• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perikanan Apong terhadap Keberadaan Sumberdaya Udang (PENAEID) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perikanan Apong terhadap Keberadaan Sumberdaya Udang (PENAEID) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)

PENGARUH PERIKANAN APONG TERHADAP

KEBERADAAN SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl

PERAIRAN KARANG ANYAR, KABUPATEN CILACAP,

JAWA TENGAH

(Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

OLEH :

SUPARMAN SASMITA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(84)

ABSTRAK

SUPARMAN SASMITA. Pengaruh Perikanan Apong Terhadap Keberadaan Udang (Penaeid) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh: JOKO PURWANTO dan SULISTIONO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan atau biomassa hasil tangkapan apong dan pengaruh kegiatan perikanan apong terhadap kelestarian sumberdaya udang penaeid di Segara Anakan, mengidentifikasi pengaruh konstruksi alat apong serta teknik pemasangan alat dalam operasi penangkapan nelayan, memberikan alternatif pola penggunaan alat yang berguna bagi pengelolaan sumberdaya udang agar tetap lestari.

Hasil Tangkapan yang diperoleh pada bulan gelap 1 (bulan Juni), terdapat ukuran yang kecil yang diperoleh dengan kecendrungan semakin membesar. frekuensi panjang karapas M. elegans sebesar 34 % pada ukuran 2,2 - 3,O cm, sebesar 96 % M. dobsoni dengan ukuran 1,54 - 1,90 cm dan 23 % P. merguensis dengan ukuran 3,6 - 4,8 cm. Ratio antara panjang total dan panjang karapas udang untuk Metapenaeus elegans 2,85 cm, M. dobsoni 2,85 - 2,9 cm dan P. merguensis 4 - 4,2 cm. Untuk hasil tangkapan pada gelap 2 (bulan Juli), ukuran udang relatif lebih kecil. Ratio antara panjang total dan panjang karapas dari hasil tangkapan selama bulan gelap 2 diperoleh ratio untuk Merapenaeus elegans sebesar 0,29, M. dobsoni 0,29, dan Penaeus merguensis sebesar 0,5.

Hasil Analisis dengan Uji Liliefors, jenis udang di bulan gelap 1 menghasilkan nilai

L sebesar 0,268 untuk M. elegans, 0,463 untuk M, dobsoni, dan 0,16 untuk P. merguensis. Pada populasi M, elegans dan M. dobsoni pada saat bulan gelap

I ,

tidak menyebar normal pada perairan. Pada bulan gelap 2, nilai L sebesar 0,178 M. elegans, 0,243 M. dobsoni dan P. merguensis. Nilai L tabel pada bulan gelap 2 pada taraf kepercayaan 0,05, sebesar 0,249. Sehingga nilai L hitung dari ketiga jenis penaeid (Metapenaeus elegans, Metapenaeus dobsoni dan Penaeus merguensis) lebih kecil dari nilai L tabel (0,05).

Populasi hasil tangkapan di analisis Uji Wilcoron yntuk bulan gelap 1 dan 2, dimana M. elegans memiliki nilai 53 dari has11 peringkat. Dari hasil tersebut nilai tengall kedua populasi tidak berbeda nyata. Jenis M. dobsoni memiliki nilai u hitung lebih kecil dari u tabel pada taraf 95% (0,05), sangat berbeda nyata antara bulan gelap 1 dan bulan gelap 2. Untuk jenis P. merguensis, memiliki nilai tengah populasi yang berbeda nyata.

Dengan melakukan perhitungan dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) diperoleh hasil terlihat pada grafik yang menunjukan hubungan antara musim, kelimpahan dan waktu penangkapan.

Alternatif pemasangan alat berupa pengaturan jarak sejauh 10 hingga 15 meter antar setiap alat. Untuk sungai yang lebar pemasangan dapat dipasang sejajar antar alat dengan batas lapis 2 lapis dan sungai yang sempit dipasang zig zag dengan jarak 10 - 15 meter.

Secara potensial perikanan apong di Segara Anakan dapat menghilangkan peluang lahirnya larva-larva udang penaeid baru kira-kira sebanyal 26.074.530.000 ekor pada musim paceklik dan 95.592.330.000 ekor pada musim subur.

(85)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

PENGARUHPERIKANANAPONGTERHADAPKEBERADAAN SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl PERAIRAN KARANG ANYAR,

KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH

(Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarnnya.

Bogor, Desember 2002

(86)

PENGARUH PERIKANAN APONG TERHADAP

KEBERADAAN SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl

PERAIRAN KARANG ANYAR, KABUPATEN CILACAP,

JAWA TENGAH

SUPARMAN SASMITA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sairis pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(87)

Judul Tesis : PENGARUH PERIKANAN APONG TERHADAP KEBERADAAN SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl PERAIRAN KARANG ANYAR, KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

Nama : Suparman Sasmita

NRP. : 99687

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing,

Ketua

Mengetahui,

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Anggota

2. Ketua Program Studi 3. Direktur Program Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. MS.

(88)

Suparman Samita, penulis merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara putera dari pasangan Sasmita Urijan dan Yayah Dariyah, dilahirkan pada Tanggal 26 Desernber 1972 di Jakarta.

Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Teladan Lampung dan SDN Sempur Kaler Bogor tahun 1979-1985, SMP PGRl 6 Bogor Tahun 1985-1 998, SMA PGRl4 Bogor Tahun 1988-1 991, Pada Bulan September 1991 melanjutkan studi di program S1 pada jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, lnstitut Pertanian Bogor dan menyelesaikan studi pada Bulan Mei 1997. Penulis meneruskan studi ke jenjang S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.

(89)

Alhamdulillah, penulis ungkapkan atas izin dan ridho Allah SWT. tesis ini dapat diselesaikan. Semoga seluruh aktivitas penyusunan tesis ini menjadi jalan terbaik dan bermanfaat, serta berkat dukungan, semangat, kritik dan saran menjadi jalan bagi kebaikan penyusunannya.

Tesis ini merupakan salah satu gambaran perkembangan perikanan di Perairan Segara Anakan khususnya perairan Kelurahan Karang Anyar dengan aktivitas perikanan yang dominan menggunakan alat tangkap apong. Dengan fenomena yang ada, dimana nelayan semakin terdesak dengan kondisi perairan yang semakin sempit dan dangkal dengan adanya sedimentasi terus menerus.

Aktivitas perikanan apong telah lama ada dan secara turun temurun menempati tempat yang dijadikan hak milik bagi setiap nelayan. Permasalahan timbul pada saat hasil tangkapan semakin berkurang ditambah dengan wilayah penangkapan yang semakin sempit. Alat apong beroperasi di hampir menutup perairan sehingga sering mengganggu alur pelayaran kapal penurnpang yang melintas, terurama pada saat musim kemarau dengan kedalaman atau ketinggian air waktu pasang relatif rendah.

Sumberdaya udang yang ada di kawasan Segara Anakan dapat terancam dengan keberadaan alat tangkap apong, sehingga perlu diatur penggunaannya. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan, sehubungan dengan keberlanjutan kawasan Segara Anakan sebagai salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi.

Semoga Allah SWT. memberikan jalan yang terbaik untuk kelestarian sumberdaya udang yang ada dan memberikan rizki yang lebih banyak bagi para nelayan. Amin.

Bogor, Desember 2002

(90)

Lembar Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Pendahuluan

Latar Belakang ...

Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

Hipotesis ... Pendekatan Masalah ... ... Kerangka Pemikiran ... ... Tinjauan Pustaka

Pemanfaatan Sumberdaya Udang ... Udang Penaeid ... Ekologi dan Daur Hidup Udang ... ... Kondisi Perairan ... Aktivitas Penangkapan Alat Apong ... Konstruksi Alar Tangkap Apong ...

... Daerah Penangkapan Alar Tangkap Apong

Metodologi

Waktu dan Lokasi Penelitian ... Peralatan yang Digunakan ...

Pengumpulan Data ...

Analisis Contoh dan Data ...

Hasil dan Pembahasan

...

Hasil Pengamatan

...

Alat Tangkap Apong

... Data Hasil Pengamatan

(91)

Pengaruh Apong Terhadap Keberadaan Udang (penaeid) di Segara

Anakan ... 45 Alternatif Pengelolaan Perikanan Apong ... 49

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan ... 53

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA

(92)

DAFTAR

TABEL

Halaman

1 . Habitat Udang Penaeid ... 9 ...

2 . Peralatan yang digunakan dalam penelitian 20

. ...

(93)

DAFTAR GAMBAR

[image:93.570.69.502.94.748.2]

Halaman

...

Kerangka Pemikiran Penelitian

... Kurva Hubungan Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan

... Anatomi Udang Penaeidae

Daur Hidup Udang ... Alat Tangkap Apong ...

...

Lokasi Penelitian dan Lokasi Pemasangan Alat Apong di Segara Anakan ... Pengukuran Panjang Total dan Karapas Udang Penaeid

Konstruksi Jaring Apong Nelayan Karang Anyar. Cilacap ...

...

Model Pemasangan Apong di Segara Anakan

Grafik Hasil Pengukuran pH. Salinitas dan Suhu Perairan ... ... Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 1

Grafik Frekuensi Ukuran Panjang Total Penaeid (I4 . elegans. M . Dobsoni. dan ... P . Merguenssis) Hasil Tangkapan Seiama Bulan Gelap 1

Grafik Penyebaran Frekuensis (%) Panjang Karapas Penaeid (M . elegans. M .

...

Dobsoni. dan P . Merguenssis) Pada Bulan Gelap 1

Grafik Ratio Antara Panjang Karapas dan Panjang Total Penaeid Hasil Tangkapan Apong Pada Bulan Gelap 1 ...

... Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 2

Grafik Frekuensi Ukuran Panjang Total Penaeid (M . elegans. M. Dobsoni. dan ... P . Merguenssis) Hasil Tangkapan Selama Bulan Gelap 2

Grafik Penyebaran Frekuensis (%) Panjang Karapas Udang Penaeid (M . ... elegans. M . Dobsoni. dan P . Merguenssis) Pada Bulan Gelap 2

Grafik Ratio Antara Panjang Karapas dan Panjang Total Penaeid Hasil Tangkapan Apong Pada Bulan Gelap 2 ...

...

Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 3

Hasil Perhitungan PCA dari Hasil Tangkapan Udand (M . elegans. M . Dobsoni.

...

dan P

.

Merguenssis) Penaeid Selama Pene!itian

...

(94)

1.

PENDAHULUAN

1 .l. Latar belakang

Lokasi penangkapan ikan dan udang, pada umumnya berada di wilayah perairan yang subur dengan bahan organik sebagai makanan bagi udang. Salah satu tempat yang sesuai untuk pembesaran udang adalah daerah mangrove, meskipun masih sangat tergantung dengan kondisi lingkungan (alam dan musim). Kondisi lingkungan yang mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan dan udang tingkat kerusakan yang dilakukan oleh manusia seperti pengrusakan hutan mangrove maupun secara alami terjadinya sedimentasi yang cepat pada wilayah pesisir.

Daerah hutan mangrove memiliki potensi sumberdaya udang yang besar, terutama dilihat dari kondisi perairan dan ditunjang dengan kondisi lingkungan yang baik untuk pembesaran (nursery ground) dari berbagai jenis ikan dan udang, serta merupakan tempat berkembang biak (spawning). Kondisi ini diperlihatkan adanya penyediakan potensi unsur-unsur makanan yang dibutuhkan ikan dan udang untuk tumbuh dan didukung dengan adanya biota lain yang terkait dalam proses rantai makanan. Salah satu daerah yang memiliki potensi untuk daerah pembesaran ikan dan udang adalah Segara Anakan, Cilacap. Menurut White ef. a/. dalam Takasima dan Soewardi (1994), daerah Segara Anakan dan lingkungan disekitarnya merupakan gambaran ekologi yang unik.

(95)

Keadaan ini dapat mengakibatkan hilangnya beberapa jenis biota (ikan atau udang) tertentu atau berpindahnya biota menuju ekosistem yang sesuai untuk perkembangannya. Kondisi ini dialami oleh nelayan Cilacap khususnya yang melakukan penangkapan ikan dan udang disekitar Segara Anakan (laguna).

Untuk betl'luktuasinya hasil tangkapan udang per satuan upaya perlu dilihat faktor- faktor penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga penyebab terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan dan udang per satuan upaya, yaitu jumlah upaya penangkapan yang telah melampaui batas potensi yang maksimum lestari berimbang (Maximum Sustainable Yield,

MSY), berkurangnya areal hutan mangrove sebagai daerah penangkapan dan terjadi perubahan alam seperti terjadinya sedimentasi yang berlebihan.

Adanya penyebab lain yang muncul dari sebagian besar pendapat nelayan tradisional Segara Anakan yang menduga bahwa perikanan apong (sfasionary trawl) yang beroperasi di sekitar Segara Anakan merupakan penyebab menurunnya hasil tangkapan ikan dan udang. Dugaan ini berdasarkan asumsi, bahwa alat tangkap apong selain menangkap udang berukuran besar, memperoleh hasil tangkapan berbagai macam jenis udang berukuran kecil (larva) yang bernilai tinggi.

Hal ini dimungkinkan apabila melihat ukuran jaring yang digunakan pada alat tangkap apong dimana badan jaring memiliki variasi ukuran mata jaring antara 4 hingga 5

(96)

jumlah alat tangkap jaring apong di Segara Anakan semakin banyak, yaitu sekitar 1600 alat (berbagai ukuran) unit alat dan tersebar di perairan Segara Anakan mulai dari bagian Barat hingga pintu Timur Segara Anakan.

1.2. Tujuan dan manfaat penelitian

Penelitian yang akan dilakukan bertujuan :

I ) Mengkaji kelimpahan atau biomassa hasil tangkapan apong dan pengaruh kegiatan perikanan apong terhadap kelestarian sumberdaya udang penaeid di Segara Anakan.

2 ) Mengidentifikasi pengaruh konstruksi alat apong serta teknik pemasangan alat

dalam operasi penangkapan nelayan.

3) Memberikan alternatif pola penggunaan alat yang berguna bagi pengelolaan sumberdaya udang agar tetap lestari.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kebutuhan pengelolaan penangkapan apong sehingga tidak mengganggu kelestarian sumberdaya udang penaeid di perairan Segara Anakan. Memberikan informasi dan masukan pada pemerintah setempat dalam upaya penanganan permasalahan ekologi yang terjadi di kawasan Segara Anakan.

1.3. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam rangka mengarahkan penelitian ini antara lain:

I) Komposisi hasil tangkapan apong terdapat pasca larva yang besar serta ikan pada ukuran juvenil atau induk dalam jumlah yang besar.

2 ) Jumlah alat tangkap apong yang beroperasi semakin banyak, maka semakin

(97)

3) iumian utiang ydrrcj diperoleh uafi iiasii i a l ~ g ~ a p a n aiat iangkap apong, iiiduga berfluktuasi sesuai dengan waktu penangkapan (pasang surut, bulan, musim) serta kondisi lingkungan perairan.

1.4. Pendekatan Masalah

Aktifitas penangkapan yang menggunakan alat tangkap apong di kawasan Segara Anakan berkembang dengan pesat. Sehingga untuk menduga dampak dari aktifitas penangkapan alat tangkap apong terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan udang, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali daerah penangkapan dari perikanan apong, dikaitkan dengan daur hidup udang. Dugaan demikian, dapat diketahui pada stadia apa udang dan ikan tertangkap oleh alat apong.

Berdasarkan pambaran daur hidup tersebut, dapat disusun kerangka pemikiran analisa pendugaan dampak perikanan jaring apong terhadap kelestarian sumberdaya udang dan ikan (Gambar 1). Selanjutnya dapat di identifikasi beberapa parameter yang ada untuk dijadikan bahan masukan dalam strategi pengelolaannya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Sumberdaya udang sangat tergantung dengan adanya aktifitas manusia berupa kegiatan penangkapan salah satunya. Disamping terdapat pengaruh dari kondisi alam iklim dan siklus hidup dari udang.

(98)

Pengelolaan pemanfaatan di pandang perlu dilakukan dengan memperhatikan sumberdaya udang sebagai faktor pembatas, sehingga aktivitas pemanfaatan dapat dilakukan secara bijaksana dan berwawasan lingkungan serta berkelanjutan. Kerangka pemikiran secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1, berikut ini.

Kebutuhan Udangl Masyarakat

I

Populasi Udang

,

-

k

Musim

Pemanfaatan Sumberdaya Tangkap

Udang

I

1

Siklus

Sumberdaya berkurang ldentifikasi permasalahan Armada

E

l

[image:98.568.93.483.182.522.2]
(99)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanfaatan Sumberdaya Udang

Pemanfaatan sumberdaya udang yang dilakukan oleh nelayan merupakan salah satu aktifitas yang berpengaruh terhadap perkembangan udang, terutama yang tumbuh di daerah mangrove. Pengaruh penangkapan udang terjadi apabila semakin besar laju penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim berikutnya.

Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau masih berukuran kecil (juvenilljuwana) dalam jumlah banyak. Kecenderungan yang terjadi apabila laju penangkapan semakin meningkat, maka jumlah hasil tangkapan udang semakin menurun dengan kondisi regenerasi yang sama. Bahkan dapat berakibat fatal, yaitu terjadi kepunahan sumberdaya udang pada daerah tersebut.

Hubungan antara upaya penangkapan udang dan jumlah hasil tangkap akan membentuk kurva, dimana titik maksimum dengan nilai Fmax yang berarti biologi adalah sebuah titik puncaknya. Setelah mencapai titik puncak, dimana terjadi keseimbangan antara jumlah tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) secara alami akan mengalami penurunan atau tidak mengalami kestabilan sepanjang titik ,. F,, Kondisi demikian dapat dilihat pada kurva hasil tangkap

-

upaya (Gambar 2).
(100)

dinamakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih secara biologi (biological overfishing).

Gambar 2. Kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Sparre and Venema, 1998).

2.2. Udang Penaeid

Udang penaeid yang berada di Indonesia dikelompokan dalam tiga kategori disamping udang barong dan udang lainnya. Ketiga kelompok tersebut adalah udang windu atau giant tiger prawn (Penaeus monodon dan Penaeus semiculatus), udang putih atau banana prawn (Penaeus merguensis de Man dan Penaeus indicus) dan udang dogol atau metapenaeus shrimp (Metapenaeus spp.). Selanjutnya dari seluruh hasil tangkapan udang, maka yang mendominasi hasil tangkapan udang di lndonesia terdiri dari berbagai jenis spesies, yaitu Penaeus rnerguensis de Man, Penaeus monodon, Penaeus semiculatus, Metapenaeus afinis, Mefapenaeus brevicornis dan Mefapenaeus ensis (Nurfirman, 1992).

[image:100.564.188.410.105.269.2]
(101)

rbierapenaeus bannettae, dan M. insoliius, (2) keseluruhan hidupnya dl lautan, seperti Parapenaeus, Hymenopenaeus, Gennades, Aristaeomorpha, dan Funchalia, (3) keseluruhan hidupnya terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai, seperti udang penaeus (Kirkegaard, 1973 dalam Asbar, 1994).

Murtidjo (1989), menggambarkan morfologi udang penaeid, dimana bagian abdomen atau separuh tubuh yang memiliki ekor, dapat dilihat adanya kaki renang (pleopoda), dan pada kaki keenam akan mengalami perubahan bentuk menjadi sirip ekor (uropoda), serta ujung ruas membentuk ujung ekor (telson). Selain itu dibawah pangkal ujung ekor terdapat anus untuk ekskresi kotoran.

Menurut Grey ef.al. (1983), udang jerbung memiliki tubuh berwarna putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit tipis serta tembus cahaya. Rostrum berbentuk memanjang, langsing dan hampir berbentuk segi tiga. Pada pasangan sungut pendek (antennule) terdapat ban-ban berwarna merah kecoklatan dan memiliki bintik-bintik coklat dan hijau pada ujung ekornya (Gambar 3).

Disamping itu terdapat kaki jalan dan kaki renang udang jerbung berwarna kekuningan dan terkadang berwarna kemerahan. Sirip ekor (uropod) yang berwarna merah kecoklatan dengan ujung kuning kemerahan atau terkadang sedikit kebiruan. Udang jerbung dapat mencapai panjang total hingga 24 cm (Naarnin, 1977).

2.3. Ekologi dan Daur Hidup Udang

(102)

penyebaran udang laut (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) banyak ditemukan hampir disepanjang pantai landai dan dipengaruhi oleh adanya aliran sungai.

Pada Tabel 1. diperlihatkan habitat dari beberapa udang penaeid yang bernilai ekonomis tinggi yang terdapat di Indonesia (Holthuis (1980), Unar (1977), Naamin (1975) dalam Nurfirman (1992)). Udang penaeid umumnya hidup di dasar perairan, dengan dasar lumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Hal ini terkait dengan kebiasaan makan penaeid yang makanannya terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat didasar. Seperti contoh Udang Jerbung hidup didasar berlumpur pada kedalaman 10 - 45 meter.

Secara umum udang penaeid mencari makan pada dasar perairan, yaitu sebagai detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar. Dasar perairan yang sesuai bagi udang penaeid berupa lumpur, berpasir dan lumpur berpasir.

Tabel 1. Habitat Udang Penaeid

Udang Windu (Penaeus monodon)

Spesies -

Udang Putih

(Penaeus merguensis de Man)

Udang Putih (Penaeus indicus)

Habitat

Dasar berlumpur, di muara sungai, estuari, dan hut, kedalaman 10 - 45 m. Perairan pantai berlumpur atau berpasir, ditambak-tambak dan muara sungai kedalaman 0 - 110 m

I Ukuran Maksimum i

4

24 cm I

I

24 cm 270 gr

Perairan dengan dasar lunak (lumpur atau lumpur berpasir), daerah yang

22 cm (bentina) banyak menerima aliran sungai besar;

kedalaman 2 - 90 m 8 cm (Jantan) Udang Windul

Udang Kembang Penaeus semiculatus Metapenaeus affinis

Perairan dengan dasar berlumpur atau berpasir

Kedalaman 2 -1 30 m

M. brevicornis

23 cm (betina)

18 cm (jantan) Dasar berlumpur; kedalaman 5 - 92 m 22 cm (umumn~a

17 cm) Estuari dan laut; kedalaman 0 - 30 m 10 cm (betina)

[image:102.566.58.532.412.720.2]
(103)

- - - - - - -- -- - -

Spesies

M. ensis

Josoef dalam Aziz eta/. (2001), menerangkan bahwa Panaeus merguensis dan P,

I

M monoceros

I I

'

indicus mempunyai daya penyesuaian yang besar terhadap semua tipe dasar perairan,

-- - -- -

Habitat

Estuari dan laut dengan dasar lumpur berpasir

Tambak-tambak; 0 -64 m

tetapi lebih menyukai dasar perairan lempung liat. P. monodon lebih menyukai tekstur Ukuran Maksimum 16 (betina)

13 cm (jantan) Perairan dasar lumpur, berpasir,

tambak-tambak; kedalaman 1 - 60 m; umumnya 10 - 30 m

dasar perairan lempung berdebu (lumpur pasir). Udang Windu lebih menyukasi perairan 19 cm (betina) 15 cm (jantan)

Parapenaeosis sp. I Muara sungai dan saluran tambak

yang terlindung dari musim barat, seperti teluk Lampung dan perairan selatan jawa

I

khususnya di pantai Pangandaran-Cilacap. Sumber : Nurfirman dalam Lindawaty (1994)

Umumnya juvenile udang atau juwana terutama Penaeus Monodon berada di wilayah perairan estuaria yang dipengaruhi oleh air sungai yang telah dewasa berada pada perairan dalam (Grey ef. a1.,1983). Udang penaeid bersifat bentik yang hidup pada permukaan dasar perairan laut. Habitat yang disukai adalah dasar laut yang lunak, biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Unar dalam Dahuri, 1984).

Menurut Lindawaty (1994), udang penaeid umumnya hidup didasar berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Hal ini berhubungan erat dengan makanan dan cara makan dari udang. Makanan udang terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar perairan

(104)

jerbung meencari makan di atas atau dalam sedimen di dasar perairan, yaitu berupa detritus, organisme demersal kecil dan bagian dari tumbuhan air. Selanjutnya untuk jenis udang seperti Penaeus esculatus, P. merguensis, P. plebejus dan Metapenaeus spp.

terdiri dari sisa-sisa hewan kecil dan sebagian besar material yang tidak dikenal dari makanan mikroorganisme (bakteri, ganggang dan mikrofauna) yang tumbuh di permukaan substrat.

Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai cukup besar dan bervegetasi mangrove merupakan daerah udang penaeid yang baik (Kirkegraad dalam Naamin, 1984). Daerah Selatan Jawa yang memiliki bentuk teluk, salah satunya adalah kawasan Segara Anakan, dengan potensi pengaliran air sungai dari beberapa lokasi berbeda yang cukup besar memberikan masukan air tawar dan hutan mangrove yang cukup luas, sehingga perairan ini dapat memenuhi kesuburannya sebagai daerah berkembangnya udang.

Beberapa wilayah di Indonesia memiliki beberapa daerah udalig yang baik, seperti pantai barat sumatera (Meulaboh, Sibolga, dan Air Bangis); pantai timur sumatera mulai dari langsa di sebelah utara sampai teluk lampung di sebelah selatan; sepanjang pantai utara jawa; pantai selatan jawa (Pangandaran, Cilacap, selatan Yogya, Pacitan, Nusa Barung, dan Grajagan); perairan Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, dan Timur); Sulawesi (Teluk Bone dan Selat Makasar); dan perairan Maluku-lrian Jaya (Laut Arafuru dan sekitarnya) (Naamin, 1984).

(105)

keadaan hutan mangrove. Menurut Gunarso (1985), keadaan perairan serta perubahan akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Selanjutnya faktor musim dan perubahan suhu tahunan akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan suatu jenis ikan, karena terjadi pula perubahan kelimpahan makanan.

Kehidupan udang penaeid di alam secara garis besar meliputi dua fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai (Toro dan Soegiarto, 1979). Menurut Gracia dan Le Reste dalam Aziz ef.al, (2001) mengungkapkan bahwa secara ekosistem, penyebaran udang dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah muara sungai atau estuaria (sebagai spawning ground) dan daerah lepas pantai pada stadia dewasa. Udang penaeid secara fisiologis juga, mengalami perubahan kapasitas dengan kenyataan hidup yang harus dijalani, yaitu bermigrasi dari satu kondisi lingkungan menuju kondisi lingkungan lainnya.

Daur hidup kelompok udang ini dimulai dari induk udang betina yang memijahkan telurnya di daerah laut terbuka. Selanjutnya kira-kira setelah 24 jam, telur menetas menjadi larva tingkat pertama yang dinamakan nauptilus bersifat planktonis. Nauplius ini bergerak mengikuti arus kearah pantai atau muara sungai.

Menurut Aziz ef. al. (2001), telur penaeid menetas setelah 24 jam dan menjadi larva (nauplius), selanjutnya mengalami delapan kali pergantian kulit (molting) dan berubah menjadi profozoea. Protozoea berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit, dimana pada masa ini bersifat planktonis. Mysis akan menjadi pascalarva setelah berganti kulit sebanyak tiga kali.

(106)

(PL) setelan tiga kali berganti kulit. Umumnya pada pasca larva memiliki pleopoda berambut (satae) untuk berenang dan merupakan stadia yang sudah mencapai daerah asuhan (nursery ground) di perairan pantai, serta mulai menuju ke dasar perairan.

Pascalarva merupakan tingkat yang sudah mencapai daerah asuhan di dasar perairan, dirnana pada masa ini secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah mengalami bebrapa kali pergantian kulit. Yuwana mencari makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian akan mulai beruaya kearah laut seiring dengan kematangan gonad. Udang akan matang gonad dan memijah di laut. Setelah matang gonad udang melepaskan telurnya ke laut untuk segera dibuahi sedangkan jenis udang lain umurnnya menyimpan telurnya samapi menetas menjadi larva. Fase kematangan gonad mengalami lima tahapan, yaitu belum berkembang (kondisi kantung telur), proses berkembang, hampir matang, matang, dan salin. Fekunditas diperkirakan antara 30.000 - 180.000 telur (Aziz et.al., 2001)

(107)
[image:107.559.51.511.33.712.2]

Gambar 2. Anatomi Udang Penaeidae (Grey et. Al. 1983)

(108)

2.4. Kondisi Perairan

Perairan kelurahan Karanganyar termasuk daerah Segara Anakan bagian barat. Kawasan ~ n i merupakan perairan estuaria yang dinamik, sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan memiliki suplai air tawar dari beberapa sungai. Sungai yang berakhir di kawasan Segara Anakan antar lain: sungai Citanduy dan Cibeureum, dimana kedua aliran sungai ini berpotensi membawa partikel sedimen. Sehingga pengaruh keduanya terhadap perairan cukup besar, salah satunya dapat mengakibatkan pendangkalan pada daerah akhir atau kawasan Segara Anakan.

Perubahan kualitas perairan di kawasan ini sangat cepat. Komponen yang dapat mempengaruhi kualitas perairan antara lain:

a) Pasang Surut

Pengaruh masuknya air laut dari laut lepas menyebabkan berfluktuasinya nilai kualitas air. Menurut Purba et. a1 dalam Matsuyama et. a/. (1994), Pergerakan air di kawasana Segara Anakan dipengaruhi oleh pasang surut yang berasal dari dua sumber yaitu, bagian barat dan timur estuaria. Fluktuasi permukaan air laut mengalami dua kali pasang (M2) atau semidiurnal mencapai 0,5 m di luar estuari.

Menurut Defant, Pasang surut di sepanjang pantai selatan Jawa dominan bersifat semidiurnal, dimana terjadi dua kali pasang (M2) yang berlangsung kontinyu (Matsuyama

et. al., 1994).

(109)

Pada kondisi pasang umumnya nelayan apong tidak melakukan pemasangan apong, akan tetapi melakukan persiapan hingga terjadi surut.

b) Suhu

Adanya perubahan pasang surut dapat berpengaruh terhadap suhu perairan. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di perairan adalah fotosintesa tumbuhan air dan proses fisologi hewan, meliputi metabolisme dan siklus reproduksinya.

c) pH dan Salinitas

Nilai pH dan salinitas pada perairan Segara Anakan mengalami fluktuasi, dan sangat tergantung besar kecilnya pengaruh pasang surut dan suplai air yang berasal dari sungai di sekitar perairan.

Menurut hasil penelitian Taurusman (1999), nilai pH di muara sungai Citanduy pada waktu kemarau sebesar 6,70 dan salinitas 0, sedangkan pada musim hujan nilai pH sebesar 7.33 dan salinitas 0,5 %o. Pada daerah tengah laguna pada musim kemarau nilai

pH mencapai 7,11 dengan salinitas

3,O

%o, sedangkan pada musim hujan nilai pH sebesar 7.48 dan salinitas 4,O %o. Sehingga pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya sangat menentukan.

2.5. Aktivitas Penangkapan Alat Apong

(110)

Sedangkan alat tangkap apong yang beroperasi di kawasan Segara Anakan memiliki jumlah alat yang dominan.

Jumlah alat tangkap apong yang beroperasi di Segara Anakan semakin meningkat dan daerah operasi penangkapannya selalu tetap. Setiap satu alat apong memiliki tiang yang diberi tanda untuk membedakan dengan milik nelayan lainnya. Tiang tanda pada daerah operasi penangkapan apong biasanya dimiliki secara turun temurun, sehingga kepemilikan tanda ini tidak dapat diganggu oleh nelayan lain.

2.6. Konstruksi Alat Tangkap Apong

Alat tangkap apong sejak lama diperkenalkan nelayan dengan menjanjikan hasil tangkapan yang besar. Alat ini memiliki bentuk yang sama dengan jaring trawl, yaitu bentuk kantong yang menggunakan ukuran mata jaring besar pada mulut kantong dan semakin menuju kantong akan semakin mengecil hingga mirip berbentuk kantong besar. Ukuran alat ini bervariasi, karena tergantung dengan kedalaman lokasi penangkapan. Ukuran alat yang kecil dikenal dengan nama kisril, sedangkan yang besar disebut sebagai apong.

Alat tangkap apong yang dioperasikan nelayan terdiri dari 2 (dua) ukuran, yaitu berukuran besar (apong) dan kecil (kisril). Ukuran besar memiliki bentuk bukaan mulut hingga mencapai 15 meter, sedangkan ukuran kecil hanya mencapai 5 meter (Gambar 5).

(111)

Apong dipasang pada saat air pasang hingga air surut, dimana saat air surut udang yang melakukan ruaya ke laut akan terperangkap di dalam jaring yang berbentuk kantung. Jenis ikan yang diperoleh dari penangkapan apong ini sangat banyak jenisnya, disamping udang kecil dan ikan yang melakukan ruaya menuju wilayah Segara Anakan.

[image:111.559.74.485.291.715.2]

Penggunaan alat tangkap apong sangat tergantung dengan keadaan pasang surut perairan dan musim. Penghitungan kondisi pasang surut menentukan keberhasilan operasi penangkapan yang pada umumnya dihitung sesuai dengan keberadaan bulan. Pengaruh musim ikan akan menentukan jumlah dominan udang atau ikan tertentu pada hasil tangkapan yang diperoleh.

Gambar 5. Alat Tangkap Apong

2.7.

Daerah Penangkapan Alat Tangkap Apong
(112)

itu adanya tingkah laku ikan yang selalu mengikuti perubahan pasang surut dan umumnya

melintas pada pinggir perairan, sehingga pemasangan alat dilakukan pada pinggir

perairan, namun ditemukan banyak sekali alat yang dipasang ditengah perairan dan

(113)

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Juli - September 2001. Waktu penelitian tersebut telah termasuk pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diambil langsung di lokasi penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas pemerintah dan instansi terkait.

Lokasi penelitian berada di sekitar wilayah Segara Anakan terutama daerah pelawangan barat dan timur segara tersebut. Pada daerah pelawangan barat berada di sekitar parairan Kelurahan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap (Gambar 6)

3.2. Peralatan yang digunakan

Peralatan ini ditujukan untuk memperoleh informasi penunjang bagi penelitian yang dilakukan. Peralatan yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Peralatan yang digunakan dalam penelitian

I

No.

I

Uraian

I

Jenis Alat

1

I

A. Alat Ukur

I

1

/

1

I

Panjang Biota (udang)

I

Penggaris

1

/

2

1

Berat Biomass

I

Timbangan

1

/

3

/

Keasaman Perairan (pH)

/

Kertas Lakmus

1

1

4

1

Gambaran Biota

I

Kamera

I

1

5

(

Suhu Perairan ITermometer

I

1

1

I

Pengawet Sampel

I

Formalin

1

6

1 2

1

I

Kapallperahu

I

B. Alat Bantu

[image:113.564.69.329.483.717.2]
(114)

TELUK PENYU

S A M U D E R A I N D O N E S I A

(115)

3.3. Pengumpuian Data

a). Data Primer

Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan dengan mengikuti operasi nelayan apong di daerah penelitian setiap waktu penangkapan (1 5 trip) dan nelayan apong yang dipilih secara acak. Data primer yang dikumpulkan meliputi (1) komposisi hasil tangkapan perikanan apong, (2) suhu perairan, (3) Kedalaman perairan, (4) keadaan bulan (gelap atau terang), (5) salinitas dan (6) data diri nelayan. Dalam komposisi hasil tangkapan mencakup komposisi jumlah dan berat.

Data keadaan ekonomi dan motivasi nelayan apong sebanyak 20 % dari populasi jumlah penduduk disetiap desa lokasi penelitian yang dimabil secara acak mencakup tanggapan nelayan apabila ada pengaturan operasi apong.

Penentuan lokasi pengambilan contoh dilakukan secara acak, yaitu di sekitar Desa Karang Anyar dan pintu keluar arah laut (sekitar Majingklak). Pengambilan sampel dilakukan setiap 2 hari selama musim penangkapan untuk setiap ukuran alat.

b). Data Sekunder

Data sekunder berupa jumlah unit alat tangkap apong dan hasil tangkapannya diperoleh dari Manajemen Proyek Segara Anakan Cilacap, dan dinas perikanan setempat.

3.4. Analisis Contoh dan Data

Contoh hasil tangkapan apong diidentifikasi dan dianalisis di laboratorium tingkah laku ikan, FPIK-IPB. Kunci identifikasi yang digunakan antara lain Saanin (1968), dan Schuster, W.H. dan D. Rustami (1952).

(116)

tangkapan berupa jumlah dan jenis udang hasil tangkapan selta jumlah individu per jenis udang.

1) Sistem Pengukuran Udang

Untuk ukuran udang di ukur panjang total dan panjang karapas udang. Panjang t ~ t a l udang merupakan panjang dimulai dari ujung pangkal karapas hingga ekor udang (telson). Panjang karapas diukur mulai pangkal karapas depan hingga batas karapas udang dengan badan. Selanjutnya sistem pengukuran ini dapat dilihat pada Gambar 7

.

berikut.

a

Keteranga: a = Panjang Total; b = Panjang Karapas

Garnbar 7. Pengukuran Panjang Total dan Karapas Udang Penaeid

2) Uji Kenormalan Liliefors

Untuk mengetahui data yang diperoleh rnenyebar normal, data sampel dianalisis dengan menggunakan uji kenormalan Liliefors. Menurut Nasution, A.H dan Barizi (1988),

uji kenormalan ini berdasarkan besaran

:

(117)

Nilai L dapat diperoleh dari daftar tabel (Nasutiotl A.H, 1985), dimana a merupakan taraf uji bagi kaidah L.

3) Frekuensi Ratio Ukuran Udang (Penaeid)

Pengukuran dilakukan dengan mengambil ukuran karapas dan panjang individu menggunakan alat ukur. Hasil tangkapan yang diukur panjangnya dilakukan pada setiap

1

trip atau setting pada bulan gelap yang berbeda (kuartal I dan kuartal 11). Frekuensi ukuran udang (penaeid) hasil tangkapan di tampilkan dalam bentuk grafik.

4) Uji Jumlah-Peringkat Wilcoxon

Untuk membandingkan nilai tengah dua populasi salah satunya dengan menggunakan uji jumlah-peringkat Wilcoxon. Data sampel yang dianalisis akan membuktikan sama atau tidak nilai tengah dari sampel hasil tangkapan dan ukuran karapas pada setiap bulan gelap.

Pengujian Ho bahwa IJI = 1 2 atau

11

# p2, dengan cara menarik satu contoh acak

dai masing-masing populasi. Populasi nl dan n2 digabung, selanjutnya dilakukan pemberian peringkat. Bagi pengamatan yang termasuk dalam contoh yang lebih kecil di beri tanda dan dijumlahkan peringkatnya (WI) (Walpole, 1995):

dimana :

W I , W ~ : Peubah acak w 1 dan 2

(118)

Hipotes~s no1 pl = p2 kita tolak dan alternatifnya p1< p2 diterima hanya bila wl kecil dan w2 besar. Begitu pula alternatif pi > p2 diterima hanya bila wl besar dan w2 kecil.

Untuk uji dua arah menolak hipotesis no1 dan menerima hipotesis satu bila wl kecil dan w2

besar atau bila wl besar dan w2 kecil. Dengan kata lain, alternatif pl < p2 diterima bila w2 cukup kecil dan alternatif 11 # p2 diterima bila yang terkecil diantara wl dan w2 cukup kecil. 5) Pengelompokkan Habitat

Pengelompokan habitat berdasarakan data hasil tangkapan udang dengan menggunakan alat tangkap apong dari setiap setting alat atau trip yang dilakukan pada setiap bulan gelap. Pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Componen Analysis, PCA) (Bengen, 1998) yang merupakan metode statistik deskriptif, berfungsi untuk menginterpretasikan dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat suatu matrik data.

Matrik data terdiri dari stasiun yang mewakili trip atau setting alat tangkap sebagai kolom dan hasil tangkapan (jenis penaeid) yang dominan diperoleh dari hasil tangkapan sebagai baris. Sebelum data tersebut dianalisis komponen utama terlebih dahulu dinormalisasi melalui pemisahan dan pereduksian.

Pada prinsipnya PCA menggunakan Jarak Euclidean yang didasarkan pada rumus berikut:

Keterangan: i,i' jenis udang J = variabel trip

(119)

4. HASlL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

4.1.1. Alat Tangkap Apong

Secara umum konstruksi alat tangkap apong terdiri dari sayap, badan kantung dan kantung akhir. Seluruh komponennya terdiri dari jaring dengan berbagai ukuran yang dibentuk dengan pola yang ada, sehingga menlbentuk jaring dengan kantung. Ukuran alat apong yang dioperasikan nelayan sangat bervariasi, disesuaikan dengan lokasi atau tempat memasang alat dan kedalaman perairan pada lokasi tersebut.

Alat tangkap apong yang berukuran kecil (kisril) biasanya dioperasikan pada daerah dangkal dengan kedalaman 4 hingga 6 meter, sedangkan dengan ukuran besar yang dikenal dengan nama apong dioperasikan pada kedalaman lebih dari 10 meter. Jaring apong ini dilengkapi dengan pelampung dan tali (rope) yang diikatkan pada patok yang telah disediakan.

(120)
[image:120.564.68.496.117.630.2]

yaitu 6 dan 4 inch dan dipasang beberapa pemberat (batu) serta pelampung tanda pada bagian mulut kantung atau kantung akhir (Gambar 8).

Gambar 8. Konstruksi Jaring Apong Nelayan Karang Anyar, Cilacap.

(121)

hingga menjelang bulan terang. Kondisi ini terlihat teratur setiap bulannya, terlihat pada data lapangan, dimana aktifitas nelayan banyak dilakukan pada setiap bulan gelap.

[image:121.564.101.494.283.456.2]

Teknik pemasangan alat apong yang dilakukan nelayan bervariasi dan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu secara paralel dan seri. Pemasangan secara paralel, yaitu dengan memasang jaring mulai dari dekat pinggiran laguna hingga ke tengah, secara sejajar, sedangkan yang dipasang seri, yaitu jaring yang dipasang mengikuti pinggir daratan atau sejajar dengan pinggiran (bantaran) sungai atau daratan. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.

Gambar 9. Model Pemasangan Apong di Segara Anakan

(122)

4.1.2. Data Hasil Pengamatan

Data pengamatan yang diperoleh saat penelitian antara lain suhu perairan yang diukur dengan menggunakan termometer pada saat surut menunjukkan 20 hingga 27 "C,

sedangkan saat pasang menunjukkan 24 hingga 28 "C. Salinitas pada perairan saat surut bernilai 6 hingga 9 %O dan saat pasang bernilai 13 hingga 20 %o. Nilai kadar asam

(pH) perairan yang diperoleh saat penelitian berkisar antara 5,8 hingga 7 (Gambar 10).

/

- - c - - Salinitas I Pasang ("I,)

--t- Su hu Suru t

j ("C)

'

[image:122.568.92.486.204.434.2]

Ulangan 5

Gambar 10. Grafik Hasil Pengukuran pH, Salinitas, dan Suhu Perairan.

Jumlah alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan pada saat ini sudah mencapai 1600 unit dengan berbagai ukuran. Pemasangan alat tangkap dilakukan pada tempat-tempat yang telah mereka tentukan dan sudah dianggap milik oleh nelayan.

Penelitian dilakukan pada saat aktifitas penangkapan mulai menurun, dimana dikenal dengan istilah ngember. lstilah daerah ini berarti kondisi perairan pada saat itu dianggap bening sehingga perairan nampak cerah. Kecerahan air mempengaruhi operasi penangkapan, sehingga udang dapat menghindar dari jaring.

Gata hasil pengumpulan yang dilakukan selama bulan Juni - Juli dan Agustus

-

(123)

Anyar adalah udang. Sedangkan jenis udang yang diperoleh 80 O/O berukuran kecil atau

masih dalam tahap juvenil (yuwana). Udang yang dominan tangkap adalah Udang jari (Metapenaeus elegans), Udang krosok (Metapenaeus dobsono dan Udang jerbung (Penaeus merguensis), disamping beberapa jenis udang dalam jumlah sedikit, seperti udang tiger (Penaeus monodon). Hasil tangkapan sampingan terdiri dari berbagai ikan karang antara lain: pelus (Anguilla maurifiana, Benn.), kiper laut (Coradion chrysozonus), buntal ruas ( Tetraodon fluviatius, ham), lida h (Cynoglosus cynoglosus), se belah (Pseudorhombus arsius, H.B) dan selar (Carang leptolepis). disamping itu terdapat beberapa ikan teri gelaga (stolephorus sp.), kating (Arius sagor).

Pengamatan dilakukan pada fase bulan gelap. Fase bulan menunjukkan aktifitas nelayan pada saat pengambilan sampel dilakukan, dimana nelayan memperhitungkan kondisi penangkapan yang mungkin untuk dilakukan menyesuaikan dengan keadaan atau kondisi bulan. Dalam satu bulan terdapat selang waktu nelayan untuk tidak melakukan penangkapan, yang biasa disebut ngember (istilah nelayan). Pada saat ini fase bulan telah mencapai kuartal II dan kondisi perairan tersebut cahaya bulan mencapai dasar' perairan, sehingga diduga udang atau ikan dapat menghindari jaring.

Perolehan nelayan mengalami fluktuasi untuk setiap trip dan hasil tangkapan yang terbanyak rata-rata pada saat fase bulan menjelang, selama bulan gelap dan bulan akan terang. Data hasil tangkapan udang yang diperoleh nelayan, pada fase bulan gelap 1,

hasil tangkapan Metapenaeus dobsoni bertambah besar hingga trip ke trip ke 4, dan semakin menurun. Jumlah hasil tangkapan selama bulan gelap 1 masing-masing sebesar 15.080 gr Metapenaeus elegans, 23.590 gr M. dobsoni, dan 440 gr Penaeus merguensis.

(124)

tangkapan Metapenaeus elegans mengalami fluktuasi dan cenderung bertambah seiring dengan bulan mendekati bulan penuh. Ukuran Metapenaeus dobsoni ini relatif lebih kecil dibanding hasil tangkapan pada trip 1 di bulan gelap 1 dengan panjang karapas sebesar rata-rata 2,287 cm dan Metapenaeus elegans rata-rata 1,666 cm, sedangkan untuk

Penaeus Merguensis yang diperoleh tiga kali dengan rata-rata ukuran karapas 3,219 cm. Perubahan hasil tangkapan dan ukuran karapas masing-masing udang pada bulan gelap 1 dapat dilihat pada Gambar 11, berikut.

8000 -- - - - - - -

2 4 6 8 10 12

[image:124.564.83.492.244.482.2]

Trip

Gambar 1

I .

Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 1. (Sumber data : Hasil Tangkapan, 2001)

Udang jerbung (P. merguensis) jarang diperoleh selama bulan gelap 1, sedangkan untuk M. elegans berfluktuasi dan banyak diperoleh setelah trip ke 4 dan hasil tangkapan tertinggi pada trip ke 7 pada pertengahan bulan gelap. Seluruh penaied cenderung mengalami penurunan menjelang bulan memasuki fase terang.

Ukuran panjang total penaeid untuk M. elegans yang diidentifikasi dari hasil tangkapan berukuran 6,25

-

6,75 cm sebanyak 36 ekor. Selanjutnya untuk M. dobsoni
(125)

ekor, sedangkan jenis P. merguensis 10,25 - 10,75 cm sebanyak 9 ekor (Gambar 12). Dengan hasil tangkapan total masing- masing sebesar 11.81 5 gr M. elegans, 10.710 gr M.

dobsoni dan 4.1 30 gr P. merguensis.

Skala

M e t q ~ e i r r r e r i s elegntzs

Skala

M c t n ~ ~ c t r n c i r s dobsc~jri

S kala

[image:125.564.80.532.136.606.2]

Peirn~1r.s rirc~g.~re~rsis

Gambar 12. Grafik Frekuensi Ukuran Panjang Total Penaied (M elegans, M. dobsoni dan

(126)

",

.,;

" 2 ;.9 ? h' %?

S ka 1'1

AI. c.kcyfar~s

Skala

M. dobsorli

[image:126.564.65.537.76.581.2]

P. rrrcrg~sisis

(127)

Di!iha: da:i hasii tanykapan irekue~~si pa~ijdng kdrapas (Gamba~ 133 ivl. elegans sebesar 34 % pada ukuran 2,2 - 3,O cm, sebesar 96 % M. dobsoni dengan ukuran 134

-

1.90 cm dan 23 OhP. merguensis dengan ukuran 3.6

-

4,8 cm. Ratio panjang total dan panjang karapas (Gambar 14) untuk M. elegans 2,85 cm, M dobsoni 2,85 cm dan P. merguensis 4 cm.

4

,,In;P ?,c b b 7 %3 S h l a

P. rrtergrrerrsfs

[image:127.564.45.497.177.694.2]
(128)

Fase bulan gelap 2, hasil tangkap Metapenaeus elegans dan Metapenaeus dobsoni mengalami penurunan, akan tetapi jumlahnya relatif stabil walaupun masih dianggap sedikit hasilnya, sekitar 1074,09 gr untuk Metapenaeus elegans dan 973,64 gr untuk Metapenaeus dobsoni. Jenis P. rnerguensis diperoleh dalam.jumlah sedikit, dimana jumlah terbesar pada trip ke 3 dengan hasil tangkapan seberat 11 00 gr.

0 I 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2

[image:128.564.92.484.214.485.2]

Trip

Gambar 15. Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 2. (Sumber data : Hasil Tangkapan, 2001)

Sedangkan ukuran karapas udang hasil tangkapan pada bulan gelap 2, semakin kecil dibandingkan dengan ukuran karapas pada bulan gelap 1. Fluktuasi hasil tangkapan dan ukuran karapas dapat dilihat pada gambar 15.

(129)

Skala

M r t n / ~ e t ~ n e ~ ~ w / e g n r l s

Skala

h 4 r t n ~ ~ r r m r 1 i s tiohst~rrl

Skala

[image:129.564.67.517.71.610.2]

Penaeus M e r g l l e ~ ~ s i s

(130)

Prosentase ukuran karapas udang penaeid yang diperoleh selama bulan gelap 2, untuk M. elegans didominasi pada ukuran karapas 2,35

-

2,65 cm sebesar 28 %,

M.dobsoni pada ukuran 1,45

-

1,75 cm sebesar 30 % dan P. merguensis pada ukuran 2,75 - 3,05 cm sebesar 22 %. Secara umum dapat dilihat pada Gambar 17.

,

? \? ,? ?, Q

-3

+

?, ?,a ?J P+,

9

\?

\+

\? n> %? %? ?? ?? ?? a?

"

"7 "9

".?

o,? c,,

+J

bPc?l b?

3

% [image:130.570.68.521.160.656.2]

Skala P. rrretg~~pnsis

Gambar 17. Grafik Penyebaran Frekuensi (%) Panjang Karapas Udang Penaeid Penaeid

(131)

Q c'? ' '> , _ - SL.:,

P. mt.g#.*v#.,.

Gambar 18. Grafik Ratio Antara Panjang Karapas dan Panjang Total Penaeid Hasil Tangkapan Apong Pada Bulan Gelap 2. (Sumber data: Olahan Hasil Tangkapan, 2001 )

Ratio panjang total dan panjang karapas dari hasil tangkapan selama bulan gelap

[image:131.568.82.518.62.461.2]
(132)

Selanjutnya pada fase bulan gelap 3 yang dimulai saat bulan akan gelap, memperoleh hasil tangkapan yang cukup besar dan cenderung menurun pada saat bulan akan kembali terang. Rata-rata hasil tangkapan nelayan sebesar 3.540 gr untuk Metapenaeus elegans dan 3.823 gr untuk Mefapenaeus dobsoni, serta Penaeus merguensis sebesar 1.135 gr (Gambar 19). Dari data hasil tangkapan pada bulan gelap ke 3 yang dilakukan pada bulan September dan Oktober 2001 menunjukkan adanya jumlah hasil tangkapan Penaeus merguensis yang cukup besar selama penangkapan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 . 3 1 4

Trip

~ -- -

-.

I+A/I. elegans - - C - A 4 , r l o l ? s ~ j r r i -A- P. I I I ~ ~ I ~ ~ I ~ V I I S Z : : i

Gambar 19. Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 3. (Sumber data: Hasil Tangkapan, 2001)

4.2. Hasil Anaiisis dan Pembahasan

[image:132.564.111.452.272.478.2]
(133)

Tingkah laku udang salah satunya adalah fototaksis negatif, dimana udang cenderung akan menghindar dari cahaya. Pada kondisi ini nelayan memanfaatkan bulan gelap untuk melakukan penangkapan. Alat tangkap di pasang pada saat menjelang surut kedua agar udang yang akan keluar dari segara anakan akan tertangkap atau masuk kedalam jaring yang telah dipasang.

Pada bulan gelap 1 (Juni

-

Juli) secara umum pada bulan tersebut terjadi perubahan iklim atau pancarobi. Pada bulan tersebut sering terjadi perubahan cuaca yang drastis, dimana suhu perairan mencapai 20 " C pada malam hari dan pada siang hari dapat mencapai 31 "C. Kondisi ini menyebabkan udang cenderung mencari suhu perairan yang sesuai dengan kemampuan adaptasinya. Kondisi perairan di luar laguna dengan gelombang yang tinggi menyebabkan udang banyak berlindung di dalam segara anakan.

Hasil Analisis dengan Uji Liliefors, data hasil tangkapan berdasarkan berat hasil tangkapan pada masing-masing jenis udang di bulan gelap 1 menghasilkan nilai L sebesar 0,255 untuk M. elegans, 0,133 untuk M. dobsoni, dan 0,16 untuk P. merguensis. Nilai L tabel pada taraf kepercayaan 0,05, yaitu 0,258. Sehingga nilai L dari ketiga jenis penaeid lebih kecil dari L tabel (0,05). Kondisi ini menunjukan bahwa pada ketiga populasi pada saat bulan gelap 1, dianggap menyebar normal.

(134)

Selanjutnya pada bulan gelap 3, dari hasil analisis uji ini diperoleh nilai L dari berat hasil tangkapan sebesar 0,117 untuk M. elegans, 0,149 untuk M. dobsoni dan 0,230 untuk P. merguensis. Untuk nilai L tabel pada taraf 95% untuk perlakuan di bulan gelap 3 sebesar 0,234. Sehingga nilai L hitung dari ketiga jenis udang (Metapenaeus elegans, Metapenaeus dobsoni dan Penaeus merguensis) lebih kecil dari nilai L tabel (0,05) menunjukkan penyebaran populasi yang menyebar normal pada perairan.

Komposisi populasi hasil tangkapan yang diperoleh diperlihatkan pada data analisis Uji Wilcoxon untuk bulan gelap 1 dan 2, dimana M. elegans memiliki nilai u hitung sebesar 53 dari hasil peringkat yang telah dilakukan. Sedangkan untuk bulan gelap 2 diperoleh nilai u hitung terkecil sebesar 38. Dari hasil tersebut disimpulkan nilai tengah kedua populasi yang ditunjukan tidak berbeda nyata, karena nilai u hitung lebih besar dari nilai u tabel. Jumlah hasil tangkapan nelayan terutama udang relatif sama dan banyak diperoleh pada saat tersebut. Sedangkan antara bulan gelap 2 dan 3, memiliki nilai tengah yang sangat berbeda nyata, dimana nilai u hitung sebesar 38 lebih kecil dari u tabel pada taraf 95% sebesar 42. Hal ini ditunjukkan oleh adanya hasil tangkapan yang cenderung bertluktuasi.

(135)

Untuk udang jenis P. merguensis, setelah dilakukan Uji Wilcoxon antara bulan 1 dan 2 memiliki nilai tengah populasi yang berbeda nyata, dimana nilai u hitung 26 lebih kecil dari nilai u. Hal ini dimungkinkan karena hasil tangkapan udang ini jarang di dapat oleh nelayan pada saat pengambilan sampel berlangsung. Demikian pula pada bulan gelap 2 dan 3 berbeda nilai tengah populasi dari hasil tangkapan, dimana nilai u hitung sebesar 17 lebih kecil dari u tabel 95% sebesar 42. Pada bulan Juli hir~gga September jumlah hasil tangkapan meningkat sejalan dengan perubahan iklim, yaitu pancaroba yang telah berlalu, sehingga rekruitmen yang terjadi di perairan segara anakan cenderung bertambah. Hal ini diperlihatkan pada Gambar 8 dan Gambar 11, dimana hasil tangkapan P. merguensis cenderung bertambah. Sedangkan hasil tangkapan M. elegans dan M. dobsoni relatif konstan keberadaannya, dimana dapat diperoleh pada musim tersebut, walaupun jumlahnya tidak tetap. Selanjutnya menjelang musim penghujan jumlah hasil tangkapan udang penaeid cenderung bertambah, walaupun jumlahnya tidak stabil (Gambar 14). Pada musim penghujan perairan di Segara Anakan cenderung mendekati salinitas 0, dimana terjadi pasokan air tawar yang berasal dari sungai yang banyak: Sehingga di beberapa titik pengambilan sample air senderung mendekati salinitas 0 hingga 0,5.

Dari hasil pengamatan terlihat pada saat bulan akan kembali terang hasil tangkapan udang penaeid cenderung menurun. Hal ini menunjukan bahwa udang penaeid memiliki fototaksis negatif, sehingga pada masa bulan menjelang terang hingga menjelang gelap perairan Segara Anakan terlihat cerah dan cahaya bulan dapat masuk kedalam perairan.

(136)

elegans menunjukkan ratio antara 2,7

-

3,O dan grafik yang terbentuk ke arah kanan atau sernakin membesar, menunjukkan ukuran populasi tersebut masih dapat ditangkap, begitu pula pada jenis P. merguensis yang memiliki nilai ratio berkisar antara 3,8 - 4,3. Pada jenis M. dobsoni ratio ukuran panjang total dan karapas berkisar antara 2,60

-

3,05, yang menunjukkan bahwa populasi jenis ini dalam kondisi normal pertumbuhannya. Sedangkan dalam siklus hidup penaeid merupakan fase pertumbuhan di daerah nursery ground, sehingga seluruh tangkapan yang berukuran kecil tersebut dapat mengancam keberadaan penaeid.

Untuk hasil tangkapan pada gelap 2 (bulan Juli), ukuran udang relatif lebih kecil untuk ketiga jenis penaeid yang diambil contohnya. Untuk M. elegans banyak ditangkap pada ukuran kecil dengan ratio panjang total dan karapas berkisar antara 0.29

-

0,31 dan 0.39 - 0.43. yang menunjukkan bahwa populasi ukuran jenis ini masih tergolong berukuran kecil. Sela~jutnya untuk M. dobsoni memiliki populasi ukuran yang cenderung membentuk grafik normal dimana nilai ratio panjang total dan panjang karapas berkisar antara 0,28

-

0,33. Jenis P. merguensis masih jarang diperoleh selama pada bulan gelap 2 walaupun ukurannya relatif kecil dibandingkan pada bulan gelap 1 dan menunjukkan grafik tidak normal atau miring ke kiri. Pada bulan gelap 2 ini secara umum populasi ukuran beberapa jenis penaeid hasil tangkapan berukuran kecil, walaupun jumlah hasil tangkapan besar. Kondisi ini justru dapat mengakibatkan punahnya juvenil atau juwana udang, karena pada musim ini diperkirakan juvenil udang beruaya masuk kedalam kawasan Segara Anakan untuk membesar atau sebagai nursery ground.
(137)

%untuk M. elegans, 22,1 % M. dobsoni, dan 16 % P. merguensis. Sehingga dari matrik tersebut diperoleh grafik yang dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar tersebut diperlihatkan yang terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu bulan gelap 1 (nomor 1

-

lo), gelap 2 (nomor 1 1 - 22) dan gelap 3 (nomor 23

-

34).

Kecenderungan yang terjadi bahwa pada saat bulan gelap 1 kelimpahan ke tiga jenis penaeid ini dengan tangkapan tertinggi 6.320 gr dan akan tetapi selama penangkapan populasinya tidak merata, sehingga masih sulit untuk diperoleh. Pada saat tersebut dimungkinkan penaeid masih bermigrasi diluar Segara Anakan.

Sedangkan pada bulan gelap ke 2, yaitu di bulan Juli, populasi udang mulai stabil walupun jumlah hasil tangkapan rendah, akan tetapi tingkat populasi yang hampir merata. Untuk ke tiga jenis penaeid dapat diperoleh hampir selama penangkapan berlangsung.

(138)

-4

Musim

--,- -. - - J

[image:138.564.69.531.55.315.2]

Kelimpahan bulan gelap

Gambar 20. Hasil Perhitungan PCA dari Hasil Tangkapan Udang penaeid (M, elegans, M, dobsoni dan P. merguensis) Selama Penelitian. (Sumber data: Olahan Hasil Tangkapan, 2001)

4.3. Pengaruh Apong Terhadap Keberadaan Penaeid di Segara Anakan

Keberadaan stok sumberdaya alam (ikan dan udang) pada lingkungan perairan ,

laut alamiah sangat mempengaruhi aktifitas perikanan tangkap. Semakin banyak jumlah sumberdaya ikan atau udang, maka aktifitas penangkapan akan semakin besar, demikian biia terjadi kondisi sebaliknya. Hal ini berbeda dengan aktifitas budidaya, dimana stok sumberdaya alam ini tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh nelayan tangkap. Akan tetapi, kondisi stok sumberdaya alam ikan atau udang sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan penangkapan, dan keberhasilan usaha perikanan terpengaruh pada keberadaan stok sumberdaya tersebut.

(139)

dan tertangkap nelayan lebih besar dari pada biomassa yang dihasilkan melalui proses reproduksi dan pertumbuhan individu-individu dalam stok ikan secara alami dalam selang waktu tertentu (Russel dan Hunter, 1970). Menurut Gulland dalam Dahuri (1994), terdapat dua pengertian tentang kondisi tangkap lebih, yaitu tangkap lebih pertumbuhan (growth overfishing) dan tangkap lebih peremajaan (recruitment overfishing). Kondisi tangkap lebih pertumbuhan terjadi manakala kegiatan perikanan banyak menangkap individu-individu ikan yang terlalu muda, sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk mencapai ukuran dewasa. Sedangkan terjadinya tengkap lebih peremajaan manakala kegiatan perikanan tangkap banyak menangkap individu-individu yang siap memijah (spawning stock), sehingga peluang untuk memproduksi individu-individu ikan muda mengecil (terancam).

Alat tangkap apong memiliki potensi untuk menangkap penaeid dalam ukuran kecil atau juvenil. Kondisi ini dilihat dari data hasil penangkapan (Lampiran 1.) yang memperlihatkan lebih dari 85 % penaied berukuran kecil. Sehingga kegiatan perikanan apong ini dapat digolongkan tangkap lebih pertumbuhan.

(140)

Pada tahun 2000 jumlah alat tangkap yang telah di data berjumlah 1600 unit dalam berbagai ukuran (PMO dan BCEOM), dan seluruh alat apong ini dioperasikan di Segara Anakan. Sedangkan jumlah alat yang berada di setiap kelurahan tidak diperoleh. Rata hasil tangkapan udang pada musim paceklik 3,5 kg dan pada saat musim subur 11'5 kg (hasil wawancara dengan nelayan dan pengumpul).

Alat tangkap apong bila dioperasikan seluruhnya pada suatu saat, maka dapat diperoleh hasil tangkapan udang 5600 kg atau 5,6 ton pada musim paceklik, sedangkan pada musim subur dapat diperoleh 18400 kg atau 18,4 ton. Dilihat dari persentase jumlah penaeid yang di peroleh sebesar

75

%, maka pada musim paceklik rata-rata hasil tangkapan udang penaeid sebanyak 4200 kg atau 4,2 ton dan pada musim subur diperoleh 13800 kg atau 13,8 ton.

Berdasarkan data hasil tangkap nelayan yang diperoleh pada Lampiran 1, hubungan antara jumlah individu dengan berat hasil tangkapan apong per jenis penaeid dapat ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut :

Ln Y = 733,835 + 1,207 In X, r = 0,854 Dimana :

Y = Jumlah individu (ekor) X = berat total individu (gram)

(141)

Menurut Munro (1986) dan walker (1974), bahwa waktu yang diperlukan oleh udang penaeid untuk menjadi udang dewasa (siap memijah) dari stadia pasca larva sekitar 4

-

5 bulan atau rata-rata selama 4,5 bulan. Sedangkan kematian alamiah udang penaeid yang diwakili oleh udang jerbung (P. merguensis) adalah sebesar 5 % per minggu (Lucas et al. Dalam Naamin, 1984). Dengan demikian, laju kematian alamiah dari stadia larva menjadi udang dewasa kira-kira sebesar 19 dikali 5% atau sama dengan 95% dengan perkataan lain tingkat kelulushidupannya (survival rate) sebesar 5 Oh. Berajak dari perhitungan tersebut, maka secara potensial perikanan sudu di Segara Anakan dapat menghilangkan peluang penambahan udang penaeid dewasa ke dalam stok sebesar 289.717 pada musim paceklik dan 1.062.97 pada musim subur.

Jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh seekor udang penaeid di wakili oleh

udang jerbung (P. merguensis) adalah sebesar 300.000 butir (Poernomo, 1979). . . Sedangkan daya tetas (hatching rate telur udang penaeid sekitar 30 % (Rao, 1969).

(142)

Dengan demikian, dengan adanya aktivitas perikanan apong merupakan salan satu yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap keberadaan dan kelestarian stok udang penaeid. Untuk dapat menduga dampak yang ditimbulkan perikanan apong secara tepat, idealnya pedu diketahui keadaan potensi stok udang penaeid pada stadia larva dan yuwana, serta dinamika popu

Gambar

Grafik Hasil Pengukuran pH. Salinitas dan Suhu Perairan ...............................
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Sparre and
Tabel 1. Habitat Udang Penaeid
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat pengetahuan siswa setelah mempelajari kompetensi dasar mengolah hidangan berbahan terigu (pasta) dapat dijadikan tolak ukur sebagai kesiapan cook helper

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, dari yang paling sederhana dengan mengambil nilai tetap untuk balikan matriks Hessian, sampai dengan yang lebih rumit yaitu dengan

Dari hasil penelitian terhadap 30 sampel telah ditetapkan beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam mengkonsumsi daging ayam yang berpengaruh juga terhadap

Hasil Penelitian Mahasiswa Semester I diperoleh bahwa perhitungan ststistik hipotesis yang diterima yakni H 0 (tidak ada perbedaan efek motivasi belajar sebelum dan sesudah

[r]

Diharapkan hadir tepat waktu dengan membawa Seluruh Dokumen Form Isian Kualifikasi beserta lampiran kelengkapan dokumen dan diwajibkan untuk membawa Seluruh Dokumen

Dari hasil inversi menunjukkan bahwa lapisan tufa kasar yang produktif sebagai aquifer (aquifer terbuka/bebas) sehingga sehingga produktivitas serta kualitasnya

Kegiatan refleksi pada siklus ini dilakukan untuk membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan saintifik dalam meningkatkan