehingga menjadi suatu karya
tulisan yang rapi dan utuh.
5. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis berpandukan pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.
F. Definisi Oferasional
1. Definisi Nikah
Kata “nikah” atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab. Dilihat secara makna
etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain
bermakna “akad dan bersetubuh” yang secara syara’ berarti akad pernikahan.
Secara terminologi (istilah) makna “nikah” atau “zawaj” adalah :
a) Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari
seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.
b) Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk menikmati secara biologis antara
keduanya.7
Kata banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, hal tersebut
dijelaskan di dalam QS. Al-Nisa (3): 3
!"
#$ %&""$'
" (
)"$
+ %$!
,-.(
- /"0 -.1!"
234 5 (
67 89
:
6;
<=
>$'
?:A
!-B
$
C36B-8D
$'
).
/
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja.”
Kata dalam Al-Quran adalah :
"EF89$'
202$G
2B H6I
"JK 7-.(
LM$
"6N$% 31O4P 6I
Q $R-!
S
% H
8
U-V-( $#F !"
2W M6X
Y
ZWD
I
Q+ N\/" - ]
$^
Q S_$G
E,`K 7-(
LM$
abGcd
M (
e/"
V
(
Artinya: “Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab (33): 37
Definisi lain tentang nikah adalah:
Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga
berdasarkan kepada tuntutan agama.8 Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian
atau akad (ijab qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yng sah yang
mengandung syarat-syarat dan rukun yang ditentukan oleh syariat Islam.9
Nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara kedua belah pihak untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara yang diredhoi oleh Allah
SWT.10
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan menjalin
hubungan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan
seksual, dan bersetubuh.11
Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Berunei Darussalam),
digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah “perikatan yang sah antara lelaki dengan
8Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas (Jakarta: 2008), cet 1, h. 3
9Ibid., h. 3
10 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan, Undang-Undang No 1 thn 1974 Tentang Perkawinan, (Yokyakarta: Liberty, 1986), cet 2, h. 8
perempuan menjadi suami istri, nikah”. Berkahwin maksudnya sudah mempunyai
istri (suami).12
Pendapat Ulama Tentang Nikah
Nikah menurut golongan As-Syafi’iyyah yaitu:
!" # "$ " "%&'"( )* +'" ,-./0! 123 4-5"( $ 6"
13
Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha
dengan lafaz nikah atau tazwij yang semakna keduanya”.
Golongan Malikiyyah mendefinisikan nikah sebagai:
7 -89"( :0.8; "<"=> ?8@ "7-8" A "( "BC1'0 "7 0 "A-?9 D'3 123 4- "( $ E
14
"
Artinya: “Nikah merupakan akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata
untuk membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati apa yang ada
pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya”.
Menurut golongan imam Hanafiyyah makna nikah sebagai:
F1GH "7 0. +'" 18"&! 123 4- "( $ E
15
Artinya: “Nikah itu adalah akad yang berfaedah memiliki, bersenag-senang dengan
sengaja”.
12 Dewan Bahasa dan Pustaka, KamusDewan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), h. 588
13 Djama’an Nur, FiqhMunakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.3
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga.
Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan
manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.16
Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus
dilakukan yaitu:
a. Menurut Al-Qur’an17
Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf
:189 menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang yaitu:
f
g-Gh/"
+ %$ 89$i
,-.(
jk
l&
m36B-8D
Sn6
64
"JK 7-(
"6N64
6I
, %?
]-!
"JKQo$!
"EF89$'
"6Npqr ?$
Os896F6X
CcOF6X
"V
-
6
O+kM6F$'
t-X <
/"EF89$'
s89$
:
P]
h/"
"6F#Nu<
v$!
"31
]$
"x$
9 0y
P $z
% Vh!
,-(
a{}M % qr!"
)
I ?3
/
:
JKL
(
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”.
16 A.Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim,2006) Cet, 1, h. 86
Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya
tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang
diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan
jasmani.18 Dan kedua, dalam surat Al-Rum (30): 21
O,-(
t-X-
H
~896i
< %$!
O,-.(
Q+ %
•
&
Gx,D
I
Y V %?
A-€!
"6N ]$!
Sn6
64
+•• V ‚ <
V3P]
P(
DJ6FOX
P
6ƒ-!D$^
ms
H„6
R…Q $ -€!
Mh%c
H
)
M ?
/
N
:
(
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Dalam ayat tersebut terkandung makna ada tiga yang dituju satu perkawinan
yakni:
1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang
sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam.
Sebab itulah pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan keleher hewan
ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam.
2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang
berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah
pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat
kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak
terjadi benturan karena tidak mampu mengontrol rasa cinta yang memang
terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering
meluap-luap.
3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya
demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa
cinta/sayang. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia
pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedangkan mawaddahnya
semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek
kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah)
yang ada pada mereka, tetepi rahmah (sayang).19
b. Menurut Hadits20
Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits, yaitu:
1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah
maknanya nabi saw menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur
bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Haditsnya berbunyi:
O-P ?P
!
" ?&'" , Q "?GO'" CR@Q 4-"S; - 08'; T O
" U V0ﺱ"X ,
4-"S; "M>G "( "48' ; Y"V0 ! Z"S;
4
="
21
Artinya: “Hai sekalian pemuda siapa yang punya kemampuan diantara kalian
maka hendaklah ia menikah, karena yang demikian lebih menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan, apabila tidak punya kemampuan
maka hendaklah ia berpuasa karena yang demikian dapat meredam
(keinginan)”.
2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat, yakni dengan banyaknya
keturunan umat islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi
menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi SAW harapkan,
karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar.
Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi
SAW mencelanya.22
c. Menurut Akal
Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan23:
1) Bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau
diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus
diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk
kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang
tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan
perkawinan/pernikahan.
2) Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan,
terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu
akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak
siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini
menjadi awal dari sebesar-besar bencana.
3) Untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki
barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau
sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu ada ahli waris yang menerima
atau menampung harta peniggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli
waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan
pernikahan. 24
Dalam Islam nikah merupakan salah satu syariat yang dianjurkan oleh
Rasulullah saw. Pernikahan merupakan syariat Allah untuk mengatur hubungan
laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulanan kekeluargaan yang penuh
kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan
kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah wa rahmah.25 Dengan
nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang
sebelunya dilarang oleh agama, misalnya seksual.26 Oleh karena itu, konsep
pernikahan seharusnya juga dipahami sebagai penghargaan atas harkat dan
martabat kemanusiaan. Isteri milik suami, demikian juga sebaliknya suami milik
isteri.
Wahbah al-Zuhaili membuat definisi nikah sebagai ikatan yang ditentukan oleh
pembuat hukum (syari’) yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapat
kesenangan seksual) dari isterinya dan demikian juga, bagi perempuan untuk
mendapatkan kesenangan seksual dari pihak suaminya27.
Kaidah fiqh tentang pernikahan adalah:
" ( ," [ Y"&0 ! Z "+8"'.# " ( ," $ E
"7 & . "+8"'.#
28
Artinya: “Nikah adalah salah satu dari cara kepemilikan yang saling
memanfaatkan, bukan salah satu dari sebab milik manfaat”.
25 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikiran Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), Cet 1, h. 149
26Ibid., h. 149 27Ibid., h. 151
Kaedah di atas memperlihatkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Sebab dua pihak yang menikah, laki-laki dan perempuan mempunyai hak saling
manfaat (bukan milik manfaat yang biasanya difahami sebagai milik bagi
suami).29
Pengertian nikah menurut Slamet Abidin dalam kitab Fikih Munakahat 1
adalah30:
Merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya,
baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang
dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak,
dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing
pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan
pernikahan itu sendiri. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa (3): 1
"JKaB †l
H
=P"PV!"
• ‡ "
+ %u<
g-Gh/"
< %$ 89$i
,-.(
jk
l&
m36B-8D
~896
"JK 7-(
"6N64
6I
E7 <
"
`K 7-(
V G6,
VoM-5cd
x /"0
ˆ
Artinya: “Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu (adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya
29Ibid., h. 89
(hawa) dari diri-Nya dan dari keduanya Allah berkembang-biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak”
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau
tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia,
maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.31
Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara
terhormat berdasarkan kerelaan dalam sesuatu ikatan berupa pernikahan. Bentuk
pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak
laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan
seenaknya. Pergaulan suami isteri diletakkan di bawah naungan keibuan dan
kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil
yang memuaskan.32
Peraturan pernikahan semacam inilah yang diredhoi oleh Allah SWT dan
diabdikan di dalam Islam untuk selamnya. Ulama Syafi’iyyah menyebutkan
bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafaz nikah
$ "
atau zauj
(
).
33
31Ibid., h. 9
2. Definisi Hukum
Hukum adalah merupakan suatu ketetapan Allah SWT dan (Rasul-Nya) yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan perintah, pilihan atau ketetapan.
Atau perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, baik perintah untuk mengerjakan
sesuatu atau perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan atau larangan, atau
menerangkan kebolehan (mubah) mengerjakan sesuatu atau sebagai suatu
anjuran, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya.34 Tentang hukum,
Al-Quran menyebutkan: surat Al-An’am (6):57
Qn
G
3‰
8
ƒJ VŠ.‚ <
,-.(
8‹k
:AQ<q SŒ
t-X <
" (
•-BV-
" (
ab
9ŠŽ
? 8n
t-X
<
v
+%# !"
\/
‚v•
H
P~6$ !"
f
oQM6
~
• c
!"
M
Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al
Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa
(azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia
pemberi Keputusan yang paling baik”.
33Ibid., h. 9
34 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), cet 2, h. 106
Hukum menurut mazhab Syafi’i terbagi kepada lima bagian yaitu35 :
1) Wajib. Menurut istilah ahli ushul ialah khitab (kalam) Allah SWT yang
menurut pekerjaan dengan tuntutan pasti. Sedangkan wajib menurut
pengertian fiqh ialah sesuatu (hukum) yang apabila dikerjakan pelakunya
mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Misalnya
melaksanakan solat lima waktu, menutup aurat dan sebagainya.
2) Haram. Sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika
mengerjakannya dan mendapat pahala apabila meniggalkannya, dan sebagai
lawan halal. Misalnya memakan bangkai binatang, memakan makanan yang
bukan hasilnya yaitu dari hasil mencuri.
3) Sunnah. Menurut bahasa adalah jalan atau tradisi yang sudah dibiasakan.
Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah segala yang dinukilkan oleh
Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau takrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup, baik yang sebelum beliau diangkat menjadi rasul
maupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul fiqih ialah segala yang
dinukilkan dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan maupun takrir
(pengakuan) yang mempunyai hubungan dengan hukum. Misalnya berpuasa
sunat pada hari senin. 36
35Ibid., h. 106
4) Makruh. Yaitu sesuatu perkara yang dibenci, tidak disukai, dan tidak
disenangi. Menurut istilah adalah sesuatu yang diberi pahala karena
meniggalkannya dan tidak disiksa karena mengerjakannya. Dengan kata lain
adalah merupakan sesuatu yang lebih baik ditinggalkan, meskipun dikerjakan
tidak dianggap salah atau berdosa. Misalnya makan makanan yang berbau
busuk bagi orang yang akan menghadiri jama’ah.37
5) Mubah. Adalah hukum yang berhubungan dengan perkara-perkara yang
boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Artinya, jika perkara tersebut
dikerjakan. Tidak berdosa atau berpahala, demikian pula jika ditinggalkan.
Misalnya di dalam al-quran surat al-Jumu’ah ayat 10 artinya, ”apabila telah
ditunaikan solat, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah kurnia Allah dan
ingatlah Allah SWT banyak-banyak agar kamu beruntung”. Setelah
mengerjakan solat apakah kita duduk saja di rumah, ini merupakan perbuatan
mudah. Perbuatan mubah merupakan lapangan yang luas dalam kehidupan
manusia. Diperbuat ataupun ditinggalkan mempunyai status hukum yang
sama, yaitu tidak mendapat pahala atau disiksa seperti makan, minum, dan
lain-lainya. 38
3. Definisi Saksi
37Ibid., h. 106
Saksi secara etimologi adalah merupakan sebuah benda yang memiliki arti orang
yang melihat atau mengetahui sesuatu peristiwa tertentu.39 Saksi dalam
Ensiklopedia Islam adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri sendiri
suatu peristiwa (kejadian), saksi orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa
untuk menyaksikan atau mengetahui agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat
memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh
terjadi.40
Dalam kamus istilah fikih mengatakan saksi merupakan orang atau orang-orang
yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam
pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting, apalagi ada kebiasaan
didalam masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak
dicatat. Agar dapat menjadi alat bukti yang sah, pembuktian harus mengenai
hal-hal yang dilihat dan didengar sendiri oleh saksi sendiri, yang disebut persaksian
atas dasar yakin. Ada pula persaksian yang cukup dengan hal-hal yang diketahui
atas dasar persangkaan umum, karena saksi hanya mendengar sahaja, tetapi yakin
akan kebenaran kesaksian (syahadah) adalah keterangan orang yang dapat
dipercayai di depan sidang pengadilan. Perkara yang tidak dapat menerima
39 WJS Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.826
pembuktian kecuali dengan dua orang saksi laki-laki. Yaitu perkara tindak pidana
dan perkara yang umumnya disaksikan kaum laki-laki, seperti hakim dan talak.41
Imam Muhali mengatakan:
"X
/2 "\"'9 D"; "TA :-P "%&'"( ]^ "_ O`"a b1"ﺹ d Oe
42
"
Artinya: “ Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan sesuatu hak dengan ucapan
kesaksian di depan sidang pengadilan”.
Saksi menurut Imam Syafi’i yaitu seseorang diberikan tanggungjawab untuk
menyaksikan sesuatu peristiwa yang diketahui secara pasti. Saksi tersebut
mestilah bersifat adil (jujur). Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui
sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Saksi adalah orang yang diminta hadir pada
suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan atau mengetahuinya agar sesuatu
ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh terjadi.43
4. Definisi Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama. Sedangkan makna qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
41 M.Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, h. 106
42 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahali, Qalyubi Wa Umairah, (Riyadh: Maktabah Ar-Riadkil Haditsh, t.th), jilid IV, h. 316
Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya : “saya kawinkan anak saya
yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya : “Saya terima mengawini
anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”.
Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad
perkawinan itu bukanlah sekadar perjanjian yang bersifat keperdataan . Ia
dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam Al-Quran dengan
ungkapan
Ff8"'@ FH g8"
yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh duaorang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu
berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.44
Terdapat dua rukun di dalam akad nikah, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah
ungkapan pertama yang dinyatakan oleh pelaku akad nikah sebagai tanda
penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Bila pernyataan itu sudah
dikeluarkan, maka dikatakan bahwa orang itu telah melakukan ijab. Adapun qabul
adalah ungkapan dari pihak kedua yang melakukan akad (perjanjian) nikah,
sebagai pernyataan bahwa dia rela dan sepakat atas penawaran pihak pelaku akad
yang pertama. Bila pernyataan itu telah terjadi, maka dikatakan kepadanya bahwa
ia telah menerima atau melakukan qabul. Jika ijab dan qabul telah dinyatakan
sesuai syarat sahnya, maka akad nikah telah terlaksana dan telah memenuhi
syaratnya. Kemudian mereka boleh melakukan pekerjaan yang dihalalkan karena
akad nikah itu termasuk hubungan seksual secara langsung.45
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk
sahnya suatu akad pernikahan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat
tersebut ada disepakati oleh ulama dan di antaranya diperselisihkan oleh ulama.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah
penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki seperti ucapan wali
pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A
kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul adalah penerimaan
dari pihak laki-laki:“saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A
dengan mahar sebuah kitab suci al-Quran”.
2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti menyebutkan nama si
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3) Ijab dan qabul haruslah diucapkan secara bersambungan tanpa terputus
walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan
qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang
pendek.
4) Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu
ditujukan untuk selama hidup.
5) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak
boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran
itu diperlukan niat. Sedangkan saksi yang harus dalam perkawinan itu tidak
akan dapat mengetahui apa yang diniatkan seseorang. 46
Ulama Syafi’iyah mengatakan akad nikah adalah :
" !" 0
"$ a "%&'"( " h> 7 (" ,-./0! 123
47
Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan
kelamin dengan menggunakan lafaz atau .”
Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua
belah pihak (suami dan isteri), dimana status kepemilikan akibat akad nikah
tersebut bagi laki-laki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan
segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh yang
lainnya, dalam fiqh disebut istilah “ Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki
penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri) yang digunakan untuk
dirinya sendiri.48
46 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kecana, 2006), cet 1, h. 61
47Ibid., h.81
Bagi perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh
kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya
sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang
suami bersama perempuan lainya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan
di sini merupakan hak berserikat antara para isteri.49
Akad nikah juga merupakan rukun yang pokok dalam pernikahan adalah
keredhoan laki-laki dan permpuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup
berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat
dilihat dengan kasatmata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk
menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami isteri. Simbolisasi itu
diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Pernyataan pertama sebagai pertanyaan kemauan untuk membentuk hubungan
suami isteri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak
yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya,
disebut “qabul”. Para fikih mengatakan bahwa syarat pernikahan adalah ijab dan
qabul.
penuh, seperti memperoleh benda tersebut dengan jalan membeli atau mewarisinya dari keluarga. Terhadap benda yang didapatkan melalui jalan ini dapat saja dijual atau digadai oleh si pemilik.Ketiga : Milkal-Manfa’ah yaitu hak memiliki manfaat atau kegunaan atas suatu benda dengan jalan menyewa atau meminjam.
Syarat ijab qabul untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum
pada suami isteri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut50:
1) Kedua belah pihak sudah tamyiz. Jika salah satu pihak ada yang gila atau
masih kecil dan belum tamyiz (dapat membedakan benar dan salah) maka
pernikahannya tidak sah.
2) Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis dan waktu, yaitu ketika
mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselangi dengan kata-kata lain. Artinya,
antara ijab dan qabul tidak dipisahkan oleh suatu pembicaraan, yang menurut
kebiasaan boleh menganggu pelaksanaan ijab dengan masalah yang lain.
3) Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab kecuali kalau lebih
baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuan
yang lebih tegas. Jika pengijab mengatakan “ aku nikahkan kamu dengan
anak perempuanku (fulanah) dengan mahar Rp100.000”, misalnya, lalu qabil
menjawab “aku menerima nikahnya dengan Rp200.000”, maka nikahnya
sebab qabulnya mengandung hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari
yang dinyatakan peng-ijab.
4) Pihak-pihak yang melakukan akad haruslah dapat mendengarkan pernyataan
masing-masing dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya
perlaksanaan akad nikah. Sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat
50 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Nor Hasanuddin (Kohirah: Darl Fath, 2004), jilid 2, h. 542
difahami, karena yang dipertimbangkan disini adalah maksud dan niat,
bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul. 51
Akad nikah dapat dilaksanakan dengan bahasa yang difahami oleh semua orang,
selama maksud yang disampaikan adalah adanya keinginan untuk mengadakan
ikatan perkawinan, tanpa ada tipu daya atau ada sesuatu yang disembunyikan.
Isyarat yang dipakai oleh orang yang bisu untuk menyatakan akad nikahnya
adalah sah, selama isyarat itu menunjukkan adanya keinginan untuk
melaksanakan perkawinan. Jika tidak, maka akad nikahnya tidak sah, karena
perjanjian (akad) yang terjadi di antara dua orang harus benar-benar difahami
oleh kedua belah pihak.
Ada juga yang mengatakan boleh menikahkan orang yang sedang tidak ada
ditempatnya (ghaib). Misalnya jika ada seseorang yang ingin melakukan akad
nikah, tetapi ia hanya mengutus seseorang, atau menulis pesan kepada pihak
kedua bahawa ia ingin menikahinya. Maka pihak kedua, jika berkenaan menerima
tawaran itu, harus menghadirkan saksi-saksi untuk memperdengarkan kapada
mereka maksud pesan tertulis itu, kemudian menyelenggarakan kesaksian dalam
suatu majlis bahwa ia menerima tawaran pernikahan itu. Majlis yang
diselenggarakannya dianggap sebagai syarat sahnya akad nikah.52
51Ibid., h. 542
52Mahmud al Shabagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), Cet 1, h. 53
Akad nikah menurut kompilasi hukum islam (KHI) pasal 27 adalah ijab qabul
antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu. Pasal 28, akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah
yang bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain. Pasal 29
mengatakan bahwa yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria
secara pribadi.53
Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis
bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam
hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria di wakili,
maka akad nikah tidak dilangsungkan.54
Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang keinginan untuk
melaksanakan suatu komitmen denga serius, dengan makna tertentu dan
keharusan menggunakan pengucapan lafaz tertentu terhadap pihak lain yang
menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, dimana kedua pihak yang
melakukan akad akad benar-benar menghormati makna akad tersebut di hadapan
Allah dan di hadapan masyarakat.55
53 Abdurrahman, KompilasiHukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), Cet, 5, h. 119
54Ibid., h. 119
Di dalam akad perkawinan tidak boleh ditentukan batas waktu perkawinan,
karena akad perkawinan merupakan perbuatan hukum yang membawa pengaruh
yang sangat besar dan mendalam bagi orang yang melakukan perkawinan itu
sendiri. Dalam akad nikah, terdapat banyak solal hukum yang terkait dengannya,
mulai dari dari mas kahwin, nafkah sampai tempat tinggal. Akad di dalam
perkawinan ini juga memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi supaya
dapat terselenggara dengan benar dan baik dalam sebuah perkawinan.56
Syarat dalam akad nikah terbagi kepada tiga, yaitu:
1) Syarat-syarat yang halal, maka wajib dilaksanakan, diantaranya adalah bila
seorang wanita mensyaratkan kepada suaminya agar mempergauli dirinya
dengan lembut atau bila sesuatu saat terdapat ketidakcocokkan, maka harus
menceraikannya dengan baik.
2) Syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan, seperti seorang wanita
mensyaratkan kepada suaminya agar tidak menyetubuhinya. Syarat seperti ini
menurut ijma ulama tidak wajib dipenuhi.
3) Syarat-syarat di antara kedua syarat di atas, seperti jika ia memberi syarat
kepada suaminya agar tidak menikah lagi, atau tidak membawanya keluar dari
daerah asalnya, dan sejenisnya. Maka tentang wajib dan tidaknya memenuhi
syarat ini, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Yang kuat adalah ia
boleh mensyaratkan hal itu dan suami wajib menjalankan syarat tersebut,
selama tidak menyelisihi kitabullah dan sunah Rasulullah saw.57
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi
pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan
penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan seperti
berikut:
Bab pertama penulis mengenegahkan gambaran pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, rewiew studi terdahulu, metode penelitian, definisi operasional, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua mendeskripsikan tentang imam Syafi’i dalam lintasan sejarah
berisikan profil mazhab Syafi’i, nama imam Syafi’i dan nasabnya, latar belakang
pendidikannya, guru-guru imam Syafi’i dan murid-muridnya, karya-karya imam
Syafi’i dan perkembangan mazhabnya, pola pemikiran, metode istidlal dan
faktor-faktor yang mempengaruhi imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam.
Bab ketiga penulis menguraikan tentang eksistensi hukum kesaksian dalam
akad nikah yang berisikan sub bahasan pengertian, dasar hukumnya, kedudukan
saksi dalam akad nikah dan syarat sahnya saksi dalam akad nikah.
Bab keempat penulis menguraikan tentang pembahasan pendapat mengenai
hukum kesaksian dalam akad nikah dengan sub bahasan, pendapat para ulama
secara umum, pendapat mazhab Syafi’i, dalil-dalil yang digunakan serta
pemahamannya dan akibat hukum.
Bab kelima Merupakan bab terakhir dari penulisan ini, meliputi kesimpulan dari
pembahasan, serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian
ini yang di harapkan dapat dijadikan bahan masukan dan sumbangan penulis pada
BAB II
IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH
A. PROFIL MAZHAB SYAFI’I 1. Nama Imam Syafi’i Dan Nasabnya
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris
ibn Abbas ibn Syafi’I ibn Said ibn Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd
al-Muthalib ibn Abd al-Manaf ibn Qushay al-Qurasyiy. Beliau dilahirkan di Gazah
pada bulan Rajab pada tahun150 H (767 M). Imam Syafi’I wafat di Mesir pada
tahun 204 H (819 M).
Ayah Imam Syafi’I meninggal ketika beliau masih kecil ketika baru
berusia dua tahun dan dibawa ibunya ke Makkah dan beliau dibesarkan dalam
keadaan fakir. Dalam asuhan ibunya beliau dibekali pendidikan dan menghafaz
al-Quran. Beliau mempelajari al-Quran dengan Ismail ibn Qastantin. Sebuah
sebanyak 60 kali. Beliau keluar dari Makkah dan menuju sutu dusun Bani Huzail
untuk mempelajari bahasa arab.58
Sebelum menekuni fiqh dan hadits, Imam Syafi’i tertarik pada puisi, syi’ir
dan sajak bahasa arab. Beliau mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah.
Ketika berusia 13 tahun beliau telah dapat menghafaz al-Muwaththa’.
Pada tahun 195 H. al-Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap disana selama
2 tahun. Setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 198 H. Imam
Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab.
Dan pengetahuan dalam bidang fiqh meliputi fiqh ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh
Ashab al-Hadits di Hijaz. 59
2. Latar Belakang Pendidikan
Dalam usia anak-anak, Asy-Syafi’i ra diikutsertakan belajar pada suatu lembaga
pendidikan di makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan
sebagaimana mestinya. Sebenarnya guru yang mengajarkannya hanya terbatas
memberikan pelajaran kepada anak-anak yang agak besar. Akan tetapi, setelah ia
mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkan kepada asy-Syafi’i ra dapat mengerti
dan diterima dengan baik, lagi pula setiap kali ia berhalangan ternyata asy-Syafi’i
58Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), Cet 3, h. 120
ra mampu menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan
kepadanya kepada anak-anak yang lain.60
Akhirnya asy-Syafi’i ra dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih
besar dari pada bayaran yang diharapkan dari ibunya. Keadaan seperti itu
berlangsung hingga asy-Syafi’i ra berkesempatan belajar al-Quran dan
mengkhatamkannya dalam usia tujuh tahun. Kemudian beliau belajar menghafal
banyak hadits. Untuk itu, beliau turut serta belajar pada guru tafsir dan
guru-guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk
mencatat pelajaran, beliau mengumpul kepingan-kepingan tulang yang lebar dan
besar, bahkan ia lebih mengandalkan ingatan melalui cara menghafalnya, karena
dengan kebiasaan tersebut ia memiliki daya ingat yang amat kuat61.
Kemudian asy-Syafi’i ra meminta izin kepada ibunya hendak berangkat ke
Madinah al-Munawwarah untuk belajar kepada al-Imam Malik ibn Anas dan
ibunya mengizinkannya. Pada saat itu beliau berusia kurang lebih 20 tahun.
Beliau menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bertemu dengan imam
Malik. Untuk keperluan itu, beliau mencari buku “al-Muwaththa”. Dalam buku
itulah imam Malik menuangkan semua hasil pemikirannya tentang ilmu fikih dan
hadits-hadits Nabi SAW yang dipandang sahih isnadnya. Al-imam asy-Syafi’i ra
60 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Al Hamid Al Husaini et.al (terj), Riwayat Sembilan Mazhab Al Imam Mazhab, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet 1. h. 382
berhasil berhasil menemukan bukunya yang dimaksud dan pada akhirnya beliau
mampu menguasai bahkan manghafal buku yang dikarang oleh imam Malik.62
Imam asy-Syafi’i ra yang sejak kecil berada dalam kancah penderitaan, namun
semangat beliau dalam menuntut ilmu tidak terhalang oleh penderitaan yang
menyelimuti keluarganya, baik dalam ilmu agama maupun ilmu yang lainnya.
Selain itu beliau seorang yang baik budinya, jujur, dan rajin dalam beribadah
kepada Allah SWT.63
B) Guru-Guru imam Syafi’i dan Murid-Muridnya
Imam Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada
zamannya. Di antaranya di Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Yaman, Syam, dan
Mesir. Hal itu telah disebutkan oleh Baihaqi, Ibnu Katsir, Mizzy, dan
al-Hafizh Ibnu hajar.
Ibnu katsir berkata: “al-imam asy-syafi’i belajar banyak hadits kepada para
syaikh dan para imam. Ia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dengan hafalan
sehinga imam Malik kagum terhadap hafalan dan kemauan kerasnya”.
Di riwayatkan dari imam Malik bahwa imam syafi’i mengambil ilmu dengan
ulama Hijjaz, sebagaimana ia mengambilnya dari Syaikh Muslim bin Khalid
az-Zanji.
62Ibid., h. 382
Al-Hafizh al-Mizzi telah menyebutkan para guru imam Syafi’i. Di antara
gurunya yang berasal dari penduduk Makkah adalah:
1. Imam Sufyan bin ‘Uyainah
2. ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah
3. Isma’il bin Abdullah bin Qasthinthin al-Muqri
4. Muslim bin Khalid az-Zanji, dan banyak lagi selain mereka.
Gurunya yang berasal penduduk Madinah adalah:
1. Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Ashabani
2. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi
3. Ibrahim bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf
4. Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik dan banyak lagi selain mereka.
Dari negeri lain di antaranya adalah:
1. Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani
2. Mutharrif bin Mazin as-Shan’ani
3. Waki’ bin al-Jarrah
4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan banyak lagi selain mereka.64
Murid-murid imam Syafi’i yang paling popular adalah:
1) Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ‘Abdul Jabbar bin Kamil, Imam al-Muhaddits
al-Faqih al-Kabir Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin. Ia adalah
teman imam Syafi’i yang mengambil ilmu-nya, syaikh para muadzdzin di
Masjid Fusthath, dan seorang yang diminta oleh para syaikh pada zamannya
untuk membacakan atau menyampaikan ilmu. Ar-Rabi’ lahir pada tahun 174
H. Diriwayatkan bahwa imam Syafi’i pernah berkata kepadanya:” jika aku
mampu memberimu makanan ilmu, nescaya aku memberikannya”. Imam
syafi’i juga berkata: “Ar-Rabi adalah orang yang banyak meriwayatkan
tulisan-tulisanku”. Ia wafat pada tahun 270 H65.
2) Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Ismail bin ‘Amr bin Muslim Muzani
al-Mishri, al-Imam al-‘allamah, sangat faham tentang agamanya, pemuka para
ahli zuhud, ia lahir pada tahun 175 H. karangannya yang berupa mukhtasar
(ringkasan) dalam bidang fikih memenuhi banyak negeri, yang kemudian di
syarah (diuraikan) oleh sejumlah imam besar sehingga dikatakan: “seorang
anak gadis saja memiliki sebuah naskah mukhtasar al-Muzani yang disimpan
di antara barang-barang miliknya”. Imam Syafi’i mengatakan:“Al-Muzani
adalah pembela mazhabku”. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Amr bin
Tamim al-Makki berkata:“ saya telah mendengar Muhammad bin Isma’il
at-Tirmidzi berkata: ‘saya telah mendengar al-Muzani mengatakan hal berikut:
‘Tauhid seseorang tidak benar sampai ia mengetahui bahwa Allah SWT
(bersemayam) di atas ‘Arsy dengan sifat-sifat-Nya.’ Al-Muzani wafat pada
tahun 264 H.66
3) Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam bin A’yan bin Lits
al-Imam Syaikhul Islam Abu Abdillah al-Mishri al-Faqih, lahir pada 182 H. ia
adalah ulama Mesir sezaman dengan al-Muzani. Ketika Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Hakam menaiki kudanya, imam Syafi’i memandangnya
seraya berkata: “Alangkah baiknya aku jika mempunyai anak seperti dia,
sementara aku menaggung utang 1000 dinar yang aku tidak dapat
membayarnya”. Diriwayatkan bahwa terjadi selisih pendapat antara dia
(Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam) dengan Buwaithi karena imam
Syafi’i memilih al-Buwaithi untuk menggantikannya di majelisnya sehingga
Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam meniggalkan madzhab imam
Syafi’i dan kembali ke madzhab Maliki67.
4) Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al-Mishri al-Buwaithi. Al-Imam al-‘Allamah,
pemimpin para fuqaha, adalah sahabat imam Syafi’i yang mendampinginya
dalam waktu yang lama hingga ia menjadi murid imam Syafi’i yang
mengalahkan kawan-kawannya. Al-Buwaithi adalah seorang imam dalam
ilmu, teladan dalam amal, seorang yang zuhud, rabbani yang banyak tahajjud,
selalu berdzikir, dan menekuni ilmu fiqih. Imam Syafi’i berkata tentangnya: “
tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabatku yang lebih banyak ilmunya dari
pada al-Buwaithi”. Ia di siksa karena menolak pendapat yang mengatakan
bahwa al-Quran adalah makhluk. Ia sabar menghadapi ujian itu sampai wafat
di penjara. Ia wafat dalam keadaan terbelenggu di penjara Irak pada tahun 231
H.68