• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa terhadap pemikiran mazhap Syafi'i tentang hukum kesaksian dalam akad nikah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa terhadap pemikiran mazhap Syafi'i tentang hukum kesaksian dalam akad nikah"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849

Pembimbing :

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP : 150 169 102

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH D AN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB

SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 April 2009. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam

(SHI) pada Program Ahwal Syakhsiyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 29 April 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM.

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA.

(...) NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH.

(...) NIP. 150 285 072

3. Pembimbing: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA.

(………..) NIP. 150 169 102

(4)

4 Penguji I : Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, MA (………..)

NIP. 150 326 896

5 Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag.

(...)

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 April 2009

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga

dilimpahkan kepada Rasulullah saw serta iringi doa untuk keluarga, sahabat dan

seluruh pengikut yang selalu setia sampai akhir zaman. Penulis bersyukur kepada

Illahi Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada penulis

sehingga skripsi ini yang berjudul: “ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN

MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH” telah terselesaikan.

Masa begitu cepat berlalu sehingga tidak terasa perjalanan panjang

menempuh studi di Universiti Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullh Jakarta

telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalanan yang

telah telusuri, yang akhirnya penulis tersadar bahwa perjalanan menyelesaikan

skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari,

sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan dengan penuh keikhlasan, maka tidak

akan menghasilkan kesia-siaan dan tidak akan terasa sulit.

Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dari

berbagai pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM. Dekan Fakultas Syariah

(7)

dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun

skripsi ini.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. dan Drs. Kamarusdiana Sag, MA,

masing-masing selaku ketua dan sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah

banyak memberikan motivasi kepada penulis.

3. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. selaku dosen bimbingan yang dengan penuh

kesabaran dalam memberi arahan dan masukan kepada penulis dan telah

memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan motivasi yang besar

dalam proses penulisan skripsi ini hingga tuntasnya sudah skripsi ini, hanya

Allah saja yang selayaknya membalas jasanya.

4. Seluruh staff pengajar (dosen) jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah

dan Hukum, serta kepada karyawan dan staff perpustakaan.

5. Seluruh pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang banyak membantu

penulis hingga tuntasnya skripsi ini.

6. Dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah terutama Bapak Rektor

Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen, Ustaz Tarmizi, Ustaz Ibrahim, Ustaz Roslan,

Ustaz Fuzi, Ustaz Baharuddin, Ustazah Masyitah dan Ustazah Zuraidah yang

telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penulis hingga

dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia ini.

7. Teristimewa buat tatapan ayahanda Mustafa Bin Ismail dan Ibunda Zaini Binti

Salleh yang amat disayangi. Terima kasih atas perhatian segala doa dan

kesabaran atas jerih payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas serta

(8)

dapat menyelesaikan pengajian, segala jasa pengorbanan kalian senantiasa

terpahat di ingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan,

melainkan hanya dengan sebuah kejayaan.

8. Khas buat suami tersayang Zulkifli bin Mat Nor, yang segala pengorbanan

telah memberikan curah kasih sayang yang tidak terhingga, dan memberi

dorongan yang sangat berharga sehingga penulis dapat mencapai sebuah

kejayaan yang diimpikan, dan penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah swt membalas segala perbuatan amal kebaikan yang telah

dilakukan.

9. Keluargaku yang tercinta, Mohd Syaifullah, Mu’adz Arrodzy, Nurul Shuhada,

Khairulanuar Naim, Rabiatul Adawiyah, Farah Nasuha dan Jalilah Badriah

yang telah mendukung penulis dalam menyiapkan skripsi.

10.Kepada bapak mertua dan Ibu mertua yang disayangi, Mat Nor Bin Ismail dan

Rohani binti Abdul Rahman, serta adik ipar, Nor Hafiza, Rosli, Nor Azlina,

Aminah, Mailatul Sa’diah, Nurul Huda dan anak saudaraku, Mohd Danish

Islam yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menuntut ilmu.

11.Kepada bapa saudara, emak saudara dari pihak ayah maupun ibu yang telah

banyak memberikan pertolongan dan dorongan dalam menuntut ilmu di bumi

indonesia ini dari berbagai aspek sehingga penulis dapat menyiapkan skripsi

ini.

12.Buat sahabat-sahabat seperjuangan dalam menuntut ilmu yang dikasihi Nur

Shuhada, Khairulneza, Surina, Noor Baizura, Nurul Huda, Habibah, Erni

(9)

Islam Dan Dakwah (APID) dan teman-teman dari Kolej Universiti Darul

Quran Islamiyyah (KUDQI), terima kasih atas semangat dan dorongan kalian

semua.

13.Tidak lupa juga buat saudara-saudaraku di Malaysia yang setia menanti

kepulangan penulis membawa kejayaan untuk semua.

14.Teman-teman dari muslimin dan muslimat seangkatan 2007/2009 jurusan

Ahwal Syakhshiyah. Terima kasih atas kebersamaanya selama penulis

menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

ini.

15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini

sehingga selesai.

Terakhir, semoga kehadiran skripsi ini dapat mendatangkan manfaat dan

memberikan kontribusi positif dalam mencari ilmu. Untuk mereka semua,

penulis pribadi tidak bias membalas kecuali dengan ucapan ”Jazakumullah

Khaira al-Jaza”. Semoga Allah swt memberi keberkatan kepada semua dalam

mengharungi tribulasi dalam kehidupan.

-Amin Ya Rabbal A’lamin-

Jakarta, 7 April 2009 M

11 Rabiul Awal 1430 H

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...3

C. Tujuan dan Manfaat penelitian...5

D. Review Studi Terdahulu... 5

E. Metode Penelitian...7

F. Definisi Oferasional...9

G. Sistematika Penulisan...33

BAB II IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH………...35

A. Profil Imam Syafi’i...35

1. Nama Imam Syafi’i dan Nasabnya...35

2. Latar Belakang Pendidikannya...36

B. Guru-guru Imam Syafi’i dan Murid-Muridnya...38

(11)

D.Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor Yang

Mempengaruhi Imam Syafi’i Dalam Menetapkan Hukum

Islam...44

BAB III EKSISTENSI HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH...55

A. Pengertian Saksi dan Dasar Hukumya...55

B. Kedudukan Saksi Dalam Akad Nikah...58

C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah...61

BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH...77

A. Pendapat Ulama Secara Umum...77

B. Pendapat Mazhab Syafi’i...82

C. Dalil-dalil Yang Digunakan Serta Pemahamannya...84

D. Akibat Hukum...87

BAB V PENUTUP...90

A. Kesimpulan...90

B. Saran-saran...92

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam telah mensyariatkan pernikahan serta meletakkan peraturan-peraturan

yang jelas dan tepat. Peraturan-peraturan ini diasaskan di atas prinsip-prinsip

kukuh yang menjamin kesejahteraan masyarakat, kebahagiaan rumah tangga,

penyebaran kebaikan, penjagaan akhlak serta pengekalan keturunan manusia.

Allah SWT telah mencipta manusia serta membekalkan dengan keinginan kepada

wanita. Fitrah ini juga dibekalkan kepada wanita-wanita.

Oleh karena Islam merupakan agama fitrah, maka Islam telah mensyariatkan

perkawinan untuk menyahut seruan fitrah yang ada pada jiwa manusia.1

Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat atau miitsaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.2

Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan

antara lain adalah saksi dalam akad nikah, karena ia merupakan salah satu rukun

1 Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie Menghuraikan Bab Undang-undang kekeluargaan: Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan,(Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. 2005), Cet I, h. 572

(13)

nikah. Saksi merupakan peranan yang penting dalam akad nikah. Walaupun akad

nikah sama dengan akad-akad lain yang mensyaratkan keredaan, ijab dan qabul,

tetapi Islam amat memuliakan akad nikah. Islam menjadikannya sebagian

daripada agama dan pengabdian diri kepada Allah SWT. Oleh itu, melakukannya

dikira sebagai melakukan ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri

kepada-Nya serta mendapat pahala kepada siapa yang melakukannya.

Oleh karena akad nikah dan kesannya amat besar dan berat yaitu menghalalkan

kehidupan suami isteri, wajibnya memberikan mas kahwin kepada isteri, nafkah,

dan sebagainya. Islam telah mengambil langkah berjaga-jaga dengan mewajibkan

adanya saksi untuk menyaksikan akad nikah yang akan dilansungkan. Disamping

meletakkan beberapa syarat pada saksi yang melayakkannya menjadi tempat

kepercayaan untuk memperakui kesan-kesan tersebut apabila diperlukan yaitu

ketika difitnah dan berlaku kekecokan antara suami isteri atau salah seorang

enggan melaksanakan hak-hak dan tanggungjawab. Dengan demikian jelaslah

bahwa perkawinan yang berlansung tanpa ada saksi akan menimbulkan

permasalahan dan sukar dalam menyelesaikan masalah yang telah berlaku dalam

pernikahan.3

Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting dalam pernikahan. Apabila

tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah

walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi

(14)

merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa

saksi dalam akad nikah termasuk rukun pernikahan.4 Dua orang saksi tersebut

diisyaratkan mengetahui bahasa yang dipergunakan oleh calon suami dan isteri5

Pendapat tersebut berbeda dengan imam Malik dan para sahabatnya bahwa

saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka

beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika

berlansungnya jual beli sebagaimana tersebut di dalam Al-Quran bukan

merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi.

Menyedari bahwa masih banyak lagi yang perlu diketahui dan diselidiki tentang

kesaksian dalam akad nikah, dan berdasarkan pengamatan inilah penulis merasa

terpanggil untuk membuat kajian dengan judul “ANALISA TERHADAP

PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah:

Dalam penelitian untuk tidak melebar pembahasan, penulis memfokuskan

penelitian tentang analisa terhadap pemikiran mazhab Syafi’i tentang hukum

kesaksian dalam akad nikah.

4ibid., h. 99

(15)

2. Rumusan Masalah:

Imam Syafi’i mengatakan hukum kesaksian dalam akad nikah merupakan

rukun pernikahan. Saksi merupakan rukun yang ke lima. Ternyata dikalangan

mereka Imam empat mazhab berbeda pendapat tentang kehadiran saksi

dalam akad nikah. Hal ini yang ingin penulis selusuri dalam penulisan skripsi

ini.

Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut;

1. Apakah konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fiqih?

2. Bagaimanakah pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam

akad nikah?

3. Apakah dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian

dalam akad nikah dan persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut

Kompilasi Hukum Islam?

4. Faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab

(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti mempuyai tujuan tersendiri,

demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai

tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian terdahulu, maka penelitian ini

bertujuan untuk;

1. Mengetahui konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fikih.

2. Mengetahui pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam akad

nikah.

3. Mengetahui dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap

hukum kesaksian dalam akad nikah dan mengetahui persepsi kehadiran saksi

dalam akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam.

4. Mengetahui faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut

mazhab Syafi’.

D. Rewiew Studi Terdahulu No

1

Nama penulis/ Judul / Tahun

Abdul Azis, Kedudukan Saksi

dalam Perkawinan Menurut

Tinjauan Imam Syafi’i dan

Imam Hanafi, 2003. Fakultas

Syariah dan Hukum

Subtansi

Dalam skripsi ini,

penulisnya ingin

mengtahui

tentang

bagaimana saksi

Keterangan

Di sini, al-Imam

asy-Syafi’i

mensyaratkan

saksi yang

(17)

dalam akad

perkawinan

menurut al-Imam

asy-Syafi’i dan

al-Imam Abu

Hanifah.

Bahwasanya

kedua imam ini

menyepakati

dalam beberapa

hal tentang saksi,

namun ada

perbedaan akan

kehadiran saksi

pada

perlaksanaan

akad perkawinan

yaitu dalam hal

harus ada atau

tidaknya sifat adil

pada saksi, dan

menyaksikan

akad pernikahan

harus memiliki

sifat adil sehingga

akad pernikahan

itu menjadi sah,

selain itu agar

dapat diterima

kesaksian atau

pemberitahuan

para saksi itu

kepada khalayak

ramai. Kemudian

al-Imam Abu

Hanifah tidak

mensyaratkan

saksi yang

menghadiri dan

menyaksikan

akad pernikahan

(18)

dihadiri atau

disaksikan oleh

saksi laki-laki

atau wanita dalam

menyaksikan

proses akad

perkawinan

tersebut. Dengan

adanya perbedaan

ini akan

mengakibatkan

sah tidaknya akad

perkawinan.

sifat adil, maka

dengan demikian

akad pernikahan

itu sah karena

hadirnya saksi

dalam akad

pernikahan hanya

untuk

pemberitahuan

saja pada

khalayak ramai.

Dari judul skripsi di atas, terdapat persamaan pembahasannya dengan skripsi

yang akan dibahaskan oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas secara

mendalam tentang Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum

Kesaksian Dalam Akad Pernikahan.

E. Metode Penelitian

Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah,

(19)

tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat

mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin

dicapai. Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan

merupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang

bersangkutan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Penentuan Jenis Data

Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubung dengan topik yang

dikaji, yaitu Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum

Kesaksiaan Dalam Akad Nikah

2. Sumber Data

a) Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber

pertama adalah dari kitab-kitab Syafi’iyyah.6 Data Sekunder merupakan data

pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal, ensiklopedia, kamus dan

sebagainya.

3. Pengumpulan Data

Merupakan library research yaitu melakukan penelitian kepustakaan dan

mengumpulkan data seperti kitab-kitab yang muktabar antaranya: Kitab Fiqih

mazhab Syafi’i, Fiqih Munakahat, Bidayatul Mujtahid, Panduan Keluarga

Muslim, Fikih Lima Mazhab, Kompilasi Hukum Islam dan lainya.

(20)

4. Teknik Analisis Data

Yaitu pengumpulan data-data melalui bacaan, penelusuran kitab-kitab dan

lain-lain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahaskan dan

kemudian dianalisis terhadap masalah yang ada sehingga menjadi suatu karya

tulisan yang rapi dan utuh.

5. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpandukan pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.

F. Definisi Oferasional

1. Definisi Nikah

Kata “nikah” atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab. Dilihat secara makna

etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain

bermakna “akad dan bersetubuh” yang secara syara’ berarti akad pernikahan.

Secara terminologi (istilah) makna “nikah” atau “zawaj” adalah :

a) Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari

seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

b) Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk menikmati secara biologis antara

keduanya.7

(21)

Kata banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, hal tersebut

dijelaskan di dalam QS. Al-Nisa (3): 3

!"

#$ %&""$'

" (

)"$

+ %$!

,-.(

- /"0 -.1!"

234 5 (

67 89

:

6;

<=

>$'

?:A

!-B

$

C36B-8D

$'

).

/

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian

jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang

saja.”

Kata dalam Al-Quran adalah :

"EF89$'

202$G

2B H6I

"JK 7-.(

LM$

"6N$% 31O4P 6I

Q $R-!

S

% H

8

U-V-( $#F !"

2W M6X

Y

ZWD

I

Q+ N\/" - ]

$^

Q S_$G

E,`K 7-(

LM$

abGcd

M (

e/"

V

(

Artinya: “Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab (33): 37

(22)

Definisi lain tentang nikah adalah:

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga

berdasarkan kepada tuntutan agama.8 Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian

atau akad (ijab qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk

menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yng sah yang

mengandung syarat-syarat dan rukun yang ditentukan oleh syariat Islam.9

Nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara

seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara kedua belah pihak untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang

diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara yang diredhoi oleh Allah

SWT.10

Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan menjalin

hubungan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan

seksual, dan bersetubuh.11

Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Berunei Darussalam),

digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah “perikatan yang sah antara lelaki dengan

8Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas (Jakarta: 2008), cet 1, h. 3

9Ibid., h. 3

10 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan, Undang-Undang No 1 thn 1974 Tentang Perkawinan, (Yokyakarta: Liberty, 1986), cet 2, h. 8

(23)

perempuan menjadi suami istri, nikah”. Berkahwin maksudnya sudah mempunyai

istri (suami).12

Pendapat Ulama Tentang Nikah

Nikah menurut golongan As-Syafi’iyyah yaitu:

!" # "$ " "%&'"( )* +'" ,-./0! 123 4-5"( $ 6"

13

Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha

dengan lafaz nikah atau tazwij yang semakna keduanya”.

Golongan Malikiyyah mendefinisikan nikah sebagai:

7 -89"( :0.8; "<"=> ?8@ "7-8" A "( "BC1'0 "7 0 "A-?9 D'3 123 4- "( $ E

14

"

Artinya: “Nikah merupakan akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata

untuk membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati apa yang ada

pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya”.

Menurut golongan imam Hanafiyyah makna nikah sebagai:

F1GH "7 0. +'" 18"&! 123 4- "( $ E

15

Artinya: “Nikah itu adalah akad yang berfaedah memiliki, bersenag-senang dengan

sengaja”.

12 Dewan Bahasa dan Pustaka, KamusDewan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), h. 588

13 Djama’an Nur, FiqhMunakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.3

(24)

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga.

Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan

manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.16

Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus

dilakukan yaitu:

a. Menurut Al-Qur’an17

Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf

:189 menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang yaitu:

f

g-Gh/"

+ %$ 89$i

,-.(

jk

l&

m36B-8D

Sn6

64

"JK 7-(

"6N64

6I

, %?

]-!

"JKQo$!

"EF89$'

"6Npqr ?$

Os896F6X

CcOF6X

"V

-

6

O+kM6F$'

t-X <

/"EF89$'

s89$

:

P]

h/"

"6F#Nu<

v$!

"31

]$

"x$

9 0y

P $z

% Vh!

,-(

a{}M % qr!"

)

I ?3

/

:

JKL

(

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”.

16 A.Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim,2006) Cet, 1, h. 86

(25)

Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya

tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang

diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan

jasmani.18 Dan kedua, dalam surat Al-Rum (30): 21

O,-(

t-X-

H

~896i

< %$!

O,-.(

Q+ %

&

Gx,D

I

Y V %?

A-€!

"6N ]$!

Sn6

64

+•• V ‚ <

V3P]

P(

DJ6FOX

P

6ƒ-!D$^

ms

H„6

R…Q $ -€!

Mh%c

H

)

M ?

/

N

:

(

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

dan sayang Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dalam ayat tersebut terkandung makna ada tiga yang dituju satu perkawinan

yakni:

1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang

sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam.

(26)

Sebab itulah pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan keleher hewan

ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam.

2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang

berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah

pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat

kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak

terjadi benturan karena tidak mampu mengontrol rasa cinta yang memang

terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering

meluap-luap.

3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya

demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa

cinta/sayang. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia

pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedangkan mawaddahnya

semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek

kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah)

yang ada pada mereka, tetepi rahmah (sayang).19

b. Menurut Hadits20

Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits, yaitu:

(27)

1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah

maknanya nabi saw menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur

bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Haditsnya berbunyi:

O-P ?P

!

" ?&'" , Q "?GO'" CR@Q 4-"S; - 08'; T O

" U V0ﺱ"X ,

4-"S; "M>G "( "48' ; Y"V0 ! Z"S;

4

="

21

Artinya: “Hai sekalian pemuda siapa yang punya kemampuan diantara kalian

maka hendaklah ia menikah, karena yang demikian lebih menundukkan

pandangan dan memelihara kemaluan, apabila tidak punya kemampuan

maka hendaklah ia berpuasa karena yang demikian dapat meredam

(keinginan)”.

2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat, yakni dengan banyaknya

keturunan umat islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi

menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi SAW harapkan,

karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar.

Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi

SAW mencelanya.22

c. Menurut Akal

Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan23:

(28)

1) Bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau

diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus

diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk

kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang

tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan

perkawinan/pernikahan.

2) Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan,

terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu

akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak

siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini

menjadi awal dari sebesar-besar bencana.

3) Untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki

barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau

sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu ada ahli waris yang menerima

atau menampung harta peniggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli

waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan

pernikahan. 24

Dalam Islam nikah merupakan salah satu syariat yang dianjurkan oleh

Rasulullah saw. Pernikahan merupakan syariat Allah untuk mengatur hubungan

laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulanan kekeluargaan yang penuh

(29)

kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan

kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah wa rahmah.25 Dengan

nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang

sebelunya dilarang oleh agama, misalnya seksual.26 Oleh karena itu, konsep

pernikahan seharusnya juga dipahami sebagai penghargaan atas harkat dan

martabat kemanusiaan. Isteri milik suami, demikian juga sebaliknya suami milik

isteri.

Wahbah al-Zuhaili membuat definisi nikah sebagai ikatan yang ditentukan oleh

pembuat hukum (syari’) yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapat

kesenangan seksual) dari isterinya dan demikian juga, bagi perempuan untuk

mendapatkan kesenangan seksual dari pihak suaminya27.

Kaidah fiqh tentang pernikahan adalah:

" ( ," [ Y"&0 ! Z "+8"'.# " ( ," $ E

"7 & . "+8"'.#

28

Artinya: “Nikah adalah salah satu dari cara kepemilikan yang saling

memanfaatkan, bukan salah satu dari sebab milik manfaat”.

25 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikiran Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), Cet 1, h. 149

26Ibid., h. 149 27Ibid., h. 151

(30)

Kaedah di atas memperlihatkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.

Sebab dua pihak yang menikah, laki-laki dan perempuan mempunyai hak saling

manfaat (bukan milik manfaat yang biasanya difahami sebagai milik bagi

suami).29

Pengertian nikah menurut Slamet Abidin dalam kitab Fikih Munakahat 1

adalah30:

Merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya,

baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang

dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak,

dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing

pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan

pernikahan itu sendiri. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa (3): 1

"JKaB †l

H

=P"PV!"

• ‡ "

+ %u<

g-Gh/"

< %$ 89$i

,-.(

jk

l&

m36B-8D

~896

"JK 7-(

"6N64

6I

E7 <

"

`K 7-(

V G6,

VoM-5cd

x /"0

ˆ

Artinya: “Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan

kamu dari diri yang satu (adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya

29Ibid., h. 89

(31)

(hawa) dari diri-Nya dan dari keduanya Allah berkembang-biakkan

laki-laki dan perempuan yang banyak”

Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas

mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau

tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia,

maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.31

Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara

terhormat berdasarkan kerelaan dalam sesuatu ikatan berupa pernikahan. Bentuk

pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk

memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak

laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan

seenaknya. Pergaulan suami isteri diletakkan di bawah naungan keibuan dan

kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil

yang memuaskan.32

Peraturan pernikahan semacam inilah yang diredhoi oleh Allah SWT dan

diabdikan di dalam Islam untuk selamnya. Ulama Syafi’iyyah menyebutkan

bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafaz nikah

$ "

atau zauj

(

).

33

31Ibid., h. 9

(32)

2. Definisi Hukum

Hukum adalah merupakan suatu ketetapan Allah SWT dan (Rasul-Nya) yang

berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan perintah, pilihan atau ketetapan.

Atau perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, baik perintah untuk mengerjakan

sesuatu atau perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan atau larangan, atau

menerangkan kebolehan (mubah) mengerjakan sesuatu atau sebagai suatu

anjuran, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya.34 Tentang hukum,

Al-Quran menyebutkan: surat Al-An’am (6):57

Qn

G

3‰

8

ƒJ VŠ.‚ <

,-.(

8‹k

:AQ<q SŒ

t-X <

" (

•-BV-

" (

ab

9ŠŽ

? 8n

t-X

<

v

+%# !"

\/

‚v•

H

P~6$ !"

f

oQM6

~

• c

!"

M

Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al

Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa

(azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan

hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia

pemberi Keputusan yang paling baik”.

33Ibid., h. 9

34 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), cet 2, h. 106

(33)

Hukum menurut mazhab Syafi’i terbagi kepada lima bagian yaitu35 :

1) Wajib. Menurut istilah ahli ushul ialah khitab (kalam) Allah SWT yang

menurut pekerjaan dengan tuntutan pasti. Sedangkan wajib menurut

pengertian fiqh ialah sesuatu (hukum) yang apabila dikerjakan pelakunya

mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Misalnya

melaksanakan solat lima waktu, menutup aurat dan sebagainya.

2) Haram. Sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika

mengerjakannya dan mendapat pahala apabila meniggalkannya, dan sebagai

lawan halal. Misalnya memakan bangkai binatang, memakan makanan yang

bukan hasilnya yaitu dari hasil mencuri.

3) Sunnah. Menurut bahasa adalah jalan atau tradisi yang sudah dibiasakan.

Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah segala yang dinukilkan oleh

Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau takrir, pengajaran, sifat,

kelakuan, perjalanan hidup, baik yang sebelum beliau diangkat menjadi rasul

maupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul fiqih ialah segala yang

dinukilkan dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan maupun takrir

(pengakuan) yang mempunyai hubungan dengan hukum. Misalnya berpuasa

sunat pada hari senin. 36

35Ibid., h. 106

(34)

4) Makruh. Yaitu sesuatu perkara yang dibenci, tidak disukai, dan tidak

disenangi. Menurut istilah adalah sesuatu yang diberi pahala karena

meniggalkannya dan tidak disiksa karena mengerjakannya. Dengan kata lain

adalah merupakan sesuatu yang lebih baik ditinggalkan, meskipun dikerjakan

tidak dianggap salah atau berdosa. Misalnya makan makanan yang berbau

busuk bagi orang yang akan menghadiri jama’ah.37

5) Mubah. Adalah hukum yang berhubungan dengan perkara-perkara yang

boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Artinya, jika perkara tersebut

dikerjakan. Tidak berdosa atau berpahala, demikian pula jika ditinggalkan.

Misalnya di dalam al-quran surat al-Jumu’ah ayat 10 artinya, ”apabila telah

ditunaikan solat, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah kurnia Allah dan

ingatlah Allah SWT banyak-banyak agar kamu beruntung”. Setelah

mengerjakan solat apakah kita duduk saja di rumah, ini merupakan perbuatan

mudah. Perbuatan mubah merupakan lapangan yang luas dalam kehidupan

manusia. Diperbuat ataupun ditinggalkan mempunyai status hukum yang

sama, yaitu tidak mendapat pahala atau disiksa seperti makan, minum, dan

lain-lainya. 38

3. Definisi Saksi

37Ibid., h. 106

(35)

Saksi secara etimologi adalah merupakan sebuah benda yang memiliki arti orang

yang melihat atau mengetahui sesuatu peristiwa tertentu.39 Saksi dalam

Ensiklopedia Islam adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri sendiri

suatu peristiwa (kejadian), saksi orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa

untuk menyaksikan atau mengetahui agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat

memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh

terjadi.40

Dalam kamus istilah fikih mengatakan saksi merupakan orang atau orang-orang

yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam

pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting, apalagi ada kebiasaan

didalam masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak

dicatat. Agar dapat menjadi alat bukti yang sah, pembuktian harus mengenai

hal-hal yang dilihat dan didengar sendiri oleh saksi sendiri, yang disebut persaksian

atas dasar yakin. Ada pula persaksian yang cukup dengan hal-hal yang diketahui

atas dasar persangkaan umum, karena saksi hanya mendengar sahaja, tetapi yakin

akan kebenaran kesaksian (syahadah) adalah keterangan orang yang dapat

dipercayai di depan sidang pengadilan. Perkara yang tidak dapat menerima

39 WJS Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.826

(36)

pembuktian kecuali dengan dua orang saksi laki-laki. Yaitu perkara tindak pidana

dan perkara yang umumnya disaksikan kaum laki-laki, seperti hakim dan talak.41

Imam Muhali mengatakan:

"X

/2 "\"'9 D"; "TA :-P "%&'"( ]^ "_ O`"a b1"ﺹ d Oe

42

"

Artinya: “ Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan sesuatu hak dengan ucapan

kesaksian di depan sidang pengadilan”.

Saksi menurut Imam Syafi’i yaitu seseorang diberikan tanggungjawab untuk

menyaksikan sesuatu peristiwa yang diketahui secara pasti. Saksi tersebut

mestilah bersifat adil (jujur). Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui

sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Saksi adalah orang yang diminta hadir pada

suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan atau mengetahuinya agar sesuatu

ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa

peristiwa itu sungguh terjadi.43

4. Definisi Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang

melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan

dari pihak pertama. Sedangkan makna qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.

41 M.Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, h. 106

42 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahali, Qalyubi Wa Umairah, (Riyadh: Maktabah Ar-Riadkil Haditsh, t.th), jilid IV, h. 316

(37)

Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya : “saya kawinkan anak saya

yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul

adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya : “Saya terima mengawini

anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”.

Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad

perkawinan itu bukanlah sekadar perjanjian yang bersifat keperdataan . Ia

dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam Al-Quran dengan

ungkapan

Ff8"'@ FH g8"

yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh dua

orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu

berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.44

Terdapat dua rukun di dalam akad nikah, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah

ungkapan pertama yang dinyatakan oleh pelaku akad nikah sebagai tanda

penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Bila pernyataan itu sudah

dikeluarkan, maka dikatakan bahwa orang itu telah melakukan ijab. Adapun qabul

adalah ungkapan dari pihak kedua yang melakukan akad (perjanjian) nikah,

sebagai pernyataan bahwa dia rela dan sepakat atas penawaran pihak pelaku akad

yang pertama. Bila pernyataan itu telah terjadi, maka dikatakan kepadanya bahwa

ia telah menerima atau melakukan qabul. Jika ijab dan qabul telah dinyatakan

sesuai syarat sahnya, maka akad nikah telah terlaksana dan telah memenuhi

(38)

syaratnya. Kemudian mereka boleh melakukan pekerjaan yang dihalalkan karena

akad nikah itu termasuk hubungan seksual secara langsung.45

Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk

sahnya suatu akad pernikahan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat

tersebut ada disepakati oleh ulama dan di antaranya diperselisihkan oleh ulama.

Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah

penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki seperti ucapan wali

pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A

kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul adalah penerimaan

dari pihak laki-laki:“saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A

dengan mahar sebuah kitab suci al-Quran”.

2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti menyebutkan nama si

perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.

3) Ijab dan qabul haruslah diucapkan secara bersambungan tanpa terputus

walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan

qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang

pendek.

(39)

4) Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat

membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu

ditujukan untuk selama hidup.

5) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak

boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran

itu diperlukan niat. Sedangkan saksi yang harus dalam perkawinan itu tidak

akan dapat mengetahui apa yang diniatkan seseorang. 46

Ulama Syafi’iyah mengatakan akad nikah adalah :

" !" 0

"$ a "%&'"( " h> 7 (" ,-./0! 123

47

Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan

kelamin dengan menggunakan lafaz atau .

Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua

belah pihak (suami dan isteri), dimana status kepemilikan akibat akad nikah

tersebut bagi laki-laki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan

segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh yang

lainnya, dalam fiqh disebut istilah “ Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki

penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri) yang digunakan untuk

dirinya sendiri.48

46 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kecana, 2006), cet 1, h. 61

47Ibid., h.81

(40)

Bagi perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh

kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya

sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang

suami bersama perempuan lainya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan

di sini merupakan hak berserikat antara para isteri.49

Akad nikah juga merupakan rukun yang pokok dalam pernikahan adalah

keredhoan laki-laki dan permpuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup

berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat

dilihat dengan kasatmata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk

menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami isteri. Simbolisasi itu

diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.

Pernyataan pertama sebagai pertanyaan kemauan untuk membentuk hubungan

suami isteri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak

yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya,

disebut “qabul”. Para fikih mengatakan bahwa syarat pernikahan adalah ijab dan

qabul.

penuh, seperti memperoleh benda tersebut dengan jalan membeli atau mewarisinya dari keluarga. Terhadap benda yang didapatkan melalui jalan ini dapat saja dijual atau digadai oleh si pemilik.Ketiga : Milkal-Manfa’ah yaitu hak memiliki manfaat atau kegunaan atas suatu benda dengan jalan menyewa atau meminjam.

(41)

Syarat ijab qabul untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum

pada suami isteri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut50:

1) Kedua belah pihak sudah tamyiz. Jika salah satu pihak ada yang gila atau

masih kecil dan belum tamyiz (dapat membedakan benar dan salah) maka

pernikahannya tidak sah.

2) Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis dan waktu, yaitu ketika

mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselangi dengan kata-kata lain. Artinya,

antara ijab dan qabul tidak dipisahkan oleh suatu pembicaraan, yang menurut

kebiasaan boleh menganggu pelaksanaan ijab dengan masalah yang lain.

3) Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab kecuali kalau lebih

baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuan

yang lebih tegas. Jika pengijab mengatakan “ aku nikahkan kamu dengan

anak perempuanku (fulanah) dengan mahar Rp100.000”, misalnya, lalu qabil

menjawab “aku menerima nikahnya dengan Rp200.000”, maka nikahnya

sebab qabulnya mengandung hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari

yang dinyatakan peng-ijab.

4) Pihak-pihak yang melakukan akad haruslah dapat mendengarkan pernyataan

masing-masing dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya

perlaksanaan akad nikah. Sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat

50 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Nor Hasanuddin (Kohirah: Darl Fath, 2004), jilid 2, h. 542

(42)

difahami, karena yang dipertimbangkan disini adalah maksud dan niat,

bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul. 51

Akad nikah dapat dilaksanakan dengan bahasa yang difahami oleh semua orang,

selama maksud yang disampaikan adalah adanya keinginan untuk mengadakan

ikatan perkawinan, tanpa ada tipu daya atau ada sesuatu yang disembunyikan.

Isyarat yang dipakai oleh orang yang bisu untuk menyatakan akad nikahnya

adalah sah, selama isyarat itu menunjukkan adanya keinginan untuk

melaksanakan perkawinan. Jika tidak, maka akad nikahnya tidak sah, karena

perjanjian (akad) yang terjadi di antara dua orang harus benar-benar difahami

oleh kedua belah pihak.

Ada juga yang mengatakan boleh menikahkan orang yang sedang tidak ada

ditempatnya (ghaib). Misalnya jika ada seseorang yang ingin melakukan akad

nikah, tetapi ia hanya mengutus seseorang, atau menulis pesan kepada pihak

kedua bahawa ia ingin menikahinya. Maka pihak kedua, jika berkenaan menerima

tawaran itu, harus menghadirkan saksi-saksi untuk memperdengarkan kapada

mereka maksud pesan tertulis itu, kemudian menyelenggarakan kesaksian dalam

suatu majlis bahwa ia menerima tawaran pernikahan itu. Majlis yang

diselenggarakannya dianggap sebagai syarat sahnya akad nikah.52

51Ibid., h. 542

52Mahmud al Shabagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), Cet 1, h. 53

(43)

Akad nikah menurut kompilasi hukum islam (KHI) pasal 27 adalah ijab qabul

antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang

waktu. Pasal 28, akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah

yang bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain. Pasal 29

mengatakan bahwa yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria

secara pribadi.53

Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain

dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis

bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam

hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria di wakili,

maka akad nikah tidak dilangsungkan.54

Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang keinginan untuk

melaksanakan suatu komitmen denga serius, dengan makna tertentu dan

keharusan menggunakan pengucapan lafaz tertentu terhadap pihak lain yang

menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, dimana kedua pihak yang

melakukan akad akad benar-benar menghormati makna akad tersebut di hadapan

Allah dan di hadapan masyarakat.55

53 Abdurrahman, KompilasiHukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), Cet, 5, h. 119

54Ibid., h. 119

(44)

Di dalam akad perkawinan tidak boleh ditentukan batas waktu perkawinan,

karena akad perkawinan merupakan perbuatan hukum yang membawa pengaruh

yang sangat besar dan mendalam bagi orang yang melakukan perkawinan itu

sendiri. Dalam akad nikah, terdapat banyak solal hukum yang terkait dengannya,

mulai dari dari mas kahwin, nafkah sampai tempat tinggal. Akad di dalam

perkawinan ini juga memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi supaya

dapat terselenggara dengan benar dan baik dalam sebuah perkawinan.56

Syarat dalam akad nikah terbagi kepada tiga, yaitu:

1) Syarat-syarat yang halal, maka wajib dilaksanakan, diantaranya adalah bila

seorang wanita mensyaratkan kepada suaminya agar mempergauli dirinya

dengan lembut atau bila sesuatu saat terdapat ketidakcocokkan, maka harus

menceraikannya dengan baik.

2) Syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan, seperti seorang wanita

mensyaratkan kepada suaminya agar tidak menyetubuhinya. Syarat seperti ini

menurut ijma ulama tidak wajib dipenuhi.

3) Syarat-syarat di antara kedua syarat di atas, seperti jika ia memberi syarat

kepada suaminya agar tidak menikah lagi, atau tidak membawanya keluar dari

daerah asalnya, dan sejenisnya. Maka tentang wajib dan tidaknya memenuhi

syarat ini, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Yang kuat adalah ia

(45)

boleh mensyaratkan hal itu dan suami wajib menjalankan syarat tersebut,

selama tidak menyelisihi kitabullah dan sunah Rasulullah saw.57

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi

pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan

penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan seperti

berikut:

Bab pertama penulis mengenegahkan gambaran pendahuluan yang terdiri dari

latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, rewiew studi terdahulu, metode penelitian, definisi operasional, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua mendeskripsikan tentang imam Syafi’i dalam lintasan sejarah

berisikan profil mazhab Syafi’i, nama imam Syafi’i dan nasabnya, latar belakang

pendidikannya, guru-guru imam Syafi’i dan murid-muridnya, karya-karya imam

Syafi’i dan perkembangan mazhabnya, pola pemikiran, metode istidlal dan

faktor-faktor yang mempengaruhi imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam.

Bab ketiga penulis menguraikan tentang eksistensi hukum kesaksian dalam

akad nikah yang berisikan sub bahasan pengertian, dasar hukumnya, kedudukan

saksi dalam akad nikah dan syarat sahnya saksi dalam akad nikah.

(46)

Bab keempat penulis menguraikan tentang pembahasan pendapat mengenai

hukum kesaksian dalam akad nikah dengan sub bahasan, pendapat para ulama

secara umum, pendapat mazhab Syafi’i, dalil-dalil yang digunakan serta

pemahamannya dan akibat hukum.

Bab kelima Merupakan bab terakhir dari penulisan ini, meliputi kesimpulan dari

pembahasan, serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian

ini yang di harapkan dapat dijadikan bahan masukan dan sumbangan penulis pada

(47)

BAB II

IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH

A. PROFIL MAZHAB SYAFI’I 1. Nama Imam Syafi’i Dan Nasabnya

Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris

ibn Abbas ibn Syafi’I ibn Said ibn Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd

al-Muthalib ibn Abd al-Manaf ibn Qushay al-Qurasyiy. Beliau dilahirkan di Gazah

pada bulan Rajab pada tahun150 H (767 M). Imam Syafi’I wafat di Mesir pada

tahun 204 H (819 M).

Ayah Imam Syafi’I meninggal ketika beliau masih kecil ketika baru

berusia dua tahun dan dibawa ibunya ke Makkah dan beliau dibesarkan dalam

keadaan fakir. Dalam asuhan ibunya beliau dibekali pendidikan dan menghafaz

al-Quran. Beliau mempelajari al-Quran dengan Ismail ibn Qastantin. Sebuah

(48)

sebanyak 60 kali. Beliau keluar dari Makkah dan menuju sutu dusun Bani Huzail

untuk mempelajari bahasa arab.58

Sebelum menekuni fiqh dan hadits, Imam Syafi’i tertarik pada puisi, syi’ir

dan sajak bahasa arab. Beliau mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah.

Ketika berusia 13 tahun beliau telah dapat menghafaz al-Muwaththa’.

Pada tahun 195 H. al-Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap disana selama

2 tahun. Setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 198 H. Imam

Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab.

Dan pengetahuan dalam bidang fiqh meliputi fiqh ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh

Ashab al-Hadits di Hijaz. 59

2. Latar Belakang Pendidikan

Dalam usia anak-anak, Asy-Syafi’i ra diikutsertakan belajar pada suatu lembaga

pendidikan di makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan

sebagaimana mestinya. Sebenarnya guru yang mengajarkannya hanya terbatas

memberikan pelajaran kepada anak-anak yang agak besar. Akan tetapi, setelah ia

mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkan kepada asy-Syafi’i ra dapat mengerti

dan diterima dengan baik, lagi pula setiap kali ia berhalangan ternyata asy-Syafi’i

58Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), Cet 3, h. 120

(49)

ra mampu menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan

kepadanya kepada anak-anak yang lain.60

Akhirnya asy-Syafi’i ra dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih

besar dari pada bayaran yang diharapkan dari ibunya. Keadaan seperti itu

berlangsung hingga asy-Syafi’i ra berkesempatan belajar al-Quran dan

mengkhatamkannya dalam usia tujuh tahun. Kemudian beliau belajar menghafal

banyak hadits. Untuk itu, beliau turut serta belajar pada guru tafsir dan

guru-guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk

mencatat pelajaran, beliau mengumpul kepingan-kepingan tulang yang lebar dan

besar, bahkan ia lebih mengandalkan ingatan melalui cara menghafalnya, karena

dengan kebiasaan tersebut ia memiliki daya ingat yang amat kuat61.

Kemudian asy-Syafi’i ra meminta izin kepada ibunya hendak berangkat ke

Madinah al-Munawwarah untuk belajar kepada al-Imam Malik ibn Anas dan

ibunya mengizinkannya. Pada saat itu beliau berusia kurang lebih 20 tahun.

Beliau menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bertemu dengan imam

Malik. Untuk keperluan itu, beliau mencari buku “al-Muwaththa”. Dalam buku

itulah imam Malik menuangkan semua hasil pemikirannya tentang ilmu fikih dan

hadits-hadits Nabi SAW yang dipandang sahih isnadnya. Al-imam asy-Syafi’i ra

60 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Al Hamid Al Husaini et.al (terj), Riwayat Sembilan Mazhab Al Imam Mazhab, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet 1. h. 382

(50)

berhasil berhasil menemukan bukunya yang dimaksud dan pada akhirnya beliau

mampu menguasai bahkan manghafal buku yang dikarang oleh imam Malik.62

Imam asy-Syafi’i ra yang sejak kecil berada dalam kancah penderitaan, namun

semangat beliau dalam menuntut ilmu tidak terhalang oleh penderitaan yang

menyelimuti keluarganya, baik dalam ilmu agama maupun ilmu yang lainnya.

Selain itu beliau seorang yang baik budinya, jujur, dan rajin dalam beribadah

kepada Allah SWT.63

B) Guru-Guru imam Syafi’i dan Murid-Muridnya

Imam Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada

zamannya. Di antaranya di Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Yaman, Syam, dan

Mesir. Hal itu telah disebutkan oleh Baihaqi, Ibnu Katsir, Mizzy, dan

al-Hafizh Ibnu hajar.

Ibnu katsir berkata: “al-imam asy-syafi’i belajar banyak hadits kepada para

syaikh dan para imam. Ia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dengan hafalan

sehinga imam Malik kagum terhadap hafalan dan kemauan kerasnya”.

Di riwayatkan dari imam Malik bahwa imam syafi’i mengambil ilmu dengan

ulama Hijjaz, sebagaimana ia mengambilnya dari Syaikh Muslim bin Khalid

az-Zanji.

62Ibid., h. 382

(51)

Al-Hafizh al-Mizzi telah menyebutkan para guru imam Syafi’i. Di antara

gurunya yang berasal dari penduduk Makkah adalah:

1. Imam Sufyan bin ‘Uyainah

2. ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah

3. Isma’il bin Abdullah bin Qasthinthin al-Muqri

4. Muslim bin Khalid az-Zanji, dan banyak lagi selain mereka.

Gurunya yang berasal penduduk Madinah adalah:

1. Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Ashabani

2. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi

3. Ibrahim bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf

4. Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik dan banyak lagi selain mereka.

Dari negeri lain di antaranya adalah:

1. Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani

2. Mutharrif bin Mazin as-Shan’ani

3. Waki’ bin al-Jarrah

4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan banyak lagi selain mereka.64

Murid-murid imam Syafi’i yang paling popular adalah:

1) Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ‘Abdul Jabbar bin Kamil, Imam al-Muhaddits

al-Faqih al-Kabir Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin. Ia adalah

(52)

teman imam Syafi’i yang mengambil ilmu-nya, syaikh para muadzdzin di

Masjid Fusthath, dan seorang yang diminta oleh para syaikh pada zamannya

untuk membacakan atau menyampaikan ilmu. Ar-Rabi’ lahir pada tahun 174

H. Diriwayatkan bahwa imam Syafi’i pernah berkata kepadanya:” jika aku

mampu memberimu makanan ilmu, nescaya aku memberikannya”. Imam

syafi’i juga berkata: “Ar-Rabi adalah orang yang banyak meriwayatkan

tulisan-tulisanku”. Ia wafat pada tahun 270 H65.

2) Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Ismail bin ‘Amr bin Muslim Muzani

al-Mishri, al-Imam al-‘allamah, sangat faham tentang agamanya, pemuka para

ahli zuhud, ia lahir pada tahun 175 H. karangannya yang berupa mukhtasar

(ringkasan) dalam bidang fikih memenuhi banyak negeri, yang kemudian di

syarah (diuraikan) oleh sejumlah imam besar sehingga dikatakan: “seorang

anak gadis saja memiliki sebuah naskah mukhtasar al-Muzani yang disimpan

di antara barang-barang miliknya”. Imam Syafi’i mengatakan:“Al-Muzani

adalah pembela mazhabku”. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Amr bin

Tamim al-Makki berkata:“ saya telah mendengar Muhammad bin Isma’il

at-Tirmidzi berkata: ‘saya telah mendengar al-Muzani mengatakan hal berikut:

‘Tauhid seseorang tidak benar sampai ia mengetahui bahwa Allah SWT

(53)

(bersemayam) di atas ‘Arsy dengan sifat-sifat-Nya.’ Al-Muzani wafat pada

tahun 264 H.66

3) Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam bin A’yan bin Lits

al-Imam Syaikhul Islam Abu Abdillah al-Mishri al-Faqih, lahir pada 182 H. ia

adalah ulama Mesir sezaman dengan al-Muzani. Ketika Muhammad bin

Abdillah bin Abdul Hakam menaiki kudanya, imam Syafi’i memandangnya

seraya berkata: “Alangkah baiknya aku jika mempunyai anak seperti dia,

sementara aku menaggung utang 1000 dinar yang aku tidak dapat

membayarnya”. Diriwayatkan bahwa terjadi selisih pendapat antara dia

(Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam) dengan Buwaithi karena imam

Syafi’i memilih al-Buwaithi untuk menggantikannya di majelisnya sehingga

Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam meniggalkan madzhab imam

Syafi’i dan kembali ke madzhab Maliki67.

4) Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al-Mishri al-Buwaithi. Al-Imam al-‘Allamah,

pemimpin para fuqaha, adalah sahabat imam Syafi’i yang mendampinginya

dalam waktu yang lama hingga ia menjadi murid imam Syafi’i yang

mengalahkan kawan-kawannya. Al-Buwaithi adalah seorang imam dalam

ilmu, teladan dalam amal, seorang yang zuhud, rabbani yang banyak tahajjud,

selalu berdzikir, dan menekuni ilmu fiqih. Imam Syafi’i berkata tentangnya: “

(54)

tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabatku yang lebih banyak ilmunya dari

pada al-Buwaithi”. Ia di siksa karena menolak pendapat yang mengatakan

bahwa al-Quran adalah makhluk. Ia sabar menghadapi ujian itu sampai wafat

di penjara. Ia wafat dalam keadaan terbelenggu di penjara Irak pada tahun 231

H.68

C) Karya-karya Imam Syafi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam syarah al-Mujtaba yang ditulis oleh al-Suyuti dan al-Sindi terdapat intertekstualitas dalam hal informasi nasikh- mansukh. Hal ini terlihat karena syarah yang

Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain; (1) guru menjadi teladan bagi peserta didik; (2) membantu peserta didik merumuskan missi

Namun, karena Assembly 

Untuk menghasilkan 1 Kg bahan kering kebutuhan air untuk Kg bahan kering kebutuhan air untuk sorgum, jagung , barley, gandum dan sorgum, jagung , barley, gandum dan  padi adalah

Untuk mengkaji apakah bangunan yang telah direncanakan dengan menggunakan SNI 1726:2012 aman terhadap bahaya gempa yang bersumber dari Sesar Lasem, maka dilakukan

Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Nurgoho, 2006).. menemukan bahwa sikap

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BETANJA BELANJA SATUAN KERJA METALUI KPPN. UNTUK TRIWULAN YANG BERAKHIR 31

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai perbandingan persepsi audience antara dua buah iklan yang dibandingkan yaitu iklan mengandung humor, Ramayana