• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioinsecticides Production by Bacillus thuringiensis Using Agroindustrial By Product in Solid Fermentation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioinsecticides Production by Bacillus thuringiensis Using Agroindustrial By Product in Solid Fermentation"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

KIRANA SANGGRAMI SASMITALOKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis Menggunakan Hasil Samping Agroindustri pada Kultivasi Media Padat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

(4)

KIRANA SANGGRAMI SASMITALOKA. Produksi Bionsektisida oleh Bacillus thuringiensis Menggunakan Hasil Samping Agroindustri pada Kultivasi Media Padat. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI dan MULYORINI RAHAYUNINGSIH.

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri yang digunakan untuk menghasilkan bioinsektisida dan diaplikasikan pada pertanian organik untuk menggantikan pemakaian insektisida kimia. Pada proses fermentasi, mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, dan mineral untuk proses pertumbuhannya. Komposisi media berpengaruh terhadap produksi bioinsektisida terutama terhadap pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. Hasil samping agroindustri mengandung komponen - komponen nutrient kompleks yang diperlukan sebagai substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Penelitian ini bertujuan mengkaji kemampuan Bacillus thuringiensis

menggunakan kombinasi substrat sumber C (onggok, kulit kopi, fraksi pati iles-iles, dan ampas sagu) dan sumber N (ampas tahu, bungkil kacang tanah, bungkil inti sawit, dan ampok jagung) dalam memproduksi bioinsektisida menggunakan kultivasi media padat. Parameter utama untuk menetapkan sumber karbon dan nitrogen yang tepat adalah nilai LC50 dan potensi produk bioinsektisida.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu karakterisasi substrat, karakterisasi isolat dan produksi bioinsektisida. Karakterisasi substrat dilakukan untuk menganalisis kandungan komponen proksimat dan karakteristik fisik berupa aw,

densitas kamba dan water holding capacity. Isolat yang digunakan terdiri dari tiga galur, yaitu Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Bacillus thuringiensis subsp.

berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Karakteristik isolat meliputi kemampuan selulolitik, amilolitik, dan kemampuan dalam pembentukan sel. Tahap produksi bioinsektisida dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pengaruh jenis substrat sumber karbon, dan pengaruh jenis substrat sumber nitrogen terhadap pembentukan bioinsektisida, serta produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih pada skala 2 kg.

Substrat sumber karbon memiliki kandungan komponen utama berupa karbohidrat (50.7 – 65.9 %), total gula sederhana (23.5 – 30.5 %), serat kasar (11.3 – 31.4 %), serta mengandung protein (0.5 – 11.5 %). Substrat sumber nitrogen memiliki kadar karbohidrat (25.1 – 59.4 %), total gula sederhana (10.5 – 25.1 %), kadar serat (6.5 – 37.4 %), dan kadar protein yang tinggi (7.1 – 24.9 %). Substrat sumber nitrogen memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan substrat sumber karbon.

(5)

menghasilkan toksisitas tertinggi dengan nilai LC50 0.07 µg/ml dan potensi

bioinsektisida 11429 IU/mg sedangkan kultivasi Bacillus thuringiensis subsp.

israelensis menghasilkan toksisitas tertinggi dengan nilai LC50 0.05 µg/ml dan

potensi bioinsektisida 16000 IU/mg. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

memiliki kemampuan amilolitik yang tinggi sehingga pada pemilihan substrat sumber karbon, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai lebih unggul pada substrat onggok yang menghasilkan toksisitas tertinggi dengan nilai LC50 0.09

µg/ml dan potensi bioinsektisida 8889 IU/mg.

Substrat yang cocok untuk kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai adalah kombinasi antara onggok (sumber karbon) dan bungkil inti sawit (sumber nitrogen) yang menghasilkan toksisitas tertinggi dengan nilai LC50 0.04

µg/ml dan potensi bioinsektisida 20000 IU/mg. Substrat yang cocok untuk kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner adalah kombinasi antara kulit kopi (sumber karbon) dan bungkil inti sawit (sumber nitrogen) yang menghasilkan toksisitas tertinggi dengan nilai LC50 0.02 µg/ml dan potensi

bioinsektisida 40000 IU/mg.Substrat yang cocok untuk kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. israelensis adalah kombinasi antara kulit kopi (sumber karbon) dan bungkil kacang tanah (sumber nitrogen) yang menghasilkan toksisitas tertinggi dengan nilai LC50 0.02 µg/ml dan potensi bioinsektisida 40000 IU/mg.

Pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih pada skala produksi 2 kg/batch, nilai LC50 mengalami

kenaikan yang berarti terjadi penurunan toksisitasnya. Nilai LC50 untuk kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok dan bungkil inti sawit sebesar 2.63 µg/ml, nilai LC50 kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil inti sawit sebesar 1.28 µ g/ml, dan nilai LC50 untuk kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. israelensis pada kombinsi substrat kulit kopi dan bungkil kacang tanah sebesar 0.67 µg/ml.

(6)

KIRANA SANGGRAMI SASMITALOKA. Bioinsecticides Production by

Bacillus thuringiensis Using Agroindustrial By Product in Solid Fermentation. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI and MULYORINI RAHAYUNINGSIH.

Bacillus thuringiensis is one of well-known bioinsectiside resources, and utilized in organic farming for the replacement of chemical insecticide. Substrate composition affect the bioinsecticides production. In fermentation process, microorganisms require water, carbon, nitrogen, and minerals for the growth. Substrate composition also affect the characteristics of bioinsecticides products, especially in growth, toxicity, and potential products. Agroindustrial by product contains the necessary complex nutrients components as a substrate for the growth of microorganisms.

This research aimed to assess the ability of Bacillus thuringiensis using substrate combination of carbon source (onggok, pulp of coffee, starch fractions of iles-iles, and sago’s waste) and nitrogen source (tofu’s waste, peanut meal, palm kernel cake, and corn hominy) in bioinsecticides production using solid media cultivation. The main parameters to select the carbon and nitrogen sources are LC50 value and potential bioinsecticides products.

The research consisted of three stages, there were substrates characterization, microorganisms characterization, and bioinsecticides production. Substrates characterization was conducted to analyze proximates content and physical characteristics such as aw, bulk density, and water holding capacity.

Microorganisms that was used consisted of three strains, there were Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Microorganisms characteristics includes the ability of cellulolytic, amylolytic, and ability of the cell production. Bioinsecticides production stages was divided into three stages, there were influence of carbon source substrates, and nitrogen source substrates for bioinsecticides production, and the influence of bioinsecticides production using carbon and nitrogen sources that were selected on a scale of 2 kg.

Carbon source substrates have main component contents like carbohydrate (50.7 – 65.9 %), total simple sugars (23.5 – 30.5 %), crude fiber (11.3 – 31.4 %), and protein (0.5 – 11.5 %). Nitrogen source substrates have carbohydrate (25.1 – 59.4 %), total simple sugars (10.5 – 25.1 %), crude fiber (6.5 – 37.4 %), and high protein (7.1 – 24.9 %). Nitrogen source substrates has a higher protein content than the carbon source substrates.

(7)

with LC50 value of 0.05 µg/ml and potency of 16000 IU/mg. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai has high amylolytic capability thus in the carbon source selection, cultivation of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai can produce the highest toxicity with LC50 value of 0.09 µg/ml and potency of 8889 IU/mg.

Suitable substrates for the cultivation of Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai is combination of onggok (carbon source) and palm kernel cake (nitrogen source) that produced highest toxixity (LC50 value) of 0.04 µg/ml and potency of

20000 IU/mg. Suitable substrates for the cultivation of Bacillus thuringiensis

subsp. berliner is combination of pulp of coffee (carbon source) and palm kernel cake (nitrogen source) that produced highest toxixity (LC50 value) of 0.02 µg/ml

and potency of 40000 IU/mg. Suitable substrates for the cultivation of Bacillus thuringiensis subsp. israelensis is combination of pulp of coffee (carbon source) and peanut meal (nitrogen source) that produced highest toxixity (LC50 value) of

0.02 µg/ml and potency of 40000 IU/mg.

Bioinsecticides production using selected carbon and nitrogen substrates on a scale of 2 kg/batch, LC50 values increased which means a decrease in toxicity.

LC50 values for Bacillus thuringiensis subsp. aizawai cultivation using

combination of onggok and palm kernel cake is 2.63 µg/ml, LC50 values for Bacillus thuringiensis subsp. berliner cultivation using combination of pulp of coffee and palm kernel cake is 1.28 µg/ml, and LC50 values for Bacillus thuringiensis subsp. israelensis cultivation using combination of pulp of coffee and peanut meal is 0.67 µg/ml

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

MENGGUNAKAN HASIL SAMPING AGROINDUSTRI

PADA KULTIVASI MEDIA PADAT

KIRANA SANGGRAMI SASMITALOKA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Nama : Kirana Sanggrami Sasmitaloka

NIM : F351110091

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Diketahui oleh,

Tanggal Ujian: 24 Januari 2014 Tanggal Lulus: Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi

Ketua

Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi Anggota

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(12)

Alhamdulillahirrabbil’alamin. Puji syukur penulis sampaikan ke hadirat

Allah SWT yang telah memberikan karunia sehingga penyusunan Tesis dengan

judul “ Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis Menggunakan Hasil

Samping Agroindustri pada Kultivasi Media Padat” telah dapat diselesaikan.

Penyusunan tesis ini merupakan bagian dari salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat dukungan bimbingan berbagai pihak. Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Machfud, MS, selaku Ketua Program Studi

2. Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing 3. Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi, selaku Anggota Komisi

Pembimbing

4. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Dosen Penguji Luar Komisi 5. Teknisi laboratorium dan staf TIP

6. Suami, Erri Dwi Herdianto dan putri tercinta Husna Dzakia Amani atas keleluasaan menuntut ilmu, dukungan dan doa

7. Abi dan Umi atas motivasi, kesabaran dan doa, serta kakak dan adik yang selalu memberikan kekuatan

8. Teman-teman TIP IPB angkatan 2011

9. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya masih banyak terdapat kekurangan sehingga perlu adanya perbaikan pada penelitian sejenis yang akan datang. Semoga karya kecil ini dapat berperan pada kemajuan khazanah ilmu pengetahuan. Aamiin...

(13)

PRAKATA…...………. ix

2.3 Tempat dan Waktu Penelitian... 6

2.4 Metode Penelitian... 7

2.4.1 Karakterisasi Substrat... 7

2.4.2 Karakterisasi Isolat Bacillus thuringiensis... 7

2.4.3 Penyiapan Inokulum... 7

2.4.4 Produksi Bioinsektisida... 8

2.4.4.1 Pengaruh Jenis Substrat Sumber Karbon Terhadap Kemampuan Memproduksi Bioinsektisida... 8

2.4.4.2 Pengaruh Jenis Substrat Sumber Nitrogen Terhadap Kemampuan Memproduksi Bioinsektisida... 9

2.4.4.3 Produksi Bioinsektisida Menggunakan Substrat Sumber Karbon dan Niitrogen yang Terpilih... 9

2.4.4.4 Analisis Statistik... 9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN... 10

3.1 Karakteristik Substrat... 10

3.2 Karakteristik Isolat... 12

3.2.1 Kemampuan Amilolitik... 12

3.2.2 Kemampuan Selulolitik... 13

3.2.3 Kemampuan Pembentukan Sel... 13

3.2.3.1 Jumlah Sel Hidup... 13

3.2.3.2 Jumlah spora... 14

3.3 Pengaruh Jenis Substrat Terhadap Kemampuan Memproduksi Bioinsektisida... 15

3.4 Produksi Bioinsektisida Menggunakan Substrat Sumber Karbon dan Nitrogen yang Terpilih... 32

(14)

Tabel 1.1 Komponen Kimia dari Limbah Agroindustri...…... 2 Tabel 1.2 Karakteristik Produk Bioinsektisida dengan Galur dan

Media Berbeda... ... 2 Tabel 2.1 Komposisi Mineral...………... 8 Tabel 3.1 Komposisi Kimia dan Sifat Fisik Hasil Samping

Agroindustri... 10 Tabel 3.2 Hasil Pengujian Indeks Potensial Ketiga Isolat Bacillus

thuringiensis terhadap Kemampuan Amilolitik dan

Selulolitik... 12 Tabel 3.3 Pengaruh Substrat Sumber Karbon Terhadap Kinerja

Fermentasi Bacillus thuringiensis Menggunakan Urea sebagai Substrat Sumber Nitrogen dengan C/N Rasio

7... 16 Tabel 3.4 Tipe Patogenitas dari Bacillus thuringiensis... 20 Tabel 3.5 Pengaruh Substrat Sumber Nitrogen Terhadap Kinerja

Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Menggunakan Onggok sebagai Substrat Sumber Karbon

dengan C/N Rasio 7... 26 Tabel 3.6 Pengaruh Substrat Sumber Nitrogen Terhadap Kinerja

Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. Berliner dan

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Menggunakan Kulit Kopi sebagai Substrat Sumber Karbon dengan

C/N Rasio 7... 26 Tabel 3.7 Hasil Pengujian pada Produksi Bioinsektisida

Menggunakan Substrat Sumber Karbon dan Nitrogen

(15)

Gambar 3.1 Kurva Pertumbuhan Bacillus thuringiensis pada Media

Nutrient Broth.... 14 Gambar 3.2 Kurva Pertumbuhan Spora Bacillus thuringiensis pada

Media Nutrient Broth.... 15 Gambar 3.3 Hubungan antara Jumlah Sel Hidup dengan Jumlah

Spora yang Dihasilkan pada Kultivasi Bacillus

thuringiensis dengan C/N Rasio 7... 30 Gambar 3.4 Hubungan antara LC50 dengan Jumlah Spora yang

Dihasilkan pada Kultivasi Bacillus thuringiensis dengan

C/N Rasio 7... 31 Gambar 3.5 Hubungan antara LC50 dengan Jumlah Sel Hidup yang

Dihasilkan pada Kultivasi Bacillus thuringiensis dengan

C/N Rasio 7... 31 Gambar 5.1 Prosedur Analisis Jumlah Spora Hidup... 47 Gambar 5.2 Prosedur Analisis Pengamatan Jumlah Sel dengan

(16)

Lampiran 1 Prosedur Karakterisasi Substrat...…... 44 Lampiran 2 Metode Analisis Pra dan Pasca Kultivasi... 47 Lampiran 3 Contoh Perhitungan Komposisi Media Fermentasi pada

Substrat Sumber Karbon... 50 Lampiran 4 Contoh Perhitungan Komposisi Media Fermentasi pada

Substrat Sumber Nitrogen... 51 Lampiran 5 Contoh Perhitungan Air yang Ditambahkan Supaya

Kondisi Fermentasi mencapai aw 0.92...... 52

(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bioinsektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya adalah bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis (Bt) yang bersifat aman karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama (Bravo 1997).

Pada proses fermentasi, mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, dan unsur mineral untuk proses pertumbuhannya. Hasil samping pertanian memiliki komponen-komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioinsektisida dapat diproduksi menggunakan substrat berupa hasil samping agroindustri seperti onggok (Rahayuningsih et al. 2007), air kelapa (Putrina dan Fardedi 2007; Chilcott dan Pillai 1995; Blondine et al. 1999), air rendaman kedelai (Putrina dan Fardedi 2007; Blondine et al. 1999), dan molases (Soesanto 1992). Limbah agroindustri mengandung komponen karbon dan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Komponen kimia dari limbah agroindustri tersebut disajikan pada Tabel 1.1.

Komposisi media berpengaruh terhadap produksi bioinsektisida. Mummigati dan Raghunathan (1990) menyatakan bahwa komposisi media berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas dan potensi produk Bacillus thuringiensis. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rahayuningsih et al. (2007) yang menyebutkan bahwa kombinasi faktor-faktor jenis dan konsentrasi sumber karbon, jenis dan konsentrasi sumber nitrogen, rasio C/N serta suplementasi mineral berpengaruh terhadap toksisitas dan kristal protein yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu diperhitungkan perbandingan karbon dan nitrogen pada media untuk produksi bioinsektisida. Farrera et al. (1998) menjelaskan bahwa keseimbangan rasio C/N secara langsung berpengaruh pada produksi kristal protein. Hasil investigasinya menunjukan bahwa pada kisaran perbandingan C/N dari 3:1 sampai 11:1 untuk fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki

HD-73, walaupun jumlah spora tertinggi diperoleh pada perbandingan rasio 4:1 tetapi konsentrasi protein kristal tertinggi diperoleh pada rasio C/N 7:1.

(18)

Umumnya, bioinsektisida diproduksi menggunakan kultivasi media cair. Pada penelitian ini, bioinsektisida diproduksi pada kultivasi media padat menggunakan hasil samping agroindustri sebagai substrat sumber karbon dan nitrogen. Hal ini karena sifat dari bakteri yang mendukung kultivasi media padat, yaitu aerobik fakultatif (tidak mutlak memerlukan oksigen), motil (bergerak), spora lebih cepat terbentuk dibandingkan pada kultivasi media cair, dan produk dapat digunakan secara langsung. Sisa substrat dapat berfungsi sebagai pelindung

Bacillus thuringiensis dan attractant.

Tabel 1.1 Komponen Kimia dari Limbah Agroindustri

Limbah Agroindustri

Syaefullah (1990), e) Zainuddin dan Murtisari (1995), f) Idris et al.

(1998), g) Lahoni (2003), h) Iriani et al.(2012)

(19)

Selain kondisi fermentasi dan komposisi medium, galur mikroorganisme juga berpengaruh pada karakteristik produk bioinsektisida yang dihasilkan, seperti pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk. Karakteristik dari produk bioinsektisida dengan galur dan media yang berbeda disajikan pada Tabel 1.2.

Dulmage (1981) mengemukakan bahwa setiap galur dari Bacillus thuringiensis akan memiliki nilai potensi yang berbeda karena susunan unik endotoksin yang dimiliki masing-masing galur. Komplek spora dan kristal protein yang optimum dapat diperoleh jika terdapat kesesuaian komponen media dan galur Bacillus thuringiensis yang digunakan. Nilai parameter terbaik untuk suatu galur tidak sama dengan galur yang lain.

Umumnya, bioinsektisida diproduksi menggunakan kultivasi media cair. Pada penelitian ini, bioinsektisida diproduksi pada kultivasi media padat menggunakan hasil samping agroindustri sebagai substrat sumber karbon dan nitrogen.

1.2Perumusan Masalah

Produksi bioinsektisida dipengaruhi oleh galur bakteri, komposisi media, dan kondisi fermentasinya. Komplek spora dan kristal protein yang optimum diperoleh berdasarkan kesesuaian nutrisi dan galur Bacillus thuringiensis yang digunakan. Nilai parameter terbaik untuk suatu galur tidak sama dengan galur yang lain, tetapi secara umum kondisi kultivasi harus dioptimalkan untuk memperoleh jumlah spora yang banyak, konsentrasi protein kristal yang tinggi dan daya toksisitas yang tinggi pula. Karbon dan nitrogen merupakan komponen penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Kedua komponen tersebut terdapat dalam hasil samping agroindustri sehingga dapat digunakan sebagai substrat dalam pertumbuhan mikroorganisme. Rasio C/N terbaik dalam kultivasi Bacillus thuringiensis diperoleh pada C/N 7:1. Kultivasi dilakukan pada media padat karena pada kultivasi media padat akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dan dapat menggunakan substrat yang berasal dari hasil samping pertanian.

1.3Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengkaji kemampuan Bacillus thuringiensis dari beberapa galur (Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Bacillus thuringiensis

(20)

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang kemampuan Bacillus thuringiensis untuk memproduksi bioinsektisida menggunakan hasil samping pertanian sebagai substrat pada kultivasi media padat.

1.5Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:

1. Media kultivasi yang digunakan dalam produksi bioinsektisida adalah bahan pertanian merupakan sumber karbon (ampas sagu, iles-iles onggok, dan kulit kopi) dan sumber nitrogen (ampok jagung, ampas tahu, bungkil kelapa sawit, dan ampas kacang tanah).

2. Mikroorganisme yang digunakan adalah Bacillus thuringiensis dari galur

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Bacillus thuringiensis subsp.

berliner, dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. 3. Produksi bioinsektisida menggunakan kultivasi media padat.

4. Seleksi Bacillus thuringiensis pada media kultivasi berdasarkan daya toksisitas paling tinggi.

5. Mikroorganisme yang digunakan memiliki tipe kristal protein yang berbeda, sehingga untuk uji toksisitas digunakan serangga target ulat kubis (Croccidolomia binotalis) untuk mengetahui keefektifan kristal protein dari

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dan Bacillus thuringiensis subsp.

(21)

2

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Kerangka Penelitian

Penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan. Penggunaan bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai bahan bioinsektisida hanya sedikit menimbulkan kekebalan serangga dan aman terhadap lingkungan sekitar.

Produksi bioinsektisida dipengaruhi oleh galur bakteri, media, dan kondisi fermentasinya. Nilai parameter terbaik untuk suatu galur tidak sama dengan galur yang lain, tetapi secara umum kondisi kultivasi harus dioptimalkan untuk memperoleh jumlah spora yang banyak, konsentrasi protein kristal yang tinggi dan daya toksisitas yang tinggi pula (Dulmage et al. 1990). Hal ini diperkuat oleh Tabashnik (1992), Asano dan Hori (1995) serta Rahayuningsih et al. (2007) yang menyatakan bahwa sinergi antara masing-masing komposisi endotoksin yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda pula sehingga perbedaan galur dan perbedaan media fermentasi yang digunakan akan menghasilkan karakteristik bahan aktif yang berbeda pula. Hasil penelitian Farrera

et al. (1998) dan Nelly (2012) menjelaskan bahwa konsentrasi kristal protein yang tertinggi diperoleh pada rasio C/N 7:1.

Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel.Quinlan dan Lisansky dalam Dellweg (1985) juga menambahkan bahwa penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak akan menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak akan menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan menjaga keseimbangan antara senyawa gula dan protein.

(22)

Karakterisasi Media Kultivasi

Karakterisasi Isolat

Produksi Bionsektisida

Karakterisasi Bionsektisida Mulai

Selesai

Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian

2.2Bahan dan Alat

Isolat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Bacillus thuringiensis subsp. berliner, dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Sebagai substrat dalam penelitian ini adalah ampas sagu, onggok, fraksi pati iles-iles, kulit kopi, ampas tahu, bungkil kelapa sawit, ampas kacang tanah, dan ampok jagung. Mineral yang digunakan adalah MgSO4.7H2O, MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, dan CaCO3.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah otoklaf, aw-meter,

pH-meter, oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, desikator, spektrofotopH-meter,

freezer, loop inokulasi, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, dan gelas piala.

2.3Tempat dan Waktu Penelitian

(23)

2.4Metode Penelitian

2.4.1 Karakterisasi Substrat

Bahan-bahan yang digunakan sebagai substrat dikeringkan terlebih dahulu dan digiling hingga lolos 20 mesh. Karakterisasi substrat dilakukan untuk menganalisis kandungan komponen proksimat dan karakteristik fisik berupa aw,

densitas kamba dan water holding capacity. Karakterisasi substrat dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Prosedur analisis terlampir pada Lampiran 1.

2.4.2 Karakterisasi Isolat Bacillus thuringiensis

Parameter pada karakterisasi isolat meliputi kemampuan selulolitik, amilolitik, dan kemampuan dalam pembentukan sel. Isolat yang telah murni ditumbuhkan pada media starch agar dan CMC agar. Pertumbuhan isolat pada

starch agar digunakan untuk mengetahui kemampuan amilolitik isolat sedangkan pertumbuhan isolat pada CMC agar digunakan untuk mengetahui kemampuan selulolitik isolat. Media CMC agar dicampur dengan congo red 0.1% (0.1 g

congo red dalam 100 ml alkohol 96%). Isolat kemudian diinkubasikan selama ±48 jam pada suhu ruangan. Isolat pada media starch agar ditetesi dengan iodin. Isolat yang telah ditetesi, didiamkan selama 15 menit, kemudian dicuci menggunakan NaCl 0.2 M dan disimpan dalam suhu ruang (30±2oC) selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar koloni dan diameter koloni. Seleksi dilakukan berdasarkan nisbah zona bening terhadap diameter koloni pada media starch agar atau CMC agar. Nilai indeks potensial (IP) bakteri dapat dihitung dengan pengukuran zona bening (ϕ zona bening) yang terbentuk di sekitar koloni dikurangi diameter koloni (ϕ koloni) dibagi diameter koloni (ϕ koloni) (Madigan dan Martinko 2006).

��= �� � � � − � �

� �

Kemampuan pembentukan sel dari setiap galur isolat dapat diketahui melalui uji TPC dan VSC. Isolat dari setiap galur akan ditumbuhkan pada media sederhana nutrient broth dan selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap TPC dan VSC.Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

2.4.3 Penyiapan Inokulum

Inokulum atau kultur bibit untuk menginokulasi medium fermentasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Capalbo et al. (2001). Satu lup biakan Bacillus thuringiensis diinokulasikan dalam 50 ml medium nutrient broth

(24)

2.4.4 Produksi Bioinsektisida

2.4.4.1 Pengaruh Jenis Substrat Sumber Karbon Terhadap Kemampuan Memproduksi Bioinsektisida

Isolat Bacillus thuringiensis ditumbuhkan pada media kultivasi yang merupakan sumber karbon, yaitu fraksi pati iles-iles, onggok, ampas sagu dan kulit kopi, dan sumber nitrogen urea. Penelitian didesain menggunakan rasio C/N 7 pada setiap media kultivasi, berdasarkan hasil penelitian Farrera et al. (1998) dan Nelly (2012), serta nilai aw 0.92 (Capalbo et al. 2001). Komposisi mineral

(trace element) ditambahkan sesuai dengan metode Dulmage dan Rhodes (1971), seperti tersaji pada Tabel 2.1. Fermentasi dilakukan pada labu erlenmeyer 250 ml, pH awal media 6.8 – 7.2, bobot media 25 g dan diinkubasi selama 96 jam dalam inkubator pada suhu 30oC (Capalbo et al. 2001). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah sel hidup yang dihitung dengan metode TPC (total plate count), jumlah spora yang dihitung dengan metode VSC (viable spore count) dan toksisitas yang dilakukan dengan metode celup daun (Abizar dan Prijono 2010) sehingga diperoleh nilai LC50, serta susut bobot dan penurunan kadar serat dari substrat. Uji

hayati dilakukan untuk mengetahui keefektifan (toksisitas) bioinsektisida dalam membunuh serangga sasaran. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis serangga sasaran, yaitu ulat kubis (Croccidolomia binotalis) yang digunakan untuk mengetahui keefektifan kristal protein dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

dan Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan nyamuk Aedes aegepty yang digunakan untuk mengetahui keefektifan kristal protein dari Bacillus thuringiensis

subsp. israelensis. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Prosedur analisis pra dan pasca kultivasi disajikan pada Lampiran 2. Contoh perhitungan komposisi media fermentasi pada substrat sumber nitrogen disajikan pada Lampiran 3.

Aktivitas insektisida pada bioinsektisida diukur dengan bioasai. Bioasai merupakan salah satu cara untuk menentukan toksisitas bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pengujian bioasai dilakukan terhadap serangga uji sebanyak 10 ekor dan dibiarkan selama 4 hari. Hasil pengujian kemudian dihitung menggunakan program Probit Quant (Yamamoto et al. 1983) untuk memperoleh nilai LC50. LC50 hanya menunjukkan potensi relatif produk karena

(25)

Potensi bioinsektisida = LC50 standar x Potensi standar (� )

LC50 sampel

(Vandekar dan Dulmage, 1982)

2.4.4.2 Pengaruh Jenis Substrat Sumber Nitrogen Terhadap Kemampuan Memproduksi Bioinsektisida

Pada tahapan ini, isolat ditumbuhkan pada media kultivasi yang terdiri atas substrat sumber karbon dan nitrogen. Sumber karbon berasal dari substrat terpilih pada tahap sebelumnya, sedangkan sumber nitrogen yang digunakan berasal dari ampok jagung, ampas tahu, bungkil sawit, dan bungkil kacang tanah. Kondisi fermentasi dan pengamatan dilakukan sama seperti tahap sebelumnya. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Contoh perhitungan komposisi media fermentasi pada substrat sumber nitrogen disajikan pada Lampiran 4 sedangkan contoh perhitungan air yang ditambahkan supaya kondisi fermentasi mencapai aw 0.92 disajikan pada Lampiran 5.

2.4.5 Produksi Bioinsektisida Menggunakan Substrat Sumber Karbon dan Nitrogen yang Terpilih

Perbanyakan produksi bioinsektisida dilakukan berdasarkan media kultivasi (sumber karbon dan nitrogen) yang terpilih untuk setiap galur Bacillus thuringiensis. Fermentasi dilakukan menggunakan metode Capalbo et al. (2001). Skala fermentasi ditingkatkan sebanyak 2 kg dan diinkubasi selama 96 jam pada suhu 30oC. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

2.4.6 Analisis Statistik

Data yang diperoleh berupa jumlah sel hidup, jumlah spora, susut bobot, penurunan kadar serat, penurunan kadar pati dan bioassay diolah menggunakan sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf

nyata 5% (α = 0,05%) menggunakan paket program SPSS (IBM 2011). Data uji toksisitas (bioassay) yang diperoleh juga diolah dengan metode probit untuk menghitung nilai LC50 (lethal concentration) pada setiap sampel menggunakan

(26)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Substrat

Bahan hasil pertanian dan hasil samping agroindustri dapat digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan pada kultivasi Bacillus thuringiensis.

Beberapa hasil samping pertanian yang dapat digunakan sebagai substrat sumber karbon adalah onggok, kulit kopi, fraksi pati iles-iles, dan ampas sagu. Onggok merupakan limbah padat agroindustri pada pembuatan tepung tapioka. Komponen penting dalam onggok adalah pati dan serat kasar, sedangkan lemak dan protein terdapat dalam jumlah kecil. Nuraini et al. (2008) menyatakan bahwa onggok dapat dijadikan sebagai sumber karbon dalam media fermentasi karena onggok masih banyak mengandung pati (75.19 %) yang tidak terekstrak dan protein kasar yang rendah (1.04 %).

Kulit kopi merupakan hasil samping industri pengolahan kopi yang diperoleh dari proses pengupasan biji kopi utuh. Kulit kopi mengandung serat yang tinggi. Hasil penelitian Zainuddin dan Murtisari (1995) menyatakan bahwa kulit kopi mengandung komponen serat kasar sebesar 21.74%. Selain onggok dan kulit kopi, pati iles-iles dan ampas sagu juga dapat digunakan sebagai substrat sumber karbon untuk pertumbuhan pada kultivasi Bacillus thuringiensis. Pati iles-iles merupakan hasil samping industri glukomanan, yang dihasilkan sebagai hasil samping proses pengayakan. Syaefullah (1990) menyatakan bahwa pati iles-iles mengandung komponen utama pati sebesar 34%.

Ampas sagu merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses ekstraksi pati sagu. Menurut Asben et al. (2012), ampas sagu memiliki kandungan pati yang masih tinggi yaitu 51.53% dengan selulosa sebesar 21.53% dan hemiselulosa sebesar 14.26% sehingga ampas sagu juga dapat digunakan sebagai substrat sumber karbon.

Hasil samping pertanian juga mengandung komponen protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Ampas tahu merupakan hasil samping dalam proses pembuatan tahu yang diperoleh dari hasil penyaringan susu kedelai. Ampas tahu masih mengandung protein yang relatif tinggi, karena pada proses pembuatan tahu tidak semua bagian protein bisa diekstrak, terutama jika menggunakan proses penggilingan sederhana dan tradisional. Nuraini et al. (2008) menyatakan bahwa ampas tahu mengandung protein kasar sebesar 28.36 %.

Bungkil kacang tanah merupakan hasil samping penggilingan biji kacang tanah setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis atau secara kimia menggunakan pelarut. Bungkil kacang tanah mengandung komponen protein yang tinggi, yaitu sebesar 46 % (Lahoni 2003).

Bungkil inti sawit (palm kernel cake) merupakan hasil samping proses pemisahan minyak inti sawit dari biji inti sawit. Bungkil inti sawit kaya akan kandungan serat dan protein. Menurut Keong (2004), bungkil inti sawit mengandung komponen serat sebesar 15.12 % dan protein kasar sebesar 16.86%.

(27)

Bagian jagung yang paling banyak menjadi ampok jagung adalah endosperma. Ampok jagung kaya akan komponen pati dan protein. Hasil penelitian Iriani et al.

(2012) menyebutkan bahwa ampok jagung mengandung pati sebesar 63.21 % dan protein sebesar 10.2 %.

Berdasarkan pengujian (Tabel 3.1), substrat sumber karbon (onggok, kulit kopi, fraksi pati iles-iles, dan ampas sagu) memiliki kandungan komponen utama berupa karbohidrat (50.7 – 65.9 %), total gula sederhana (23.5 – 30.5 %), serat kasar (11.3 – 31.4 %), serta mengandung protein (0.5 – 11.5 %). Substrat ampas tahu, bungkil kacang tanah, bungkil inti sawit, dan ampok jagung memiliki kadar karbohidrat yang tinggi (25.1 – 59.4 %), total gula sederhana (10.5 – 25.1 %), kadar serat yang tinggi (6.5 – 37.4 %) serta kadar protein yang tinggi (7.1 – 24.9 %). Substrat sumber nitrogen memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan substrat sumber karbon.

Secara umum nilai water holding capacity (1.2 – 9.8 %) berbanding terbalik dengan nilai densitas kambanya (0.5 – 0.7 g/ml). Semakin besar nilai water holding capacity maka akan semakin kecil nilai densitas kambanya. Hasil analisis aktivitas air menunjukkan bahwa kedelapan substrat yang digunakan memiliki nilai aw yang bervariasi dari 0.50 – 0.69. Oleh karena itu diperlukan penambahan

air pada media kultivasi sampai diperoleh nilai aw 0.92. Contoh perhitungan

penambahan air pada media kultivasi sampai diperoleh nilai aw 0.92 disajikan

pada Lampiran 5.

Tabel 3.1 Komposisi Kimia dan Sifat Fisik Hasil Samping Agroindustri

Hasil Samping

Hasil analisis tersebut bermanfaat untuk menentukan nilai nisbah karbon dan nitrogen pada media. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nelly (2012) dan Farrera et al. (1988), rasio C/N terbaik dalam kultivasi Bacillus thuringiensis diperoleh pada rasio C/N 7 karena menghasilkan produk dengan kristal protein tertinggi, meskipun jumlah spora akan semakin tinggi pada rasio C/N yang lebih rendah lagi. Kombinasi faktor-faktor jenis dan konsentrasi sumber karbon, jenis dan konsentrasi sumber nitrogen, rasio C/N serta serta suplementasi mineral berpengaruh terhadap toksisitas dari kristal protein yang dihasilkan (Rahayuningsih et al. 2007).

(28)

seperti protein, karbohidrat, garam, dan sebagainya (Winarno 1997). Bahan yang memiliki nilai water holding capacity yang besar juga memiliki kandungan polisakarida (pati, selulosa, pektin, dan sebagainya) besar sehingga kemampuan mengikat airnya akan meningkat dan porositas bahannya menjadi berkurang. Ampas sagu memiliki nilai water holding capacity yang terbesar (Tabel 3.1). Menurut Asben et al. (2012), ampas sagu memiliki kandungan pati yang masih tinggi yaitu 51.53% dengan selulosa sebesar 21.53% dan hemiselulosa sebesar 14.26%. Kandungan polisakarida yang tinggi mengakibatkan ampas sagu memiliki water holding capacity yang besar dan porositas yang kecil sehingga akan menghambat suplai oksigen yang diperlukan untuk pertumbuhan isolat.

3.2 Karakteristik Isolat

3.2.1 Kemampuan Amilolitik

Bacillus thuringiensis adalah bakteri heterotrof yang mampu menghasilkan enzim amilase (Zahidah dan Shovitri 2013; Naiola 2008; Sivaramakrishnan et al.

2006; Rehm dan Reed 1999; Benhard dan Utz dalam Enwistle et al. 1993) dan enzim selulase (Zahidah dan Shovitri 2013). Bahkan menurut Sivaramakrishnan et al. (2006), Bacillus merupakan genus bakteri penghasil enzim amilase ekstraseluler terbesar. Beberapa spesies dari genus ini, seperti B. subtilis, B. stearothermophilus, B. licheniformis dan B. amyloliquefaciens seringkali digunakan untuk memproduksi enzim amilase secara komersial untuk berbagai keperluan. Kemampuan menghasilkan amilase dan selulase diharapkan akan meningkatkan kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan substrat hasil pertanian yang kaya kandungan serat dan pati. Hasil pengujian indeks potensial dari ketiga galur isolat terhadap kemampuan amilolitik dan selulolitik disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Hasil Pengujian Indeks Potensial Ketiga Isolat Bacillus thuringiensis

terhadap Kemampuan Amilolitik dan Selulolitik

Isolat Indeks Potensial

Amilolitik Selulolitik

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai 4.0 ±0.6 1.8±0.2

Bacillus thuringiensis subsp. berliner 2.4±0.4 0.2±0.1

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis 2.0±0.6 3.0±0.9

(29)

sehingga pati yang telah terdegradasi tidak dapat berikatan dengan iodium dan menghasilkan zona bening di sekeliling koloni bakteri. Daerah yang patinya belum terhidrolisis akan berwarna biru ungu dikarenakan adanya ikatan antara pati dengan iodium. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai memiliki indeks potensial yang terbesar (4.0) sehingga isolat tersebut memiliki kemampuan amilolitik yang lebih besar dibandingkan dengan dua isolat lainnya.

3.2.2 Kemampuan Selulolitik

Zahidah dan Shovitri (2013) mengemukakan bahwa selain menghasilkan enzim amilase, isolat Bacillus thuringiensis juga menghasilkan enzim selulase. Menurut Crueger dan Crueger (1984), selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri atas kompleks endo-β-1,4-glukonase (CMCase, Cx selulase

endoselulase, atau carboxymethyl cellulase), kompleks ekso-β-1,4-glukonase (aviselase, selobiohidrolase, C1 selulase), dan β-1,4-glukosidase atau selobiase.

Enzim ini digunakan untuk menguraikan komponen selulosa pada suatu bahan. Hasil pengujian indeks potensial ketiga isolat Bacillus thuringiensis terhadap kemampuan selulolitiknya disajikan pada Tabel 3.2.

Berdasarkan hasil pengujian, Bacillus thuringiensis memiliki kemampuan amilolitik yang lebih besar (2.0 – 4.0) daripada kemampuan selulolitiknya (0.2 – 3.0). Selain itu, terdapat perbedaan nilai indeks potensial selulolitik yang cukup besar dari ketiga isolat tersebut (Tabel 3.2). Menurut Meryandini et al. (2009), setiap bakteri selulolitik menghasilkan kompleks enzim selulase yang berbeda-beda, tergantung dari gen yang dimiliki dan sumber karbon yang digunakan.

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis memiliki indeks potensial yang terbesar (3.0) sehingga isolat tersebut memiliki kemampuan selulolitik yang lebih besar dibandingkan dengan dua isolat lainnya.

3.2.3 Kemampuan Pembentukan Sel

3.2.3.1 Jumlah Sel Hidup

Produksi sel hidup, spora dan kristal protein pada proses kultivasi Bacillus thuringiensis dipengaruhi oleh ketersediaan sumber karbon dan nitrogen (Tirado-Montiel et al., 2001). Menurut Bideshi et al. (2010), ketika nutrisi dan kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhan bakteri, spora tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak dengan cara membelah diri. Jumlah sel hidup menunjukkan total sel vegetatif, spora yang sedang tumbuh dan jumlah spora, seperti disajikan pada Gambar 3.1.

Menurut Wang et al. (1978), pertumbuhan mikroorganisme pada media tertentu mempunyai empat fase dalam kurva pertumbuhannya, yaitu fase awal atau fase lag yang diikuti dengan fase eksponensial, fase stasioner dan fase penurunan (fase kematian). Pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

(30)

Pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. berliner mengalami fase awal diikuti fase eksponensial dimulai pada jam ke-0 sampai jam ke-36 dan masih mengalami fase stasioner sampai dengan jam ke-72 sedangkan pertumbuhan

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis mengalami fase awal yang diikuti fase eksponensial pada jam ke-0 sampai dengan jam ke-24. Fase stasioner terjadi setelah jam ke-24 dan terus berlangsung sampai dengan jam ke-60, kemudian mulai mengalami fase penurunan pada jam ke-72.

Ketiga galur Bacillus thuringiensis tidak mengalami fase awal (fase adaptasi). Hal ini terlihat dari jumlah sel hidup yang dihasilkan pada jam ke-0. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa pada jam ke-0 jumlah sel hidup dari tiga galur tersebut sudah mencapai 4 log CFU/g, sehingga dapat diperoleh informasi bahwa pada saat kultivasi ketiga galur Bacillus thuringiensis dalam keadaan aktif.

Secara umum, ketiga galur Bacillus thuringiensis mengalami fase stasioner antara jam ke-24 sampai jam ke-36. Fase stasioner ini mengindikasikan terbentuknya spora pada saat kultivasi, sehingga dapat diperoleh informasi bahwa spora pada ketiga galur Bacillus thuringiensis akan mulai terbentuk antara jam ke-24 sampai jam ke-36.

Gambar 3.1 Kurva Pertumbuhan Bacillus thuringiensis pada Media Nutrient Broth

3.2.3.2 Jumlah Spora Hidup

Jumlah spora hidup dihitung berdasarkan VSC (Viable Spore Count). Cepat lambatnya pembentukan spora bergantung pada lingkungan kultur. Pada umumnya spora akan terbentuk pada lingkungan yang kurang sesuai bagi sel misalnya nilai pH dan suhu ekstrim, kurangnya suplai makanan bagi sel serta kemungkinan lain yang menyebabkan kondisi lingkungan tidak sesuai. Selain itu, jumlah mineral yang ditambahkan ke dalam media kultivasi sangat mempengaruhi faktor jumlah spora yang terbentuk (Sukmadi et al. 1996).

(31)

Gambar 3.2 Kurva Pertumbuhan Spora Bacillus thuringiensis pada Media

Nutrient Broth

Pada kondisi kultivasi standar seperti kultivasi pada NB, pembentukan badan spora akan sempurna dalam waktu 24 jam setelah inokulasi (Rahayuningsih 2003). Pada Gambar 3.2, spora sudah terbentuk pada jam ke-12, tetapi spora baru terbentuk secara sempurna pada jam ke-24. Hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh dari Gambar 3.1. Pada saat kultivasi, ketiga galur Bacillus thuringiensis

dalam keadaann aktif sehingga pada jam ke-12 spora sudah terbentuk.

Jika dibandingkan dengan jumlah sel hidup yang disajikan pada Gambar 3.1, jumlah spora hidup memiliki nilai yang lebih kecil. Hal ini karena pada pengujian jumlah sel hidup, perhitungan dilakukan terhadap jumlah sel vegetatif dan jumlah spora, sedangkan pada pengujian jumlah spora hidup, hanya jumlah spora saja yang dihitung.

3.3 Pengaruh Jenis Substrat Terhadap Kemampuan Memproduksi Bioinsektisida

Mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral dan faktor pertumbuhan di dalam media tumbuhnya. Ketersediaan sumber karbon dan nitrogen dapat mempengaruhi jumlah sel hidup, spora dan kristal protein dalam proses kultivasi (Rahayuningsih et al. 2007; Tirado-Montiel et al.

2001; Mummigati dan Raghunathan 1990). Menurut Morris et al. (1996), medium fermentasi digunakan sebagai sumber bahan makanan bagi isolat selama masa fermentasi berlangsung. Karbon merupakan bahan utama untuk penyediaan energi (Dulmage dan Rhodes 1971).

Bacillus thuringiensis telah terbukti memiliki kemampuan amilolitik dan selulolitik. Enzim amilase dan selulase yang dihasilkan digunakan untuk

(32)

mengubah senyawa kompleks menjadi gula sederhana yang digunakan untuk pertumbuhan dan pembentukan produk. Pertumbuhan isolat diukur melalui jumlah sel hidup sedangkan pembentukan produk melalui pengujian jumlah spora dan nilai LC50 yang menggambarkan potensi kristal protein yang terbentuk.

Jumlah spora pada umumnya berpengaruh terhadap tingkat toksisitas bioinsektisida. Semakin banyak jumlah spora maka semakin banyak pula kristal protein yang dihasilkan sehingga akan mempengaruhi toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan.

Selama masa sporulasi pada akhir pertumbuhan eksponensial, Bacillus thuringiensis membentuk suatu bahan inklusi yang terdiri atas protein yang dikenal sebagai Insecticidal Crystal Proteins (ICPs), protein Cry atau δ -endotoksin yang sangat beracun pada berbagai hama pertanian yang penting. Kristal protein terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang

mengandung toksin (δ-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel selama 2 – 3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95 % dari keseluruhan komponen kristal terdiri atas protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5 % sisanya terdiri atas karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al. 1977).

Tabel 3.3 Pengaruh Substrat Sumber Karbon Terhadap Kinerja Fermentasi

Bacillus thuringiensis Menggunakan Urea sebagai Substrat Sumber Nitrogen dengan C/N rasio 7

Potensi Bioinsektisida (IU/mg) 8889a 4444a 226b 261c

Bacillus thuringiensis subsp. berliner

Potensi Bioinsektisida (IU/mg) 1739a 11429b 1081c 620d

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

Potensi Bioinsektisida (IU/mg) 1333a 16000b 160c 741d

(33)

Hasil pengujian pengaruh substrat sumber karbon terhadap kinerja fermentasi Bacillus thuringiensis disajikan pada Tabel 3.3. Berdasarkan analisis ragam yang didukung oleh hasil uji lanjut pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan jumlah sel hidup, jumlah spora, bioasai (LC50),

dan penurunan kadar serat berpengaruh secara nyata terhadap pemilihan substrat sumber karbon.

Secara umum pertumbuhan ketiga galur isolat Bacillus thuringiensis dalam keempat substrat sumber karbon dapat berkembang dengan baik. Kultivasi bioinsektisida menggunakan isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Tabel 3.3) menghasilkan jumlah sel hidup yang tinggi (10.0 - 11.3 log CFU/g), namun jumlah sel yang tertinggi dihasilkan pada substrat onggok (11.3 log CFU/g). Kultivasi menggunakan isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner (Tabel 3.3) dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Tabel 3.3) juga menghasilkan jumlah sel yang tinggi (9.0 – 12.3 log CFU/g). Pada kedua kultivasi tersebut, jumlah sel yang tertinggi dihasilkan pada substrat kulit kopi (12.2 – 12.3 log CFU/g). Berbedanya jumlah sel hidup pada masing-masing substrat ini disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrien pada media tersebut. Menurut Putrina dan Fardadi (2007), salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan Bacillus thuringiensis selain kondisi untuk pertumbuhan (suhu, pH, kadar air, aerasi dan agitasi) adalah kandungan nutrisi yang terdapat pada substrat.

Pada fase awal pertumbuhannya, isolat akan memanfaatkan gula sederhana yang cukup besar (10 – 30 %) dalam substrat (Tabel 3.1) untuk pertumbuhan sel karena pada fase ini amilase belum terbentuk. Pada fase stasioner, gula sederhana yang terdapat pada substrat mulai berkurang. Rehm dan Reed (1999) menyatakan bahwa pada kondisi ini substrat sederhana telah mulai habis sehingga akan terjadi penguraian sumber karbon dan nitrogen yang lebih kompleks seperti pati dan protein menjadi gula-gula sederhana dan asam amino.

Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan enzim amilase (Zahidah dan Shovitri 2013; Naiola 2008; Sivaramakrishnan et al. 2006; Rehm dan Reed 1999; Benhard dan Utz dalam Enwistle et al. 1993) dan enzim selulase (Zahidah dan Shovitri 2013). Bacillus thuringiensis memiliki enzim amilase yang mampu memecah pati menjadi gula sederhana tanpa harus dihidrolisis terlebih dahulu. Selain pati, Bacillus thuringiensis juga akan memanfaatkan selulosa yang terdapat pada substrat sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Selulosa merupakan biopolimer dari glukosa dengan rantai lurus yang dihubungkan dengan ikatan β -1,4 glikosida. Selulosa yang terdapat pada substrat berupa serat yang dapat dikonsumsi langsung tanpa harus dihidrolisis terlebih dahulu. Hal ini karena

Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana.

(34)

pada saat fase eksponensial akan berakhir yaitu pada saat dimulainya fase stasioner.

Ketika nutrisi dan kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan bakteri, spora akan tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak dengan cara membelah diri hingga satu atau lebih jenis faktor pada media mulai berkurang, baik itu gula-gula sederhana, asam amino, kadar oksigen, serta pH dan suhu yang ekstrim. Jumlah sel hidup menunjukkan total jumlah sel vegetatif dan jumlah spora yang dihasilkan, sehingga jumlah sel hidup akan lebih besar dibandingkan jumlah spora yang dihasilkan.

Pertumbuhan spora Bacillus thuringiensis pada keempat substrat sumber karbon secara umum berkembang dengan baik (7.2 – 10.8 log CFU/g). Pada umumnya, jumlah spora akan sebanding dengan jumlah sel hidup. Apabila jumlah sel hidup yang dihasilkan banyak, maka diharapkan jumlah spora yang dihasilkan juga akan banyak. Demikian pula sebaliknya, apabila jumlah sel hidup yang dihasilkan sedikit, maka jumlah spora yang dihasilkan juga akan sedikit. Akan tetapi, jumlah sel hidup yang dihasilkan lebih banyak daripada jumlah spora yang dihasilkan.

Jumlah spora hidup pada kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai yang terbanyak terdapat pada substrat onggok (10.8 log CFU/g). Pada kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner (10.1 log CFU/g) dan

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (9.1 log CFU/g), jumlah spora hidup yang terbanyak terdapat pada substrat kulit kopi.

Secara umum, pertumbuhan ketiga isolat dalam media NB lebih banyak dibandingkan pada media hasil samping agroindustri. Pada jam ke-36, jumlah sel hidup telah terbentuk cukup banyak (10 – 13 log CFU/g) sedangkan pada kultivasi media padat, jumlah sel hidup yang terbentuk pada jam ke-96 lebih sedikit (11-12 log CFU/g). Hal ini karena NB merupakan media yang mengandung semua senyawa esensial untuk pertumbuhan mikroba. NB dibuat dari ekstrak daging sapi yang mengandung pepton yaitu produk hidrolisis protein hewani seperti otot, liver, darah, susu, casein, gelatin dan kedelai. Selain itu terdapat pula yeast extract

yang kaya akan vitamin, mineral dan asam nukleat. Komponen yang terdapat dalam NB sangat mencukupi untuk pertumbuhan sel vegetatif Bacillus thuringiensis.

Pengaruh jenis galur terhadap jumlah spora juga dapat diamati dengan jelas. Pada substrat yang sama yaitu kulit kopi, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp.

berliner menghasilkan jumlah spora yang lebih banyak (10.1 log CFU/g) dibandingkan jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis

subsp. israelensis (9.1 log CFU/g). Hal ini karena kultivasi Bacillus thuringiensis

subsp. berliner pada substrat kulit kopi menghasilkan jumlah sel hidup yang lebih besar (12.3 log CFU/g) dibandingkan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (12.2 log CFU/g). Bacillus thuringiensis subsp. berliner memiliki kemampuan amilolitik yang lebih besar dibandingkan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis sehingga Bacillus thuringiensis subsp. berliner mampu menghidrolisis pati lebih banyak dibandingkan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis.

(35)

subsp. berliner (12.3 log CFU/g) dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

(12.2 log CFU/g) menggunakan substrat kulit kopi. Walaupun demikian, spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

menggunakan substrat onggok lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini diduga karena kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada substrat onggok menghasilkan spora yang lebih banyak dibandingkan jumlah sel vegetatifnya. Jumlah sel hidup terdiri dari jumlah spora dan sel vegetatif. Akan tetapi belum dapat dipastikan perbandingan antara jumlah spora dan sel vegetatif yang dihasilkan. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan substrat kulit kopi diduga menghasilkan jumlah sel vegetatif yang lebih banyak dibandingkan jumlah sporanya.

Pertumbuhan spora merupakan indikasi pembentukan δ-endotoksin sebagai produk aktif bioinsektisida. Informasi yang diperoleh dari tahap ini dapat digunakan untuk masa pemanenan dan uji daya toksisitas produk. Semakin besar jumlah spora yang dihasilkan diharapkan semakin besar pula pembentukan δ -endotoksin. Toksin (δ-endotoksin) terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada akhir pertumbuhan eksponensial.

Kristal protein yang dihasilkan bersifat insektisidal. Akan tetapi bioinsektisida yang dihasilkan tersebut tergolong ke dalam insektisida yang bekerja sebagai racun perut (stomatch poison) sehingga bioinsektisida akan membunuh serangga target apabila termakan dan masuk ke dalam organ pencernaan serangga (Dono et al. 2010; Rahayuningsih et al. 2007). Pada umumnya kristal protein di alam bersifat protoksin. Namun karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga sehingga dapat mengubahnya menjadi bersifat toksin. Toksin akan terhidrolisis oleh enzim protease yang terdapat di dalam usus serangga menjadi toksin yang berukuran lebih kecil dan mudah menyisip ke dalam dinding usus. Setelah penyisipan terjadi, dinding usus serangga menjadi rusak, serangga menjadi tidak mampu makan dan akhirnya mati (Rahayuningsih et al. 2007; Swadener 1994; Hofte dan Whiteley 1989).

Swadener (1994) menyatakan bahwa apabila serangga target tidak rentan secara langsung oleh kristal protein, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga akan menyebabkan kematian serangga tersebut. Hal ini karena spora akan berkecambah (germinasi) dan menyebabkan membran usus serangga rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora dalam tubuh serangga semakin banyak dan menyebabkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian serangga. Serangga yang telah terinfeksi, saluran pencernaannya akan mengalami kelumpuhan 1 – 3 jam setelah terinfeksi walaupun kematian akan terjadi 2 atau 3 hari setelah infeksi. Kerusakan pada sistem pencernaan akan menghentikan aktivitas makan serangga.

Kristal protein Bacillus thuringiensis mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat pada Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis terhadap Diptera tertentu dan

(36)

(Shieh 1994). Berdasarkan tipe patogenitasnya, Bacillus thuringiensis dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3.4.

Pada penelitian ini digunakan tiga galur Bacillus thuringiensis yang menghasilkan kristal protein yang berbeda satu sama lain. Galur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menghasilkan kristal protein Cry II. Galur Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan kristal protein Cry I. Kristal protein

Cry I dan Cry II bersifat toksik terhadap serangga Lepidoptera, sedangkan galur

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menghasilkan kristal protein Cry IV yang bersifat toksik terhadap serangga Diptera.

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai sangat efektif dalam mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera karena menghasilkan gen Cry II sedangkan

Bacillus thuringiensis subsp. berliner membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut δ-endotoksin. Menurut Crespo et al. (2011) gen Cry yang dimiliki Bacillus thuringiensis subsp. berliner meliputi CryI ab, Cry I ac, dan Cry IF yang bersifat toksin terhadap serangga ordo Lepidoptera.

Tabel 3.4 Tipe Patogenitas dari Bacillus thuringiensis

Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk

Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis merupakan bakteri yang secara efektif dapat membunuh larva nyamuk di air secara alami. Bacillus thuringiensis

(37)

rendah pada serangga bukan target, tetapi akan menjadi lebih efektif dan aplikatif di lapangan tanpa menimbulkan efek yang buruk bagi manusia.

Penelitian ini menggunakan Croccidolomia binotalis (ulat kubis) untuk menguji tingkat toksisitas bioinsektisida dari galur Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai dan Bacillus thuringiensis subsp. berliner, serta nyamuk Aedes aegepty

untuk menguji tingkat toksisitas bioinsektisida dari galur Bacillus thuringiensis

subsp. israelensis.

Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1 – 2.7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5 – 6.1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1 – 1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3 hari. Pada penelitian ini digunakan larva

C. Binotalis instar II karena pada tahap ini larva sedang mengalami nafsu makan yang besar sehingga kemungkinan untuk memakan bioinsektisida yang menempel pada daun juga akan semakin besar.

Larva C. binotalis yang mati akibat perlakuan, tubuhnya akan menjadi keriput, kering, dan beruba warna menjadi coklat kehitaman. Selain itu, sisa larva yang tidak mati bukan berarti tetap sehat, melainkan larva-larva tersebut menunjukkan gejala-gejala tidak normal, seperti kurang aktif bergerak, tubuh menjadi kecil atau kurus, serta lambat atau tidak dapat berkembang ke instar berikutnya.

Nyamuk Aedes aegepty dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Larva nyamuk Aedes aegepty juga melewati empat instar. Pada penelitian ini digunakan larva nyamuk Aedes aegepty instar III. Hal ini dilakukan karena larva instar III bersifat lebih stabil dibandingkan larva instar I dan II yang masih rentan. Hasil pengujian hayati menghasilkan nilai LC50 yang bervariasi 0.05 – 5.00

µg/ml (Tabel 3.3). Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menghasilkan nilai LC50 dengan rentang nilai yang cukup jauh (0.09 – 3.54 µg/ml). Demikian

pula dengan potensi produk yang dihasilkan (226 – 8889 IU/mg). Berdasarkan perhitungan, nilai LC50 terkecil (0.09 µg/ml ) yang terdapat pada substrat onggok

akan menghasilkan potensi bioinsektisida sebesar 8889 IU/mg. Apabila dibandingkan dengan produk Bactospein (produk komersial bioinsektisida untuk membasmi larva ulat yang memiliki nilai LC50 0.05 µg/ml dan potensi 16000

IU/mg), bioinsektisida yang dihasilkan dari kultivasi Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai memiliki potensi yang masih lebih rendah dibandingkan dengan potensi yang terdapat pada produk bioinsektisida komersial(16000 IU/mg).

Kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan nilai LC50 yang kecil (0.07 – 1.30 µg/ml) dan potensi produk yang besar (620 –

11429 IU/mg). Nilai LC50 yang terkecil terdapat pada substrat kulit kopi yaitu

0.07 (µg/ml) dengan potensi bioinsektisida sebesar 11429 IU/mg. Seperti halnya kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, produk yang dihasilkan pada kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. berliner juga memiliki potensi yang lebih rendah dibandingkan dengan potensi yang terdapat pada produk bioinsektisida komersial (16000 IU/mg).

Kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

(38)

dihasilkan nilai LC50 yang kecil (0.05 – 1.08 µg/ml) dan potensi produk

bioinsektisida yang besar (160 - 16000 IU/mg). Hal ini dikarenakan kristal protein yang dihasilkan tidak selalu berkorelasi linier dengan jumlah spora yang dihasilkan (Morris et al. 1996).

Rendemen delta endotoksin per sel yang bersporulasi dipengaruhi sangat kuat oleh kondisi kultivasi dan seleksi media. Komponen dari medium harus seimbang untuk memperoleh aktivitas toksik terbaik per volume medium (Scherrer et al. 1972). Selain kondisi kultivasi, konsentrasi glukosa pada media juga memegang peranan penting dalam menentukan ukuran delta endotoksin yang dihasilkan. Hal ini juga sejalan dengan Dulmage et al. (1990) bahwa jika konsentrasi glukosa dalam medium meningkat, maka kristal delta endotoksin akan meningkat ukuran dan potensinya.

Seperti halnya kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner, nilai LC50

yang terkecil pada kultivasi ini juga terdapat pada substrat kulit kopi yaitu 0.05 (µg/ml) dengan potensi bioinsektisida sebesar 16000 IU/mg. Apabila dibandingkan dengan Bactivec (produk komersial bioinsektisida untuk membasmi larva nyamuk yang memiliki nilai LC50 0.02 µg/ml dan potensi 40000 IU/mg),

produk yang dihasilkan pada kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp.

israelensis memiliki potensi yang lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang terdapat pada produk bioinsektisida komersial (40000 IU/mg).

Produk bioinsektisida yang efektif akan memiliki nilai LC50 yang kecil dan

potensi produk bioinsektisida yang besar. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai LC50 yang kecil, maka dipilih media kultivasi yang mampu menghasilkan jumlah

sel hidup dan jumlah spora yang terbesar. Onggok dipilih sebagai substrat sumber karbon pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai karena pada kutivasi ini dihasilkan jumlah sel hidup (11.3 log CFU/g) dan jumlah spora (10.8 log CFU/g) yang terbesar serta nilai LC50 yang terkecil (0.09 µg/ml) sehingga

berdasarkan perhitungan, pada kultivasi ini dihasilkan potensi produk bioinsektisida yang terbesar (8889 IU/mg)

Kulit kopi dipilih sebagai substrat sumber karbon pada kultivasi isolat

Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp.

israelensis. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner pada media kultivasi kulit kopi menghasilkan jumlah sel hidup (12.3 log CFU/g) dan jumlah spora (10.1 log CFU/g) yang terbesar serta nilai LC50 yang terkecil (0.07 µg/ml).

Demikian pula pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

menggunakan media kultivasi kulit kopi yang menghasilkan jumlah sel hidup (12.2 log CFU/g) dan jumlah spora (9.1 log CFU/g) yang terbesar serta nilai LC50

yang terkecil (0.05 µg/ml).

Gambar

Gambar 3.1 Kurva Pertumbuhan Bacillus thuringiensis pada Media
Tabel 1.1 Komponen Kimia dari Limbah Agroindustri
Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian
Tabel 3.1 Komposisi Kimia dan Sifat Fisik Hasil Samping Agroindustri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga Tn! ) mengatakan bahwa Tn! ) (kepala keluarga# terkena darah tinggi dan 9ertigo! Tn ) tidak boleh makan terlalu  ban$ak garam jeroan jengkol dan kopi! Keluarga

Untuk dampak dari faktor yang menyebabkan keterlambatan pada proyek adalah untuk kategori proyek dengan faktor banyaknya perubahan pekerjaan, kategori owner dengan faktor

Pemilu Tahun 2014 untuk masing-masing Partai Politik pada 7 (tujuh) daerah pemilihan dalam susunan Daftar Calon Tetap Anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya pada Pemilu

Apalagi kalau diingat bahwa pemanfaatan energi panas bumi sebagai sumber penyedia tenaga listrik adalah termasuk teknologi yang tidak menimbulkan pencemaran terhadap

5 KomplekPLN Kemayoran MITSUBISHI T120SS PU Tahun 2012 Full Kaleng Istimewa Skl H... Dmi TTKRD

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan stres pengasuhan dengan tingkat resiliensi orang tua anak penyandang kanker yang sedang menjalani perawatan dan

Perbedaan distribusi dan frekuensi pada ukuran tubuh antar populasi-pulau nampak sangat jelas, pada dua pulau besar (Komodo dan Rinca) menunjukkan distribusi serta kelimpahan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui para pelaku aksi mahasiswa IKIP Medan adalah aksi yang dilakukan mahasiwa IKIP Medan menuntut agar Soeharto