• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

Nama : Ferisa Dian Fitria NIM : 20130610477 Bidang : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

(2)

i

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Nama : Ferisa Dian Fitria

NIM : 20130610477

Program Studi : Ilmu Hukum

Bidang : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

(3)

ii

KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME

Diajukan Oleh :

Nama : Ferisa Dian Fitria

NIM : 20130610477

Telah disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal : 17 April 2017

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(4)

iii

YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME Telah dipertahankan dihadapan tim penguji pada tanggal: 03 Mei 2017

Yang terdiri dari : Ketua

Dr. Yeni Widowaty, S. H., M. Hum. NIP. 196106171987032003

Anggota Anggota

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H. NIK. 19710409199702153028 NIK. 19660317199008153009

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(5)

iv

Fa inna ma’al ‘usri yusraa

(karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan) Inna ma’al ‘usri yusraa

(sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan) Fa idzaa faragh-ta fan-shab (maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain)

Wa ilaa rabbika farghab (dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap)

(6)

v

1. Almarhum Ayahanda Suwondo yang selalu terkenang dihati penulis dan yang penulis banggakan serta cintai terimakasih telah mengajarkan arti kehilangan, kasih sayang dan cita-cita.

2. Ibunda Suparmi yang selalu penulis sayangi, cintai, dan banggakan, terimakasih telah menjadi pahlawan, penyemangat, sumber kehidupan penulis serta terimakasih atas semua pengorbanan, doa, dan kasih sayangnya untuk penulis selama ini.

(7)

vi Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ferisa Dian Fitria

NIM : 20130610477

Judul Skripsi : KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME

Saya dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatakan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lainnya.

Skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat ketidakbenaraan dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 05 Februari 2017 Menyatakan,

Penulis

(8)

vii

Allah Subhanahu Wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat serta hidyahnya

kepada penulis, sehingga atas izin –Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI

ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME”. Hal ini merupakan tugas akhir dan persyaratan untuk menyelesaikan program studi jenjang program Strata satu (S1) pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fakultas Hukum, serta sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H).

Tidak lupa penulis menghaturkan penghargaan dan mengucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing dengan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini terutama kepada:

1. Allah Subhanahu wa ta’ala, yang telah memberi hamba karunia,rizqi kehidupan, kesehatan, kenikmatan, kekuatan dan perlindungan kepada hamba.

2. Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa salam, yang telah menuntun manusia dari zaman jahiliyah ke zaman terang benderang, sehingga hamba dapat merasakan pendidikan dan berakhlaq baik dan benar; 3. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

(9)

viii

6. Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II;

7. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum., selaku Ketua Penguji pada ujian ; 8. Dosen dan Staff Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta;

9. Kassubbagrenmin Polda DIY Kompol Budiyono, Bripka Dion Agung dan Bripka Nur Hariyanto Penyidik pada Direskrimsus Polda DIY atas segala kemudahan dan informasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

10.Jaksa pada Kejaksaan Negeri Sleman Bapak Muh. Ismet Karnawa, S.H., M.H yang telah berkenan untuk meluangkan waktu serta menyumbangkan pemikirannya sebagai narasumber pada penelitian ini.

11.Hakim Pengadilan Negeri Sleman Bapak Putu Agus Wirana,S.H., M.H yang telah berkenan untuk meluangkan waktu serta menyumbangkan pemikirannya sebagai narasumber pada penelitian ini.

(10)

ix

14.Sahabat-Sahabatku Endah Sri Lestari, Diah Safitri, Rizqi Musrifah, Arif Rianto, Lina Ayik Syaifu Rohyani, Imtiyaz Hanafiyah, Fitri Lestari, Rendra Firmansyah, Terima Kasih atas segala bentuk perhatian dan doa kalian dalam memberikan motivasi kepadaku selama ini dari awal kuliah hingga aku mendapatkan gelar Sarjana Hukum yang tak henti-hentinya, semoga Silaturahmi kita tetap berjalan sampai mati, besok, dan selamanya.

15.Sahabat-sahabatku Wina Anggraini, Vinda, Serly, Abda, Vita, Mutia, Aditiya, Ratna, Alffidah, Bela, Evi, Audy, Retno, Akbar, Assif, Sukarno, Niken,Vivin, Sukma, Khalis, Kiki, Melisa, Atika, Rina, Ayuk, Dinda, Neny dan semua teman-teman seperjuanganku yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, terimakasih atas semua bentuk perhatian, dorongan dan motivasi semoga Silaturahmi kita tetap berjalan sampai mati, besok, dan selamanya;

(11)

x dukunganya selama ini;

18.Rekan Kerja Laboratorium Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bu Atun, Rizqi Musrifah, Abidin A. Kurnia Ecla Julianto, S.H.. Riyan Tanjung, S.H, Ayudia Vicky Rachmasari, S.H, Imtiyaz Hanafiyah, Satria Sukananda, Vinda Novita Sari dan Siti N, S.IP terimakasih atas dukunganya selama ini;

Demikian Kata Pengantar ini dibuat oleh Penulis. Tentunya Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimiliki Penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Aamiin

Wassalamualaikum Wr. Wb

Yogyakarta, 05 Februari 2017 Penulis

(12)

xi

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vi

HALAMAN KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN DAFTAR ISI ... xi

HALAMAN DAFTAR TABEL ... xiii

HALAMAN DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA CYBERCRIME ... 24

A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Cybercrime ... 24

(13)

xii

A. Teori Pembuktian dalam Perkara Pidana ... 60

B. Alat-alat Bukti dalam Perkara Pidana ... 66

C. Alat Bukti Eletronik dalam Perkara Pidana ... 76

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 96

A. Penentuan Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Pembuktian Tindak Pidana Cybercrime ... 96

B. Penerapan Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Cybercime ... 128

BAB V PENUTUP ... 170

A. Kesimpulan ... 170

B. Saran ... 171

(14)

xiii

TABEL II Rekapitulasi Laporan Polisi Tindak Pidana Cybercrime Yang Dilidik/ Disidik Direkrimsus Polda DIY

Pada Tahun2016 ... 97 TABEL III Data Tindak Pidana Pelanggaran UU ITE Tahun 2013-2016

Ditreskrimsus Polda DIY ... 99 TABEL IV Data Costumer Otazen Home ... 117 TABEL V Daftar Alat Bukti Elektronik yang Digunakan dalam

PembuktianTindak Pidana Cybercrime pada Wilayah

(15)

xiv

GAMBAR III Jenis-Jenis Barang Bukti Elektronik Tahun 2011 ... 82 GAMBAR IV Perbedaan Penggunaan Barang Bukti Elektronik

Dengan Barang Bukti Non Elektronik ... 128 GAMBAR V Jumlah Presentase Penggunaan Alat Bukti Elektronik

(16)

xv

cybercrime ada beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama. Kesulitan mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian tindak pidana cybercrime, yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik di dalam perundang-undangan kita, belum ada hukum positif Indonesia yang mengatur secara detail, komprehensif serta seragam mengenai keabsahan alat bukti elektronik yang dijamin keutuhannya, sehingga menyebabkan di dalam proses persidangan terjadi perbedaan pendapat mengenai terjaminnya keutuhan alat bukti elektronik tersebut. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai bagaimana menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime dan bagaimana penerapan penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analitis, sedangkan pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara serta analisis data secara deskriptif kualitatif, artinya data yang diperoleh dengan membandingkan antara teori yang berlaku dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa keabsahan alat bukti elektronik dapat terpenuhi dengan adanya syarat formil dan materil. Persyaratan materiil adalah persyaratan untuk menjamin keutuhan data (intergrity), ketersediaan (availability), keamanan (security), keotentikan (authenticity) dan keteraksesaan alat bukti elektronik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan penyampaianya di sidang pengadilan. Sedangkan persyartan formil adalah persyaratan dengan menggunakan surat penetapan, penggeledahan, penyitaan alat bukti elektronik dari pengadilan. Penerapan penggunaan dari alat bukti elektronik adalah dengan cara memproses bukti elektronik dalam bentuk elektronik dari sistem elektronik menjadi output yang dicetak kedalam media kertas, yakni diubah perwujudannya dalam bentuk hardcopy, tanpa adanya modifikasi. Lalu untuk disampaikan validitasnya di hadapan pengadilan dengan menggunakan keterangan ahli untuk menjelaskan proses serta hasil dari alat bukti elektronik.

Dalam keabsahan alat bukti elektronik tersebut dibutuhkan pengaturan khusus mengenai syarat sahnya alat bukti elektronik agar tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang keabsahan alat bukti elektronik yang berpengaruh terhadap pembuktian dan perlunya dilakukan pendidikan atau pelatihan tambahan bagi aparat penegak hukum dalam hal mengenai digital investigation dan penanggulangan tindak pidana cybercrime.

(17)

i

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Nama : Ferisa Dian Fitria

NIM : 20130610477

Program Studi : Ilmu Hukum

Bidang : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

(18)

ii

KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME

Diajukan Oleh :

Nama : Ferisa Dian Fitria

NIM : 20130610477

Telah disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal : 17 April 2017

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(19)

iii

YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME Telah dipertahankan dihadapan tim penguji pada tanggal: 03 Mei 2017

Yang terdiri dari : Ketua

Dr. Yeni Widowaty, S. H., M. Hum. NIP. 196106171987032003

Anggota Anggota

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H. NIK. 19710409199702153028 NIK. 19660317199008153009

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(20)

iv

Fa inna ma’al ‘usri yusraa

(karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan) Inna ma’al ‘usri yusraa

(sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan) Fa idzaa faragh-ta fan-shab (maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain)

Wa ilaa rabbika farghab (dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap)

(21)

v

1. Almarhum Ayahanda Suwondo yang selalu terkenang dihati penulis dan yang penulis banggakan serta cintai terimakasih telah mengajarkan arti kehilangan, kasih sayang dan cita-cita.

2. Ibunda Suparmi yang selalu penulis sayangi, cintai, dan banggakan, terimakasih telah menjadi pahlawan, penyemangat, sumber kehidupan penulis serta terimakasih atas semua pengorbanan, doa, dan kasih sayangnya untuk penulis selama ini.

(22)

vi Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ferisa Dian Fitria

NIM : 20130610477

Judul Skripsi : KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME

Saya dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatakan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lainnya.

Skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat ketidakbenaraan dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 05 Februari 2017 Menyatakan,

Penulis

(23)

vii

Allah Subhanahu Wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat serta hidyahnya

kepada penulis, sehingga atas izin –Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI

ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME”. Hal ini merupakan tugas akhir dan persyaratan untuk menyelesaikan program studi jenjang program Strata satu (S1) pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fakultas Hukum, serta sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H).

Tidak lupa penulis menghaturkan penghargaan dan mengucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing dengan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini terutama kepada:

1. Allah Subhanahu wa ta’ala, yang telah memberi hamba karunia,rizqi kehidupan, kesehatan, kenikmatan, kekuatan dan perlindungan kepada hamba.

2. Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa salam, yang telah menuntun manusia dari zaman jahiliyah ke zaman terang benderang, sehingga hamba dapat merasakan pendidikan dan berakhlaq baik dan benar; 3. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

(24)

viii

6. Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II;

7. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum., selaku Ketua Penguji pada ujian ; 8. Dosen dan Staff Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta;

9. Kassubbagrenmin Polda DIY Kompol Budiyono, Bripka Dion Agung dan Bripka Nur Hariyanto Penyidik pada Direskrimsus Polda DIY atas segala kemudahan dan informasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

10.Jaksa pada Kejaksaan Negeri Sleman Bapak Muh. Ismet Karnawa, S.H., M.H yang telah berkenan untuk meluangkan waktu serta menyumbangkan pemikirannya sebagai narasumber pada penelitian ini.

11.Hakim Pengadilan Negeri Sleman Bapak Putu Agus Wirana,S.H., M.H yang telah berkenan untuk meluangkan waktu serta menyumbangkan pemikirannya sebagai narasumber pada penelitian ini.

(25)

ix

14.Sahabat-Sahabatku Endah Sri Lestari, Diah Safitri, Rizqi Musrifah, Arif Rianto, Lina Ayik Syaifu Rohyani, Imtiyaz Hanafiyah, Fitri Lestari, Rendra Firmansyah, Asa Diani Haqiqi, Prihantoro Sulistiyo Terima Kasih atas segala bentuk perhatian dan doa kalian dalam memberikan motivasi kepadaku selama ini dari awal kuliah hingga aku mendapatkan gelar Sarjana Hukum yang tak henti-hentinya, semoga Silaturahmi kita tetap berjalan sampai mati, besok, dan selamanya. 15.Sahabat-sahabatku Wina Anggraini, Vinda, Serly, Abda, Vita, Mutia,

Aditiya, Ratna, Alffidah, Bela, Evi, Audy, Retno, Akbar, Assif, Sukarno, Niken,Vivin, Sukma, Khalis, Kiki, Melisa, Atika, Rina, Ayuk, Dinda, Neny dan semua teman-teman seperjuanganku yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, terimakasih atas semangatnya.

16.Sahabat sekaligus keluarga Kamadiksi UMY, Mbak Anin, Bapak Marwadi, Endah, Diah, Arif, Rohmaida, Asih, Sulbi, Widya, Heri, Iin, dan seluruh anggota Kamadiksi UMY, terimakasih atas dorongan, perjuangan bersama dari awal masuk kuliah hingga kini

(26)

x dukunganya selama ini;

19.Rekan Kerja Laboratorium Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bu Atun, Rizqi Musrifah, Abidin A. Kurnia Ecla Julianto, S.H.. Riyan Tanjung, S.H, Ayudia Vicky Rachmasari, S.H, Imtiyaz Hanafiyah, Satria Sukananda, Vinda Novita Sari dan Siti N, S.IP terimakasih atas dukunganya selama ini;

Demikian Kata Pengantar ini dibuat oleh Penulis. Tentunya Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimiliki Penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Aamiin

Wassalamualaikum Wr. Wb

Yogyakarta, 05 Februari 2017 Penulis

(27)

xi

HALAMAN PENGESAHAN ... iii HALAMAN MOTTO ... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ... v PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vi HALAMAN KATA PENGANTAR ... vii HALAMAN DAFTAR ISI ... xi HALAMAN DAFTAR TABEL ... xiii HALAMAN DAFTAR GAMBAR ... xiv ABSTRAK ... xv BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 8 C. Tujuan Penelitian ... 8 D. Tinjauan Pustaka ... 8 E. Metode Penelitian ... 16 F. Sistematika Penulisan ... 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

(28)

xii

A. Teori Pembuktian dalam Perkara Pidana ... 60 B. Alat-alat Bukti dalam Perkara Pidana ... 66 C. Alat Bukti Eletronik dalam Perkara Pidana ... 76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 96

A. Penentuan Keabsahan Alat Bukti Elektronik

dalam Pembuktian Tindak Pidana Cybercrime ... 96 B. Penerapan Penggunaan Alat Bukti Elektronik

Dalam Pembuktian Tindak Pidana Cybercime ... 128 BAB V PENUTUP ... 170

A. Kesimpulan ... 170 B. Saran ... 171

(29)

xiii

11 Tahun 2008 Dengan UU No 19 Tahun 2016... 39 TABEL II Rekapitulasi Laporan Polisi Tindak Pidana Cybercrime

Yang Dilidik/ Disidik Direkrimsus Polda DIY

Pada Tahun2016 ... 97 TABEL III Data Tindak Pidana Pelanggaran UU ITE Tahun 2013-2016

Ditreskrimsus Polda DIY ... 99 TABEL IV Data Costumer Otazen Home ... 117 TABEL V Daftar Alat Bukti Elektronik yang Digunakan dalam

PembuktianTindak Pidana Cybercrime pada Wilayah

(30)

xiv

GAMBAR II Jenis-Jenis Barang Bukti Elektronik Tahun 2010 ... 82 GAMBAR III Jenis-Jenis Barang Bukti Elektronik Tahun 2011 ... 82 GAMBAR IV Perbedaan Penggunaan Barang Bukti Elektronik

Dengan Barang Bukti Non Elektronik ... 128 GAMBAR V Jumlah Presentase Penggunaan Alat Bukti Elektronik

(31)

xv

cybercrime ada beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama. Kesulitan mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian tindak pidana cybercrime, yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik di dalam perundang-undangan kita, belum ada hukum positif Indonesia yang mengatur secara detail, komprehensif serta seragam mengenai keabsahan alat bukti elektronik yang dijamin keutuhannya, sehingga menyebabkan di dalam proses persidangan terjadi perbedaan pendapat mengenai terjaminnya keutuhan alat bukti elektronik tersebut. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai bagaimana menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime dan bagaimana penerapan penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analitis, sedangkan pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara serta analisis data secara deskriptif kualitatif, artinya data yang diperoleh dengan membandingkan antara teori yang berlaku dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa keabsahan alat bukti elektronik dapat terpenuhi dengan adanya syarat formil dan materil. Persyaratan materiil adalah persyaratan untuk menjamin keutuhan data (intergrity), ketersediaan (availability), keamanan (security), keotentikan (authenticity) dan keteraksesaan alat bukti elektronik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan penyampaianya di sidang pengadilan. Sedangkan persyartan formil adalah persyaratan dengan menggunakan surat penetapan, penggeledahan, penyitaan alat bukti elektronik dari pengadilan. Penerapan penggunaan dari alat bukti elektronik adalah dengan cara memproses bukti elektronik dalam bentuk elektronik dari sistem elektronik menjadi output yang dicetak kedalam media kertas, yakni diubah perwujudannya dalam bentuk hardcopy, tanpa adanya modifikasi. Lalu untuk disampaikan validitasnya di hadapan pengadilan dengan menggunakan keterangan ahli untuk menjelaskan proses serta hasil dari alat bukti elektronik.

Dalam keabsahan alat bukti elektronik tersebut dibutuhkan pengaturan khusus mengenai syarat sahnya alat bukti elektronik agar tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang keabsahan alat bukti elektronik yang berpengaruh terhadap pembuktian dan perlunya dilakukan pendidikan atau pelatihan tambahan bagi aparat penegak hukum dalam hal mengenai digital investigation dan penanggulangan tindak pidana cybercrime.

(32)

xv

cybercrime ada beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama. Kesulitan mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian tindak pidana cybercrime, yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik di dalam perundang-undangan kita, belum ada hukum positif Indonesia yang mengatur secara detail, komprehensif serta seragam mengenai keabsahan alat bukti elektronik yang dijamin keutuhannya, sehingga menyebabkan di dalam proses persidangan terjadi perbedaan pendapat mengenai terjaminnya keutuhan alat bukti elektronik tersebut. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai bagaimana menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime dan bagaimana penerapan penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analitis, sedangkan pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara serta analisis data secara deskriptif kualitatif, artinya data yang diperoleh dengan membandingkan antara teori yang berlaku dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa keabsahan alat bukti elektronik dapat terpenuhi dengan adanya syarat formil dan materil. Persyaratan materiil adalah persyaratan untuk menjamin keutuhan data (intergrity), ketersediaan (availability), keamanan (security), keotentikan (authenticity) dan keteraksesaan alat bukti elektronik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan penyampaianya di sidang pengadilan. Sedangkan persyartan formil adalah persyaratan dengan menggunakan surat penetapan, penggeledahan, penyitaan alat bukti elektronik dari pengadilan. Penerapan penggunaan dari alat bukti elektronik adalah dengan cara memproses bukti elektronik dalam bentuk elektronik dari sistem elektronik menjadi output yang dicetak kedalam media kertas, yakni diubah perwujudannya dalam bentuk hardcopy, tanpa adanya modifikasi. Lalu untuk disampaikan validitasnya di hadapan pengadilan dengan menggunakan keterangan ahli untuk menjelaskan proses serta hasil dari alat bukti elektronik.

Dalam keabsahan alat bukti elektronik tersebut dibutuhkan pengaturan khusus mengenai syarat sahnya alat bukti elektronik agar tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang keabsahan alat bukti elektronik yang berpengaruh terhadap pembuktian dan perlunya dilakukan pendidikan atau pelatihan tambahan bagi aparat penegak hukum dalam hal mengenai digital investigation dan penanggulangan tindak pidana cybercrime.

(33)

1 A. Latar Belakang

Peningkatan aktivitas sosial dan ekonomi dengan konsetelasi masyarakat dunia telah memasuki suatu masyarakat yang berorientasi kepada informasi. Sistem informasi dan teknologi telah digunakan pada banyak sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (electronic commerce atau e-commerce), pendidikan (electronic education), kesehatan (tele-medicine), telekarya, transportasi, industri, pariwisata, lingkungan sampai ke sektor hiburan.1 Maka dapat kita sadari bahwa dunia sedang berada dalam era informasi (information age), yang merupakan tahapan selanjutnya setelah era prasejarah, era agraris dan era industri. 2

Informasi merupakan inti globalisasi, khususnya bagi Negara-negara yang berambisi membangun dan mewujudkan perubahan.3 Globlisasi sebagai suatu proses yang pada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet bumi menjadi suatu world society.4 Globalisasi teknologi elektronika, dan informasi komputer telah mempersempit wilayah dunia dan memper pendek jarak komunikasi, di samping memperpadat mobilisasi orang dan barang. Namun perlu kita sadari

1

Danrivanto Budhijanto, 2010, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran dan Teknologi Informasi : Regulasi dan Konvergensi, Bandung, Refika Aditama, hlm. 1.

2

Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.27

3

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung, Rafika Aditama, hlm. 5.

4

(34)

bahwa, globalisasi membawa dua akibat atau makna. Pada satu sisi melahirkan dunia tanpa batas, menimbulkan keunggulan kompetitif, sementara di sisi lain globalisasi membangkitkan reaksi balik dengan akibat untung rugi.

Era global ini, selain ada hal positif yang bias dimanfaatkan oleh setiap bangsa, khususnya di bidang teknologi, juga menyimpan kerawanan yang tentu saja sangat membahayakan. Bukan hanya soal kejahatan konvensional yang gagal diberantas akibat terimbas oleh pola-pola moderenitas yang gagal mengedepankan prinsip humanitas, tetapi juga munculnya kejahatan jenis baru di alam maya yang telah menjadi realitas masyarakat dunia.

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan komunikasi melalui internet, memunculkan berbagai kejahatan yang dilakukan dengan media internet. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan internet yang canggih dan cepat tersebut memunculkan pula kejahatan yang sangat canggih dan sulit untuk diketahui pelakunya. Hal ini disebabkan karena internet merupakan suatu media komunikasi yang tidak terlihat (maya), sehingga pelaku kejahatan dapat dengan mudah menghilangkan jejak tanpa dapat diketahui dengan jelas. Kejahatan ini lebih dikenal dengan cybercrime atau tindak pidana mayantara.5

Mencermati hal tersebut dapatlah disepakati bahwa kejahatan teknologi informasi atau cybercrime memiliki karakter yang berbeda

5

(35)

dengan tindak pidana lainnya baik dari segi pelaku, korban, modus operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan pengaturan khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kejahatan cybercrime di Negara Indonesia sangat memprihatinkan, yakni data menunjukan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dalam daftar lima besar negara asal serangan kejahatan siber atau cybercrime, hal ini berdasarkan laporan State of The Internet pada tahun 2013. 6 Menurut Rudy Sumadi, Head of Small and Medium Business Market Microsoft Indonesia mengatakan bahwa pada tahun 2015 jumlah kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat signifikan hingga 389% dari tahun 2014.7 Hal ini ditegaskan juga oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombespol Agung Setya mengatakan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, tercatat 36,6 juta serangan cyber crime terjadi di Indonesia. Sejak 2012 sampai dengan April 2015, Subdit IT/ Cyber Crime telah menangkap 497 orang tersangka kasus kejahatan di dunia maya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 389 orang di antaranya merupakan warga negara asing, dan 108 orang merupakan warga negara Indonesia. Total kerugian cybercrime di Indonesia mencapai Rp 33,29 miliar. Sementara itu, sepanjang 2012 sampai dengan 2014, terdapat 101

6

Dea Chadiza Syafina, Indonesia Urutan Kedua Terbesar Negara Asal "Cyber Crime" di

Dunia, 12 Mei 2015

,http://nasional.kompas.com/read/2015/05/12/06551741/Indonesia.Urutan.Kedua.Terbesar.Negara. Asal.Cyber.Crime.di.Dunia, (11.29).

7

(36)

permintaan penyelidikan terhadap kasus fraud atau penipuan dari seluruh dunia. Kombespol Agung Setya menyimpulkan bahwa setiap 10 hari terdapat satu kejadian kejahatan cybercrime selama tiga tahun terakhir ini.8

Jika melihat kuantitas kasus yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi, baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan atau transaksi secara online atau melalui media sosial, khususnya dalam hal pembuktian.

Terkait dengan hukum pembuktian biasanya akan memunculkan sebuah posisi dilema, di salah satu sisi diharapkan agar hukum dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, di sisi yang lain perlu juga pengakuan hukum terhadap berbagai jenis-jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan.9

Pembuktian memegang peranan yang penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian inilah yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang diajukan di muka pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan dari orang tersebut maka akan dilepaskan dari hukuman, sebaliknya apabila kesalahan dapat dibuktikan maka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Oleh karena

8

Dea Chadiza Syafina, Loc. Cit. 9

(37)

itu harus berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian.

Suatu alat bukti dikatakan sebagai alat bukti yang sah adalah tidak hanya alat bukti tersebut diatur dalam suatu undang-undang (bewijsmiddelen) tetapi bagaimana alat bukti tersebut diperoleh dan cara pengajuan alat bukti tersebut di pengadilan (bewijsvoering), serta kekuatan pembuktian (bewijskracht) atas masing-masing alat bukti yang diajukan tersebut juga sangat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan suatu alat bukti.

Proses pembuktian pada kasus cybercrime pada dasarnya tidak berbeda dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional, tetapi dalam kasus cybercrime ada beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama dalam pembuktian, antara lain adanya informasi elektronik atau dokumen elektronik, ketentuan hukum mengenai pembuktian atas kasus cybercrime telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian kasus cybercrime dan alat bukti elektronik tersebut dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.10

10

Syaibatul Hamdi, Suhaimi, dan Mujibussalim, “Bukti Elektronik dalam Sistem

(38)

Kesulitan mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana, khususnya mengenai tindak pidana cybercrime, yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik di dalam perundang-undangan kita.11 Dalam penyelesaian tindak pidana di bidang teknologi informasi, kondisi yang paperless (tidak menggunakan kertas) ini menimbulkan masalah dalam pembuktian mengenai informasi yang diproses, disimpan, atau dikirim secara elektronik. Informasi atau Dokumen Elektronik yang mudah diubah sering menimbulkan pertanyaan hukum mengenai keotentikan informasi atau dokumen yang dimaksud.12

Syarat keabsahan suatu alat bukti elektronik telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat dalam Pasal 6 yakni ....Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Unsur dijamin keutuhannya menjadi penting dalam proses pembuktian mengingat Penjelasan Umum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi elektronik ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang

11

Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 455.

12

(39)

diakibatkannya pun bisa kompleks dan rumit. Menurut O. C. Kaligis yang menyatakan bahwa belum ada hukum positif Indonesia yang mengatur secara detail, komprehensif serta seragam mengenai keabsahan alat bukti elektronik yang dijamin keutuhannya, sehingga menyebabkan di dalam proses persidangan terjadi perbedaan pendapat dari keterangan ahli mengenai terjaminnya keutuhan alat bukti elektronik tersebut.13

Multi tafsir akibat dari pemaknaan unsur dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan yang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa berpengaruh terhadap keyakinan hakim dalam menilai dari keabsahan suatu alat bukti elektronik tersebut.

Berdasarkan atas pemaparan dari latar belakang tersebut, bahwa alat bukti elektronik sangatlah diperlukan dalam sidang peradilan, khususnya dalam kasus tindak pidana cybercrime. Namun pengaturan mengenai hal tersebut, yakni penentuan mengenai keabsahan alat bukti eleketronik tersebut dapat diterima dalam persidangan belumlah ada mengingat pentingnya alat bukti elektronik dalam membantu mengungkap suatu tindak pidana cybercrime dari yang samar-samar sebagai tindak pidana menjadi terang, apakah itu tindak pidana atau bukan. Untuk mengetahui hal tersebut maka perlu diadakan penelitian.

13

(40)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana terurai di atas, maka permasalahan hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

2. Bagaimana penerapan penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime .

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui parameter yang digunakan untuk menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

2. Untuk mengetahui penerapan penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

D. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Cybercrime a. Definisi Cybercrime

(41)

penyampaian/pertukaraan informasi kepada pihak lainnya (transmitter/originator to recipent).”14

Cybercrime di sisi lain, bukan hanya menggunakan kecanggihan teknologi komputer, akan tetapi juga melibatkan teknologi telekomunikasi di dalam pengoprasiannya. Hal ini dapat dilihat pada pandangan Indra Safitri yang mengemukakan bahwa “kejahatan dunia maya adalah jenis kejahataan yang berkaitan

dengan pemaanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang diakses oleh pelanggan internet.”15

Didalam masalah ini tentunya antara cyber crime membutuhkan cyberlaw untuk mengatur dalam cybercrime kita juga mengenal istilah cyber space, dalam memahami sistem kerja komputer dan telekomunikasi yang menghasilkan internet yang kemudian disebut cyber space yang membutuhkan atauran yang disebut dengan cyberlaw.

b. Ruang Lingkup Tindak Pidana Cybercrime

Membahas ruang lingkup kejahatan telematika (cybercrime) adalah hal yang terpenting dalam rangka memberi batasan cakupan kejahatan telematika. Disadarai bahwa

14

Didik M. Arief Mansur, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama, hlm. 10.

15

(42)

perkembangan telematika (internet) yang begitu cepat berbanding lurus dengan modus kejahatan yang muncul. Beberapa tahun yang lalu, puluhan ribu pemakai internet terkena virus e-mail melissa dan ex plore.zip.worm yang meneyebar dengan cepat, menghapuskan arsip-arsip, menghapuskan sistem-sistem, dan menyebabkan perusahaan-perusahaan harus mengueluarkan jutaan dolar untuk mendapatkan bantuan dan batas waktu.16

Berangkat pada uraian di atas, maka dapat dikatakan bahawa lingkup cakupan tindak pidana cybercrime, yaitu : (a) pembajakan ; (b) peneipuan; (c) pencurian; (d) pornografi; (e) pelecehan; (f) pemfitnahan; dan (g) pemalsuan.

c. Karakteristik Tindak Pidana Cybercrime

Berdasarkan beberapa literatur serta praktiknya, menurut Abdul Wahid dan M. Labib cybercrime memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1) Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/ wilayah siber/ cyber (cyberspace), sehingaa tidak dapat dipastikan yuridiksi negara mana yang berlaku terhadapnya.

2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apa pun yang terhubung dengan internet.

16

(43)

3) Perbuatan tersebut mengakibatakan kerugian materiil maupun immateriil (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahsiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.

4) Pelakunya adalaah orang yang menguasi penggunaan internet beserta aplikasinya

5) Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional melitas batas negara.17

d. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Cybercrime.

Kejahatan yang berhubungan dengan komputer (cybercrime) sudah diatur oleh instrument internasional. Namun dalam UU ITE juga mengatur bentuk cybercrime yakni kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan dan kejahatan konvensional yang menggunakan komputer.18 Secara umum terdapat beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi informasi, antara lain :19

1) Unauthorized acces to computer system and service 2) Ilegal Contents.

3) Data Forgery 4) Cyber espionage

17

Abdul Wahid dan M. Labib, 2005, Kejahatan Mayantara Cybercrime, Bandung , Refika Aditama, hlm. 45.

18

Widodo, 2013, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi (Cybercrime Law) : Telaah Teoritik dan Bedah Kasus, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, hlm 74.

19

(44)

5) Cyber Sabotage and extorition 6) Offense against intellestual property 7) Infrengments of privacy.

2. Tinjauan Pembuktian Tindak Pidana Cybercrime a. Arti Pembuktian

Yahya Harahap mengemukakan bahwa pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didalwakan kepada terdakawa.20 Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP. Menurut Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.

b. Sistem Pembuktian

Tujuan Hukum Acara Pidana adalah mencari kelemahan materiil dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu dipahami adanya beberapa teori/sistem pembuktian. Hakim di Indonesia berperan untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan dengan keyakinan

20

(45)

sendiri. Kewenangan hakim untuk menilai kekuatan alat-alat bukti didasari dengan dapat ditelusuri melalui pemahaman atau 4 (empat) klasifikasi teori/sistem pembuktian di bawah ini:21

1. Conviction-in Time

Sistem pembuktian conviction –in Time menetukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.

Keyakinan hakim yang menetukan keteruktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinan, tidak menjadi masalah dalam sisitem ini.

2. Conviction-Raisonee

Dalam system ini pun dapat dikatakan “keyakinan

hakim” tetap memegang peranan penting dalam

menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam system ini, factor keyakinan hakim dibatasi, sebab keyakinan hakim harus dengan alasan alasan yang jelas

3. Pembuktian Menurut Undang –Undang Secara Positif Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan

21

(46)

system pembuktian menurut keyakinan-atau conviction-in-time.

4. Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Weterlijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan teori antara system pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan system pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. c. Macam-macam Alat bukti dalam KUHAP

Alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah ialah:

1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat

4) Petunjuk

5) Keterangan terdakwa

(47)

Pembuktian Tindak Pidana cybercrime Alat bukti elektronik dapat menjadi alat bukti yang sah yang dapat diterima dalam persidangan. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 5 undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Alat bukti elektronik dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia terbagi atas dua jenis, yaitu informasi elektronik dan dokumen elektronik. Informasi dan dokumen elektronik ini tidak hanya terbatas pada informasi yang tersimpan dalam medium yang diperuntukkan untuk itu, tetapi juga mencakup transkrip atau hasil cetaknya.

Informasi dan/atau transaksi elektronik maupun hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, sekaligus merupakan perluasan dari jenis-jenis alat bukti yang diatur dalam perundang-undangan sebelumnya diatur secara tegas dalam Pasal 5 UU ITE. Klasifikasi alat bukti elektronik yakni Real evidence, Testamentary evidence, dan Circumstantial evidence.

Informasi elektronik dalam Pasal 1 angka (1) UU ITE didefinisikan sebagai berikut:

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data

(48)

(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Sementara itu, dalam Pasal 1 Angka (4) UU ITE, dokumen elektronik didefinisikan sebagai berikut :

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik

yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

(49)

putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).22 Penelitian normatif (penelitian kepustakaan) dalam penelitian ini dengan mencari asas-asas, doktrin-doktrin dan sumber hukum dalam arti filosofis yuridis untuk memahami kedudukan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime penelitian juga mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan alat bukti elektronik dan pembuktian perkara tindak pidana cybercrime. Dengan menggunakan Pendekatan Perundang-undangan dan Analitis, yang mana penelitian menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis dengan dilanjutkan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

22

(50)

Untuk menjawab permasalahan utama penelitian ini. Bahan hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier dan bahan non hukum.

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan peraturan perundangan yang terdiri dari:

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;

4) Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomuniksai;

5) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

7) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang;

(51)

9) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

10) Putusan Nomor 476/Pid. Sus/2013/PN.Slmn, Putusan Nomor 037/Pid. Sus/ 2015/Pn. Smn dan Putusan Nomor 535/Pid. Sus/2016/PN. Smn.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu:

1) Buku-buku ilmiah yang terkait; 2) Hasil penelitian terkait;

3) Makalah-makalah seminar yang terkait; 4) Jurnal-jurnal dan literatur yang terkait;

5) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi. d. Bahan Non Hukum, yaitu bahan yang digunakan sebagai

pelengkap bahan hukum yaitu:

1) Buku buku tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Telekomunikasi, dan telekomunikasi maupun ITE, elektronik, dan digital;

(52)

3) Hasil penelitian tentang pembuktian tindak pidana cybercrime;

4) Hasil penelitian tentang perkara tindak pidana cybercrime; 5) Jurnal tentang alat bukti elektroni;

6) Jurnal tentang pembuktian perkara tindak pidana cybercrime;

7) Jurnal tentang perkara tindak pidana cybercrime. 3. Narasumber

Metode pengumpulan data melalui wawancara terstruktur dengan narasumber sebagai berikut:

a. Bripka Dion Agung N dan Bripka Nur Hariyanto, S. H, Penyidik Madya Unit IT dan Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda D.I. Yogyakarta;

b. Muh. Ismet Karnawa, S.H., M.H, Jaksa Muda dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sleman;

c. Putu Agus Wiranta, S.H., M.H., Hakim dari Pengadilan Negeri Sleman.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah dengan cara sebagai berikut:

a. Study Kepustakaan

(53)

dengan melakukan study kepustakaan yaitu, dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang berhubungan dengan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

b. Wawancara

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengambilan data langsung melalui wawancara dengan Penyidik pada Unit Cybercrime Polda DIY, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Sleman, Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang pernah mengadili dan memutus kasus tindak pidana cybercrime guna mencari jawaban atas keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime. Untuk Wawancara teknik pengolahan data adalah dengan cara memeriksa kembali informasi yang diperoleh dari narasumber. Kemudian data-data tersebut diperiksa kelengkapanya dan relevansinya, setelah itu diklasifikasikan sehingga dengan jelas dapat diketahui data yang mana dipergunakan untuk menjawab permaslahan yang ada.

5. Analisis Data

(54)

berlaku dan fakta yang diperoleh. Penyajian analisis dengan memberikan gambaran dan menerangkan data-data dan fakta-fakta yang diperoleh dengan menggunakan narasi atau uraian untuk menjelaskan hasil penelitian. Dipilih data-data yang ada kaitannya dengan permasalahan dan dapat digambarkan keadaan sebenarnya dilapangan. Hal ini diharapkan dapat memudahkan dalam memahami kendala kondisi di lapangan.

F. Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam skripsi ini agar dapat sistematis dan mudah dipahami maka disusun dalam beberapa bagian. Penulis membagi penulis telah membagi penulisan ini menjadi 5 (lima) bab. Bagian dalam penulisan hukum (skripsi) yang dibuat oleh penulis adalah sebagai berikut:

(55)

kedudukan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime. Metode penelitian yaitu menjelaskan tentang metode-metode yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahn dalam penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, menjelaskan mengenai gambaran umum tentaang tindak pidana cybercrime dari pengertian tindak pidana cybercrime, bentuk-bentuk tindak pidana cybercrime, pengaturan tindak pidana Cybercrime di Indonesia, Yurisprudensi dalam tindak pidana Cybercrime di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya Tindak Pidana cybercrime, dan Penegakan Hukum terhadap tindak pidana Cybercrime di Indonesia.

Bab ketiga, membahas mengenai pembuktian tindak pidana cybercrime dari pengertian pembuktian, sistem pembuktian, alat-alat bukti, pengertian alat bukti elektronik, pengaturan alat bukti elektronik.

Bab keempat, menganalisis mengenai penetuan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana cybercrime serta penerapan penggunaan alat bukti elektronik sebagi alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.

(56)

24

A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Cybercrime 1. Pengertian Tindak Pidana Cybercrime

Teknologi telekomunikasi telah membawa manusia kepada suatu peradaban baru dengan struktur sosial beserta tata nilainya. Artinya, masyarakat berkembang menuju masyarakat baru yang berstruktur global. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global universal. Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai, norma, moral, dan kesusilaan.1 Dampak pergeseran tersebut ditemukanya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadilah konvergensi antara keduanya.

Kemajuan teknologi yang merupakan hasil budaya menusia di samping membawa dampak positif, dalam arti dapat diperdayagunakan untuk kepentingan umat manusia juga membawa dampak negatif terhadap perkembangan manusia dan peradabannya. Dampak negatif yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. J. E Sahetapy telah menyatakan dalam tulisannya, bahwa kejahatan erat kaitanya dan bahkan menjadi sebagian dari hasil budaya itu sendiri. Ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan

1

(57)

semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaanya.2

Perkembangan teknologi komputer, teknologi informasi, dan teknologi komunikasi juga menyebabkan munculnya tindak pidana baru yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana konvensional. Penyalahgunaan komputer sebagai salah satu dampak dari ketiga perkembangan teknologi tersebut itu tidak terlepas dari sifatnya yang khas sehingga membawa persoalan yang rumit dipecahkan berkenaan dengan masalah penanggulangannya (penyelidikan, penyidikan hingga dengan penuntutan).3 Salah satu kejahatan yang ditimbulkan oleh perkembangan dan kemajuan teknologi informasi atau telekomunikasi adalah kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi internet. Kejahatan ini dalam istilah asing sering disebut dengan cybercrime.

Cybercrime merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional (street crime). Cybercrime muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Sebagimana dikemukakan oleh Ronni R. Nitibaskara bahwa: “Interaksi sosial yang

meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan

2

J. E Sahetapy dalam Abdul Wahid, 2002, Kriminologi dan Kejahatan Kontemporer, Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum Unisma, Malang.

3

(58)

hubungan sosial yang berupa kejahatan (crime) akan menyesuaiakan

bentuknya dengan karakter baru tersebut.”4

Ringkasnya, sesuai dengan ungkapan “kejahatan merupakan

produk dari masyarakat sendiri” (crime is a product of society its self), “habitat” baru ini, dengan segala bentuk pola interaksi yang ada didalamya, akan menghasilkan jenis-jenis kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan lain yang sebelumnya telah dikenal. Kejahatan-kejahatan ini berada dalam satu kelompok besar yang dikenal dengan istilah cybercrime.

Pada masa awalnya, cybercrime didefinisikan sebagai kejahatan komputer. Mengenai definisi kejahatan komputer sendiri, sampai sekarang para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan komputer. Bahkan penggunaan istilah tindak pidana untuk kejahatan komputer dalam bahasa Inggris pun masih belum seragam. Beberapa sarjana menggunakan istilah computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer related crime, computer assistend crime, atau computer crime. Namun para sarjana pada waktu itu, pada umumnya lebih menerima pemakaian istilah computer crime oleh karena dianggap lebih luas dan bias dipergunakan dalam hubungan internasionl.

Dua dokumen Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di

4

(59)

Havana (Cuba) tahun 1990, dan di Wina (Austria) tahun 2000, memang ada dua istilah yang digunakan: cybercrime, dan computer-related crime. Laporan Dokumen Kongres PBB ke-10 di Wina, tanggal 19 Juli 2000 menggunakan istilah computer-related crime, dengan pengertian 2 bentuk berikut:

The term computer-related crime had been developed encompass both the entirely new formst of crime that were directed at computer, networks and their users, and the more traditional from crime that were now being commited with the use or assistance of computer equipment.

a. Cybercrime in narrow sense (computer crime); any illegal beheviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer system and the data processed by them.

b. Cybercrime in broader sense (computer-related crime); any illegal behavior commited by means of, or in relation to, a computer system network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of computer system an network.5 Berdasarkan laporan tersebut dapat dimengerti bahwa cybercrime dibedakan menjadi 2 pengertian, yaitu dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, cybercrime adalah perbuatan yang tidak sah yang menjadikan komputer sebagi sasaran atau target kejahatan, baik pada keamanan sistem maupan datanya. Sedangkan cybercrime dalam arti luas merupakan keseluruhan bentuk kejahatan yang ditunjukan terhadap komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer. Pengertian

5

(60)

yang digunakan dalam istilah cybercrime adalah dalam pengertian luas.

Pengkategorian jenis cybercrime menjadi dua tersebut selaras dengan The Encyelopedia of Crime and Justice yang menjelaskan bahwa ada dua kategori kejahatan yang cybercrime, yaitu:

a. In the first, computer is a tool of a crime, such as froud, embezzlement, and thieft of property, or is used to plan manage a crime.

b. In the second, the computer is aobject of a crime, such as sabotage, theft or alteration of storage data, or theft of it service.6

Dari definisi yang diberikan oleh departemen kehakiman Amerika, penyalahgunaan komputer dibagi atas dua bidang utama. Pertama, adalah penggunaan komputer sebagia alat untuk melakukan kejahatan, contoh kasusnya adalah pencurian. Kemudian, yang kedua adalah komputer tersebut merupakan objek atau sasaran dari tindak kejahatan tersebut, contoh kasusnya adalah sabotase komputer sehingga tidak dapat berfungsi sebagimana mestinya.

Pengertian cybercrime menurut Prof Widodo adalah setiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan komputer sebagai sarana melakukan kejahatan, atau menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan. Semua kejahatan tersebut adalah bentuk-bentuk perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik dalam arti melawan hukum

6

(61)

secara material maupun melawan hukum secara formal.7 Kemudian, definisi lain mengenai kejahatan komputer ini dikeluarkan oleh Organization of European Community Development (OECD) yaitu sebagai berikut: “ any illegal, unethicall or unauthorized behavior

relating to the authomathic processing and/or the transmission of

data”.8

Dari definisi tersebut, kejahatan komputer ini termasuk segala akses illegal atau akses secara tidak sah terhadap suatu transmisi data. Sehingga telihat bahwa segala aktivitas yang tidak sah dalam suatu system komputer merupakan suatu kejahatan.

Batasan atau definisi dari kejahatan komputer juga diberikan oleh Andi Hamzah, menurut Andi Hamzah, bahwa “kejahatan di

bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”.9

Dari pengertian yang diberikan oleh Andi Hamzah dapat disimpulkan bahwa beliau memperluas pengertian kejahatan komputer, yaitu segala aktivitas tidak sah yang memanfaatkan komputer untuk tindak pidana. Sekecil apapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan komputer secara tidak sah atau illegal merupakan suatu kejahatan.

Cybercrime memiliki beberapa karakteristik, yaitu:10

7

Ibid., 8

Eddy Djunedi Karnasudiraja, 1993, Yurisprudensi Kejahatan Komputer, Jakarta, CV Tanjung Agung, hlm. 3.

9

Andi Hamzah, 1989, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 26.

10

(62)

a. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya.

b. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apa pun yang terhubung dengan internet.

c. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materill maupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasian informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensionla. d. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan

internet beserta aplikasinya.

e. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintas batas negara.

Cybercrime atau kejahatan dunia maya dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia juga sering disebut dengan kejahatan tindak pidana yang berkaitan dengan teknologi informasi, hal ini sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Donn B. Parker yang memberikan definisi mengenai penyalahgunaan komputer :“Computer abuse is broadly defined to be any incident associated

(63)

didefinisikan secara luas sebagai suatu kejadian yang berhubungan dengan teknologi komputer yang seorang korban menderita atau akan telah menderita kerugian dan seorang pelaku dengan sengaja memperoleh keuntungan atau akan telah memperoleh keuntungan”.11

Kejahatan dalam bidang teknologi informasi secara umum terdiri dari dua kelompok, yaitu :

a. Kejahatan konvensional yang menggunakan bidang teknologi informasi sebagai alat bantunya, contohnya pembelian barang dengan menggunakan nomor kartu kredit curian melalui media internet;

b. Kejahatan timbul setelah adanya internet, dengan menggunakan sistem komputer sebagai korbannya, contoh kejahatan ini ialah perusak situs internet (cracking), pengiriman virus atau program-program komputer yang bertujuan untuk merusak sistem kerja komputer.

Menurut Petrus Reinhard Golose, dalam kasus kejahatan dunia maya, baik korban maupun pelaku tidak berhadapan langsung dalam 1(satu) tempat kejadian perkara. Dalam beberapa kasus, baik korban maupun pelaku dapat berada pada negara yang berbeda. Hal tersebut menggambarkan bahwa kejahatan dunia maya merupakan salah satu bentuk kejahatan lintas negara (transnational crime), dan tak berbatas

11 Donn B.Parker, 1976, Crime by Computer, Hlm.12, „Andi Hamzah, 1993,

(64)

(borderless), tanpa kekerasan (non violence), tidak ada kontak fisik (no phisically contact) dan tanpa nama (anonimity).12

2. Pengaturan Tindak Pidana Cybercrime di Indonesia

a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang mengatur perbuatan yang dilarang yang termasuk tindak pidana cybercrime. Sebelum ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang ini yang digunakan untuk mengancam pidana bagi perbuatan yang dikategorikan dalam tindak pidana cybercrime. Namun undang-undang ini hanya mengatur beberapa tindak pidana yang termasuk tindak pidana cybercrime yang masih bersifat umum dan luas, dan hanya berkaitan dengan telekomunikasi, sehingga belum dapat mengakomudir tindak-tindak pidana yang berkaitan dengan komputer. Pasal 22 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :

1) Akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau 2) Akses ke jasa telekomunikasi; dan atau 3) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.”

“Pasal 38 yang berbunyi : “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi” “Pasal 40 yang berbunyi : “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”

12

Gambar

TABEL I PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
GAMBAR I JUMLAH KASUS YANG DITANGANI DFAT PUSLABFOR
GAMBAR II JENIS-JENIS BARANG BUKTI ELEKTRONIK YANG DITANGANI DFAT DI
TABEL II
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk tahap dream, pada kelompok ini berharap dengan mempunyai kemampuan yang meningkat dalam pencatatan keuangan usaha, maka dapat bersinergi dengan Lembaga Keuangan

Perlakuan dosis pupuk NPK terendah (25%) tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diduga bahwa dosis pupuk NPK dari persentasi rekomendasi yang digunakan sudah

Alat pelesap energi gempa pada makalah ini terdiri atas bagian yang paling mendasar berupa pelat metal yang bekerja dalam modus geser sederhana ( Gambar 6 ).. Pada keadaan

Sekalipun dalam beberapa kasus hukum dikemukakan bahwa seorang direktur nominee dapat bertindak untuk kepentingan pihak yang menunjuknya, hal ini hanyalah merupakan

Sehingga apa yang dilakukan oleh umat Islam dengan berbagai aksi damainya merupakan suatu manifestasi dari demokrasi sejati, yaitu suatu demokrasi yang didalamnya terpompa suatu nafas

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh

Fokus yang harus ditingkatkan dalam integrasi transportasi antarmoda di bandar udara antara lain perluasan fasilitas pendaftaran calon penumpang pesawat udara sebelum

Gambaran status gizi berdasarkan indeks tinggi badan per umur pada anak talasemia β mayor di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.. Djamil Padang memperlihatkan