• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI : PENGARUH

GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA : RATNA SARI NIM : 090706030

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMAETRA UTARA MEDAN

2013 FA

K ULTA

S

IL M

U B UDAY

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI : PENGARUH

GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)

Yang Diajukan Oleh : Nama : Ratna Sari NIM : 090706030

Telah Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi Oleh : Pembimbing

Drs. S P. Dewi Murni, M.A. Tanggal, 20 Juli 2013 NIP : 195408141984032002

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal, 22 Juli 2013 NIP : 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI : PENGARUH

GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh :

Ratna Sari 090706030

Pembimbing

Dra. S P. Dewi Murni, M.A. NIP : 195408141984032002

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

Disetujui Oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP : 196409221989031001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam Bidang Ilmu Sejarah Pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Hari : Sabtu Tanggal : 27 Juli 2013

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP : 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno. M. Hum. ( ……... )

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si. (……….. )

3. Dra. S P. Dewi Murni, M.A. (………)

4. Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum. (………)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya

sehingga skripsi dengan judul “DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI: PENGARUH GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)” ini dapat selesai tepat waktunya. Skripsi ini disusun sedemikian rupa agar para pembaca mendapatkan kemudahan

dalam memahami maksud dan tujuan dari skripsi ini.

Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu

dalam penyusunan skripsi ini. Karena tanpa dukungan dari semua pihak, tentu penulis

mengalami berbagi kesulitan. Kepada dosen yang telah banyak membimbing penulis

sehingga ilmu yang diperoleh penulis dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jadi apabila di dalam

skripsi ini terdapat kesalahan ataupun kekurangan penulis sangat mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun agar dilain kesempatan penulis dapat memberikan perbaikan

ataupun penyajian yang lebih baik dari sekarang.

Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan semoga skripsi ini berguna dan dapat

dimanfaatkan dengan baik.

Medan, Juli 2013

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, meskipun banyak hambatan

dan kekurangan. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus

untuk meraih gelar kesarjanaan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulisan ini juga tidak akan pernah dapat terwujud tanpa bantuan, kerja sama dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi penulis untuk

mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Kedua orang tuaku Ibunda Suyati dan Ayahanda Slamat yang telah memberikan

dukungan, kasih sayang, perhatian, pengorbanan serta do’a yang tak pernah henti

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Dekan Fakultas Sastra, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., serta Pembantu Dekan I,

Bapak Dr. M. Husnan Lubis, M.A., Pembantu Dekan II, Bapak Drs. Samsul

Tarigan, dan Pembantu Dekan III, Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani ujian meja

hijau agar mendapatkan gelar kesarjanaan.

3. Ketua Departemen Sejarah, Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, yang telah

memberikan banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama penulis

menjalani masa perkuliahan. Terima kasih juga kepada sekretaris Departemen

Sejarah, Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. yang terus memacu semangat penulis dalam

(8)

4. Ibu Dra. S.P Dewi Murni, M.A. selaku dosen wali dan dosen pembimbing yang

telah banyak memberikan nasehat, sabar membimbing penulis, meluangkan waktu

serta memberikan masukan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini tepat pada waktunya.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu

pengetahuan yang telah diberikan selama ini semoga nantinya menjadi manfaat

bagi penulis.

6. Seluruh informan yang sudah memberikan keterangan dan penjelasan selama

proses pengumpulan data di lapangan. Kepada kakekku tersayang Alm.Ngadiran

terima kasih telah menginspirasi penulis untuk menulis tentang buruh perkebunan

yang terlibat PKI.

7. Bang Ampera Wira yang banyak membantu penulis selama menjalani

perkuliahan.

8. Kakak-kakakku Yayuk Juliana, Indra Sebayang, Ika Handayani dan adikku Rena

Lestari terima kasih atas doa, semangat dan dukungannya baik secara moril

maupun materil. Meskipun kalian cerewet tetapi selalu mengingatkan penulis

untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ketika penulis merasa malas dan

jenuh.

9. Sahabatku Nia dan Lisa Keter terima kasih telah menemani hari-hari yang tak

akan terlupakan, jangan pernah lelah dengan perjalanan ini, semoga kita akan

(9)

10.Terima kasih banyak kepada seperti Elisa, Mumus, Toti, Wifky, Dara, Shinta,

Rona, Sigmer, Andri, dan teman-teman stambuk 2009 yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, semoga kenangan kita di masa perkuliahan tak pernah terlupakan.

11.Teman seperjuanganku ketika bekerja di Carrefour, Hendra, Alpa dan Roni yang

menjadi teman di kampus, di tempat bekerja , dan kebersamaan ketika bergabung

menjadi partisipan di Badan Warisan Sumatera.

12.Sepupuku Diana dan Sindi, terima kasih atas doa, semangat dan bantuan selama

penulis mengumpulkan data di lapangan, untuk Diana cerewet semangat buat

kuliahnya, biar jadi ustadzah.

13.Terakhir untuk aa Rudi Ruhyadi, terima kasih atas do’a, dukungan, pengertian

dan perhatian yang selalu diberikan saat penyusunan skripsi ini.

Medan, Juli 2013

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000), yaitu peralihan mata pencaharian buruh perkebunan menjadi petani setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 hingga pada tahun 1973 mereka dikeluarkan dari pondok perkebunan dan memilih menetap di wilayah perkampungan menjadi petani.

Baja Dolok merupakan desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Mayoritas penduduknya adalah orang Jawa yang merupakan keturunan kuli kontrak. Wilayah desa ini terbagi menjadi dua yaitu wilayah perkampungan dan pondok perkebunan kelapa sawit. Setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 para buruh yang berdiam di pondok perkebunan mulai memasuki wilayah perkampungan dan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani.

Tulisan ini membahas tentang latar belakang para buruh perkebunan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani, juga membahas kehidupan buruh perkebunan sebelum mereka melakukan peralihan mata pencaharian. Kemudian membahas mengenai kehidupan buruh setelah menjadi petani di wilayah perkampungan dan kehidupan sosial budaya mereka di wilayah yang baru.

Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan buruh eks PKI setelah beralih mata pencaharian menjadi petani, di mana sebagai orang Eks- PKI memiliki keterbatasan berbuat dalam lingkungan masyarakat pada masa Orde Baru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan buruh di perkebunan, mengetahui latar belakang peralihan buruh perkebunan menjadi petani dan membahas kehidupan buruh setelah menjadi petani.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research) melalui wawancara.

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 6

1.4. Tinjaun Pustaka ... 7

1.5. Metode Penelitian ... 9

BAB II GAMBARAN UMUM DESA BAJA DOLOK ... 13

2.1. Letak dan Keadaan Desa ... 13

2.2. Sejarah Desa Baja Dolok ... 16

2.3. Penduduk ... 19

2.4. Pemerintahan Desa ... 25

BAB III KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN ... 27

3.1. Buruh di Perkebunan ... 27

3.2. Upah, Utang, dan Jaminan Kerja bagi Buruh di Perkebunan ... 33

3.3. Organisasi Buruh di Perkebunan ... 40

(12)

4.1. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 ... 48

4.2 Pembersihan Komponen-Komponen PKI di Perkebunan ... 52

4.3 Perpindahan Buruh dari Pondok Perkebunan ke Wilayah Perkampungan 62 BAB V KEHIDUPAN BURUH EKS PKI MENJADI PETANI ... 66

5.1 Kepemilikan Tanah ... 66

5.2 Kegiatan Ekonomi Sebagai Petani ... 73

5.3 Kehidupan Sosial-Budaya ... 81

BAB VI KESIMPULAN... 91

6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 94

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Baja Dolok dari Tahun 1980-2000 ... 19

Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Tahun 1980 ... 20

Tabel 3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 1987 ... 21

Tabel 4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2000 ... 22

(14)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Dari Buruh Perkebunan Ke Petani : Pengaruh Gerakan 30 September Terhadap Masyarakat Desa Baja Dolok Kabupaten Simalungun (1973-2000), yaitu peralihan mata pencaharian buruh perkebunan menjadi petani setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 hingga pada tahun 1973 mereka dikeluarkan dari pondok perkebunan dan memilih menetap di wilayah perkampungan menjadi petani.

Baja Dolok merupakan desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Mayoritas penduduknya adalah orang Jawa yang merupakan keturunan kuli kontrak. Wilayah desa ini terbagi menjadi dua yaitu wilayah perkampungan dan pondok perkebunan kelapa sawit. Setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 para buruh yang berdiam di pondok perkebunan mulai memasuki wilayah perkampungan dan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani.

Tulisan ini membahas tentang latar belakang para buruh perkebunan melakukan peralihan mata pencaharian menjadi petani, juga membahas kehidupan buruh perkebunan sebelum mereka melakukan peralihan mata pencaharian. Kemudian membahas mengenai kehidupan buruh setelah menjadi petani di wilayah perkampungan dan kehidupan sosial budaya mereka di wilayah yang baru.

Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan buruh eks PKI setelah beralih mata pencaharian menjadi petani, di mana sebagai orang Eks- PKI memiliki keterbatasan berbuat dalam lingkungan masyarakat pada masa Orde Baru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan buruh di perkebunan, mengetahui latar belakang peralihan buruh perkebunan menjadi petani dan membahas kehidupan buruh setelah menjadi petani.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research) melalui wawancara.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Buruh adalah orang yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan upah. Mereka

menjual tenaga mereka kepada majikan demi mendapatkan pekerjaan. Adanya hubungan

timbal balik antara buruh dan majikan yang keduanya saling membutuhkan. Namun buruh

dianggap sebagai suatu kelas yang selalu dieksploitasi oleh majikan, sehingga akan selalu

berusaha menghancurkan majikan dalam perjuangan dan dipersepsikan dengan kelompok

tenaga kerja dari golongan bawah yang bekerja hanya mengandalkan otot.1

Pada masa kolonial, khususnya di Sumatera Timur buruh-buruh sengaja didatangkan

oleh pengusaha perkebunan dari Malaya, Singapura, Cina, dan kemudian disusul dari

desa-desa miskin di Jawa Tengah.2

Pada masa pergerakan nasional sekitar tahun 1900-an, buruh merupakan cikal bakal

partai komunis lokal. Buruh dianggap basis dalam melakukan perlawanan terhadap

penguasa-penguasa dan pemilik modal. Sehingga PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai

partai yang menyuarakan rakyat kecil untuk memimpin negara melakukan perekrutan

besar-besaran terhadap buruh dan petani. Partai ini menguasai organisasi buruh untuk dijadikan Mereka dipekerjakan untuk membuka hutan-hutan, menanam,

merawat dan memanen hasil perkebunan. Hal ini terjadi karena penduduk setempat tidak

mau bekerja dengan pihak asing.

1

Eggi Sudjana, Buruh Menggugat: Prespektif Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 7.

2

(16)

onderbouw.3

Pada tahun 1965 terjadi peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya peristiwa pembantaian

dan penghancuran elemen PKI, hal ini yang mengubah secara permanen konstelasi kekuatan

politik yang akhirnya berdampak secara mendalam terhadap organisasi buruh. Kebijakan

Perburuhan masa Orde Baru ditandai oleh kontrol yang kuat dari negara terhadap buruh. Hal ini dilakukan untuk menentang segala kebijakan Pemerintah Kolonial

Belanda yang melakukan eksploitasi terhadap masyarakat Indonesia.

4

Orang-orang yang terlibat atau tidak secara paksa dijadikan tapol (tahanan politik) Hal

ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kudeta yang dilakukan oleh para buruh yang

dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemerintah yang berkuasa ketika itu melakukan

pembersihan secara besar-besaran terhadap komponen-komponen PKI.

5

3

Pada awal pembentukannya PKI memilih petani dan buruh sebagai basis dalam melawan kaum imperialis, tuan tanah dan kaum borjuis. Kekuatan progresif buruh dan petani yang menjadi tulang punggung kekuatan revolusioner PKI dalam menentang pemerintahan kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia organisasi buruh dan petani mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Organisasi petani yang berafiliasi dengan PKI adalah Rukun Tani Indonesia (RTI), Sarekat Kerukunan Tani Indonesiai (SAKTI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang pada tahun 1953 ketiga organisasi tersebut difusikan oleh PKI dengan tetap menggunakan nama BTI, dengan demikian keanggotaan BTI semakin besar. Organisasi buruh yang berafiliasi dengan PKI adalah Sentral Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dibentuk pada tahun 1946 dan mampu mengkonsolidasikan 34 serikat buruh, salah satu organisasi buruh yang tergabung dalam SOBSI adalah SARBUPRi. Lihat Syarif Arifin,dkk, Memetakan Gerakan Buruh, Depok : Kepik, 2012, hlm. 68. Lihat juga Noer Fauzi, Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 135.

dan

untuk menghindari hukuman mati para tapol harus menandatangani surat pernyataan untuk

4

Muhtar Habibi, Gemuruh Buruh di Tengah Pusaran Neoliberalisme: Pengadopsian Kebijakan Perburuhan Neoliberal Pasca ORBA, Yogyakarta: Gava Media, 2009, hlm. 2.

5

Setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) dan PKI dianggap sebagai dalang dari kejadian itu maka terjadi aksi-aksi spontan dari berbagai kelompok pemuda, mahasiswa dan pelajar terhadap markas-markas PKI. Orang-orang yang tergabung dalam organisasi yang berhaluan kiri segera ditangkap, karena mereka dianggap mendukung terjadinya peristiwa G 30 S. Penangkapan dilakukan secara membabi buta dan adanya sentimen pribadi antara si penangkap dan orang yang ditangkap, karena adanya rasa ingin balas dendam dengan masa lalu mereka yang pernah terjadi seperti percekcokan dalam pekerjaan. Walau pada kenyataan orang yang ditangkap tidak pernah tergabung dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Salah tangkap juga terjadi karena memiliki nama panggilan sama, nama yang menjadi daftar pencarian adalah Mino tetapi pada kenyataannya Ramino ditangkap dengan alasan sama-sama dipanggil Mino. Wawancara

(17)

tidak melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis. Setelah keluar dari rumah tahanan, para

tapol ini menyandang gelar ET (Eks-Tapol) yang dapat dilihat pada Kartu Tanda Penduduk

(KTP) sesuai dengan ketetapan yang dikeluarkan pemerintah.6

Desa Baja Dolok adalah salah satu desa yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan

Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Mata pencaharian penduduk

di desa ini adalah petani. Mayoritas penduduknya merupakan etnis Jawa yang memeluk

agama Islam. Di desa ini juga menetap orang-orang yang dulunya pernah bekerja sebagai

buruh perkebunan, namun setelah terjadinya peristiwa G 30 S 1965 kehidupan buruh ini

mengalami perubahan. Kebijakan pemerintah untuk melakukan pembersihan terhadap para

komponen-komponen juga berimbas kepada buruh perkebunan yang menjadi anggota Sarikat

Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) dan Gerakan Wanita Indonesia

(Gerwani), organisasi buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, sehingga mereka yang

bergabung dalam organisasi ini ditangkap oleh pihak perkebunan dan militer.

Namun sesuai dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila mereka dikembalikan ke masyarakat

diusahakan untuk mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan yang ada.

7

Para buruh yang menjadi anggota SARBUPRI dan Gerwani ini tidak ditahan dan

dipenjarakan karena mendapat perlindungan dari pihak perkebunan, tetapi diwajibkan

melaporkan diri dan melakukan penandatangan tentang kesetian mereka terhadap Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan mereka menyandang sebagai eks-PKI. Selesainya

6

Amurwani Dwi Lestariningsih, Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011, hlm. 263.

7

(18)

pembersihan terhadap anggota-anggota PKI maka buruh-buruh ini tetap melakukan

pekerjaan sebagai buruh di perkebunan.

Pada pertengahan tahun 1972 pihak perkebunan memiliki kebijakan baru terhadap

orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI, mereka diberlakukan secara tidak adil. Para

buruh di PHK secara sepihak dengan alasan pensiun muda (krimping) dengan jaminan masa

tua atau pesangon yang lebih sedikit jika dibanding dengan pensiunan biasanya.

Pemecatan secara besar-besaran pada masa Orde Baru 8

Terjadinya pergeseran-pergeseran gaya kehidupan yang awalnya menjadi buruh

perkebunan kini menjadi petani. Selanjutnya muncul stigma negatif terhadap buruh eks-PKI

ini yang dianggap sebagai pengkhianat negara. Namun seiring dengan perbaikan ekonomi

dan perkembangan pendidikan masyarakat eks-PKI mampu menciptakan sebuah counter

stigma terhadap stigma negatif tentang eks-PKI dan didukung dengan jatuhnya rezim Orde

Baru yang menentang orang-orang kiri. Dari sini dilihat bahwa politik memiliki peranan

yang sangat penting terhadap berjalannya kehidupan suatu komunitas yang biasanya

berhubungan dengan ekonomi.

ini menyebabkan para buruh

eks-PKI keluar dari pondok-pondok perkebunan dan memasuki wilayah perkampungan di

sekitar perkebunan yang selanjutnya tinggal menetap di sana dengan membuka lahan-lahan

pertanian atau membeli lahan pertanian dari masyarakat di Desa Baja Dolok.

8

(19)

Uraian di atas membuat penulis tertarik untuk mendalami tentang kehidupan buruh

perkebunan eks-PKI sehingga diangkatlah judul “ DARI BURUH PERKEBUNAN KE PETANI: PENGARUH GERAKAN 30 SEPTEMBER TERHADAP MASYARAKAT DESA BAJA DOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN (1973-2000)”.Penelitian ini akan lebih ditekankan kepada buruh eks-PKI yang berasal dari etnis Jawa, karena kebanyakan

buruh yang menjadi anggota SARBUPRI dan Gerwani adalah buruh perkebunan yang

pindah ke wilayah perkampungan Desa Baja Dolok hampir seluruhnya orang Jawa.

Skop temporal yang diambil adalah antara tahun 1973 sampai 2000. Pada tahun 1973

dianggap sebagai tahun di mana banyak para buruh perkebunan yang beralih mata pencarian

menjadi petani setelah keluar dari pondok-pondok perkebunan dan tinggal menetap di Desa

Baja Dolok sedangkan tahun 2000 merupakan tahun di mana reformasi mulai terasa di Desa

ini, setelah pada tahun 1998 rezim Orde Baru telah diruntuhkan, hal ini yang membawa

perubahan pada kehidupan eks-PKI. Pada tahun 2000 juga wilayah Desa Baja Dolok ini

dilebur menjadi dua desa yaitu Desa Baja Dolok dan Desa Baliju. Dalam rentang waktu

antara 1973 sampai 2000 adalah masa dimana penulis akan membahas bagaimana kehidupan

buruh perkebunan yang beralih mata pencarian menjadi petani yang dipengaruhi oleh

Gerakan 30 September 1965.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan dari penelitian

adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang nantinya akan

(20)

dalamnya diajukan konsep yang akan dibawa dalam penelitian dan menjadi alur dalam

penulisan.

Berdasarkan uraian di atas maka dibuatlah suatu batasan pokok masalah. Untuk

mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini maka penulis mengambil

beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ke beberapa pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kehidupan buruh perkebunan hingga tahun 1973?

2. Apa yang melatarbelakangi para buruh perkebunan melakukan peralihan mata

pencaharian menjadi petani?

3. Bagaimana kehidupan buruh perkebunan setelah menjadi petani pada tahun

1973-2000?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan kehidupan buruh perkebunan hingga tahun 1973.

2. Menjelaskan apa saja yang melatarbelakangi para buruh perkebunan ini menjadi

petani.

3. Menguraikan bagaimana kehidupan buruh perkebunan setelah menjadi petani pada

tahun 1973-2000.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

(21)

2. Menjadi bahan rujukan dalam mengungkap kehidupan buruh perkebunan yang

menjadi korban dari ketidakadilan penguasa.

3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa

perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Buku-buku yang membahas tentang buruh perkebunan yang telibat PKI dan melakukan

peralihan matapencaharian menjadi petani memang hampir dikatakan tidak ada. Sedikitnya

sumber tertulis tentang peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S 1965,

maka penulis menggunakan literatur-literatur yang berkaitan dengan buruh yang terlibat PKI

dengan mengumpulkan artikel-artikel, tesis dan buku-buku yang yang berkaitan dengan

penelitian ini.

Ann Laura Stoler dalam bukunya “ Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan

Sumatra,1870-1979” buku ini mengisahkan tentang kehidupan buruh di daerah Sabuk

Perkebunan. Dimulai dari pembukaan perkebunan di Deli, perekrutan para pekerja

perkebunan dari luar Sumatera, buruh pada masa pendudukan Jepang, revolusi nasionalis dan

menjelaskan tentang gerakan pekerja di perkebunan pasca kemerdekaan. Buku ini juga

menggambarkan tentang kehidupan buruh di perkebunan, termasuk hierarki yang ada di

perkebunan, tentang serikat buruh perkebunan, salah satunya adalah SARBUPRI, yang

merupakan serikat buruh di perkebunan yang membela buruh dari tekanan para pengusaha

perkebunan. Banyaknya tuntutan-tuntutan SARBUPRI tentang kenaikan upah dan perbaikan

(22)

buruh dan dalam beberapa tahun pembentukan sudah banyak merekrut massa. Namun pasca

peristiwa G 30 September 1965 buruh yang tergabung dalam serikat buruh ini masuk ke

dalam daftar hitam, dan beberapa tahun kemudian banyak buruh perkebunan yang dipecat

karena masa lalu mereka pernah terlibat dalam PKI. Kemudian tinggal menetap di daerah

pinggiran perkebunan membentuk komunitas yang mayoritas orang Jawa, hidup sebagai

petani dan menjadi buruh lepas di perkebunan.

Amurwani Dwi Lestariningsih dalam bukunya yang berjudul “ Gerwani: Kisah

Tahanan Politik di Kamp Plantungan”. Dalam buku ini menceritakan tentang wanita tahanan

politik yang dianggap sebagai pendukung gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ikut

serta dalam melakukan kudeta-kudeta yang dilancarkan PKI,mereka dianggap sebagai

pengkhianat negara. Bagaimana penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh pihak

militer terhadap onderbouw PKI termasuk Gerwani. Pada pemberlakuan pembersihan massal

orang-orang yang dianggap sebagai onderbouw PKI ditangkap dan dibuang ke dalam

penjara. Penangkapan dilakukan secara membabi buta tanpa membawa surat penangkapan,

apakah orang tersebut terlibat atau tidak, apakah mereka orang-orang PKI atau tidak,

sehingga banyak yang salah tangkap. Berbagai macam hukuman dan perlakuan yang tidak

wajar diterima oleh para tahananan. Pemindahan tahanan ke Plantungan, sebuah tempat

terpencil. Selain menerima perlakuan yang tidak adil mereka juga bekerja di ladang-ladang

yang telah disediakan. Hingga pada awal tahun 1970-an mereka keluar dari kamp Plantungan

dengan menandatangani surat pernyataan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan politik

dan melakukan wajib lapor dan pemberian kode-kode tertentu pada kartu identitas mereka.

Kusnaka Adimihardjo dalam bukunya, “ Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi” yang

(23)

dengan kebudayaan yang hal ini dianggap memiliki peranan yang penting dalam pertanian.

Dalam buku ini menceritakan tentang kearifan tradisi yang tercermin dalam sistem

pengetahuan dan teknologi lokal di masyarakat dari berbagai daerah yang masih

mengembangkan nilai-nilai adat seperti prinsip-prinsip konservasi, menejemen, eksploitasi

sumber daya alam, ekonomi dan sosial. Kapitalisme industri pada awal abad ke-20 telah

menimbulkan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, faktor kesuburan tanah, dan proses

komersialisasi yang semakin agresif pada pasca Orde Baru. Akibatnya penguasaan Tanah

perorangan juga semakin meningkat yang akhirnya menciptakan proses peralihan

penguasaan tanah di pedesaan.9

Sekretariat Negara Republik Indonesia, dalam buku yang berjudul “Gerakan 30

September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan

penumpasannya”. Buku ini merupakan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintah, buku

yang menyatakan tentang keterlibatan PKI sebagai dalang dari pembunuhan para petinggi

Angkatan Darat. Buku ini menjelaskan bagaimana latar belakang terbentuknya Partai

Komunis Indonesia, pemberontakan dan perjuangan yang pernah dilakukan untuk menentang

segala kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda ataupun Pemerintah Indonesia Pasca

Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai kudeta yang dilakukan oleh PKI juga

dijelaskan pada buku ini, apalagi kudeta yang terjadinya 30 September 1965 dan setelahnya.

Termasuk penyelesaian hukum terhadap pelaku-pelaku dan yang menjadi onderbouw PKI.

9

(24)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah

penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode itu sendiri

berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis.10

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:

Sejumlah sistematika

penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian di

dalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah lalu.

1. Heuristik, mengumpukan data atau sumber melalui studi kepustakaan (library

research) dari buku, arsip, artikel. Sumber-sumber tertulis diperoleh dari perpustakaan

daerah Sumut, Perpustakaan USU, Perpustakaan dan Arsip Pematang Siantar, dan

disamping koleksi pribadi. Adapun buku yang dipergunakan ialah; Ann Laura Stoler

dalam buku yang berjudul Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan

Sumatra, 1870-1979; Amurwani Dwi Lestariningsih dalam bukunya Gerwani: Kisah

Tapol Wanita di Kamp Plantungan, buku ini cukup membantu peneliti dalam

membandingkan data yang dibutuhkan dalam penulisan; Kusnaka Adimihardja dalam

bukunya Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi, yang diperlukan penulis dalam

menguraikan kehidupan petani yang memang diperlukan dalam penulisan. Buku putih

yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia yang berjudul Gerakan

30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan

penumpasannya. Selain buku-buku tersebut penulis juga melakukan wawancara

10

(25)

dengan orang-orang yang pernah tergabung menjadi anggota SARBUPRI dan

Gerwani, orang yang pernah tinggal di perkebunan, penduduk desa Baja Dolok,

mantan kepala desa, kepala desa yang sedang menjabat dan Sekertaris desa, dan

masyarakat yang pernah merasakan peristiwa pada tahun 1965.

2. Semua sumber sejarah baik lisan maupun tulisan yang telah diperoleh menggunakan

metode kepustakaan dan sejarah lisan (wawancara) akan dikritik secara eksternal dan

internal untuk memastikan bahwa sumber sejarah itu asli dan data yang diperoleh

kredibel. Krirtik ekstern dilakukan terhadap sisi luar dari sebuah dokumen seperti

bahan, jenis tulisan, bahasa, cap atau stempel dengan melakukan kolaborasi dengan

dokumen atau sumber lain. Setelah diketahui bahwa sumber atau dokumen itu asli,

maka dilakukan kritik intern untuk memastikan bahwa sumber sejarah itu

benar-benar kredibel (melaporkan kejadian atau fakta yang sebenar-benarnya) dengan cara

membandingkan dengan sumber lainnya. Kritik terhadap sejarah lisan (wawancara)

dilakukan pada saat wawancara dan setelah wawancara, menyangkut isi yang

disampaikan oleh informan.

3. Interpretasi, merupakan tahap dimana peneliti mencoba menafsirkan data yang

diperoleh dan diharapkan dapat menjdi data yang objektif. Interpretasi dibagi dua

yakni analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan fakta yang banyak

mengandung berbagai kemungkinan, sedangkan sintesis berarti menyatukan berbagai

fakta agar dapat diketahui makna dan hubungan antara fakta yang kompleks tersebut.

Dalam hal ini adalah interpretasi dari hasil pengumpulan sumber, kritik tentang objek

(26)

Interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data sementara sebelum peneliti

menuangkannya kedalam sebuah tulisan.

4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan sebagai

penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari

fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk menghasilkan tulisan

sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini merupakan hasil dari pengumpulan

(27)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA BAJA DOLOK

2.1 Letak dan Keadaan Desa

Kabupaten Simalungun secara geografis terletak di antara 20 36'- 30 18' Lintang Utara

dan 980 32' – 990 35' Bujur Timur dan berbatasan dengan Kabupaten Asahan di sebelah

timur, Kabupaten Karo di sebelah barat , Kabupaten Serdang Bedagai disebelah utara, dan di

sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Kabupaten ini memiliki 21

kecamatan, 14 kelurahan dan 237 desa dengan luas 438.660 ha atau 6,12 % dari luas wilayah

Provinsi Sumatera Utara. Salah satu kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Tanah

Jawa.11

Kecamatan Tanah Jawa Terletak 100 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan luas

wilayah kecamatan mencapai 491,75 Km2, dengan jumlah penduduk 49.483 jiwa.

Kecamatan ini berjarak ± 50 Km dari kantor Bupati Simalungun dengan waktu tempuh ± 1

jam, sedangkan dengan Pematang Siantar hanya berjarak ± 21 Km dengan waktu tempuh ±

30 menit. Untuk menuju ibukota kabupaten masyarakat Kecamatan Tanah Jawa harus

melalui Pematang Siantar.

Kecamatan Tanah Jawa terdiri dari 1 kelurahan dan 19 nagori. Adapun kelurahan dan

nagori tersebut adalah Kelurahan Tanah Jawa, Nagori Mekar Mulia, Nagori Pardamean

Asih, Nagori Marubun Jaya, Nagori Totap Majawa,Nagori Balimbingan, Nagori Bah Kisat,

Nagori Maligas Tongah, Nagori P.Marjanji, Nagori Tanjung Pasir, Nagori Muara Mulia,

11

(28)

Nagori Bosar Galugur, Nagori Baja Dolok, Nagori Bah Jambi II, Nagori Pagar Jambi,

Nagori Bayu Bagasan, Nagori Baliju, Nagori Bah Jambi III, Nagori Marubun Bayu, dan

Nagori Parbalogan.

Penelitian terfokus di Desa Baja Dolok. Desa Baja merupakan salah satu desa yang ada

di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah

desa ini adalah 15,50 Km2 yang terletak di dataran rendah dengan ketinggian tanah 260 M di

atas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 23o C.

Batas-batas wilayah desa Baja Dolok yaitu:

- Sebelah Utara : Desa Bosar Galugur

- Sebelah Selatan : Desa Bah Jambi II

- Sebelah Barat : Desa Tanjung Maraja

- Sebelah Timur : Kelurahan Pematang Tanah Jawa

Jarak Desa Baja Dolok ke kota kecamatan sejauh ± 3 Km. Untuk memasuki desa ini

melawati jalan-jalan kecil yang belum tersentuh oleh pembangunan pemerintahan. Letak

desa yang diapit oleh dua perkebunan yaitu perkebunan Dolok Sinumbah dan perkebunan

Bah Jambi maka tidak jarang jika melintasi jalan penghubung antar desa akan melihat

hamparan luas tanaman kelapa sawit.

Desa Baja Dolok terdiri dari lima dusun yaitu dusun 1 Afdeling VIII Bah Jambi, dusun

II yang terdiri dari Kampung Jawa Atas, Kampung Jawa Tengah dan Kampung Jawa Bawah,

dusun III Kampung Banua, Dusun IV Kampung Balimbingan dan dusun V Afdeling VII Bah

(29)

Pembangunan desa yang berasal dari pemerintah diawali dengan pembangunan balai

desa, kantor kepala desa, irigasi untuk lahan pertanian yang kemudian dibangun jembatan

sebagai penghubung antara wilayah perkampungan dengan wilayah pertanian. Hingga awal

tahun 1990-an sudah ada enam jembatan sebagai penghubung ke wilayah pertanian.

Pembangunan aliran listrik dimulai pada tahun 1990, yang dimulai dari dusun II, hingga

dusun IV. Sedangkan untuk dusun I dan V pembangunan listrik ditanggungjawabi oleh pihak

perkebunan. Untuk persedian kebutuhan air minum masyarakat desa mereka memperolehnya

dari mata air yang ada di Desa Baja Dolok. Setelah pembangunan listrik maka disusul

dengan pengaliran air minum untuk kebutuhan air masyarakat desa dari Perusahaan Dagang

Air Minum Tirta Lihou (PDAM Tirta Lihou).

Wilayah perkampungan di Desa Baja Dolok masih berupa semak belukar yang

ditumbuhi dengan pohon-pohon yang besar, jumlah penduduknya yang masih jarang pada

tahun 1960-an sehingga jarak antara rumah penduduk yang satu dengan lainnya berjauhan

yaitu sekitar ± 400 meter. Bentuk rumah terbuat dari papan dan anyaman bambu dan setelah

tahun 1970-an perumahan di desa ini juga mengalami perubahan yang lebih baik.

Pembangunan sarana pendidikan seperti sekolah dasar sudah ada di dusun I dan dusun

V karena berada di wilayah perkebunan sehingga sarana dan prasana tersebut disediakan

perkebunan sejak masa pemerintahan Belanda. Sedangkan di wilayah perkampungan belum

ada pembangunan gedung sekolah, rencana pembangunan sudah ada sejak tahun 1974,

namun pada tahun 1978 rencana pembangunan baru mulai terealisasi, pembangunan gedung

sekolah dasar dimulai di dusun II dan hanya tiga kelas. Sehingga anak-anak yang memiliki

biaya sekolah akan melanjutkan sekolah dasar ke Desa Balimbingan yang berjarak ±3 Km.

(30)

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tidak ada di

desa ini.

Sarana Kesehatan seperti Pusat Kesehatan Masyrakat (Puskesmas) juga tidak ada di

Desa Baja Dolok. Alasan pemerintah tidak membangun Puskesmas di desa ini karena letak

desa berdekatan dengan ibu kota kecamatan, sehingga jika berobat ke Puskesmas yang ada di

Kecamatan. Ketika melakukan Posyandu, penduduk melakukannya di Balai desa.

Koperasi Unit Desa (KUD) sudah dibangun pada tahun 1970-an oleh pemerintah. KUD

ini berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pertanian masyarakat desa. Namun pada awal

tahun 1990-an KUD ini tidak lagi berfungsi dengan baik. Karena masyarakat lebih banyak

yang menjual hasil panennya kepada agen dan tauke, begitu juga untuk pemenuhan

kebutuhan sehari-hari sudah banyak penduduk yang mulai membuka warung-warung yang

menyediakan kebutuhan sehari-hari.

2.2 Sejarah Desa Baja Dolok

Mengenai sejarah Desa Baja Dolok belum ada sumber-sumber tertulis yang

menyatakan tetantang bagaimana asal-muasal desa ini. Sejarah desa ini diketahui hanya

melalui cerita-cerita masyarakat desa yang diperoleh secara turun-temurun. Sebelum dihuni

para kuli kontrak Jawa dari perkebunan Simalungun, wilayah ini telah berdiri sebuah

kerajaan Batak yang bernama Parpagaran oleh Datuk Urung Tuan Banua yang bermarga

Sinaga dibantu oleh Panglima Sibungkuk dan Tuan Joreng. Datuk Urung Tuan Banua

membangun istana di wilayah yang sekarang masuk ke Dusun II, kemudian istana

(31)

istana Parpagaran ini didukung dengan letak wilayah Jambi-Jambi yang lebih strategis. 12

Sekitar tahun 1920-an wilayah kerajaan Parpagaran mulai di huni oleh orang Jawa

yang berasal dari perkebunan Simalungun.

Bekas istana yang ditinggalkan oleh Tuan Banua dikelilingi oleh hutan dan hanya dihuni oleh

beberapa suku Batak yang masih mau tinggal diwilayah tersebut.

13

Setelah agresi Militer Belanda II berakhir, jumlah penduduk Jawa semakin bertambah

karena banyak pondok-pondok perkebunan di Simalungun dibakar oleh para pekerja dengan

alasan agar tidak diduduki kembali oleh Belanda. Para buruh-buruh yang menetap di pondok

perkebunan memilih mengungsi di wilayah perkampungan. Semakin hari semakin banyak

penduduk dari pemukiman liar yang ada di wilayah perkebunan pindah ke wilayah ini.

Kuli kontrak Jawa pertama yang membuka

hutan di wilayah kerajaan Parpagaran adalah Kramayuda setelah mendapat persetujuan dari

Tuan Banua, kemudian diikuti oleh kuli kontrak Jawa lainnya. Kebanyakan dari mereka

adalah kuli kontrak yang telah habis masa kontraknya dengan pihak perkebunan. Mereka

memilih untuk tetap menetap di Sumatera dibandingkan harus kembali ke Jawa dan mulai

membuka hutan untuk tempat tinggal dan lahan pertanian.

Kedatangan mantan kuli kontrak Jawa dari perkebunan yang berlangsung secara terus

menerus menyebabkan populasi orang Jawa lebih banyak dibanding dengan orang Batak.

Setelah sistem kerajaan telah lenyap maka kepemimpinan Batak mulai digantikan dengan

12

Wawancara dengan Riduan Sinaga pada tanggal 21 Juni 2013 di Huta I Baliju.

13

(32)

orang Jawa. Karena mayoritas penduduk yang menghuni di wilayah ini adalah suku Jawa

maka daerah ini di kenal dengan kampung Jawa. Setelah tahun 1966 penggunaan desa baru

ditetapkan dengan nama Baja Dolok yang merupakan gabungan dari Afdelling VIII,

Kampung Jawa, Kampung Banua, Kampung Balimbingan dan Afdeling VII.14

Mengenai pemberian nama Baja Dolok sendiri ada dua versi. Pertama, nama Baja

Dolok diambil karena wilayah desa Baja Dolok yang diapit oleh dua perkebunan yaitu

perkebunan Bah Jambi dan perkebunan Dolok Sinumbah. “Baja” yang berarti perkebunan

Bah Jambi. “Dolok” yang berarti Perkebunan Dolok Sinumbah. Kedua, nama Baja Dolok

diambil dari nama-nama dusun yaitu “Ba” yang berarti Banua dan Balimbingan yaitu

kampung Banua dan kampung Balimbingan, “Ja” yang berarti Jawa dan yang dimaksud

kampung Jawa dan Dolok yaitu Dolok Sinumbah, hal ini berkaitan dengan dua dusun yang

masuk ke dalam wilayah perkebunan Dolok Sinumbah yaitu Afdeling VII dan Afdeling

VIII.15

Penggabungan lima wilayah ini merupakan titik awal pembangunan desa yang dimulai

dengan pembangunan balai desa, kantor kepala desa, irigasi, pembangunan sekolah dasar,

jembatan, tempat ibadah seperti mesjid dan gereja, serta pembangunan jalan desa. Namun

sesuai dengan peraturan pemerintah pada Desember 2000 Desa Baja Dolok mengalami

pemekaran daerah menjadi dua desa yaitu Desa Baja Dolok dan Desa Baliju. Desa Baja

Dolok dengan wilayah kampung Jawa dan Afdelling VIII yang selanjutnya dibagi ke dalam

empat dusun dan Desa Baliju yang merupakan penggabungan dari Kampung Banua,

Kampung Balimbingan dan Afdelling VII.

14

Wawancara dengan Muhayan pada tanggal 14 Mei 2013 di Huta II Baja Dolok.

15

(33)

2.3 Penduduk

Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 1980, jumlah penduduk Desa Baja Dolok adalah

3.625 jiwa yang terdiri atas 1.803 orang laki-laki dan 1.822 orang perempuan yang termasuk

dalam 728 kepala keluarga (kk) dan tersebar di lima dusun. Data penduduk desa Baja Dolok

dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 1

Jumlah Penduduk Desa Baja Dolok dari tahun 1980-2000

NO TAHUN JUMLAH

1 1980 3.625

2 1987 3.927

3 1993 3.848

4 2000 4.037

Sumber: Data Monografi Desa Baja Dolok tahun 1980-2000

Jumlah penduduk Desa Baja Dolok mengalami peningkatan yang sangat tinggi pada

tahun 1980 hingga 1987 sebanyak 302 jiwa bertambah dalam kurun waktu delapan tahun.

Selain dipengaruhi oleh angka kelahiran bayi dan kematian, pertambahan penduduk ini juga

dipengaruhi oleh keadaan desa yang semakin berkembang dan sistem pertanian dengan

sistem irigasi yang baik sehingga banyak orang-orang yang memilih untuk pindah ke Desa

Baja Dolok, karena dianggap mampu menjamin kehidupan mereka. Kebanyakan dari mereka

yang pindah ke desa ini adalah pensiunan dari pondok-pondok perkebunan. Keadaan yang

(34)

3.848 menjadi 4.037, pertambahannya mencapai 189 jiwa. Namun pada tahun 1987 hingga

tahun 1993 jumlah penduduk mengalami dari 3.927 menjadi 3.848, pengurangan ini karena

sistem pendidikan yang mulai maju dan kesadaran penduduk akan pendidikan yang semakin

meningkat sehingga mereka yang memiliki pendidikan memilih untuk meninggalkan desa

dan memilih kota sebagai tujuan mereka untuk memperbaiki keadaan ekonomi karena

adanya anggapamn bahwa bekerja di kota memiliki penghasilan yang lebih tinggi. Kota-kota

yang menjadi tujuan adalah Medan dan Riau.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Tahun 1980

NO USIA/TAHUN

JENIS KELAMIN

LAKI-LAKI PEREMPUAN

1 0-4 290 274

2 5-9 321 305

3 10-14 246 252

4 15-24 327 378

5 25-49 398 413

6 50 ke atas 221 200

JUMLAH 1.803 1.822

Sumber: Hasil sensus penduduk tahun 1980

Dari tabel 2 yang berisikan jumlah penduduk di Desa Baja Dolok berdasarkan sensus

penduduk tahun 1980 bahwa kelahiran bayi laki-laki lebih tinggi dibanding dengan bayi

perempuan, selisinya mencapai 16 jiwa, namun pada usia 5-49 tahun jumlah penduduk

(35)

laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Jumlah penduduk yang berumur 15-49 tahun

mencampai 1516 jiwa (49%), usia tersebut dikategorikan usia produktif yang mampu

mendukung kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian, terutama pada saat musim tanam

maupun musim panen. Sedangkan jumlah penduduk berumur 50 tahun ke atas berjumlah 421

jiwa (12%) , sebagian dari mereka juga masih mampu mengerjakan lahan pertanian yang

mereka miliki.

Tabel 3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan tahun 1987

NO Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Belum sekolah/tidak pernah sekolah 1.084

2 SD sederajat 1.565

3 SLTP sederajat 1.169

4 SLTA sederajat 102

5 Akademik/Universitas 7

JUMLAH 3.927

Sumber: Data Monografi Desa Baja Dolok tahun 1987

Jumlah penduduk Desa Baja Dolok belum sekolah dan mereka yang tidak pernah

sekolah mencapai 1.084. tingkat pendidikan SD berada di urutan kedua yaitu sebanyak 1.565,

kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan SLTP sebanyak 1.169, ini dapat dikatakan bahwa

pendidikan di Desa Baja Dolok pada tahun 1987 sudah mengalami peningkatan dilihat dari

jumlah penduduk yang telah mengenal huruf lebih tinggi yaitu 2.843 dan peningkatan

semakin terlihat karena di desa ini sudah penduduk yang berada pada tinngkat pendidikan

(36)

perkembangan desa. Perkembangan pendidikan di Desa Baja Dolok dapat dilihat pada tabel

1.4 di bawah.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2000

NO Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Belum sekolah/tidak pernah sekolah 861

2 SD sederajat 995

3 SLTP sederajat 1.232

4 SLTA sederajat 917

5 Akademik/Universitas 32

JUMLAH 4.037

Sumber: Data Monografi Desa Baja Dolok tahun 2000

Jumlah penduduk yang belum sekolah dan tidak pernah sekolah sebanyak 861 jiwa,

jika dibanding tahun 1987 jumlah ini mengalami penurunan, sama halnya dengan jumlah

penduduk yang berada ditingkat pendidikan SD mengalami penurunan. Peningkatan kualitas

pendidikan penduduk dialami pada tingkat SLTP, SLTA dan Universitas. Dari sini dapat

dilihat bahwa kehidupan ekonomi penduduk sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di

Desa Baja Dolok.

Pada tahun 1987 penduduk Desa Baja Dolok terdiri dari empat suku bangsa yaitu Jawa,

Simalungun, Toba dan Mandailing. Masing-masing Jawa 3.038 jiwa (77,36%), Simalungun

808 jiwa (20,58%), Toba 80 jiwa (2,02%) dan Mandailing 1 jiwa (0,02%). Orang Jawa

umumnya tersebar di dusun Kampung Jawa dan Balimbingan, sementara di dusun

(37)

suku bangsa seperti Simalungun, Toba dan Jawa. Namun di dusun kampung Jawa ini ada

sebuah wilayah pemukiman khusus untuk etnis Batak yang beragama Kristen dengan nama

Pagar Jawa.16

Penduduk Desa Baja Dolok menganut agama yang berbeda-beda seperti Islam, Kristen

Protestan, Kristen Katolik dan Budha. Penduduk yang menganut agama Islam ada 3.039

jiwa, Kristen Protestan 874 jiwa, Kristen Katolik 8 jiwa dan Budha sebanyak 6 jiwa.

Mayoritas penduduk Jawa yang menganut agama Islam dan suku Batak beragama Kristen.

Banyaknya penduduk yang beragama Islam dapat dilihat dengan jumlah bangunan mesjid

yang ada di Desa Baja Dolok, hingga tahun 2000 terdapat tujuh mesjid dan dua gereja HKBP

namun tidak ada vihara sebagai tempat ibadah bagi orang Budha.

Di Wilayah dusun ini benar-benar terpisah antara suku Batak yang beragama

Kristen dan suku Jawa yang beragama Islam secara letak pemukiman, namun interaksi dalam

kehidupan sehari-hari tetap terjalin, baik di bidang ekonomi maupun politik.

Bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari dengan sesama orang Jawa

adalah bahasa Jawa, tetapi bukan hal yang aneh jika orang Toba dan Simalungun mampu

berbahasa Jawa, hal ini dilakukan bila berinteraksi dengan orang Jawa dan seringkali terlihat

bahwa orang Toba dan Simalungun mengunakan bahasa Jawa dibanding dengan

menggunakan bahasa Indonesia.

16

Pagar Jawa merupakan bekas istana Parpagaran sebelum dipindahkan ke daerah Jambi-jambi. Pagar

(38)

Bahasa Jawa juga diturunkan kepada anak-anak mereka, namun bahasa Jawa yang

digunakan sudah tidak berbahasa Jawa “halus atau krama”.17

Pada tahun 1987 mata pencaharian penduduk Desa Baja Dolok adalah sebagai petani

dan buruh, baik buruh perkebunan maupun buruh tani, hanya sedikit yang bekerja sebagai

wiraswasta atau pegawai negeri sipil, di bidang kesehatan hanya ada satu mantri dan satu

bidan melahirkan, sedangkan penduduk yang bekerja di bidang militer tidak ada.

Karena orang tua mereka bukan

berasal golongan priyayi ketika di Jawa, mereka hanyalah wong cilik yang dikontrak menjadi

kuli kontrak di Sumatera.

2.4 Pemerintahan Desa

Desa Baja Dolok secara administratif berada di wilayah pemerintahan Kecamatan

Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun tergolong desa Swakarya menurut tataran desa-desa di

Indonesia. Roda pemerintahan desa dikendalikan oleh seorang kepala desa, dibantu oleh

kepala dusun, badan perwakilan desa, ketua RW dan RT. Namun sebelum penggabungan

menjadi sebuah desa, wilayah ini terdiri dari dusun-dusun dan setiap dusun memiliki ketua

yang disebut lurah.

Tahun 1966 kelima dusun disatukan menjadi sebuah wilayah pedesaan, maka dibuatlah

sebuah pemillihan kepala desa. Kepala desa pertama yang terpilih adalah Suyoto. Dari sini

17

(39)

dimulailah suatu pemerintahan desa. Masa jabatan seorang kepala desa berlangsung selama

delapan tahun selanjutnya dilakukan pemilihan kembali. Setelah memiliki pemerintahan desa

maka pada tahun 1972 dibangunlah sebuah balai pertemuan yang disebut balai desa dan

tahun 1974 dibangun kantor kepala desa , kedua bangunan ini didirikan di dusun II.

Pemberlakuan otonomi daerah di Simalungun pada tahun 2000 menyebabkan Desa

Baja Dolok dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Baja Dolok dan Desa Baliju. Hal ini juga

mengubah desa menjadi nagori, kepala desa menjadi pangulu,dusun menjadi huta, kepala

dusun menjadi gamot, badan perwakilan desa menjadi maujana nagori, rukun warga menjadi

urung, rukun tetangga menjadi dihilangkan kerena tidak berfungsi secara efektif dan

perangkat desa diganti menjadi tungkat nagori.18

18

(40)

Susunan Organisasi dan Tata Pemerintahan Nagori dan Tungkat Nagori di Kabupaten Simalungun.

PANGULU

UPTL UPTL

MAUJANA NAGORI

SEKRETARIS DESA

KAUR PEMERINTAHAN

DAN KEMASYARAKATAN

KAUR PEREKONOMIAN

DAN PEMBANGUNAN NAGORI

KAUR ADMINISTRASI

DAN KEUANGAN NAGORI

GAMOT GAMOT GAMOT GAMOT GAMOT

(41)

BAB III

KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN

3.1 Buruh di Perkebunan

Menurut Buntaran Sanusi buruh yaitu mereka yang melakukan pekerjaan dalam satu

hubungan kerja untuk majikan dengan menerima upah. Adanya hubungan timbal balik antara

buruh dan majikan yang keduanya saling membutuhkan. Namun buruh dianggap sebagai

suatu kelas yang selalu dieksploitasi oleh majikan, sehingga akan selalu berusaha

menghancurkan majikan dalam perjuangan dan dipersepsikan dengan kelompok tenaga kerja

dari golongan bawah yang bekerja hanya mengandalkan otot.

Sejarah buruh di Indonesia telah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, begitu

juga halnya di Sumatera Timur. Setelah dibukanya perkebunan di Sumatera Timur oleh

Jacobus Neinhuys pada tahun 1863, untuk memperlancar aktivas produksi di perkebunan

para pekerja sengaja didatangkan dari luar Sumatera Timur karena penduduk setempat tidak

mau bekerja dengan pihak pengusaha asing. Bersamaan dengan pesatnya pembukaan lahan

baru untuk perkebunan tembakau, tahun 1890-1920 adalah era dimana masuknya gelombang

kuli untuk bekerja di perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara

besar-besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa. Kebanyakan dari

mereka tertipu oleh bujukan para agen pencari kerja yang mengatakan kepada mereka bahwa

Deli adalah tempat dimana pohon yang berdaun uang (metafor dari tembakau).19

19

Deli memang menjadi koloni Belanda yang paling menonjol di Sumatera Timur dan disebut sebagai

Het Dollar Landsch. Ini menunjukkan bahwa mampun menghasilkan jutaan gulden keuntungan. Lihat Alexander Avan, Parijs van Soematra, Reinmaker: Medan, 2010, hlm. 43.

(42)

akan kaya raya namun kenyataannya mereka dijadikan budak. Selama puluhan tahun mereka

menjalani kehidupan yang sangat tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, perlakuan kasar

majikan.

Awalnya para pengusaha asing yang ada di Sumatera Timur mendatangkan para

pekerja dari Cina melalui Pulau Pinang untuk dijadikan pekerja. Adanya proteksi Inggris

terhadap orang-orang Cina menyebabkan penyaluran tenaga kerja Cina ke Deli menjadi

terhambat. Sebagai solusinya kemudian didatangkan pekerja India. Para pekerja India ini pun

diproteksi oleh Inggris, hingga akhirnya para pengusaha perkebunan mendatangkan pekerja

dari Jawa untuk diperkerjakan di lahan-lahan perkebunan tembakau Deli. Semua pekerja ini

diikat oleh perjanjian yang disebut dengan “Contract Koeli”. Ini lah yang mendasari

penyebutan koeli kontrak pada para pekerja kebun di Sumtim.20

Kedatangan kuli kontrak yang berasal dari Jawa dimulai pada tahun 1880, ketika

pemerintah Inggris makin mempersulit tenaga kerja Cina datang ke Deli. Sementara

pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai persyaratan bagi pekerja Tamil yang

hendak ke Deli, namun calo buruh di Penang dan Singapura tetap memasok tenaga ke Deli,

dengan tipuan hendak memperkerjakan meraka ke Johor. Pada tahun 1880 merupakan awal

kedatangan buruh Jawa ke Deli berjumlah 150 orang berasal Bagelen, Jawa Tengah. Pada

tahun 1911 lebih dari 50.000 buruh didatangkan dari Jawa Tengah.21

20

Ibid., hlm. 67

Jumlah ini mengalir

terus, sampai akhirnya mengalahkan jumlah buruh kebun asal Cina dan Tamil.

21

(43)

Pada masa pemerintaha Belanda di Sumatera Timur, para pekerja yang didatang dari

luar Sumatera Timur untuk bekerja di perkebunan disebut koeli kontrak. Istilah “koeli” itu

sendiri awalnya bukan merupakan hal dipandang rendah tetapi bermakna sebagai “pengambil

upah”, dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggris: cooli yaitu orang yang mengambil upah ini

menggunakan kemampuannya untuk merampungkan sesuatu pekerjaan yang diminta. Jadi

sama dengan pengertian sekarang “karyawan” , hal ini dianggap rendah karena bentuk

kedudukan seorang yang melakukan kerja hanya berupa pekerjaan kasar, yang hanya bekerja

ketika mendapatkan perintah dari majikan untuk menyelesaikan tugas tanpa memiliki hak

untuk melawan atau angkat muka. Selama pekerjaan kasar yang dilakukan oleh pekerja

maka disebut dengan kuli, maka istilah yang bagaimanapun merdunya didengar akan

berakibat bahwa istilah “kuli” itu sendiri turut menurun “status”-nya.22

Pada penelitian ini lebih terfokus pada buruh-buruh perkebunan di Desa Baja Dolok

yaitu Afdeling VII dan Afdeling VIII yang merupakan perkebunan kelapa sawit yang berada

di bawah naungan perkebunan Dolok Sinumbah. Unit Usaha Dolok Sinumbah adalah salah

satu Unit Usaha PT.Perkebunan Nusantara IV yang didirikan pada masa Pemerintahan

Belanda pada tahun 1928 yang bernama NV.Handle Veronigging Amsterdam ( NV.HVA ) yang bergerak dibidang usaha Budi Daya Tanaman Kelapa sawit. Sehubungan Peraturan Pemerintah RI No.13 tahun 1959 tgl. 2 Mei 1959, semua perusahaan yang tadinya dikelola Istilah koeli kontrak,

buruh maupun karyawan sebenarnya sama, hanya konteks zaman yang memiliki istilah yang

berbeda.

22

(44)

oleh Pemerintah Belanda diambil alih oleh Negara termasuk kebun Dolok Sinumbah yang

diberi nama Perusahaan Perkebunan Negara Baru (PPN Baru) eks HVA.

Selama periode 1957-1960 telah terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan

politik yang mempengaruhi kebijaksanaan pemerintahan dalam sektor perekonomian, antara

lain perubahan struktur politik dari sistem demokrasi liberal ke sistem demokrasi terpimpin.

Hal ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan kebijakan pemerintah di

sektor perekonomian, yang mencakup perdagangan, perindustrian dan perkebunan yang

disebut dengan Deklarasi Ekonomi.23

Sejalan dengan deklarasi kebijaksanaan ekonomi, pemerintah memiliki dasar untuk

melaksanakan usaha kepemilikan modal secara langsung, dengan jalan mengambil alih

perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia, sebagai sisa dari masa

penjajahan. Proses pengambilalihan perusahaan Belanda ini berlangsung sejak Desember

1957 yang dikenal dengan proses “ Nasionalisasi” perusahaan asing.

Pada tahun 1960 Badan Pimpinan Umum (BPU), yang mengelola

perusahaan-perusahaan negara secara sektoral, misalnya perdagangan, perkebunan dan industri. Perlu

dipahami bahwa bekas perusahaan perkebunan swasta Belanda yang diambil alih oleh

pemerintah tanggal 10 Desember 1957, tidak digabungkan dalam PPN yang sebelumnya

sudah ada, tetapi digabungkan ke dalam organisasi pengelolahan perusahaan negara yang

23

(45)

dibentuk baru, yaitu PPN Baru Pusat. Dengan dibentuknya PPN Baru, maka PPN yang telah

ada sebelumnya disebut PPN Lama.

Pada Agustus 1960 Perkebunan Dolok Sinumbah masuk ke dalam PPN Baru yang

merupakan bekas perkebunan HVA dan pada tahun yang sama struktur organisasi PPN baru

disempurnakan dengan pembagian rayon, dan Pre-unit dalam setiap rayonnya. Unit-unit

perusahaan menurut P.P No. 141 s/d 175 tahun 1961, dijadikan kesatuan-kesatuan

perusahaan negara yang bertugas menyelenggarakan kegiatan di bidang produksi. Sementara

itu PPN Lama dan PPN Baru Pusat digabungkan menjadi Badan Pimpinan Umum

Perusahaan Perusahaan Negara ( BPU-PPN). Sejak saat itu, PPN Lama Dan PPN Baru lebur

menjadi PPN Kesatuan, yang terbagi dalam berbagai unit kerja perkebunan. Adapun unit

kerja perkebunan itu adalah Unit Aceh, Unit Sumatera Utara 1 s/d X, Unit Sumatera Selatan I

s/d II, Unit Jawa Barat I s/d VI, Unit Jawa Tengah I s/d V, Unit Jawa Timur I s/d X, PPN

Perintis, dan Unit Penelitian.24

Kemudian Kebun Dolok Sinumbah masuk kedalam Perusahaan Perkebunan Persatuan

Sumut III dalam jenis komoditi yang sama yaitu kelapa sawit. Tahun 1973 terjadi lagi

reorganisasi didalam lingkungan Perusahaan Persatuan Sumut III dan Kebun Dolok

Sinumbah masuk kedalam Perusahaan Negara Perkebunan VII ( PNP VII ) dimana Kebun

Dolok Sinumbah diperluas menjadi 2 rayon yaitu Rayon 1 yang terdiri dari Afdeling I – VIII

24

(46)

masuk ke dalam Kebun Dolok Sinumbah, Rayon 2 yang terdiri dari Afdeling IX – X masuk

kedalam eks Kebun Tonduhan.25

Pergeseran dalam politik nasional Indonesia, telah mengubah ulang prospek ekonomi

industri perkebunan dan juga prospek dari berbagai kelompok sosial yang menggantungkan

mata pencahariannya secara langsung. Pengambilalihan perkebunan milik Belanda menjadi

milik Indonesia atau yang dikenal dengan “Nasionalisasi” pada tahun 1957 juga membawa

perubahan, termasuk di dalamnya hierarki perkebunan dan kehidupan para buruh di

perkebunan dan buruh tetap berada pada kelas terbawah.

Dalam hal ini, struktur formal hierarki mempertahankan sebagian besar dari bentuk

permukaan struktur hierarki kolonial. Bentuk yang ada samapada zaman Belanda seperti

ketua administrasi perkebunan (ADM), pengurus sistem umum (asisten kepala, ASKEP),

pengawas asisten yang diberi tugas mengepalai divisi khusus penanaman, pegawai kantor

(krani), teknisi, mandor yang mengepalai pada tiap blok di dalam tiap divisi dan akhirnya

para buruh perkebunan yang bertanggung jawab kepada para mandor.

Ketika Belanda masih berkuasa di Sumatera Timur dan memiliki kuasa di perkebunan,

penggolongan hierarki status begitu terlihat jelas. Sedangkan para kuli kontrak yang menjadi

pekerja adalah kaum-kaum yang diperlakukan secara tidak adil dan berada pada kelas yang

sangat rendah. Pada saat itu yang telihat sangat mencolok adalah bahwa pekerja di

perkebunan merupakan komunitas heterogen yang terdiri dari berbagai etnis. Sehingga

pembagian kerja diperkebunan dilakukan atas dasar etnisitas. Orang Jawa biasanya

(47)

dipekerjakan untuk menyiapkan lahan dan melaksanakan pekerjaan lain di ladang yang tidak

memerlukan keahlian dan diawasi oleh seorang mandor. Orang India bekerja melakukan

penggalian lubang bangunan, orang Melayu untuk transportasi dan orang Cina melakukan

pekerjaan di kebun seperti orang Jawa. Hingga nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing

namun para pekerja di perkebunan-perkebunan masih memperkerjakan orang Jawa yang

merupak keturunan-keturunan kuli kontrak.

3.2 Upah, Utang, dan Jaminan Kerja bagi Buruh di Perkebunan

Setelah Indonesia merdeka dan perkebunan sudah di nasionalisasikan. Penyebutan

untuk kuli kontrak tidak lagi disebutkan bagi para pekerja di perkebunan. Keadaan orang

Jawa sebagai buruh perkebunan secara substantif tidak banyak membawa perubahan, kecuali

poenale sanctie telah dihapuskan. Kemiskinan dan ketertinggalan masih membalut kuat

generasi keempat dan kelima para kuli yang telah bertukar namanya menjadi buruh atau

karyawan.

Meskipun perkebunan asing milik Belanda sudah dinasionalisasikan, namun kehidupan

para pekerja diperkebunan masih sama seperti pada masa Belanda bahkan keadaannya dapat

dikatakan semakin memburuk. Para buruh perkebunan memiliki tugas yang berbeda-beda,

ada yang membuat keranjang, menanam bibit baru, menyiram bibit tanaman, memanen

(48)

pukul 07.00 WIB dan selesai pada pukul 14.00 WIB sesuai dengan pekerjaan yang mereka

peroleh di perkebunan, istirahat hanya diberikan waktu satu jam. 26

Memanen tanaman kelapa sawit sebelum tahun 1972 masih dilakukan dengan cara

manual para pekerja harus menaiki pohon kelapa sawit dengan mengunakan sebatang pohon

bambu yang setiap ruasnya diberi lubang, setelah diatas mereka harus mengaitkan tali yang

ada di badan mereka dengan bambu dan batang pohon kelapa sawit. Setelah itu mereka

memulai memanen, buah yang tidak selalu berdekatan membuat mereka harus memutar

bambu tersebut tanpa turun terlebih dahulu. Dalam waktu satu jam para pekerja ini hanya

bisa memanen satu pohon dengan jumlah buah yang dipanen ±5 tandan.27

Setelah dipanen buah dikumpulkan disetiap beberapa pohon dengan menggunakan

keranjang yang dipikul oleh pekerja ke setiap blok, setelah terkumpul maka akan diangkut

oleh pekerja lain dengan menggunakan gerobak yang ditarik oleh seekor sapi menuju

perlintasan kereta api pengangkut kelapa sawit yang disebut muntik. Muntik inilah yang

selanjutnya membawa hasil panen dari perkebunan kelapa sawit dari Afdeling VII dan

Afdeling VIII ke pabrik kelapa sawit yang ada di Dolok Sinumbah.28

Biasanya orang bekerja untuk mendapatkan upah yang pemberiannya ditetapkan oleh

kedua belah pihak dalam perjanjian kerja, seperti dalam peraturan majikan, dalam peraturan

26

Berdasarkan peraturan tertulis, para buruh memulai pekerjaan pada pukul 7.00-14.00 dengan satu jam

istirahat. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan sangat jauh berbeda, kadang kala mereka bekerja hingga pukul 15.00 atau 17.00 WIB. Wawancara dengan Ngadikan pada tanggal 16 Februari 2013 di Huta II Baja Dolok.

27

Ibid.,

(49)

upah atau dalam perjanjian perburuhan.29

Masalah pengupahan pada buruh perkebunan masih saja mengadopsi cara pengupahan

pada masa kolonial Belanda. Pemberian upah atau gajian dilakukan secara kontan dan

berkala. Setiap buruh perkebunan mendapat upah dua kali dalam sebulan yaitu gajian besar

pada awal bulan dan gajian kecil pada pertengahan bulan.

Mengenai bentuk upah yang biasanya berupa uang

dan barang. Jika dibayar dengan uang maka pembayaran harus dilakukan dalam alat

pembayaran yang sah di Indonesia. Selain uang pekerja juga mendapatkan tambahan berupa

barang keperluan sehari-hari yang disebut dengan upah-innatura atau catu.

30

Pada saat gajian besar uang yang diterima dua kali lipat dari jumlah uang yang diterima

pada gajian kecil. Jika pada gajian kecil mendapatkan uang sebanyak Rp 30.000,- maka jika

gajian besar mendapat Rp 60.000,- atau lebih. Selain uang juga mendapatkan catu berupa

barang keperluan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, garam,gula pasir,

bubuk teh, ikan asin, kacang hijau, susu dan kain. Kain diberikan setiap enam bulan sekali.

Pekerja perkebunan biasanya mendapatkan jatah sebesar enam meter, istri yang ikut suami

sebesar tiga meter dan tiga meter untuk setiap anak.

Jumlah pembayaran upah pada

gajian kecil biasanya lebih sedikit dibanding dengan gajian besar. Pada saat gajian selain

mendapatkan upah berupa uang, buruh juga mendapatkan catu.

31

29

Halili Toha dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, Bina Aksara: Jakarta, 1987, hlm. 57.

30

Pada masa pemerintahan Belanda, perkebunan membayarkan upah pada hari-hari tertentu (hari besar) biasanya pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan. Lihat Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad ke-20, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1997, hlm. 116.

31

(50)

Pemotongan upah pada saat gajian besar tidak dapat dihindarkan. Potongan tersebut

mampu menghabiskan semua jumlah gaji yang diperoleh, jika sisa pun tidak mempu

menompang kebutuhan hidup beberapa hari ke depannya. Upah buruh perkebunan yang

sangat kecil, yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan, ditambah dengan

jumlah tanggungan yang banyak membuat upah yang diperoleh tidak mencukupi untuk

pemenuhan kebutuhan hidup mereka. 32

Tradisi utang juga diwarisi dari masa kolonial. Pada masa kolonial Belanda. Para buruh

yang berasal dari Pulau Jawa mendapatkan uang panjar, sebenarnya uang panjar ini adalah

utang yang kemudian hari ketika sudah bekerja di Sumatera Timur akan ditagih. Ketika di

perkebunan dengan hidup yang sulit dan merebaknya perjudian33

Tidak jauh berbeda dengan kehidupan buruh setelah dinasionalisasi. Para buruh

biasanya meminjam di koperasi-koperasi yang telah disediakan di pondok perkebunan.

Koperasi ini menyediakan bahan makan pokok seperti beras, minyak, gula garam dan

lain-lain. Jika persedian para buruh sudah habis, maka buruh mengambil terlebih dahulu di

koperasi. Pada saat gajian besar datang, utang tersebut harus dibayar ke koperasi. Seringkali sistem utang pun semakin

berkembang, hal ini bertujuan untuk mengikat para kuli kontrak dengan pihak perekebunan.

32

Ibid.,

33

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+2

Referensi

Dokumen terkait