• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran murtadha muththahhari tentang fisafat sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran murtadha muththahhari tentang fisafat sejarah"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam

(S.Fil.I)

Oleh

M u s l i m

NIM: 104033101064

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PEMIKIRAN MURTADH

Ȃ

MUTHTHAHHAR

Ȋ

TENTANG

FILSAFAT SEJARAH

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

M U S L I M NIM: 104033101064

Di bawah Bimbingan

Dr. Syamsuri, MA.

NIP. 19590405 198903 1003

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

tanggal 05 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 20 Juni 2011

SIDANG MUNAQASYAH

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmadji, M.Fils Dra. Tien Rohmatin, MA NIP.19610827 199303 1 002 NIP. 19680803 199403 2 002

Penguji I Penguji II

Drs. Nanang Tahqiq, MA Dra. Tien Rohmatin, MA

NIP. 19660201 199103 1001 NIP. 19680803 199403 2 002

Pembimbing

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Maha suci Tuhanku yang telah menciptakan akal kepada manusia. Sembah

dan sujud hamba hanya kepada-Nya. Sungguh luar biasa ciptaan-Nya, akal dapat

menentukan yang baik dan yang benar. Tanpanya, manusia jelas akan kehilangan

makna yang terdalam. “Law kunnâ nasma’u aw na’qilu mâ kunnâ fȋ ashâbi

al-sya’ȋr”, “sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan

itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Shalawat dan salam hamba selalu haturkan pada junjungan Nabi

Muhammad, sebagai nabi yang telah membawa perubahan dan transformasi

radikal dalam sejarah jaman umat manusia. Ajarannya tak akan pernah padam

dalam setiap perdebatan ilmiah di ruang-ruang akademis, dan rakyat jelata

sekalipun. Ajarannya telah mengerutkan akal manusia untuk terus berpikir dan

berobsesi menuju perubahan-perubahan yang revolusioner, sehingga tetap dinamis

mengkreasi karya-karya kontemporer.

Penulis juga merasa bersyukur, karena telah merampungkan tugas akhir

kuliah yakni penulisan skripsi. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa

tanpa kontribusi pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit

dibayangkan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:

1. Dr. Syamsuri, sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing penulis dalam menyusun skrispi ini.

2. Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Dra.

(5)

beserta seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis selama menjalankan

studi di fakultas ini.

3. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin

4. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Selanjutnya, salam ta′zhȋm penulis kepada ayahanda H. Masturoh dan

Ibunda Hj. Aminah, yang selalu mendorong dan mendoakan penulis untuk

terus melanjutkan pendidikan. Buaian dan kasing sayang yang diberikan

mereka sungguh tak akan pernah terbalas oleh penulis

6. Kepada kakak-kakak tercinta H. Saiful Bahri SH beserta istri tercinta Hj.

Siti Chadijah, Maemunah beserta suami terkasih (Bang Habibi) terima

kasih atas segala bimbingan dan kontribusi moril maupun materil. Juga

adik-adikku Rahmah Wati dan Ahmad Sifa, salam super.

7. Delove Dhea Markhamatul Aeni S.Farm, yang telah mendedikasikan

dirinya untuk penulis dengan cinta dan kasih sayangnya yang selalu setia

baik suka maupun duka dan selalu memotivasi penulis untuk selalu

berkarya dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan karena hidup

adalah “samadengan” (=).

8. Kepada rekan-rekan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB

HMI) periode 2010-2012, semoga kepengurusan ini mampu mewarnai

(6)

v

diteladankan oleh para pendiri dan senior serta mampu menjadi

pengimbang yang kreatif, cerdas, dan solutif.

9. Rekan-rekan Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2008-2009, terima

kasih atas kebersamaannya.

10.Rekan-rekan seperjuangan di BEM F Ushuluddin 2006-2007 Fajar dan

Iweng, terima kasih atas kesolidan dalam kepengurusan sehingga mampu

menciptakan kreasi yang gemilang. Salam sukses selalu.

11.Kawan-kawan kepengurusan BEM J 2005-2006, terima kasih atas

kekompakan, semoga tetap menjadi creatif minority.

12.Komunitas Freedom Circle (KFC) dan Akademi Merdeka se Indonesia

terima kasih atas suguhan intelektualnya yang selalu mendakwahkan

kebebasan berpikir untuk keluar dari terali penjara intelektual.

13.Ali Kemal, Hasan al Banna, M. Hajid, Yosep, Ridwan, Mia Romadinia,

dan kawan-kawan angkatan 2004 Aqidah Filsafat lainnya, terima kasih

atas kongkow-kongkow kreatifnya.

14.Shul Amir, Shul Iqbal, Lhemot, Hazami, Rosi, Mu’ammar Midan, Aris,

Abenk, dan kawan-kawan lainnya, terima kasih atas futsalnya.

15.Funny, Ibel, Upi, Lisa, dan rekan-rekan pengurus Komisariat Kedokteran

lainnya, terima kasih atas karaokeannya.

16.Serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak disebutkan

satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada kalian

(7)

Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi bangsa

Indonesia pada umumnya. Sebagai penutup hanya doa jualah yang dapat penulis

mohonkan kepada Allah swt, semoga selalu membimbing langkah kita menuju

masa depan yang lebih baik.

Ciputat, 04 Januari 2011

(8)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

ا

a

ب

b

ت

t

ث

ts

ج

j

ح

h

خ

kh

د

d

ذ

dz

ر

r

س

s

ش

sy

ص

sh

ض

dh

ط

th

ظ

zh

ع

غ

gh

ف

f

ق

q

â = a panjang

ȋ

= i panjang

û = u panjang

ك

k

ل

l

م

m

ن

n

و

w

ه

h

ء

(9)

viii DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING

KATA PENGANTAR ………... iii

TRANSLITERASI ……… vii

DAFTAR ISI ………. viii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ……… 6

D. Manfaat Penelitian ……….. 7

E. Metode Penelitian ……… 7

F. Tinjauan Pustaka ……….. 8

G. Sistematika Penulisan ………. 11

BAB II BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ ……… 12

A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya ……… 12

B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ ………. 16

BAB III STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH … 22

A.Munculnya Filsafat Sejarah ……… 22

B.Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah …...……….. 23

C.Filsafat Sejarah dalam Islam ………. 26

(10)

ix

BAB IV PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG

FILSAFAT SEJARAH ……….. 58

A.Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah ………... 58

B.Sifat dan Gerak Sejarah ……… 64

C.Evolusi dan Perubahan Sejarah ……….. 77

D.Kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap Konsep Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis Karl Marx ………. 85

BAB V PENUTUP ………. 92

A. Kesimpulan ………... 92

B. Saran-saran ……….. 95

(11)

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Filsafat sejarah merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari

rangkaian keilmuan filsafat secara umum. Filsafat sejarah memiliki sudut pandang

yang sangat berbeda dengan kajian sejarah atau kajian lainnya dalam hal

bagaimana merespon dan mengamati peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi

dalam kehidupan di muka bumi. Dalam tinjauan filsafat sejarah, sejarah bukan

hanya menuliskan kejadian atau peristiwa secara kronoligis yang terjadi pada

masa lampau, akan tetapi filsafat sejarah meninjau lebih dalam tentang pola dan

karakter dari peristiwa-peristiwa yang mengemuka.

Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan

manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak

henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan yang terjadi di

sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang

bisa menguraikan geraknya dari segi faktor-faktor yang membangkitkan dan dari

akibat-akibat yang dihasilkannya.1 Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari

yang dimiliki manusia merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah.

Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada

bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan

pengkajian itu secara filosofis.

1

(12)

2

Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah baik itu tokoh

filsafat dari Islam maupun Barat. Filsafat Sejarah di Barat mengalami

perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya

pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, ST. Agustinus (1354-1430),

terkenal dengan paham sejarah teologis, August Comte (1798-1854), dengan

filsafat positivisme hukum, Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori evolusi –

di samping yang dikembangkan oleh Darwin Oswald Spengler (1880-1936),

terkenal dengan teori daur kultur sejarahnya yaitu masa timbul, tumbuh, menua,

dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan filsafat sejarah

spekulatif, filsafat sejarah formal dan material, Karl Marx (1818-1883) dengan

materialisme historisnya, dan Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya

tentang tantangan dan jawaban (challenge and response) atau yang terkenal

dengan hukum kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut Hukum Sejarah.2

Berbeda dengan perkembangan filsafat sejarah Barat, filsafat sejarah

Islam, kelihatan memiliki pasang surut dan uncontinuity, baik dalam pemunculan

teori maupun dalam hal kemunculan para pemikir dan tokoh-tokohnya. Ibn

Khaldûn misalnya, diakui baik oleh pemikir Islam sendiri (Timur) maupun oleh

non Islam di Barat, merupakan “Bapak Filsafat Sejarah Islam” yang sangat

berjasa. Ia dengan teorinya, The Culture Cycle Theory of History yang sangat

terkenal itu, kelihatan tidak diikuti oleh pemikir dan generasi Muslim sesudahnya.

2

(13)

Dengan demikian, rentang tali perjalanan dan diskursus filsafat sejarah dalam

Islam seolah terputus tanpa ada kontinuitas.3

Baru pada paro pertama abad ke 20, mulai muncul pemikir-pemikir Islam

dengan karya-karya monumentalnya. Di antaranya Malik bin Nabi dari Maroko,

Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Shiddiqi dari Pakistan, serta

Murtadhȃ Muththahharȋ dari Iran yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi

ini. Berbeda dengan di dunia Islam, di Barat, teori filsafat sejarah terus diasah dan

diuji. Kehadiran teori “Dialektika Materialisme Historis” yang dipelopori oleh

Karl Marx misalnya, merupakan penyahutan terhadap teori “Dialektika”-nya

Hegel.4

Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. Sekitar dua per tiga

dari keseluruhan ayat al-Qur’ân yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki

nilai-nilai atau norma sejarah. Al-Qur’ân berbicara tentang perubahan dalam

sejarah, di mana perubahan itu menurut penegasan Allah sangat ditentukan oleh

kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban kaum

kafir terhadap Nabi Muhammad, yang diabadikan oleh Allah swt. Dalam

firman-Nya; “Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan

pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran)

mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka

rencanakan” (QS. an-Nahl: 127).5

3

Ibid, h.14.

4

Ibid, h. 14-15.

5

(14)

4

Di samping itu, al-Qur’ân juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya

disintegrasi sosial-bangsa yang disebabkan oleh tingkah polah dan ulah manusia

sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki.

Dalam ranah ini, Allah swt. telah berfirman dalam QS. al-An’âm: 131: “Yang

demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara

aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.” Maksud ayat ini antara

lain, Allah tidak akan mengadzab penduduk satu desa atau kota meskipun mereka

berbuat kekafiran, sebelum diutus rasul yang akan memberi peringatan kepada

mereka. Akan tetapi kalau telah diutus seorang rasul kepada mereka, dengan kitab

suci yang ditinggalkan sebagai pedoman hidupnya, dan mereka tetap berbuat

kezaliman dan kekufuran, maka Allah swt. akan mengazab mereka di dunia dan di

akhirat kelak.6

Begitu juga dalam QS. Hûd: 117, Allah swt. menyebutkan, “tidak

sekali-kali membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk negeri itu

adalah orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maksud ayat ini, dengan jelas Allah

swt. menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru

ditimpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu negara berbuat kezaliman.

Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah swt. terhadap tingkah polah dan

perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.7

Pengungkapan selintas tentang ayat-ayat di atas, dapat dikatakan

bahwasanya Islam memandang bahwa kehidupan merupakan proses yang

6

Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 1.

7

(15)

menyejarah, di mana kekuasaan berlaku serta bergerak ke depan dan ke belakang,

maju atau mundur, kaya atau miskin, berhasil atau gagal.

Murtadhȃ Muththahharȋ adalah seorang ulama intelektual abad ke-20 yang

dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga

syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar

yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu

non-agama, dan sebagai penulis yang sangat produktif sehingga memiliki

karya-karya nyata di bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang

yang kuat dalam filsafat dan ‘irfân (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan

kedua hal tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer.

Dari sekian banyak karyanya, ia memiliki pemikiran yang komprehensif

mengenai filsafat sejarah, di mana pemikirannya tersebut dilandaskan pada

ayat-ayat al-Qur’ân. Kajiannya tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan

kerangka pemikiran baru tentang filsafat sejarah tetapi juga untuk melawan

pemikiran-pemikiran sejarah yang ada terutama pemikiran Karl Marx tentang

materialisme dialektis dan materialisme historis.

Murtadhȃ Muththahharȋ, mendefinisikan sejarah sebagai satu ilmu dalam

empat pengertian, yang pertama, secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena

serial dari pribadi dan individual, kedua, sebagai sebuah narasi, ketiga, ilmu

tentang being (maujud atau eksistensi), bukan sebaliknya sebagai ilmu becoming,

keempat, ilmu berkenaan tentang masa lalu, bukan masa sekarang.

Pada sisi lain, Muththahharȋ, dalam mendefinisikan sejarah, dengan cara

(16)

6

hubugan yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian

dan prioritas pembahasannya yang agak lebih luas hanya dua, yaitu sejarah ilmiah

dan filsafat sejarah.8 Walaupun demikian, ketiga pengertiaannya tetap akan

diungkapkan dalam skripsi ini. Pembahasan lebih luas mengenai gagasan filsafat

sejarah Muththahharȋ, penulis membahasnya pada bab-bab selanjutnya.

Dari latar belakang pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengangkat

permasalahan tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Pemikiran

Murtadhȃ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah”.

B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis membatasi dan

memfokuskan pada pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah

serta kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl

Marx.

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah

a. Bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah

b. Bagaimana kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap materialisme

dialektis dan materialisme historis karl marx

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini yaitu:

8

(17)

1. Sebagai upaya memahami pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang

filsafat sejarah.

2. Menelaah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ bagaimana ia mengulas

tentang filsafat sejarah yang di dalamnya ia menjelaskan sifat dan

gerak sejarah serta kritik tajamnya terhadap pemikiran Karl Marx

tentang materialisme dialektis dan materialisme historis

3. Menelaah gagasan dan perkembangan filsafat sejarah dalam Islam

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian skripsi ini, secara teoritis, berguna untuk mengembangkan

diskursus keilmuan di bidang pemikiran filsafat sejarah. Oleh karenanya

penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat menggugah para peneliti untuk

mengkaji dan mengembangkan pemikiran filsafat sejarah.

Di samping itu penelitian skripsi tentang filsafat sejarah ini sangat

mungkin untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi atau pedoman dalam

mengamati sifat dan gerak sejarah kehidupan umat manusia secara global.

E. METODE PENELITAN

Penelitian skripsi ini merupakan studi kepustakaan (library research).

Objek material penelitian ini adalah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ secara

umum dan objek formalnya berhubungan dengan pemikirannya seputar persoalan

(18)

8

sejarah disertai juga kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme

historis Karl Marx.

Sumber dan data primernya adalah karya-karya yang langsung ditulis oleh

Murtadhȃ Muththahharȋ baik itu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia maupun yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, mengingat

karya-karya orisinil Murtadhȃ Muththahharȋ sebagian besar ditulis dalam bahasa Iran.

Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas tentang

filsafat sejarah. Sumber-sumber sekunder inilah yang penulis gunakan untuk

menganalisis pandangan Murtadhȃ Muththahharȋ.

Adapun dalam hal pembahasannya, penulis menggunakan metode

deskriptif-analitis. Artinya menggunakan sumber-sumber yang ada lalu

mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemikiran

Murtadhȃ Muthahharȋ tentang filsafat sejarah.

Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini disandarkan pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,

2007.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, sudah terdapat beberapa

penelitian yang mengkaji pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ, di antaranya yaitu:

1. Yuli Astuti dengan judul Kebebasan Manusia dalam Perspektif John

Stuart Mill dan Murtadhȃ Muththahharȋ (Sebuah Studi Komparasi).

(19)

Dalam skripsi tersebut, ia melakukan studi komparatif terhadap dua

pemikir yang berbeda kultur dan menaruh perhatian pada masalah

kebebasan manusia. Menurutnya, terdapat persamaan dan perbedaan

dalam pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ dan John Stuart Mill mengenai

kebebasan.

2. Izkar Sobah dengan judul Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam

Perspektif Teologi Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi: Jurusan Aqidah

Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2006). Dalam skripsi tersebut ia menulis bahwa Tuhan Maha adil dan

kejahatan tidak membuat-Nya untuk tidak adil. Sesungguhnya Tuhan

menyayangi hamba-hamba-Nya. Adapun adanya kejahatan dan keburukan

adalah bukti kasih sayang-Nya sebagai bentuk ujian bagi manusia untuk

menjadi lebih baik dan hal ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu

memperhatikannya.

3. Muniroh dengan judul Konsep Fitrah Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi

Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2008). Dalam skripsi tersebut ia mengatakan bahwa

yang dimaksudkan Muththahharȋ adalah fitrah yang berkaitan dengan

masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain

bersifat fitrah. Manusia itu sendiri memiliki fitrah di antaranya ialah dalam

hal mencari kebenaran atau kesempurnaan, condong kepada kebaikan,

(20)

10

4. Nurdin Kadir dengan judul Konsep Zuhud Murtadhȃ Muththahharȋ.

(Skripsi Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat 2008). Dalam penelitiannya tersebut, ia mengatakan bahwa

terdapat pemikiran tentang zuhud yang dianggapnya bias dari makna

sebenarnya dan Muththahharȋ mencoba untuk meluruskan pemikiran

tersebut. Bagi Muththahharȋ arti zuhud adalah perasaan puas dengan

kehidupan yang sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat

tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas

dengan kehidupan yang sederhana.

Berbagai kajian tentang pemikiran Murtadha Muththahhari

sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting dan kontributif bagi skripsi

ini, setidak-tidaknya sebagai bahan pengayaan dan perbandingan dalam

pembahasannya. Akan tetapi, hemat penulis, dari sejumlah pembahasan

tersebut tidak satu pun yang mengkaji pemikiran Filsafat Sejarah

Murtadhȃ Muththahharȋ secara serius dan mendalam sebagaimana yang

(21)

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, terdiri dari:

Bab I Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan

masalah, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

Bab II Biografi Murtadhȃ Muththahharȋ meliputi: latar belakang

pendidikan, karier, dan kegiatan, dan karya-karya Murtadhȃ Muththahharȋ

Bab III Studi tentang sejarah dan filsafat sejarah yang pembahasannya

meliputi: munculnya filsafat sejarah, perngertian sejarah dan filsafat sejarah,

filsafat sejarah dalam Islam, dan filsafat sejarah di Barat

Bab IV Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah yang

pembahasannya meliputi: pengertian sejarah dan filsafat sejarah, sifat dan gerak

sejarah, dan kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap konsep materialisme dialektis

dan materialisme historis Karl Marx

BAB V Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-saran.

(22)

12

BAB II

BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ

A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya

Al-Syâhid Ayatullah Murtadhȃ Muththahharȋ lahir pada tanggal 2 februari

1920/1338 Hijriyah di Fariman, dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum

Muslim Syiah yang besar di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein

Muthahharȋ, adalah ulama cukup terkemuka.1

Pada usia 12 tahun, Muththahharȋ mulai belajar agama secara formal di

Masyhad, yang kemudian menumbuhkan kecintaannya pada filsafat, teologi, dan

tasawuf (‘irfân). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan

membentuk pandangan menyeluruh tentang agama. Figur di Masyhad yang

mendapat curahan perhatian terbesar Muththahharȋ adalah Mirza Mahdi Syahidi

Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari

belum cukup umur mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada

tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran

di Qum yang kian diminati oleh banyak siswa.2

Di Qum Muththahharȋ belajar di bawah bimbingan dua ayatullah:

Borojerdi dan Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, Muththahharȋ menunjukkan

minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang

utama dalam filsafat adalah Allamah Thabathaba′i. Ia mengenal secara mendalam

segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca 11 jilid tebal

1

Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme. Penerjemah Akmal Kamil (Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001), h. 9

2

(23)

Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh

Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert

Eisntein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat.

Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang mempelajari Barat

karena rasa rendah diri –lalu bersuara lantang mengutip pakar-pakar Barat dan

malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam – Muththahharȋ tampil dengan suara

Islam yang fasih. Pada 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan

fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua

Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang

diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah al-ushủl, kuliah ilmu kalam, kuliah al-′irfân

(Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah filsafat.

Otaknya yang cemerlang dan ilmunya yang luas dapat memberikan

kehidupan yang nyaman baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Ia

banyak menulis dan aktif berdakwah. Khutbahnya di Radio Teheran masih

terdengar sampai 1382 H. Tulisan-tulisannya sampai kini masih dibaca orang

tanpa kehilangan aktualitas. Ia temasuk arsitek Revolusi Islam di Iran. Jika Ali

Syari’ati dapat disebut wakil intelektual yang ulama, Muththahharȋ adalah wakil

ulama yang sekaligus intelektual.3

Muththahharȋ berjuang bukan sekadar lewat pena dan lidahnya. Ia juga

memberikan segala yang dimilikinya. Pada 1963, ia ditahan bersama Ayatullah

Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, ia mengambil alih imamah dan

menggerakkan para ulama mujahidin. Bersama ulama lainnya, ia mendirikan

3

(24)

14

Husainiya-yi Irsyad sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Ia turut pula

menghimpun dana buat para pengungsi Palestina. Sebagai ulama, ia pun menjadi

imam Masjid Al-Jawad dan mengubah masjid itu menjadi pusat gerakan politik

Islam.

Pada 1972 Husyainiya-yi Irsyad dan Masjid Al-Jawab dilarang secara

politik oleh rezim Syah dan Muththahharȋ kembali lagi masuk penjara. Kemudian

ia bebas lagi. Pengalaman penjara tidak mengubah langkahnya. Ia melanjutkan

kegiatan-kegiatan politiknya. Pada 1978, ketika Muththahharȋ mengecam

pembuangan Ayatullah Muntazerri, rezim Syah melarang semua kuliah dan

khutbahnya.4

Di samping itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya

“Jam’iyah Ulama Militan” (Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz). Sedemikian

banyaknya peran aktif yang dilakukan dalam mendukung gerakan revolusi

membuat dirinya juga sangat dekat dengan Imam Khomeini. Setelah Imam pindah

ke tempat pembuangannya di Paris, Muththahharȋ temasuk di antara kelompok

ulama yang ikut dan berkonsultasi. Pada 12 Januari 1979 Muthahharȋ diangkat

sebagai ketua Dewan Revolusi Islam yang anggotanya antara lain Bazargab,

Yazdi, Qotbzadeh, Behesyti, Bahonar, dan Rafsanjani.

Pada tanggal 1 Mei 1979 aktivitasnya dalam mendukung dan

mengembangkan Revolusi dihentikan secara brutal oleh kelompok Furqan. Dia

dibunuh setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam di rumah Dr. Yadullah

Sahabi. Sebuah peluru bersarang tepat mengenai kepalanya dan tembus di atas

4

Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muththahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama,

(25)

kelopak matanya. Meskipun ketika syahid dia adalah ketua Dewan Revolusi

Islam, tetapi dirinya tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran dan tulisan.5

Kehidupan Muththahharȋ diabdikan untuk perjuangan politik dan

perjuangan ideologis.6 Dalam hal perjuangan ideologis ia menulis tentang

masalah-masalah filsafat, sosial, akhlak, fiqh, dan sejarah. Muthahhari adalah

salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam

paradigma yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat sejarah.

Pemikirannya berkenaan dengan filsafat sejarah (philosophy of history) banyak

ditujukan untuk mengkritik filsafat materialisme.

Muththahharȋ sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis,

khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari secara resmi ilmu-ilmu

rasional. Menurut hematnya, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari

terjemahan-terjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi

Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena

politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi utama partai

Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang berasal

dari Mesir. Mulanya ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum

mengenal terminologi filsafat modern. Dengan terus-menerus berupaya keras

termasuk dengan menyusun sinopsis buku Elementary Principles of Philosophy

5

Muththahharȋ, Kritik Islam Terhadap Materialisme, h. 10-11

6

Perjuangan ideologis yang dilakukan Muthahharȋ adalah upaya untuk menyikapi problema yang dihadapi masyarakat pada era beliau hidup, beliau memiliki perjuangan ideologis jangka pendek dan jangka panjang. Perjuangan jangka pendek beliau lakukan untuk melawan kebijakan-kebijakan elit politik Iran yang mencoba untuk melemahkan semangat keislaman masyarakat Iran, serta melawan pemikiran-pemikiran yang dinilai berbahaya bagi moralitas umat Islam. Sedangkan perjuangan ideologis jangka panjang didorong oleh empat faktor yaitu: pertama,

(26)

16

karya George Pulitzer –akhirnya ia menguasai filsafat materialisme. Sejumlah

besar penolakan terhadap Marxisme telah dieseikan di dunia Islam, baik di Iran

maupun di lain tempat, namun hampir semuanya tak lebih berkisar pada

ketidaksesuaian Marxisme dengan keyakinan keagamaan serta

ketidakkonsistenannya dengan kegagalan politis parta-partai politik Marxis.7

B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ

Murtadhȃ Muththahharȋ merupakan filosof Muslim Syiah kontemporer

yang menghasilkan banyak karya. Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas

sosial politik dan kerja intelektual semisal mengajar dan berdiskusi, Muththahharȋ

tetap dapat mengkonsentrasikan diri untuk menuangkan gagasan-gagasan dalam

bentuk tulisan yang berjumlah sekitar enam puluhan dan hingga kini dapat

dikonsumsi oleh banyak kalangan.

Di antara karya-karya tersebut adalah :

1. Inna al-dȋn ′indallâh al-Islâm, buku ini diterbitkan oleh penerbit Mansyûrat

al-Rabȋ dan telah diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan

Tantangan Zaman dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1417

H/1996 M. Di dalam buku ini terdapat dua hal yang ingin dicapai, pertama,

bagaimana umat Islam mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni

sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, pola pikir, dan

kepercayaan yang konstruktif dan kemprehensif. Kedua, bagaimana Islam

menyikapi perubahan zaman yang setiap saat mengalami perubahan, tidak

7

(27)

tetap, dan semakin bertambah kompleks, sementara pada saat bersamaan

Islam adalah agama yang secara esensial bersifat tetap dan tidak berubah.

Sebagai sebuah agama samawi terakhir dan paripurna, Islam dan segenap

doktrinnya sama sekali tidak tidak mengalami penghapusan dan perubahan –

ia bersifat abadi. Tepat pada titik ini, timbul berbagai pertanyaan ihwal

relevansi Islam dengan berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Mampukah

Islam menghadapi tuntutan dan tantangan zaman? Mungkinkah dua hal yang

saling bertentangan bisa berjalan seiring dan berpadu? Bagaimana mungkin

Islam yang bersifat tetap dan tidak berubah sanggup menuntun dan

membimbing zaman yang selalu berubah dan tidak tetap?

2. The Cause Rersponsible for Materialist Tendencies in the West. Buku ini

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kritik Islam

terhadap Materialisme. Buku tersebut merupakan karya Muthahharȋ yang

sangat diminati dunia kampus dan aktifis. Dalam buku ini, dia mengkritisi

secara tajam konsepsi filsafat ketuhanan yang dibangun dari doktrin kaku

gereja; yang kemudian mengantar manusia memandang semua realitas hanya

terbatas pada wilayah materi semata-mata. Dengan kepiawaiannya dalam

membaca sudut pandang filsafat dan sosiologi Barat serta telaahnya yang

mendalam tentang nash-nash al-Qur’ân, Muththahharȋ membuktikan kepada

kita betapa rancunya doktrin-doktrin yang ada dalam ajaran materialisme.

Bahkan secara yakin Muththahharȋ berkesimpulan bahwa paham materialisme

(28)

18

yang hampir punah; dan karenanya tidak dapat dijadikan pandangan dunia di

abad modern.

3. Introduction to Kalâm. Buku ini telah diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan

Judul Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntuan Berfikir,

diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Zahra. Di dalam buku ini Muththahharȋ

membahas doktrin-doktrin dasar ulama kalâm beserta modifikasinya

meskipun merujuk dari pemahaman teologi Muktazilah dan Asyariyah, akan

tetapi teologi yang ditawarkan Muththahharȋ telah menampilkan wajah

menengah yang mencoba mengambil posisi tengah.

4. Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama. Buku ini diterjemahkan dari

beberapa buku berbahasa Arab dan Inggris karya Murtadhȃ Muththahharȋ,

yang diterbitkan oleh Free Islamic literatures, Inc, Houston, Texas. Buku ini

merupakan proyek Muthahharȋ dalam menyikapi krisis manusia kontemporer

yang telah meluas yakni ketika fragmentasi, kehampa-maknaan,

ketiadaan-tujuan, kekosongan, kekacauan yang tidak terhingga, represi negara adidaya,

dan perang destruktif melawan kemanusiaan telah menjadi semakin

merajalela. Oleh karenanya manusia membutuhkan kedamaian spiritual dan

batiniah. Manusia semakin membutuhkan makna dan arah dalam hidup serta

memerlukan iman terhadap suatu Realitas Transenden yang melampaui

kebutuhan-kebutuhan material manusia. Beliau mengulas secara gamblang

mengenai arti penting agama serta iman dalam konteks perkembangan

(29)

5. Ȃsha’i bâulum-e Islâmi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

dengan judul Pengantar ke Ilmu-ilmu Islam yang terdiri dari tujuh bagian,

masing-masing tentang: Logika, Filsafat, Kalâm, ‘irfân, Fiqh, Ushul Fiqh,

dan Etika. Di sini pula, Muththahharȋ menjelaskan pentingnya epistemologi

dan metodologi dalam pemikiran maupun perjuangan Islam. Keduanya

merupakan kunci untuk menguasai ilmu-ilmu Islam.

6. Man and Universe (1417 H/1997 M), karya ini diterbitkan oleh penerbit

Ansariyah Publication, Qum. Juga telah diterbikan ke dalam bahasa Indonesia

dengan judul Manusia dan Alam Semesta : Konsepsi Islam tentang Jagat

Raya oleh PT Lentera Basritama pada tahun 1422 H/2002 M. Buku ini

membahas poin-poin penting berkenaan dengan manusia dan alam semesta.

Di dalamnya, Muththahharȋ mengupas konsep manusia dan binatang, ilmu

pengetahuan dan agama, majhab pemikiran, sumber-sumber pemikiran dalam

Islam, konsepsi alam semesta, tauhid dan syrik, kearifan dan keadilam ilahi,

wahyu dan kenabian serta masalah imamah (kepemimpinan) dan akhirat.

7. Falsafatul Akhlâk, buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan

Judul Filsafat Moral oleh penerbit al-Huda pada tahun 2009. Buku ini

merupakan panduan reformasi moral sekaligus tawaran solusi bagi krisis

moral. Dalam buku ini, Muththahharȋ mempertanyakan kembali pengertian

perbuatan-perbuatan moral manusia yang dianggap sudah tinggal pakai (taken

for granted), sembari mengkritisi dan mendekonstruksi berbagai pandangan

moral baik dalam tradisi Barat maupun Timur, kemudian merekonstruksi

(30)

20

8. Al-‘Adl Ilâhi (1401 H/1981 M), buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dengan judul Keadilan Ilahi oleh penerbit Mizan pada tahun 1413

H/1992 M. Dalam buku tersebut, Muththahharȋ melakukan eksplorasi atas

tema penting dalam khazanah keilmuan-keislaman tersebut, sekaligus

mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan pernyataannya itu.

Dalam mengkaji keadilan ini, beliau menggunakan pendekatan naqli

(pendekatan berdasarkan nash-nash dan hadis) sekaligus aqliah (pendekatan

filosofis berdasarkan rasio).

Muththahharȋ menjelaskan secara panjang lebar perdebatan menarik

berkaitan dengan soal ini –suatu perdebatan panjang yang akhirnya

menghasilkan dua majhab teologis terkenal dalam pemikiran Islam, yaitu

asy′ariah dan mu’tazilah. Kemudian, dia juga menjelaskan munculnya soal

prinsip keadilan dalam dunia fiqh yang dicerminkan dengan pertentangan

antara ahli qiyas dan ahli hadȋs.

9. Pendekatan filsafat Sejarah, Menguak Masa Depan Umat Manusia (1411

H/1991). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Murtadhȃ Muththahharȋ yang

diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Hidayah dalam bahasa Indonesia. Di dalam

buku tersebut, Muththahharȋ menguraikan mengenai konsep sejarah dalam

Islam. Muththahharȋ percaya bahwa gerak sejarah bersifat progresif, karena

menurutnya sifat esensial manusia adalah baik. Kalaupun pada saat-saat

tertentu keburukan (fujur/qubh) mendominasi sifat kebaikan (husn)manusia,

hal itu hanyalah sebuah pengalaman kemunduran atau kemerosotan relatif

(31)

Jadi, konsep Islam merupakan gabungan antara determinisme yang

mengambil bentuk sunnah Allah dan sifat progresif sejarah dan kebebasan

manusia serta peran manusia dalam berayun di antara kejayaan (rise) dan

kemerosotan (decline) –antara, menggunakan terminologi al-Quran, ahsan

taqwȋm dan asfal sâfilȋn. Mengenai sifat progresif gerak sejarah ini,

betapapun menyiratkan determinisme, tak ada sesuatu yang salah di

dalamnya, karena ia hanya memberikan optimisme bagi hidup manusia di

muka bumi.

(32)

22

BAB III

STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH

A. Munculnya Filsafat Sejarah

Manusia sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa

sejarah yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari

suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya –dari segi faktor-faktor yang

membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Oleh karenanya

banyak peneliti yang mengatakan bahwa manusia adalah “hewan sejarah.”1

Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia,

merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang

peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual

tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa itu secara filosofis.

Kenyataan tersebut dapat dilihat ketika manusia berada dalam era

mitologis sebagaimana pernyataan Effat Syarqawi di dalam buku filsafat

kebudayaan. Menurutnya, pada masa mitologis itu manusia memuja dewa-dewa,

kekuatan-kekuatan gaib, dan alam dalam upayanya menafsirkan secara teleologis

hubungan berbagai peristiwa. Selanjutnya, dengan perkembangan kemampuan

manusia untuk menguasai alam lewat penemuan-penemuan ilmiah, bergeraklah

penafsiran sejarah dari suatu kronik peristiwa-peristiwa ke metode sejarah

pragmatis.2

1

Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 112-113

2

(33)

Sementara ahli yang pertama kali menggunakan istilah filsafat sejarah

adalah Voltaire.3

Mula-mula Voltaire menggunakannya dalam kata pengantar

karyanya yang berjudul Essay sur les moere et l’espirit des nations. Kata

pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat

sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam

rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya istilah filsafat sejarah

digunakan Voltaire pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah mulai dikenal di

kalangan pemikir dan intelektual.4

B. Pengetian Sejarah dan Filsafat Sejarah

Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” berarti pohon. Kata ini

memberikan gambaran mengenai pengertian ilmu sejarah secara analogis karena

memberikan persepsi tentang pertumbuhan peradaban manusia yang mirip dengan

“pohon” tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon rindang dan

berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau

pesan-pesan sejarah di dalamnya diperlukan kemampuan untuk menarik pesan-pesan-pesan-pesan

yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya.5 Sedangkan menurut

Kuntowijoyo, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Tetapi jangan dibayangkan

sebagai membangun masa lalu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu

antikuarianisme dan bukan sejarah. Dengan bahasa sederhana, ia mengibaratkan

3

Francois Marie Arout Voltaire lahir di Paris pada 21 November 1694 dan meninggal 30 Mei 1778. Ia seorang filosof dan pujangga (literary)tersohor dan sangat berpengaruh dalam masa pencerahan (enlightenment) di Perancis pada abad ke-18 M. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 57

4

Robin George Collingwood, The Idea of History, (London, New York: Oxford University Press, 1976), h. 1-2

5

(34)

24

dengan bermain-main batang korek yang terserak-serak tidak jelas, kemudian

menyusunnya jadi petak-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan, dan

sebagainya. Ada definisi sejarah yang tautologis yang mengatakan bahwa sejarah

ialah apa yang dikerjakan sejarawan. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan

mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikat sejarawan adalah

hanyalah “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Jadi yang direkonstruksi

sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan

dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asalkan memenuhi syarat

untuk disebut sejarah.6

Pendapat lain dikatakan oleh Louis Gottschalk, kata Inggris history

(sejarah) berasal dari kata benda Yunani istoria, yang berarti ilmu. Dalam

penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan

sistematis mengenai perangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan

suatu faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu, meskipun jarang,

masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris pada sebutan natural history. Akan

tetapi dalam perkembangan zaman, kata Latin yang sama artinya yakni scientia

lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penelaahan sistematis

non-kronologis mengenai gejala alam; sedangkan kata istoria biasanya diperuntukkan

bagi penelaahan mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia dalam urutan

kronologis.

Menurut definisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa

lampau umat manusia”. Bandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yakni

6

(35)

Geischicte, yang berasal dari kata geschelen yang berarti terjadi. Geischicte

adalah sesuatu yang telah terjadi. Arti ini acapkali dijumpai dalam ucapan-ucapan

yang terlalu sering dipakai seperti “semua sejarah mengakarkan sesuatu” atau

“pelajaran-pelajaran sejarah”.7

Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian filsafat

sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang

berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai

semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan

berabad-abad sebelumnya. Kedua, sejarah bertujuan untuk menguji serta menghargai

metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.

Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang

mengandung dua segi berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama

berkenaan dengan kajian metodelogi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis.

Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian kritis atas metode sejarawan.

Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat,

yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan

cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa

yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat

pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian, dan hubungan antara pikiran-pikiran

manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang

dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.

7

(36)

26

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap

ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini, perhatian lebih

diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau

sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis

filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang

paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.8

C. Filsafat Sejarah Dalam Islam

Di dalam Islam, terdapat beberapa pemikir yang menguasai bidang

filsafat sejarah yang tidak asing lagi baik di Timur maupun di Barat. Misalnya,

Ibn Khaldûn yang dianggap sebagai representasi periode Klasik. Selanjutnya yaitu

beberapa tokoh pemikir Muslim Modern, seperti Malik Bin Nabi, Murtadhâ

Muththahharȋ, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Untuk

melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam

Islam, sebagai alternatif untuk kelengkapan tinjauan ini, penulis akan mengulas

sejumlah pemikiran tokoh di bidang filsafat sejarah, yaitu Ibn Khaldun sebagai

representasi dari masa klasik dan Ali Syariati sebagai representasi masa modern.

8

(37)

1. Konsep Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn9

Menurut Khaldûn, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan

berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya.

Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap

sejumlah fenomena sosial. Menurutnya, ashhâbiyah merupakan asas berdirinya

suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan

terjadinya perkembangan masyarakat.10

Ibnu Khaldûn terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle

Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan

di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Dalam teori tersebut, Khaldûn

berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan

peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa berkembang), masa

puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur.

Khaldûn mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar

9

Abû Zaid ‘Abd Al-Rahmân ibn Khaldûn Al-Hadramȋ lahir di Tunis pada 732 H/1332 M dan meninggal di Kairo pada 808 H/1406 M, setelah lima tahun sebelumnya bertemu dengan Tȋmûr Lenk di luar tembok Kota Damaskus. Selama hidupnya, ia kerap disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan diplomatik da politik, Ibn Khaldûn banyak menggunakan waktunya untuk belajar, mengajar, dan menulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa ia tak henti-hentinya berusaha memuaskan dua kebutuhan dasarnya: pertama tindakan politik dan kedua pengetahuan ilmiah. Sementara ia gagal dalam mencapai tujuan pertama demi kepuasan, ia berhasil meraih yang kedua –meskipun relatif terlambat dalam hidupnya. Salah satu karya besarnya adalah

Muqaddimah, dalam karya tersebut, Ibn Khaldûn merumuskan sebuah filsafat sejarah yang tak pelak lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah disusun oleh seorang tokoh dalam sejarah. Objek khususnya sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial. Sejarahnya juga mempunyai masalah-masalah khas sendiri –yaitu menjelaskan kondisi-kondisi berkaitan yang berkaitan satu sama lain dengan esensi peradaban. Perhatian khusus diberikan pada interaksi antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia yang berpusat pada kekuasaan negara. Dalam Muqaddimah, ia juga menyelidiki fenomena manusia dan institusi sosial yang bertumpu pada kerajinan, sains, dan penyebarannya. Daya dorong di balik proses historis itu, menurutnya, berada dalam ashhâbiyah. “Semangat kelompok” ini menimbulkan tindakan politik yang mengarah pada perebutan terhadap alat-alat negara. Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldûn,” dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama). Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 446

10

(38)

28

ilustrasi, Khaldûn menegaskan bahwa kesatuan suku Badui dapat mengantarkan

pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah akan

menghasilkan kejayaan dan berakhir pada kehancuran.

Di samping itu, Ibnu Khaldûn berafiliasi dengan beberapa aliran filsafat

sejarah. Pertama, ia berafiliasi dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat

bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat

diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Tokoh-tokoh aliran ini pada zaman modern

di antaranya ialah Jean Bodin dan Vico. Kedua, ia dapat dipandang berafiliasi

dengan aliran ekonomi, yang menginterpretasikan sejarah secara materialistis dan

menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan

perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomena pada faktor-faktor

ekonomis. Tokoh yang terkenal dengan aliran ini ialah Karl Marx. Meski dari

aspek ini ia dapat dipandang sebagai seorang penyeru aliran tersebut, namun ia

tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari

aspek ekonomis saja. Ia juga meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih

menekankan faktor-faktor lain. Ketiga, ia juga dipandang berafiliasi pada aliran

geografis yang memandang manusia sebagai putra alam lingkungan dan

kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan

alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaannya.

(39)

selain dipengaruhi lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi

antara keduanya terjadi interaksi yang saling mempengaruhi.11

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan

perkembangannya

Perkembangan menurut Ibn Khaldûn tidaklah berupa lingkaran dan

garis yang lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh, adalah

perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak

kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai

mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak

bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara lama,

melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda

dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak nampak

sehingga sulit diamati. Namun dengan berulangkalinya daur ini

berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas bilamana mereka

memerintah suatu negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka

akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan

banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi

generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi negara ini

dengan tradisi generasi sebelumnya. Kemudian apabila muncul lagi negara

lain setelah mereka, tradisinya pun bercampur dengan tradisi mereka dan

sebagian tradisi bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi

negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi pertama.

11

(40)

30

Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan

akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total.12

Menurut Khaldûn, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi

dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu.

Ketiganya yaitu:

1)Faktor Ekonomi

Dalam pandangan Ibnu Khaldûn sebagaimana yang dikutip oleh

Zainab al-Khudairi dalam buku Filsafat Sejarah Ibnu Khaldûn, banyak

orang-orang kota yang tenggelam dalam kemewahan, mencari

kesenangan dan keduniaan, bebas melabuhkan hawa nafsunya, sehingga

jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari jalan kebaikan.

Adapun orang-orang desa, sekalipun juga menyukai kehidupan duniawi,

terpaksa membatasi dirinya pada hal-hal yang sangat perlu saja. Mereka

tidak berusaha memperturutkan keinginannya untuk bermewah-mewah

dan bersuka ria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, karena

itu mereka tidak begitu menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka

dibanding dengan orang-orang kota.13

Sementara dalam membicarakan sifat-sifat keberanian orang-orang

desa yang tidak kita temukan lagi pada orang-orang kota. Menurut Ibn

Khaldûn, karena orang kota sudah terbiasa hidup senang, aman, dan

tenteram, menyerahkan tugas mempertahankan jiwa dan harta kekayaan

12 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 81

13

(41)

mereka kepada penguasa dan tentara. Dikelilingi tembok yang

tebal-tebal, dilindungi berbagai macam pertahanan, maka mereka hidup aman

dan lupa mempergunakan senjata.

Orang-orang desa memiliki keistimewaan yakni kesederhanaan dan

keberanian. Oleh karena itu mereka tahu bagaimana mempertahankan

diri dari setiap serangan, masyarakat mereka benar-benar mandiri dan

tidak menerima tekanan apapun. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi

kebutuhan sendiri, cenderung pada kebajikan, cinta pada keutamaan, dan

benci pada kejahatan dan perbuatan yang hina.14

Sedangkan masyarakat kota, yang asalnya juga dari desa dan

kemudian menjadi penduduk kota akibat perkembangan bentuk dan pola

kehidupan mereka, watak kehidupan kota telah memaksa mereka

mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru, di mana

pada masyarakat desa hal ini bisa diabaikan. Kemewahan pun

menyelundup dalam kehidupan dan adat istiadat mereka dari segala arah,

dan karena tenggelam dalam kenikmatan hidup dan kemalasan, nilai-nilai

pun mulai pudar. Semuanya ini membuat melemahnya kegiatan ekonomi,

sebab mayoritas penduduk dalam keadaan menganggur. Sesuai dengan

karakter mereka, kini mereka kehilangan keberaniaan dan keperkasaan.

Oleh karena itu mereka pun membutuhkan perlindungan, suatu hal yang

mendorong perlu adanya negara.15

14

Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86

15

(42)

32

Dari keterangan di atas, tampak bahwa Ibn Khaldûn

mengkonsepsikan, faktor ekonomi sebagai salah satu yang terpenting

dalam mengendalikan kehidupan sosial, organisasi politik, moral

masyarakat, dan pikiran mereka. Faktor ekonomi dipandang sebagai

faktor terpenting dan utama, tetapi bukanlah faktor satu-satunya.

Menurutnya, masih ada faktor lain, yaitu faktor lingkungan, geografis,

dan iklim serta faktor agama.

2)Faktor Geografis, Lingkungan, dan Iklim.

Menurut Ibn Khaldûn, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap

masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat

dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi

yang dihasilkannya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini

berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas

apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sfiat

fisik dan psikis manusia, dan malah juga mempengaruhi kehidupan

kulturalnya.16

Ibnu Khaldûn membagi bumi menjadi tujuh bagian. Sebagian,

yakni bagian ketiga, keempat, dan kelima, berhawa sedang. Sebagian

yang lain, yakni bagian pertama dan ketujuh, sangat panas. Menurut Ibn

Khaldûn, kawasan-kawasan yang beriklim sedang adalah tempat-tempat

maraknya kebudayaan. Sedang kawasan-kawasan yang sangat dingin dan

panas tidak mungkin menyajikan suatu kebudayaan dengan peringkat

16

(43)

yang sama dengan kebudayaan kawasan-kawasan beriklim sedang.

Pendapat Ibn Khaldûn inilah sebabnya kita dapati ilmu pengetahuan,

industri, bangunan-bangunan, pakaian, makanan, dan buah-buahan,

bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang

ini, memiliki ciri-ciri sedang dan sederhana. Manusia-manusia yang

mendiami kawasan-kawasan tersebut sedang pula postur tubuhnya,

warna kulitnya, sopan santunnya, dan juga agamanya.17 Sebagian besar

nabi-nabi diturunkan di kawasan-kawasan utara dan selatan. Karena pada

nabi dan utusan Allah hanya diutus kepada ummat manusia yang paling

sempurna, baik tubuh maupun pikirannya, yaitu umat yang lebih bisa

menerima ajaran-ajaran yang dibawa.

Adapun penduduk kawasan-kawasan yang jauh di ujung, seperti

penduduk kawasan kesatu, kedua, keenam, dan ketujuh, adalah jauh

dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau

seperti bambu. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan

liar. Pakaian mereka dari daun-daunan atau kulit. Sebagian mereka

malahan pergi ke sana ke mari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil

utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka

mempergunakan tembaga, besi, atau kulit sebagai ganti emas atau perak,

untuk alat jual-beli. Watak mereka sangat dekat dengan watak binatang

buas. Pada umumnya mereka sama sekali tidak mengetahui kenabian dan

tidak mengikuti sedikitpun hukum-hukum agama, kecuali sebagian kecil

17

(44)

34

dari mereka yag hidup berbatasan dengan kawasan-kawasan yang

beriklim sedang.18

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Ibn Khaldûn

mengasumsikan bahwa iklim, lingkungan, dam geografis, ikut membawa

dampak terhadap tubuh, moral, akal pikiran, kegiatan, dan kebudayaan

manusia. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat ini, dapat dipastikan,

bahwa iklim, lingkungan, dan geografis merupakan salah satu faktor lain

yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan laju sejarah manusia.

3)Faktor Agama

Menurut Ibn Khaldûn hubungan antara Allah dan alam manusia

tampak pada setiap ruang dan waktu. Menurutnya, Allah menjadikan

segala sesuatu yang ada dalam alam untuk manusia dan sebagai anugerah

kepadanya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Dia

menjadikan segala yang ada di antara langit dan bumi bagi manusia dan

menundukkan laut dan segala hewan baginya pula. Kekuasaan manusia

terentang di atas seluruh alam dengan segala isinya sehingga Allah

menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.19

Khaldûn juga mengatakan kehidupan sosial mungkin berlangsung

tanpa agama, dan politik dapat tegak tanpa aturan agama. Namun

agama-agamalah yang mendorong perkembangan ke depan dan menjadikan

kehidupan sosial lebih utama. Sebab semangat agama dapat meredakan

18

Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13. Lihat. Ibn Khaldun,

Muqaddimah. Penerjemah Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 83-106

19

(45)

pertentangan dan iri hari yang dirasakan oleh salah satu anggota dari

golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka ke arah

kebenaran. Jika sekali perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran

maka tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka. Sebab

pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa

dan satu, sehingga membuat mereka bersedia berjuang sampai mati.

Inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukan Islam yang

mula-mula. Sebab tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah

berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal tentara Persia di Qadisiah

berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraclitus terdiri dari

400.000 orang. Meskipun demikian kedua lawan itu tidak sanggup

berhadapan dengan tentara Arab dan kedua-duanya dikalahkan.20

Penuturan di atas membuktikan bahwasanya agama sangat

memberikan peran dalam jalannya perkembangan sejarah.

b. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah

Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena

suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi

dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam

kausa-kausanya. Menurut Ibn Khaldûn, ada tiga hukum determinisme

sejarah yaitu, pertama, hukum kausalitas, Ibn Khaldun menerapkan dan

menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah –

filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara

20

(46)

36

kenyataan dan fenomena-fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di

alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya.

Apa saja yang ada di dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda

maupun perbuatan (dari manusia atau binatang) menunjukkan terdapatnya

sebab-sebab yang membawa semua itu kepada perwujudannya. Dan

sebaliknya masing-masing dari sebab-sebab ini adalah suatu kejadian yang

menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan

sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada sebab (yang

sebenarnya) dari segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua

ini –segala puji bagi-Nya yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Peningkatan

sebab-sebab itu akan semakin meluas sehingga akal tidak mampu

memahaminya. 21

Ada beberapa pengecualian dalam hukum kausalitas yang diyakini Ibn

Khaldûn. Pengecualian-pengecualian itu berbentuk dampak hal luar biasa

yang berbentuk mukjizat-mukjizat para nabi dan karamah-karamah para

wali: “Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT memilih di antara manusia

sejumlah pribadi yang diberi kelebihan dengan diturunkannya firman-Nya

kepada mereka dan diciptakan dengan pengetahuan-Nya.” Mereka dijadikan

sebagai perantara antara Ia dengan hamba-hamba-Nya. Di antara yang

dikaruniakan kepada mereka ialah pengetahuan-pengetahuan seperti hal-hal

biasa lewat ucapan-ucapan mereka dan berita-berita tentang hal-hal ghaib

21

(47)

yang tidak diketahui manusia dan tidak dapat mereka ketahui kecuali dari

Allah.22

Kedua, Hukum peniruan. Peniruan menurut Ibn Khaldûn, merupakan

suatu hukum yang umum. Peniruan ini mendorong gerak perkembangan ke

depan, sebab kadang-kadang peniruan merupakan peniruan terhadap hal

yang lebih baik. Si peniru sendiri selalu melengkapi apa yang ditirunya

dengan apa yang ia miliki, sehingga dengan ini terciptalah sesuatu yang

baru.23

Ketiga, Hukum perbedaan, perbedaan antara satu masyarakat dengan

masyarakat lainnya timbul dari upaya penyerupaan dan peniruan. Keadaan

yang demikian ini juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul

belakangan, akan berupaya meniru negara sebelumnya. Hal ini tidak akan

terjadi kecuali jika terdapat suatu landasan yang membedakan antara

keduanya, sementara upaya-upaya penyerupaan yang terus menerus pada

akhirnya akan membuat terjadinya perbedaan secara total. Ini karena si

peniru hanya mengambil apa yang ia kagumi dan kemudian melengkapinya,

sehingga timbul jalinan baru yang agak berbeda dari apa yang ia tiru.

Kemudian muncul peniru lainnya yang pada gilirannya perbedaan antara

yang pertama dan yang ketiga pun semakin besar. Dari sini tampak jelas

bahwa antara hukum peniruan dan hukum perbedaan terjalin suatu

hubungan dialektis. Sebab, perbedaan akan mendorong pada upaya untuk

22

Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Seja

Referensi

Dokumen terkait

Menentukan Tujuan Dalam menghadapi anak (peserta didik) masa kini seorang pendidik dituntut untuk memiliki kecerdasan emosi dan sosial, suatu kemampuan untuk

Memang harus diakui bahwa dalam film Chicha yang kali ini belum sebanding jika dilihat dari nama Chicha yang sebenarnya.. Mestinya Chicha bukan sekedar main seperti dalam film

Lafazh tsalasah dalam ayat tersebut adalah lafazh khas yang tidak mungkin untuk diartikan dengan makna selain tiga hari. Oleh

Judul tesis : HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENELITI PETERNAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANl AN DENGAN FREKUENSI DAN INTENSITAS MEMBACA. "JURNAL PENELITIAN

Taka Turbomachinery Indonesia tidak terlepas dari faktor bahaya yang ada di lingkungan kerja di Central Gas Turbine Area Duri seperti adanya bahaya fisik yaitu

Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas benih tiram mutiara (Pinctada maxima) hasil pemijahan induk alam dengan karakter nacre putih dari tiga habitat yang berbeda

Ada dua macam variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel bebas (dalam hal ini adalah shopping orientation, online trust, prior online purchase