• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENYAKIT ISPA DAN DBD PADA

BALITA TERKAIT KONDISI TOPOGRAFI DAN IKLIM

(Kasus: Kabupaten Bogor)

MUHJIDIN HERTANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Muhjidin Hertanto

(4)
(5)

ABSTRAK

MUHJIDIN HERTANTO. Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh RINI HIDAYATI.

Balita merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit terkait kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang berperan sebagai faktor pemicu munculnya kejadian penyakit pada balita diantaranya kondisi topografi dan kondisi iklim. Penelitian mengenai karakteristik kejadian penyakit DBD dan ISPA pada balita terkait kondisi topografi dan kondisi iklim penting untuk dilakukan sebagai pengetahuan dan langkah antisipasi dini terhadap mewabahnya kejadian penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada wilayah kajian beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor, meliputi penentuan kondisi topografi, pengkategorian kondisi iklim dan penyakit, serta analisis peluang untuk melihat karakteristik kejadian penyakit. Secara umum karakteristik kejadian penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi (pegunungan), sedangkan kejadian penyakit DBD cenderung rendah pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi. Karakteristik penyakit ISPA pada kondisi curah hujan (CH) bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH

bulanan yang meningkat (CHn-CHn-1 > 60 mm) merupakan kondisi yang

menyebabkan sering muncul kejadian ISPA pada balita. Kategori DBD berat (IR>2,525) memiliki peluang tertinggi terjadi pada dua variasi kondisi CH yaitu pada CH bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat

(CHn-CHn-1 > 60 mm), atau pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan

sifat CH bulanan yang menurun (CHn-CHn-1 < 60 mm).

(6)

ABSTRACT

MUHJIDIN HERTANTO. Characteristics of Respiratory Infection and Dengue Fever in Children Under-Five Related to the Topography and Climate Conditions (Case: Bogor District). Supervised by RINI HIDAYATI.

Children under the age of five are a group of children who are susceptible to diseases related to the environmental conditions. The cause of diseases arise from the environmental conditions, including the topography and climate conditions. Research on the characteristics of respiratory infection and dengue fever in children under-five related to the topography and climate conditions is important as an early warning to prevent disease outbreaks. The research was conducted in the study area of several sub districts in Bogor. The analysis includes of determining the topography, climatic conditions and disease categorization, and analysis of the probability. All of which were done to observe the characteristics of the disease occurrence. In general, the characteristic of respiratory infection tends to be higher in sub districts with high topography (mountains), while the characteristic of dengue fever tends to be lower. The characteristic of respiratory infection on rainfall conditions (CH), particularly on high monthly rainfall (CHn>

300 mm), also the increasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 > 60 mm), led to the

frequent emergence of respiratory infection in children under-five. Categories of severe dengue fever (IR> 2.525) has the highest chance to occur in two conditions, i.e. the high monthly rainfall (CHn> 300 mm) and the increasing of

monthly rainfall (CHn-CHn-1 > 60 mm), or on medium monthly rainfall conditions

(162-300 mm) and the decreasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 <60 mm).

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

KARAKTERISTIK PENYAKIT ISPA DAN DBD PADA

BALITA TERKAIT KONDISI TOPOGRAFI DAN IKLIM

(Kasus: Kabupaten Bogor)

MUHJIDIN HERTANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor)

Nama : Muhjidin Hertanto NIM : G24100038

Disetujui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulillah Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah penyakit manusia, dengan judul Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rini Hidayati, MS selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para dosen beserta staf Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu dan bantuannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis mohon maaf untuk kekurangan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur Analisis Data 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Kondisi Topografi Wilayah Kajian 4

Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Topografi 7 Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Kondisi Iklim 9

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

(13)

DAFTAR TABEL

1 Tingkatan pengkategorian IR penyakit 3

2 Tingkatan pengkategorian curah hujan bulanan 3

3 Tingkatan pengkategorian sifat pembeda curah hujan bulanan 3 4 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR

ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 10

5 Kategori IR Penyakit ISPA dan DBD 10

6 Kategori curah hujan bulanan 10

7 Peluang kejadian kategori IR ISPA pada balita berdasarkan kondisi CH 11 8 Peluang kejadian kategori IR DBD pada balita berdasarkan kondisi CH 13

DAFTAR GAMBAR

1 Peta ketinggian tempat (mdpl) kecamatan kajian wilayah Bogor ix 2 Rata-rata ketinggian tempat (mdpl) dari nilai terkecil ke nilai terbersar

kecamatan kajian Kabupaten Bogor 5

3 Peta kemiringan lereng (%) kecamatan kajian Kabupaten Bogor 6 4 Rata-rata kemiringan lereng (%) dari nilai terkecil ke nilai terbesar

kecamatan kajian Kabupaten Bogor 6

5 Rataan IR ISPA balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan

elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor 7 6 Rataan IR DBD balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan

elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor 8 7 Hubungan antara rataan IR DBD per kepadatan balita dengan elevasi

kecamatan kajian di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 9 8 Pola sebaran data IR ISPA (a), IR DBD (b), CHn (d) diplotkan bersama

dengan nilai peluang pengkategorian menurut sebaran teoritis pada

tingkat kepercayaan 95 % 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alir penelitian 16

2 Data Citra SRTM DEM 90 wilayah Bogor dan sekitarnya 17 3 Peta tutupan lahan citra landsat Google Earth 2013-2014 wilayah Bogor

dan sekitarnya 17

4 Rata-rata elevasi (mdpl) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan

kajian Kabupaten Bogor 18

5 Rata-rata slope (%) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan

kajian Kabupaten Bogor 19

6 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR

ISPA dengan kondisi topografi 20

7 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR

DBD dengan kondisi topografi 20

8 Data perhitungan luas wilayah, jumlah balita, dan kepadatan balita

(14)

9 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 20 10 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR

DBD bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 21 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data

curah hujan bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 21 12 Rata-rata bulanan IR ISPA tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian

Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor) 22 13 Rata-rata bulanan IR DBD tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian

Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor) 22 14 Rata-rata curah hujan bulanan tahun 2004-2013 seluruh kecamatan

kajian Kabupaten Bogor (Sumber: BMKG dan BPSDA) 23 15 Data rata-rata bulanan curah hujan, IR ISPA, IR DBD pada tiap

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak lepas dari permasalahan kesehatan. Permasalahan kesehatan ini terutama terjadi pada balita (usia 0-4 tahun) karena sistem imunitasnya belum sekuat orang dewasa sehingga balita merupakan kelompok umur yang paling rentan terhadap penyakit (Strickman et al.

2000). Beberapa penyakit tersebut antara lain seperti ISPA dan DBD. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyebab kematian terbesar pada balita di Indonesia yaitu berdasarkan hasil survei mortalitas subdit ISPA pada tahun 2007 sebesar 23.8% dari seluruh kematian balita disebabkan ISPA (Kemenkes 2012). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia yang menyerang seluruh kelompok umur termasuk pada balita dengan angka kejadian yang terus meningkat setiap tahun (Kemenkes 2010).

Kejadian penyakit pada balita selain disebabkan imunitas tubuhnya yang masih rentan juga didukung oleh faktor lain yang memicu penyebaran atau pertumbuhan patogen dan vektor penyakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit yaitu kondisi iklim dan topografi suatu daerah. Kondisi iklim (curah hujan) memiliki pengaruh terhadap peningkatan kejadian penyakit DBD (Chen et al. 2012; Hidayati et al. 2012) dan penyakit ISPA (Nuraeni et al. 2012; Gardinasi et al. 2012). Menurut Hasyim (2009) kondisi topografi memiliki hubungan yang bermakna pada kejadian DBD dengan korelasi negatif. Sementara kejadian ISPA memiliki korelasi positif terhadap topografi (Afandi 2012).

Penelitian mengenai karakteristik kejadian penyakit DBD dan ISPA pada balita terkait kondisi topografi dan kondisi iklim penting untuk dilakukan sebagai pengetahuan dan langkah antisipasi dini mewabahnya kejadian penyakit, sehingga penelitian ini dilakukan dengan fokus kajian pada balita di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki karaktersistik topografi yang beragam antar kecamatan dan kondisi iklim dengan curah hujan yang cenderung tinggi sepanjang tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Kabupaten Bogor termasuk iklim dengan tipe A (sangat basah) di bagian selatan dan iklim dengan tipe B (basah) di bagian utara (Pemkab Bogor 2014). Selain itu, berdasarkan data Dinkes Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 tercatat 1,502 dari 13,421 kejadian DBD terjadi pada balita atau sekitar 11%. Sementara berdasarkan data Dinkes Kota Bogor tahun 2013 tercatat 6,653 dari 6,952 kejadian ISPA terjadi pada balita atau sekitar 96%.

Tujuan Penelitian

(16)

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014 dengan wilayah kajian Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Leuwiliang, Ciampea, Cijeruk, Cisarua, Jonggol, Cibinong, dan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Kegiatan penelitian ini mencakup pengumpulan data, studi literatur, pengolahan data, penyusunan laporan, dan diskusi dengan dosen pembimbing. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data angka kejadian penyakit (ISPA dan DBD) bulanan pada balita (usia 0-5 tahun) Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor).

2. Data curah hujan bulanan kecamatan kajian, di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 (Sumber: BMKG, BPSDA).

3. Data jumlah penduduk per kecamatan Kabupaten Bogor (Sumber: BPS). 4. Data citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) DEM 90. Data

tersebut dapat diunduh secara gratis di alamat :

http://www.cgiar-csi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1

5. Peta tutupan lahan citra Landsat Google Earth 2013 – 2014. 6. Peta Administrasi Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer atau laptop dengan perangkat pengolah sistem informasi geografis seperti ArcGIS 10, dan perangkat pengolah data seperti Microsoft Office 2010, MINITAB 14 dan

Notepad ++.

Prosedur Analisis Data Mengkategorikan Incidence Rate (IR) penyakit

Tahap Pertama, menghitung nilai IR penyakit (DBD dan ISPA) berdasarkan data jumlah balita (diperoleh dengan asumsi 10% dari jumlah penduduk) dan angka kejadian penyakit pada balita di tiap kecamatan kajian yang diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan IR bulanan yaitu dengan rumus:

Keterangan :

(17)

3 Nilai IR ini digunakan untuk menganalisis kejadian penyakit di tiap kecamatan kajian dengan melihat angka kejadian penyakit setiap 100,000 balita untuk penyakit DBD dan angka kejadian penyakit setiap 1000 balita untuk penyakit ISPA.

Tahap kedua, mengkategorikan tingkatan penyakit (ISPA dan DBD) ke dalam empat kategori berdasarkan sebaran yang paling sesuai dari nilai IR penyakit keseluruhan berdasarkan tingkat peluangnya. Pengkategorian dilakukan seperti pada Tabel 1.

Mengkategorikan data iklim (curah hujan)

Tahap pertama, mengkategorikan curah hujan bulanan (CHn) ke dalam tiga

kategori berdasarkan sebaran teoritis yang paling sesuai dari data curah hujan bulanan untuk seluruh kecamatan kajian. Pengkategorian dilakukan berdasarkan tingkat peluang seperti Tabel 2.

Tahap kedua, mengkategorikan sifat curah hujan bulanan dikurangi curah hujan bulan sebelumnnya (CHn-CHn-1). Hasil dari pengurangan tersebut

dikategorikan seperti tabel 3 berikut :

Tabel 1 Tingkatan pengkategorian IR penyakit Kategori IR Kisaran nilai IR penyakit

Tidak ada 0

Ringan 0 < IR ≤ 0.33 Sedang 0.33 < IR ≤ 0.66 Berat IR > 0.66

Tabel 2 Tingkatan pengkategorian curah hujan bulanan Kategori CHn Kisaran nilai CH bulanan

Rendah CH ≤ 0.33 Sedang 0.33 < CH ≤ 0.66 Tinggi CH > 0.66

Tabel 3 Tingkatan pengkategorian sifat pembeda curah hujan bulanan Kategori CHn-CHn-1 Nilai CHn-CHn-1 (mm)

Menurun ( -) CHn-CHn-1 < -60

Mirip ( 0 ) -60 ≤ CHn-CHn-1 ≤ 60

(18)

4

nilai CH 60 mm merupakan batas CH tertinggi kategori bulan kering berdasarkan klasifikasi iklim menurut Koppen yang digunakan sebagai asumsi dasar penentuan batas pengkategorian CHn-CHn-1 ini.

Analisis Pengaruh Kondisi Geografi

Kondisi topografi wilayah kajian diperoleh dengan metode penginderaan jauh yang menggunakan data citra satelit. Data yang digunakan untuk menduga topografi adalah data citra SRTM DEM 90. Tahap pertama, data SRTM DEM 90 tersebut diturunkan sehingga diperoleh informasi topografi (ketinggian dan kemiringan lereng) berdasarkan pengklasifikasian yang ditentukan sebelumnya sehingga diperoleh peta topografi wilayah kajian.

Tahap kedua, peta topografi wilayah kajian ini di overlay dengan peta tutupan lahan citra Landsat Google Earth 2013 – 2014 untuk menentukan rata-rata topografi tiap kecamatan kajian berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin ditempati penduduk.

Tahap ketiga, data rata-rata keseluruhan masing-masing penyakit diplotkan dengan data rata-rata topografi (ketinggian dan kemiringan lereng) tiap kecamatan kajian kemudian dilihat hubungan dan karakteristiknya.

Analisis Karakteristik Kondisi Iklim dengan IR Penyakit

Analisis dilakukan dengan menentukan peluang kejadian kategori penyakit tingkat ringan, sedang, dan berat pada kategori curah hujan bulanan atau kategori CHn (rendah, sedang, tinggi) dan pada kategori pembeda sifat curah hujan bulan

sebelumnya atau kategori CHn-CHn-1 (menurun, mirip, meningkat). Karakteristik

kejadian penyakit dilihat dari peluang kejadian tertinggi pada kondisi curah hujan bulanan saja dan juga dengan kombinasi yang melihat sifat pembeda curah hujan bulan sebelumnya (kategori CHn-CHn-1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Topografi Wilayah Kajian Ketinggian (Elevasi) Kecamatan Kajian

(19)

5

Kemiringan Lereng (Slope) Kecamatan Kajian

Kemiringan lereng (slope) kecamatan kajian ditentukan berdasarkan interval yang dibagi ke dalam 5 kelas sesui ketentuan Kemenhut yaitu 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40%, dan >40% seperti ditunjukan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pemetaan slope terlihat bahwa Kecamatan Cisarua memiliki kemiringan lereng yang paling curam, sedangkan yang paling landai adalah Kecamatan Ciampea dan Cibinong. Namun setelah dilakukan perhitungan rata-rata slope tiap kecamatan kajian berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin ditempati

Gambar 1 Peta ketinggian tempat (mdpl) kecamatan kajian wilayah Bogor

(20)

6

penduduk, Kecamatan Cijeruk memiliki rata-rata kemiringan lereng yang paling curam yaitu sebesar 9.7 % lebih dari Cisarua (9.3%) (Gambar 4). Kecamatan Cisarua berada pada lereng Gunung Gede Pangrango yang memiliki slope

tercuram (Gambar 3), tapi sebagian besar wilayah yang masih mungkin ditempati penduduk tidak berada pada wilayah dengan slope curam tersebut sehingga rata-rata slope-nya tidak lebih curam dari pada Kecamatan Cijeruk (Gambar 4).

Gambar 3 Peta kemiringan lereng (%) kecamatan kajian Kabupaten Bogor

(21)

7 Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Topografi

Penyakit ISPA dan Kondisi Topografi

Kejadian ISPA pada balita menurut topografi memperlihatkan kencenderungan hubungan positif walaupun tidak semua kecamatan menunjukan sifat yang sama (Gambar 5). Secara umum karakteristik penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecematan kajian dengan kondisi topografi tinggi atau daerah pegunungan berbukit. Tempat yang tinggi dan kemiringan lereng yang curam merupakan daerah yang sinar matahari langsung cenderung lebih singkat waktunya untuk masuk ke dalam rumah dibandingkan pada daerah dengan topografi rendah atau lebih datar. Menurut Afandi (2012) salah satu kebiasaan penduduk di daerah pegunungan yaitu jarang membuka jendela rumah pada pagi hari sehingga sinar matahari pagi sangat terbatas untuk bisa langsung masuk ke dalam rumah. Penyinaran matahari secara langsung memiliki aktivitas bakterisida dan memiliki peranan penting sebagai desinfektan terutama dari sinar ultravioletnya (panjang gelombang optimum untuk bakterisida sekitar 260 nm) sehingga dapat mematikan patogen penyakit (Kusnadi et al. 2003). Kondisi rumah yang jarang terkena sinar matahari langsung ini beresiko menyebabkan kejadian ISPA pada balita karena patogen penyebab ISPA berkembang dengan baik pada kondisi lembab tersebut (Hasan 2012). Selain itu kebanyakan balita mudah menderita alergi dingin yang kemudian menyebabkan imunitas tubuhnya berkurang sehingga pada keadaan dingin tersebut balita mudah terkena infeksi saluran pernafasan. Menurut Gardinasi et al. (2012) suhu udara yang semakin menurun (dingin) menyebabkan infeksi virus penyebab ISPA meningkat.

Faktor selain topografi yang berpengaruh terhadap penyakit ISPA sehingga menyebabkan pengaruh topografi pada angka kejadian penyakit ISPA pada penelitian ini tidak konsisten di antanya yaitu kondisi iklim (Ayres et al. 2009), lingkungan fisik rumah (Afandi 2012), status gizi balita (Ramdani 2011), polusi udara (Sanchez et al. 2006; Ayres et al. 2009), pengetahuan dalam pengasuhan balita atau tingkat pendidikan keluarga (Endah et al. 2009), dan keberadaan keluarga perokok (Rachmawati 2013).

(a) (b)

Gambar 5 Rataan IR ISPA balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi

(b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor

1.43 1.53

Kecamata Kajian dalam Kemiringan (%)

1.53

(22)

8

Penyakit DBD dan Kondisi Topografi

Hasil analisis plot data kejadian DBD pada balita terhadap topografi memperlihatkan adanya kencenderungan hubungan negatif walaupun tidak semua kecamatan menunjukan sifat yang sama (Gambar 6). Berdasarkan uji statistik seperti ditunjukkan pada Lampiran 7 diperoleh hasil bahwa IR DBD berkorelasi linear negatif dengan kondisi topografi tetapi tidak ada pengaruh nyata (p-value > 0.05), namun secara umum karakteristik penyakit DBD cenderung rendah pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi atau daerah pegunungan berbukit. Nilai IR DBD pada balita terendah yaitu 0.09 kejadian per 100,000 balita terjadi di Kecamatan Cisarua yang merupakan daerah tertinggi dibanding kecamatan kajian lainya dengan ketinggian rata-rata 1126 mdpl pada selang ketinggian 500-2000 mdpl. Semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah, kondisi ini menyebabkan perkembangan nyamuk Aedes aegypti semakin lambat sehingga penularan virus Dengue semakin kecil. Menurut Hidayati et al. (2012) pada tempat dengan elevasi lebih dari 1150 mdpl peluang nyamuk menularkan virus sangat kecil dan pada tempat dengan elevasi lebih dari 1400 mdpl nyamuk tidak berkembang biak.

(a) (b)

Gambar 6 Rataan IR DBD balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor

Nilai IR DBD pada balita di Kecamatan Cibinong menunjukkan nilai pencilan tertinggi (12.10 kejadian per 100,000 balita) dibandingkan kecamatan kajian lainya walaupun tidak berada pada daerah bertopografi (elevasi) paling rendah. Hal ini disebabkan karena Kecamatan Cibinong merupakan kecamatan yang memiliki kepadatan balita tertinggi dibandingkan kecamatan kajian lain yaitu 777 balita per Km2 (Lampiran 8). Penduduk yang padat menjadikan jarak antar orang termasuk balita lebih dekat sehingga kemampuan nyamuk untuk menularkan virus DBD lebih besar pada lebih banyak orang (Hidayati et al. 2008; Devriany 2012). Berdasarkan uji statistik IR DBD berkorelasi linear positif (r=0.892) dengan kepadatan balita dan berpengaruh nyata (p-value=0.001). Selain itu faktor lain yang menyebabkan pengaruh topografi pada penyakit DBD tidak konsisten diantanya yaitu kondisi curah hujan dan suhu (Hidayati et.al. 2012), jenis kelamin (Dardjito et al. 2008), kondisi lingkungan perumahan (Mahadev et al. 2003), dan tingkat kekebalan (Barbazan et al. 2002).

5.48

Kecamata Kajian dalam Kemiringan (%)

5.48

(23)

9 Berdasarkan hasil penelitian ini kepadatan penduduk masih dominan pengaruhnya tehadap kejadian DBD dari pada ketinggian tempat sehingga untuk memperkecil dominansi kepadatan penduduk, angka kejadian penyakit dirumuskan kembali menjadi IR dibagi dengan kepadatan penduduk. Setelah itu dianalisis kembali hubungan antara IR per kepadatan penduduk dengan ketinggian tempat sehingga diperoleh tren seperti pada Gambar 7 yang menunjukkan bahwa pengaruh ketinggian tempat lebih nyata (R-square = 0.53) terhadap kejadian penyakit atau dapat juga dikatakan bahwa keragaman nilai IR DBD per kepadatan balita dapat dijelaskan sebesar 53 persen dari ketinggian tempat wilayah kajian.

Gambar 7 Hubungan antara rataan IR DBD per kepadatan balita dengan elevasi

kecamatan kajian di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013

Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Kondisi Iklim Kategori IR Penyakit dan CH Bulanan

Kategori IR penyakit ditentukan berdasarkan bentuk sebaran teoritis yang paling sesuai dan nilai peluang pengkategorian karena belum ada kategori tingkatan IR penyakit (ISPA dan DBD) pada balita yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan atau lembaga lain. Penentuan kategori curah hujan bulanan (CHn) juga

demikian karena apabila dikategorikan berdasarkan kategori CH bulanan yang sudah ada sebagai contoh klasifikasi iklim Oldeman dan Mohr, karakteristik curah hujan di Bogor hanya cenderung pada kategori bulan basah saja sepanjang tahun, atau sangat sedikit kategori bulan keringnya.

Bentuk sebaran teoritis yang paling sesuai untuk kategori IR penyakit (ISPA dan DBD) dan kategori CH bulanan ditunjukan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis peluang teoritis, bentuk sebaran yang dipilih dilakukan berdasarkan nilai AD terkecil dan keberimpitan plot pada tingkat peluang antara kurang dari 5% hingga lebih dari 99%. Penentuan nilai selang kategori ditentukan dari tingkat peluang 33% dan 66% (Gambar 6). Hasil kategori IR penyakit (DBD dan ISPA) ditunjukkan pada Tabel 5, dan kategori CHn ditunjukkan Tabel 6.

y = 0.023e-0.003x

0 200 400 600 800 1000 1200

(24)

10

Tabel 4 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan

Kategori Sebaran N Parameter AD P-Value

CHn 3-Parameter Weibull - 95% CI 1076

Shape 1,607

1,373 <0,005

Scale 286,4

Thresh -3.373

IR ISPA 3-Parameter Lognormal - 95% CI 1013

Loc 0,5105

0,762 *

Scale 1,008

Thresh -0.056

IR DBD 3-Parameter Lognormal - 95% CI 204

Loc 1,883

1,113 *

Scale 0,9940

Thresh 2,070

(a) (b) (c)

Gambar 8 Pola sebaran data IR ISPA (a), IR DBD (b), CHn (d) diplotkan bersama dengan nilai peluang pengkategorian menurut sebaran teoritis pada tingkat kepercayaan 95 %

Tabel 5 Kategori IR Penyakit ISPA dan DBD

Kategori Penyakit IR ISPA IR DBD

Tidak ada 0 0

Ringan 0 – 1.07 0 – 4.25 Sedang 1.07 – 2.53 4.25 – 9.91 Berat > 2.53 > 9.91

Tabel 6 Kategori curah hujan bulanan Kategori CHn Nilai CHn (mm)

Rendah ≤ 162

Sedang 162 - 300

(25)

11 Peluang Kejadian ISPA Berdasarkan Kondisi CH

Karakteristik hubungan antara kejadian penyakit ISPA dengan kondisi CH dianalisis dengan cara menghitung frekuensi kejadian kategori IR ISPA pada balita berdasarkan kombinasi kondisi variasi CH kategori curah hujan bulanan (CHn) dan sifat curah hujan bulan sebelumnya (CHn-CHn-1) seperti ditunjukkan

pada Tabel 7 dengan nilai peluang yang digaris bawahi. Karaketristik kejadian ISPA memiliki sifat yang hampir sama pada kategori ringan (IR = 0-1.07), sedang (IR=1.07-2.53), dan berat (IR>2.53) yaitu memilki peluang kejadian tertinggi pada kondisi CH bulanan tinggi (CHn > 300 mm) dan sifat CH bulanan yang

meningkat dari CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm). Kondisi CH tersebut

mengindikasikan bahwa terjadi pada bulan puncak musim hujan sehingga suhu udaranya cenderung dingin dan kelembabannya tinggi. Kondisi suhu udara yang dingin dan lembab mengandung kadar uap air dan tekanan udara yang tinggi sehingga kinerja membran pernapasan termasuk membran mokusa lebih berat dalam menyaring udara dan lama-kelamaan kinerjanya akan melemah (Guyton dan Hall 2007). Kinerja membran mukosa yang melemah ini dapat mempermudah terjadinya infeksi pada saluran pernapasan karena peran membran mukosa yaitu mensekresikan lapisan mukus yang berfungsi menahan dan melindungi saluran pernapasan dari agen infeksi seperti virus, bakteri, dan jamur (Muluk 2009). Pada kategori tidak ada kejadian ISPA (IR=0) peluang kejadian tertinggi pada kondisi CH bulanan rendah (CHn ≤ 162) dan CH bulanannya menurun dari CH bulan

sebelumnya (CHn-CHn-1<60mm). Kondisi CH tersebut mengindikasikan bahwa

terjadi pada bulan-bulan musim kemarau dengan suhu udara lebih tinggi dan udaranya tidak terlalu lembab.

Karakteristik kejadian ISPA apabila hanya melihat kondisi CH bulanan saja tanpa memperhatikan pengaruh sifat curah hujan bulan sebelumnya ditunjukan pada Tabel 7 dengan nilai peluang yang ditulis tebal (Bold). Peluang kejadian tertinggi pada kategori IR ISPA berat dan sedang terjadi pada kondisi CH yang sama yaitu pada kondisi curah hujan bulanan tinggi (CHn > 300 mm), sedangkan

peluang kejadian tertinggi pada kategori IR ISPA ringan dan tidak ada juga sama, yaitu pada kondisi curah hujan bulanan rendah (CHn ≤ 162). Hasil penelitian

(26)

12

Peluang Kejadian DBD Berdasarkan Kondisi CH

Karakteristik kejadian penyakit DBD terhadap kondisi curah hujan dianalisis dengan cara menghitung frekuensi kejadian kategori IR DBD berdasarkan kondisi variasi CH bulanan (CHn) dan dikombinasikan dengan sifat

CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1) seperti ditunjukkan pada Tabel 8 dengan nilai

peluang yang digaris bawahi. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kombinasi kondisi CH berpengaruh terhadap penyakit DBD, selain kondisi CH bulanan, CH bulan sebelumnya juga berpotensi menyediakan tempat perindukan dan mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Berdasarkan hasil terlihat bahwa kategori IR DBD berat (IR> 9.91) memiliki peluang tertinggi terjadi pada kondisi CH bulanan tinggi (>300mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm).

Kondisi CH bulanan yang tinggi membuat aktifitas balita menurun dan daya tahan tubuh berkurang, sehingga mudah tertular penyakit DBD. Peluang tertinggi pada kategori IR DBD berat juga terjadi pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan sifat CH bulanan yang menurun atau CH bulan sebelumnya lebih tinggi (CHn-CHn-1 < 60 mm). Menurut Chen et al.(2012) kejadian penyakit menular

termasuk DBD meningkat drastis 28-70 hari setelah peristiwa curah hujan ekstrim. Hidayati et al (2012) dalam penelitiannya di Kota Bogor, Indramayu, Padang, dan Jakarta, mendapatkan bahwa IR DBD akan mencapai angka tertinggi jika CH mingguan ke 6 dan 5 rendah sedangkan minggu ke 7, 4, 3, dan 2 sebelum kejadian tinggi. Jadi kejadian IR DBD kategori berat dapat terjadi dapat terjadi pada dua kombinasi kondisi yaitu pada CH bulanan tinggi dengan CH bulan sebelumnya lebih rendah dan pada CH bulanan sedang dengan CH sebelumnya lebih tinggi.

Hasil analisis kategori kejadian DBD apabila hanya dilihat berdasarkan kondisi CH bulanan saja tanpa memperhatikan pengaruh sifat CH bulan sebelumnya ditunjukan pada Tabel 8 dengan nilai peluang yang ditulis tebal (Bold). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi CH tinggi (> 300 mm) dapat menyebabkan kategori IR DBD berat dan kategori tidak ada kejadian. Hal ini disebabkan karena pada CH tinggi banyak terdapat genangan yang mungkin menjadi tepat berkembang biak terbaik vektor DBD, namun pada CH yang terlalu tinggi juga dapat merusak tempat perindukan nyamuk, sehingga

*

(27)

13 perlu diketahui batas atas CH tinggi yang berpengaruh positif pada kejadian DBD. Menurut Chen et al.(2012) kejadian peristiwa hujan deras (201-350 mm) merupakan penyebab dari lonjakan kasus penyakit menular termasuk DBD, sedangkan pada curah hujan >350 mm kemungkinan dapat menghancurkan habitat vektor DBD.

Tabel 8 Peluang kejadian kategori IR DBD pada balita berdasarkan kondisi CH Kategori IR DBD CHn

Karakteristik kejadian penyakit ISPA dan DBD pada balita terhadap kondisi topografi menunjukkan sifat yang berkebalikan. Secara umum karakteristik kejadian penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi, sedangkan kejadian penyakit DBD cenderung rendah pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi.

Kejadian penyakit ISPA pada balita sering muncul pada semua tingkatan terjadi pada kombinasi kondisi curah hujan (CH) bulanan tinggi (CHn >300 mm)

dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60

mm), namun untuk kategori IR ISPA berat (IR>2.53) apabila dilihat dari kondisi CH bulanan saja paling sering muncul pada kondisi CH bulanan tinggi.

Kejadian penyakit DBD kategori berat (IR> 9.91), jika dilihat dari kondisi CH bulanan saja paling sering muncul juga pada kondisi CH bulanan tinggi, dan

*

(28)

14

apabila dilihat dari kombinasi kondisi CH, peluang tertinggi terjadi pada dua kombinasi yaitu pada CH bulanan tinggi dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya, atau pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan sifat CH bulanan yang menurun dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 < 60 mm).

Saran

Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui batas atas atau ambang batas curah hujan kategori tinggi (CHn >300 mm) yang berpengaruh positif pada

kejadian DBD, karena dalam penelitian ini kejadian DBD kategori berat dan tidak ada kejadian sama-sama didapatkan pada kondisi curah hujan bulanan kategori tinggi. Selain itu analisis kejadian penyakit terkait kondisi iklim sebaiknya menggunakan data periode mingguan atau lebih pendek dari bulanan.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi AI. 2012. Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Ayres JG, Forsberg B, Maesano IA, Dey R, Ebi KL, Helms PJ, Ramo´n MM, Wind M, Forastiere F. 2009. Climate change and respiratory disease: European Respiratory Society position statement. Eur Respir J. 34: 295–302. doi: 10.1183/09031936.00003409.

Barbazan P,Yoksan S, Gozalez JP. 2002. Dengue hemorrhagic fever epidemiology in Thailand: description and forecasting of epidemics.

ELSEVIER. 4: 699-705.

Chen MJ, Lin CY, Wu YT, Wu PC, Lung SC. 2012. Effects of extreme precipitation to the distribution of infectious diseases in Taiwan, 1994–2008.

PLoS ONE 7(6): e34651. doi:10.1371/journal.pone.0034651.

Dardjito E, Yuniarno S, Wibowo C, Sapresetya A, Dwiyanti H. 2008. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap ke jadian penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Banyumas. Media Litbang Kesehatan. 18(3) : 126-136.

Devriany A. 2012. Analisis eko-epidemiologi status endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011. J Masyarakat Epidemiologi. 1(1): 1-22.

Endah N, Daroham, Mutiatikum. 2009. Penyakit ISPA hasil RISKESDAS di Indonesia. Bul Penelit Kes Supplement. 1 :50-55.

Gardinassi LG, Simas PVM, Salomão JB, Durigon EL, Maria D, Trevisan Z, Cordeiro JA, Lacerda MN, Rahal P, de Souza FP. 2012. Seasonality of viral respiratory infections in southeast of brazil: the influence of temperature and air humidity. Braz J Microbiol. :98-108.

(29)

15 Hasan NA. 2012. Kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPTD kesehatan luwuk timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 [skripsi]. Depok(ID): Universitas Indonesia.

Hasyim H. 2009. Analisis spasial Demam Berdarah Dengue di Provinsi Sumatera Selatan. J Pembangunan Manusia. 9(3): 1-11.

Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2008. Sebaran daerah rentan penyakit DBD menurut keadaan iklim maupun non iklim (distribution of vulnerable region of dengue fever disease based on climate and non-climate condition). JAgromet. XXII (1) : 61-9.

Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2012. Dengue early warning model using development stages of mosquito and climate information. BIOTROPIA. 19(1):30-41.

[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Demam berdarah dengue. Buletin Jendela Epidemiologi. 2 : 45-56.

[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta (ID): Kemenkes RI Pr.

Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi A, Purwianingsih W, Rochintaniawati D. 2003.

Microbologi. Bandung (ID): UPI Pr.

Mahadev PVM, Fulmali PV, Mishra AC. 2003. A preliminary study of multilevel geographic distribution & prevalence of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in the state of Goa, India. J Med Res. 120 : 173-182.

Muluk A. 2009. Pertahanan saluran nafas. Majalah Kedokteran Ind. 42(1) : 55-58. Nirwana T, Raksanagara A, Afriandi I. 2012. Pengaruh curah hujan, temperatur, dan kelembaban terhadap kejadia penyakit DBD, ISPA, dan diare: Suatu kajian literatur. Bandung (ID): Unpad Pr.

Nuraeni S, Utomo DS, Putro US. 2012. Model berbasis agen bagi penyebaran penyakit ISPA pada musim hujan di Bandung Selatan. J Manajemen Teknologi.

11(1): 96-115.

[Pemkab Bogor] Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2013-2018. Bogor (ID) : Pemkab Bogor Pr.

Rachmawati DA. 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita umur 12 - 48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Mijen Kota Semarang. JKM. 2(1):1-10.

Ramdani FB. 2011. Asupan energi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Sanchez R, Pena M, Guadalupe G, Concepcion G, Gutierrez A, Gudinz U. 2006.

The influence of air pollutants on the acute respiratory diseases in children in the urban area of Guadalajara. Meksiko (MX): UG Pr.

(30)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Incidence Rate (IR)

Mulai

Selesai Pencarian data

Data iklim Data SRTM

DEM 90 Data jumlah

penduduk

Data kejadian penyakit

Ketinggian Kategori CH

bulanan (CHn)

Analisis peluang

Karakteristik IR berdasarkan kondisi topografi

Karakteristik IR berdasarkan kondisi iklim

Citra Google Earth

Kategori

CHn-CH(n-1) Rataan ketinggian Rataan kemiringan

Analisis hubungan

Kemiringan

(31)

17 Lampiran 2 Data Citra SRTM DEM 90 wilayah Bogor dan sekitarnya

(32)

18

Lampiran 4 Rata-rata elevasi (mdpl) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan kajian Kabupaten Bogor

No Kecamatan Rentang elvasi (mdpl)

 Contoh perhitungan rataaan elevasi (mdpl) Kecamatan Cigudeg:

( )

(33)

19 Lampiran 5 Rata-rata slope (%) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan

kajian Kabupaten Bogor

 Contoh perhitungan rataaan slope (%) Kecamatan Cijeruk:

( ) ( )

(34)

20

Lampiran 6 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR ISPA dengan kondisi topografi

Kondisi Topografi r p

Kemiringan 0.751 0.020

Ketinggian 0.515 0.156

Lampiran 7 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR DBD dengan kondisi topografi

Kondisi Topografi r p

Kemiringan -0.468 0.204 Ketinggian -0.315 0.410

Lampiran 8 Data perhitungan luas wilayah, jumlah balita, dan kepadatan balita kecamatan kajian tahun 2013

Kecamatan Luas (Km2) Jumlah balita Kepadatan Balita

Ciampea 33.1 15269 461

Lampiran 9 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan

Sebaran N Parameter AD P-Value

Lognormal - 95% CI 1013 Loc 0,4497 1,866 <0,005 Scale 1,074

Normal - 95% CI 1013 Mean 2,674 89,877 <0,005 StDev 3,434

3-Parameter Lognormal - 95% CI 1013

Loc 0,5105

0,762 * Scale 1,008

Thresh -0.05588 3-Parameter Weibull - 95% CI 1013

(35)

21

Lampiran 10 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR DBD bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan

Sebaran N Parameter AD P-Value

Lognormal - 95% CI 204 Loc 2,245 1,718 <0,005 Scale 0,7253

Normal - 95% CI 204 Mean 12,74 20,101 <0,005 StDev 12,74

3-Parameter Lognormal - 95% CI 204

Loc 1,883

1,113 * Scale 0,9940

Thresh 2,070 3-Parameter Weibull - 95% CI 204

Shape 0,8714 data curah hujan bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan

Sebaran N Parameter AD P-Value

Lognormal - 95% CI 1073 Loc 5,260 23,202 <0,005 Scale 0,8745

Normal - 95% CI 1074 Mean 254,1 9,175 <0,005 StDev 161,2

3-Parameter Lognormal - 95% CI 1075

Loc 5,961

2,915 * Scale 0,3883

Thresh -163 3-Parameter Weibull - 95% CI 1076

(36)

22

Lampiran 12 Rata-rata bulanan IR ISPA tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor)

Lampiran 13 Rata-rata bulanan IR DBD tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor)

Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Rataan IR 2.48 3.06 3.27 2.86 3.09 2.42 2.55 2.68 2.38 2.32 1.97 2.07

0.00

Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Rataan IR 6.31 5.82 7.21 2.32 2.08 2.54 2.38 0.85 0.21 1.08 1.82 2.91

(37)

23 Lampiran 14 Rata-rata curah hujan bulanan tahun 2004-2013 seluruh kecamatan

kajian Kabupaten Bogor (Sumber: BMKG dan BPSDA)

Lampiran 15 Data rata-rata bulanan curah hujan, IR ISPA, IR DBD pada tiap kecamatan kajian Kabupaten Bogor tahun 2004-2013

Bulan Januari Februari Maret

Kecamatan CHn IR

Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Rataan CH 357.8 358.7 287.5 277.4 227.3 161.5 133.0 125.9 186.6 260.4 327.3 324.6

(38)

24

Bulan Oktober November Desember

Kecamatan CHn IR

(39)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada 20 Juli 1991 di Ponorogo provinsi Jawa Timur dari pasangan Manan dan Sunarni. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 3 Paringan tahun 2004 dan menengah pertama di SMPN 1 Ponorogo tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 1 Ponorogo dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dengan mendapatkan beasiswa bidik misi untuk program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan beberapa kepanitiaan yaitu Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ponorogo, UKM Tenis Meja, dan BCS 5-6 Turnamen Tenis Meja Nasional. Pada tahun 2013 penulis melakukan kegiatan IPB Goes to Field (IGTF) di Kabupaten Nganjuk dengan tema pemetaan irigasi dan kesuburan tanah, pada tahun 2014 penulis menjadi anggota tim expedisi pemetaan potensi lahan kritis di DAS Ciliwung.

Gambar

Gambar 1  Peta ketinggian tempat (mdpl) kecamatan kajian wilayah Bogor
Gambar 4  Rata-rata kemiringan lereng (%) dari nilai terkecil ke nilai terbesar kecamatan kajian Kabupaten Bogor
Gambar 5  Rataan IR ISPA balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi
Gambar 6  Rataan IR DBD balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b)
+4

Referensi

Dokumen terkait

imunisasi tidak lengkap dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas. Cempaka dengan nilai p value= 0,000 dengan Odds Ratio 3,99

Untuk mengetahui hubungan antara kejadian stunting dengan frekuensi penyakit Diare dan ISPA pada balita usia 12-48 bulan di wilayah Puskesmas Gilingan Surakarta

Kesimpulan: Frekuensi ISPA dan diare lebih sering terjadi pada balita stunting dibandingkan dengan balita normal. Tidak ada hubungan kejadian stunting dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap penyakit ISPA pada balita antara lain keberadaan perokok di dalam rumah, penggunaan

Faktor karakteristik balita dan perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA

perokok dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintu Batu, Kecamatan Silaen,. Kabupaten Toba Samosir

Tingginya angka kejadian ISPA, yang mana usia balita adalah kelompok yang paling rentan terhadap infeksi dan kondisi fisik rumah sebagian besar bangunannya

Tidak ada hubungan kejadian stunting dengan frekuensi ISPA maupun diare pada balita usia 12-48 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.. Kata Kunci: kejadian