Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam
(S.Fil.I)
Oleh
M u s l i m
NIM: 104033101064
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PEMIKIRAN MURTADH
Ȃ
MUTHTHAHHAR
Ȋ
TENTANG
FILSAFAT SEJARAH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
M U S L I M NIM: 104033101064
Di bawah Bimbingan
Dr. Syamsuri, MA.
NIP. 19590405 198903 1003
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
tanggal 05 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 20 Juni 2011
SIDANG MUNAQASYAH
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmadji, M.Fils Dra. Tien Rohmatin, MA NIP.19610827 199303 1 002 NIP. 19680803 199403 2 002
Penguji I Penguji II
Drs. Nanang Tahqiq, MA Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 19660201 199103 1001 NIP. 19680803 199403 2 002
Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Maha suci Tuhanku yang telah menciptakan akal kepada manusia. Sembah
dan sujud hamba hanya kepada-Nya. Sungguh luar biasa ciptaan-Nya, akal dapat
menentukan yang baik dan yang benar. Tanpanya, manusia jelas akan kehilangan
makna yang terdalam. “Law kunnâ nasma’u aw na’qilu mâ kunnâ fȋ ashâbi
al-sya’ȋr”, “sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Shalawat dan salam hamba selalu haturkan pada junjungan Nabi
Muhammad, sebagai nabi yang telah membawa perubahan dan transformasi
radikal dalam sejarah jaman umat manusia. Ajarannya tak akan pernah padam
dalam setiap perdebatan ilmiah di ruang-ruang akademis, dan rakyat jelata
sekalipun. Ajarannya telah mengerutkan akal manusia untuk terus berpikir dan
berobsesi menuju perubahan-perubahan yang revolusioner, sehingga tetap dinamis
mengkreasi karya-karya kontemporer.
Penulis juga merasa bersyukur, karena telah merampungkan tugas akhir
kuliah yakni penulisan skripsi. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa
tanpa kontribusi pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit
dibayangkan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:
1. Dr. Syamsuri, sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam menyusun skrispi ini.
2. Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Dra.
beserta seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis selama menjalankan
studi di fakultas ini.
3. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin
4. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Selanjutnya, salam ta′zhȋm penulis kepada ayahanda H. Masturoh dan
Ibunda Hj. Aminah, yang selalu mendorong dan mendoakan penulis untuk
terus melanjutkan pendidikan. Buaian dan kasing sayang yang diberikan
mereka sungguh tak akan pernah terbalas oleh penulis
6. Kepada kakak-kakak tercinta H. Saiful Bahri SH beserta istri tercinta Hj.
Siti Chadijah, Maemunah beserta suami terkasih (Bang Habibi) terima
kasih atas segala bimbingan dan kontribusi moril maupun materil. Juga
adik-adikku Rahmah Wati dan Ahmad Sifa, salam super.
7. Delove Dhea Markhamatul Aeni S.Farm, yang telah mendedikasikan
dirinya untuk penulis dengan cinta dan kasih sayangnya yang selalu setia
baik suka maupun duka dan selalu memotivasi penulis untuk selalu
berkarya dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan karena hidup
adalah “samadengan” (=).
8. Kepada rekan-rekan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB
HMI) periode 2010-2012, semoga kepengurusan ini mampu mewarnai
v
diteladankan oleh para pendiri dan senior serta mampu menjadi
pengimbang yang kreatif, cerdas, dan solutif.
9. Rekan-rekan Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2008-2009, terima
kasih atas kebersamaannya.
10.Rekan-rekan seperjuangan di BEM F Ushuluddin 2006-2007 Fajar dan
Iweng, terima kasih atas kesolidan dalam kepengurusan sehingga mampu
menciptakan kreasi yang gemilang. Salam sukses selalu.
11.Kawan-kawan kepengurusan BEM J 2005-2006, terima kasih atas
kekompakan, semoga tetap menjadi creatif minority.
12.Komunitas Freedom Circle (KFC) dan Akademi Merdeka se Indonesia
terima kasih atas suguhan intelektualnya yang selalu mendakwahkan
kebebasan berpikir untuk keluar dari terali penjara intelektual.
13.Ali Kemal, Hasan al Banna, M. Hajid, Yosep, Ridwan, Mia Romadinia,
dan kawan-kawan angkatan 2004 Aqidah Filsafat lainnya, terima kasih
atas kongkow-kongkow kreatifnya.
14.Shul Amir, Shul Iqbal, Lhemot, Hazami, Rosi, Mu’ammar Midan, Aris,
Abenk, dan kawan-kawan lainnya, terima kasih atas futsalnya.
15.Funny, Ibel, Upi, Lisa, dan rekan-rekan pengurus Komisariat Kedokteran
lainnya, terima kasih atas karaokeannya.
16.Serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak disebutkan
satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada kalian
Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi bangsa
Indonesia pada umumnya. Sebagai penutup hanya doa jualah yang dapat penulis
mohonkan kepada Allah swt, semoga selalu membimbing langkah kita menuju
masa depan yang lebih baik.
Ciputat, 04 Januari 2011
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
ا
a
ب
b
ت
t
ث
ts
ج
j
ح
h
خ
kh
د
d
ذ
dz
ر
r
س
s
ش
sy
ص
sh
ض
dh
ط
th
ظ
zh
ع
‘
غ
gh
ف
f
ق
q
â = a panjang
ȋ
= i panjang
û = u panjang
ك
k
ل
l
م
m
ن
n
و
w
ه
h
ء
’
viii DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
KATA PENGANTAR ………... iii
TRANSLITERASI ……… vii
DAFTAR ISI ………. viii
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……….. 6
C. Tujuan Penelitian ……… 6
D. Manfaat Penelitian ……….. 7
E. Metode Penelitian ……… 7
F. Tinjauan Pustaka ……….. 8
G. Sistematika Penulisan ………. 11
BAB II BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ ……… 12
A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya ……… 12
B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ ………. 16
BAB III STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH … 22
A.Munculnya Filsafat Sejarah ……… 22
B.Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah …...……….. 23
C.Filsafat Sejarah dalam Islam ………. 26
ix
BAB IV PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG
FILSAFAT SEJARAH ……….. 58
A.Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah ………... 58
B.Sifat dan Gerak Sejarah ……… 64
C.Evolusi dan Perubahan Sejarah ……….. 77
D.Kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap Konsep Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis Karl Marx ………. 85
BAB V PENUTUP ………. 92
A. Kesimpulan ………... 92
B. Saran-saran ……….. 95
1
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat sejarah merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari
rangkaian keilmuan filsafat secara umum. Filsafat sejarah memiliki sudut pandang
yang sangat berbeda dengan kajian sejarah atau kajian lainnya dalam hal
bagaimana merespon dan mengamati peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi
dalam kehidupan di muka bumi. Dalam tinjauan filsafat sejarah, sejarah bukan
hanya menuliskan kejadian atau peristiwa secara kronoligis yang terjadi pada
masa lampau, akan tetapi filsafat sejarah meninjau lebih dalam tentang pola dan
karakter dari peristiwa-peristiwa yang mengemuka.
Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan
manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak
henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan yang terjadi di
sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang
bisa menguraikan geraknya dari segi faktor-faktor yang membangkitkan dan dari
akibat-akibat yang dihasilkannya.1 Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari
yang dimiliki manusia merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah.
Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada
bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan
pengkajian itu secara filosofis.
1
2
Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah baik itu tokoh
filsafat dari Islam maupun Barat. Filsafat Sejarah di Barat mengalami
perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya
pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, ST. Agustinus (1354-1430),
terkenal dengan paham sejarah teologis, August Comte (1798-1854), dengan
filsafat positivisme hukum, Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori evolusi –
di samping yang dikembangkan oleh Darwin Oswald Spengler (1880-1936),
terkenal dengan teori daur kultur sejarahnya yaitu masa timbul, tumbuh, menua,
dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan filsafat sejarah
spekulatif, filsafat sejarah formal dan material, Karl Marx (1818-1883) dengan
materialisme historisnya, dan Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya
tentang tantangan dan jawaban (challenge and response) atau yang terkenal
dengan hukum kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut Hukum Sejarah.2
Berbeda dengan perkembangan filsafat sejarah Barat, filsafat sejarah
Islam, kelihatan memiliki pasang surut dan uncontinuity, baik dalam pemunculan
teori maupun dalam hal kemunculan para pemikir dan tokoh-tokohnya. Ibn
Khaldûn misalnya, diakui baik oleh pemikir Islam sendiri (Timur) maupun oleh
non Islam di Barat, merupakan “Bapak Filsafat Sejarah Islam” yang sangat
berjasa. Ia dengan teorinya, The Culture Cycle Theory of History yang sangat
terkenal itu, kelihatan tidak diikuti oleh pemikir dan generasi Muslim sesudahnya.
2
Dengan demikian, rentang tali perjalanan dan diskursus filsafat sejarah dalam
Islam seolah terputus tanpa ada kontinuitas.3
Baru pada paro pertama abad ke 20, mulai muncul pemikir-pemikir Islam
dengan karya-karya monumentalnya. Di antaranya Malik bin Nabi dari Maroko,
Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Shiddiqi dari Pakistan, serta
Murtadhȃ Muththahharȋ dari Iran yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi
ini. Berbeda dengan di dunia Islam, di Barat, teori filsafat sejarah terus diasah dan
diuji. Kehadiran teori “Dialektika Materialisme Historis” yang dipelopori oleh
Karl Marx misalnya, merupakan penyahutan terhadap teori “Dialektika”-nya
Hegel.4
Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. Sekitar dua per tiga
dari keseluruhan ayat al-Qur’ân yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki
nilai-nilai atau norma sejarah. Al-Qur’ân berbicara tentang perubahan dalam
sejarah, di mana perubahan itu menurut penegasan Allah sangat ditentukan oleh
kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban kaum
kafir terhadap Nabi Muhammad, yang diabadikan oleh Allah swt. Dalam
firman-Nya; “Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan
pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka
rencanakan” (QS. an-Nahl: 127).5
3
Ibid, h.14.
4
Ibid, h. 14-15.
5
4
Di samping itu, al-Qur’ân juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya
disintegrasi sosial-bangsa yang disebabkan oleh tingkah polah dan ulah manusia
sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki.
Dalam ranah ini, Allah swt. telah berfirman dalam QS. al-An’âm: 131: “Yang
demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara
aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.” Maksud ayat ini antara
lain, Allah tidak akan mengadzab penduduk satu desa atau kota meskipun mereka
berbuat kekafiran, sebelum diutus rasul yang akan memberi peringatan kepada
mereka. Akan tetapi kalau telah diutus seorang rasul kepada mereka, dengan kitab
suci yang ditinggalkan sebagai pedoman hidupnya, dan mereka tetap berbuat
kezaliman dan kekufuran, maka Allah swt. akan mengazab mereka di dunia dan di
akhirat kelak.6
Begitu juga dalam QS. Hûd: 117, Allah swt. menyebutkan, “tidak
sekali-kali membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk negeri itu
adalah orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maksud ayat ini, dengan jelas Allah
swt. menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru
ditimpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu negara berbuat kezaliman.
Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah swt. terhadap tingkah polah dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.7
Pengungkapan selintas tentang ayat-ayat di atas, dapat dikatakan
bahwasanya Islam memandang bahwa kehidupan merupakan proses yang
6
Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 1.
7
menyejarah, di mana kekuasaan berlaku serta bergerak ke depan dan ke belakang,
maju atau mundur, kaya atau miskin, berhasil atau gagal.
Murtadhȃ Muththahharȋ adalah seorang ulama intelektual abad ke-20 yang
dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga
syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar
yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu
non-agama, dan sebagai penulis yang sangat produktif sehingga memiliki
karya-karya nyata di bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang
yang kuat dalam filsafat dan ‘irfân (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan
kedua hal tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer.
Dari sekian banyak karyanya, ia memiliki pemikiran yang komprehensif
mengenai filsafat sejarah, di mana pemikirannya tersebut dilandaskan pada
ayat-ayat al-Qur’ân. Kajiannya tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan
kerangka pemikiran baru tentang filsafat sejarah tetapi juga untuk melawan
pemikiran-pemikiran sejarah yang ada terutama pemikiran Karl Marx tentang
materialisme dialektis dan materialisme historis.
Murtadhȃ Muththahharȋ, mendefinisikan sejarah sebagai satu ilmu dalam
empat pengertian, yang pertama, secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena
serial dari pribadi dan individual, kedua, sebagai sebuah narasi, ketiga, ilmu
tentang being (maujud atau eksistensi), bukan sebaliknya sebagai ilmu becoming,
keempat, ilmu berkenaan tentang masa lalu, bukan masa sekarang.
Pada sisi lain, Muththahharȋ, dalam mendefinisikan sejarah, dengan cara
6
hubugan yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian
dan prioritas pembahasannya yang agak lebih luas hanya dua, yaitu sejarah ilmiah
dan filsafat sejarah.8 Walaupun demikian, ketiga pengertiaannya tetap akan
diungkapkan dalam skripsi ini. Pembahasan lebih luas mengenai gagasan filsafat
sejarah Muththahharȋ, penulis membahasnya pada bab-bab selanjutnya.
Dari latar belakang pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Pemikiran
Murtadhȃ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah”.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis membatasi dan
memfokuskan pada pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah
serta kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl
Marx.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah
a. Bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah
b. Bagaimana kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap materialisme
dialektis dan materialisme historis karl marx
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini yaitu:
8
1. Sebagai upaya memahami pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang
filsafat sejarah.
2. Menelaah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ bagaimana ia mengulas
tentang filsafat sejarah yang di dalamnya ia menjelaskan sifat dan
gerak sejarah serta kritik tajamnya terhadap pemikiran Karl Marx
tentang materialisme dialektis dan materialisme historis
3. Menelaah gagasan dan perkembangan filsafat sejarah dalam Islam
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian skripsi ini, secara teoritis, berguna untuk mengembangkan
diskursus keilmuan di bidang pemikiran filsafat sejarah. Oleh karenanya
penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat menggugah para peneliti untuk
mengkaji dan mengembangkan pemikiran filsafat sejarah.
Di samping itu penelitian skripsi tentang filsafat sejarah ini sangat
mungkin untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi atau pedoman dalam
mengamati sifat dan gerak sejarah kehidupan umat manusia secara global.
E. METODE PENELITAN
Penelitian skripsi ini merupakan studi kepustakaan (library research).
Objek material penelitian ini adalah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ secara
umum dan objek formalnya berhubungan dengan pemikirannya seputar persoalan
8
sejarah disertai juga kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme
historis Karl Marx.
Sumber dan data primernya adalah karya-karya yang langsung ditulis oleh
Murtadhȃ Muththahharȋ baik itu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia maupun yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, mengingat
karya-karya orisinil Murtadhȃ Muththahharȋ sebagian besar ditulis dalam bahasa Iran.
Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas tentang
filsafat sejarah. Sumber-sumber sekunder inilah yang penulis gunakan untuk
menganalisis pandangan Murtadhȃ Muththahharȋ.
Adapun dalam hal pembahasannya, penulis menggunakan metode
deskriptif-analitis. Artinya menggunakan sumber-sumber yang ada lalu
mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemikiran
Murtadhȃ Muthahharȋ tentang filsafat sejarah.
Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini disandarkan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,
2007.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, sudah terdapat beberapa
penelitian yang mengkaji pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ, di antaranya yaitu:
1. Yuli Astuti dengan judul Kebebasan Manusia dalam Perspektif John
Stuart Mill dan Murtadhȃ Muththahharȋ (Sebuah Studi Komparasi).
Dalam skripsi tersebut, ia melakukan studi komparatif terhadap dua
pemikir yang berbeda kultur dan menaruh perhatian pada masalah
kebebasan manusia. Menurutnya, terdapat persamaan dan perbedaan
dalam pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ dan John Stuart Mill mengenai
kebebasan.
2. Izkar Sobah dengan judul Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam
Perspektif Teologi Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi: Jurusan Aqidah
Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2006). Dalam skripsi tersebut ia menulis bahwa Tuhan Maha adil dan
kejahatan tidak membuat-Nya untuk tidak adil. Sesungguhnya Tuhan
menyayangi hamba-hamba-Nya. Adapun adanya kejahatan dan keburukan
adalah bukti kasih sayang-Nya sebagai bentuk ujian bagi manusia untuk
menjadi lebih baik dan hal ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu
memperhatikannya.
3. Muniroh dengan judul Konsep Fitrah Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi
Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2008). Dalam skripsi tersebut ia mengatakan bahwa
yang dimaksudkan Muththahharȋ adalah fitrah yang berkaitan dengan
masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain
bersifat fitrah. Manusia itu sendiri memiliki fitrah di antaranya ialah dalam
hal mencari kebenaran atau kesempurnaan, condong kepada kebaikan,
10
4. Nurdin Kadir dengan judul Konsep Zuhud Murtadhȃ Muththahharȋ.
(Skripsi Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat 2008). Dalam penelitiannya tersebut, ia mengatakan bahwa
terdapat pemikiran tentang zuhud yang dianggapnya bias dari makna
sebenarnya dan Muththahharȋ mencoba untuk meluruskan pemikiran
tersebut. Bagi Muththahharȋ arti zuhud adalah perasaan puas dengan
kehidupan yang sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat
tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas
dengan kehidupan yang sederhana.
Berbagai kajian tentang pemikiran Murtadha Muththahhari
sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting dan kontributif bagi skripsi
ini, setidak-tidaknya sebagai bahan pengayaan dan perbandingan dalam
pembahasannya. Akan tetapi, hemat penulis, dari sejumlah pembahasan
tersebut tidak satu pun yang mengkaji pemikiran Filsafat Sejarah
Murtadhȃ Muththahharȋ secara serius dan mendalam sebagaimana yang
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, terdiri dari:
Bab I Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II Biografi Murtadhȃ Muththahharȋ meliputi: latar belakang
pendidikan, karier, dan kegiatan, dan karya-karya Murtadhȃ Muththahharȋ
Bab III Studi tentang sejarah dan filsafat sejarah yang pembahasannya
meliputi: munculnya filsafat sejarah, perngertian sejarah dan filsafat sejarah,
filsafat sejarah dalam Islam, dan filsafat sejarah di Barat
Bab IV Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah yang
pembahasannya meliputi: pengertian sejarah dan filsafat sejarah, sifat dan gerak
sejarah, dan kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap konsep materialisme dialektis
dan materialisme historis Karl Marx
BAB V Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ
A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya
Al-Syâhid Ayatullah Murtadhȃ Muththahharȋ lahir pada tanggal 2 februari
1920/1338 Hijriyah di Fariman, dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum
Muslim Syiah yang besar di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein
Muthahharȋ, adalah ulama cukup terkemuka.1
Pada usia 12 tahun, Muththahharȋ mulai belajar agama secara formal di
Masyhad, yang kemudian menumbuhkan kecintaannya pada filsafat, teologi, dan
tasawuf (‘irfân). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan
membentuk pandangan menyeluruh tentang agama. Figur di Masyhad yang
mendapat curahan perhatian terbesar Muththahharȋ adalah Mirza Mahdi Syahidi
Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari
belum cukup umur mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada
tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran
di Qum yang kian diminati oleh banyak siswa.2
Di Qum Muththahharȋ belajar di bawah bimbingan dua ayatullah:
Borojerdi dan Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, Muththahharȋ menunjukkan
minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang
utama dalam filsafat adalah Allamah Thabathaba′i. Ia mengenal secara mendalam
segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca 11 jilid tebal
1
Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme. Penerjemah Akmal Kamil (Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001), h. 9
2
Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh
Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert
Eisntein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat.
Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang mempelajari Barat
karena rasa rendah diri –lalu bersuara lantang mengutip pakar-pakar Barat dan
malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam – Muththahharȋ tampil dengan suara
Islam yang fasih. Pada 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan
fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua
Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang
diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah al-ushủl, kuliah ilmu kalam, kuliah al-′irfân
(Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah filsafat.
Otaknya yang cemerlang dan ilmunya yang luas dapat memberikan
kehidupan yang nyaman baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Ia
banyak menulis dan aktif berdakwah. Khutbahnya di Radio Teheran masih
terdengar sampai 1382 H. Tulisan-tulisannya sampai kini masih dibaca orang
tanpa kehilangan aktualitas. Ia temasuk arsitek Revolusi Islam di Iran. Jika Ali
Syari’ati dapat disebut wakil intelektual yang ulama, Muththahharȋ adalah wakil
ulama yang sekaligus intelektual.3
Muththahharȋ berjuang bukan sekadar lewat pena dan lidahnya. Ia juga
memberikan segala yang dimilikinya. Pada 1963, ia ditahan bersama Ayatullah
Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, ia mengambil alih imamah dan
menggerakkan para ulama mujahidin. Bersama ulama lainnya, ia mendirikan
3
14
Husainiya-yi Irsyad sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Ia turut pula
menghimpun dana buat para pengungsi Palestina. Sebagai ulama, ia pun menjadi
imam Masjid Al-Jawad dan mengubah masjid itu menjadi pusat gerakan politik
Islam.
Pada 1972 Husyainiya-yi Irsyad dan Masjid Al-Jawab dilarang secara
politik oleh rezim Syah dan Muththahharȋ kembali lagi masuk penjara. Kemudian
ia bebas lagi. Pengalaman penjara tidak mengubah langkahnya. Ia melanjutkan
kegiatan-kegiatan politiknya. Pada 1978, ketika Muththahharȋ mengecam
pembuangan Ayatullah Muntazerri, rezim Syah melarang semua kuliah dan
khutbahnya.4
Di samping itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya
“Jam’iyah Ulama Militan” (Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz). Sedemikian
banyaknya peran aktif yang dilakukan dalam mendukung gerakan revolusi
membuat dirinya juga sangat dekat dengan Imam Khomeini. Setelah Imam pindah
ke tempat pembuangannya di Paris, Muththahharȋ temasuk di antara kelompok
ulama yang ikut dan berkonsultasi. Pada 12 Januari 1979 Muthahharȋ diangkat
sebagai ketua Dewan Revolusi Islam yang anggotanya antara lain Bazargab,
Yazdi, Qotbzadeh, Behesyti, Bahonar, dan Rafsanjani.
Pada tanggal 1 Mei 1979 aktivitasnya dalam mendukung dan
mengembangkan Revolusi dihentikan secara brutal oleh kelompok Furqan. Dia
dibunuh setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam di rumah Dr. Yadullah
Sahabi. Sebuah peluru bersarang tepat mengenai kepalanya dan tembus di atas
4
Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muththahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama,
kelopak matanya. Meskipun ketika syahid dia adalah ketua Dewan Revolusi
Islam, tetapi dirinya tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran dan tulisan.5
Kehidupan Muththahharȋ diabdikan untuk perjuangan politik dan
perjuangan ideologis.6 Dalam hal perjuangan ideologis ia menulis tentang
masalah-masalah filsafat, sosial, akhlak, fiqh, dan sejarah. Muthahhari adalah
salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam
paradigma yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat sejarah.
Pemikirannya berkenaan dengan filsafat sejarah (philosophy of history) banyak
ditujukan untuk mengkritik filsafat materialisme.
Muththahharȋ sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis,
khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari secara resmi ilmu-ilmu
rasional. Menurut hematnya, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari
terjemahan-terjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi
Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena
politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi utama partai
Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang berasal
dari Mesir. Mulanya ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum
mengenal terminologi filsafat modern. Dengan terus-menerus berupaya keras
termasuk dengan menyusun sinopsis buku Elementary Principles of Philosophy
5
Muththahharȋ, Kritik Islam Terhadap Materialisme, h. 10-11
6
Perjuangan ideologis yang dilakukan Muthahharȋ adalah upaya untuk menyikapi problema yang dihadapi masyarakat pada era beliau hidup, beliau memiliki perjuangan ideologis jangka pendek dan jangka panjang. Perjuangan jangka pendek beliau lakukan untuk melawan kebijakan-kebijakan elit politik Iran yang mencoba untuk melemahkan semangat keislaman masyarakat Iran, serta melawan pemikiran-pemikiran yang dinilai berbahaya bagi moralitas umat Islam. Sedangkan perjuangan ideologis jangka panjang didorong oleh empat faktor yaitu: pertama,
16
karya George Pulitzer –akhirnya ia menguasai filsafat materialisme. Sejumlah
besar penolakan terhadap Marxisme telah dieseikan di dunia Islam, baik di Iran
maupun di lain tempat, namun hampir semuanya tak lebih berkisar pada
ketidaksesuaian Marxisme dengan keyakinan keagamaan serta
ketidakkonsistenannya dengan kegagalan politis parta-partai politik Marxis.7
B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ
Murtadhȃ Muththahharȋ merupakan filosof Muslim Syiah kontemporer
yang menghasilkan banyak karya. Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas
sosial politik dan kerja intelektual semisal mengajar dan berdiskusi, Muththahharȋ
tetap dapat mengkonsentrasikan diri untuk menuangkan gagasan-gagasan dalam
bentuk tulisan yang berjumlah sekitar enam puluhan dan hingga kini dapat
dikonsumsi oleh banyak kalangan.
Di antara karya-karya tersebut adalah :
1. Inna al-dȋn ′indallâh al-Islâm, buku ini diterbitkan oleh penerbit Mansyûrat
al-Rabȋ dan telah diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan
Tantangan Zaman dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1417
H/1996 M. Di dalam buku ini terdapat dua hal yang ingin dicapai, pertama,
bagaimana umat Islam mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni
sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, pola pikir, dan
kepercayaan yang konstruktif dan kemprehensif. Kedua, bagaimana Islam
menyikapi perubahan zaman yang setiap saat mengalami perubahan, tidak
7
tetap, dan semakin bertambah kompleks, sementara pada saat bersamaan
Islam adalah agama yang secara esensial bersifat tetap dan tidak berubah.
Sebagai sebuah agama samawi terakhir dan paripurna, Islam dan segenap
doktrinnya sama sekali tidak tidak mengalami penghapusan dan perubahan –
ia bersifat abadi. Tepat pada titik ini, timbul berbagai pertanyaan ihwal
relevansi Islam dengan berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Mampukah
Islam menghadapi tuntutan dan tantangan zaman? Mungkinkah dua hal yang
saling bertentangan bisa berjalan seiring dan berpadu? Bagaimana mungkin
Islam yang bersifat tetap dan tidak berubah sanggup menuntun dan
membimbing zaman yang selalu berubah dan tidak tetap?
2. The Cause Rersponsible for Materialist Tendencies in the West. Buku ini
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kritik Islam
terhadap Materialisme. Buku tersebut merupakan karya Muthahharȋ yang
sangat diminati dunia kampus dan aktifis. Dalam buku ini, dia mengkritisi
secara tajam konsepsi filsafat ketuhanan yang dibangun dari doktrin kaku
gereja; yang kemudian mengantar manusia memandang semua realitas hanya
terbatas pada wilayah materi semata-mata. Dengan kepiawaiannya dalam
membaca sudut pandang filsafat dan sosiologi Barat serta telaahnya yang
mendalam tentang nash-nash al-Qur’ân, Muththahharȋ membuktikan kepada
kita betapa rancunya doktrin-doktrin yang ada dalam ajaran materialisme.
Bahkan secara yakin Muththahharȋ berkesimpulan bahwa paham materialisme
18
yang hampir punah; dan karenanya tidak dapat dijadikan pandangan dunia di
abad modern.
3. Introduction to Kalâm. Buku ini telah diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan
Judul Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntuan Berfikir,
diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Zahra. Di dalam buku ini Muththahharȋ
membahas doktrin-doktrin dasar ulama kalâm beserta modifikasinya
meskipun merujuk dari pemahaman teologi Muktazilah dan Asyariyah, akan
tetapi teologi yang ditawarkan Muththahharȋ telah menampilkan wajah
menengah yang mencoba mengambil posisi tengah.
4. Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama. Buku ini diterjemahkan dari
beberapa buku berbahasa Arab dan Inggris karya Murtadhȃ Muththahharȋ,
yang diterbitkan oleh Free Islamic literatures, Inc, Houston, Texas. Buku ini
merupakan proyek Muthahharȋ dalam menyikapi krisis manusia kontemporer
yang telah meluas yakni ketika fragmentasi, kehampa-maknaan,
ketiadaan-tujuan, kekosongan, kekacauan yang tidak terhingga, represi negara adidaya,
dan perang destruktif melawan kemanusiaan telah menjadi semakin
merajalela. Oleh karenanya manusia membutuhkan kedamaian spiritual dan
batiniah. Manusia semakin membutuhkan makna dan arah dalam hidup serta
memerlukan iman terhadap suatu Realitas Transenden yang melampaui
kebutuhan-kebutuhan material manusia. Beliau mengulas secara gamblang
mengenai arti penting agama serta iman dalam konteks perkembangan
5. Ȃsha’i bâulum-e Islâmi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Pengantar ke Ilmu-ilmu Islam yang terdiri dari tujuh bagian,
masing-masing tentang: Logika, Filsafat, Kalâm, ‘irfân, Fiqh, Ushul Fiqh,
dan Etika. Di sini pula, Muththahharȋ menjelaskan pentingnya epistemologi
dan metodologi dalam pemikiran maupun perjuangan Islam. Keduanya
merupakan kunci untuk menguasai ilmu-ilmu Islam.
6. Man and Universe (1417 H/1997 M), karya ini diterbitkan oleh penerbit
Ansariyah Publication, Qum. Juga telah diterbikan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Manusia dan Alam Semesta : Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya oleh PT Lentera Basritama pada tahun 1422 H/2002 M. Buku ini
membahas poin-poin penting berkenaan dengan manusia dan alam semesta.
Di dalamnya, Muththahharȋ mengupas konsep manusia dan binatang, ilmu
pengetahuan dan agama, majhab pemikiran, sumber-sumber pemikiran dalam
Islam, konsepsi alam semesta, tauhid dan syrik, kearifan dan keadilam ilahi,
wahyu dan kenabian serta masalah imamah (kepemimpinan) dan akhirat.
7. Falsafatul Akhlâk, buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan
Judul Filsafat Moral oleh penerbit al-Huda pada tahun 2009. Buku ini
merupakan panduan reformasi moral sekaligus tawaran solusi bagi krisis
moral. Dalam buku ini, Muththahharȋ mempertanyakan kembali pengertian
perbuatan-perbuatan moral manusia yang dianggap sudah tinggal pakai (taken
for granted), sembari mengkritisi dan mendekonstruksi berbagai pandangan
moral baik dalam tradisi Barat maupun Timur, kemudian merekonstruksi
20
8. Al-‘Adl Ilâhi (1401 H/1981 M), buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Keadilan Ilahi oleh penerbit Mizan pada tahun 1413
H/1992 M. Dalam buku tersebut, Muththahharȋ melakukan eksplorasi atas
tema penting dalam khazanah keilmuan-keislaman tersebut, sekaligus
mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan pernyataannya itu.
Dalam mengkaji keadilan ini, beliau menggunakan pendekatan naqli
(pendekatan berdasarkan nash-nash dan hadis) sekaligus aqliah (pendekatan
filosofis berdasarkan rasio).
Muththahharȋ menjelaskan secara panjang lebar perdebatan menarik
berkaitan dengan soal ini –suatu perdebatan panjang yang akhirnya
menghasilkan dua majhab teologis terkenal dalam pemikiran Islam, yaitu
asy′ariah dan mu’tazilah. Kemudian, dia juga menjelaskan munculnya soal
prinsip keadilan dalam dunia fiqh yang dicerminkan dengan pertentangan
antara ahli qiyas dan ahli hadȋs.
9. Pendekatan filsafat Sejarah, Menguak Masa Depan Umat Manusia (1411
H/1991). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Murtadhȃ Muththahharȋ yang
diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Hidayah dalam bahasa Indonesia. Di dalam
buku tersebut, Muththahharȋ menguraikan mengenai konsep sejarah dalam
Islam. Muththahharȋ percaya bahwa gerak sejarah bersifat progresif, karena
menurutnya sifat esensial manusia adalah baik. Kalaupun pada saat-saat
tertentu keburukan (fujur/qubh) mendominasi sifat kebaikan (husn)manusia,
hal itu hanyalah sebuah pengalaman kemunduran atau kemerosotan relatif
Jadi, konsep Islam merupakan gabungan antara determinisme yang
mengambil bentuk sunnah Allah dan sifat progresif sejarah dan kebebasan
manusia serta peran manusia dalam berayun di antara kejayaan (rise) dan
kemerosotan (decline) –antara, menggunakan terminologi al-Quran, ahsan
taqwȋm dan asfal sâfilȋn. Mengenai sifat progresif gerak sejarah ini,
betapapun menyiratkan determinisme, tak ada sesuatu yang salah di
dalamnya, karena ia hanya memberikan optimisme bagi hidup manusia di
muka bumi.
22
BAB III
STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH
A. Munculnya Filsafat Sejarah
Manusia sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa
sejarah yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari
suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya –dari segi faktor-faktor yang
membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Oleh karenanya
banyak peneliti yang mengatakan bahwa manusia adalah “hewan sejarah.”1
Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia,
merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang
peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual
tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa itu secara filosofis.
Kenyataan tersebut dapat dilihat ketika manusia berada dalam era
mitologis sebagaimana pernyataan Effat Syarqawi di dalam buku filsafat
kebudayaan. Menurutnya, pada masa mitologis itu manusia memuja dewa-dewa,
kekuatan-kekuatan gaib, dan alam dalam upayanya menafsirkan secara teleologis
hubungan berbagai peristiwa. Selanjutnya, dengan perkembangan kemampuan
manusia untuk menguasai alam lewat penemuan-penemuan ilmiah, bergeraklah
penafsiran sejarah dari suatu kronik peristiwa-peristiwa ke metode sejarah
pragmatis.2
1
Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 112-113
2
Sementara ahli yang pertama kali menggunakan istilah filsafat sejarah
adalah Voltaire.3
Mula-mula Voltaire menggunakannya dalam kata pengantar
karyanya yang berjudul Essay sur les moere et l’espirit des nations. Kata
pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat
sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam
rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya istilah filsafat sejarah
digunakan Voltaire pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah mulai dikenal di
kalangan pemikir dan intelektual.4
B. Pengetian Sejarah dan Filsafat Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” berarti pohon. Kata ini
memberikan gambaran mengenai pengertian ilmu sejarah secara analogis karena
memberikan persepsi tentang pertumbuhan peradaban manusia yang mirip dengan
“pohon” tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon rindang dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau
pesan-pesan sejarah di dalamnya diperlukan kemampuan untuk menarik pesan-pesan-pesan-pesan
yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya.5 Sedangkan menurut
Kuntowijoyo, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Tetapi jangan dibayangkan
sebagai membangun masa lalu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu
antikuarianisme dan bukan sejarah. Dengan bahasa sederhana, ia mengibaratkan
3
Francois Marie Arout Voltaire lahir di Paris pada 21 November 1694 dan meninggal 30 Mei 1778. Ia seorang filosof dan pujangga (literary)tersohor dan sangat berpengaruh dalam masa pencerahan (enlightenment) di Perancis pada abad ke-18 M. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 57
4
Robin George Collingwood, The Idea of History, (London, New York: Oxford University Press, 1976), h. 1-2
5
24
dengan bermain-main batang korek yang terserak-serak tidak jelas, kemudian
menyusunnya jadi petak-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan, dan
sebagainya. Ada definisi sejarah yang tautologis yang mengatakan bahwa sejarah
ialah apa yang dikerjakan sejarawan. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan
mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikat sejarawan adalah
hanyalah “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Jadi yang direkonstruksi
sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan
dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asalkan memenuhi syarat
untuk disebut sejarah.6
Pendapat lain dikatakan oleh Louis Gottschalk, kata Inggris history
(sejarah) berasal dari kata benda Yunani istoria, yang berarti ilmu. Dalam
penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan
sistematis mengenai perangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan
suatu faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu, meskipun jarang,
masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris pada sebutan natural history. Akan
tetapi dalam perkembangan zaman, kata Latin yang sama artinya yakni scientia
lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penelaahan sistematis
non-kronologis mengenai gejala alam; sedangkan kata istoria biasanya diperuntukkan
bagi penelaahan mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia dalam urutan
kronologis.
Menurut definisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa
lampau umat manusia”. Bandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yakni
6
Geischicte, yang berasal dari kata geschelen yang berarti terjadi. Geischicte
adalah sesuatu yang telah terjadi. Arti ini acapkali dijumpai dalam ucapan-ucapan
yang terlalu sering dipakai seperti “semua sejarah mengakarkan sesuatu” atau
“pelajaran-pelajaran sejarah”.7
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian filsafat
sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang
berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai
semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan
berabad-abad sebelumnya. Kedua, sejarah bertujuan untuk menguji serta menghargai
metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang
mengandung dua segi berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama
berkenaan dengan kajian metodelogi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis.
Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian kritis atas metode sejarawan.
Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat,
yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan
cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa
yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat
pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian, dan hubungan antara pikiran-pikiran
manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang
dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
7
26
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap
ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini, perhatian lebih
diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau
sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis
filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang
paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.8
C. Filsafat Sejarah Dalam Islam
Di dalam Islam, terdapat beberapa pemikir yang menguasai bidang
filsafat sejarah yang tidak asing lagi baik di Timur maupun di Barat. Misalnya,
Ibn Khaldûn yang dianggap sebagai representasi periode Klasik. Selanjutnya yaitu
beberapa tokoh pemikir Muslim Modern, seperti Malik Bin Nabi, Murtadhâ
Muththahharȋ, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Untuk
melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam
Islam, sebagai alternatif untuk kelengkapan tinjauan ini, penulis akan mengulas
sejumlah pemikiran tokoh di bidang filsafat sejarah, yaitu Ibn Khaldun sebagai
representasi dari masa klasik dan Ali Syariati sebagai representasi masa modern.
8
1. Konsep Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn9
Menurut Khaldûn, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan
berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya.
Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap
sejumlah fenomena sosial. Menurutnya, ashhâbiyah merupakan asas berdirinya
suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan
terjadinya perkembangan masyarakat.10
Ibnu Khaldûn terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle
Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan
di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Dalam teori tersebut, Khaldûn
berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan
peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa berkembang), masa
puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur.
Khaldûn mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar
9
Abû Zaid ‘Abd Al-Rahmân ibn Khaldûn Al-Hadramȋ lahir di Tunis pada 732 H/1332 M dan meninggal di Kairo pada 808 H/1406 M, setelah lima tahun sebelumnya bertemu dengan Tȋmûr Lenk di luar tembok Kota Damaskus. Selama hidupnya, ia kerap disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan diplomatik da politik, Ibn Khaldûn banyak menggunakan waktunya untuk belajar, mengajar, dan menulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa ia tak henti-hentinya berusaha memuaskan dua kebutuhan dasarnya: pertama tindakan politik dan kedua pengetahuan ilmiah. Sementara ia gagal dalam mencapai tujuan pertama demi kepuasan, ia berhasil meraih yang kedua –meskipun relatif terlambat dalam hidupnya. Salah satu karya besarnya adalah
Muqaddimah, dalam karya tersebut, Ibn Khaldûn merumuskan sebuah filsafat sejarah yang tak pelak lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah disusun oleh seorang tokoh dalam sejarah. Objek khususnya sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial. Sejarahnya juga mempunyai masalah-masalah khas sendiri –yaitu menjelaskan kondisi-kondisi berkaitan yang berkaitan satu sama lain dengan esensi peradaban. Perhatian khusus diberikan pada interaksi antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia yang berpusat pada kekuasaan negara. Dalam Muqaddimah, ia juga menyelidiki fenomena manusia dan institusi sosial yang bertumpu pada kerajinan, sains, dan penyebarannya. Daya dorong di balik proses historis itu, menurutnya, berada dalam ashhâbiyah. “Semangat kelompok” ini menimbulkan tindakan politik yang mengarah pada perebutan terhadap alat-alat negara. Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldûn,” dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama). Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 446
10
28
ilustrasi, Khaldûn menegaskan bahwa kesatuan suku Badui dapat mengantarkan
pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah akan
menghasilkan kejayaan dan berakhir pada kehancuran.
Di samping itu, Ibnu Khaldûn berafiliasi dengan beberapa aliran filsafat
sejarah. Pertama, ia berafiliasi dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat
bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat
diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Tokoh-tokoh aliran ini pada zaman modern
di antaranya ialah Jean Bodin dan Vico. Kedua, ia dapat dipandang berafiliasi
dengan aliran ekonomi, yang menginterpretasikan sejarah secara materialistis dan
menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan
perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomena pada faktor-faktor
ekonomis. Tokoh yang terkenal dengan aliran ini ialah Karl Marx. Meski dari
aspek ini ia dapat dipandang sebagai seorang penyeru aliran tersebut, namun ia
tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari
aspek ekonomis saja. Ia juga meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih
menekankan faktor-faktor lain. Ketiga, ia juga dipandang berafiliasi pada aliran
geografis yang memandang manusia sebagai putra alam lingkungan dan
kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan
alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaannya.
selain dipengaruhi lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi
antara keduanya terjadi interaksi yang saling mempengaruhi.11
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan
perkembangannya
Perkembangan menurut Ibn Khaldûn tidaklah berupa lingkaran dan
garis yang lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh, adalah
perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak
kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai
mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak
bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara lama,
melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda
dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak nampak
sehingga sulit diamati. Namun dengan berulangkalinya daur ini
berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas bilamana mereka
memerintah suatu negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka
akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan
banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi
generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi negara ini
dengan tradisi generasi sebelumnya. Kemudian apabila muncul lagi negara
lain setelah mereka, tradisinya pun bercampur dengan tradisi mereka dan
sebagian tradisi bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi
negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi pertama.
11
30
Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan
akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total.12
Menurut Khaldûn, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi
dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu.
Ketiganya yaitu:
1)Faktor Ekonomi
Dalam pandangan Ibnu Khaldûn sebagaimana yang dikutip oleh
Zainab al-Khudairi dalam buku Filsafat Sejarah Ibnu Khaldûn, banyak
orang-orang kota yang tenggelam dalam kemewahan, mencari
kesenangan dan keduniaan, bebas melabuhkan hawa nafsunya, sehingga
jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari jalan kebaikan.
Adapun orang-orang desa, sekalipun juga menyukai kehidupan duniawi,
terpaksa membatasi dirinya pada hal-hal yang sangat perlu saja. Mereka
tidak berusaha memperturutkan keinginannya untuk bermewah-mewah
dan bersuka ria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, karena
itu mereka tidak begitu menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka
dibanding dengan orang-orang kota.13
Sementara dalam membicarakan sifat-sifat keberanian orang-orang
desa yang tidak kita temukan lagi pada orang-orang kota. Menurut Ibn
Khaldûn, karena orang kota sudah terbiasa hidup senang, aman, dan
tenteram, menyerahkan tugas mempertahankan jiwa dan harta kekayaan
12 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 81
13
mereka kepada penguasa dan tentara. Dikelilingi tembok yang
tebal-tebal, dilindungi berbagai macam pertahanan, maka mereka hidup aman
dan lupa mempergunakan senjata.
Orang-orang desa memiliki keistimewaan yakni kesederhanaan dan
keberanian. Oleh karena itu mereka tahu bagaimana mempertahankan
diri dari setiap serangan, masyarakat mereka benar-benar mandiri dan
tidak menerima tekanan apapun. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, cenderung pada kebajikan, cinta pada keutamaan, dan
benci pada kejahatan dan perbuatan yang hina.14
Sedangkan masyarakat kota, yang asalnya juga dari desa dan
kemudian menjadi penduduk kota akibat perkembangan bentuk dan pola
kehidupan mereka, watak kehidupan kota telah memaksa mereka
mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru, di mana
pada masyarakat desa hal ini bisa diabaikan. Kemewahan pun
menyelundup dalam kehidupan dan adat istiadat mereka dari segala arah,
dan karena tenggelam dalam kenikmatan hidup dan kemalasan, nilai-nilai
pun mulai pudar. Semuanya ini membuat melemahnya kegiatan ekonomi,
sebab mayoritas penduduk dalam keadaan menganggur. Sesuai dengan
karakter mereka, kini mereka kehilangan keberaniaan dan keperkasaan.
Oleh karena itu mereka pun membutuhkan perlindungan, suatu hal yang
mendorong perlu adanya negara.15
14
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86
15
32
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Ibn Khaldûn
mengkonsepsikan, faktor ekonomi sebagai salah satu yang terpenting
dalam mengendalikan kehidupan sosial, organisasi politik, moral
masyarakat, dan pikiran mereka. Faktor ekonomi dipandang sebagai
faktor terpenting dan utama, tetapi bukanlah faktor satu-satunya.
Menurutnya, masih ada faktor lain, yaitu faktor lingkungan, geografis,
dan iklim serta faktor agama.
2)Faktor Geografis, Lingkungan, dan Iklim.
Menurut Ibn Khaldûn, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap
masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat
dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi
yang dihasilkannya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini
berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas
apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sfiat
fisik dan psikis manusia, dan malah juga mempengaruhi kehidupan
kulturalnya.16
Ibnu Khaldûn membagi bumi menjadi tujuh bagian. Sebagian,
yakni bagian ketiga, keempat, dan kelima, berhawa sedang. Sebagian
yang lain, yakni bagian pertama dan ketujuh, sangat panas. Menurut Ibn
Khaldûn, kawasan-kawasan yang beriklim sedang adalah tempat-tempat
maraknya kebudayaan. Sedang kawasan-kawasan yang sangat dingin dan
panas tidak mungkin menyajikan suatu kebudayaan dengan peringkat
16
yang sama dengan kebudayaan kawasan-kawasan beriklim sedang.
Pendapat Ibn Khaldûn inilah sebabnya kita dapati ilmu pengetahuan,
industri, bangunan-bangunan, pakaian, makanan, dan buah-buahan,
bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang
ini, memiliki ciri-ciri sedang dan sederhana. Manusia-manusia yang
mendiami kawasan-kawasan tersebut sedang pula postur tubuhnya,
warna kulitnya, sopan santunnya, dan juga agamanya.17 Sebagian besar
nabi-nabi diturunkan di kawasan-kawasan utara dan selatan. Karena pada
nabi dan utusan Allah hanya diutus kepada ummat manusia yang paling
sempurna, baik tubuh maupun pikirannya, yaitu umat yang lebih bisa
menerima ajaran-ajaran yang dibawa.
Adapun penduduk kawasan-kawasan yang jauh di ujung, seperti
penduduk kawasan kesatu, kedua, keenam, dan ketujuh, adalah jauh
dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau
seperti bambu. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan
liar. Pakaian mereka dari daun-daunan atau kulit. Sebagian mereka
malahan pergi ke sana ke mari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil
utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka
mempergunakan tembaga, besi, atau kulit sebagai ganti emas atau perak,
untuk alat jual-beli. Watak mereka sangat dekat dengan watak binatang
buas. Pada umumnya mereka sama sekali tidak mengetahui kenabian dan
tidak mengikuti sedikitpun hukum-hukum agama, kecuali sebagian kecil
17
34
dari mereka yag hidup berbatasan dengan kawasan-kawasan yang
beriklim sedang.18
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Ibn Khaldûn
mengasumsikan bahwa iklim, lingkungan, dam geografis, ikut membawa
dampak terhadap tubuh, moral, akal pikiran, kegiatan, dan kebudayaan
manusia. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat ini, dapat dipastikan,
bahwa iklim, lingkungan, dan geografis merupakan salah satu faktor lain
yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan laju sejarah manusia.
3)Faktor Agama
Menurut Ibn Khaldûn hubungan antara Allah dan alam manusia
tampak pada setiap ruang dan waktu. Menurutnya, Allah menjadikan
segala sesuatu yang ada dalam alam untuk manusia dan sebagai anugerah
kepadanya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Dia
menjadikan segala yang ada di antara langit dan bumi bagi manusia dan
menundukkan laut dan segala hewan baginya pula. Kekuasaan manusia
terentang di atas seluruh alam dengan segala isinya sehingga Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.19
Khaldûn juga mengatakan kehidupan sosial mungkin berlangsung
tanpa agama, dan politik dapat tegak tanpa aturan agama. Namun
agama-agamalah yang mendorong perkembangan ke depan dan menjadikan
kehidupan sosial lebih utama. Sebab semangat agama dapat meredakan
18
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13. Lihat. Ibn Khaldun,
Muqaddimah. Penerjemah Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 83-106
19
pertentangan dan iri hari yang dirasakan oleh salah satu anggota dari
golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka ke arah
kebenaran. Jika sekali perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran
maka tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka. Sebab
pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa
dan satu, sehingga membuat mereka bersedia berjuang sampai mati.
Inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukan Islam yang
mula-mula. Sebab tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah
berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal tentara Persia di Qadisiah
berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraclitus terdiri dari
400.000 orang. Meskipun demikian kedua lawan itu tidak sanggup
berhadapan dengan tentara Arab dan kedua-duanya dikalahkan.20
Penuturan di atas membuktikan bahwasanya agama sangat
memberikan peran dalam jalannya perkembangan sejarah.
b. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah
Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena
suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi
dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam
kausa-kausanya. Menurut Ibn Khaldûn, ada tiga hukum determinisme
sejarah yaitu, pertama, hukum kausalitas, Ibn Khaldun menerapkan dan
menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah –
filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara
20
36
kenyataan dan fenomena-fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di
alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya.
Apa saja yang ada di dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda
maupun perbuatan (dari manusia atau binatang) menunjukkan terdapatnya
sebab-sebab yang membawa semua itu kepada perwujudannya. Dan
sebaliknya masing-masing dari sebab-sebab ini adalah suatu kejadian yang
menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan
sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada sebab (yang
sebenarnya) dari segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua
ini –segala puji bagi-Nya yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Peningkatan
sebab-sebab itu akan semakin meluas sehingga akal tidak mampu
memahaminya. 21
Ada beberapa pengecualian dalam hukum kausalitas yang diyakini Ibn
Khaldûn. Pengecualian-pengecualian itu berbentuk dampak hal luar biasa
yang berbentuk mukjizat-mukjizat para nabi dan karamah-karamah para
wali: “Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT memilih di antara manusia
sejumlah pribadi yang diberi kelebihan dengan diturunkannya firman-Nya
kepada mereka dan diciptakan dengan pengetahuan-Nya.” Mereka dijadikan
sebagai perantara antara Ia dengan hamba-hamba-Nya. Di antara yang
dikaruniakan kepada mereka ialah pengetahuan-pengetahuan seperti hal-hal
biasa lewat ucapan-ucapan mereka dan berita-berita tentang hal-hal ghaib
21
yang tidak diketahui manusia dan tidak dapat mereka ketahui kecuali dari
Allah.22
Kedua, Hukum peniruan. Peniruan menurut Ibn Khaldûn, merupakan
suatu hukum yang umum. Peniruan ini mendorong gerak perkembangan ke
depan, sebab kadang-kadang peniruan merupakan peniruan terhadap hal
yang lebih baik. Si peniru sendiri selalu melengkapi apa yang ditirunya
dengan apa yang ia miliki, sehingga dengan ini terciptalah sesuatu yang
baru.23
Ketiga, Hukum perbedaan, perbedaan antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya timbul dari upaya penyerupaan dan peniruan. Keadaan
yang demikian ini juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul
belakangan, akan berupaya meniru negara sebelumnya. Hal ini tidak akan
terjadi kecuali jika terdapat suatu landasan yang membedakan antara
keduanya, sementara upaya-upaya penyerupaan yang terus menerus pada
akhirnya akan membuat terjadinya perbedaan secara total. Ini karena si
peniru hanya mengambil apa yang ia kagumi dan kemudian melengkapinya,
sehingga timbul jalinan baru yang agak berbeda dari apa yang ia tiru.
Kemudian muncul peniru lainnya yang pada gilirannya perbedaan antara
yang pertama dan yang ketiga pun semakin besar. Dari sini tampak jelas
bahwa antara hukum peniruan dan hukum perbedaan terjalin suatu
hubungan dialektis. Sebab, perbedaan akan mendorong pada upaya untuk
22
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Seja