SUBANG, JAWA BARAT)
AHMAD MUHTADI RANGKUTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan, Subang, Jawa Barat) adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2013
AHMAD MUHTADI RANGKUTI. Mangrove Ecosystem Management Based on Silvofishery (The Case of RPH-Tegal Tangkil, KPH Purwakarta, Blanakan Subang, West Java). Under direction of KADARWAN SOEWARDI and TARYONO.
Mangrove ecosystem management based on silvofishery has been already known and practiced widely, both in Indonesia and abroad. However, today it’s difficult to find silvofishery application that comply the right principles, even on biotechnical, ecologies, and institutions aspect. The aims of this research were: 1) to know ecology status, biotechnical, and economics of silvofishery system at RPH Tegal-Tangkil; 2) to formulate silvofishery management at RPH Tengal-Tangkil, Blanakan, Subang. The data were collected related to ecology, economic, and social-institution aspect. Results of this research were: 1) mangrove ecosystem has given significant contribution on shrimp catches; 2) water quality condition still suitable for fish aquaculture activities, even though there was indication of heavy metal content, so that need to improve tendon system for better water quality; 3) as biotechnical, many of the farmers still use traditional aquaculture and not implement good standards and aquaculture principles. 4) as economics, silvofishery system still can be developed to increase peoples income. Good silvofishery application can increase peoples income up to 509. 60%; 5) institute management of silvofishery was still deficient. It’s showed from fact condition in the field. Improvement the silvofishery management must be focus on organization system and rules of the game.
AHMAD MUHTADI RANGKUTI. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat). Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI dan TARYONO.
Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis minawana ini sudah banyak dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, penerapan pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar, baik dari segi bioteknis,
ekologi maupun kelembagaan belum terwujud. Minawana pertama kali
diperkenalkan di Burma dan di Indonesia. Minawana yang diterapkan di Indonesia
diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Penerapan
minawana ini dengan maksud, masyarakat diberikan kesempatan untuk
memanfaatkan ekosistem mangrove. Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat yang sama ekosistem mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, ekosistem mangrove cenderung rusak (contoh; di pesisir Blanakan). Penelitian ini mengambil kasus di Perairan Pesisir Blanakan, dimana sudah ada percontohan tambak pola minawana yang dibuat oleh Perhutani. Namun ternyata tidak diacu oleh masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui kondisi ekologis, bioteknis, dan
ekonomis sistem minawana RPH Tegal-Tangkil dan 2) Merumuskan pola
pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi model pengelolaan kawasan pesisir berbasis minawana yang dapat diterapkan di tempat lain. Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti, Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini adalah 8 bulan (Agustus 2011 – Maret 2012).
Analisa yang dilakukan terhadap penelitian ini, terdiri dari analisa ekologis, bioteknik, ekonomis dan sosial kelembagaan. Analisa status ekologis dilakukan dengan mempelajari kondisi ekosistem mangrove baik dari pengamatan langsung di lapangan maupun penelusuran hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan lokasi kajian. Analisa status ekologis dengan melihat hubungan antara penutupan mangrove dengan keberadaan udang (hasil tangkapan udang harian) menggunakan analisa ragam (anara) rancangan acak lengkap. Analisa kualitas air bagi budidaya dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan hasil penelitian sebelumnya. Analisa bioteknik kawasan dilakukan dengan kajian penerapan
minawana berdasarkan kondisi existing tambak dengan menggunakan analisa
lain.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap hasil tangkapan udang harian (Selang kepercayaan 99%). Hasil pengukuran kualitas air insitu tahun 2012 didapatkan bahwa kondisi perairan masih layak untuk kegiatan budidaya. Akan tetapi adanya kandungan logam berat yang terdeteksi pada air, maka diperlukan sistem tandon untuk mengurangi/memperkecil kandungan logam berat sebelum masuk ke tambak (minawana). Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap minawana di RPH Tegal-Tangkil saat ini tradisional. Pengisian air pada tambak tergantung pasang-surut, sehingga ada kemungkinan air laut yang masuk pada saat pasang adalah salinitas rendah. Hal ini dikarenakan air laut yang bersalinitas lebih tinggi berada dibagian dasar perairan. Dengan demikian, terdapat perbedaan salinitas di kawasan pertambakan antara bagian hilir (dekat dengan laut), tengah dan hulu. Pada bagian hulu tingkat salinitas lebih rendah dibanding bagian tengah maupun bagian hilir. Pada kondisi ini seharusnya komoditas yang dibudidayakan tidak sama antara bagian hulu maupun hilir. Akan tetapi, komoditas yang dibudidayakan cenderung sama baik pada salinitas tinggi maupun rendah.
Konsep minawana di Blanakan saat ini, belum benar dan tidak layak. Hal ini dilihat dari kondisi pengelolaan tambak yang tidak sesuai prosedur standar. Untuk itu, perlu perbaikan pengelolaan minawana baik ekologi, bioteknik dan kelembagaan. Perbaikan minawana dimulai dari perbaikan desain minawana terkait proporsi mangrove dan tambak. Berdasarkan studi pustaka, diperoleh bahwa perbandingan empang parit 60% mangrove dan 40% cukup ideal untuk peningkatan produksi perikanan baik budidaya maupun non budidaya. Langkah selanjutnya berikutnya
adalah perbaikan/penerapan tata cara budidaya perikanan yang baik (Good
Aquaculture Practices). Oleh karena itu, berdasarkan hasil perhitungan ekonomi pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat meningkatkan pendapatan penggarap maupun sekitarnya. Peningkatan pendapatan masyarakat mencapai 509.60% pada sistem polikultur antara udang dan bandeng serta meningkat hingga 449.72% pada sistem polikultur antara bandeng dan mujaer.
Perbaikan pengelolaan minawana setidaknya fokus terhadap kelembagaan yakni sistem organisasi dan aturan main. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh karena itu, Perhutani tentunya perlu memberikan kewewenangan terhadap LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Langkah selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan minawana dengan perbaikan aturan main dalam pengelolaan. Selanjutnya, mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi menjadi point penting dalam pengelolaan minawana. Oleh karena itu pencabutan hak garap akan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan kritik atau tinjauan masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
SUBANG, JAWA BARAT)
AHMAD MUHTADI RANGKUTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Ahmad Muhtadi Rangkuti
NIM : C252100031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Taryono, S.Pi., M.Si.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya penulisan tesis yang berjudul Pengelolaan Sumberdaya Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat).
Pengelolaan suatu kawasan akan efektif jika pemangku kepentigan
(pemerintah, perhutani dan masyarakat) merasakan pentingnya suatu organisasi (kelembagaan) berjalan sesuai peraturan demi tujuan bersama. Penelitian ini mengkaji aspek biofisik (ekologi) sebagai pondasi awal bagaimana kondisi suatu ekosistem (sumberdaya) apakah masih baik atau masih layak digunakan atau dikembangkan. Aspek lainnya yaitu aspek bioteknik yang dikembangkan dalam pengembangan minawana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun aspek ekonomi dikaji untuk mengetahui untung rugi suatu pemanfaatan sumberdaya dalam konteks minawana. Aspek terakhir yang mendukung kelanjutan sumberdaya adalah bagaimana sistem kelembagaan (tata aturan) yang berlaku di dalam masyakarat. Pesan yang ingin disampaikan adalah pentingnya sinergisitas ekologi, ekonomi dan sosial dalam pemanfaatan suatu sumberdaya agar lestari.
Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada:
1) Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, sebagai ketua komisi pembimbing atas kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk memimpin tim penelitian ini serta motivasi yang diberikan dan kesabarannya dalam membimbing penulis 2) Bapak Taryono Kodiran, S.Pi, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing atas
segala masukan, kritikan, saran dan motivasi demi penyempurnaan tesis ini baik dari segi substansi maupun penulisan
3) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, sebagai Ketua Prodi SPL atas segala masukan, kritikan dan saran demi penyempurnaan dari mulai proposal penelitian hingga penulisan tesis ini
4) Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc sebagai penguji luar komisi atas segala pengetahuan, motivasi, masukan, dan saran-saran yang telah diberikan baik pada saat perkuliahan maupun ujian pada ujian tesis
5) Keluarga besar Rangkuti (ayah/ibu, abang/kakak, adik-adikku dan bouk) di Tanah Mandailing atas dukungan dan doanya
6) Saudara Armansyah Rangkuti di Malaysia atas bantuan finansialnya
7) KPH Purawakarta dan Kesbang Linmas kabupaten Subang atas izin penelitian di Blanakan
8) Keluarga Yayan di Jayamukti atas tumpangan hidup dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian
9) Tim penelitian silvo (Agoy, Oci, Deo, Jhon, Tyson dan Yona serta Popy) atas bantuan penelitian di lapangan dan laboratorium
10) Keluarga Harsono dan ibu di Bogor atas tumpangan hidup sealam penulis tinggal di Bogor
dan spritual
Penulis menyadari adanya keterbatasan pemikiran, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat, terutama bagi penulis dan kampus untuk pengembangan ilmu serta bagi pihak-pihak yang bersedia menerapkan hasil penelitian ini, Amin
Bogor, Maret 2013
Penulis dilahirkan di Tanah Mandailing, pada tanggal 04 Juni 1985 dari ayah H. Muhammad Yunus Rangkuti dan Ibu (alm) Sarianun Pulungan. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Pada umur empat tahun ibunda penulis meninggal dunia, sehingga selama 2 tahun penulis hanya diasuh oleh ayah seorang diri. Pada umu 6 tahun ayah penulis kemudian menikah lagi dengan Hj. Masdalima Pulungan. Sehingga, sejak umur 6 tahun sampai saat ini penulis merasakan kembali kasih sayang seorang ibu. Walaupun ibu pengganti, akan tetapi sudah seperti ibu kandung sendiri.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1998 di SD Negeri 144454 Rumbio Kecamatan Panyabungan Kabupaten Tapanuli Selatan, SLTP Negeri 5 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2001, SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2004. Pada Tahun 2009, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN... xxi
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan dan Manfaat ... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA... 7
2.1. Ekosistem Mangrove... 7
2.1.1. Habitat Mangrove... 7
2.1.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove... 8
2.1.2.1. Mangrove dan Produktivitas Serasah ... 8
2.1.2.2. Asosiasi Mangrove dengan Biota Terestrial ... 8
2.1.2.3. Mangrove dan Produktivitas Perikanan ... 9
2.2. Kualitas Perairan ... 9
2.3. Minawana... 9
2.4. Sosial-Ekonomi Masyarakat ... 13
2.4.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir... 13
2.4.2. Aspek Ekonomi dan Analisa Kelayakan Minawana... 13
2.5. Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir ... 14
3. METODOLOGI... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17
3.2. Rancangan Penelitian... 17
3.3. Pengumpulan Data ... 18
3.3.1. Alat dan Bahan ... 18
3.3.2. Metode pengumpulan Data ... 18
3.4. Analisa Data... 20
3.4.1. Analisa Status Ekologis dan Kualitas Air Bagi Budidaya ... 20
3.4.1.1. Analisa status ekologis... 20
3.4.1.2. Analisa kualitas air ... 21
3.4.2. Analisa Bioteknik Pengelolaan Budidaya Ikan dan Udang ... 21
3.4.3. Analisa Usaha dan Kelayakan Usaha... 21
3.4.3.1. Analisa Pendapatan Usaha ... 22
3.4.3.2. Analisa Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) ... 23
3.4.3.3.Break Event Point(BEP) ... 23
3.4.3.4. Analisa Kriteria Investasi... 24
3.4.4. Analisa Kelembagaan Pengelolaan Minawana ... 25
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 27
4.1. Letak Geografis... 27
4.2. Ekosistem Mangrove ... 28
4.2.1. Vegetasi Mangrove ... 28
4.2.1. Pembagian Blok... 29
4.2.3. Tambak Milik ... 29
4.2.4. Tambak Tumpangsari/Minawana ... 30
4.3. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat... 33
4.3.1. Kependudukan ... 33
4.3.2. Pendidikan Penduduk ... 33
4.3.3. Mata pencaharian Penduduk... 34
5. HASIL DAN PEMBAHASAN... 37
5.1. Analisa Ekologis Ekosistem Minawana ... 37
5.1.1. Fauna Perairan ... 37
5.1.2. Hubungan Luas Tutupan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan... 38
5.1.2.1. Mangrove dan Keberadaan Udang Harian ... 38
5.1.2.2. Mangrove dan Produksi Udang Windu ... 38
5.1.2.3. Mangrove dan Produksi Ikan Bandeng ... 39
5.1.2.4.Mangrove dan Keberadaan Kepiting Dan Wideng ... 39
5.1.2.5. Mangrove dan Keberdaan Belut ... 40
5.1.3. Kualitas perairan ... 41
5.2. Analisa Bioteknik Sistem Minawana ... 41
5.2.1. Kondisi Eksisting ... 41
5.2.2. Pemulihan Kawasan Minawana... 44
5.2.2.1. Perbaikan Pola Minawana ... 44
5.2.2.2. Perbaikan Jalur Hijau... 45
5.2.2.3. Pembuatan Bak Penampung Air (Tandon) ... 47
5.2.2.4. Perbaikan Akses Jalan ... 48
5.2.2.5. Perbaikan Saluran ... 48
5.2.2.6. Pengembangan Sistem Budidaya ... 48
5.2.2.3. Pengembangan Pengelolaan Budidaya Perikanan ... 49
5.3. Analisa Ekonomi Sistem Minawana... 51
5.3.1. Analisa Ekonomi Eksisting ... 51
5.3.1.1. Analisa Usaha ... 51
5.3.1.2. Analisa Kelayakan Usaha ... 52
5.3.2. Analisa Pengembangan Ekonomi Minawana ... 53
5.3.2.1. Analisa Usaha ... 53
5.3.2.1.1. Struktur biaya ... 53
5.3.2.1.2. Penerimaan ... 55
5.3.2.1.3. Keuntungan... 54
5.3.2.2. Analisa kelayakan usaha... 57
5.3.2.2.1.Net Present Value... 57
5.3.2.2.2.Net benefit Cost Ratio(NetB/C) ... 57
5.3.2.2.3.Internal Rate Of Return(IRR)... 58
5.3.3. Perbandingan Sistem Minawana Eksisting dan Setelah Dikembangkan ... 58
5.4. Analisa Kelembagaan Sistem Minawana ... 59
Minawana di RPH Tegal-Tangkil ... 63
5.4.1.4. Luaran/Dampak Dalam Terhadap Sumberdaya ... 64
5.4.2. Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Minawana RPH Tegal-tangkil ... 64
5.5. Perbaikan Pengelolaan Minawana ... 67
5.5.1. Format Lembaga ... 67
5.5.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan ... 71
5.5.3. Kewenangan LMDH ... 72
5.6. Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana ... 73
5.6.1. Kewenanngan Pengelolaan (authority)... 74
5.6.2. Sistem Tata Aturan (rules) ... 77
5.6.3. Sistem Hak (right)... 80
5.6.4. Sistem Monitoring dan.Evaluasi ... 82
5.6.5 Sistem Sanksi (sanctions) ... 84
6. SIMPULAN DAN SARAN... 89
6.1. Simpulan ... 89
6.2. Saran ... 90
7. DAFTAR PUSTAKA... 91
1. Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana ... 12
2. Uraian bagian-bagian penelitian dan pengumpulan data ... 19
3. Anara dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) ... 20
4. Luas wilayah studi di RPH Tegal-tangkil ... 27
5. Kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian ... 31
6. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin ... 33
7. Klasifikasi umur penduduk Kecamatan Blanakan ... 33
8. Klasifikasi tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan .... 34
9. Fasilitas pendidikan Kecamatan Blanakan ... 34
10. Mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian... 35
11. Jenis ikan dan udang yang ditemukan di ekosistem minawana ... 37
12. Hasil tangkapan udang harian di lokasi penelitian... 38
13. Jumlah hasil tangkapan kepiting dan wideng serta rata-rata pendapatan/ Orang... 40
14. Jumlah hasil tangkapan belut serta rata-rata pendapatan/orang... 40
15. Sistem budidaya dan pengelolaan tambak di lokasi penelitian... 42
16. Hasil panen udang di lokasi penelitian ... 43
17. Hasil panen ikan bandeng di lokasi penelitian... 43
18. Hasil ikan mujaer/nila di lokasi penelitian... 43
19. Estimasi hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-tangkil (polikultur ikan bandeng dan nila/mujaer) ... 50
20. Estimasi hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-tangkil (polikultur ikan bandeng dan udang)... 51
21. Analisa usaha tambak eksisting ... 52
22. Analisa kelayakan usaha tambak eksisting ... 52
23. Keuntungan dari perbaikan sistem minawana ... 57
24. Identitas pemangku kepentingan dan peranannya ... 61
25. Persentase pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang mangrove, empang, PHBM dan LMDH ... 65
26. Persentase pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat KUD, LMDH dan Kelompok Cinta Mangrove ... 66
27. Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil... 76
28. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap system aturan main di RPH
Tegal-Tangkil ... 78
29. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap sistem hak di RPH Tegal-Tangkil 81
30. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap pemantauan yang
dilakukan oleh mandor di lapangan... 84
31. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap pelaksanaan sistem sanksi ... 86
32. Permasalahan kelembagaan, kondisi ideal dan usaha yang diperlukan
1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ... 5
2. Tipe atau model tambak pada sistem minawana... 12
3. Kerangka pikir kelembagaan ... 16
4. Lokasi penelitian ... 17
5. Tahapan kegiatan pengelolaan tambak ... 22
6. Kondisi umum mangrove di minawana lokasi penelitian;(a) mangrove dibiarkan, (b) mangrove di tebang untuk memperluas areal tambak... 28
7. Kondisi umum mangrove di dekat laut (sempadan pantai) di lokasi penelitian; (a) mangrove dibiarkan (ketebalan 10 – 20 m), (b) sempaadan pantai jadi tambak... 29
8. Salah satu contoh kondisi tambak murni di lokasi penelitian... 30
9. Kondisi minawana saat ini (a) sistem minawana di penangkaran buaya (konsep lama) (b) penutupan sekitar 75%; (c) penutupan mangrove 50%; (d) penutupan mangrove hanya 30% ... 31
10. Kondisi Kali Malang (kanan) dan kalen/saluran (kiri) ... 32
11. Tampilan petak minawana pola 60% mangrove dan 40% tambak ... 45
12. Pola tanam banjar secara merata... 46
13. Tampilan pemulihan kawasan minawana di RPH Tegal-tangkil... 46
14. Ilustrasi sistem tandon dalam mengairi tambak... 47
15. Buku anggota penggarap empang di RPH Tegal-tangkil ... 60
16. Arena aksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-tangkil.... 63
17. Kegiatan wawancara terhadap responden ... 65
18. Struktur organisasi LMDH ... 71
19. Organisasi pengelolaan kawasan minawana ... 73
1. Peta titik pengambilan contoh... 95
2. Prosedur pengambilan contoh... 96
3. Pengukuran/perhitungan kualitas air ... 97
4. Kuisioner pengumpulan data ... 98
5. Gambaran umum kawasan minawana ... 104
6. Foto jenis flora dan fauna yang ditemukan di kawasan minawana ... 105
7. Foto alat tangkap kepiting, wideng, belut, dll... 107
8. Foto kegiatan di lapangan ... 108
9. Hasil tangkapan udang harian... 109
10. Hasil uji Anara hubungan kerapatan mangrove dengan udang ... 110
11. Hasil tangkapan kepiting dan wideng ... 111
12. Hasil tangkapan belut... 113
13. Kualitas air hasil pengukuran ... 114
14. Kondisi umum responden ... 116
15. Tahapan budidaya ramah lingkungan ... 118
16. Analisa ragam R/C tambak eksisting... 123
17. Analisa kelayakan usaha tambak pengembangan minawana ... 124
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan
antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat
untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai berbagai
jenis ikan, udang dan moluska. Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan
perlindungan. Ekosistem mangrove juga merupakan pemasok bahan organik,
sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan
sekitarnya (Mann 2000). Dengan demikian, penurunan kualitas dan kuantitas
ekosistem mangrove dapat mengancam kelestarian mangrove sebagai habitat flora
dan fauna. Selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna yang menggantungkan
kehidupannya pada ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kemunduran terhadap
fungsi-fungsi dari ekosistem mangrove.
Kegiatan penebangan mangrove untuk diambil kayu bagi pembuatan arang
atau pembukaan untuk areal tambak dapat mengurangi atau bahkan akan merusak
fungsi ekosistem mangrove. Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan
ekosistem mangrove diperlukan suatu pengelolaan ekosistem mangrove yang baik
dan benar. Salah satu pengelolaan wilayah pesisir di kawasan mangrove adalah
dengan konsep minawana. Pengelolaan sumberdaya mangrove berbasis minawana
ini sudah banyak dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun, penerapan pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar,
baik dari segi bioteknis, ekologi maupun kelembagaan belum terwujud.
Minawana pertama kali diperkenalkan di Burma dan di Indonesia.
Minawana yang diterapkan di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. Minawana yang diperkenalkan di Indonesia, pada
awalnya dikenal dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, atau
hutan tambak (Primavera 2000). Saat ini konsep minawana ini dikenal luas
dengan istilahsilvofishery. Pada awalnya pengembangan minawana didasari oleh adanya konversi ekosistem mangrove secara ilegal menjadi tambak sejak tahun
konservasi mangrove, Departemen Kehutanan RI melalui Perum Perhutani
kemudian mengembangkan program Kehutanan Sosial (Social Forestry) pada tahun 1976. Program tersebut kemudian dikenal dengan minawana. Pada program
ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove.
Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem
mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat
yang sama ekosistem mangrove tetap lestari.
Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah
diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh
masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan,
ekosistem mangrove cenderung rusak, contohnya di pesisir Blanakan. Penelitian
ini dengan maksud untuk mencari sebab-sebab kegagalan penerapan minawana
baik dari segi ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan
kelembagaan. Sehingga nantinya diperoleh rumusan pola pengelolaan minawana
yang tepat dan benar.
Penelitian ini mengambil studi kasus di Perairan Pesisir Blanakan. Pada
areal ini sudah terdapat percontohan tambak pola minawana yang di buat oleh
Perum Perhutani. Namun diduga tidak diaplikasikan oleh masyarakat dengan
benar. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa rumusan pola pengelolaan
pesisir berbasis minawana yang berlaku umum dan dapat diterapkan di tempat
lain
1.2. Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Kabupaten Subang memiliki potensi ekosistem mangrove.
Wilayah ini merupakan hutan negara yang pengelolaannya dalam otoritas Perum
Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta (KPH Purwakarta). Luas
hutan mangrove di wilayah KPH Purwakarta mencapai 14,535.08 ha. Agar hutan
tersebut lestari dan mampu meningkatkan kesejahtraan masyarakat, maka
kemudian dikembangkan pola pemanfaatan minawana. Pola pemanfaatan ini
diperoleh dari KPH Purwakarta, sebagai pemegang otoritas wilayah.
Pada awalnya model minawana tersebut dikenal dengan empang parit
tradisional dengan komposisi 80 % mangrove dan 20 % tambak. Sejak krisis
masyarakat sekitar, sehingga luasan tambak lebih besar proporsinya dibanding
luasan mangrovenya. Penebangan mangrove di tambak (modifikasi empang)
bertujuan untuk memperluas areal budidaya dan diharapkan produksi ikan
meningkat. Akan tetapi yang terjadi adalah semakin rusaknya ekosistem
mangrove. Selain itu, produksi perikanan pun menurun, baik hasil budidaya
maupun non budidaya (hasil tangkapan udang harian).
Berdasarkan uraian diatas, untuk mengembalikan fungsi dan tujuan awal
dikembangkannya pola minawana, maka perlu perbaikan sistem minawana.
Perbaikan ini harus dilakukan secara menyeluruh baik dari aspek ekologi,
bioteknik maupun aspek kelayakan ekonomi. Dengan demikian, akan didapatkan
pola minawana yang dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan ekosistem
mangrove tetap lestari. Perbaikan sistem ini nantinya diharapkan dapat menjadi
pola pengelolaan minawana yang berkelanjutan. Untuk itu, perbaikan sistem
kelembagaan mutlak dilakukan, agar pola minawana berjalan sesuai dengan
aturan yang ditetapkan.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan penelitian pengelolaan ekosistem
mangrove berbasis minawana. Penelitian ini nantinya diharapkan mampu
mengidentifikasi faktor-faktor kegagalan penerapan minawana baik dari segi
ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan kelembagaan.
Pemecahan permasalahan akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, untuk
mengetahui penurunan produksi perikanan dari kegiata non budidaya, maka aspek
yang dilihat adalah hubungan antara mangrove (kerapatan/penutupan mangrove)
dengan hasil tangkapan udang harian. Penelitian ini akan membandingkan hasil
tangkapan udang harian pada berbagai rasio minawana yang berbeda. Selain itu,
melakukan pengamatan terhadap hasil tangkapan kepiting, wideng dan belut di
kawasan minawana untuk mendukung kontribusi mangrove terhadap produksi
minawana dari non budidaya.
Kedua, untuk melihat produksi perikanan dari budidaya ada 2 hal yang dilakukan yaitu: 1) mengukur sebaran salinitas di kawasan pertambakan
minawana; 2) mengukur kualitas air di tambak. Pengukuran sebaran salinitas
dengan maksud untuk melihat apakah komoditas yang dibudidayakan sudah tepat
berat. Pengukuran kualitas air ini dengan maksud mengetahui apakah kondisi
perairan masih layak atau tidak untuk kegiatan budidaya. Selain itu, untuk
mendapatkan hasil produksi yang optimal baik hasil budidaya maupun non
budidaya, perlu dilakukan kajian terhadap proporsi mangrove dan tambak serta
prosedur standar budidaya yang layak dan berlaku umum. Kajian terhadap
proporsi mangrove dan tambak ini akan dilakukan studi literatur terhadap hasil
penelitian yang relevan. Untuk prosedur standar budidaya akan dilakukan dengan
prosedur standar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui instansi yang terkait.
Ketiga, untuk melihat atau mengukur fungsi dan manfaat mangrove terhadap produksi perikanan, dilakukan perhitungan aspek biaya (cost) dan penerimaan (revenue) dari kegiatan minawana. Perhitungan biaya dan penerimaan ini mencakup hasil budidaya maupun hasil tangkapan udang harian. Sehingga
dapat dibandingkan bagaimana kontribusi nilai ekonomi mangrove secara
langsung. Selain itu, dilakukan perhitungan kelayakan ekonomi tangkap kondisi
eksisting dan kondisi mendatang dengan berbagai perbaikan teknis.
Keempat, untuk melihat alasan atau latar belakang mengapa masyarakat berani melakukan penebangan maupun modifiksasi minawana untuk memperluas
areal budidaya, maka dilakukan analisis terhadap aturan main yang berlaku.
Sistem aturan main ini dengan menganalisis terhadap kondisi eksisting dan
kondisi ideal yang seharusnya dijalankan.
Setelah, menganalisis permasalahan ekologi, bioteknik, sosial ekonomi
dan kelembagaan serta solusinya, langkah selanjutnya dengan memperbaiki
pengelolaan minawana secara sistemik yang menitik beratkan pada disain
pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang
adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun
pengelolaannya. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana
menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Langkah selanjutnya
dalam perbaikan pengelolaan minawana adalah perbaikan dalam aturan main
pengelolaan (Taryono 2009). Kerangka pemikiran kajian Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Berbasis Minawana (studi kasus ekosistem mangrove di RPH
Gambar 1Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kondisi ekologi, bioteknik, dan ekonomi sistem minawana RPH
Tegal-Tangkil
2. Merumuskan pola pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil.
Penelitian ini diharapkan menjadi contoh pengelolaan kawasan pesisir
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove
Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) in Giesen et al. (2006)
mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang
surut. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang
khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saengeret al. 1983in Giesen et al. 2006). Menurut Nybakken (1992) mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis komunitas
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang pada
perairan asin. Secara ringkas mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe
tanaman yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, dan muara sungai). Ekosistem mangrove merupakan
suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove (Nybakken 1992).
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove,
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit, dan 1 jenis paku. Sebanyak 43 jenis, dari 202 jenis tersebut
(diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai
mangrove sejati (true mangrove). Sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove) (Giesenet al. 2006).
2.1.1. Habitat Mangrove
Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah
berlumpur (Chapman 1977 in Giesen et al. 2006; Nybakken 1992). Hogarth
(2007) menyebutkan bahwa mangrove tumbuh pada daerah pantai berlumpur,
yang dapat beradaptasi terhadap pasang surut, perubahan salinitas, oksigen
rendah, dan suhu yang tinggi (daerah tropis). Ekosistem mangrove umumnya
berkembang di daerah intertidal (daerah pasang surut) sehingga daerahnya tergenang air laut secara berkala (setiap hari maupun saat pasang purnama),
besar dan arus pasang surut yang kuat. Mangrove banyak ditemukan di
pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai-pantai yang terlindung.
2.1.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Secara fisik, vegetasi mangrove berperan dalam melindungi pantai tetap
stabil. Selain itu mangrove juga berperan sebagai perangkap zat-zat pencemar dan
limbah (Naamin 1991). Mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari
sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Mangrove juga mampu dalam
menekan laju intrusi air laut ke arah daratan (Sukresno dan Anwar 1999in Anwar dan Gunawan 2006). Kajian lain yang berkaitan dengan polutan dilaporkan oleh
Anwar dan Gunawan (2006) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove
mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari
perairan ekosistem mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang
masih bermangrove (minawana).
2.1.2.1. Mangrove dan Produktivitas Serasah
Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat
disimpulkan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus
hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Giessen et al. 2006). Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan tempat perlindungan. Kedua,
mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan
makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya.
2.1.2.2. Asosiasi Mangrove dengan Biota Teresterial
Hubungan ekosistem mangrove dengan biota teresterial juga sangat
penting termasuk burung (lokal maupun burung migran), mamalia, reptil, amphibi
maupun hewan lainnya. Keberadaan mangrove menjadi sangat penting terhadap
biota teresterial karena umumnya sebagai tempat mencari makan maupun
persinggahan (burung migrasi) ataupun mangrove adalah tempat hidupnya.
Adapun berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai pada mangrove Blanakan di
RPH Tegal-Tangkil sebelum meluasnya petak lokasi tambak meliputi berbagai
2.1.2.3. Mangrove dan Produktivitas Perikanan
Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian
siklus hidupnya pada habitat mangrove (Burhanuddin 1993 in Giessen et al. 2006). Kakap (Lates calcacifer) dan kepiting mangrove (Scylla serrata) merupakan jenis ikan dan krustase yang secara langsung bergantung kepada
habitat mangrove (Griffin 1985in Giessen et al. 2006). Menurut Djamali (1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem
mangrove. Lebih lanjut Djamali (1991) mengemukakan adanya hubungan linier
positif antara luas ekosistem mangrove dengan produksi udang, dimana makin
luas ekosistem mangrove makin tinggi produksi udangnya dan demikian
sebaliknya.
2.2. Kualitas Perairan
Parameter kualitas air laut merupakan faktor penting bagi kelangsungan
hidup organisme. Adanya perubahan kualitas air di laut dapat menyebabkan
perubahan komposisi komunitas (komposisi dan kelimpahan) organisme di
perairan. Perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan
organisme dengan optimal. Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan
lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air
yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Penentuan kualitas air
dapat ditentukan dengan melihat faktor fisik, kimia, biologi maupun kandungan
logam beratnya (Effendi 2003).
2.3. Minawana
Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem
mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1976.
Pada tahun 1977 di kawasan mangrove di Cilacap, minawana sudah mulai
dikembangkan sebagai upaya reboisasi dan memberikan lapangan kerja bagi
masyarakat. Sementara itu sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah
menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS) yang pelaksanaannya dilakukan
dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang
serta wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan
Definisi istilah minawana atausilvofisheryatau tambak sistem tumpang sari bermacam-macam, akan tetapi menunjukkan pengertian yang sama. Sukardjo
(1989) mendefinisikan tambak tumpang sari sebagai pendekatan dengan menjaga
keberadaan mangrove untuk mendukung produksi perikanan yang dibuat berupa
kolam di sekitar mangrove tersebut. Nugroho et al. (1990) mengemukakan
minawana dalam gagasan Coupled Ecosystem Silvosishery (CES) yang mengacu pada gagasan Coupled Ecosystem Agroforestry (CEA) adalah penggunaan lahan dimana kedua ekosistem hutan dan pertanian (termasuk perikanan) baik dalam
skala mikro maupun makro saling berpasangan dan menguntungkan (mutually complement). Pada kondisi tersebut ekosistem hutan dan pertanian dapat saling mempertukarkan energi dan unsur hara untuk saling mendukung dan melindungi.
Lebih lanjut Salim (1986) inNugrohoet al. (1990) mengemukan penerapan CES didasarkan pada prinsip pokok: (1) kesinambungan fungsi ekosistem mangrove,
(2) terpeliharanya jaringan kehidupan ekosistem mangrove, (3) terpeliharanya
kemungkinan keanekaragaman kehidupan, (4) diindahkannya kedudukan
mangrove sebagai “milik bersama”, dan (5) diindahkannya prinsip pengendalian
dampak negatif pembangunan.
Soewardi (1994) mendefinisikan minawana atau sering disebut sebagai
silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara
budidaya perikanan dan konservasi mangrove. Konsep minawana ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Berdasarkan Fitzgerald
(1997); Sofiawan (2000); Suryadiputra dan Telly (2006), minawana merupakan
sebuah kombinasi antara kolam/tambak budidaya ikan dengan ekosistem
mangrove secara berdampingan.
Sualia et al. (2010) mendefinisikan minawana sebagai suatu rangkaian
kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian ekosistem
ramah lingkungan dan merupakan bagian dari penerapan jalur hijau (green belt). Beberapa manfaat tambak ramah lingkungan (minawana) menurut Sualia et al. (2010) diantaranya :
1) Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dikelola dalam skala
kecil.
2) Menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam seperti udang
alam, kepiting, dan ikan liar.
3) Lingkungan terpulihkan dan meningkatnya daya dukung (carrying capacity) tambak.
4) Produk udang berkualitas baik dan bernilai jual tinggi.
5) Lebih tahan terhadap serangan penyakit, akibat kemampuan mangrove dalam
menyerap limbah dan menghasilkan zat antibakteri
6) Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai pakan kambing
7) Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan
sumber air tawar dapat dipertahankan
8) Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.
9) Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan
gelombang air pasang
Adapun bentuk minawana menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat &
Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi
dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur
tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang
disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang
digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut
Sofiawan (2000) in Puspita et al. (2005), bentuk tambak minawana memiliki 5 macam pola, yaitu empang parit tradisonal, komplangan, empang parit terbuka,
Gambar 2. Tipe atau model tambak pada sistem minawana.
Keterangan: A. Saluran air, B. Tanggul/pematang tambak, C. Pintu air, D. Empang, X. Pelataran tambak. (Sumber: Sofiawan 2000inPuspitaet al.2005)
Tabel 1Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana
Model/pola Keuntungan Kerugian
Empang parit - Tanaman terintegrasi
- Parit pemeliharaan ikan memperoleh cukup sinar matahari
- Penyempurnaan parit dapat dilakukan setiap saat
- Tempat pemeliharaan ikan kurang terintegrasi
- Tanaman perlu dijarangi
Komplangan - pelaksanaan panen lebih mudah dilakukan
- Parit pemeliharaan ikan memperoleh sinar matahari yang cukup
- Penyempurnaan parit lebih mudah dilakukan
- Tanaman bakau perlu dijarangi setelah umur 3 tahun dan diremajakan setelah 5 tahun
Empang terbuka
- Parit pemeliharaan ikan memperoleh sinar matahari yang cukup
- Panen lebih mudah dilakukan
- Penanaman yang dilakukan terlalu rapat dengan pematang
- Pemangkasan cabang perlu dilakukan agar tidak mengganggu operasional parit
Kao-kao - Ruang pemeliharaan ikan cukup lebar - Lapukan serasah tanaman dapat
meningkatkan kesuburan tambak - Intensitas matahari cukup tinggi
- Pembersihan serasah tanaman harus sering dilakukan
- Panen harus dilakukan dengan menggiring ikan pada satu sudut tambak
Tasikrejo - Pelataran tambak dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk budidaya tanaman semusim/perkebunan
- Tempat pemeliharaan ikan sempit - Pelaksanaan panen harus dilakukan
2.4. Sosial-Ekonomi Masyarakat
2.4.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Menurut Nikijuluw (2001) masyarakat pesisir didefinisikan sebagai
kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut
dan pesisir. Definisi ini bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya
banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri
dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut
lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, dan penyedia sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa
pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang
memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong
kehidupannya.
2.4.2. Aspek Ekonomi dan Analisis Kelayakan Minawana
Menurut Gittinger (2008), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha pertu
dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis
finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.
Analisis finansial yang dimaksud terdiri dari (Gittinger 2008):
1. Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan
yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi 1995).
2. Revenue Cost Ratio(RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan.
3. Payback period merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamnya.
4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu
pengusaha mengalami titik impas.
6. Net B/C Ratio(NetB/C) adalah merupakan perbandingan antarabenefitbersih dari tahun-tahun yang bersangkutan yang telah dinilai sekarang (pembilang
yang bersifat positif) dengan biaya bersih dalam tahun (penyebut yang bersifat
negatif) yang telah dinilai sekarang yaitubenefitbersih >benefitkotor.
7. Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menggambarkan bahwa antara keuntungan yang telah dinilai sekarang sama dengan nol.
2.5. Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir
Pemanfaatan sumberdaya secara lestari dalam jangka panjang, tidak hanya
terkait dengan analisis teknik, tetapi memerlukan analisis sosial ekonomi.
Dukungan masyarakat dalam program menjadi prasyarat penting untuk menjamin
keberlanjutan program di masa mendatang. Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya sangat penting, karena mereka juga mempunyai
pengetahuan ekologi lokal (LEK =local ecological knowlegde) yang berperan
dalam usaha pengelolaan sumberdaya alam (Joshi et al. 2004), termasuk
sumberdaya mangrove. Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani
(sebagai contoh) merupakan program pembangunan, pemeliharaan, dan
pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan
hutan. Program ini diharapkan untuk meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara
optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perbaikan
lingkungan dan kelestariannya. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dariagroforestrytermasuk minawana (Perhutani 1995).
Program pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove (kawasan
pesisir) dapat dilakukan dalam bentuk kelembagaan yang dibangun berbasis
masyarakat. Masyarakat yang terkait secara langsung dengan pembangunan dan
pengamanan ekosistem mangrove diajak untuk berpartisipasi aktif dalam
melestarikan ekosistem mangrove. Peran langsung masyarakat lokal dalam
pengelolaan perikanan diperkuat sesuai budaya setempat. Setiap daerah dapat
memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya
masing-masing daerah. Ruddle (1998) menyebutkan agar suatu pengelolaan pesisir
berjalan dan berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki setidaknya beberapa
accountability (tanggung jawab/kewajiban), enforcement (penegakan peraturan/hukum), dansanctions(sanksi).
Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan
antar elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai sebuah konsepsi,
kelembagaan menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai
tujuan bersama serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau
kepentingan mereka tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan
beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar
anggotanya. Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi
atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk
mencapai tujuan bersama (Taryono 2009).
Untuk itu kelembagaan merupakan representasi dari tiga hal penting dalam
masyarakat (Taryono 2009), yaitu (a) kelanjutan dari proses-proses sosial
masyarakat; (b) menggambarkan power sharing antara para pihak yang
berinteraksi; dan (c) merefleksikan adanya yang dirasakan oleh masyarakat atas
kelembagaan tersebut. Ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam memahami
kelembagaan, yaitu (Djogoet al.2003):
1. Memperhatikan prilaku, norma, etika dan nilai perorangan dan organisasi
2. Dapat dituangkan dalam peraturan
3. Memerlukan instrumen atau perangkat tertentu untuk melaksanakannya
4. Memerlukan wadah berupa pranata atau organisasi untuk menjalankannya.
5. Menjadi landasan yang fundamental untuk pembangunan.
6. Implementasi memerlukan tindakan kolektif yang memerlukan solidaritas.
Konsepsi kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya
pesisir di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil mempergunakan Framework
Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan
Gambar 3Kerangka pikir kelembagaan
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti,
Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi
Jawa Barat. Kawasan penelitian ini merupakan wilayah pengelolaan dari Resort
Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil (petak 3-8), Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Lokasi
pengambilan contoh dibagi dalam 3 wilayah. Wilayah pertama adalah daerah Kali
Malang 2 dengan jarak sekitar 3 – 3.5 km dari laut. Wilayah kedua adalah daerah
Kali Malang 2 dengan jarak sekitar 2 – 2.5 km dari laut. Wilayah ketiga adalah
Kali Malang 3 dengan jarak sekitar 0.5 – 1 km dari laut. Waktu yang dibutuhkan
untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini adalah 8 bulan (Agustus 2011 – Maret
2012). Peta lokasi penelitian di sajikan padaGambar 4.
3.2. Rancangan Penelitian
Untuk melihat adanya pengaruh dan hubungan kerapatan mangrove pada
sistem minawana dengan produksi perikanan dirancang sebuah penelitian berupa
rancangan percobaan satu faktor (rancangan acak lengkap). Adapun yang menjadi
perlakuan adalah kerapatan mangrove, yaitu: kerapatan tinggi (penutupan
mangrove >75%), kerapatan sedang (penutupan mangrove 40-60%), dan
kerapatan rendah (penutupan mangrove 10-30%). Adapun sebagai kontrol adalah
tambak murni yang tidak terdapat tanaman mangrove (penutupan mangrove 0%).
Ulangan dilakukan masing-masing 6 kali ulangan. Titik pengambilan contoh
dapat dilihat padaLampiran 1.
3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam tahap penelitian ini adalah peralatan
pengambilan contoh, alat ukur parameter fisik-kimia air, peralatan pengambilan
contoh vegetasi mangrove dan kuisioner untuk kebutuhan data sosial-ekonomi,
dan kelembagaan serta alat tulis. Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah air contoh
dan vegetasi mangrove. Secara ringkas, data-data yang akan dikumpulkan dan
prosedur pengumpulan data pada kajian ini disajikan padaLampiran 2 – 4.
3.3.2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dibagi atas 4 bagian. Pada bagian I, dilakukan kajian tentang
aspek biofisik (ekologi) kawasan minawana maupun perairan sekitarnya. Pada
bagian II, dilakukan pengkajian tentang aspek bioteknis budidaya di kawasan
empang-parit. Pada Bagian III dilakukan analisis usaha dan kelayakan usaha
tambak dengan sistem minawana (aspek ekonomi). Pada bagian IV akan
dilakukan kajian terhadap aspek sosial dan kelembagaan terkait pengelolaan
kawasan minawana. Uraian dari tiap bagian penelitian dapat dilihat padaTabel 2. Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui identifikasi (pengamatan lapang)
dalam bentuk pengamatan, pengukuran dan pengambilan contoh serta wawancara
langsung dengan penduduk, tokoh masyarakat, pihak Perhutani, koperasi, dan
lapang dilakukan untuk mendapatkan data biofisik, meliputi kualitas air insitu, vegetasi perairan pesisir, biota perairan serta data sosial ekonomi dan
kelembagaan.
Tabel 2Uraian bagian-bagian penelitian dan pengumpulan data
Bagian Aspek Uraian Titik/Jumlah Titik
I (Ekologi)
Kualitas air tambak/ kanal
Pengukuran parameter fisika kimia lingkungan, yang meliputi; suhu, salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan, dan DO, serta logam berat.
Tambak dengan
Pengukuran sebaran suhu dan salinitas pada waktu pasang
Pada setiap
kalen/sungai (3 titik) Kualitas air
laut
Pengukuran parameter fisika kimia Lingkungan, yang meliputi; suhu, salinitas, pH air, DO, serta logam berat.
Pasang dan surut (3 titik)
Vegetasi Pengukuran luasan mangrove terhadap tambak (rasio mangrove dan tambak) serta jenis mangrove
Pada 62 tambak yang berbeda
Hubungan udang dan mangrove
Melakukan wawancara dengan penggarap tambak terkait dengan hasil hasil sampingan
Melakukan wawancara dengan masyarakat penangkap ikan dan biota lainnya (non tambak)
Masyarakat pengumpul di 3 desa kajian
II (Bioteknik)
Konstruksi Mengkaji konstruksi tambak, tanggul, pintu air, dan ukuran tambak
Pada 62 tambak yang berbeda
Komoditas Mengkaji komoditas yang dibudidayakan di lokasi studi
Pada 62 tambak yang berbeda
Sistem budidaya
Mengkaji sistem budidaya yang
dilaksanakan oleh masyarakat mulai dari persiapan sampai panen
Pada 62 tambak yang berbeda
III (Ekonomi)
Produksi perikanan
Mengambil data produksi dari KUD minimal 5 tahun terakhir (data sekunder)
Melakukan wawancara dengan penggarap tambak terkait dengan hasil produksi dari tambak
Melakukan wawancara dengan penggarap tambak terkait dengan permodalan mulai dari tahap persiapan – panen
Sosial Pengambilan data (primer dan sekunder) tentang karakteristik masyarakat penggarap tambak dan sekitarnya, seperti: jumlah penduduk, rasio kelamin, pendidikan, agama, sarana prasarana, dll.
Ada 3desa yang masuk dalam wilayah kajian
Kelembagaan Pengambilan data (primer dan sekunder) tentang aspek kelembagaan baik formal maupun informal.
Interaksi: antar warga, penggarap tambak – pihak Perhutani dan aparat
Adat istiadat, tata aturan daerah, dll.
Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka, berupa laporan-laporan
kajian yang berhubungan dengan kajian ini. Laporan tersebut berasal dari
BAPPEDA, BPS, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan
Lingkungan Hidup, perguruan tinggi, Perhutani, dan Koperasi. Laporan tersebut
didapatkan langsung dari instansi ataupun melalui laman (internet).
3.4. Analisis Data
3.4.1. Analisis Status Ekologi dan Kualitas Air Bagi Budidaya 3.4.1.1. Analisis Status Ekologi
Analisis status ekologi dan kualitas air bagi budidaya dilakukan secara
deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan hasil penelitian sebelumnya. Analisis
status ekologi dengan melihat hubungan antara penutupan mangrove dengan
keberadaan udang (hasil tangkapan udang harian) dengan menggunakan Analisis
ragam (Anara) Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis ini digunakan untuk
menguji perbedaan antar nilai tengah contoh dan antar gabungan nilai tengah.
Anara RAL di modelkan dengan (Mattjik dan Jaya 2006):
Yij=+i+ij
dimana:
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
= Rataan umum;
i Pengaruh perlakuan ke-i
ij = galat percobaan
Hipotesis yang dapat diuji dari rancangan diatas yaitu:
H0:1=2==i= 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)
H1: Paling sedikit ada satu perlakuan dimanai≠ 0
Untuk perhitungan Anara dibantu oleh perangkat lunak Microsoft Excel
2010 padaAnova single factor. Hasil analisis Anara sepertiTabel 3. Tabel 3Anara dengan rancangan acak lengkap (RAL)
Sumber keragaman db JK KT F-Hit
Perlakuan t-1 JKP KTP KTP/KTS
Galat t(r-1) JKS KTS
Total tr-1 JKT
Jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji
Beda Nyata Terkecil (Mattjik dan Jaya 2006). Kriteria Uji BNT adalah:
d = │ݕതi*-ݕതj*│
dimanaݕതi*adalah rataan perlakuan ke-i danݕതj*merupakan rataan perlakuan ke-j
Hipotesis dari perbandingan Uji BNT adalah:
H0: µi=µjvs H1: µi≠µj
Kaidah keputusannya adalah jika:
d≤BNT= tdb sisa)√ଶ்ௌ , maka gagal tolak H0
d> BNT= tdb sisa)√ଶ்ௌ , tolak H0
3.4.1.2. Analisis Kualitas Air
Analisis kualitas air mempelajari kondisi kualitas air bagi peruntukan
pengembangan budidaya ikan/udang di kawasan mangrove yang dibandingkan
dengan baku mutu menurut SNI 7310-2009 (budidaya udang windu). Analisis
kualitas air ini mempelajari kondisi kualitas air di dalam tambak.
3.4.2. Analisis Bioteknik Pengelolaan Budidaya Ikan dan Udang
Analisis bioteknik dilakukan dengan menganalisis data bioteknik kawasan
pada kegiatan pengelolaan pertambakan yang ada saat ini. Pengelolaan
pertambakan ini mengacu pada panduan pengelolaan tambak ramah lingkungan
yang dikeluarkan oleh Wetlands International Indonesia Programme (Sualiaet al. 2010) dan penerapan minawana di pantai timur surabaya . Selanjutnya membuat
rencana teknik penerapan minawana yang meliputi layout kawasan, menyusun desain konstruksi, membuat/menerapkan prosedur budidaya yang tepat dan
sederhana yang dapat dengan mudah diterapkan oleh masyarakat. Standar tahapan
kegiatan budidaya yang diamati dapat dilihat padaGambar 5.
3.4.3. Analisis Usaha dan Kelayakan Usaha
Menurut Gittinger (2008), analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis finansial dilakukan melalui
Gambar 5Tahapan kegiatan pengelolaan tambak
(Sumber: Sualiaet al. 2010)
3.4.3.1. Analisis Pendapatan Usaha
Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya
keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi
1995). Secara matematis analisis pendapatan usaha minawana dapat dirumuskan
sebagai berikut:
keterangan :
п = pendapatan (keuntungan) (Rp)
TR =total revenue(penerimaan total) (Rp)
TC =total cost(biaya pengeluaran total) (Rp) yang terdiri dari FC dan VC
FC (fixed cost) = biaya tetap (Rp) dan VC (variable cost) = biaya tidak tetap (Rp) maka:
TR > TC,usaha minawana menguntungkan TR=TC,usaha minawana pada titik impas TR<TC,usaha minawana rugi
TC TR C R/
Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang
nilainya tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, misalnya sewa lahan dan
penyusutan investasi. Sedangkan biaya tidak tetap merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada penerimaan,
misalnya: sarana produksi dan tenaga kerja (Soekartawi 1995).
3.4.3.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)
Analisis revenue-cost ratio dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah (biaya) yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat
memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soekartawi 1995).
Rumus yang digunakan adalah:
maka:
RIC> 1, usaha minawana menguntungkan RIC= 1, usaha minawana pada titik impas RIC< 1, usaha minawana rugi
Secara teoritis jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak
untung dan tidak rugi. Tetapi karena dalam usahatani sering terjadi kesulitan
dalam menghitung tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam
menentukan tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal 1.5
atau 2, untuk menyatakan bahwa usahatani tersebut layak dilakukan.
3.4.3.3.Break Event Point(BEP)
BEP merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan)
sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu pengusaha mengalami titik
impas. Dalam usahatani tambak ini nilai BEP menunjukan pendapatan minimum
pertahun yang harus diperoleh oleh petani sehingga petani dapat mengembalikan
modal produksinya. Secara matematis nilai BEP dapat dihitung dengan rumus
(Soekartawi 1995):
FC =fixed cost(biaya tetap)
VC =variable cost(biaya tidak tetap)
3.4.3.4. Analisis Kriteria Investasi
Prospek pengembangan usaha tambak dapat diketahui dengan melakukan
analisis kriteria investasi (Gittinger 2008). Analisis yang dilakukan meliputi Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return(lRR).
1)Net Present Value(NPV)
Net present valuemerupakan selisih antaratotal present valuedaribenefit dan present value dari biaya pada tingkat suku bunga tertentu (Gittinger 2008). Rumus yang digunakan:
NPV = Net present value(nilai bersih
Bt =benefitkotor dari suatu proyek pada tahun ke-t Ct =biaya kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t i = tingkat suku bunga yang berlaku
n =tahun t =waktu
2)Net Benefit Cost Ratio(Net B/C)
Net benefit cost ratio merupakan perbandingan antara NPV total dari benefit bersih terhadap total dari biaya bersih. Rumus yang digunakan (Gittinger 2008)
adalah:
Net B/C ratio > 1, pengusahaan minawana layak diusahakan
Net B/C ratio < 1, pengusahaan minawana tidak layak untuk diusahakan
3)Internal rate of return(IRR)
IRR adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan jumlah nilai sekarangnetto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek atau NPV sama
dengan nol (Gittinger 2008). Rumus yang digunakan adalah :
Keterangan :
i’ = Tingkat bunga yang rendah yang menyebabkan NPV masih positif
mendekati nol
i” = Tingkat bunga yang tinggi yang menyebabkan NPV negative mendekati nol
NPV’ = NPV positif mendekati nol NPV” = NPV negatif mendekati nol
Kriteria :
IRR > i : maka pengusahaan minawana layak diusahakan IRR < i : maka pengusahaan minawana tidak layak diusahakan
IRR = i : maka pengusahaan minawana mengembalikan modal persis sebesar tingkat modal
3.4.4. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Minawana
Kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009).
Oleh karena itu pengembangan kelembagaan pengelolaan minawana di RPH
tegal-Tangkil mencakup perbaikan organisasi pengelolaan dan aturan main
pengelolaan. Perbaikan organisasi pengelolaan dengan melihat kondisi organisasi
pengelolaan eksisting dan melihat kesenjangan dengan kondisi yang seharusnya.
Kemudian merumuskan organasisasi untuk mengoptimalkan koordinasi dan
komando antar pihak yang terlibat.
Untuk aturan main pengelolaan kawasan pesisir mengacu pada konsep
pengelolaan yang dikembangkan oleh Ruddle (1998). Seperti halnya organisasi
pengelolaan dengan melihat kondisi eksisting terhadap aturan main yang ada saat
ini yang disbanding dengan kondisi yang seharusnya dilakukan. Selanjutnya
merumuskan/memodifikasi aturan main peneglolaan sesuai dengan kebutuhan
saat ini dan dimasa yang akan datang. Pola pengelolaan dari Ruddle (1998)
mengacu pada struktur kelembagaan yang terdiri dari:
1) Kewenangan (authority) hal ini akan terkait dengan wilayah kekuasan dan bagaimana sistem pinjam dari Perum Perhutani kepada penggarap tambak.
2) Tata aturan (rules) hal ini akan berkaitan dengan norma/peraturan yang mengikat antara Perum Perhutani dan penggarap tambak, terkait apa dan
bagaimana perjanjian terhadap pemanfaatan sumberdaya (minawana).
4) Pemantauan dan kontrol (monitoring) hal ini berkaitan dengan bagaimana pemantauan dari pihak Perhutani terhadap pelaksanaan terhadap semua
aturan, norma, perjanjian maupun sanksi yang disepakati. Selain itu
keterlibatan masyarakat (lembaga lokal) terhadap moniring juga perlu di
analisis apakah perlu dilibatkan ataupun tidak.
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis
Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah
pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH
Ciasem-Pamanukan. Secara administrasi terletak di Kecamatan Blanakan. Luas wilayah
Kecamatan Blanakan adalah 7,839.37 ha (Profil Kecamatan Blanakan 2011).
Luas ekosistem mangrove di RPH Tegal-Tangkil secara keseluruhan adalah
2,858.74 ha sedangkan luas wilayah di 3 desa kajian adalah 1,513.59 ha (KPH
Purwakarta 2010). Lokasi penelitian ini difokuskan pada 3 desa yaitu Desa
Jayamukti, Blanakan, dan Langensari. Luas wilayah per kelurahan/desa disajikan
padaTabel 4.
Tabel 4Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil
Desa Luas wilayah (ha) Petak**
Desa* Perhutani**
Jayamukti 1,547.90 735.25 2;3;4;5
Blanakan 980.46 576.34 6;7
Langensari 786.90 202.00 8
Jumlah 3,315.26 1,513.59
Sumber: *Anonimous (2011) **KPH Purwakarta (2010)
Pada umumnya topografi di lokasi penelitian adalah berupa dataran, pantai
dengan ketinggian 0 – 10 m dpl. Adapun batas wilayah penelitian ini adalah:
Utara : Laut Jawa
Selatan: Kec. Ciasem
Timur : Desa Muara Ciasem
Barat : Desa Rawameneng
Berdasarkan peta tinjau tanah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten
(skala 1:200,000) di dalam laporan Kelas Perusahaan Mangrove (KPH Purwakarta
2010), jenis batuan dan tanah yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis tanah
alluvial hidromorf, alluvial dengan warna tanah kelabu, kelabu tua dan coklat.
Batuan tersebut berasal dari bahan endapan liat dan pasir dengan fisiografi
4.2.Ekosistem Mangrove 4.2.1. Vegetasi Mangrove
Berdasarkan dokumen Kelas Perusahaan Mangrove (KPH Purwakarta
2010), luas kawasan ekosistem mangrove yang masuk dalam wilayah RPH
Tegal-Tangkil adalah 1,731.50 ha. Kawasan yang bervegetasi adalah 964.65 ha (55.71
%), sedangkan yang tidak bervegetasi adalah seluas 766.35 ha (44.29 %).
Vegetasi di lokasi penelitian empang-parit merupakan hutan tanaman dengan jenis
bakau-bakau (R. mucronata) dan api-api (A. officinalis). Jenis-jenis tersebut ditanam dengan jarak 2 m x 2 m dan 5 m x 5 m, sehingga kerapatannya adalah
400 – 2,500 pohon/ha. Dalam perkembangannya telah terjadi penebangan atau
mati, sehingga kerapatannya sudah menurun. Bahkan ada kawasan yang sudah
tidak ada mangrove sama sekali (Gambar 6).
(a) (b)
Gambar 6 Kondisi umum mangrove di minawana lokasi penelitian; (a) mangrove dibiarkan, (b) mangrove di tebang untuk memperluas areal tambak(sumber: Dokumentasi pribadi 2012)
Dari 56 petak contoh yang diamati, pohon mangrove yang ditemukan
umumnya adalah jenis A. officinalis. Keliling rata-rata pohon A. officinalis berkisar antara 13 - 60 cm danR. mucronataberkisar antara 13 - 30 cm. Masing-masing tinggi kedua jenis pohon berkisar antara 2 - 6 m. Di samping itu juga
terdapat tanaman baru hasil rehabilitasi di tambak-tambak yang sudah tidak
bermangrove. Untuk vegetasi mangrove di pinggir pantai pada umumnya
didominasi oleh jenis anakan dari mangrove jenis A. officinalis dengan keliling berkisar antara 4 – 12 cm dengan tinggi 1 - 2 m dan kerapatan mencapai 5 ind/m2
(a) (b)
Gambar 7 Kondisi umum mangrove di dekat laut (sempadan pantai); (a) mangrove dibiarkan (ketebalan 10 – 20 m), (b) sempadan pantai jadi tambak(sumber: Dokumentasi pribadi 2012)
4.2.2. Pembagian Blok
Berdasarkan pembagian Blok KP Mangrove di RPH Tegal-Tangkil yang
masuk di dalam BKPH Pamanukan terbagi dalam 3 blok, yaitu 1) Blok
Perlindungan sebesar 17.31 % (2,752.40 ha), 2) Blok Pemanfaatan73.48 %
(11,681.93 ha), dan 3) Blok Lainnya sebesar 9.20 % (460.08 ha). Blok
perlindungan merupakan zona yang difokuskan utuk kegiatan perlindungan dan
konservasi. Blok perlindungan yang ideal memiliki lebar 200 m dari bibir pantai
dan 50 m dari tepi sungai. Akan tetapi saat ini mengalami penurunan akibat
konversi menjadi lahan tambak.
Pada Blok Pemanfaatan merupakan kawasan pemanfaatan empang parit
(minawana) dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan
pemanfaatan jasa lingkungan berupa wisata. Pada Blok ini masyarakat diberikan
kesempatan untuk menggarap empang. Untuk zona pemanfaatan jasa lingkungan
terdapat Wanawisata dan Penangkaran Buaya Blanakan. Luas areal penangkaran
tersebut adalah 6 ha. Pada Blok lainnya diperuntukan tempat saluran pipa oleh PT
Pertamina.
4.2.3. Tambak Milik
Tambak milik saat ini pada umumnya adalah tambak murni. Luas tambak
milik di 3 desa kajian mencapai 591.25 ha. Batas antara tambak milik dengan
tambak Perum (minawana) adalah Kali Malang I. Kali tersebut membentang dari