• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam Pembangunan Wilayah Di Kabupaten Keerom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam Pembangunan Wilayah Di Kabupaten Keerom"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS EKONOMI

PETANI ASLI PAPUA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH

DI KABUPATEN KEEROM

UNTUNG TURUA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

UNTUNG TURUA. Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua dalam Pembangunan Wilayah di Kabupaten Keerom. Dibimbing oleh SETIA HADI,

BAMBANG JUANDA, dan ENDAH MURNININGTYAS.

Pola pikir tentang asalkan terbebas dari rasa lapar, terlindung dari perubahan cuaca dan gangguan binatang buas, sangat mempengaruhi kinerja petani asli Papua di Kabupaten Keerom, sehingga aktivitas menggarap lahan cenderung statis. Akibat yang terjadi adalah kapasitas ekonomi petani saat ini hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan primer. Padahal kesejahteraan mereka seharusnya bisa lebih baik dari kondisi saat ini. Kapasitas petani asli Papua dalam hal pendidikan formal dan non-formal serta sikap dan ketrampilan (kinerja) dalam bercocok tanam di wilayah ini masih rendah dibanding petani non-Papua.Bahan pangan yang tumbuh dan hidup secara bebas di lingkungan alam, merupakan titik lemah dan cenderung memanjakan. Petani asli Papua belum sepenuhnya mengandalkan aktivitas budidaya, dan masih melakukan aktivitas meramu dan berburu.

Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model deskriptif pembangunan pertanian bagi petani asli Papua di Kabupaten Keerom. Tujuan khusus penelitian yaitu (1) menganalisis potensi sumberdaya lahan dalam pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua, (2) menganalisis ekologi kampung dan kebiasaan hidup (budaya) petani asli Papua, (3) menganalisis kelembagaan kelompoktani dan pemilikan lahan, (4) menganalisis kapasitas ekonomi petani asli Papua dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis peta sebaran kesesuaian lahan dan pengecekan lapangan, ekologi, deskriptif, kelembagaan, uji beda dan regresi. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, BP4K dan BPTP Provinsi Papua. Data primer diperoleh melalui wawancara responden petani, tokoh adat dan agama, focus group discution (FGD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan luas lahan oleh petani asli Papua asal keerom masih sangat terbatas (rata-rata untuk tanaman pangan 0,42 ha, dan perkebunan 1,48 ha), sementara luas lahan yang dimiliki rata-rata lebih dari 12,86 ha. Faktor penyebabnya adalah petani asli Papua asal Keerom masih intensif meramu potensi hutan dan berburu hewan liar. Penggunaan tehnologi pertanian oleh petani asli Papua masih sangat sederhana, tidak memiliki modal untuk musim tanam berikutnya jika dibandingkan dengan petani non Papua. Faktor budaya (modal sosial) sangat kuat sehingga berpengaruh negatif terhadap pendapatan dan tabungan.

(6)

Model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:Wawasan petani asli Papua tentang pengembangan ekonomi pertanian masih sangat terbatas, disisi lain skill (ketrampilan berusahatani) juga sangat rendah, dibanding petani non Papua. Petani asli Papua sangat membutuhkan bantuan pembinaan (pemberdayaan). Bantuan pemberdayaan yang pernah dilakukan hingga saat ini oleh PPL pertanian di Kabupaten Keerom, perlu ditinjau kembali karena tidak mampu membawa perubahan (memperbaiki skill petani) dalam berusahatani. Pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua, memerlukan sebuah model pengembangan ekonomi pertanian yang lebih spesifik agar bantuan keuangan dari pemerintah Kabupaten Keerom dapat termanfaatkan secara efektif dan efisien.

Hasil analisis uji beda terhadap variabel terikat menunjukkan adanya perbedaan skilldan pendapatan antara petani asli Papua dan petani non Papua. Perbedaan tersebut menempatkan skilldan pendapatan petani non Papua jauh lebih baik dibanding petani asli Papua. Analisis regresi menunjukkan bahwa skill dan pendapatan petani asli Papua lebih rendah dibanding petani non Papua. Solusi yang dapat lakukan adalah perlu adanya pendampingan terhadap petani asli Papua agar skill mereka dalam mengolah lahan pertanian bisa menjadi lebih baik.

Pemberdayaan (pendampingan) kepada petani asli Papua di Kabupaten Keerom perlu mempertimbangkan faktor sosial budaya dan faktor peran agen yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan pemanfatan SDL. Oleh karenanya strategi pendekatan pembinaan petani asli Papua di wilayah ini dapat dilakukan melalui kelompok keret. Mengingat pemilikan lahan di wilayah ini bersifat komunal dan ketua keret sebagai agen yang sangat berperan mengatur penggunaan lahan bagi anggota keret. Program pemberdayaan kepada petani asli Papua melalui pendampingan secara intensif (melekat) direkomendasikan untuk diaplikasikan melalui pendekatan ekonomi keret. Pendekatan ini memposisikan ketua keret sebagai agen (tokoh sentral) yang mengkoordinir dan memotivasi anggota keret dan sekaligus mengawasi dan mengevaluasi kemajuan kegiatan ekonomi pertanian yang dilakukan kelompok keret.

(7)

SUMMARY

UNTUNG TURUA. Model of economic capacity development of indigenous Papuan farmers in the area development of Keerom regency. Supervised by SETIA HADI, BAMBANG JUANDA, and ENDAH MURTNININGTYAS

The stereotype of only free from hunger, shaded from weather change and safe from wild animals, really influence the work habit of indigenous Papuan farmers in Keerom regency, so the activity of land cultivation tends to be static. The consequence is that the economic capacity of the Papuan farmers nowadays can only fulfill little of the primary need. In fact their prosperity should be able to be better than the present situation. The capacity of indigenous Papuan farmers in formal education and informal as well as the attitudes and skills in planting in this area is still low compared with non Papuan farmers. Food resources supplied by the nature tend to spoil them. The indigenous Papuan farmers do not do cultivation activities much, and they still collect food and hunt animals in the forest.

The main purpose of this research is to develop descriptive model of the development for indigenous Papuan farmers in Keerom regency. The specific aims of this research are: (1) to analyze potential of land resources in the development of economic capacity of indigenous Papuan farmers, (2) to analyze ecology of villages and life habits (culture) of the indigenous Papuan farmers, (3) to analyse institution of farming groups and land ownership, (4) to analyze the economic capacity of indigenous Papuan farmers and the influencing factors.

Research method used in this research is analysis of the map of the spread of land suitability and survey, ecology, descriptive, institutions, test of difference and regression. The data used is secondary data from BPS, Office of agriculture, office of plantation, BP4K and BPTP Papua province. Primary data was collected from interviews with farmers, religious and traditional figures, focused group discussion (FGD).

The result of the research shows that the use of land size by indigenous Papuan farmers from Keerom is still limited (0.42 ha in average for agriculture, and 1.48 ha in average for cultivation), while the size of land owned is more than 12.86 ha in average. The main reason is that the indigenous Papuan farmers from Keerom still intensively sollect forest procucts and hunt wild animals. The use of farming technology by indigenous Papuan farmers is still simple, do not have capital for the following planging seasons compared with non Papuan farmers. Cultural factor (social capital) is so strong that negatively influences the income and saving.

The size of land suitability class which is dominant for Cacao S2 (suitable enough) is 70.91%, while the land for palm oil trees with class S2 is 39.86%. The indigenous farmers from Keerom still expect the supply of ecology potential and tend to become the farmers’ food resources. This condition influences the work habits of the farmers in cultivating the land. Economic capacity (income and skills) of non Papuan farmers is better than indigenous Papuan farmers. The factor of the length of working in the agriculture, the frequency of cultivating agriculture land in a year, the number of men power, the existence of capital in cultivation, the size of land, local farmers, the use of technology in farming, the suitability between formal education with the farming job, participation in the farming

(8)

Model of the development of the economic capacity of the indigenous Papuan farmers needs to consider the following factors: the knowledge of indigenous Papuan farmers on the development of agricultural economy is still limited. On the other hand, the skill is also low compared with non papuan farmers. Indigenous Papuan farmers really need guidance (empowerment). Empowerment having been done until today by PPL in Keerom regency needs to be revised because there has not been any change (improving

farmers’ skills) in agriculture. The development of economic capacity of indigenous

Papuan farmers need a model of developoment of agricultural economy which is more specific in order for the financial aid from the government of Keerom regency to be used effectively and efficiently.

The result of the test of difference to independent variable shows the difference of skill and income between indigenous Papuan and non Papuan farmers. This difference show that the skill and income of non Papuan farmers are much better than indigenous

Papuan farmers’. The possible solution is the accompaniment to indigenous Papuan

farmers for their better skill in cultivation.

The empowering (acommpaniment) to indigenous Papuan farmers in Keerom regency needs to consider social cultural factors and the factor of influencing agents in deciding the use of land resources. Therefore, the strategy of the empowerment to the indigenous Papuan farmers in this area can be done through Keret groups. This is because the land ownership in this area is communal and the head of keret is an agent which has the role in regulating the use of the land for the members of keret.The intensive empowerment program to indigenous Papuan farmers is recommended to be applied through the approach of keret economy. This approach positions the head of keret as agent (central figure) who coordinates and motivates members of keret as well as monitors and evaluates the improvement of the activities of agricultural economy done by keret members.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS EKONOMI

PETANI ASLI PAPUA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH

DI KABUPATEN KEEROM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc

(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam Pembangunan Wilayah Di Kabupaten Keerom

Nama : Untung Turua

NRP : H 162090031

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi MS Ketua

Prof. Dr. Ir.Bambang Juanda, M.S Anggota

Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc, P.hD

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat, Ridho dan Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul ”Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam Pembangunan Wilayah di

Kabupaten Keerom” dapat penulis selesaikan. Pembangunan wilayah yang ideal adalah adanya sinergisitas antar wilayah agar saling berinteraksi dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang diperoleh dari proses interaksi terdistribusi secara adil dan proporsional sesuai peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah.

Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan berbagai pihak, terutama komisi pembimbing. Pada ruang yang monomental ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, dan Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc, P.hD, atas segala perhatian, nasihat dan bimbingan, yang telah diberikan, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat dirampungkan.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, selaku Ketua Program Studi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD).

2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, dan Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc, selaku penguji pada ujian tertutup.

3. Dr. Ir. Nomensen ST. Mambraku, dan Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.Ec, selaku penguji pada ujian terbuka.

4. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, dan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr, selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II.

5. Dirjen Dikti yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh Beasiswa BPPS dalam menjalani studi Program Doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB).

6. Rektor dan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, yang telah mengijinkan penulis melanjutkan studi ke jenjang program doktor di IPB. 7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan

Perdesaan (PWD), angkatan 2009, 2008 dan 2010, atas segala kebersamaan dan modal sosial yang terbangun dengan sangat kuat hingga saat ini.

8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), 2011 dan 2013, terimakasih atas usahanya telah mewarisi kebersamaan dan modal sosial di lingkungan PWD.

9. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

10.Kedua orang tua penulis H. Abuchari (alm), dan Hj. Salbiah, serta Kedua mertua H. Abdul Rauf dan Hj. Wa Ota (alm), atas segala didikan dalam perjalanan hidup ini. 11.Terima kasih kepada istri tercinta Wa Ari, dan anak-anak tersayang Ashsyrawi Zakry

Turua, Fahry Zulkhalid Turua, Mardiyah Rahmadani Turua, Firman Fadli Killian Turua, Nuraya P. Turua, atas segala kesabaran, support, dan penantian yang melelahkan.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat disertasi ini jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat bagi berbagai pihak.

(15)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 8

1.3. Tujuan Penelitian 11

1.4. Manfaat Penelitian 12

1.5. Penelitian Terdahulu 12

1.6. Kebaruan (Novelty) 13

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Wilayah 14

2.2. Pengembangan Ekonomi Wilayah 15

2.3. Potensi Wilayah 16

2.4. Kelembagaan 19

2.5. Kelembagaan Pertanian 21

2.6. Kapasitas Ekonomi Petani 22

2.6.1 Sosial budaya dan modal sosial 23

2.6.2 Sumberdaya 25

2.6.3 Tingkat pengetahuan 25

2.6.4 Tingkat partisipasi 26

2.6.5 Pendapatan 26

2.7. Sistem Pertanian Tradisional di Papua 27

2.8. Pengembangan Ekonomi Lokal 31

2.9. Model 32

3. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kerangka Pemikiran 33

2.2. Hipotesis 36

4. METODE PENELITIAN

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 37

4.2. Tahapan Penelitian 37

4.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 38

4.4. Metode Penentuan Sampel 39

4.5. Metode Analisis Data 43

4.5.1 Potensi Sumber Daya Lahan (SDL) dan Aksesibilitas Wilayah 44 4.5.2 Ekologi Kampung dan Kebiasaan Hidup (Budaya) Petani Asli Papua 46

4.5.3 Kelembagaan Kelommpoktani dan Pemilikan Lahan 48

4.5.4 Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua di Wilayah Kabupaten Keerom 49

4.5.4.1 Jenis dan Sumber Data 49

4.5.4.2 Metode Pengumpulan Data 53

4.5.4.3 Metode Analisis Data 53

(16)

xii

5.1 Kondisi Geografis 57

5.2 Penduduk 59

5.3 Suku dan Marga dalam Kelembagaan Adat 59

5.4 Tingkat Pendidikan Penduduk 54

5.5 Potensi Lahan serta Pertanian sub Sektor Perkebunan dan Tanaman Pangan 62

5.6 Kelompok Tani dan Penyuluh Pertanian 65

6. POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DAN AKSESIBILITAS WILAYAH

6.1 Kesesuaian Lahan 66

6.1.1 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Tanaman Pangan 67 6.1.2 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Tanaman Hortikultura 67 6.1.3 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Tanaman Perkebunan 69

6.1.4 Pewilayahan Komoditas Pertanian 71

6.1.5 Luas Rata-Rata Pemilikan dan Penggunaan Lahan Pertanian 75

6.2 Aksesibilitas 75

7. EKOLOGI WILAYAH DAN KEBIASAAN HIDUP PETANI ASLI PAPUA

7.1 Ekologi Wilayah Kampung 78

7.2 Zona Agroekologi 80

7.3 Aktivitas Ekonomi Petani 84

7.4 Budaya Hidup Petani Asli Papua 87

7.4.1 Tanah (lahan) dalam Pandangan Orang Papua 87

7.4.2 Ketentuan Adat tentang Lahan Hak Ulayat 88

7.4.3 Persepsi Petani Asli Papua tentang Kesejahteraan 89

7.4.4 Modal Sosial (Social Capital) 90

1.4.5 Struktur Sosial 91

1.4.6 Hambatan Kondisi Petani dalam Pembangunan Pertanian 93

8. KELEMBAGAAN KELOMPOKTANI DAN PEMILIKAN LAHAN

8.1 Kapasitas Kelembagaan 95

8.2 Pertemuan Kelompok Tani 97

8.3 Program Kerja 98

8.4 Kerjasama dalam Kelembagaan Kelompok Tani 99

8.5 Peran Kelembagaan Kelompok Tani 101

8.6 Permasalahan dalam Pengembangan Kelembagaan Kelompoktani 101

8.7 Kelembagaan Penyuluhan 102

8.8 Status Pemanfatan Lahan dan Pola Penggunaan Lahan 102

9. KAPASITAS EKONOMI PETANI ASLI PAPUA

9.1 Analisis Uji-t (Uji Beda Rata-Rata) 104

9.2 Analisis Model Regresi 106

9.2.1 Model Regresi untuk Pendapatan (Y1) 106

9.2.2 Model Regresi untuk Skill (Y2) 112

9.3 Uji Validasi 116

9.3.1 Uji Validitas Model Regresi untuk Pendapatan (Y1) 116

9.3.2 Uji Validitas Model Regresi untuk Skill (Y2) 118

10.MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS EKONOMI PETANI ASLI

PAPUA DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KEEROM

10.1 10.1.1 10.1.2 10.1.3 10.1.4

Model Deskriptif Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Aspek potensi SDL dan Strategi Pendekatan Pengembangan Ekonomi Petani Aspek Ekologi dan Budaya serta Strategi Pendekatan Pengembangan ekonomi Aspek Kelembagaan dan Pengembangan Ekonomi Petani

(17)

xiii

b. Penerapan Pemberdayaan dengan Model Insentif 139

10.2 Pembangunan Wilayah Kabupaten Keerom (sedang disiapkan) 140

10.2.1 Lingkungan 142

Keterkaitan model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua dan Potensi SDL dalam Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani asli Papua Ekologi Kampung dan Kebiasaan Hidup Petani Asli Papua

Kelembagaan Kelompok Tani Kapasitas Ekonomi Petani

Upaya perbaikan dan pengembangan faktor pengaruh kapasitas ekonomi melalui program pemberdayaan dan pendampingan melekat

Lama bekerja di lahan pertanian

Jumlah tenaga kerja yang bekerja di lahan pertanian dan partisipasi dalam kelompok tani

Ketersediaan dana untuk mengolah lahan pertanian Luas lahan yang diolah

Kesesuaian pendidikan non formal dengan pekerjaan Frekuensi mengolah lahan pertanian

1. Output Hasil Analisis Regresi 169

2. Output Hasil Analisis Uji-t 170

(18)

xiv

Gambar 1.1. Pelintas Batas wilayah Negara RI ke PNG Tahun 1984-2006 Gambar 1.2. Luas Potensi Lahan Perkebunan di Kabupaten Keerom, 2011

3 4 Gambar 1.3. Luas Lahan Perkebunan yang sudah dimanfaatkan di Kab. Keerom 2011 4 Gambar 1.4. Pengeluaran Riil Kab./kota Pemekaran dari Kab. Jayapura yang

Disesuaikan Tahun 2011

5 Gambar 1.5. Pengeluaran Riil Distrik-distrik yang Disesuaikan Tahun 2011 5 Gambar 1.6. Nilai PDRB ADHK Kab. Keerom, Kota Jayapura dan Papua 2006-2010 6 Gambar 1.7. Pertumbuhan Ekonomi Kab. Keerom dan Kota Jayapura serta Provinsi

Papua Tahun 2006-2010

7 Gambar 1.8. IPM-AHH Kab./kota Pemekaran dari Kab. Jayapura Tahun 2011

Gambar 1.9. IPM Distrik-distrik di Kabupaten Keerom Tahun 2011 Gambar 1.10. Perumusan Masalah Penelitian

10 10 11 Gambar 2.1. Wilayah Kesetaraan Budidaya Tani dan Budaya Benih yg Sejajar

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

28 36 Gambar 4.1. Peta administratif Kab. Keerom dan Kota Jayapura 38

Gambar 5.1. Peta Bentuklahan 59

Gambar 5.2. Tingkat pendidikan penduduk 61

Gambar 5.3. Luas Tanam Tanaman Sayuran Tahun 2009-2012 64

Gambar 6.1. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pangan 67 Gambar 6.2. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Hortikultura 68 Gambar 6.3. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jagung 68 Gambar 6.4. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kedelai 69 Gambar 6.5. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Perkebunan 70

Gambar 6.6. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao 70

Gambar 6.7. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit 71

Gambar 6.8. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian 72

Gambar 6.9. Rata-rata Luas Pemilikan dan Penggunaan Lahan 75 Gambar 6.10. Panjang Kondisi Jalan di Wilayah Kabupaten Keerom 76

Gambar 7.1. Peta Zone Agroekologi 84

Gambar 7.2. Jumlah Kelompoktani menurut Distrik 94

Gambar 8.1. Jumlah Kelompoktani dan Status Keaktifan Tahun 2014 95

Gambar 8.2. Respons atas Manfaat Kerjasama 99

Gambar 9.1. Tingkat Pendidikan Responden 105

Gambar 9.2. Waktu yang Digunakan Bekerja di Lahan Pertanian 108 Gambar 9.3. Pendapatan Petani tiga distrik lokasi penelitian 109

Gambar 9.4. Lama Bekerja di Lahan Pertanian 115

Gambar 9.5. Plot antara Dugaan dengan Sisaan 117

Gambar 9.6. Plot Normal dari Sisaan 117

Gambar 9.7. Plot antara Dugaan dan Galat 118

Gambar 9.8. Plot Normal dari Sisaan 118

Gambar 10.1. Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua 120 Gambar 10.2. Struktur Kelembagaan Masyarakat Adat Keerom 123 Gambar 10.3. Proses dan Keterkaitan Pemberdayaan Petani Asli Papua dalam

Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan Wilayah Kab. Keerom

(19)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Taraf tingkat pertanian 28

Tabel 2.2. Tahapan transformasi pertanian 29

Tabel 2.3. Tipe-tipe kebun pada Suku Yali 30

Tabel 4.1. Jenis data dan metode pengumpulan data 38

Tabel 4.2. Jumlah kampung – UPT dan PIR pada distrik di Kab. Keerom 39 Tabel 4.3. Luas wilayah kampung, jarak dari kampung ke kota distrik dan jumlah

rumah tangga menurut etnik di Distrik Arso, 2011 40 Tabel 4.4. Luas wilayah kampung, jarak dari kampung ke kota distrik dan jumlah

rumah tangga menurut etnik di Distrik Arso Timur, 2011 41 Tabel 4.5. Luas wilayah kampung, jarak dari kampung ke kota distrik dan jumlah

rumah tangga menurut etnik di Distrik Waris, 2011 42 Tabel 4.6. Quota sampel rumah tangga di Distrik Arso, Arso Timur dan Waris 42 Tabel 4.7. Tahapan dan Metode Analisis Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi

Petani Asli Papua di Wilayah Kab. Keerom 44

Tabel 4.8. Kategori Tingkat Kesesuaian Lahan (FAO, 1976) 45 Tabel 4.9. Unsur kebudayaan universal dan wujud kebudayaan 47 Tabel 4.10. Kebiasaan hidup (kebudayaan) petani asli Papua 47

Tabel 4.11. Kapasitas kelembagaan 48

Tabel 4.12. Kelembagaan hak kepemilikan 48

Tabel 4.13. Kelembagaan kelompok tani 49

Tabel 4.14. Parameter dan indikator pendidikan formal 50

Tabel 4.15. Parameter dan indikator pendidikan non formal 50 Tabel 4.16. Parameter dan indikator ketekunan bertani (lama kerja di lahan pertanian) 50 Tabel 4.17. Parameter dan indikator frekuensi mengolah lahan pertanian/tahun 51 Tabel 4.18. Parameter dan indikator jumlah tenaga kerja 51 Tabel 4.19. Parameter dan indikator pengalaman berusahatani 51 Tabel 4.20. Parameter dan indikator tingkat partisipasi dalam kelompok tani 52 Tabel 4.21. Parameter dan indikator interaksi dengan penyuluh 52

Tabel 4.22. Parameter dan indikator ketersediaan dana 52

Tabel 4.23. Parameter dan indikator luas lahan pertanian yang diolah 52

Tabel 4.24. Parameter dan indikator pendapatan petani 53

Tabel 4.25. Parameter dan indikator skill 53

Tabel 4.26. Kelompok Papua dan non Papua pada uji-t 55

Tabel 31. Keterangan variabel dammy dalam persamaan regresi 56 Tabel 5.1. Jarak jangkau antar distrik di Kabupaten Keerom 57 Tabel 5.2. Jumlah kepadatan penduduk serta luas wilayah Kabupaten Keerom 59 Tabel 5.3. Sebaran keret dan suku berdasarkan kampung dan distrik 60 Tabel 5.4. Pendidikan Tertinggi Petani Asli Papua dan non Papua 60 Tabel 5.5. Kemampuan Baca dan Tulis Usia diatas 5 Tahun 61

Tabel 5.6. Luas Potensi Lahan (sub sektor perkebunan) 62

Tabel 5.7. Luas Tanam Tanaman Perkebunan di Tiap Distrik 63 Tabel 5.8. Jumlah Petani dan Produksi Pertanian Tanaman Perkebunan 63

Tabel 5. 9. Luas Tanam Tanaman Sayuran 64

Tabel 5.10. Luas Tanam Tanaman Pangan 65

(20)

xvi

Tabel 6.3. Faktor Kendala dan Hambatan Fisik Lahan 74

Tabel 6.4. Aksesibilitas Wilayah Distrik Sampel Ke Pasar 77 Tabel 7. 1. Penyebaran Bentuklahan di Distrik Arso, Arso Timur dan Waris 78

Tabel 7. 2. ZAE Distrik Arso, Arso Timur dan Waris 82

(21)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan wilayah yang ideal adalah adanya sinergisitas antar wilayah agar saling berinteraksi dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang diperoleh dari proses interaksi terdistribusi secara adil dan proporsional sesuai peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah.

Kondisi riil yang terjadi antar wilayah kabupaten/kota dengan wilayah distrik maupun wilayah perdesaan (kampung), tidak terkecuali Provinsi Papua di masa lalu dan bahkan masih berlangsung hingga tahun 2013 ini, adalah wilayah kota masih dipandang sebagai kutub pertumbuhan (growth pole). Hal tersebut mengasumsikan bahwa dengan membangun daerah perkotaan maka akan dapat memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect) ke wilayah hinterland. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya terbukti, karena ternyata net-effect dari penerapan konsep growth poles malah menimbulkan pengurasan sumberdaya alam pedesaan yang luar biasa besar (masive backwash effect) ke luar dari kampung-kampung sehingga menimbulkan interaksi antar wilayah yang saling memperlemah. Rustiadi et al (2006) mengemukakan bahwa backwash effect dapat terjadi karena: (1) terbukanya akses ke daerah pedesaan sering mendorong kaum elit kota, dan perusahaan besar mengeksploitasi sumberdaya di desa, sementara masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi, para pelaku eksploitasi sumberdaya memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat, (2) kawasan pedesaan umumnya dihuni penduduk berkapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan kurang berkembang (lemah), sehingga diseminasi ide dan pemikiran maju dari kaum elit kota sulit diterima penduduk desa, (3) hubungan antar wilayah (perkotaan dan pedesaan) telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.

(22)

Kondisi tersebut dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Keerom 2010-2015, bahwa kemampuan penduduk Kabupaten Keerom untuk memenuhi penghidupan yang layak masih jauh dari target, sehingga pembangunan manusia kedepan lebih difokuskan pada peningkatan pembangunan ekonomi, baik aspek laju pertumbuhan maupun pemerataannya. Bahwa selama ini roda perekonomian hanya ramai terjadi di Distrik Arso dan Skamto, karena lebih dekat dengan kota Jayapura, (Dokumen RPJMD Kabupaten Keerom 2011). Hasil analisis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Analisis Situasi Pembangunan Manusia (ASPM) Kabupaten Keerom disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan penduduk maupun rumah tangga di Kabupaten Keerom masuk dalam kategori rendah, (BPPD dan BPS Kabupaten Keerom, 2011).

Pada tahun 2011 Provinsi Papua dikelompokkan sebagai provinsi paling miskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan 32,0%, jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan Indonesiahanya sebesar 12,5% (BPS Indonesia, 2012), sedangkan tingkat kemiskinan Kabupaten Keerom sebesar 22,75%, (lebih miskin) dari rata-rata nasional,(BPS Kabupaten Keerom, 2011).Terkait dengan Kabupaten Keerom sebagai salah satu kabupaten perbatasan dengan negara PNG, Bappenas

(2004) mengemukakan beberapa isu dan permasalahan pengelolaan wilayah perbatasan, diantaranya adalah tingginya angka kemiskinan dan masih banyaknya jumlah keluarga pra-sejahtera, serta kualitas SDM sangat rendah.

Daryanto dan Hafizrianda, (2010) mengkaji dampak pembangunan sektor pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi Papua, mengemukakan bahwa

“ketimpangan pendapatan yang mencolok antara penduduk asli Papua dan non Papua”, dapat dilakukan dengan cara memperbaiki distribusi pendapatan, terutama

pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah yang identik sebagai penduduk asli Papua. Hal senada juga dikemukakan oleh Sumodiningrat dan Wanggai (1997) bahwa di Timika (Ibukota Kabupaten Mimika), kondisi sosial ekonomi penduduk asli Papua tidak banyak berubah maju dibandingkan keadaan 35 tahun silam ketika awal beroperasinya penambangan oleh PT Freeport Indonesia, sehingga telah terjadi kesenjangan ekonomiyang cukup besar antara pendatang dengan penduduk asli, dan kesenjangan ini telah mengakibatkan kecemburuan yang menjurus pada konflik sosial.

Wilayah Kabupaten Keerom terbuka dari isolasi geografis pada tahun 1981/1982 ketika beroperasinya perusahaan pemegang Hak Penebangan Hutan (HPH). Sejak itu mulai terjadi pengurasan sumberdaya alam (SDA) secara besar-besaran, namun tidak diimbangi dengan share kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk kampung. Hal yang terjadi kemudian adalah pemerintah Orde Baru memanfaatkan lokasi bekas HPH tersebut untuk lokasi permukiman transmigrasi.

(23)

Program pembangunan yang cenderung tidak memperhatikan sosiokultur penduduk lokal semakin memperparah upaya membangun penduduk yang telah puluhan tahun menyandarkan sebagian besar kebutuhan hidup pada kemurahan alam. Berbagai kondisi sosial dan politik yang berlangsung di wilayah ini berbuntut pada gangguan keamanan di wilayah ini, menyebabkan pendekatan pemerintah dalam membangun wilayah yang letaknya dekat perbatasan negara tetangga (PNG) cenderung menerapkan pola security approach (pendekatan keamanan) dari pada prosperity approach (pendekatan kesejahteraan). Sentimen sosial (konflik horisontal) dan gesekan politik pun muncul sebagai akibat dari pendekatan pembangunan tersebut. Isu kemiskinan penduduk asli Papua sering dijadikan sebagai komoditas politik dalam menggerakkan berbagai komponen orang Papua untuk bereaksi ingin melepaskan diri dari NKRI (misalnya pada tahun 1999), seiring momentum reformasi nasional. Atmosfir sosial dan politik tersebut menyertai berbagai alasan orang Papua melakukan migrasi (secara ilegal) ke PNG. Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Provinsi Papua mengemukakan data WNI (khususnya orang asli Papua) yang melintasi batas wilayah negara, terhitung mulai 1984 dan kembali secara berangsur-angsur dari negara PNG hingga tahun 2006 sebanyak 14.730 orang, pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Pelintas Batas Negara RI ke PNG (Tahun 1984-2006)

Semangat reformasi nasional dan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah membuka peluang pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Papua termasuk Kabupaten Keerom berdasarkan Undang-Undang RI Nomor: 26 Tahun 2002. Perangkat hukum tersebut tentunya bertujuan agar rentan kendali pelayanan dan pembangunan masyarakat semakin mudah dan cepat, karena pemerintah diharapkan lebih mudah memahami kesulitan dan kebutuhan masyarakat. Semangat reformasi mendorong Kabupaten Jayapura dimekarkan menjadi 3 kabupaten yaitu: Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Sarmi.

(24)

Harapan dari tujuan pemekaran wilayah tersebut tentunya didukung oleh UU Otonomi Khusus Nomor: 21 Tahun 2001 bagi Provinsi Papua, danUndang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, yang memberikan peluang bagi pemerintah Provinsi Papua, dan khususnya pemerintah Kabupaten Keerom untuk mengatur dan melakukan intervensi langsung dalam pengembangan ekonomi penduduk (petani).

Luas wilayah Kabupaten Keerom 9.371 Km2, terdiri dari 7 distrik dan 61 kampung, dengan kepadatan penduduk 4-5 orang per Km2. (BPS Kabupaten Keerom Dalam Angka 2012). Mayoritas petani asli Papua di wilayah ini tidak memiliki ketrampilan (pengetahuan) bercocok tanam tanaman pangan maupun perkebunan secara memadai. Luas potensi lahan tanaman perkebunan di Kabupaten Keerom 323.440 ha, namun yang sudah dimanfaatkan hanya 20.675,03 ha (6,39%), Gambar 1.2 dan 1.3.

Data tersebut manunjukkan hanya 6,39% dari luas potensi lahan untuk tanaman perkebunan, atau hanya 2,21% dari luasan wilayah Kabupaten Keerom digunakan untuk perkebunan, diantaranya kelapa sawit di Distrik Skanto, Arso, dan Arso Timur serta perkebunan kakao di semua distrik, dan jenis komoditas perkebunan lainnya seperti sagu, pinang, kelapa, dan nilam.

Luas lahan di Distrik Web, Towe, Senggi, Waris, dan Arso Timur 623.016 Ha (66,48%) dari total luas wilayah Kabupaten Keerom, sedangkan luas potensi lahan perkebunan 5 distrik tersebut (228.780 ha), namun yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan hanya 1,93% (4.434,15 ha). Apabila dibanding dengan luas wilayah Distrik Arso dan Distrik Skanto hanya seluas 314.085 Ha (33,52%), namun luas potensi lahan perkebunan yang sudah dimanfaatkan seluas (Distrik Arso 18,15%), dan (Distrik Skanto 15,92%). Selain perkebunan kelapa sawit yang berorientasi padat modal, potensi perkebunan lainnya di wilayah ini masih belum dikembangkan secara lebih baik.

Sumber: BPS Kab. Keerom, 2012 Sumber: BPS Kab. Keerom, 2012

Gambar 1.2. Luas Potensi Lahan Perkebunan, 2011 Gambar 1.3. Luas Lahan Perkebunan yang Sudah Dimanfaatkan, 2011

Mayoritas petani asli Papua mengelola lahan pertanian dengan pola ladang berpindah. Tanaman pangan yang cenderung ditanam petani adalah jenis tanaman lokal untuk meminimalkan risiko gagal panen guna menjamin keberlanjutan proses produksi seperti singkong, pisang, talas, ubi jalar, dan jenis sayuran tertentu yang tidak membutuhkan perawatan khusus.

(25)

dan memiliki wawasan ekonomi pasar. Sumberdaya yang perlu didorong untuk kepentingan ini adalah menggiatkan kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan adat (khususnya lahan hak ulayat) serta kelembagaan penyuluhan, agar saling mendukung dan bekerjasama dalam membantu warga yang masih tertinggal dalam hal pendapatan.

Tingkat pendapatan penduduk yang diperoleh melalui proxy data pengeluaran untuk konsumsi makanan dan non-makanan sebagai indikator untuk mengukur standar hidup layak penduduk, Gambar 1.4.

Sumber: IPM dan ASPM BPS Kabupaten Keerom, 2011

Gambar 1.4. Pengeluaran Riil yang Disesuaikan Tahun 2011

Gambar 1.4, menunjukkan bahwa daya beli masyarakat bervariasi, dimana daya beli terbesar berada di Kota Jayapura Rp. 641.780, dan bahkan mengungguli semua kabupaten di Provinsi Papua. Kemampuan daya beli tersebut didukung oleh sektor ekonomi non-pertanian (PDRB Kota Jayapura 2010/2011). Tingkat pendapatan penduduk 7 distrik di Kabupaten Keerom diperoleh melalui proxy data pengeluaran berupa konsumsi makanan dan non-makanan, pada Gambar 1.5.

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011

(26)

Data Gambar 1.5, menunjukkan pengeluaran penduduk Distrik Arso dan Distrik Skanto per bulan pada tahun 2011 lebih besar dibanding 5 distrik lainnya, bahkan melebihi pengeluaran rata-rata Kabupaten Keerom (Rp. 621.330), dan juga melebihi pengeluaran ideal Kabupaten Keerom (Rp. 732.720). Ditunjukkan pula bahwa letak distrik yang semakin jauh dari kota kabupaten tingkat pengeluaran riil penduduk semakin kecil. Hal ini mengindikasikan pembangunan manusia kedepan perlu lebih memfokuskan pada peningkatan pembangunan ekonomi baik aspek laju pertumbuhan pembangunan maupun pemerataan hasil pembangunan.

Pergerakan ekonomi khususnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), Kabupaten Keerom, dan Provinsi Papua tahun 2006-2010 yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi, menggambarkan total nilai tambah yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan perekonomian melalui proses pembangunan daerah menunjukkan trend meningkat.

Sektor yang memberikan sumbangan terbesar dalam peningkatan PDRB ADHK Kabupaten Keerom tahun 2010 adalah sektor pertanian 32,72%, namun angka tersebut jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Sektor yang berperan sebagai kontributor tertinggi pada PDRB Provinsi Papua, adalah sektor pertambangan dan penggalian (62,76%), sedangkan sektor pertanian sebagai kontributor tertinggi kedua yaitu 10,13%. Kontribusi sektor ini perlahan mengalami penurunan, khususnya dalam lima tahun terakhir yakni 68,76 persen di tahun 2006 menjadi 63,15 persen di tahun 2010. PDRB Perkapita Kabupaten Keerom, Provinsi Papua dan Indonesia dapat dilihat, pada Gambar 1.6.

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011

Gambar 1.6. Nilai PDRB Perkapita Kab. Keerom, Provinsi Papua dan Indonesia, Tahun 2008-2011

Gambar 1.6, menunjukkan bahwa PDRB perkapita yang menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk wilayah Kabupaten Keerom, Provinsi Papua dan Indonesia sejak tahun 2008 – 2011 menunjukkan kecenderungan terus meningkat, kecuali PDRB perkapita Provinsi Papua pada tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun 2010 sebesar 17,59%

(27)

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010, menunjukkan bahwa Kabupaten Keerom mengalami pertumbuhan 9,73%, sedangkan pertumbuhan ekonomi dengan tambang pada Provinsi Papua justru mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -2,65% setelah satu tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi mencapai angka 22,74%. Ditinjau dari aspek PDRB ADHK tahun 2010, Kota Jayapura mencapai nilai Rp. 3,37 trilyun, jauh lebih tinggi dari Kabupaten Keerom yaitu hanya mencapai Rp. 352 milyar, sedangkan PDRB ADHK Provinsi Papua mencapai Rp. 22 Trilyun.

Masalahnya adalah petani asli Papua belum berperan dalam pencapaian angka-angka tersebut. Misalnya PDRB Kabupaten Keerom memperoleh sumbangan terbesar dari sektor pertanian, namun sektor pertanian yang berkontribusi adalah komoditas perkebunan kelapa sawit padat modal (perusahaan besar). Apakah petani asli Papua telah berkontribusi secara signifikan dalam perkembangan PDRB dan pertumbuhan ekonomi, dan mengapa kapasitas ekonomi petani asli Papua di wilayah ini tidak mengalami perkembangan berarti diantara petani lainnya. Hal yang diharapkan dimasa depan adalah agar pertumbuhan ekonomi yang terjadi di wilayah ini semakin meningkat dan merata pada semua warga guna keberlanjutan (sustainability) pembangunan yang lestari, sehingga kelompok masyarakat ini tidak termarjinalkan dalam pembangunan wilayah yang dihuninya. Apabila yang terjadi adalah kemampuan ekonomi PNG di wilayah perbatasan jauh lebih maju, maka diperkirakan akan sangat mudah mempengaruhi emosi sosial budaya, ekonomi dan politik warga Kabupaten Keerom maupun kabupaten lainnya di wilayah perbatasan.

Akibat yang akan timbul dari kondisi tersebut adalah penduduk kampung di wilayah ini sangat dimungkinkan untuk bermigrasi, terutama bagi warga kampung yang secara adat (sosial budaya) tidak memiliki hak ulayat. Pemilikan hak ulayat secara adat di Papua, dikuasai oleh Marga (Keret) tertentu, sementara warga kampung sesama orang asli Papua lainnya yang tidak memiliki lahan hak ulayat, namun berkebun diatas lahan hak ulayat kelompok suku atau marga lain, mereka cenderung bercocok tanam hanya sekedar bertahan hidup tanpa orientasi ekonomi

(28)

jangka panjang kedepan. Hal yang perlu dicermati kembali adalah, penerapan kebijakan paket perbaikan ekonomi kerakyatan yang pernah dilaksanakan namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kapasitas ekonomi petani asli Papua, perlu dievaluasi untuk menemukan solusi dan model yang sesuai untuk diterapkan.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan wilayah sangat erat kaitannya dengan karakter dasar yang spesifik dari kondisi geografis dan sosial budaya. Aspek tersebut turut membentuk karakteristik kegiatan ekonomi suatu wilayah. Kegiatan ekonomi di wilayah kampung identik dengan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ketiga aktivitas ekonomi tersebut dilakukan secara tradisional dengan volume yang terbatas oleh petani asli Papua pada distrik-distrik di Kabupaten Keerom, walaupun potensi lahan sangat menjanjikan.

Rendahnya aktivitas ekonomi di wilayah ini lebih disebabkan oleh faktor internal warga kampung yaitu terbatasnya SDM (pendidikan/pengetahuan, ketrampilan), pengalaman bertani, ketekunan bekerja, partisipasi, dan aksesibilitas, dalam memanfaatkan sumber daya, sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin. Kondisi petani tersebut tentunya membutuhkan bantuan pihak luar, terutama peran stakeholder (peran penyuluh/pemerintah, swasta dan LSM), guna menginovasi program pemberdayaan. Keterbatasan ekonomi petani asli Papua di berbagai kampung, telah terbukti melemahkan kemampuan orang tua membiayai pendidikan anak, tidak mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik, tidak mampu membangun rumah sehat, apalagi kebutuhan sekunder.

Kegiatan ekonomi petani asli Papua di wilayah Kabupaten Keerom, belum sepenuhnya mengandalkan aktivitas budidaya, karena petani masih melakukan aktivitas meramu dan berburu, sedangkan tanaman pangan yang ditanam petani asli Papua cenderung memilih tanaman pangan yang minim risiko gagal panen (lebih bersifat subsisten) dan minim orientasi pasar. Tanaman perkebunan (sagu, kakao, pinang, dan kelapa), belum dibudidayakan secara baik, sehingga produksinya pun belum mencapai harapan. Disisi lain minimnya infrastruktur fisik dan non fisik di wilayah kabupaten keerom turut menghambat dinamika perkembangan ekonomi petani, khususnya petani asli Papua yang umumnya berdomisili di kampung-kampung yang jauh dari kota kabupaten. Koperasi Unit Desa (KUD) tidak berfungsi dalam mendukung dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi, dikarenakan petani belum memahami kemanfaatannya.

(29)

kekuatan hidup serta media interaksi antara dunia manusia dan dunia roh”. Filosofi tersebut menjadi nilai moral adat yang sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Kepatuhan tersebut berimplikasi pada individu maupun kelompok suku yang tidak memiliki tanah adat namun tinggal di atas tanah adat suku lain. Kelompok masyarakat ini segan dalam beraktivitas karena ruang geraknya dibatasi oleh moral adat. Implikasi lebih lanjut adalah adanya keraguan petani asli Papua (bukan pemilik hak ulayat) untuk mengembangkan tanaman jangka panjang (perkebunan), karena berkaitan dengan hak pemilikan lahan (private property right), yang dikuasai kelompok suku atau keret.

Fenomena tersebut telah dipahami oleh Pemerintah Kabupaten Keerom sebagaimana dituangkan dalam RPJMD 2010-2015, bahwa dalam rangka memperkuat dan meningkatkan struktur ekonomi daerah, maka akan bertumpuh pada 3 sektor, yaitu: (1) ekonomi produktif, (2) pertumbuhan investasi daerah, dan (3) penguatan ekonomi masyarakat berbasis adat. Diakui adanya permasalahan yang dihadapi adalah (a) masih rendahnya daya beli masyarakat, (b) belum ada basis atau wadah pengembangan ekonomi lokal, (c) masih rendahnya pemanfaatan luas lahan, (d) masih rendahnya daya saing, (e) masih terbatasnya akses pasar, (f) rendahnya kemampuan masyarakat (manajemen dan keuangan) untuk mengelola usaha.

Aspek penguatan kapasitas masyarakat lokal seperti dituangkan dalam RPJMD Kabupaten Keerom kedepan diprioritaskan pada masyarakat kecil, terpinggirkan, kurang mampu, dan terisolir. Dinyatakan pula bahwa pemerintah daerah belum membangun kerjasama dengan Lembaga Adat sebagai mitra pembangunan secara maksimal.

Analisis atas data penduduk yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Keerom tahun 2010, 2011 dan 2012 serta dokumen RPJMD tahun 2010-2015, menunjukkan bahwa: kapasitas petani (pendidikan dan pengetahuan), pengalaman bertani, partisipasi petani, ketekunan bertani (bekerja), kondisi kesehatan petani, kemampuan akses informasi, kemampuan bermitra dengan pihak swasta, pengaruh sosial budaya, potensi SDA (bahan pangan) yang telah tersedia di alam (cenderung memanjakan petani). Faktor-faktor tersebut merupakan kondisi internal petani asli Papua yang masih mempengaruhi pola pikir dan kinerja, disamping faktor aksesibilitas, peran penyuluh dan peran stakeholder (pemerintah, swasta, lembaga adat dan masyarakat luas).

Pola pikir tentang asalkan terbebas dari rasa lapar, terlindung dari perubahan cuaca (hujan, sinar matahari, angin), dan gangguan binatang buas, sangat mempengaruhi kinerja petani, sehingga aktivitas menggarap lahan cenderung statis. Akibat yang terjadi adalah kapasitas ekonomi petani saat ini hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan primer. Padahal kesejahteraan petani asli Papua di wilayah kabupaten ini seharusnya bisa lebih baik dari kondisi saat ini.

(30)

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011

Gambar 1.8. IPM dan AHH Kab./Kota Pemekaran dari Kab. Jayapura, Tahun 2011

IPM tertinggi di Kabupaten Keerom adalah pada Distrik Arso dan Skanto (distrik bekas UPT), sedangkan 5 distrik bukan bekas UPT, (mayoritas kampung penduduk asli Papua) berada di bawah kedua distrik tersebut (Gambar 1.9).

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011

Gambar 1.9. IPM Distrik-Distrik di Kabupaten Keerom Tahun 2011

(31)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Bagaimana potensi sumberdaya lahan (SDL) di wilayah Kabupaten Keerom.

b. Bagaimana ekologi kampung dan kebiasaan hidup (budaya) petani asli Papua dalam memanfaatkan potensi SDL di wilayah Kabupaten Keerom.

c. Bagaimana kelembagaan kelompok tani dan pemilikan lahan di wilayah Kabupaten Keerom.

d. Bagaimana kapasitas ekonomi petani asli Papua dan non-Papua, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

e. Bagaimana model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua di wilayah Kabupaten Keerom.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian di wilayah Kabupaten Keerom, bertujuan:

a. Menganalisis potensi sumberdaya lahan (SDL) dalam pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua di wilayah Kabupaten Keerom.

b. Menganalisis ekologi kampung dan kebiasaan hidup (budaya) petani asli Papua di wilayah Kabupaten Keerom.

c. Menganalisis kelembagaan kelompok tani dan pemilikan lahan di wilayah Kabupaten Keerom.

Gambar 1.10. Perumusan Masalah Penelitian Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua dalam Pembangunan Wilayah

(32)

d. Menganalisis kapasitas ekonomi petani asli Papua dan non-Papua, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

e. Membangun model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua di wilayah Kabupaten Keerom.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan menghasilkan model dalam pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua;

b. Manfaat praktis penelitian ini, adalah memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang perencanaan pembangunan wilayah, sehingga dapat mengambil kebijakan secara cepat, tepat dan akurat;

c. Manfaat teoritis akademis dari penelitian ini, diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian tentang perencanaan pembangunan wilayah pada aspek ekonomi.

1.5.Penelitian Terdahulu

Karya tulis ilmiah atau penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian ini, antara lain:

a. Hafizrianda (2007), judul penelitian “Dampak pembangunan sektor pertanian terhadap distribusi pendapatan dan perekonomian regional Provinsi Papua” tujuan studi adalah mencari dampak dari pembangunan ekonomi berbasis pertanian terhadap perekonomian regional, dan perbaikan distribusi pendapatan ataupun penurunan ketimpangan pendapatan, baik itu ketimpangan pendapatan antara rumah tangga, tenaga kerja maupun sektoral. Melalui analisis model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi pendapatan di Provinsi Papua, karena dari sebagian besar kebijakan pertanian yang disimulasikan yang mencakup kebijakan dalam bidang investasi dan ekspor, hasilnya dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dalam perekonomian Papua. b. Thamrin (2009), judul penelitian “Model Pengembangan Kawasan Agropolitan

Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia” (Studi Kasus Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang – Serawak), menyimpulkan bahwa model pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dibangun dari empat sub model berdasarkan analisis sistem dinamik, yaitu: sub model pengembangan wilayah, sub model budidaya pertanian, sub model pengembangan industri, dan sub model pengolahan dan pemasaran produk. Hasil identifikasi potensi wilayah menunjukkan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sangat potensial untuk pengembangan kawasan agropolitan terpadu.

c. Sapja Anantanyu (2009), judul penelitian “Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa

(33)

namun kemampuan petani sebagai pengelola usahatani relatif rendah, (d) strategi penyuluhan Strategi penyuluhan pertanian yang tepat adalah dilaksanakan dengan meningkatkan kapasitas petani dan berusaha meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani.

d. Subagio (2008), judul penelitian “Peran Kapasitas Petani dalam Mewujudkan

Keberhasilan Usahatani”. (Kasus Petani Sayuran dan Padi di Kabupaten Malang dan Pasuruan Provinsi Jawa Timur), menyimpulkan: (a) tingkat kapasitas petani sayuran hampir 50 persen kapasitas petani sayuran rendah hingga sangat rendah, sedangkan petani padi pada kapasitasa yang sama mencapai 62 persen, (b) faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap kapasitas petani sayuran adalah ketersediaan inovasi, sedangkan untuk kapasitas petani padi adalah aksesbilitas informasi, (c) tingkat keberhasilannya dalam usahatani hampir 50 persen kapasitas petani sayuran dalam mewujudkan keberhasilan usahatani adalah tinggi hingga sangat tinggi, dan (d) merumuskan model penyuluhan yang efektif untuk peningkatan kapasitas petani memberikan banyak kesempatan pengalaman belajar (pendidikan non-formal) yang berorientasi kepada pengembangan inovasi.

1.6. Kebaruan (Novelty) penelitian

Kebaruan (Novelty) penelitian model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua mempertimbangkan aspek potensi ekologi (SDA), SDL, dan sosial budaya (kelembagaan). Aspek ekologi terkait ketersediaan potensi bahan pangan yang tersedia secara bebas di alam, aspek SDL terkait kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian, dan aspek sosial budaya (kelembagaan) terkait pemilikan lahan secara komunal yang dikuasai keret.

(34)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Wilayah

Pembangunan diartikan sebagai upaya yang sistimatik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan diartikan juga sebagai kegiatan yang dilakukan suatu wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat (Rustiadi, 2009). Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional, demi mencapai kehidupan yang lebih baik, Todaro (1999). Ketiga nilai pokok tersebut harus terilhami dalam tiga tujuan inti pembangunan masyarakat, yang meliputi: (a) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, (b) peningkatan standar hidup, (c) perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial.

Pembangunan menurut Shaffer et al; (2004) dalam Fauzi (2010) pada Pemikiran Guru Besar Institute Pertanian Bogor, mengemukakan bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan progresif yang berkelanjutan (sustained progressive change) untuk mempertahankan kepentingan individu maupun komunitas melalui pengembangan intensifikasi dan penyesuaian terhadap pemanfaatan sumber daya. Pembangunan menurut Leichtenstein dan Lyons (2001) dalam Fauzi (2010), diartikan sebagai peningkatan kapasitas untuk bertindak (capacity to act), berinovasi dan menghadapi keadaan yang berbeda. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan adalah proses yang kontunyu, dan secara simultan melibatkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup. Pembangunan melibatkan pula transformasi bukan hanya perubahan. Pembangunan lebih memfokuskan pada keberimbangan (equity) daripada pemerataan (equality).

Dharmawan (2011) dalam menuju desa 2030, mengemukakan bahwa strategi

“retoritorialisasi kedaulatan lokal” dipandang dapat berfungsi sebagai penawar

proses-proses deteritorialisasi sistem sosial ekonomi dan budaya lokalitas akibat globalisme. Strategi tersebut berpusat pada keunggulan lokal (desa). Lokalitas (desa) sebagai social container struktur dan budaya lokal serta memiliki kekhasan pengaturan SDA menghadapi kerentanan globalisme kapital, global knowledge sytem dan konspirasi antar negara yang dapat menimbulkan dilema, yaitu: (1) dilema ketergantungan (ketergantungan sumber nafkah, informasi, budaya), dan (2) dilema kehilangan identitas budaya lokal.

(35)

Evolusi pembangunan sebuah wilayah, sebagian kota maupun negara bermula dari perkembangan entitas sebuah desa. Perkembangan peradaban di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di wilayah perdesaan. Berbeda dengan perkembangan peradaban di negara-negara eropa yang menjadikan kota sebagai pusat peradaban dan desa sebagai sumber ekonomi semata, Fauzi (2010).

Wilayah (region) adalah suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media lokasi berinteraksi, Depdagri (2007). Wilayah diartikan sebagai suatu permukaan bumi dengan batas tertentu, adanya interaksi yang intensif antara SDM, SDA, sumberdaya modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan sumberdaya pembangunan lainnya dalam berbagai kegiatan produktif di bidang ekonomi, sosial dan politik yang menghasilkan pertumbuhan wilayah, karena setiap wilayah memiliki potensi dan kondisi sektoral yang berbeda-beda, Adisasmita

(2013). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan wilayah yang komprehensif bertujuan: (1) meningkatkan pemerataan dalam tingkat pertumbuhan (ekonomi) antar wilayah, (2) meningkatkan pemerataan dalam tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat antar wilayah, dan (3) memperkokoh struktur perekonomian (nasional dan regional).

Perencanaan menurut Conyers dan Hills dalam Arsyad (2005) adalah suatu proses yang bersinambung yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternative penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Pendapat tersebut mengandung empat elemen dasar perencanaan yaitu: (1) merencanakan berarti memilih, (2) perencanaan merupakan alat pengalokasian sumberdaya, (3) perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan, (4) perencanaan untuk masa depan.

Perencanaan wilayah Tarigan (2008) adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah. Perencanaan ruang wilayah tercakup dalam perencanaan tata ruang, sedangkan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah (terutama aktivitas ekonomi) tercakup dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah baik jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek.

Fungsi perencanaan pembangunan ekonomi menurut Arsyad (2005) meliputi, (1) perencanaan diharapkan terdapatnya suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan, (2) melakukan suatu perkiraan potensi, prospek perkembangan, hambatan serta risiko yang mungkin dihadapi pada masa yang akan datang, (3) memberikan kesempatan untuk mengadakan pilihan terbaik, (4) menyusun skala prioritas dari segi pentingnya tujuan, (5) sebagai alat untuk mengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan dan evaluasi.

2.2. Pengembangan Ekonomi Wilayah

Berdasarkan perubahan paradigma pembangunan dan pembangunan perdesaan Meier dan Rauch (2000) dalam Arsyad et al. (2011) bahwa pembangunan ekonomi menuntut adanya perhatian terhadap hubungan-hubungan kelembagaan dalam menelaah arti penting beberapa variabel kuantitatif dan memperhatikan beberapa elemen seperti penduduk, institusi, dan pasokan kewirausahaan sebagai variabel endogen dalam analisis pembangunan. Pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multi dimensional (Todaro

(36)

sosial, perilaku masyarakat, perbaikan institusi-institusi, yang seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan ketidakmerataan distribusi pendapatan, dan pemberantasan kemiskinan. Pembangunan menurut Dag Hammarskjold Foundation (1977) dalam Arsyad et al. (2011) menyatakan pembangunan harus: (a) berorientasikan pada kebutuhan (need-oriented) manusia, baik material maupun non-material, (b) bersifat endogen, artinya muncul dari jiwa masyarakat itu sendiri yang tercermin pada kedaulatan nilai-nilai dan visi mereka, (c) self-reliance yang berarti bahwa setiap masyarakat mengandalkan kekuatan-kekuatan dan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri (masyarakat, lingkungan alam dan budayanya), (d) ecological-sound artinya penggunaan sumberdaya-sumberdaya alam secara rasional dan bijak, (e) berdasarkan transformasi struktural dalam hubungan-hubungan sosial, dalam kegiatan ekonomi dan distribusi spasial, seperti halnya perubahan struktur kekuasaan.

Pembangunan ekonomi sebagai sarana realisasi diri seseorang yang harus bisa mencakup tiga hal, yaitu (1) mengurangi kemiskinan, (2) mengurangi pengangguran, (3) mengurangi ketidaksetaraan, Seers (1972). Program pembangunan jangan semata mata mengejar pertumbuhan tinggi karena dapat menimbulkan biaya sosial dan biaya lingkungan yang besar (degradasi lingkungan, jika sumber alam dieksploitasi secara berlebihan), Lewis (1984). Dijelaskan bahwa negara dengan tingkat pertumbuhan tinggi cenderung mengabaikan pemerataan pendapatan. Pendapat Lewis tersebut dicontohkan oleh Hill (1991), bahwa Indonesia di era Orde Baru mencapai tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, namun karena kebijakan sentralisasi mengakibatkan hasil pembangunan menjadi tidak merata antar daerah provinsi di Indonesia.

Kesimpulan kajian tentang dampak kebijakan pembangunan terhadap disparitas ekonomi antar wilayah Kawasan Indonesia Barat (KIB) dengan Kawasan Indonesia Timur (KIT) oleh Hadi (2001) bahwa ketimpangan pembangunan terjadi karena dampak akumulatif kesalahan kebijaksanaan pembangunan yang sentralistik dan menekankan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, serta mekanisme perencanaan pembangunan top-down sejak jaman kolonialisme yang kemudian diteruskan di era kemerdekaan pada jaman Orde Lama dan jaman Orde Baru.

Standard pendapatan perkapita bukan merupakan cara mutlak untuk mengukur pembangunan ekonomi suatu wilayah Pomfret (1997) dalam Sukirno

(2006). Dicontoh bahwa wilayah Papua dengan jumlah penduduk yang sedikit, SDA yang melimpah dan mempunyai pendapatan perkapita lebih tinggi daripada Jawa Tengah yang hanya mengandalkan sektor industri dan pertanian, serta penduduknya jauh lebih banyak, namun kemakmuran rata-rata penduduk Jawa Tengah lebih baik daripada penduduk Papua.Pendapatan perkapita tinggi hanya menunjukkan potensi suatu wilayah untuk berkembang dan tidak bisa dijadikan ukuran kemakmuran suatu wilayah.

2.3. Potensi Wilayah

(37)

Dietz dalam Baiquni (2007) menegaskan bahwa pengakuan hak atas sumberdaya alam menjadi penting untuk diperhatikan.

Pada umumnya karakteristik wilayah menunjukkan adanya keragaman budaya dan tingkat perkembangan sarana dan prasarana wilayah, serta potensi, permasalahan dan kebutuhan. Karakteristik wilayah tersebut mendasari implementasi suatu kebijakan pembangunan masyarakat desa agar tidak dapat diseragamkan antardaerah dan antarmasyarakat yang berbeda ragam. Sumardjo et al. (2010) dalam Pemikiran Guru Besar IPB, mengelompokkan tipologi masyarakat ke dalam dua karakteristik:

a. Tingkat perkembangan sarana, prasarana, dan sikap masyarakat terhadap program dibedakan ke dalam tiga tipe: (a) urban, (b) semi urban, dan (c) rural.

b. Sebaran populasi perkembangan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat di kawasan desa (tempat tinggal), yaitu: (a) dominan pertanian, (b) industri, atau (c) jasa.

Tipologi wilayah tidak terlepas dari masalah pokok pembangunan pedesaan sebagaimana dikemukakan oleh Arsyad et al. (2011) meliputi: (a) masalah kemiskinan absolut maupun relatif, (b) SDM yaitu masalah tekanan penduduk dan ketenagakerjaan, terutama berkaitan dengan tingkat prtumbuhan alami, kesehatan, pendidikan, produktivitas yang rendah, dan tingkat pengangguran, (c) keterbatasan infrastruktur perdesaan (fisik, ekonomi, dan sosial). Penyediaan infrastruktur tentunya berdasarkan kebutuhan (local needs), dan ketepatgunaan (appropriateness), dan (d) kelembagaan.

Menurut Saefulhakim (2008) dalam Pribadi et al, mengemukakan bahwa tingkat kemiripan antar obyek dapat digambarkan melalui nilai keragaman dan/atau jarak. Semakin kecil nilai keragaman antar obyek yang satu dengan obyek yang lain maka karakteristiknya semakin mirip. Semakin dekat jarak antara obyek yang satu dengan obyek yang lain maka karakteristiknya juga akan semakin mirip.

Potensi SDA, SDM, dan infrastruktur (transportasi) yang memadai akan mempercepat perkembangan wilayah, sebaliknya tingkat pertumbuhan wilayah yang rendah maka perkembangan wilayah menjadi lamban Adisasmita (2013). Demikian maka perbedaan potensi wilayah akan menyebabkan tingkat perkembangan wilayah yang berbeda. Berbagai klasifikasi wilayah pada hakekatnya memperhatikan keanekaan potensi, kondisi fisik dan ekonomi yang dimiliki masing-masing wilayah.

Hadi (2011) dalam menuju desa 2030 mengulas keterkaitan kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan yang adil, dijelaskan bahwa pembangunan wilayah tidak dimaksudkan untuk mengubah wilayah perdesaan menjadi perkotaan. Pembangunan wilayah bertujuan mengembangkan wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan mempunyai keseimbangan dalam tingkat kemajuan wilayah, dan hanya dibedakan oleh sektor utama/dominan. Sektor utama wilayah perdesaan adalah pertanian (dalam arti luas), dan sektor utama wilayah perkotaan adalah jasa dan perdagangan.

Terkait pemikiran para ilmuan tersebut tentang berbagai masalah spatial, lingkungan dan kewilayahan tersebut di atas, Hagget (1970 dan 1972) dalam

(38)

dan fenomena geosfer, khususnya interaksi antara manusia terhadap lingkungannya, sebagai berikut:

a. Pendekatan Keruangan (Spatial)

Pendekatan keruangan (spatial) adalah upaya dalam mengkaji rangkaian persamaan dari perbedaan fenomena geosfer dalam ruang. Hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan keruangan adalah persebaran penggunaan ruang dan penyediaan ruang yang akan dimanfaatkan Hagget (1972) dalam Bintarto (1979).

Tujuan analisis spasial menurut Haining dalam Rustiadi (2009) adalah: (1) mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruang geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat, (2) menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi, (3) meningkatkan kemampuan melakukan prediksi dan pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis. Krugman (1995) dalam Kuncoro(2007) mengemukakan paradigma baru analisis spasial mengkombinasikan pendekatan ilmu ekonomi dan geografi (geografi ekonomi). Lebih lanjut dikemukakan bahwa geografi merupakan studi mengenai pola spasial di atas permukaan bumi, yang menjawab pertanyaan where (di mana aktivitas manusia berada), dan why (mengapa terjadi konsentrasi aktivitas di lokasi tertentu). Dalam perspektif geografi ekonomi, aspek pola spasial aktivitas ekonomi menjadi pusat perhatian utama dengan digunakannya Sistim Informasi Geografi, dan menjawab pertanyaan sentral dalam ekonomi regional,

yaitu “di mana” (where) lokasi aktivitas/kegiatan berada dan mengapa (why) terjadi

konsentrasi geografis atas suatu keadaan atau kejadian.

b.Pendekatan Lingkungan (Ekologi)

Mengkaji fenomena geosfer khususnya terhadap interaksi antara organisme hidup dan lingkungannya. Manusia merupakan salah satu komponen organisme hidup penting dalam proses interaksi, yang kemudian dikenal dengan ekologi manusia (human ecology) yang mempelajari interaksi antar manusia serta antara manusia dan lingkungan. Aktivitas manusia dalam kaitannya dengan interaksi dalam ruang terutama terhadap lingkungannya mengalami tahapan-tahapan sebagai berikut:

1) Tahapan yang sangat sederhana yaitu manusia tergantung pada alam (fisis Determinisme). Manusia belum memiliki kebudayaan yang cukup sehingga pemenuhan kebutuhan hidup manusia dipenuhi dari apa yang ada di alam dan lingkungannya (hanya sebagai pengguna alam). Sehingga pada saat alam tidak menyediakan kebutuhannya maka kelompok manusia ini akan berpindah menempati ruang atau lingkungan alam yang lain.

2) Manusia dan alam saling mempengaruhi. Manusia memanfaatkan alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan kemampuan alamnya, sangat memungkinkan lingkungan alam mengalami kerusakan, maka akan berpengaruh terhadap manusia. Disisi lain manusia mampu mengurangi ketergantunggannya pada alam tapi manusia juga masih membutuhkan alam.

Gambar

Gambar 1.10. Perumusan Masalah Penelitian Model Pengembangan Kapasitas
Tabel 2.3. Tipe-tipe kebun pada Suku Yali
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Model Pengembangan Kapasitas
Gambar 4.1. Peta Administratif Kabupaten Keerom
+7

Referensi

Dokumen terkait