• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN BENTUK PANAKAWAN WAYANG KULIT PURWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEANEKARAGAMAN BENTUK PANAKAWAN WAYANG KULIT PURWA"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

i

KEANEKARAGAMAN BENTUK PANAKAWAN

WAYANG KULIT PURWA

SKRIPSI

Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Seni Rupa Strata Satu

Oleh :

Nama : Dian Purbarini Nim : 2450406020 Program Studi : Seni Rupa/SI

JURUSAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

▸ Baca selengkapnya: teks suluk wayang kulit

(2)

ii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada :

hari : Kamis

tanggal : 17 Februari 2011

Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Drs. Dewa Made K., M.Pd. Drs. Syakir, M.Sn.

NIP. 195111181984031001 NIP. 196505131993031003

Penguji III, Penguji II,

Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd Drs. Syafii, M.Pd.

NIP.195008311975011001 NIP. 195908231985031001

Penguji I,

(3)

iii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Februari 2011

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

Hidup kita adalah hari ini bukan masa lalu ataupun masa depan, maka janganlah terus meratapi masa lalu dengan penyesalan dan memandang masa depan dengan ketakukan, tapi jalani hari ini dengan sebaik-baiknya (sumber : peneliti).

Persembahan:

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Bapak Ibuku tercinta atas kasih sayang dan do’a yang tiada hentinya untuk kesuksesan anaknya; 2. Kakakku Tyas Purbasari dan adikku Abdur

Rahman Al Basyir atas do’a dan dukungannya; 3. Akhlis Miftahun N. atas motivasi dan pelajaran

(5)

v

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang kulit Purwa. Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata, namun juga berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang;

2. Drs. Syafii, M.Pd, Ketua Jurusan Seni Rupa sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

3. Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini;

5. Bapak Ibuku tersayang yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materi, terimakasih atas doa dan kasih sayangnya.

6. Pamanku M. Ali Syafii atas bantuannya baik moral maupun materi sehingga skripsi ini bisa terwujud.

(6)

vi

8. Teman-teman kost Kinanthi, teman-teman Kontrakan Vera, Rini, Nanik, Meldut, Sumik, Jum, Karina, yang telah menyertai penulis selama ini, kalian adalah tokoh utama dalam kisah hidupku, thank’s for all.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik material maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal atas kebaikan yang telah mereka berikan selama ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua.

Semarang, Februari 2011 Peneliti,

(7)

vii

SARI

Purbarini, Dian 2010. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa. Seni Rupa. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I : Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd, Pembimbing II : Drs. Syafii, M.Pd

Kata kunci : Keanekaragaman Bentuk, panakawan, wayang kulit purwa.

Salah satu seni rupa tradisi yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya adalah seni wayang. Dalam pewayangan, panakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Selain memiliki karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh pewayangan lainnya, panakawan juga memiliki bentuk yang lucu dan unik. Gaya dan perbentukan panakawan juga bermacam-macam. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang keanekaragaman bentuk panakawan wayang kulit purwa meliputi perbentukan tokoh, busana dan atribut serta sunggingan/pewarnaan. Manfaat penelitian ini adalah sebagai referensi atau sumber pengembangan ilmu, acuan dan bahan pertimbangan untuk lebih melestarikan seni rupa tradisi khususnya wayang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sasaran penelitian adalah panakawan koleksi museum Radya Pustaka Surakarta, Museum Sono Budoyo Yogyakarta, Museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan dalang sudiharjo Jepara. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, wawancara, dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian menyatakan bahwa secara visual panakawan wayang kulit purwa beranekaragam. Keanekaragaman terdapat pada bentuk, sikap tangan, sikap kaki, sikap kepala, di samping itu juga ada yang sama/mirip pada perbentukan mata, hidung, mulut. Busana yang digunakan panakawan adalah sarung. Sedangkan atribut yang digunakan secara umum adalah anting, kalung, gelang, cincin dan senjata. Sedangkan pada Semar tidak memakai kalung dan senjata melainkan memakai sumping. Pewarnaan pada panakawan juga beranekaragam, ada dua warna tubuh yaitu hitam dan perada, warna wajah menggunakan warna putih dan perada. Warna-warna komplementer seperti merah, biru, hijau, kuning terdapat pada sembuliyan dan uncal wasta dan sampur/sabuk, sedangkan warna atribut menggunakan warna merah putih, biru, hijau dan kuning.

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .. i

HALAMAN PENGESAHAN ... .. ii

HALAMAN PERNYATAAN... .. iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN………... iv

PRAKATA ... .. v

SARI... vii

DAFTAR ISI……… viii

DAFTAR TABEL……… x

DAFTAR GAMBAR………... xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Masalah……….. 5

1.3 Tujuan……… 6

1.4 Manfaat………. . 6

1.5 Sistematika Skripsi……….……… 6

BAB II LANDASAN TEORETIS 2.1 Wayang sebagai Karya Seni tradisi……… 8

2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa………..………. 27

2.3 Tokoh Panakawan……… 38

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian………... 45

3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian………... 46

3.3 Sumber Data………... 46

(9)

ix

3.5 Teknik Analisis Data……….……….49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Latar Penelitian……… 52 4.2 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa………. 80

BAB V PENUTUP

5.1 SIMPULAN……….182 5.2 SARAN………183 DAFTAR PUSTAKA

(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Semar Wayang Kulit

Purwa ... 185 Tabel 2. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Gareng Wayang Kulit

Purwa ... 188 Tabel 3. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Petruk Wayang Kulit

Purwa ... 192 Tabel 4. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Bagong Wayang Kulit

(11)

xi Yogyakarta, c).Gareng gaya Cirebon, d). Gareng gaya Jawa Timuran ... 22

Gambar : 2.3 a). Petruk gaya Surakarta, b). Petruk gaya Yogyakarta, c).Petruk gaya Ratu Cirebon ... 26

Gambar : 2.4 a). Bagong gaya Surakarta, b). Bagong gaya Yogyakarta, c). Bagong gaya Cirebon. ... 29

Gambar : 2.5 Berbagai Bentuk Mata Wayang ... 31

Gambar : 4.2 Wayang Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta ... 58

Gambar : 4.3 Panakawan Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS... 59

Gambar : 4.4 Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 59

Gambar : 4.5 Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 60

Gambar : 4.6 Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 60

Gambar : 4.7 Museum Sono Budoyo Yogyakarta ... 61

Gambar : 4.8 Wayang Wahyu koleksi Museum SBY ... 63

Gambar : 4.9 Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 65

Gambar : 4.10 Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 65

Gambar : 4.11 Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 66

Gambar : 4.12 Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 66

(12)

xii

Gambar : 4.14 Museum Wayang Kekayon Yogyakarta ... 67

Gambar : 4.15 Salah Satu Ruang Pamer Museum WKY ... 68

Gambar : 4.16 Wayang Panakawan Madya Surakarta ... 71

Gambar : 4.17 Wayang Purwa Gaya Surakarta ... 72

Gambar : 4.18 Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati ... 72

Gambar : 4.19 Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati ... 73

Gambar : 4.20 Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 73

Gambar : 4.21 Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 74

Gambar : 4.22 Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 74

Gambar : 4.23 Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY... 75

Gambar : 4.24 Panakawan Koleksi Sudiharjo Jepara ... 78

Gambar : 4.25 Semar Koleksi Sudiharjo Jepara... 78

Gambar : 4.26 Gareng Koleksi Sudiharjo Jepara ... 78

Gambar : 4.27 Petruk Koleksi Sudiharjo Jepara ... 79

Gambar : 4.28 Bagong Koleksi Sudiharjo Jepara ... 79

Gambar : 4.29 Bentuk Tubuh Semar RPS ... 82

Gambar : 4.30 Mata Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 83

Gambar : 4.31 Hidung Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 83

Gambar : 4.32 Mulut Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 83

Gambar : 4.33 Bentuk Tubuh Semar Koleksi SBY ... 86

Gambar : 4.34 Mata Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 86

Gambar : 4.35 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 87

Gambar : 4.36 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 87

Gambar : 4.37 Bentuk Tubuh Semar Gaya Yogyakarta WKY ... 90

Gambar : 4.38 Mata Semar Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ... 90

Gambar : 4.39 Hidung Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 91

Gambar : 4.40 Mulut Semara Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 91

(13)

xiii

Gambar : 4.42 Hidung Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum

WKY ... 91

Gambar : 4.43 Mulut Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 92

Gambar : 4.44 Bentuk Tubuh Semar Koleksi Sudiharjo Jepara ... 94

Gambar : 4.45 Mata Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 94

Gambar : 4.46 Hidung Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 95

Gambar : 4.47 Mulut Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 95

Gambar : 4.48 Tubuh Gareng Gaya Surakarta Museum RPS ... 99

Gambar : 4.49 Mata Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 100

Gambar : 4.50 Mulut Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 100

Gambar : 4.51 Hidung Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 100

Gambar : 4.52 Tubuh Gareng Gaya Yogykarta Koleksi SBY ... 102

Gambar : 4.53 Mata Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 103

Gambar : 4.54 Hidung Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY... 103

Gambar : 4.55 Mulut Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 103

Gambar : 4.56 Tubuh Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY ... 106

Gambar : 4.57 Mata Gareng Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ... 107

Gambar : 4.58 Hidung Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 107

Gambar : 4.59 Mulut Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 107

Gambar : 4.60 Mata Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 108

Gambar : 4.61 Hidung Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 108

Gambar : 4.62 Mulut Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 108

(14)

xiv

Gambar : 4.64 Mata Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 111

Gambar : 4.65 Hidung Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 112

Gambar : 4.66 Mulut Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 112

Gambar : 4.67 Tubuh Petruk Gaya Surakarta Museum RPS ... 115

Gambar : 4.68 Mata Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 115

Gambar : 4.69 Hidung Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS... 155

Gambar : 4.70 Mulut Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 116

Gambar : 4.71 Tubuh Petruk Gaya Yogykarta Koleksi SBY ... 118

Gambar : 4.72 Mata Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 118

Gambar : 4.73 Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .... 118

Gambar : 4.74 Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 119

Gambar : 4.75 Tubuh Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY ... 121

Gambar : 4.76 Mata Petruk Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY... 121

Gambar : 4.77 Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 122

Gambar : 4.78 Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY .... 122

Gambar : 4.79 Mata Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 122

Gambar : 4.80 Hidung Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 122

Gambar : 4.81 Mulut Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 123

Gambar : 4.82 Tubuh Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 124

Gambar : 4.83 Mata Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara... 125

Gambar : 4.84 Hidung Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 125

Gambar : 4.85 Mulut Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 125

Gambar : 4.86 Tubuh Bagong Gaya Yogykarta Koleksi SBY ... 128

(15)

xv

Gambar : 4.88 Hidung Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum

SBY... 129

Gambar : 4.89 Mulut Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .... 129

Gambar : 4.90 Tubuh Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY ... 131

Gambar : 4.91 Mata Bagong Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ... 131

Gambar : 4.92 Hidung Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.93 Mulut Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.94 Mata Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.95 Hidung Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.96 Mulut Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 133

Gambar : 4.97 Tubuh Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 134

Gambar : 4.98 Mata Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 134

Gambar : 4.99 Hidung Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 135

Gambar : 4.100 Mulut Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 135

Gambar : 4.101 Anting Semar Koleksi Museum RPS ... 152

Gambar : 4.102 Gelang Semar Koleksi Museum RPS ... 152

Gambar : 4.103 Sunggingan pada Sabuk dan Sembuliyan ... 152

(16)

xvi

Gambar : 4.110 Sunggingan pada Gelang dan Anting Semar WKY ... 156

Gambar : 4.111 Sunggingan pada Sabuk Semar Pesisiran ... 158

Gambar : 4.112 Sunggingan pada Wajah dan Anting Semara Pesisiran ... 158

Gambar : 4.113 Sunggingan pada Sumping Semar Pesisiran ... 159

Gambar : 4.114 Sunggingan pada Busana Semar Pesisiran ... 160

Gambar : 4.115 Sunggingan pada Kalung Gareng RPS ... 161

Gambar : 4.116 Sunggingan pada Gelang Gareng RPS ... 162

Gambar : 4.117 Sunggingan pada Sabuk dan Senjata Gareng RPS ... 162

Gambar : 4.118 Busana Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY... 163

Gambar : 4.119 Sunggingan pada Wajah Gareng SBY ... 163

Gambar : 4.120 Sunggingan pada Anting dan Kalung Gareng SBY ... 164

Gambar : 4.121 Sunggingan pada Sarung Gareng WKY ... 165

Gambar : 4.122 Sunggingan pada Wajah Gareng WKY ... 165

Gambar : 4.123 Sunggingan pada Kalung dan Anting Gareng WKY... 166

Gambar : 4.124 Sunggingan pada Busana Gareng Pesisiran ... 167

Gambar : 4.125 Sunggingan pada Sabuk Gareng Pesisiran ... 167

Gambar : 4.126 Sunggingan pada Anting dan Kalung Gareng pesisiran ... 167

Gambar : 4.127 Sunggingan pada Wajah Gareng Pesisiran ... 168

Gambar : 4.128 Sunggingan pada Kalung dan Gelang Petruk RPS ... 169

Gambar : 4.129 Sunggingan pada Sarung Petruk RPS ... 170

Gambar : 4.130 Sunggingan pada Wajah Petruk RPS ... 170

Gambar : 4.131 Sunggingan pada Wajah Petruk SBY ... 171

Gambar : 4.132 Sunggingan pada Kalung Petruk SBY ... 171

Gambar : 4.133 Sunggingan pada Kalung Petruk WKY ... 172

Gambar : 4.134 Sunggingan pada Busana Petruk WKY ... 173

Gambar : 4.135 Sunggingan pada Wajah Petruk WKY ... 173

Gambar : 4.136 Sunggingan pada Busana Petruk Pesisiran ... 174

Gambar : 4.137 Sunggingan pada Wajah Petruk Pesisiran... 174

Gambar : 4.138 Sunggingan pada Senjata Petruk Pesisiran ... 175

(17)

xvii

Gambar : 4.140 Sunggingan pada Busana Bagong SBY ... 177

Gambar : 4.141 Sunggingan pada Wajah dan Atribut Bagong WKY ... 178

Gambar : 4.142 Sunggingan pada Busana dan Atribut Bagong WKY ... 178

Gambar : 4.143 Sunggingan pada Kalung Roda Bagong Pesisiran ... 179

Gambar : 4.144 Sunggingan pada Wajah Bagong Pesisiran ... 180

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Estetika Visual Panakawan…………...……….. 185

Lampiran 2. Gambar Panakawan Yogyakarta Koleksi Sagio…..…………. 202

Lampiran 3. Instrumen Penelitian……… ……….. 204

Lampiran 4. SK Pengangkatan Dosen Pembimbing Skripsi…………... 207

Lampiran 5. Lembar Konsultasi Bimbingan Skripsi……… ………… 208

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Budaya Indonesia saat ini, terpengaruh kuat oleh arus budaya asing. Hal ini disebabkan lemahnya upaya untuk melestarikan budaya sendiri. Jika tidak adanya upaya tersebut tidak mustahil budaya Indonesia berangsur-angsur akan semakin hilang. Oleh sebab itu kita harus kembali kepada identitas budaya yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa. Unsur-unsur budaya meliputi banyak hal, salah satunya adalah seni. Seni adalah hasil karya manusia, dengan seni manusia lebih peka, sebab ia merasakan keindahan, keselarasan, keseimbangan, irama, harmoni, proporsi.

Kesenian Indonesia beranekaragam termasuk seni tradisi. Seni rupa tradisi merupakan seni yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya, karena seni tradisi adalah sebuah wujud karakteristik dari suatu bangsa. Konsep penciptaan ini berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas pada sebuah budaya, itu bisa berupa aktivitas religius, aktivitas seremonial atau simbol-simbol yang menjadi bagian utuh dari aktivitas tersebut (http//www. galeri nasional.pdf/250310).

(20)

meski sama-sama wayang misalnya, antara wayang gaya Yogyakarta dan Soloterdapat perbedaan.

Wayang adalah salah satu dari seni tradisi yang bersifat kedaerahan serta memiliki karakteristik yang berbeda di setiap daerah. Wayang kulit purwa merupakan seni tradisi yang sangat populer di kalangan masyarakat yang tak lekang oleh waktu. Kesenian wayang merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat Jawa sepanjang zaman. Dalam seni pewayangan, digambarkan tingkah laku manusia sehari-hari, ada peranan kebathilan dan ada juga peranan kebajikan yang penuh dengan budi pekerti luhur.

Seni pewayangan di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, yang membedakannya adalah hadirnya tokoh panakawan pada pewayangan Indonesia, sedangkan di India tidak ada. Dalam cerita pewayangan, panakawan terdiri dari Semar, gareng, Petruk, Bagong adalah panakawan pihak baik yang mengabdi pada tokoh baik. Semar adalah dewa yang menyamar manusia dan turun ke bumi, yang bertugas untuk menjaga ketentraman. Semar adalah dewa yang diturunkan ke jagad raya, yang sebelumnya berwujud dewa dan berparas elok bernama Batara Ismaya.

(21)

meminta bantuan kepada Semar untuk menyelesaikan permasalahan yang dewa pun tidak bisa menanganinya.

Dalam beberapa adegan pewayangan, panakawan bahkan menjadi tokoh utama seperti halnya para kesatria. Misalnya dalam lakon Semar Mbangun Jati Diri, yang menjadikan Semar menjadi tokoh utamanya. Petruk Dadi Ratu, yang berkisah tentang Petruk yang menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbeh setelah ia melarikan ajimat Kalimasada. Begitu halnya dengan Gareng, ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama Pandubergola. Ia diangkat sebagai raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.

Panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu memihak kebenaran dan keadilan, serta meluruskan segala bentuk penyelewengan. Semar seorang pamomong yang suci, jujur, dan sederhana. Begitu juga dengan anak-anaknya yang meskipun selalu bertingkah konyol, tetapi baik hati dan jujur.

Dalam proyek studi karya Wijaya (2009) dan Hidayatusalam (2007) ternyata panakawan juga dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam berkarya. Dengan bentuknya yang unik, Wijaya dan Hidayatusalam mengeksplor panakawan dalam karyanya dengan berbagai bentuk yang imajiner namun tidak meninggalkan ciri khas aslinya.

(22)

oleh pengalaman estetis setiap orang yang menciptakan perwujudan wayang itu sendiri. Wayang panakawan merupakan salah satu hasil karya akal budi masyarakat Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Selain memiliki karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh pewayangan lainnya, panakawan juga memiliki bentuk yang lucu dan unik, lain dari yang lain. Setiap perwujudan dari panakawan mempunyai makna tersendiri. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Selain mengekpresikan sesuatu yang unik dan menarik, tampaknya bentuk panakawan secara visual juga beranekaragam. Bentuk panakawan yang unik dan berbeda dari tokoh wayang kulit purwa lainnya memiliki gejala menarik untuk dikaji, dipahami, dan dianalisis mengenai perwujudan visualnya. Mengingat sepengetahuan penulis belum ada penelitian terhadap keanekaragaman bentuk panakawan, maka perlu dilakukan suatu kajian secara mendalam dan kontekstual dengan latar yang dikaji.

(23)

sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.. Adapun panakawan yang dikaji dalam penelitian ini adalah panakawan wayang kulit purwa koleksi museum dan perorangan.

I.2 Rumusan Masalah

Dari seluruh uraian latar belakang di atas, maka masalah utama yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah keanekaragam bentuk panakawan wayang kulit purwa. Masalah utama dirinci menjadi tiga sub masalah yaitu perbentukan tokoh panakawaan wayang kulit purwa; busana dan atribut panakawan wayang kulit purwa; dan sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa meliputi perbentukan tokoh, busana dan atribut dan sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.

I.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :

I.4.I Bagi mahasiswa seni rupa, hasil penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi penelitian lebih lanjut.

(24)

I.4.3 Bagi instansi terkait yakni Dinas Pariwisa dan Kebudayaan, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan pertimbangan untuk lebih melestarikan seni rupa tradisi khususnya wayang.

I.5 Sistematika Skripsi

Guna mempermudah pemahaman para pembaca maka dikemukakan sistematika skripsi ini yang secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, bagian akhir.

Pada bagian awal skipsi ini terdiri dari lembar judul, persetujuan pembimbing, pengesahan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, abstrak, daftar isi, daftar gambar, daftar tabel, dan daftar lampiran.

Adapun pada bagian tengah skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing memuat pembahasan yang berbeda tetapi masih dalam satu keterkaitan tema.

BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika skripsi.

BAB II Tinjauan Pustaka. Menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang dimaksudkan sebagai kerangka acuan atau pedoman sebelum melaksanakan penelitian terutama berkaitan dengan masalah-masalah yang dibahas meliputi konsep pewayangan : pengertian wayang kulit purwa, asal usul wayang, gagrak wayang kulit purwa, pengertian panakawan, asal usul panakawan, perbentukan panakawan wayang kulit purwa.

(25)

penelitian, fokus dan sasaran penelitian, teknik pengumpulan data dan tehnik analisis data.

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi hasil uraian dari penelitian dan pembahasan, yaitu meliputi panakawan koleksi berbagai museum dan dalang Sudiharjo Jepara, sekilas mengenai gambaran umum museum dan dalang Suduharjo Jepara, keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa meliputi mata, hidung, mulut, busana/atribut dan sunggingan/pewanaan panakawan wayang kulit purwa.

(26)

8

BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.I Wayang sebagai Karya Seni Tradisi

2.I.I Pengertian Seni Tradisi

Menurut Bastomi (tt : 20) tradisi artinya turun temurun atau kebiasaan. Seni tradisional berarti suatu kesenian yang dihasilkan secara turun-temurun atau kebiasaan berdasarkan norma-norma, patron-patron atau pakem tertentu yang sudah berlaku. Tradisi meliputi banyak hal, salah satu diantaranya adalah seni.

Menurut Rohidi (2000:80) seni adalah suatu simbol yang termasuk dalam perangkat simbol pengungkapan perasaan atau simbol ekspresif. Demikian pula dengan karya seni yang merupakan bentuk ekspresi yang identik dengan simbol yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang mampu menyampaikan maksud dan makna tertentu.

(27)

magis dalam bentuk upacara-upacara yang menggunakan alat-alat akan melahirkan seni tradisional.

Dalam kaitannya dengan seni tradisi, sifat kedaerahan, etnik, mitos dan magis adalah komponen yang melatarbelakangi munculnya seni tradisi. Faktor utama yang melatarbelakangi munculnya seni tradisi adalah faktor lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Seni rupa tadisi yang sering kali mengangkat mengenai etnik dan kedaerahan, contohnya wayang.

2.I.2 Pengertian Wayang

Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan”. Dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh : bayang. Dalam bahasa Bugis : wayang atau bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata : baying artinya “barang”, yaitu “apa yang dapat dilihat dengan nyata”. Akar kata dari wayang adalah yang. akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat pada kata layang – “terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil ; royong – selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain; Poyang-payingan “berjalan sempoyongan, tidak tenang” dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian akar kata yang beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa dasarnya adalah : tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari (Mulyono, 1982:9).

(28)

bayang-bayang, maka dinamakan wayang, awayang atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukan wayang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang. Jadi pengertian wayang akhirnya menyebar luas sehingga berarti “pertunjukan pentas atau pentas dalam arti umum, sehingga sekarang misalnya orang berbicara tentang wayang topeng”.

Sagio dan Samsugi (1991 : 4) menjelaskan bahwa pengertian wayang menurut Pigeaud adalah boneka yang dipertunjukan (wayang itu sendiri); pertunjukan yang dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang mengandung pelajaran (wejangan), yaitu wayang purwa atau wayang kulit, yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument slendro).

2.I.3 Asal Usul Wayang

(29)

Soetarno (2007) menyebutkan ada beberapa pendapa dari beberapa ahli yang menyatakan mengenai asal kelahiran wayang, yaitu :

1). Wayang berasal dari China

Pendapat ini dikemukakan oleh Goslings, ia mengemukakan bahwa wayang kulit Jawa itu berasal dari China dengan alasan bahwa kata “Ringgit” bahasa krama “wayang itu berasal dari China. Pendapat ini didukung oleh Kwee Kek Beng yang menyatakan kata wayang itu berasal dari bahasa China, yaitu “Wayaah” bahasa Hokiyahatu “Woying” bahasa Mandarin atau juga “Woyong” bahasa Kanton.

2). Wayang berasal dari India

Pendapat ini dikemukakan oleh Krom dalam bukunya Gescheidenis van Nederlands Indie. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa wayang kulit Jawa menggunakan bahan cerita yang berasal dari india yaitu Mahabarata dan Ramayana. Selain itu juga didasarkan pada alasan di India juga mempunyai wayang dengan permainan bayangan yang disebut “Chayanataka”. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Pischel, ia menyatakan bahwa asal mula wayang dari india berasal dari kata rupapajivane yang terdapat dalam Mahabarata dan kata Rupparupakam yang terdapat daloam Therigatha.

3). Wayang berasal dari Jawa

(30)

karena itu orang Jawa untuk menghormati roh nenek moyangnya dengan cara membuat lukisan yang menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar itu dijatuhkan pada kelir atau gedhek/tembok. Sedangkan Rassers berpendapat bahwa wayang kulit itu berasal dari totemisme yang ada di Jawa pada zaman dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan prasejarah, yaitu kepercayaan segolongan manusia pada benda keramat.

Asal mula bentuk wayang kulit (purwa) sekarang dapat ditelusuri dalam cerita Ramayana di relief candi Panataran ( JawaTimur 1350-1369). Pola tersebut mas ih dipertahankan pada wayang kulit Bali. Berangkat dari pola dasar di candi Panataran, bentuk wayang lambat laun berkembang dan mencapai puncak pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 masa Sri Susuhunan Paku Buwono IV dan Paku Buwono IX di Surakarta atau masa Sri sultan Hamengku buwono V, VI, VII dan Paku Buwono Alam I, II di Jogjakarta. Di candi Prambanan (Jawa Tengah) terdapat cerita Ramayana dalam bentuk relief dan pahatan dekoratif. Namun tidak dapat disimpulkan bahwa pola itu sumber bentuk wayang kulit/purwa yang ada sekarang (Ismunandar, 1994 : 61).

2.1.4 Bentuk Visual Wayang Kulit Purwa

(31)

busana/atribut-atribut yang di kenakan, wanda/karakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, hidung dan mulut, dan sunggingan/pewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneneliti pada bagian mata, hidung, mulut, sunggingan/pewarnaan dan busana/atribut panakawan wayang kulit purwa.

2.1.4.1 Bentuk Mata

Menurut Widodo, bentuk-bentuk mata wayang adalah mata gabahan tunduk, contoh Arjuna, Puntadewa, Pandudewanata; mata kedelai, contoh Drupada, Salya, Udawa; mata kedondong, contoh patih Tuhayata, Kartamarma; mata bulat, contoh Arya Bima, Arya Gatut Kaca; mata penanggalan, contoh Pandita Durna, Raksasa Cakil; mata kelipan, contoh Semar, Sukrasana, Kalabendana. Sedangkan menurut Sagio dan Ir. Samsugi (1988:124) bentuk mata yang merupakan bagian dari muka wayang adalah mata liyepan (gabahan), kedhelen, thelengan, peten, plelengan, kiyipan, kiyeran (penanggalan), mata wuta, dan mata kapi.

1). Mata liyepan

(32)

2). Mata kedhelen

Bentuk mata ini biji matanya mirip dengan biji kedelai. Terdapat bersama hidung Sembada dan mulut salitan. contoh prabu Baladewa, Resi Seta, Prabu Matswapati.

3). Mata thelengan

Mata thelengan memiliki biji mata bundar (mirip lingkaran). Terdapat bersama-sama hidung dhempok dan mulut salitan misalnya pada Gatutkaca, Bima Suyudana dan Antareja.

4). Mata peten

Bentuk biji mata peten menyerupai buah petai. Terdapat bersama-sama hidung dhempok, mulut salitan dan gusen alus, misalnya pada Citraksi.

5). Mata plelengan

Ditinjau dari bentuknya hampir sama dengan mata thelengan. Jika disungging biji matanya diberi warna emas, putih, merah dan hitam. pada mata plelengan juga kelihatan bulu mata. Perbedaan lain dengan mata thelengan, pada mata plelengan terdapat tatahan langgat bubuk mengelilingi bentuk luar mata. Plelengan disebut juga thelengan. Wayang yang bermata plelengan misalnya Dasamuka, Dursasana, Indrajit, Burisrawa.

6). Mata kiyipan

(33)

8). Mata Wuta

Bentuk mata ini untuk menggambarkan mata buta, tidak tampak biji matanya misalnya Destarasta.

9). Mata kapi

Mempunyai dua biji mata yang berbentuk bundar. Disungging seperti mata plelengan. Pada mata kapi terdapat alis yang dipahat. Misalnya Anoman, Sugriwa dan Subali.

10). Mata Belis

Bentuknya seperti mata plelengan, tapi dua buah. Disungging juga seperti mata plelengan. Terdapat alis yang ditatah. Biasanya terdapat pada tokoh raksasa. misalnya Kumbakarna dan Prahastha.

11). Mata Rembesan

Mata ini bentuknya hampir sama dengan mata kelipan. Pada sunggingan di bawah biji mata diberi warna merah. Terdapat khusus pada tokoh Semar.

12) Mata Keran

(34)

Gambar : 2.6

Jenis-jenis Mata Sumber ; Sagio dan Widodo

2.1.4.2 Bentuk Hidung

Menurut Sagio dan Samsugi (1988 : 120), hidung dalam wayang kulit adalah ambangir, sembada, dempok, mungkal Gerang, nyantik palwa, bunder dan nemplik.

1) Hidung ambangir

(35)

2) Hidung sembada

Hidung ini hampir sama bentuknya dengan hidung ambangir, hanya saja ukurannya pada umumnya lebih besar. Terdapat pada wayang kelompok Katongan atau sebagian kelompok gagahan. Hidung sembada biasanya diikuti dengan mata kedelen dan mulut salitan. Contoh Setyaki, Seta, Baladewa dan Aswatama.

3) Hidung Dhempok

Bentuknuya mirip dengan ujung jari tangan. biasanya disertai dengan mata berbentuk thelengan dan bermulut salitan. Terdapat pada sebagian kelompok gagahan. Misalnya pada Gatutkaca, Bima, Dasamuka, Antareja.

4) Hidung mungkal gerang

Bentuk hidung ini hampir sama dengan hidung dhempok. Tetapi ujungnya sedikit lebih runcing. Disebut mungkal gerang diduga karena bentuknya yang menyerupai ungkal (batu asah) yang telah gerang (aus). Hidung jenis ini terdapat bersama-sama dengan mata plelengan dan mulut gusen. contoh Dasamuka, Indrajit, Burisrawa dan Dursasana.

5) Hidung medang

Bentuk hidung ini seperti ujung pedang dan biasanya mencuat ke atas. terdapat bersama-sama dengan mulut prengesan atau gusen dan mata penanggalan. Misalnya pada Cakil dan Narada.

6) Hidung nyantik palwa

(36)

ujungnya seperti haluan perahu. Bentuk hidung ini terdapat bersama-sama dengan mulut ngablak, mata belis. Misalnya Kumbakarna, Niwatakawaca dan Prahasta. 7) Hidung bunder

Bentuk hidung ini bunder (mirip dengan lingkaran). Terdapat pada wayang dalam bentuk dhagelan, misalnya Nala Gareng.

8) Hidung Nemlik

Bentuk hidung nemlik pada umumnya lebih kecil dari pada hidung ynag lain. Terdapat pada tokoh-tokoh kera. Contoh Anoman dan Togog.

Gambar : 2.7 Jenis-jenis hidung Sumber : Sagio dan Widodo

2.1.4.3 Bentuk Mulut

(37)

Wijaya dan prabu Basudewa, kesemuanya tidak mempunyai anak gigi di muka gigi depan. Wayang halusan yang mempunyai anak gigi depan yaitu: untuk yang bermata kedelai Arya Setyaki sampai Prabu Baladewa dan untuk yang bermata bulat yaitu Arya Gatutkaca dan sejenisnya. Sedangkan menurut Sagio dan Samsugi (1988 : 127) seperti halnya dengan mata dan hidung, mulut wayang banyak ragamnya. Karakter tokoh dalam cerita wayang mempengaruhi bentuk mulut. Jenis-jenis diantaranya adalah mulut salitan, mulut mingkem, mulut mesem, mulut gusen, mulut mrenges, mulut anjeber dan mulut ngablak. Berikut adalah gambar jenis-jenis mulut di atas :

1). Mulut Salitan

Biasanya terdapat pada wayang mempunyai karakter baik, misalnya Kresna, Gatutkaca dan Lesmana. Sebenarnya salitan merupakan sebutan untuk lengkungan mulut bagian belakang. Dalam mulut salitan tampak unton-unton yang menggambarkan gigi. Banyaknya unton-unton tiga buah. Kadang-kadang di depan unton-unton pertama (paling depan) terdapat seperti unton-unton kecil yang disebut slilitan. Pada wayang kelompok bambangan dan gagahan yang bermulut salitan ada yang menggunakan slilitan ada yang tidak.

2) Mulut mingkem

(38)

3). Mulut mesem

Mesem (Jawa) artinya tersenyum. Biasanya terdapat pada wayang kelompok dhagelan yang digambarkan murah senyum dan bersuasana gembira, Contohnya pada Petruk dan Gareng.

4) Mulut Gusen

Ciri dan bentuk mulut gusen ialah bahwa gigi dan gusi bagian atas tampak. unton-unton (gigi) berjumlah tiga buah ditambah dengan sebuah gigi taring yang letaknya paling belakang. Kadang-kadang ditemukan pula slilitan di depan gigi terdepan. Bentuk slilitan pada wayang bermulut gusen berbeda dengan yang bermulut salitan. Biasanya terdapat bersama-sama dengan mata plelengan dan mulut mungkal gerang. Misalnya Dasamuka, Indrajit dan Pragota. Ditemukan juga wayang bermulut salitan yang tampak gusi atasnya, dengan unton-unton tiga buah tanpa taring disebut gusen alus. Mulut gusen alus disertai hidung ambangir atau dhempok, mata liyepan, atau gabahan, misalnya Citraksi dan Wibisana (ketika berada di Pancawati pertama kali) dan Bogagenta.

5) Mulut Mrenges

Mulut mrenges tampak sedikit terbuka sehingga gigi dan gusi rahang atas dan bawah kelihatan jelas. Biasanya terdapat bersama-sama mata plelengan atau penanggalan. Misalnya Cakil dan Sumali.

6) Mulut anjeber

(39)

7) Mulut ngablak

Mulut ngablak juga terbuka lebar degan gigi-gigi yang pada umumnya besar. Terdapat bersama-sama mata belis, plelengan dan kliyipan, serta hidung nyathik palwa.Contohnya Kumbakarna, Prahasta dan Kala Sekipu.

Gambar : 2.8 Jenis-jenis Mulut Sumber : Sagio dan Widodo

2.1.4.4 Busana dan Atribut Wayang

(40)

tergantung kedudukan dan perannya dalam pewayangan, sebagai contoh raksasa kumbakarna di bawah ini :

Keterangan Gambar : 2.9 :

Gambar : 2.10 Busana dan atribut Wayang

Sumber : http://wayangku.wordpress.com//120610)

Keterangan Gambar :

01. Jamang Lidi 02. Jamang 03. Mahkota 04. Tali Garuda 05. Utah-utahan 06. Dawala/Tali 07. Sumping 08. Praba

(41)

15. Timang Slepe 16. Tali Sabuk 17. Gelang 18. Kampuh/ Dodot 19. Uncal wastra 20. Badong

21. Uncal kencana 22. Celana pendek 23. Celana Panjang 24. Kunca

25. Gelang kaki

2.1.4.5 Sunggingan Wayang Kulit Purwa

Warna adalah kualitas rupa yang dapat membedakan kedua objek identik raut, ukuran, dan nilai gelap terangnya (Sunaryo, 2002:12 ). Pulasan sendiri juga sering disebut dengan kata sunggingan. Untuk mewarnai wayang diperlukan beberapa tahap pulasan (polesan).

Sistem percampuran dan perpaduan warna dapat dijumpai pada pewarnaan wayang kulit. Dalam menyungging wayang, orang Jawa sangat berpedoman pada sistem warna Jawa. Menyungging wayang sudah menggunakan warna putih untuk menciptakan nada warna. Perpaduan monokromatik dan analogus dapat dijumpai pada teknik sunggingan wayang. Tentu saja pewarnaan wayang bagi orang Jawa tidak sembarang, melainkan berpedoman pada kaidah-kaidah pewarnaan wayang yang meliputi aspek estetis dan simbolis. Hal ini dilakukan karena orang Jawa sangat menjunjung tradisi dan nilai-nilai kebudayaan, terutama dalam melestarikan wayang yang menjadi pedoman kehidupan orang Jawa.

Menurut Hermawati, dkk (2006 :72-82), ada beberapa tahapan dalam proses menyungging wayang, yakni :

(42)

cat pokok, biasanya terbuat dari ; putih dari tulang dibakar, kuning dari atal batu, yaitu atal utuh yang belum menjadi serbuk, nila dibuat dari nila werdi, yakni untuk kain batik, hitam dibuat dari hoyan, pewarna hitam dibuat dari langes, kukus lampu, merah dari gincu merah.

Bahan-bahan tersebut masing-masing dicampur dengan bahan perekat dari ancur/arabic gom/lem arab yang masih berupa lempengan.

Tahap kedua, proses pewarnaan. Sebelum proses mewarna, hal utama yang harus dilakukan yakni, menggosok wayang kulit yang hendak disungging dengan kertas amplas atau gelas sampai halus untuk menghilangkan sisa-sisa bekas tatahan, agar mudah disungging dan cat-catnya melekat dengan baik. Adapun urut-urutan menyungging wayang kulit, yakni :

Andasari, proses ini adalah memberi warna putih atau kuning pada seluruh bagian wayang kulit, secara rata dan tipis. Nyengo atau menghitamkan, yakni memberi warna hitam pada seluruh bagian-bagian wayang yang seharusnya berwarna hitam misalnya, bagian kepala, suluhan(bagian mata), muka, gelung, bodolan, gimbalan, semua jenis seritan(rambut), harus sampai pada bagian dalam agar tidak belang seperti uban. Angrodo, pengenaan perada (warna keemas-emasan), yang perlu diperada adalah perlengkapan pakaian, misalnya : perhiasan-perhiasan, jamang, kawatan, uncal kencana, dan sebagainya.

(43)

Angjambon, memberi warna merah muda, pengecatan jambon dilakukan setelah amepesi. Bagian-bagian yang dicat jambon adalah : jamang, garuda, kelat bau, ujung-ujung mas-masan, yang serba sembuliyan, warna-warna harus berselang-seling, jangan sampai warna-warna yang berdekatan hampir sama (tumbuk).

Menguningkan, proses ini ialah memberi warna kuning, misal pada jamang, sumping, patran (daun), dawala (tali jamang), kalung, dan sebagainya. Cat kuning tidak hanya untuk hijau saja, sebagian juga untuk sinar kapuranta (merah kekuning-kuningan). Mijenen, memberi warna hijau muda, dalam proses warna hijau muda ini digunakan untuk membuat kuning menjadi lebih tua yang hendak dijadikan sinar hijau. Memberi warna biru muda atau mengapurantakan, proses ini memberi warna biru muda, kemudian mewarnai kapuranta (merah kekuning-kuningan). Proses ini dalam hal menyungging wayang disebut ngenem-enemi. Warna biru atau kapuranta digunakan pada : muka garuda, dawala, lung (garis-garis melengkung) untuk praba. Nyawi, proses ini adalah membuat coretan-coretan tipis pada perlengkapan pakaian wayang yang berlukiskan wastra agar terlihat penuh dan rumit. Selain nyawi, ada proses drenjemi yakni memberi titik-titik lembut pada bagian yang tidak patut disawi.

(44)

Angulat-ulati, berasal dari kata ulat yang berarti air muka. Angulat-ulati, memberikan perwatakan pada wajah wayang, misalnya membuat alis, mempertegas biji mata, membuat godek, memperjelas bibir dan gigi wayang sesuai dengan karakter masing -masing tokoh wayang yang di pulas. Seorang tukang pulas dituntut juga menguasai karakter wayang yang disunggingnya, sehingga tidak lari dari karakter yang sebenarnya. Angulat-ulati berarti memberi lukisan air muka. Misal, ketika melukiskan pusat mata hendaklah tidak ditengah-tengah sekali, tetapi agak maju sedikit.

Angedus, proses memandikan wayang, agar warna semakin mengkilat dan tahan lama. Demikianlah beberapa tahapan dalam menyungging wayang. Menghidupkan air mukanya, itulah pekerjaan terakhir dan menghasilkan wayang paripurna, setelah pemasangan gapit dan penyambungan tangan.

2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa

(45)

Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa. Pada pemerintahan Pakubuono III pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini adalah masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat dengan diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain itu wayang gaya Surakarta juga diperamping sehingga memudahkan dalang dalam melakukan sabet atau olah wayang.

(46)

mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya menggunakan keris (www.gagrak wayang kulit purwa.pdf//030410).

Berbicara masalah gagrak dalam konsep wayang disebut dengan gaya dalam seni selalu terkait dengan istilah aliran seni. Gaya atau corak, langgam maupun style ( still ) sebenarnya berurusan dengan bentuk luar sesuatu karya seni. Sebenarnya, yang dimaksud gaya wayang kulit purwa disini yaitu : Suatu terminology dalam dunia seni yang memberi keterangan ragam tentang adanya corak tertentu, sehingga masing-masing ragam dapat dilihat dan dibedakan dengan jelas. Gaya ini tidak hanya terbatas pada perwujudan wayangnya saja seperti ukuran wayang, jenis tatahan dan sunggingannya, namun juga meliputi pementasannya yakni tari, suluk, dan iringannya ( Sagio dan Ir. Samsugi:13 ).

Berdasarkan berbagai sumber (www.gagrak wayang wayang kulit purwa//030410); Sularno (2010), www/wapedia/mobi/id/Banyumas/260610) ada berbagai macam gagrak wayang kulit yaitu gagrak/gaya Surakarta, Yoyakarta, Jawa Timuran, Banyumasan, Cirebonan dan lain-lain semuanya memiliki perbedaan dan memiliki ciri yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan lebih banyak membahas mengenai wayang gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta dan Pesisiran.

(47)

keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuran/proporsi wayang, busana/atribut-atribut yang dikenakan, wanda/karakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, bentuk-bentuk hidung, bentuk mulut dan sunggingan/pewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneliti pada bagian mata, hidung, mulut, busana/atribut-atribut dan sunggingan/pewarnaan saja

2.3 Tokoh Panakawan

Kata panakawan menurut pedalangan berasal dari kata pana yang artinya cerdik, jelas, terang sekali atau cermat dalam pengamatan dan kawan yang berarti teman. Jadi panakawan berati teman atau pamong yang sangat (pana) cerdik sekali, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan luas dan pengamatan yang tajam dan cermat (secara tegasnya panakawan adalah pamong/orang kepercayaan yang dapat tanggap ing sasmita dan limpad pasang ing grahita). Jadi sesungguhnya panakawan bukan sebagai pelayan melainkan “abdi” (Mulyono, 1989:68).

Panakawan secara lahiriah adalah sebagai simbol atau suatu pola struktur dari “pembantu pimpinan” yang sangat ideal. Artinya bahwa panakawan itu adalah “abdi” (bukan pelayan). Ajudan itu hendaknya memiliki watak “wicaksana”, dapat dipercaya, jujur, panjang nalar dan rileks/tenang serta berani menghadapi segala keadaan dan persoalan, baik yang rumit maupun pelik (Mulyono, 1989:68).

(48)

mengarahkan, menghibur, memberi semangat dan motivasi. Hampir pada jenis wayang memiliki panakawan, namun yang paling terkenal adalah para panakawan pada wayang purwa yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Tokoh panakawan menggambarkan rakyat biasa yang mengabdi pada tuannya. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong mengabdi pada para satria yang baik budi. Sedangkan panakawan yang mengabdi pada para raja atau satria yang dipihak jahat terdapat Togog dan Sarawita atau Bilung. Dalam wayang terdapat pula abdi wanita, yang paling dikenal ialah Limbuk dan Cangik. Limbuk berbadan gemuk sedangkan Cangik berbadan kecil dan Kurus. Para abdi atau panakawan umumnya sebagai penghibur tuannya, tetapi tidak jarang pula mereka juga berperan sebagai penasehat.

Dalam wayang Jawa karakter panakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Panakawan adalah para pembantu dan pengasuh setia Pandawa. Dalam wayang kulit, panakawan ini paling sering muncul dalam gara-gara, yaitu babak pertujukan yang seringkali berisi lelucon maupun wejangan.

2.3.1 Berbagai Versi Panakawan Wayang Kulit Purwa di Jawa

2.3.1.1 Semar

2.3.1.1.1 Tokoh Semar dalam Cerita Pewayangan

(49)

rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula. Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119).

Semar adalah salah satu nama panakawan dalam kisah pewayangan yang menjadi pengasuh dari Pandawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Nama lain Semar adalah Badranaya, Naya Antaka, Janggan Asmarasanta, Boga Sampir, Ismaya, Duda Nanang Nunung. Mekipun ia berwujud manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para dewa. Domisili Semar adalah padepokan Karang Kadempel. Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh

panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa

Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa (Setyani, 2008).

(50)

bernama Dewi Retnawati, jadi istri Sang Resi Kanumayasa. Semarasanta lalu nyantrik pada sang resi dan dipanggil Janggan Semarasanta. Sang Janggan Semarasanta itu lalu jadi pamong keturunan sang Resi Kanumayasa, hanya sampai para Pandawa Raden Harjuna. Sedangkan kalau ada putra Raden Janakandan diikuti oleh Semar itu hanya silihan saja sebagai teman supaya bisa meramaikan pakeliran. Semar berbadan hitam, warnanya hitam berarti tetap tidak berubah (langgeng), menjadi ratu di jagad Sunyaruri, yaitu di alam sunyi. Kalau memperlihatkan diri dibumi hanya jadi tuwanggana, yaitu pamong keturunan Sang Manik Maya.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot,

Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut. Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang

Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar (http//www.Semar//090810).

2.3.1.1.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Semar

(51)

potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata.

Menurut Siswoharsoyo (1953 : 68) seperti yang dikutip Widyawati (2009 : 710) Semar itu dewa yang berbadan manusia, berbentuk Semamar membingungkan, laki-laki bukan, wanita pun bukan, cebol, badannya hitam gemuk, bulat, tidak muda tidak tua,dikepalanya ada kuncung jadi kelihatan seperti bocah, makanya dia punya ciri sebentar-sebentar menangis, senang menangis, susah juga menangis karena selamanyatidak tahu senang dan tidak tahu susah.

(52)

a) b)

c) d)

Gambar : 2.1

a). Semar gaya Surakarta, b) Semar gaya Yogyakarta, c). Semar gaya Jawa Timuran, d). Semar gaya Cirebon

(Sumber : http//www.Semar//090810

2.3.1.2 Gareng

2.3.1.2.1 Tokoh Gareng dalam Cerita Pewayangan

(53)

adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul. Selain itu Gareng berhidung besar dan matanya julig. Gareng mengkhususkan dirinya pada permainan kata-kata insinuasi yang lihai ketimbang dalam dagelan yang kasar.

Menurut Widyawati (2009 : 221) Gareng adalah seorang satria tampan yang bernama Bambang Sukadadi dari padepokan Bluluktiba. Setelah selesai bertapa, ia kemudian bertemu dengan Bambang Pecrupanyukilan dari padepokan Kembang Sore yang tak lain adalah Petruk. Mereka saling mengadu kekuatan serta kesaktiannya. Dalam perkelahian tersebut mereka dilerai oleh bathara Ismaya dan setelah diberikan nasihat-nasihat mereka berubah rupa dan wujudnya. Kemudian kedua satria tersebut deberi nama Gareng untuk Bambang Sukadadi dan Petruk untuk Bambang Pecrupanyukilan. Kedua insan tersebut akhirnya menjadi pengikut Batara Ismaya yang berwujud Semar dan diakui sebagai anak-anaknya sendiri.

(54)

(Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu. Dikarenakan kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

2.3.1.2.1 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Gareng

(55)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar : 2.2

a). Gareng Gaya Surakarta, b). Gareng Gaya Yogyakarta, c) Gareng Gaya Cirebon, d). Gareng Gaya Jawa Timur

(Sumber : http/www.Gareng.co.id//090810)

(56)

2.3.1.3 Petruk

2.3.1.3.1 Tokoh Petruk dalam Cerita Pewayangan

Petruk adalah nama dari salah satu panakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah. Menurut pedalangan, Petruk adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.

Bambang Pecrupanyukilan berniat mengadu kesaktiannya, kemudian di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta

(57)

Menurut Widyawati (2009 : 221) Petruk adalah seorang satria tampan bernama Bambang Pecrupanyukilan dari padepokan kembang sore. Setelah menyelesaikan tapanya, ia ingin menguji kesaktiannya. Ditengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukadadi dari padepokan Bluluktiba, karena sama-sama ingin membuktikan kekuatan dan kesaktiannya, mereka pun berkelahi, tidak ada yang menang tidak ada yang kalah, hingga mereka dipisahkan oleh Batara Ismaya yaitu Semar. Keduanya menjadi pengikut Semar dan dianggap sebagai ank kandung sendiri oleh Semar. Bambang Pecrupanyukilan diberi nama Petruk sedangkan bambang Sukadadi diberi nama Gareng.

Menurut Usman (2010:42) Petruk dan panakawan yang lain (Semar,

Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Di sinilah saat mulai adanya panakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nama ”parepat/prepat”.

(58)

yang tidak bisa diduga. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel (http/www.Petruk.org.com//24/0910).

2.3.1.3.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Petruk

Menurut Usman (2010 : 42) Petruk terkemuka karena tubuhnya yang kurus, mulutnya yang sangat besar dan banyak makan, serta hidungnya yang sangat panjang dan melit. tubuhnya panjang dengan tangan yang panjang dan juga hidung tubuh yang panjang.

(59)

ketingal kera (kurus), awak-awakan limrahipun cemeng (badan warna hitam) ( http://www.wikipedia//com).

(a) (b)

(c)

Gambar : 2.3

a). Petruk Gaya Surakart, b). Petruk Gaya Yogyakarta, c) Petruk Ratu Cirebon (Sumber : www.wayang petruk//230410)

2.3.1.4 Bagong

2.3.1.4.1 Tokoh Bagong dalam Cerita Pewayangan

(60)

Kanumanasa sampai Sang Arjuna. Lalu ia diberi teman yang diciptakan dari bayangan Sang Ismaya. Bayangan tersebut lalu berbentuk wujud bulat, gemuk, matanya lebar, mulutnya juga lebar, bibirnya menggantung memakai Gombak. Bisa menjadi wujud seperti itu adalah kehendak Ywang Kang Murbeng Pasthi, sebagai teman Batara Manik Maya (Batara Guru). Bagong itu artinya Gombak, ketika jaman dahulu, setiap bocah banyak yang digombak supaya awet muda seperti bocah kecil. Begitu arti diadakannya wayang Bagong, asalnya dari kata Bagong atau Gombak.

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para

dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung

meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram (http//www.bagong.org//24/09/10). Selanjutnya dalam sumber tersebut dijelaskan raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda. Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan.

(61)

Panjang Mas tetap mempertahankannya. Namun, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang panakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.

2.3.1.4.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Bagong

(62)

( a) (b)

(c)

Gambar : 2.4

a). Raja Gaya Surakarta b). Bagong Gaya Kyai Inten Yogyakarta c). Gambar Grafis Wayang Kulit Purwa Gagrak Cirebon

(63)

45

BAB III

METODE PENELITIAN

3.I Pendekatan Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan metode ilmiah. Metode adalah suatu cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan ( Koentjaraningrat,1987 : 14). Dalam penelitian ini supaya tujuan yang diharapkan tercapai maka harus ditetapkan metode penelitian yang tepat.

Sesuai dengan pokok permasalah yang dikaji, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang mempunyai sifat deskriptif. Artinya permasalahan yang dibahas dalam penelitian tidak berkenaan dengan angka-angka, tetapi bertujuan menggambarkan atau menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan keadaan atau status fenomena (Moleong, 1994: 103).

(64)

3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian

Penelitian ini mengambil objek wayang panakawan di museum-museum dan koleksi perorangan meliputi museum Sono Bodoyo dan museum wayang Kekayon Yogyakarta, Museun Radya Pustaka Surakarta dan koleksi pribadi dalang di daerah Jepara yaitu bapak Sudiharjo.

Sasaran penelitian ini adalah panakawan wayang kulit purwa dari berbagai versi, Satuan-satuan masalah yang dikaji adalah keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa ditinjau dari berbagai versi. Fokus kajian tertuju pada upaya untuk mengidentifikasi, memahami, dan menjelaskan secara kualitatif terhadap masalah-masalah tersebut. Untuk memperoleh data empiris penulis mengambil sampel panakawan wayang kulit purwa dari museum Radya pustaka Surakarta, museum Sono Budoyo dan museum Wayang Kekayon Yogyakarta, dan koleksi pribadi dalang di daerah Jepara yaitu bapak Sudiharjo.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang ada dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Untuk mempermudah mengidentifikasi sumber data, Suharsimi (2006:129) mengklasifikasikannya menjadi tiga tingkatan huruf p dari bahasa Inggris yaitu :

1. person, sumber data berupa orang. Maksudnya sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket,

(65)

warna) dan bergerak (misalnya aktivitas, kinerja, laju kendaraan, nyannyian, gerak tari, dan lain-lain), dan

3. paper, sumber data berupa simbol. Maksudnya sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, atau simbol-simbol lain.

Sumber data dalam penelitian ini tergolong sumber data person, place and paper. Dikatakan person karena data dapat diperoleh dari pemilik wayang panakawan dan Staf bagian koleksi dan konservasi museum Radya Pustaka Surakarta, museum Sono Budoyo dan museum Wayang Kekayon Yogyakarta melalui observasi sedangkan dikatakan place karena sumber datanya berupa wujud benda yang diambil dari suatu tempat. Sumber datanya adalah wayang panakawan koleksi museum dan milik pribadi. Sedangkan dikatakan paper karena dalam penelitian ini juga menggunakan data yang berupa gambar dari buku-buku dan juga internet. Museum yang digunakan dalam penelitian ini adalah museum Radyapustaka Surakarta, museum Sono Budoyo, museum wayang kekayon Yogjakarta dan koleksi perorangan bapak Sudiharjo.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang lebih banyak menampilkan uraian kata-kata dari pada angka. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam usaha memperoleh data di lapangan ialah :

3.4.I Observasi

(66)

sebelumnya. Arikunto (1996:145) menyatakan bahwa teknik observasi dalam pengertian psikologi meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.

Teknik observasi dilakukan di lapangan dengan penelitian pengamatan langsung terhadap segala hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara cermat mengenai keanekaragaman panakawan dilihat dari segi perbentukan visualnya. Dalam penelitian ini lebih mengutamakan pada keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa, meliputi perbentukan tokoh, busana/atribut dan pewarnaan/sunggingan. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan observasi langsung, yaitu peneliti terjun langsung ke tempat penelitian dengan menggunakan alat bantu tulis dan kamera untuk membantu peneliti mendokumentasikan wayang panakawan.

3.4.2 Wawancara

Teknik wawancara merupakan teknik utama yang lebih banyak digunakan untuk mencari data lapangan. Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka dengan maksud tertentu. Dalam penelitian kualitatif, wawancara merupakan teknik utama dalam pengumpulan data karena dengan wawancara akan dapat memperoleh data selain yang diketahui dan dialami oleh subjek juga yang tersembunyi, yang melatarbelakangi perilaku subjek (Ismiyanto, 2003:MP/X/8).

(67)

3.4.3 Dokumentasi

Dokumentasi atau studi dokumenter merupakan teknik pengumpulan data penelitian melalui dan dengan menggunakan dokumen-dokumen atau peninggalan (sudah ada penelitian sebelum dilakukan) yang relevan dengan masalah penelitian (Ismiyanto, 2003:MP/X/9).

Melalui teknik dokumentasi dapat disimpulkan beberapa dokumen, data-data dan gambaran yang berkaitan dengan permasalahan yang diungkap seperti pengumpulan data dengan melihat catatan-catatan penting yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan yakni mengenai panakawan wayang kulit purwa.

Lebih lanjut penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data yang dibutuhkan untuk penelitian meliputi data-data berupa dokumen tertulis, foto-foto dan gambar yang ada hubungannya dengan objek penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data

(68)

3.5.I Reduksi data

Proses reduksi data meliputi pemilihan, penyederhanaan data-data kasar yang diperoleh dari lapangan. Kemudian diseleksi, diringkas dan dikelompokkan dalam satuan-satuan pokok pikiran. Dalam proses reduksi, data-data yang tidak perlu maupun yang tidak berkenaan dengan masalah penelitian dapat disingkirkan dan kemudian diganti dan ditambah dengan data-data yang sesuai.

3.5.2 Penyajian Data

Setelah direduksi tahap berikutnya adalah penyajian data, sebagaimana halnya dengan proses reduksi data. Penciptaan dan penggunaan data tidaklah terpisah dari analisis. suatu penyajian sekumpulan informasi yang tersusun akan memberikan kemungkinan adanya penarikan sebuah kesimpulan. Dalam penyajian ini akan disajikan data secara lengkap, baik data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian dianalisis antara kategori dan permasalahan yang ada, guna mendapatkan hasil penyajian yang rapi dan sistematis sehingga data yang terkumpul tersusun dengan baik.

3.5.3 Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan merupakan tahap atau langkah paling akhir dalam proses analisis data. Proses ini berkaitan dengan penarikan kembali selama penulisan terhadap hal-hal yang melintas dalam pikiran baik pendapat, cerita tertentu yang dikategorikan dan ditelaah secara seksama untuk memperoleh kesimpulan.

(69)
(70)

52

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umun Latar Penelitian

4.1.1 Tokoh Panakawan dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa di Jawa

Dalam masyarakat Jawa, wayang adalah sebuah wujud karakteristik dari kepribadian luhur Jawa. Seperti dalam cerita-cerita maupun karakter tokoh-tokohnya mengindikasikan pandangan hidup masyarakat Jawa. Selain bahwa cerita wayang adalah pandangan hidup orang Jawa, masyarakat Jawa juga percaya bahwa wayang adalah ritual tradisi yang tidak bisa ditinggalkan, seperti contoh jika mempunyai anak onthang-anthing, atau anak satu-satunya harus diruwat dengan mengadakan pagelaran wayang semalam suntuk dan dengan syarat-syarat lainnya jika anak tersebut menikah (Usman 2010:94).

(71)

karena dalam adegan gara-gara muncul tokoh panakawan, khususnya panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Keempat tokoh panakawan inilah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Babak ketiga mempertunjukan adegan perang atau pertempuran terakhir.

Berbicara mengenai panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong, tentu erat kaitannya dengan adegan gara-gara dalam pementasan wayang. Panakawan tersebut lazimnya muncul saat adegan gara-gara. Gara-gara merupakan suguhan yang segar, sedap dan santai, Namun selalu sarat dengan pesan moral dan petuah-petuah yang adiluhur. Adapun ucapan dalam adegan gara-gara yang biasa diucapkan dalang dari Jepara Ki Mutoyo, informan peneliti, adalah sebagai berikut :

“Eka bumi, dwi sawah, tri gunung, catur samodra, panca taru, sad panggonan, sapta pandita, hasta tawang, nawa langit, dasa ratu”. Artosipun inggih punika :

Eka (siji) bumi-lemah kang ingederan ing samodro; dwi(lara) Sawah-lemah kang tinanduran ing pari lan palawija sarta tethukulan kanggo kebutuhane kawula ing madyapada; Tri (telu) gunung-gunung iku minangka dadi pakukuhane jagad saisine, catur (papat) samodra-banyu kang ngideri jagad; panca (lima) taru-gegodhodongan minangka pepaesane bumi lan bisa dadi sebab kesuburane bumi; sad (enem) panggonan-pasabane jalma manungsa sarta sato kewan lan gegremetan lan sapanunggalane; sapto(pitu) manungsa pinandhita kang wus katarima tapane mungguhuing Gusti kang akarya jagad lan bisa dadi pangayomane sapada titah madya pada ing babagan kautaman; hasta(wolu) tawang-langit minangka pralampita yen manungsa saknyatane suwung yen tan purun angudi kawruh kautaman; nawa (songo) langit-jroning urip ora keno darbe laku adigang-adigung-adiguna, jalaran senajan langit sinawang langit wis katon dhuwur nanging sayektine sak dhuwure iseh ana langit maneh; dasa (sepuluh) ratu, sayektine ratu kuwi minangka mustikane jalma manungsa.

Gambar

Gambar : 2.6
Gambar : 2.7
Gambar : 2.8
Gambar : 2.10
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus, dapat disimpulkan bahwa pemahaman materi wayang kulit purwa siswa mengalami pe- ningkatan

Diharapkan juga dari penelitian ini, pengguna sarana pertunjukan wayang kulit purwa sebagai media komunikasi politik, baik dalang, penanggap maupun penulis naskah

Wayang kulit purwa merupakan representasi dari kenyataan kehidupan masyarakat Jawa tentang hubungan manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan Alam, dan manusia dengan

Untuk adegan bedhol jejer atau jengkaran yang mengacu pada pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta yang berkembang di dalam kraton gendhing yang digunakan adalah Ayak-ayak

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus, dapat disimpulkan bahwa pemahaman materi wayang kulit purwa siswa mengalami pe-

Memang jelas terdapat makna Tasawuf pada perupaan figur Wayang Kulit Purwa, dengan dimensi dan intensitas manifestasi yang berbeda-beda pula, baik antara detail perupaan pada beberapa

i PERTUNJUKAN WAYANG KULIT PURWA LAKON TUNGGARANA MERDIKA SAJIAN MANTEB SOEDHARSONO DALAM PERSPEKTIF PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SKRIPSI KARYA ILMIAH Untuk memenuhi

Ajaran hablumminal 'alm atau hubungan antara manusia dengan alam yang disampaikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Cupu Manik Astagina” sajian dalang Enthus Susmono ini di