commit to user
DINAMIKA PEDAGANG MULTIETNIS PASAR
KLEWER SURAKARTA TAHUN 1958-1998
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
LIA CANDRA RUFIKASARI
C0506033
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
DINAMIKA PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
Disusun oleh
LIA CANDRA RUFIKASARI
C0506033
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd
NIP. 195806011986012001
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum
commit to user
iii
DINAMIKA PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
Disusun oleh
LIA CANDRA RUFIKASARI
C0506033
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal...
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum (...)
NIP. 195402231986012001
Sekretaris Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M. Hum (...)
NIP. 197306132000032002
Penguji I Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd (...)
NIP. 195806011986012001
Penguji II Drs. Sudarmono. S. U (...)
NIP. 194908131980031001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Drs. Sudarno, MA
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Lia Candra Rufikasari NIM : C0506033
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Dinamika P edagang
Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun 1958-1998 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan
karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 22 Desember 2010
Yang membuat pernyataan
commit to user
v
MOTTO
Jangan pernah kamu melupakan pengalaman-pengalaman waktu lampau, karena
pengalaman-pengalaman itu dapat menjadi penuntun bagimu di kemudian hari
(P enulis)
Membaca tanpa berfikir seperti makan tanpa mencernanya
(P enulis)
Kita baru akan menyadari siapa yang menjadi teman sejati setelah kita
mengalami kesulitan dan ia tetap berada di samping kita
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Ayah dan Bunda tercinta
Kakak dan keluargaku
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah
SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya
kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul “Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun
1958-1998”
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik
moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat
berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:
1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa, serta selaku Ketua Penguji skripsi, yang banyak
memberikan masukan dan kritik yang membangun dalam proses penulisan
skripsi.
3. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd, selaku Pembimbing skripsi yang telah
banyak memberi dorongan dan masukan yang membangun dalam proses
penulisan skripsi ini.
4. Drs. Sudarmono, S. U, selaku Penguji II skripsi, yang banyak memberikan
commit to user
viii
5. Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M. Hum, selaku Sekretaris Penguji skripsi, yang
banyak memberikan dorongan, masukan dan kritik yang membangun dalam
penulisan skripsi.
6. Insiwi Febriary Setiasih, S.S, M.A selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan selama penulis menjalani masa perkuliahan.
7. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu
dan wacana pengetahuan.
8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Laboratorium Sejarah, Perpustakaan
Daerah Kota Surakarta, Monumen Pers, Dinas Pengelolaan Pasar, Kantor
Pasar, Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) dan Paguyuban Pedagang
Pelataran Pasar Klewer (P4K).
9. Bapak Totok Supriyanto (Lurah Pasar), Bapak Dwi Adi Prihutomo, Bapak H
Abdul Kadir, Bapak Atmanto, Ibu Fatimah, Ibu Hj. Juminten, Ibu Aminah.
10. Bapak dan Ibu (di Kalimantan) yang selalu memberikan kasih sayang dan
semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tidak pernah putus kepada
penulis.
11. Kakakku Mas Mei dan Mbak Sari, Keponakanku Roina dan Sila, Anik,
Budhe Nini, serta Eyang dirumah dan di Sragen, terima kasih doa dan
dukungannya.
12. Cahyo Adi Utomo, terima kasih atas masukan, nasehat, doa serta support
yang tak henti-hentinya kepada penulis dan selalu menemani penulis mencari
commit to user
ix
13. Kakak-kakak tingkat: Mas Khanivan, Mas Budi Darmawan, Mas Yusuf Ari,
Mas Adit, Mas Daryadi, Mas Edi, Mas Warsita, Mbak Wulan, Mbak Mbak
Ning, Mbak Nurus, Mas Andri, Mas Wido, Mas Anjar, Mbak Meta, Mbak
Yuni, terima kasih atas masukannya
14. Teman-Temanku angkatan 2006 : Memik (terima kasih buku serta menemani
penulis mencari data), Aga (terima kasih atas bantuannya selama ini), Aditya,
Helmy, Indras, Adi, Bagus, Endah, Trisna, Dhani, Sidiq, Hasrie, Dyah,
Embri, Ulwa, Mira, Jarot, Dwi Ari, Jadi, Gilang , Ari, Candra, terima kasih
atas saran dan masukan dan teman-teman 2006 yang lain tetap kompak dan
cepat menyelesikan skripsi.
15. Sahabatku: Mbak Linda, Mbak Evi, Anggie, Evi, Fitri, Mbak Nana, Agnes,
Alimah, Devina, Mbak Heppy, Mas Wawan, Agus, Budi, Mas Adi, Dwi,
Achmad, Radit, Sugi, Mas Aji, terima kasih atas supportnya.
16. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang
bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2010
commit to user
xi
B. Kondisi Sosial Ekonomi... 22
C. Pasar-pasar Tradisional di Surakarta……….. 25
BAB III PERKEMBANGAN PASAR KLEWER SURAKARTA
BAB IV INTERAKSI PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
A. Etos Kerja Pedagang……… 66
B. Jaringan Interaksi dalam Bidang Sosial Ekonomi……….
1. Hubungan Antara Pedagang Pemilik Kios………..
a. Pedagang Etnis Jawa dengan Cina………...
b. Pedagang Etnis Jawa dengan Arab………...
c. Pedagang Etnis Jawa dengan Banjar………
2. Hubungan Antara Pedagang Pemilik Kios dengan
Pedagang Kaki Lima………...
2. Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer (P4K)……..
89
90
commit to user
xii
BAB V KESIMPULAN... 95
DAFTAR PUSTAKA... 98
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penyebaran wilayah tempat tinggal etnis-etnis di Surakarta... 19
Tabel 2 Jumlah pedagang batik dan tekstil pemilik kios di Pasar Klewer.. 39
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 5
Tahun 1983 tentang Pasar... 106
2. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 3 Tahun 1993 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 5 Tahun 1983 tentang Pasar……... 122
3. Surat Hak Penempatan untuk menempati kios Pasar Klewer Blok DD No. 108... 131
4. Kartu Tanda Pengenal Pedagang Pasar Klewer (KTPP)... 132
5. Peta Daerah Persebaran Etnis-etnis di Surakarta ... 133
6. Denah Pasar Klewer... 134
7. Foto Bagian dari Pasar Klewer... 137
8. Foto Karakter Pedagang di Pasar Klewer... 138
9. Foto Aktivitas Perdagangan di Pasar Klewer... 139
commit to user
xv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
1. Istilah
Babah Mayor/ Mayor : Pangkat tertinggi untuk etnis Cina
Barter : Pertukaran barang maupun uang.
Canting : Alat untuk membatik, yaitu untuk mengambil
hiasan pada kain mori sebagai calon kain batik
Cina Totok : Orang Cina pendatang baru
Indigo : Bahan pewarna untuk batik
Interstimulan : Timbal balik
Kapten : Kepala (pimpinan) untuk orang Arab
Pakretan : Tempat pemberhentian kereta milik abdi dalem
Keraton Kasunanan dari luar kota
Passenstelsel : Surat ijin melakukan perjalanan
Ritel : Pedagang eceran
Settlement : Menetap
Simbiosis mutualisme : Hubungan yang saling mnguntungkan bagi kedua
belah pihak
Sistem dumping : Sistem monopoli hasil perdagangan dengan cara
menjual murah barang diluar negeri dan menjual
mahal barang tersebut didalam negeri
Vortenlanden : Nama yang diberikan oleh Belanda untuk kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta serta Mangkunegaran
dan Pakualaman
Wholesaler : Pedagang besar
Wholesaling : Perdagangan besar
commit to user
xvi
2. Singkatan
B.A.T.A.R.I : Batik Republik Indonesia
D.L.L.A.J : Dinas Layanan Lalulintas Jalan
H.P.P.K : Himpunan Pedagang Pasar Klewer
K.B.I : Koperaasi Batik Indonesia
K.P.N : Koperasi Pembatikan Indonesia
K.T.A : Kartu Tanda Anggota
K.T.P.P : Kartu Tanda Pengenal Pedagang
P.4.K : Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer
P.K.L : Pedagang Kaki Lima
P.P.B.S : Persatuan Pengusaha Batik Surakarta
P.P.K.L : Persatuan Pedagang Kaki Lima Pasar Klewer
P.T : Perseroan Terbatas
S.H.P : Surat Hak Penempatan
S.I.P : Surat Ijin Penempatan
V.O.C : Vereenigde Oost Indische Compagnie
commit to user
xvii
ABSTRAK
Lia Candra Rufikasari. C0506033. 2010. Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun 1958-1998. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini berjudul Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer
Surakarta Tahun 1958-1998. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Gambaran umum dari Kota Surakarta, (2) Perkembangan Pasar Klewer di Surakarta pada tahun 1958-1998, (3) Interaksi antar pedagang multietnis di Pasar Klewer Surakarta tahun 1958-1998.
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah
yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern
maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen, studi pustaka dan wawancara. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonomi, dan sosiologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Surakarta banyak terdapat pasar-pasar tradisional yang memiliki keunikan masing-masing. Selain itu Surakarta juga menjadi pusat perdagangan bagi daerah-daerah di sekitarnya. Pasar Klewer merupakan pasar tradisional yang ada di Surakarta dan banyak memiliki keunikan, salah satu diantaranya pasar tersebut merupakan pasar tekstil terbesar di Jawa Tengah, sehingga menarik animo pedagang dari berbagai golongan untuk berdagang di Pasar Klewer. Perkembangan Pasar Klewer dari tahun 1958-1998 mengalami peningkatan, baik dalam hal jumlah pedagang kios dan para pedagang kaki lima maupun kapasitas bangunan yang kemudian diperluas. Jaringan interaksi yang terjalin antar pedagang Pasar Klewer yang multietnis ini sangat baik dan sudah terjalin sejak nenek moyang dan bahkan turun temurun. Para pedagang yang terdiri dari beberapa golongan, seperti: etnis Jawa, Cina, Arab dan Banjar ini memiliki tujuan yang sama, sehingga mereka tidak membedakan perbedaan golongan dan saling mengormati kepercayaan dalam berdagang. Para pedagang di Pasar Klewer ini juga memiliki suatu organisasi yang dapat menyatukan dan mempererat hubungan diantara para pedagang, yaitu HPPK dan P4K.
commit to user
xviii
ABSTRACT
Lia Candra Rufikasari. C0506033. The Dynamics Multiethnic Traders in Klewer Market Surakarta in the Year 1958-1998. Thesis: History Department Faculty of Letters and Fine Arts Sebelas Maret University.
The title of the research is “The Dynamics Multiethnic Traders in Klewer
Market Surakarta in the Year 1958-1998”. The objective of this research is to find
out (1) general description of the town of Surakarta, (2) Klewer Market developments in Surakarta in the year of 1958-1998, (3) multiethnic interaction betwen traders in the Klewer Market Surakarta in the year of 1958-1998.
This research is a historic research of which steps conducted include heuristics, both intern and extern source critics, interpretation, and historiography. Document study and literature review were used as techniques of collecting data. From the data collection, the data were interpreted based on their chronology. In order to analyze the data, other social science approaches as supporting science of history were applied. The approaches included in this research were economic and sociology approach.
Results showed that in Surakarta numerous traditional markets that have the uniqueness of each. Surakarta in addition also a tranding center for surrounding areas. Klewer market is a traditional market in Surakarta and many unique, one of which market is the largest textile market in Central Java, and attracted the interest of traders from various group to trade in the market Klewer. So that Klewer market developments from the year 1958-1998 has increased, both in terms of number of traders stall and street vendors as well as capacity building which later expanded. Network interaction that exists between a multiethnic Klewer market trader is excellent and has been stranded since the common ancestor and even form generation to generation until now. Traders consisting of several groups, such as: ethnic Javanese, Chinese, Arabs and ethnic Banjar has the same goal, so they do not distinguish differences in class and mutual respect trust in trade. Klewer market traders also has an organization that can unite and strengthen the relationship between the merchants of HPPK and P4K.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan sosial ekonomi di Indonesia, diawali dengan kedatangan
para pedagang Indonesia kuno atau pada masa pra penjajahan. Keadaan sosial
ekonomi, setelah kedatangan bangsa barat, telah mengalami banyak perubahan.
Indikator dari kegiatan ekonomi pada masa lampau nampak pada aktivitas
perdagangan dan pelayaran yang terkosentrasi di daerah perkotaan.1
Aktivitas perekonomian yang ada di berbagai daerah tidak dapat
dipisahkan dari adanya sektor pasar. Biasanya suatu pasar pada waktu tertentu
berfungsi juga sebagai pasar barang dari tanah asing bagi saudagar perantauan.
Begitu juga dengan daerah-daerah atau kota di Jawa, khususnya Jawa Tengah,
yang perekonomian mereka pada masa kerajaan masih tergantung pada aktivitas
perdagangan. Aktivitas perdagangan yang dilakukan pada awalnya masih bersifat
sederhana, dimulai dengan adanya sistem barter atau pertukaran uang hingga
mereka mengenal mata uang yang dijadikan sebagai alat transaksi dalam
perdagangan.2
Bagi kehidupan bermasyarakat Indonesia pasar menjadi salah satu tempat
berinteraksi dan berkomunikasi, bagi masyarakat desa maupun masyarakat kota
1 Sukanto Reksohadiprojo dan Ar. Kaseno, 1981, Ekonomi Perkotaan, Yogyakarta: BPFE, hal:1
commit to user
yang memandang pasar sebagai pusat kegiatan jual-beli. Pasar sebagai pusat
komunikasi dan interaksi, maka keadaan pasar sangat ramai, namun dibalik itu
banyak hal yang dapat dikaji.
Asal usul pasar telah ada sejak jaman kuno. Masyarakat telah melakukan
perdagangan satu sama lain sejak jaman es.3 Adanya pasar di dalam kota-kota
kerajaan, maupun di kota-kota yang bukan pusat kerajaan, sangatlah erat
hubungannya dengan sifat corak kehidupan ekonomi kota itu sendiri. Kota,
dilihat dari pengertian ekonomi adalah suatu tempat menetap (settlement) di mana
penduduknya terutama hidup dari perdagangan dari pada pertanian.4
Baik pasar dalam perkampungan pedagang-pedagang asing maupun di
pusat kota-kota atau di bagian lain dari kota, tidaklah lepas dari kepentingan
ekonomi masyarakat kota. Bagi kepentingan golongan atas, pasar tidak dapat
diabaikan, terutama karena merupakan hasil pendapatan bagi mereka. Pasar yang
terdapat di kota-kota pusat kerajaan atau mungkin di kota lainnya, merupakan
salah satu sumber penghasilan Raja atau Penguasa setempat, serta kaum
bangsawan atau kaum elite. Hubungan kota dengan desa disekitarnya juga tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan perekonomian karena saling tergantung.
Munculnya pasar tidak dapat lepas dari kebudayaan masyarakat setempat.
Pasar yang merupakan komponen penting bagi kehidupan penduduk merupakan
ciri khas dari suatu kota, baik dalam pusat kota maupun kota pinggiran. Hal ini
3 Robert L. Heilbroner, 1994, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal: 27
commit to user
karena, pasar itu sendiri sebagai himpunan masyarakat dari berbagai tempat.
Berkaitan dengan masalah ini tentunya bagi mereka yang kehidupannya
menitikberatkan pada perdagangan. Dalam kehidupan sehari-hari, lembaga pasar
sangat berperan penting. Dapat dikatakan bahwa kemajuan atau kemunduran taraf
kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh lembaga pasar itu. Keadaan
demikian tentunya merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti.
Pada dasarnya pasar pada suatu masyarakat ditentukan oleh fungsinya,
yaitu sebagai tempat untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain,
serta sebagai tempat transaksi jual beli barang dan jasa antara anggota masyarakat
dari berbagai golongan, seperti Pasar Klewer di Surakarta. Pasar Klewer dirintis
sejak jaman penjajahan Jepang, yang pada saat itu kehidupan warga Surakarta
banyak mengalami kesulitan. Berawal dari kehidupan yang serba sulit ini
kemudian sejumlah orang berinisiatif untuk berjualan pakaian dan kain. Waktu itu
lokasinya terletak di sebelah timur pasar Legi atau kawasan kantor air minum dan
pasar Burung.
Sejumlah orang ini menjajakan pakaian dan kain dengan cara
menggantungkannya di pundak, dan berjalan hilir mudik di lingkungan tersebut,
yang tentu saja barang dagangannya menjuntai ke bawah tidak beraturan atau
istilah orang jawa “kleweran”. Berhubung komunitas tersebut belum memiliki
nama, maka disebutlah pasar Klewer. Pemerintah saat itu menilai bahwa lokasi
seputar pasar Klewer kotor, maka lokasi pasar dipindah di sebelah selatan Masjid
Agung, atau di sebelah barat gapura Keraton Kasunanan Surakarta, menyatu
commit to user
Sekitar tahun 1957-1958 pasar Klewer diperluas ke barat, dengan
memindahkan pasar sepeda ke alun-alun selatan dan pasar burung dipindah ke
Widuran, karena lokasi ini akan digunakan untuk berjualan tenun dan batik. Pada
tahun 1969 kondisi pasar sudah tidak memenuhi persyaratan ekonomis, kesehatan,
dan perkembangan kemajuan pembangunan. Pemerintah kemudian merenovasi
pasar hingga memiliki bagunan dengan dua lantai. Peresmiannya dilakukan oleh
Presiden Soeharto pada 7 Juni 1971 dengan nama tetap Pasar Klewer.5
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, keberadaan
pasar Klewer semakin dikenal sebagai pusat tekstil di Jawa Tengah. Hal ini
mengakibatkan orang dari berbagai penjuru daerah, tidak hanya dari pulau Jawa
tetapi juga dari Sumatra, Lombok, Kalimantan berdatangan ke Surakarta untuk
mencari barang dagangan. Melihat keadaan pasar Klewer yang berkembang
sangat pesat, akibatnya memancing animo pedagang untuk berjualan di
lingkungan pasar Klewer, sehingga keberadaannya sangat mengganggu
kelancaran arus lalu lintas dan menganggu pedagang yang mempunyai Surat Ijin
Penempatan (SIP). Untuk mengatasi hal tersebut oleh Pemkot Solo pada tahun
1985 membangun pasar Klewer Timur yang letaknya berhimpitan dengan pasar
Klewer lama, peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah H.M Ismail
pada 17 Desember 1986.
Karakter pedagang di Pasar Klewer ini terdiri dari berbagai etnis, baik
etnis Jawa, suku Banjar, etnis Cina maupun Arab. Hubungan diantara kalangan
pedagang ini meskipun rumit, namun terjalin suasana “mutual Simbiosis”.
commit to user
Disebut rumit karena pedagang yang berada di pasar ini terdiri dalam skala usaha,
mulai dari pedagang besar atau grosir, pedagang biasa hingga pedagang pengecer.
Meskipun terdapat perbedaan kepentingan diantara mereka, tetapi juga terdapat
semacam aturan, sehingga tidak terjadi persaingan yang tidak sehat.6
Etnis Arab yang terdapat di wilayah Surakarta ini berada di sekitar Pasar
Kliwon, sebelah timur Kasunanan Surakarta. Tempat tersebut dinamakan
perkampungan Arab, yang menjadi pemimpinnya adalah Kapten Arab Sungkar.7
Orang Arab tersebut bekerja sebagai pengusaha batik di pasar Klewer. Meskipun
orang Arab di kelompokkan dalam golongan Timur Asing, namun mereka banyak
berhubungan dengan orang pribumi. Kesamaan agama dan kepentingan ekonomi
yang melandasi masyarakat Arab ini lebih mendekatkan mereka dengan kalangan
penduduk pribumi daripada dengan kalangan penguasa Eropa maupun kelompok
Cina.
Kelompok Timur Asing lainnya adalah etnis Cina. orang-orang Cina di
Surakarta menempati wilayah Balong, Coyudan dan lain sebagainya, sehingga
tempat tersebut dinamakan kampung Pecinan. Masyarakat Cina ini dipimpin oleh
Babah Mayor dan banyak bekerja menjadi pengusaha di sekitar pasar Klewer.
Mereka hampir mendominasi di pasar tersebut, meskipun masih terdapat etnis lain
selain masyarakat keturunan Cina, yaitu Arab dan pribumi.
6 M. Hari Mulyadi, dkk, 1999, Runtuhnya Keraton Alit: Studi Radikalisasi Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998, Surakarta: LPTP, hal: 266
commit to user
Pasar Klewer yang merupakan pasar tekstil terbesar di Surakarta, bahkan
Jawa Tengah ini banyak memperdagangkan hasil kerajinan batik dari masyarakat
sekitar maupun dari daerah lain. Bagi kehidupan masyarakat Surakarta, dapat
dilihat bahwa setiap hari masyarakat memenuhi pasar-pasar yang ada, meskipun
belum tentu mereka mendapatkan barang yang mereka inginkan sesuai dengan
harga yang diberikan oleh pedagang. Dengan demikian munculnya pasar-pasar
modern akan semakin banyak alternatif dari para konsumen untuk menentukan
pilihannya, tetapi pasar-pasar tradisional yang juga masih banyak peminatnya.
Tetapi bagaimanapun juga pasar tradisional tetap menjadi urat nadi ekonomi
rakyat.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan jelas tentang interaksi
pedagang Pasar Klewer yang terdiri dari etnis Jawa, Banjar, Cina dan Arab,
khususnya pada tahun 1958-1998, yang ditandai dengan perluasan wilayah pasar
seperti sekarang ini, maka penelitian ini mengambil judul “ Dinamika Pedagang
commit to user
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran umum kota Surakarta?
2. Bagaimana perkembangan Pasar Klewer di Surakarta pada tahun
1958-1998?
3. Bagaimana interaksi antar pedagang yang multietnis di pasar Klewer
Surakarta pada tahun 1958-1998?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran umum dari kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui perkembangan pasar Klewer di Surakarta pada tahun
1958-1998.
3. Untuk mengetahui interaksi antar pedagang yang multietnis di pasar
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dapat menjelaskan melalui penulisan hasil
penelitian secara deskriptif analisis berdasarkan data-data yang relevan dengan
inti permasalahan, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
perkembangan dan dinamika pedagang multietnis Pasar Klewer di
Surakarta.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat
khususnya masyarakat Surakarta, mengenai perkembangan dan dinamika
pedagang multietnis Pasar Klewer di Surakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan
dan dapat menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan dijadikan sebagai
bahan acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkapkan pokok-pokok
perasalahan. Literatur yang digunakan antara lain:
Buku karangan Clifford Geertz, yang berjudul Penjaja dan Raja, 1983.
Dalam buku ini menceritakan mengenai suatu pranata ekonomi dan cara hidup
yang membuktikan bahwa pasar merupakan suatu gaya umum dari kegiatan
commit to user
kota di Indonesia, yaitu Mojokuto sebagai kota pasar dan Tabanan sebagai
Kotaraja di Bali. Selain itu juga, dijelaskan pula bahwa kedua kota tersebut
menjadi pusat pemerintahan, perdagangan dan pendidikan. Keduanya merupakan
gelanggang setempat bagi pertemuan kebudayaan antara timur dan barat,
tradisionil dan modern serta lokal dan nasional, dan keduannya menunjukkan
bukti-bukti yang jelas bahwa disitu sedang terjadi perubahan-perubahan sosial,
politik dan ekonomi. Meskipun dari segi kebudayaan kedua kota itu berlainan dan
struktur sosialnya juga menunjukkan perbedaan tertentu yang penting, namun
keduannya timbul dari tradisi historis yang sama. Hal ini sama seperti keadaan di
kota Surakarta yang banyak terdapat berbagai etnis namun dengan adanya pasar
Klewer tersebut dapat saling berinteraksi dalam bidang budaya maupun sosial
ekonomi.
Geertz juga menyebutkan tentang tiga tipe pasar dan tiga sudut
pandangnya dalam memahami pasar, antara lain sebagai arus barang dan jasa
menurut pola tertentu. Tipe yang kedua yaitu sebagai rangkaian mekanisme
ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut.Tipe yang
terakhir yaitu sebagai sistem sosial dan kebudayaan, yang mekanisme itu
tertanam. Selain itu, terdapat ekonomi pasar yang merupakan suatu perekonomian
dimana arus total perdagangan terpecah-pecah menjadi transaksi antara orang
yang satu dengan yang lainnya yang masing-masing tidak ada hubungan, dan
dalam jumlah yang besar. Mekanisme ekonomi yang mengatur dan memelihara
arus barang dan jasa dalam pasar, seperti: sistem harga luncur yang cenderung
menciptakan suatu situasi yang tekanan persaingan bukan pertama-tama antara
commit to user
Pola ini hanya memusatkan seluruh perhatian pedagang pada masing-masing
transaksi, tujuannya adalah selalu berusaha mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dari transaksi jual beli yang dilakukan.
Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan (Pasar “Nayak” Wamena),
yang ditulis oleh Tejo Wahyono, dkk, 1987. Buku ini mengulas tentang peranan
Pasar sebagai pusat ekonomi dan peranan pasar sebagai pusat kebudayaan, juga
mengenai masyarakat pedesaan. Selain itu, pasar tidak hanya sebagai tempat
jual-beli, namun juga tempat bertemu, tempat berinteraksi antara anggota masyarakat
dari berbagai golongan dan berbagai angkatan. Munculnya interaksi, secara
sengaja atau tidak maka terjadi transformasi nilai-nilai budaya.
Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit” (Studi Radikalisasi Sosial “wong
Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), karangan M. Hari Mulyadi, dkk,
tahun 1999. Buku ini meyoroti mengenai kondisi sosial, politik, ekonomi,
kultural, pertahanan dan keamanan di Surakarta selama Orde Baru dan terutama
menjelang terjadinya kerusuhan. Sebelumnya juga dimulai dengan meninjau kota
Surakarta dalam perspektif historis, baik sejak masa dualisme pemerintahan
(kolonial dan Keraton Surakarta Hadiningrat) hingga pemerintahan dibawah
Negara Republik Indonesia. Pembahasan mengarah kepada berbagai kebijakan
politik maupun politik ekonomi, dengan fenomena kondisi sosial ekonominya.
Kemudian mencoba melihat mengenai hubungan antar etnis di Surakarta dan
interaksinya. Di Surakarta terdapat model perkampungan homogen seperti nama
kampung dan model perkampungan yang heterogen seperti model perkampungan
commit to user
Robert L. Heirbroner, dalam buku Terbentuknya Masyarakat Ekonomi,
1982. Robert membedakan jenis pasar dari sudut pandang pembentukannya, yaitu
pasar yang timbul dengan sendirinya dan yang disengaja. Jenis pasar yang
pertama, biasanya terdapat di tempat-tempat yang strategis untuk berdagang,
seperti di tepi jalan besar, dekat pemukiman penduduk dan lain sebagainya. Jenis
pasar yang kedua yaitu berhubungan dengan keinginan penguasa untuk memenuhi
kebutuhan penduduk.
Penelitian Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah tentang Solo Kota Dagang,
2006. Laporan ini banyak menjelaskan mengenai keadaan kota Surakarta seperti
alat transportasi, pola pemukiman, pasar-pasar, bandar dan tempat-tempat
bersejarah lainnya. Faktor tersebut sangat menunjang sistem perdagangan,
misalnya dengan adanya pasar di pusat kota maka disekitar pasar tersebut akan
dibuat jalur transportasi untuk kelancaran dalam berdagang dan memudahkan para
konsumen. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka berkembang pula
jumlah penduduk dan jumlah srtuktur yang dibutuhkan masyarakat dalam
menunjang kehidupannya. Pola pemukiman masyarakat di kota Surakarta yang
heterogen, sehingga setiap masyarakat atau etnis menempati wilayah tertentu,
seperti etnis Cina yang pola pemukimannya di daerah Pecinan, etnis Arab yang
terdapat di Pasar Kliwon serta masyarakat Banjar yang berada di kampung
Jayengan.
Tesis Karya Sudarmono, Munculnya Kelompok P engusaha Batik Laweyan
Awal Abad XX, 1987, menjelaskan masyarakat Laweyan yang tumbuh menjadi
komunitas pengusaha diantara komunitas sosial yang lebih besar yaitu Keraton
commit to user
yang memiliki karakter sosial yang berbeda. Masyarakat Laweyan
mengembangkan gaya hidup yang berlawanan dengan para priyayi yang suka
berfoya-foya, feodalistis dan berpoligami. Melalui perdagangan batik, para
saudagar laweyan mampu menunjukkan kekayaan yang menyaingi para
bangsawak keraton. Peningkatan kekayaan para saudagar batik diikuti dengan
naiknya status sosial mereka sebagai “mbok mase” yaitu gelar diluar gelar
kebangsawanan sebagai majikan wanita pemilik perusahaan batik di Laweyan.
Status dan kekayaan ini diperoleh berkat etos kerja pedagang yang sangat berbeda
dengan priyayi.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang di gunakan untuk menggunakan penelitian
terhadap data dan fakta yang objektif agar sesuai dengan tujuan penelitian,
sehingga dapat terbukti secara ilmiah. Sesuai dengan permasalahan yang dibaas,
maka metode yang digunakan adala metode historis. Menurut Louis Gottschalk
yang dimaksud dengan metode historis adalah proses menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.8 Metode historis ini terdiri
dari empat tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya,
yaitu:
a. Heuristik, merupakan suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber
sejarah atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku.
Dokumen yang terkumpul seperti berita dalam koran Dharmo Kanda terbit
commit to user
tahun 1978 tentang ”Mula Bukane Jeneng Pasar Klewer”, yang di dalamnya
di bahas mengenai sejarah pasar Klewer yang dulunya bernama Pasar
Slompretan, dan data-data yang diperoleh dari Dinas Pengelolaan Pasar,
Kantor Pasar, Kantor HPPK (Himpunan Pedagang Pasar Klewer) dan P4K
(Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer), seperti data-data mengenai
pedagang Pasar Klewer, sejarah Pasar Klewer dan dinamika Pasar Klewer.
Wawancara dilakukan terhadap informan yaitu Totok Supriyanto, Dwi Adi
Prihutomo, Atmanto, H. Abdul Kadir, Maryono, Juminten, Fatimah dan
Aminah. Proses yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan bahan buku,
koran dan majalah di Laboratorium Sejarah, Perpustakaan Sastra dan Seni
Rupa, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dinas Pengelolaan
Pasar, Pusdok Solopos, Rekso Pustoko Mangkunegaran, Perpustakaan dan
Arsip Daerah Kota Surakarta dan Monumen Pers. Karena di tempat tersebut
banyak terdapat sumber-sumber primer yang sangat membantu dalam
penulisan penelitian ini.
b. Kritik sumber, yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh
melalui kritik intern dan kritik ekstern.9 Kritik intern ini bertujuan untuk
mencari keaslian isi sumber atau data yang diperoleh dari Monumen Pers dan
Dinas Pengelolaan Pasar. Sedangkan kritik ekstern bertujuan untuk mencari
keaslian sumber yang telah diperoleh tersebut.
c. Interpretasi, adalah penafsiran terhadap fakta-fakta yang dimunculkan dari
data-data yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan tema yang dibahas,
commit to user
berdasarkan hasil data yang telah di peroleh dari Monumen Pers dan Dinas
Pengelolaan Pasar. Tujuan dari interpretasi ini adalah menyatukan sejumlah
fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori
disusunlah fakta tersebut kedalam interpretasi yang menyeluruh.10 Untuk
analisa terhadap data dilakukan secara deskriptif kualitatif karena
data-data yang dikumpulkan pada dasarnya adalah data-data-data-data kualitatif. Analisa
setelah data-data yang terkumpul, kemudian diinterpretasikan, ditafsirkan,
dan dianalisis dengan sebab akibat dari suatu fenomena sosial pada cakupan
waktu dan tempat tertentu.
d. Historiografi, yaitu proses penulisan sejarah sebagai langkah akhir dari
penelitian sejarah, dimana dalam menyajikan hasil penelitian ini berupa
penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus
disusun menurut teknik penulisan sejarah.
commit to user
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan sistematika penulisan
yang terbagi dalam lima bab pokok pembahasan, yang urutannya sebagai berikut:
BAB I, merupakan bab pendahuluan yang mencangkup mengenai garis
besar penulisan skripsi yang di dalamnya memuat: latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika skripsi.
BAB II, merupakan gambaran umum mengenai kota Surakarta, serta
mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar dan keadaan pasar-pasar
tradisional pada saat itu.
BAB III, dibahas mengenai perkembangan pasar klewer pada tahun
1958-1998, mencangkup mengenai sejarah pasar Klewer, keadaan pasar klewer,
mengenai asal usul pedagang pasar Klewer yang multietnis tersebut serta aktivitas
dan karakter pedagang di Pasar Klewer.
BAB IV, mengkaji mengenai interaksi antar pedagang pasar Klewer yang
multietnis baik dalam bidang sosial maupun ekonomi, serta paguyuban pedagang
Pasar Klewer.
BAB V, bab ini merupakan bab akhir yang akan mengungkapkan
commit to user
16
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA
A. Deskripsi Kota Surakarta
Surakarta merupakan bagian Vortenlanden di samping daerah Yogyakarta.
Surakarta yang sebagai suatu wilayah geografis dan administrasi pemerintahan
mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan kota Surakarta
mengikut proses pembentukan konvensional, yaitu dari suatu fungsi agraris ke
fungsi non agraris. Fungsi administrasi pemerintahan yang mula-mula berfungsi
sebagai kedudukan feodal (kerajaan), untuk selanjutnya dipindahkan pada sistem
pemerintahan kolonial, dan akhirnya sampai pada sistem pemerintahan demokratis
dengan status sebagai kotamadya.
Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut,
di sebelah kiri Bengawan Sala, dan pada kedua belah tepi Sungai Pepe. Sebagian
besar kota tersebut masuk dalam wilayah Kasunanan dan kurang lebih seperlima
bagian merupakan daerah Mangkunegaran. Daerah Kasunanan di dalam kota
dikenal dengan nama daerah kidulan. Sebutan ini mungkin dihubungkan dengan
letak keraton yang berada di sebelah selatan, sedangkan istana Mangkungaran
terletek di sebelah utara jalan raya Purwasari dan jalan trem yang menghubungkan
Boyolali dan Wonogiri yang seakan-akan menjadi batas kedua daerah tersebut.1
Kota Surakarta sebagai pusat kerajaan tradsional Mataram, menunjukkan
ciri-ciri feodal agraris karena letak geografisnya yang dikelilingi oleh daerah
pertanian. Selain faktor geografis, pertumbuhan dan perkembangan kota Surakarta
commit to user
tidak lepas dari faktor politik saat itu. Pengaruh politik dari Belanda yang semakin
intensif terutama di Pulau Jawa, yang ikut menentukan pertumbuhan kota
Surakarta, yakni kota Surakarta dijadikan sebagai pusat administrasi pemerintahan
kolonial. Ikut campurnya pemerintah asing ini mengakibatkan masuknya
unsur-unsur asing.
1. Keadaan Penduduk
Penduduk atau masyarakat merupakan salah satu komponen terpenting
dalam masalah perkotaan. Pertumbuhan, perkembangan, serta penyebarannya
sering kali menimbulkan efek sosial yang menjadi perhatian pemerintah daerah
setempat. Perkembangan penduduk yang cepat menyebabkan struktur penduduk
mengalami perkembangan juga. Struktur penduduk dari segi mata pencaharian
akan mengalami varias yang labil. Mata pencaharian penduduk akan berubah
seiring dengan perkembangna ekonomi dan potensi yang ada. Kependudukan
merupakan salah satu bidang yang menjadi perhatian pemerintah dalam proses
pembangunan, dimana dalam masalah kependudukan nantinya akan memuat
kuantitas penduduk seperti jumlah penduduk, persebaran penduduk, angkatan
kerja serta kualitas penduduk seperti pendidikan dan kesehatan.
Seperti penduduk Surakarta yang bersifat homogen. Dalam hal
pemukiman, tampak adanya segregasi yang nyata antara lapisan penduduk. Hal ini
sesuai dengan pembagian pelapisan sosial yang dilakukan oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1854 dengan membagi-bagi penduduk menjadi tiga
kelompok, yaitu Eropa (Europeesche), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
seperti Cina, Arab, India dan yang terakhir adalah Pribumi (Inlanders).2
commit to user
Mayoritas penduduk kota Surakarta adalah orang Jawa, dan lainnya
merupakan pendatang dari luar daerah seperti Banjar dan Melayu, bahkan
keturunan etnis luar Indonesia seperti Eropa, Cina dan Arab yang telah menetap
dan menjadi bagian dari kota Surakarta karena telah berkewarganegaraan
Indonesia. Sebagian dari mereka telah mempunyai perkampungan tersendiri,
seperti komunitas keturunan Arab dikenal berada di Kecamatan Pasar Kliwon,
komunitas orang Cina di daerah Pecinan, sedangkan untuk pendatang dari
golongan pribumi seperti orang Banjar di Kampung Banjaran, orang Madura di
Kampung Sampangan dan sebagainya.
Pola pemukiman di Kota Surakarta pada awal abad ke-20 bersifat
pluralistis dan menunjukkan stratifikasi sosial dengan pengelompokan yang
sangat menyolok. Bentuk pelapisan sosial yang memisahkan antara
perkampungan Eropa dengan etnik lain merupakan wujud diskriminasi yang pada
awalnya telah diatur untuk kepentingan dan keamanan Pemerintah Kolonial
Belanda. Perkampungan Pecinan untuk orang-orang Cina ditunjukkan untuk
mengawasi gerak-gerik mereka yang ditempatkan di Sekitar Pasar Gede, diurus
oleh kepala yang diambil dari etnik yang sama, dan diberi pangkat Mayor. Di
kalangan penduduk setempat di kenal dengan sebutan Babah Mayor. Demikan
halnya dengan orang-orang Arab, mereka ditempatkan di wilayah sekitar Pasar
Kliwon, dan diurus oleh kepala dengan pangkat Kapten. Sedangkan
perkampungan untuk penduduk bumiputra terpencar di seluruh kota.3
commit to user
Tabel 1
Penyebaran wilayah tempat tinggal etnis-etnis di Surakarta
No Etnis Wilayah tinggal
1. Jawa Tersebar di seluruh kota, etnis Jawa
merupakan etns mayortas di Surakarta
2. Cina Daerah Pasar Gede, Balong, Kecamatan
Jebres, Kelurahan Sudroprajan, Jagalan,
Langenharjo, Kecamatan Banjarsari,
Gilingan, Kestalan, Timuran, Setabelan
dan Solo Baru.
Pertumbuhan penduduk di Surakarta tidak lepas dari adanya mobilitas
sosial yang relatif cukup singkat sehingga mendorong terjadinya peningkatan
kepadatan penduduk di wilayah Surakarta. Mobilitas tersebut pada awalnya
diakibatkan oleh faktor penarik kota yaitu kota Surakarta telah tumbuh menjadi
kota yang modern dengan segala fasilitas penunjangnya. Meningkatnya jumlah
penduduk di dalam kota kerena luas daerah itu sendiri tidak mungkin bertambah,
sehingga pertambahan jumlah penduduk dengan pertumbuhan aspek lainnya tidak
berjalan dengan seimbang yang menyebabkan masalah sosial dan ekonomi
diantaranya terlihat kesenjangan diantara masyarakat, pemukiman kumuh, tingkat
kriminalitas yang meningkat, pengangguran dan sebagainya.
Namun jika melihat perkembangan-perkembangan yang ada, wilayah
commit to user
perdagangan. Di daerah ini telah terdapat banyak pusat perdagangan, seperti
adanya pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan yang lebih modern. Selain itu
banyaknya perusahaan juga dapat menjadikan sebagai kota industri.
Perkembangan kota Surakarta tampaknya tidak hanya bertumpu pada sektor
pertanian saja, namun sudah berkembang dalan sektor lainnya.
2. Sarana dan Prasarana Kota
Adanya fasilitas yang lengkap dalam suatu daerah atau kota, akan
mempengaruhi kehidupan dan kemajuan masyarakatnya. Disadari atau tidak
bahwa kesehatan masyarakat yang baik akan menunjang pembangunan. Manusia
yang sehat akan lebih produktif sehingga akan memberi sumbangan kepada
keberhasilan dalam pembangunan. Selain itu usaha-usaha pendidikan juga
termasuk dalam usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia. Kebutuhan
pendidikan sekarang telah menjadi kebutuhan pokok. Untuk bisa menyediakan
tenaga kerja yang terdidik dan terampil perlu pendidikan yang baik.4 Selain
fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana-sarana yang lain juga sangat diperlukan
untuk perkembangan suatu daerah. Misalnya: pasar, jalan yang baik, sarana
transportasi dan lainnya.
Salah satu prasarana ekonomi yang penting adalah adanya pasar. Pada
tahun 1960-an, wajah kota Surakarta masih diwarnai pasar-pasar tradisional,
seperti: Pasar Gede, Pasar Klewer, Pasar Kliwon, Pasar Tanggul, Pasar Ledoksari,
Pasar Jebres, Pasar Legi, Pasar Singosaren, Pasar Kembang, Pasar Kadipolo,
Pasar Nangka, Pasar Harjodaksino, Pasar Kleco, Pasar Kabangan, dan Pasar
Laweyan. Sedangkan pada tahun 1980-an dibangun lagi pusat pertokoan,
commit to user
beberapa super-market, puluhan hotel, ratusan bank, puluhan bioskop, ratusan
warung telekomunikasi, dan lain-lain. Ada empat tekstil yang dibangun di sekitar
Surakarta, yaitu: PT. Sritex, PT. Batik Keris atau Dan Liris, PT. Tyfountex, PT.
Danarhadi atau Kusumahadi, dan satu perusahaan obat-obatan yang cukup besar
yaitu PT. Konimex, serta perusahaan jamu yang terkenal, PT. Air Mancur.5
Pada tahun 1980-an pembangunan jalan dan sarana transportasi, selain
untuk memberikan fasilitas umum yang nyaman, juga untuk mendukung
perkembangan sektor industri, ekonomi, dan pariwisata, khususnya untuk
distribusi barang dan jasa. Pembangunan jalan di dalam Kota Surakarta
disesuaikan dengan suatu pola, yang menempatkan Jalan Slamet Riyadi sebagai
poros utama kota. Pembangunan jalan ke luar kota disesuaikan atau dihubungkan
dengan pusat-pusat ekonomi baru yang merupakan bagian dari pengembangan
zona ekonomi Surakarta, dan pintu masuk dan keluar dari Surakarta, seperti Palur,
Solo Baru, Colomadu, dan Kartasura.6
Berkembangnya pembangunan jalan dan perekonomian di Kota Surakarta
itu seiring dengan perkembangan transportasi perkotaan. Kebutuhan akan
transportasi perkotaan bagi masyarakat semakin meningkat, ditandai dengan
semakin banyaknya armada-armada angkutan perkotaan dengan berbagai rute
yang menjelajahi seluruh sudut kota dan antar kota Kecamatan atau Kabupaten
yang tidak pernah sepi dari penumpang. Oleh karena itu dibutuhkan
terminal-terminal bus yang memadai. Selain pembangunan terminal-terminal bus Tirtonadi untuk
angkutan antarkota dan antarpropinsi, juga dibangun terminal-terminal bus yang
lebih kecil di Palur, Kartasura, dan juga di Solo Baru dan Mojosongo. Untuk
5
commit to user
angkutan kereta api masih digunakan prasarana peninggalan kolonial, seperti
Stasiun Balapan, Stasiun Jebres, Stasiun Purwosari, dan Stasiun Sangkrah (kota).
Untuk angkutan udara, Bandara Adi Sumarmo di Panasan ditingkatkan
kapasitasnya sebagai bandara internasional, sekaligus sebagai pelabuhan
embarkasi haji untuk Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.7
Pendukung dalam sektor perekonomian, seperti telah terdapat jalan-jalan
yang kondisinya baik, sehingga dapat memperlancar kegiatan ekonomi
masyarakatnya. Kondisi jalan di Surakarta pada umumnya sudah beraspal dengan
keadaan yang masih baik. Hal ini tentu akan dapat mendukung sektor
perdagangan dan perindustrian. Namun masih banyak pula kemacetan di sejumlah
tempat, terutama jalan-jalan yang melewati Pasar Klewer, Pasar Gede, Pasar Legi,
Pasar Kadipolo, kompleks pertokoan Coyudan dan Singosaren. Selain
dikarenakan tempat tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi, juga sebagian jalan
menjadi tempat parkir dan tempat berjualan pedagang-pedagang kaki lima yang
memenuhi trotoar, bahu jalan dan lain-lain.
B. Kondisi Sosial Ekonomi
Pengertian antropologi mengenai tindakan sosial merupakan tindakan
berpola dari setiap individu manusia. Kondisi sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang berintraksi satu sama lain, berhubungan serta bergaul
setiap hari menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan sebagai
commit to user
rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat yang bersifat konkret, terjadi
di sekeliling kita sehari-hari. 8
Aspek sosial ekonomi merupakan suatu hal penting dalam mempelajari
suatu aspek masyarakat dan suatu daerah, karena dari sinilah dapat diukur
seberapa berhasil atau majunya suatu masyarakat dan sebuah kota. Kota Surakarta
sendiri merupakan salah satu wilayah yang perkembangannya tergolong tinggi di
Propinsi Jawa Tengah. Salah satu penyebabnya adalah letaknya yang strategis,
tepatnya di persimpangan jalur penting yang terhubung dengan kota-kota besar
seperti: Semarang dan Yogyakarta, serta wilayah bagian timur seperti Surabaya
dan Madiun.
Kondisi sosial ekonomi di Surakarta pada masa Orde Baru, tidak jauh
berbeda dengan kondisi ekonomi nasional. Keadaan ekonomi pada masa ini, dapat
dilihat pada indikator harga sembilan macam barang kebutuhan pokok sehari-hari
(sembako) selama tahun 1966, yaitu kenaikan paling sedikit adalah Batik Kasar
pada bulan Desember menjadi Rp 185.000,-/kg atau harganya naik 116%. Gejala
lain yang muncul di masyarakat yaitu membesarnya jumlah pedagang
barang-barang bekas (klitikan), terutama di daerah Ngapeman dan di sepanjang depan
Keraton Mangkunegaran keselatan hingga ke Pasar Pon yang kemudian dikenal
oleh masyarakat dengan Pasar Yaik.9
Masyarakat Surakarta sebagian besar bermata pencaharian di bidang non
agraris, hal inilah yang menjadi pendorong bagi masyarakat Surakarta menjadi
daerah atau kota yang memiliki potensi dalam bidang perdagangan. Sedangkan
commit to user
prasarana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya dalam
memperlancar perekonomian telah tersedia, sarana itu antara lain berupa alat
transportasi, pasar dan sebagianya.
Daerah-daerah yang berada di sekitar kota Surakarta merupakan daerah
yang cukup berpotensial untuk tanaman pangan, karena daerah-daerah tersebut
merupakan daerah yang cukup subur. Adanya berbagai program yang
dikembangkan oleh masing-masing pemerintah Daerah, seperti peningkatan
tanaman pangan maupun hasil produksi lainnya, menyebabkan wilayah Surakarta
menjadi jalur lalu lintas perdagangan yang cukup strategis. Dari masing-masing
daerah yang memiliki potensi yang berbeda antara yang satu dengan daerah yang
lainnya, maka akan memperlancar perdagangan, dalam usaha meningkatkan
ekonomi suatu daerah.
Daerah yang cukup potensial untuk pertanian terutama adalah daerah
Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, dan wilayah lain yang masih termasuk
dalam Karesidenan Surakarta. Disamping yang dihasilkan adalah tanaman
pangan, ada juga hasil produksi lain seperti industri. Surakarta merupakan pusat
perdagangan hasil pertanian maupun industri lain yang berasal dari daerah di
sekitar wilayah Surakarta, maupun hasil produksi yang berasal dari luar
Karesidenan Surakarta.
Menurut keterangan yang diperoleh dari beberapa responden seperti
penuturan Atmanto dan Abdul Kadir, bahwa meskipun mereka berasal dari luar
wilayah Surakarta dan dari daerah yang merupakan daerah yang cukup subur
untuk lahan pertanian, namun sebagan besar dari pedagang di Pasar Klewer ini
commit to user
pertanian yaitu dengan berdagang di Pasar Klewer. Mereka memilih kota
Surakarta dalam mencari penghasilan, karena wilayah Surakarta merupakan kota
yang dekat dengan daerah asal mereka dan juga Surakarta merupakan daerah
tujuan wisata, dengan demikian harapan mereka untuk mendapatkan penghasilan
akan semakin besar.
Perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat membantu dalam melihat
seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sebagiaan kota
perdagangan, letak Surakarta yang juga mendukung sektor ini, hal ini dapat dilihat
letak Surakarta yang berada di tengah-tengan wilayah keresidenan Surakarta. Kota
Surakarta dengan potensi yang dimiliki akan semakin mudah berkembang serta
daerah di sekitarnya akan merasakan dampak positifnya juga. Hal yang menarik
dari kota Surakarta adalah aktifitas perekonomian yang seakan tak pernah mati.
Pada siang hari banyak masyarakat yang melakukan aktifitas perdagangan,
transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, dan sebagainya. Pada
malam harinya kota ini memberikan suasana yang merakyat dengan hadirnya
Pedagang Kaki Lima dan kuliner.
C. Pasar-pasar Tradisional di Surakarta
Daerah pusat kegiatan sangat dinamis, hidup tetapi gejala spesialisasinya
semakin kentara. Daerah ini masih merupakan tempat utama dari perdagangan,
hiburan-hiburan dan lapangan pekerjaan. Hal ini ditunjang dengan adanya
sentralisasi sistem transportasi dan sebagian besar penduduk kota masih tinggal
pada bagian dalam kota-kotanya. Proses perubahan yang sangat besar terjadi pada
commit to user
bernilai historis tinggi. Pada daerah yang berbatasan dengan sungai masih banyak
tempat-tempat yang longgar dan banyak digunakan untuk kegiatan ekonomi
antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi rendah
dan sebagian lainnya dgunakan untuk tempat tinggal para imigran.10
Pasar berasal dari kata “Parsi Bazar” dalam bahasa Arab. Dalam
pengertian umum, pasar adalah tempat untuk menjalin hubungan antara pembeli
dan penjual serta produsen yang turut serta dalam pertukaran barang dan jasa.
Pasar tidak hanya terdapat di kota-kota besar namun juga di berbagai tempat di
desa-desa. Clifford Geertz menjelaskan bahwa pasar bukan hanya suatu pranata
ekonomi, tetapi sekaligus sebagai cara hidup. Dari penelitian di Pare, Jawa Timur,
membuktikan bahwa pasar merupakan suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi
yang mencakup semua aspek dalam masyarakat.11 Bahkan dapat juga dikatakan
bahwa pasar merupakan suatu sistem sosial.
Pada dasarnya pasar pada suatu masyarakat ditentukan oleh fungsinya.
Adapun yang dimaksud disini adalah pranata yang mengatur komunkasi dan
interaksi pertukaran barang dan jasa. Hasil transaksi dapat disampaikan pada
waktu itu atau pada waktu yang akan datang berdasarkan harga yang telah
ditetapkan. Secara singkat dapat disebutkan sebagai pranata dan tempat
bertemunya antara penjual dan pembeli. Pasar yang berfungsi sebagai tempat
bertemunya penjual dan pembeli bukan hanya menyebabkan terjadinya interaksi
10 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, 2006, “Solo Kota Dagang,”
dalam Laporan Penelitian, Surakarta: FSSR UNS, hal: 54
commit to user
sesama individu, tetapi dilain pihak merupakan tempat pertukaran benda-benda
hasil kebudayaan.12
Pasar merupakan suatu simbol yang menandai kemajuan perekonomian
masyarakat pada daerah tertentu. Munculnya pasar karena bersamaan dengan
adanya kegiatan dan kebutuhan yang dilakukan manusia. Dengan demikian, pasar
merupakan tempat untuk melakukan kegiatan tukar menukar barang dan jasa
sebagai pemenuh kebutuhan bagi masyarakat yang lebih dikenal dengan sistem
jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Sebelum pasar terbentuk,
kegiatan tukar menukar sudah lama dilakukan masyarakat yang lebih dikenal
dengan barter. Kegiatan ini dilakukan karena adanya rasa saling membutuhkan
barang atau jasa antara anggota masyarakat. Naik turunnya pendapatan pasar
ditentukan oleh jumlah pelaku transaksi di pasar. Banyaknya transaksi
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, sedangkan daya beli dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan setiap orang. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan mereka
maka diperlukan suatu tempat tertentu untuk bertemu antara penjual dan pembeli
barang mereka, maka kemudian terjadilah suatu pasar.13
Pertumbuhan dan perkembangan pasar senantiasa berhubungan erat
dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Adanya pasar maka telah terjadi
banyak perubahan dibidang ekonomi pada masyarakat. Perubahan itu meliputi
semua aspek perekonomian, baik produksi, distribusi maupun sistem
konsumsinya. Perubahan itu mengarah pada kemajuan, secara bertahap, walaupun
pelan namun pasti, sehingga terjadilah modernisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
12 Tejo Wahyono, dkk. 1987, Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan (Pasar “Nayak” Wamena), Jakarta: Depdikbud, hal: 1-2
commit to user
pembaharuan itulah membawa banyak perubahan dibagi masyarakat, namun ada
juga terjadi kesenjangan. Kesenjangan itu terjadi sebagai akibat dari kurang
siapnya masyarakat menghadapi perubahan yang sangat drastis, perubahan yang
dapat disebut sebagai loncatan budaya.14
Pasar pada masyarakat kuno bukanlah sebagai alat yang dipergunakan
oleh masyarakat untuk memecahkan persoalan dasar perekonomian mereka. Pasar
hanyalah merupakan embel-embel bagi proses produksi dan distribusi, bahkan
merupakan bagian integral dari padanya, pasar berada diatas mesin perekonomian
yang penting dan bukanlah berada dalam mekanisme itu sendiri. Pada masa kini
dan kenyataan perekonomian pada jaman kita sekarang terdapat jarak yang sangat
besar yang memerlukan waktu berabad-abad untuk menjebataninya.15
Sebagaimana ditemui di Jawa pada umumnya, pasar-pasar tradisional di
Surakarta sudah mulai bermunculan sejak pemerintahan kolonial, dan sebagai
pengelola pasar tersebut kebanyakan dilakukan oleh kalangan etnis Cina. Mereka
ini disamping diberi kepercayaan untuk memungut pajak tol, juga berkewajiban
memungut pajak pasar yang kemudian diserahkan kepada pemerintah kolonial
atau pihak Keraton.16
Di Surakarta terdapat beberapa pasar tradsional yang berada di dalam kota.
Pasar yang terbesar adalah Pasar Gede yang terletak di sekitar istana dan
pemukiman orang Belanda. Pemerintah Mangkunegaran juga memilik pasar
commit to user
juga melakukan pembangunan pasar, yaitu pasar Kliwon, dimana sebelumnya
merupakan sebuah pasar kambing yang berada di kawasan pemukiman etnis Arab.
Sedangkan di Gemblegan dibangun sebuah plot atau penempatan baru untuk
menampung para pendatang baru.
Perkembangan pasar di Surakarta cukup pesat seiring dengan majunya
industrialisasi di Surakarta dan daerah sekitar. Letak wilayah Surakarta yang
strategis menjadikan Surakarta sebagai kota yang berpeluang besar untuk
dijadikan kota perdagangan. Beberapa pasar di Surakarta berfungsi sebagai pasar
induk, yang digunakan oleh kalangan pedagang pengecer, selain dari kota
Surakarta sendiri juga dari berbagai daerah atau kota disekitar wilayah Surakarta
bahkan hampir sampai daerah Jawa Timur.
Hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru di Surakarta
terdapat 36 pasar tradisional dengan jumlah keseluruhan luas pasar sebesar
134.143,68 m² atau lebih dari 13 ha, jumlah kios sebanyak 3.036 buah, jumlah los
sebanyak 5.039 petak, serta jumlah pelataran untuk 4.088 orang. Sebagian besar
terkosentrasi pada hasil bumi dan sandang, sebuah pasar tekstil, sebuah pasar
antik, sebuah pasar mebel, sebuah pasar buah, sebuah pasar sepeda, sebuah pasar
burung dan dua buah barang atau besi bekas.17
Pasar Besar Harjonegoro atau yang lebih dikenal dengan Pasar Gede dan
Pasar Legi merupakan pasar induk dari hasil bumi dan barang klontongan yang
cukup berpengaruh di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Artefak bangunan
kota lama yang masih tersisa di kota Surakarta dan menjadikan ciri khas
peninggalan Kerajaan Mataram adalah Pasar Gede. Di kota Surakarta banyak
commit to user
terdapat pasar tetapi tidak ada yang menyamai Pasar Gede, karena selain
ditemukannya banyak rumah-rumah pertokoan yang besar juga terjadi arus barang
yang setiap hari terus menerus ada dan baru tutup pukul 5 sore. Pasar Gede
terletak di pusat kota di antara kampung Pecinan, dibangun dan diperbesar pada
tahun 1930 oleh Susuhunan Paku Buwana X.
Pasar Gede dulunya merupakan pasar sederhana, banyak pedagang yang
belum teratur dan berjualan dengan menggunakan tenda-tenda. Akan tetapi pasar
ini akhirnya dibangun oleh pemerintah Karesidenan. Selama perbaikan banyak
pedagang yang dipindahkan ke Gladag dan Alun-alun Lor. Setelah selesai
dibangun pasar ini diberi nama Pasar Harjonegoro, namun demikian nama Pasar
Gede lebih dikenal di kalangan rakyat. Luas pasar sebesar 12.244 m², jumlah kios
sebanyak 64 buah, jumlah los sebanyak 498 petak, serta jumlah pelataran untuk
320 orang.18
Di sebelah barat pasar Gede terdapat pasar buah, dengan lokasi yang
sangat strategis. Lokasi pasar buah ini menempati sebuah bangunan milik
Pemerintah Daerah Kodya Surakarta. Bangunan ini terdiri dari dua lantai, di lantai
satu bagian utara ditempati oleh pedagang buah sedangkan bagian selatan
ditempat oleh pedagang ikan hias. Di bagian lantai dua di gunakan oleh kantor
Dinas Pasar dan di sewakan untuk usaha pub dan permainan bilyard.
Pasar Legi berada di wilayah Mangkunegaran. Pasar ini ramai pedagang
pada hari pasaran legi, banyak pedagang berdatangan dari desa-desa. Pada tahun
1936 pasar tersebut direnovasi model modern, yaitu pada masa kekuasaan Sri
commit to user
Paduka Mangkunegara VII (1916-1944).19 Perilaku pedagang di Pasar Legi sangat
khas dan ditakuti oleh para pedagang lainnya. Persaingan antara pedagang di
pasar ini cukup keras, dan banyak kalangan pedagang sendiri yang cenderung
menganggap kasar. Munculnya spekulasi bisnis yang matang, banyak pedagang di
pasar ini, terutama dari kalangan etnis Cina yang berani melakukan spekulasi.
Pasar Gede dan Pasar Legi terdapat beberapa pedagang besar yang
menjual berbagai jenis hasil bumi. Namun disekitar pasar tersebut terdapat
distributor atau agen komoditi kelontong, yang merupakan produk pabrik, serta
obat-obatan dan barang kebutuhan sehari-hari yang mayoritasnya adalah
pedagang Cina. Hal ini terutama dalam hal mengendalikan harga barang
dagangan.
Pasar tradisional di Surakarta selain menjadi perdagangan hasil bumi,
kelontong dan sandang, juga terdapat beberapa pasar yang memiliki komoditi
sendiri misalnya batik dan tekstil, pasar barang antik, mebel, buah-buahan dan
ikan, pasar sepeda, pasar burung, dan pasar barang atau besi bekas. Di wilayah
Mangkunegaran berkembang pasar yang letaknya di utara Istana Mangkunegaran
yaitu Pasar Triwindu. Pasar ini menawarkan berbagai macam barang antik, seperti
patung-patung kuno, hasil kerajinan tangan (wayang kulit, wayang golek, kain
batik, lukisan, ukir-ukiran kayu atau tembaga), keris, tombak dan sebagainya..
Pada awalnya tempat ini adalah sebuah lapangan atau alun-alun milik
Mangkunegaran, dan di tempat tersebut setiap tiga windu diadakan perayaan
peringatan oleh Mangkunegara sehingga mengundang banyak pedagang.
Awalnya, penjualan di sini menggunakan sistem barter dengan menggelar barang
commit to user
dagangannya di meja-meja, karena semakin bertambah, sejak tahun 1960 mereka
mulai mendirikan kios.
Berhubung dengan tradisi masyarakat Jawa, terutama dalam menghormati
leluhurnya yaitu dengan ziarah, di kota Surakarta terdapat sebuah pasar yang
khusus berjualan kembang atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Kembang.
Pada tahun 1967 Pasar Kembang pertama kali dibangun dan pada tahun 1970
diperluas kesebelah utara. Luas Pasar Kembang sebesar 1.409 m², terdapat kios
sebanyak 17 buah, jumlah los sebanyak 65 petak, dan memiliki pelataran untuk 60
orang.20
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Surakarta, karena itu
meningkat pula kebutuhan rumah tangga, seperti meja, kursi, almari dan tempat
tidur. Pada awal tahun 60-an banyak pedagang eceran mebel yang menjajakan di
berbagai tempat, misalnya perlimaan Balapan, perempatan Ngapeman,
Perempatan Parsar Pon dan Triwindu, daerah Purwosari dan Gading. Pada tahun
1961, Pemerintah Kota Surakarta mengatur pedagang pengecer mebel ke dalam
satu lokasi yaitu di jalan Pamedan Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres Surakarta.
Namun para pedagang pengecer semakin lama semakin meningkat, sehingga
diperlukan tempat usaha yang cukup luas. Pada tahun 1971 lokasi dagang para
pedagang pengecer dipindahkan ke Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan Surakarta.21
Di Surakarta juga banyak sekali penggemar burung, yang berasal dari
berbagai lapisan masyarakat maupun etnis, maka banyak pedagang yang menjual
burung. Semula para pedagang burung berjualan di Widuran dekat Kepatihan dan
di Purwasari, kemudian oleh Pemerintah Daerah Kota Surakarta dikumpulkan di
20