• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI

PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

oleh:

Jose Adelina Putri

ABSTRAK

Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia dan sangat umum di negara-negara berkembang. Bakteri yang menyebabkan kasus TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, jumlah kasus TB paru terbanyak di Bandar Lampung adalah berada di daerah Panjang. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) telah diketahui dapat mengatasi penyakit TB, namun angka drop out masih tinggi. Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita TB Paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran Pengawas Minum Obat (PMO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang.

Metode Penelitian: Desian penelitian ini adalah observatif analitik dengan pendekatan cross sectional. Data diambil pada bulan Februari-Agustus 2015. Sampel penelitian adalah PMO beserta penderita TB Paru dari Puskesmas Rawat Inap Panjang yang diambil dengan teknik total sampling dan dianalisis dengan menggunakan program pengolah data.

Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang signifikan (p=0,006) antara pendidikan PMO dengan keteraturan minum OAT dan terdapat hubungan yang signifikan (p=0,003) antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT.

(2)

THE CORRELATION BETWEEN EDUCATION AND KNOWLEDGE OF SUPERVISOR CONSUMING ANTI TUBERCULOSIS DRUGS TO COMPLIANCE OF PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS IN

PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG 2015

By

Jose Adelina Putri

ABSTRACT

Background: Tuberculosis is an important public health problem worldwide and is very common in developing countries. The bacteria that causes Tuberculosis is Mycobacterium tuberculosis. According to data obtained from the Health Departement of Bandar Lampung, the number of cases of pulmonary TB in Bandar Lampung occur in Panjang district. Anti Tuberculosis has been known to treat TB, but the numbers of drop out is still high. Failure of treatment and less discipline for patients with Pulmonary TB are strongly influenced by several factors. One of them is the role of the Supervisor Consuming anti tuberculosis drugs. This research was aimed to know correlation between education and knowledge of the PMO in consuming anti tuberculosis drugs with the compliance of pulmonary TB pateints.

Method: This research was analytical observation study with cross sectional methods. Data were collected on Februari-Agustus 2015. Samples of this research were supervisor consuming drugs and Pulmonary TB Patients from Panjang Public Health Center with total sampling technique and analyzed by using a data processing program.

Result: The result showed that the education of supervisor consuming drugs had significant relation with TB Pateint’s compliance in consuming anti tuberculosis drugs (p=0,006) and the knowledge of supervisor consuming drugs had significant relation with TB Pateint’s compliance in consuming anti tuberkulosis drugs (p=0,003).

Conclusion: The research concluded that there was a correlation between education and knowledge of supervisor consuming drugs in consuming anti tuberculosis drugs with the compliance of pulmonary TB pateints.

(3)

RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

Oleh

JOSE ADELINA PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

Persembahan untuk Papi, Mami dan

Keluarga Tercinta...

Kalian adalah penyemangat bagiku, aku sangat bersyukur memiliki

keluarga seperti kalian. Kalian yang terbaik.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cibubur, Jakarta pada tanggal 22 Juli 1994, sebagai anak satu-satunya dari Bapak dr . Jose Rizal dan Ibu dr. Nofli Yurni. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Aisyah Pringsewu Lampung pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Muhammadiyah Pringsewu Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 1 Pringsewu Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 1 Pringsewu Lampung pada tahun 2012. Selama SD sampai SMA penulis sering mengikuti kejuaran olah vokal solo se-Kabupaten dan Provinsi. Tahun 2006 penulis mendapatkan juara 1 olah vokal solo tingkat Kabupaten, tahun 2007 mendapatkan juara 3 olah vokal solo dalam acara PORSENI tingkat Provinsi Lampung, tahun 2011 mendapat juara 1 kejuaran olah vokal solo tingkat SMA di Sekolah Dharma Bangsa dan juara 2 dalam kejuaraan olah vokal solo dalam acara PORSENI tingkat Provinsi Lampung.

(9)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum

Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. dr. Muhartono, M. Kes,Sp. PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. Dr. Dyah Wulan S.R.W., SKM, M. Kes, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran yang cerdas, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Beliau adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

(10)

penyelesaian skripsi ini. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

5. dr. TA Larasati, M. Kes, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

6. dr. Fitria Saftarina, M. Kes, selaku Pembimbing Akademik saya, terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama ini;

7. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

8. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

9. Papi dan Mami tercinta yang selalu menyebut nama saya dalam doanya, membimbing, menasehati, mendukung, dan memberikan yang terbaik untuk saya;

10. Kak Vira Weldimira dan kak Muren Weldimira, yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku, atas semangat, dukungan yang diberikan dan juga sudah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini;

(11)

Imelda Puspita, Sevfianti, Sefira Dwi, Debby Aprilia, Silvi Qiroatul, Anasthasia Francis, Aulia Sari, Rio Gasa, Septina Ashariani dan Arum Nurzeza yang sudah setia menemani, menyemangati, dukungan, dan bantuan, sehingga semuanya berjalan dengan lebih mudah;

13. Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan selama ini;

14. Teman-teman alumni SMAN 1 Pringsewu khusunya teman XII IPA 1 atas semangat dan doanya;

15. Sahabat saya, Devina, Dzakiyah, Kiki, dan Elza yang telah memberikan doa dan semangatnya sampai saat ini;

16. Teman masa kecil saya sampai sekarang, Siti Asiyah dan Annisa Alifa Ramadhani, atas bantuan, dukungan, dan semangatnya;

17. Ibu Rosowati, yang sudah membantu dalam mencari data penelitian saya di Puskesmas Panjang.

(12)

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, Januari 2016 Penulis

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Pengelompokan OAT ... 15

2. Dosis Untuk Paduan OAT-KDT Kategori-1 ... 16

3. Dosis Untuk Paduan OAT-KDT Kategori-2 ... 17

4. Definisi operasional ... 39

5. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia. ... 45

6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

7. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 46

8. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 47

9. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 48

10. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ... 49

11. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT ... 49

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuesioner Penelitian...68 2. Dokumentasi Penelitian...74 3. Analisis Statistik...75

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(16)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR...xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan umum ... 4

1.3.2 Tujuan khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru ... 6

2.1.1 Etiologi TB Paru... 6

2.1.2 Cara Penularan ... 7

2.1.3 Patogenesis Penyakit ... 7

2.1.4. Klasifikasi TB Paru ... 8

(17)

2.1.6 Pengobatan TB Paru ... 14

2.2 PMO (Pengawas Minum Obat) ... 17

2.3 Kepatuhan Pasien TB ... 19

2.4 Pendidikan ... 26

2.5 Pengetahuan ... 29

2.6 Perubahan Perilaku Menurut Lawrence green ... 31

2.7 Kerangka Teori ... 32

2.8 Kerangka Konsep ... 35

2.9 Hipotesis ... 35

BAB III. METODELOGI PENELITIAN ... 36

3.1 Rancangan Penelitian ... 36

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

3.2.1 Waktu Penelitian ... 36

3.2.2 Tempat Penelitian... 36

3.3 Subjek Penelitian ... 36

3.3.1 Populasi ... 36

3.3.2 Sampel ... 37

3.3.3 Kriteria Inklusi ... 37

3.3.4 Kriteria Eksklusi ... 37

3.4 Variabel Penelitian ... 38

3.5 Definisi Operasional... 38

3.6 Alat Ukur ... 39

(18)

xii

3.8 Alur Penelitian ... 41

3.9 Pengolahan Data... 41

3.10 Analisis Data ... 42

3.10.1 Analisis Univariat ... 42

3.10.2 Analisis Bivariat... 42

3.11 Etika Penelitian ... 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHSAN ... 44

4.1 Hasil Penelitian ... 44

4.1.1 Analisis Univariat ... 45

A. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia... 45

B. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

C. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 46

D. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 46

E. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 47

F. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ... 48

4.1.2 Analisis Bivariat... 49

A. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT.. 49

B. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT ... ... 50

4.2 Pembahasan ... 52

1. Analisis Univariat ... 52

A. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia... 52

(19)

C. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 53

D. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 53

E. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 54

F. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ... 54

2. Analisis Bivariat... 55

A. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT Pada Penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 ... 55

B. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum Pada Penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 .. ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet atau percikan dahak yang menyebar ke udara dari orang yang telah terinfeksioleh bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di Indonesia diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, angka insidensi TB sebesar 189 per 100.000 penduduk dan angka kematian akibat TB sebesar 27 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Dilihat dari notifikasi kasus yang ditemukan pada tahun 2013 menunjukan bahwa Indonesia berada di posisi ke-4 setelah India, Cina, dan Afrika Utara yaitu sebanyak 196.310 kasus (WHO, 2014).

(21)

mengatasi penyakit TB. Pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kuman TB menjadi resisten terhadap OAT dan dapat menjadi TB Multi Drug Resistence(MDR). Kasus TB-MDR telah ditemukan di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin dan Asia berdasarkan WHO/IUATLD Global Project on Drug Resistance Surveillance dengan prevalensi lebih dari 4% di antara kasus TB baru (Burhan, 2010).

Disampaikan oleh Nawas dalam Burhan (2010), data awal survei resistensi obat OAT lini pertama di Indonesia yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan angka TB-MDR yang rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya (15%). Limited and Unrepresentative Hospital Data (2006) menunjukkan kenyataan bahwa sepertiga kasus TB-MDR resisten terhadap ofloksasin dan ditemukan satu kasus TB-XDR(Extremely Drug Resistance) diantara 24 kasus TB-MDR.

(22)

3

Penelitian yang dilakukan Kusnawati (2005) di Semarang, didapatkan hasil yang bermakna mengenai hubungan antara pengetahuan dan sikap PMO keluarga mengenai keberhasilan pengobatan TB paru. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan Suhartono (2010) di Kalimantan Timur,menyatakan bahwa tingkat pendidikan PMO dengan kepatuhan pasien TB berobat mempunyai hubungan positif yang secara statistikbermakna dengan kepatuhan berobat.

Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, jumlah kasus TB paru terbanyak di Bandar Lampung tahun 2014- juni 2015 adalah berada di daerah Panjang. Pada bulan januari–juni 2015, jumlah kasus baru TB BTA positif di Panjang saat ini adalah 40 penderita. Sedangkan data yang didapat dari Puskesmas Rawat Inap Panjang, sampai bulan agustus tahun 2015 terdapat 48 penderita TB paru dan pada bulan januari 2015 terdapat 3 pasien yang drop out dan didapatkan kurang lebih 15 pasien yang tidak mengalami konversi sputum dari bulan april-juni 2015.

(23)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

Apakah terdapat hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat InapPanjang tahun 2015?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubunganpendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui distribusi frekuensi pendidikan PMO, pengetahuan PMO, dan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

(24)

5

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi petugas kesehatan

Sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang, untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB Paru dalam minum OAT dan membuat promosi kesehatan yang lebih menarik agar penderita atau masyarakat yang mempunyai risiko TB dapat mudah memahami tentang materi yang disampaikan.

1.4.2 Bagi peneliti

Bagi peneliti, sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti. 1.4.2 Bagi Masyarakat

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru

2.1.1 Etiologi TB Paru

(26)

7

2.1.2 Cara Penularan

Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan dengan organ lain. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung Basil Tahan Asam (Amin & Bahar, 2009).

2.1.3 Patogenesis Penyakit

(27)

lainnya. Kuman yang bersarang di dalam paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang ini bisa terdapat di seluruh bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi lomfodenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menajalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, diabetes, AIDS, malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, gagal ginjal (Amin & Bahar, 2009).

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2006, TB paru dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) Tuberkulosis Paru BTA (+)

(28)

9

tuberkulosis aktif.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b) Tuberkulosis Paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif.Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.

2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :

a) Kasus baru

Dikatakan kasus baru bila penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b) Kasus kambuh (relaps)

(29)

Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan infeksi sekunder, infeksi jamur atau TB paru kambuh.

c) Kasus pindahan (Transfer In)

Dikatakan kasus pindahan bila penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

d) Kasus lalai obat

Dikatakan kasus lalai berobat bila penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

2.1.5 Diagnosis TB paru

Dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2006, untuk mendiagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

(30)

11

Gejala respiratorik: batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada.Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. Gejala sistemik: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

(31)

Pemeriksaan penunjang TB paru adalah sebagai berikut: a) Pemeriksaan Bakteriologik.

Pemeriksaan ini untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

b) Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah,kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular,bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif, yaitu sebagai berikut:

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas  Kalsifikasi atau fibrotik

(32)

13

 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

c) Pemeriksaan cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa darah.

d) Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

e) Uji tuberkulin

(33)

sebagai alat bantudiagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula (PDPI, 2006).

2.1.6 Pengobatan TB paru

Dalam Depkes (2013), pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).

a. Obat Antituberkulosis (OAT)

OAT harus diberikan dalam bentuk kominasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

(34)

15

2. Tahap lanjutan

Pada tahap ini penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel1.Pengelompokan OAT

Golongan dan Jenis Obat

(35)

b. Paduan minum OAT

Dalam buku Perhimpunan Dokter, pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra paru.

Tabel2.Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16

minggu

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

(36)

17

Tabel3.Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 2

Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S

2.2 PMO (Pengawas Minum Obat)

Dalam Depkes 2013, salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung.Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Adapun persyaratan untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut:

A. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

(37)

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain.Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

Tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampaiselesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktuyang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya adalah sebagai berikut:

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan. b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan carapencegahannya.

(38)

19

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera memintapertolongan ke UPK.

2.3 Kepatuhan Penderita TB

Menurut WHO dalam konferensi bulan juni tahun 2001 menyebutkan bahwa patuh atau kepatuhan merupakan kecenderungan penderita melakukan instruksi medikasi yang dianjurkan (Gough, 2011). Kepatuhan minum obat sendiri kembali kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi

pelayanan yang berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan

untuk jangka waktu pengobatan yang dianjurkan (Petorson, 2012).La Greca dan Stone (1985) dalam Bart Smet (1997) menyatakan bahwa perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis, saran untuk gaya hidup umum dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, dan pengobatan dengan efek samping.Menurut Depkes tahun 2000 dalam Wihartini (2009), penderita TB paru yang patuh berobat adalah yang menyesuaikan pengobatan secara

teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6 bulan.

Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa

memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah

sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara

signifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti

yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan

(39)

Hal-hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang

disengaja dan yang tidak disengaja. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja

terlihat pada penderita yang gagal mengingat atau dalam beberapa kasus

yang membutuhkan pengaturan fisik untuk meminum obat yang sudah

diresepkan. Ketidakpatuhan yang disengaja berhubungan dengan keyakinan

tentang pengobatan antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan

(Chambers, 2010)

Menurut Cuneo dan Snider dalam Wihartini (2009), pengobatan yang memerlukan jangka waktu yang panjang seperti TB paru akan memberikan pengaruh-pengaruh kepada penderita seperti:

a. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama.

b. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih, keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali sehingga pasien akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali.

c. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan. d. Pengobatan yang lama merupakan beban yang dilihat dari segi biaya yang

harus dikeluarkan.

(40)

21

f. Sukar untuk menyadarkan pasien untuk terus menerus minum obat selama jangka waktu yang ditentukan.

Permatasari dalam Sahat (2010) mengemukakan selain faktor medis, faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap, dan perilaku yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

a. Faktor Sarana: Tersedianya obat yang cukup dan kontinu, dedikasi petugas kesehatan yang baik, dan pemberian regiment OAT yang adekuat. b. Faktor Penderita: Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, cara menajaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merorok, cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan, jendela cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari, sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar, kesadaran dan keinginan penderita untuk sembuh.

(41)

Kepatuhan dipengaruhi oleh 5 dimensi sebagaiman yang dijelaskan dalam buku panduan WHO tahun 2003 mengenai pengobatan jangka lama. Meskipun oleh sebagian orang mengatakan bahwa kepatuhan tentang bagaimana individu yang bersangkutan mengatur dirinya agar selalu patuh, namun tidak bisa dihilangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan individu tersebut. Berikut dijelaskan faktor yang dianggap sebagai 5 dimensi dimaksud ialah sebagai berikut:

a. Faktor Sosial dan Ekonomi (Social and Economic Factors)

Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi prediktor tunggal kepatuhan, namun di negara-negara berkembang status ekonomi sosial yang rendah membuat penderita untuk menentukan hal yang lebih prioritas daripada untuk pengobatan. Beberapa faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi kepatuhan ialah status ekonomi sosial, kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran, kurangnya dukungan sosial, kondisi kehidupan yang tidak stabil, jarak ke tempat pengobatan, transportasi dan pengobatan yang mahal, situasi lingkungan yang berubah, budaya dan kepercayaan terhadap sakit dan pengobatan, serta dukungan keluarga.

Dukungan keluarga menurut Friedman dalam Saragih (2010), dibagi dalam 4 bentuk, yaitu;

1. Dukungan Penilaian

(42)

23

seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengharapan positif kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu.

2. Dukungan Instrumental

Dukungan ini melipui dukungan jasmaniah meliputi pelayanan, bantuan finansial, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah termasuk didalamnya bantuan langsung seperti seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit.

3. Dukungan Informasi

Jenis dukungan ini meliputi komunikasi dan tanggung jawab bersama termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu dalam melawan

stressor. 4. Dukungan Emosional

(43)

Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami stress, bantu dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat. b. Faktor Penderita

Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh gejala penyakit, harapan dan pengalaman. Mereka meyakini bahwa dari pengobatan akan memberikan sejumlah efek samping yang dirasa mengganggu, selain itu kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan ketergantungan juga mereka pikirkan.

(44)

25

Motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan dipengaruhi oleh nilai dan tempat dimana mereka berobat (baik biaya maupun kepercayaan terhadap pelayanan). Sehingga, untuk meningkatkan tingkat kepatuhan penderita, maka petugas kesehatan perlu meningkatkan kemampuan manajerial, kepercayaan diri, serta sikap yang meyakinkan kepada penderita.

c. Faktor Terapi (Therapy-Related Factors)

Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan, diantaranya komplektisitas regimen obat, durasi pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan dalam pengobatan, kesiapan terhadap adanya efek samping, serta ketersediannya dukungan tenaga kesehatan terhadap penderita.

d. Faktor Kondisi (Conditions-Related Factors)

Faktor kondisi merepresentasikan keadaan sakit yang dihadapi oleh penderita. Beberapa yang dapat mempengaruhi kepatuhan ialah keparahan gejala, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya pengobatan yang efektif. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut tergantung bagaimana persepsi penderita, namun hal yang paling penting ialah penderita tetap mengikuti pengobatan dan menjadikan yang prioritas.

(45)

kepatuhan penderita dalam pengobatan. Beberapa faktor yang dapat memberi pengaruh negatif antara lain kurangnya pengembangan sistem kesehatan yang dibiayai oleh asuransi, kurangnya sistem distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang me-manage penyakit kronik, jam kerja yang berlebihan, imbalan biaya yang tidak sepadan terhadap tenaga kesehatan, konsultasi yang sebentar, ketidakmampuan membangun dukungan komunitas dan manajemen diri penderita, kurangnya pengetahuan tentang kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk meningkatkannya.

2.4 Pendidikan

(46)

27

a. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, organisasi.

b. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat.pendidikan ini berlangsung di sekolah.

c. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang kekat.

Tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan, yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran. Tingkat pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Ikhsan, 2005).

a. Pendidikan Dasar

(47)

luar sekolah, yang dapat merupakan pendidikan biasa ataupun pendidikan luar biasa.Tingkat pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar.

b. Pendidikan Menengah

Pend mn mjidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.Pendidikan menengah umum diselenggarakan selain untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan tinggi, juga untuk memasuki lapangan kerja.Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan untuk memasuki lapangan kerja atau mengikuti pendidikan keprofesian pada tingkat yang lebih tinggi.Pendidikan menengah dapat merupakan pendidikan biasa atau pendidikan luar biasa.Tingkat pendidikan menengah adalah SMP, SMA dan SMK.

c. Pendidikan Tinggi

(48)

29

Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan Tinggi terdiri dari Strata 1, Strata 1, Strata 3.

2.5 Pengetahuan

Menurut Soekidjo Notoatmodjo dalam buku Promosi Kesehatan edisi revisi 2010, pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besar, terdapat 6 (enam) tingkat pengetahuan yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

(49)

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

(50)

31

2.6 Perubahan Perilaku Menurut Lawrence Green

Menurut Precede Procede model yang dikemukakan oleh Lawrence Green dalam Widyaningsih (2004) dinyatakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan perubahan perilaku yaitu Predisposing factor, reinforcing factor, dan enabling factor.

Teori Green diaplikasi terhadap perilaku PMO dalam pengawasan penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:

a. Faktor yang mempermudah (predisposing factor), yaitu faktor pencetus yang mempermudah terjadinya perilaku, terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan karakteristik demografi yang terdapat dalam diri individu atau kelompok.

b. Faktor yang memungkinkan (enabling facto), yaitu faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku individu, kelompok yang dikarenakan antara lain tersedianya fasilitas-fasilitas, sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau kelompok referensi dari perilaku masyarakat, seperti suami, orangtua, tokoh masyarakat.

(51)

1. Keyakinan PMO terhadap pelaksanaan kegiatan pengawasan penderita tuberkulosis secara teratur dapat mencegah terjadinya putus berobat, resistensi dan lain-lain. Dimana pelaksanaan kegiataan PMO tersebut dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku PMO terdiri dari karakteristik, pengetahuan, sikap, dan motivasi.

2. Keuntungan-keuntungan norma yaitu ketersediaan fasilitas anjuran/informasi, pelatihan tentang PMO.

3. Norma-norma subyektif yaitu petugas kesehatan (dokter, paramedis), orangtua, kader kesehatan.

2.7 Kerangka Teori

(52)

33

(53)

Keterangan:

Gambar 1.Kerangka Teori (WHO, 2003; Kemenkes RI 2013;Friedman, 2010) dengan modifikasi.

(54)

2.8 Kerangka konsep

Peneliti akan mengkaji hubungan variabel bebas yaitu pendidikan dan pengetahuan PMO dengan variabel terikat yaitu kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru. Kerangka konsep penelitian dapat dilihat padagambar 2.

Variabel Independent Variabel dependent

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.9 HIPOTESIS

1. H0: Tidak ada hubungan antara pendidikan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru.

Ha:Ada hubungan antara tingkat pendidikan PMO dengan kepatuha minum OAT pada penderita TB paru.

2. H0: Tidak ada hubungan antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru.

Ha: Ada hubungan antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru.

Pendidikan PMO

Pengetahuan PMO

Kepatuhan Minum OAT Pada Penderita TB Paru

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu mengambil variabel independent dan variabeldependent pada satu waktu (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015. 3.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Panjang, Bandar Lampung.

3.3Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi

(56)

37

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Menurut Arikunto (2006) jika populasi kurang dari 100 maka lebih baik diambil seluruhnya. Populasi dalam penelitian ini kurang dari 100 yaitu sebesar 48 orang, sehingga menggunakan total populasi yang berarti semua PMO dan penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

3.3.3 Kriteria Inklusi

Adapun kriteri inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita TB paru yang sedang mengalami pengobatan.

2. Subjek merupakan pasien rawat jalan di Puskesmas Rawat Inap Panjang.

3. Berumur lebih dari 15 tahun (sesuai dengan program nasional TB). 4. PMO tinggal bersama dengan penderita TB paru.

3.3.4 Kriteria Eksklusi

Adapun kriteria ekskuli dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. PMO dan penderita TB yang menolak untuk diminta menjadi

responden.

2. PMO dan penderita TB yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap.

(57)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Notoatmodjo, 2012). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari varibel independentyaitupendidikan dan pengetahuanPMOsedangkanvariabel dependent yaitu kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru.

3.5 Definisi Operasional

(58)

39

Tabel 4.Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Independent:

Kuesioner Kurang baik jika skore jawaban

(59)

angka reliabilitas 0,5940 sehingga kuesioner tersebut reliabel. Dikatakan pertanyaan tersebut positif adalah jika jawaban ya diberi nilai satu dan jawaban tidak diberi nilai nol. Sedangkan untuk pertanyaan negatif adalah jawaban tidak yang diberi nilai satu dan jawaban ya diberi nilai nol. Sedangkan alat pengukur kepatuhan minum OAT pada penderita TB adalah kuesioner dan kartu berobat. Kuesioner kepatuhan adalah kuesioner baku Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) yang terdiri dari 8 pertanyaan yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan skala Guttman, yaitu jawaban responden hanya terbatas pada dua jawaban, ya atau tidak. Variabel kepatuhan mengadopsi dari interpretasi kuesioner asli oleh Morisky, dimana kategori penilaian dibagi menjadi 3 cut of point, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

3.7Pengumpulan Data

(60)

41

3.8Alur Penelitian

Meminta izin untuk melakukan penelitian di Puskesmas Rawat Inap

Panjang

Mengunjungi rumah pasien TB setempat untuk mendapatkan data primer dengan menggunakan kuesioner,

kartu berobat pasien.

Menyiapkan kuesioner yang sesuai dengan tujuan penelitian

Pengisian lembar persetujuan oleh responden

Membagikan kuesioner kepada responden yang sudah ditentukan

Melakukan pengolahan data

Hasil dan kesimpulan

Gambar 3. Alur Penelitian

3.9 Pengolahan Data

(61)

a. Editing, kegiatan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner.

b. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang sesuai untuk keperluan analisis.

c. Data entry, memasukkan data ke dalam program komputer.

d. Tabulasi, pengecekan ulang data dari setiap sumber data atau responden untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan kemudian dilakukan koreksi (Notoatmodjo, 2010).

3.10 Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis. Analisis data dilakukan menggunakan distribusi frekuensi presebatse univariat dan bivariat.

a) Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik tiap variabel penelitian.Analisis univariat untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel.

b)Analisa Bivariat

(62)

43

Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015, dengan menggunakan program pengolahan data.

3.11Etika Penelitian

(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap keteraturan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015 maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebanyak 75% PMO yang memiliki pendidikan rendah dan 25% PMO yang memiliki pendidikan yang tinggi.Sedangkan pengetahuan PMO didapatkan sebanyak 58,3% yang memiliki pengetahuan yang kurang baik, 27,1% PMO yang memiliki pengetahuan yang cukup dan 14,6% PMO yang memiliki pengetahuan yang baik. Kepatuhan penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 lebih banyak yang memiliki kepatuhan yang kurang baik, yaitu sebanyak 58,3%, kepatuhan yang sedang adalah sebanyak 27,1% dan kepatuhan yang tinggi adalah sebanyak 14,6%.

(64)

61

5.2 Saran

1. Bagi responden, yaitu PMO, diharapkan lebih meningkatkan lagi kinerjanya dalam mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum obat, agar kepatuhan penderita TB Paru lebih baik sehinggan penderita dapat sembuh sesuai dengan masa pengobatan yang dijalani.

2. Bagi Instansi

a.Puskesmas Rawat Inap Panjang, diharapkan petugas kesehatan memberikan penjelasan yang lebih jelas lagi dan menarik untuk PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO lebih memiliki pengetahuan untuk meningkatkan kepatuhan penderita TB Paru dalam minum obat dikarenakan peminuman obat jangka panjang yang harus dijalani oleh penderita.

b. Perguruan tinggi, khususnya Fakultas Kedokteranm diharapkan dapat bekerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan kepada PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO dapat lebih mengenal tentang penyakit tersebut, sehingga dapat miningkatkan perannya dalam mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum obat.

3. Bagi peneliti selanjutnya

(65)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Z., Bahar A.2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Edisi V.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm. 2230-2233.

ArikuntoS.2010.Prosedur Penelitian (Ed. Revisi 2010).Jakarta:Rineka Cipta.hlm. 173-174.

Burhan E.2010.Majalah Kedokteran Indonesia.Tuberculosis Multi Drug Resistance (TB-MDR).Volum.60.Nomor 12.hlm.535-536.

Chambers J.A.,Ronan E.C.,Hamilton B.,Whittake J., Johnston M., Sudlow, C.,et al.2010.Adheren to medication in stroke survivors: a Qualitive comparison of low and high adherence.

Debby, R., Suyanto, Restuastuti, A.2014.Peran Pengawas Menelan Minum Obat (PMO) Tuberkulosis dalam Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kelurahan Sidomulyo Barat Pekanbaru.Riau:Faklutas Kedokteran Riau.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2013. Pedoman Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009.Pedoman Nasional Penganggulangan Tuberkulosis.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Edisi 2.Cetakan tahun 2011.

Erawatyningsih E., Purwanta. subekti H. 2009. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Berita Kedokteran Maysrakat, Vol. 25, No. 3, September 2009.

(66)

63

Gough, A., Kauffman, G.2011.Pulmonary Tuberculosis:clinical feature and patient management. Nursing standart.July 27:vol 25, no 47.hlm. 48-56. Hapsari R.2010.Hubungan Kinerja PMO dengan Keteraturan Berobat Pasien TB

Paru strategi DOTS di RSUD DR,Moewardi Surakarta.(Skripsi).Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2012.Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014.hlm.12

KusnawatiU.2005.Peran PMO Keluarga Dalam Keberhasilan Pengobatan TBC DI BP4 Semarang.Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Dipenogoro.

Maulidia DF.2014.Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Ciputat Tahun 2014.Skripsi.Jakarta:Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehetan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta.

Notoatmodjo S.2012.Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.hlm.37,111,115.

Notoatmodjo S.2010.Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan(Ed. Revoisi).Jakarta: Rineka Cipta.140-142.

PDPI.2006.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Available URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb-html

Rasely MC.2011.Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Keteraturan Minum Obat Antituberkulosis (OAT) Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tulang Bawang Barat.Skripsi.Lampung:Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Rohmana O., Suhartini, Suhendra A. 2014. Faktor-Faktor Pada PMO Yang

Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Kota Cirebon. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, Vol. 10, No. 1 Maret 2014.

Saragih R. 2010. Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien Dengan Penyakit Kanker Terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Darma Agung: Medan.

(67)

Tirtarahardja U.2005.Pengantar Pendidikan (Ed.Revisi 2005).Jakarta:Rineka Cipta.hlm.130-132

Sabri R, Erlinda V.2005. Penggunaan Modul Pada Pelatihan Dan Penyuluhan Pengawas Minum Obat (PMO) Untuk Mencegah Droop Out Pengobatan TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Padang.Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Smet B. 1997.Psikologi Kesehatan.Jakarta:PT Grasindo.hlm. 253-257

Widyaningsih N.Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pengawasan Menelan Obat (PMO) Dalam Pengawasan Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota Semarang.(Tesis).Universitas Dipenogoro Semarang.

Wihartini. 2009.Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru Di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.Skripsi.Semarang:Universitas Muhammadiyah. World Health Organization. 2003. Adherence To Long-Term Therapies

(Evidence For Action). Tuberculosis. Hlm. 123

Gambar

Gambar 1.Kerangka Teori (WHO, 2003; Kemenkes RI 2013;Friedman, 2010) dengan modifikasi
Gambar 2. Kerangka Konsep
Tabel 4.Definisi Operasional

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan dari penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintah atau instansi kesehatan dalam mencanangkan program pemanfaatan starter tape, nasi basi

Definisi, lingkup, dan syarat kerja sama Gelar Bersama, Gelar Ganda, Kegiatan Alih atau Ambil Kredit wajib mengikuti Panduan Penyelenggaraan Program Kerja Sama Perguruan

[r]

Sistem Pembelian Bahan Baku : Bagian Gudang mengecek persediaan bahan baku,jika ada bahan baku yang habis atau dibutuhkan nantinya akan tampak pada pencatatan di

For the analysis of cluster structures in a multidimensional data volume it is proposed to use elastic maps technologies, which are methods for mapping points of the

Hal ini sesuai dengan jurnal (Ramadani, 2016) yang menyatakan bahwa tingginya dosis yang diberikan kepada serangga sasaran, menyebabkan kemungkinan kontak antara

viridula pada perlakuan K1 (kacang kedelai) disebabkan kandungan nutrisi yang dibutuhkan serangga untuk kelangsungan hidupnya lebih tinggi pada perlakuan K1

Berdasarkan analisis statistika deskriptif didapatkan informasi bahwa sebanyak 52% pasien kanker payudara pada penelitian ini mengalami tipe respon objektif Stable Disease