OPTIMASI MODEL SWAT
DALAM PENDUGAAN DEBIT SUNGAI
(Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Optimasi Model SWAT dalam Pendugaan Debit Sungai (Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
ABSTRAK
MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS. Optimasi Model SWAT dalam Pendugaan Debit Sungai (Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Dibimbing oleh HENDRAYANTO.
Ketersediaan dan kualitas data merupakan tantangan dalam pemodelan SWAT
(Soil and Water Assessment Tools). Oleh sebab itu, perancangan skema diskriminasi data pada pengaturan model (sebelum kalibrasi) diperlukan. Skema diskriminasi data merupakan pembagian skenario ke dalam kombinasi input dan konseptual model untuk memperoleh skenario yang memberikan pengaturan model yang optimal. Selanjutnya, optimasi model SWAT dipertimbangkan berdasarkan performa model sebelum dan setelah kalibrasi. Model SWAT digunakan untuk menduga debit sungai di outlet DTA (Daerah Tangkapan Air) Majalaya dan Cengkrong di Sub-DAS Cirasea. Pengaturan model yang optimal diperoleh dengan memilih kombinasi stasiun curah hujan terefektif sebagai input model yaitu Chichona, Cipaku dan Ciparay selain dari stasiun Cibeurem, Cisonda, dan Paseh. Setelah itu, konseptual model dipilih dengan menerapkan threshold delineasi sub-DAS lebih detail (757 Ha) yang memberikan hasil pengaturan model lebih optimal dari pada threshold delineasi sub-DAS yang kurang detail (3000 Ha). Optimasi kalibrasi model menggunakan SWAT-CUP prosedur SUFI-2 (Sequential Uncertainty Fitting Version 2). Hasil kalibrasi optimal dalam penelitian ini diperoleh dengan menerapkan regionalisasi parameter pada masing-masing DTA dengan jumlah parameter yang dioptimasi lebih banyak. Hasil model yang paling optimal sebelum dan sesudah dilakukannya kalibrasi dan validasi yaitu pada skenario yang menggunakan input model stasiun terefektif (Chichona, Cipaku, dan Ciparay) dan konseptual model yang detail (757 Ha).
Kata kunci: skema diskriminasi data, input model, konseptual model, kalibrasi dan validasi model
ABSTRACT
MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS. SWAT Model Optimization in Estimation of River Discharge (Case Study: Cirasea Sub-Watershed Bandung Regency, West Java). Supervised by HENDRAYANTO.
muh.firdausiqbal@gmail.com
delineation threshold (757 Ha) which give the optimal result, rather than applying the less detail subbasin delineation threshold (3000 Ha). Optimization of model calibration used SWAT-CUP SUFI-2 (Sequential Uncertainty Fitting Version 2) procedure. Optimal calibration result in this study was derived by applying parameter regionalization to each catchment with the more number of optimized parameter. Optimal model result pre and post calibration validation was the scenario that have the model input of best effective raingage stations (Chichona, Cipaku and Ciparay) and detail model conceptual (757 Ha).
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
OPTIMASI MODEL SWAT
DALAM PENDUGAAN DEBIT SUNGAI
(Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini ialah model hidrologi, dengan judul Optimasi Model SWAT dalam Pendugaan Debit Sungai (Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Holid Rosyidi dan Ibunda Ida Farida tercinta, serta saudara Randy Noviandi, M. Zulhaedi Ramdani, Yusfika Permatasari dan Dea Fediana yang telah memberikan dorongan moral dan materi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Hendrayanto M Agr selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, bimbingan, motivasi, kritik, saran, dan perbaikan terhadap tulisan ilmiah ini. Tidak lupa juga penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada Sri Malahayati Yusuf SP, MSi yang telah memberi saran dan dukungan dalam pengumpulan data dan pengetahuan yang menunjang dalam kegiatan penelitian. Kemudian ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan Departemen Manajemen Hutan Laboratorium Hidrologi dan seluruh Keluarga Manajemen Hutan 48.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu Penelitian 2
Jenis dan Sumber Data 3
Alat 4
Pengolahan dan Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Hujan Rata-rata Daerah Menggunakan Metode Centroid Sub-DAS 11
Skenario Multiple Dataset 15
Kalibrasi dan Validasi 18
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
ii
DAFTAR TABEL
1 Jenis, sumber dan skala/resolusi data 3
2 Sumber dan ketersediaan data iklim 4
3 Ketersediaan data debit observasi 4
4 Pembagian skenario dan kombinasi data 8
5 Kalibrasi dengan set input parameter K1 9
6 Kalibrasi dengan set input parameter K3 9
7 Kriteria performa model 10
8 Stasiun curah hujan yang digunakan saat threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha dengan semua stasiun curah hujan sebagai input 12 9 Total luas daerah subdas yang menggunakan stasiun curah hujan yang
sama pada threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha (DTA Majalaya
dan Cengkrong) 13
10 Stasiun curah hujan yang digunakan saat threshold delineasi sub-DAS 757 Ha dengan semua stasiun curah hujan sebagai input 13 11 Total luas daerah subdas yang menggunakan stasiun curah hujan yang
sama pada threshold delineasi sub-DAS 757 Ha (DTA Majalaya dan
DTA Cengkrong) 13
12 Koefisien determinasi (r2) antara debit observasi dan debit simulasi pada DTA yang menggunakan masing-masing data curah hujan 15 13 Nash-Sutcliffe Coefficienct Efficiency (NS) antara debit observasi dan
debit simulasi pada DTA yang menggunakan masing-masing data curah
hujan 15
14 Performa model pada dua periode berdasarkan r2 16 15 Performa model pada dua periode berdasarkan NS 16 16 Hasil kombinasi stasiun curah hujan terhadap simulasi debit pada
masing-masing DTA 17
17 Hasil kalibrasi dan validasi model dengan menggunakan set parameter
(K1 sampai K4) 19
18 Performa model terhadap masing-masing DTA 21
DAFTAR GAMBAR
1 Sub-DAS Cirasea sebagai Lokasi Penelitian 3
2 Diagram aliran proses pemodelan SWAT 6
3 Titik centroid subdas dan titik stasiun curah hujan Sub-DAS Cirasea pada delineasi sub-DAS 3000 Ha (kiri) dan delineasi sub-DAS 757 Ha (kanan) 12 4 Hyetograph (mm) dan hydrograph (m3/s) pada DTA Majalaya dan
Cengkrong dengan penerapan threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha (atas)
dan 757 Ha (bawah) 14
5 Boxplot/whisker masing-masing percobaan kalibrasi dan validasi terhadap
seluruh skenario model 19
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
SWAT (Soil and Water Assessment Tools) merupakan suatu model hidrologi yang dikembangkan oleh Arnold et al. untuk USDA-ARS (United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service). Pengembangan model dilakukan selama lebih dari 30 tahun dan sebelumnya merupakan turunan secara langsung dari model Simulator for Water Resources in Rural Basins, SWRRB (Arnold dan William 1987) yang didesain untuk mensimulasikan dampak pengelolaan lahan terhadap air dan pergerakan sedimen di DAS (Daerah Aliran Sungai) pedesaan di Amerika Serikat (Gassman et al. 2007). SWAT merupakan model yang didasarkan pada proses fisik, dari pada model yang didasarkan pada persamaan empirik, sehingga memerlukan informasi spesifik untuk menjalankan model agar hasil model lebih memuaskan (Neitsch et al. 2011).
Model SWAT dapat diaplikasikan di DAS yang luas, dengan variasi jenis tanah dan kemiringan lereng, kondisi lingkungan yang beragam, digunakan secara open source dan terus dikembangkan untuk mengatasi tantangan ke depan. SWAT telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia, di antaranya di benua Amerika (Arnold et al. 1999), benua Eropa (Abbaspour et al. 2015), benua Afrika (Schuol et al. 2008), Iran (Abbaspour et al. 2009), Kanada (Faramarzi et al. 2015), dan Cina (Zhang et al. 2015). SWAT juga telah banyak digunakan di Indonesia, di antaranya di DAS Citarum Hulu (Adrionita 2011), Citarum Hulu Sub-DAS Cirasea Cengkrong (Yusuf 2010), Ciliwung hulu (Budiaman 2014), Cisadane hulu (Kriswiyanto 2014), Sub-DAS Gumbasa dan Sub-DAS Cisadane Hulu (Mulyana 2012).
Ketersediaan dan kualitas data merupakan salah satu tantangan dalam pemodelan SWAT yang akan memberikan ketidaktepatan input model dan konseptual model dalam proses pengaturan model (model setup). Hal ini juga akan menuntun pada kesalahan optimasi dan pendugaan parameter dalam proses kalibrasi dan validasi model. Oleh karena itu, diperlukan skema diskriminasi data sebelum dilakukan kalibrasi untuk memberikan hasil yang lebih optimal (Faramarzi et al. 2015).
Skema diskriminasi data telah dilakukan di DAS Alberta Kanada oleh Faramarzi et al. (2015) untuk memperoleh hasil output model yang akurat dengan pengaturan model yang tepat. Skema ini dapat dilakukan berdasarkan pengaturan konseptual model, dan input model. Pengaturan konseptual model salah satunya dengan mengatur kedetailan model atau besarnya simplifikasi model, sedangkan pengaturan input model yaitu dengan menggunakan alternatif kombinasi data yang ada sehingga mendapatkan hasil yang paling optimal. Batasan input kombinasi data yang ada dalam penelitian ini ialah curah hujan.
2
Selain itu, untuk menentukan besarnya curah hujan dalam setiap subdas, metode interpolasi curah hujan yang digunakan oleh SWAT ialah interpolasi centroid. Kelemahan dalam metode ini, SWAT akan mampu merepresentasikan secara akurat variabilitas curah hujan secara spasial apabila delineasi subdas yang dilakukan telah cukup mencakup kepadatan dari stasiun curah hujan yang ada (Galván et al. 2014). Delineasi subdas ditentukan oleh besarnya threshold sebagai batasan area minimal untuk membentuk asal aliran sungai. Deliniasi subdas secara konseptual, akan mempengaruhi kedetailan model yaitu jumlah subdas, HRU, dan jaringan sungai.
Kalibrasi pada model semi terdistribusi SWAT seringkali sangat sulit dan subjektif ketika pengaturan model dilakukan dengan simplifikasi model yang cukup besar (Faramarzi et al. 2015). Oleh karena itu, teknik kalibrasi yang optimal akan memberikan performa hasil model yang lebih baik relatif terhadap hasil observasi pengukuran. Hasil observasi pengukuran yang telah dilakukan ialah pengukuran debit sungai. Debit sungai merupakan salah satu respon hidrologi yang terakumulasi kedalam saluran sungai, sehingga debit merupakan salah satu ouput simulasi model SWAT yang dapat dibandingkan dengan data observasi di lapangan sebagai pedoman dalam optimasi saat kalibrasi dan juga keabsahan dari pendugaan parameter yang dilakukan saat kalibrasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pemilihan input curah hujan, threshold delineasi sub-DAS, dan metode kalibrasi yang paling optimal dalam pendugaan debit simulasi, relatif terhadap debit observasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ialah untuk memberikan gambaran prosedur skenario input dan konseptual SWAT model setup, dan juga penerapan teknik kalibrasi dan validasi model yang optimal.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
3
Gambar 1 Sub-DAS Cirasea sebagai Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan, disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1 Jenis, sumber dan skala/resolusi data
Jenis data Skala/resolusi Sumber data
Jaringan Sungai 1 : 25000 Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) - BIG (Badan Informasi Geospasial)
Data Iklim harian 0.3° x 0.3°
CFSR (Climate Forecast System Reanalysis) Global Weather data for SWAT http://globalweather.tamu.edu/ Peta Klasifikasi Jenis
Tanah Tahun 1993 1:100000
Litbang (Lembaga Penelitian dan pengembangan) Sumber daya Lahan Hasil Analisis
Karakteristik Tanah DAS Citarum Tahun 1993
- Litbang (Lembaga Penelitian dan pengembangan) Sumber daya Lahan DEM (Digital
Elevation Model) 30 m x 30 m
USGS-SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2000
4
Tabel 2 Sumber dan ketersediaan data iklim Stasiun
Iklim Sumber data
Ketersediaan data Cipaku Kementrian Pekerjaan Umum (PU) 2002−2014 Cibeurem Kementrian Pekerjaan Umum (PU) 1998−2014 Chichona Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) 1998−2007
Ciparay Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) 1998−2007
Cisonda Kementrian Pekerjaan Umum (PU) 1999−2014 Paseh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) 1998−2007
Global
Weather CFSR (Climate Forecast System Reanalysis) 1979−2014 Tabel 3 Ketersediaan data debit observasi
Nama Outlet
Luas DTA
(Km2) Tipe data Ketersediaan data Sumber data Majalaya 192.70 Debit
harian
2000−2003,
2005−2010 Kementrian PU Cengkrong 71.30 Debit
harian
2000−2001,
2005−2010 Kementrian PU DTA: Daerah Tangkapan Air
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Windows yang dilengkapi software ArcGIS (ArcMap 10.3), ArcSWAT 2012, SWAT-CUP 2012 (SWAT-Calibration Uncertainty Program) dan Microsoft Office 2016 (Word, Excel, Access dan Visio).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data secara diagramatik menyeluruh disajikan dalam Gambar 2. Model alih ragam hujan menjadi debit dalam SWAT (running model) didasarkan pada persamaan neraca air berikut (Neitsch et al. 2011):
5 � : total air yang keluar dari lapisan tanah pada hari ke-i (mmH2O)
: total air yang mengalir kembali ke sungai pada hari ke-i (mmH2O)
Pendugaan limpasan dalam model SWAT, dilakukan berdasarkan metode SCS Curve Number yang dirumuskan sebagai berikut (Neitsch et al. 2011):
� � = ( � − �)
� : abstraksi awal (initial abstraction) termasuk simpanan air
permukaan, intersepsi, dan infiltrasi. Biasanya diberikan nilai 0.2S
Evapotranspirasi aktual �� dihitung setelah total PET (Potensial Evapotranspiration) ditentukan. Total PET ditentukan berdasarkan metode Hargreaves. Sementara itu, evaporasi aktual dihitung pertama kali pada intersepsi yang terevaporasi pada tajuk. Selanjutnya, SWAT menghitung jumlah maksimum dari transpirasi dan jumlah maksimum dari evaporasi tanah, sehingga SWAT dapat menghitung nilai evaporasi tanah aktual (Neitsch et al. 2011).
PET dengan metode Hargreaves ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Neitsch et al. 2011):
�� = . ∙ ∙ − .5∙ ̅
� − .
� : panas laten dari penguapan (MJ kg-1) � : evapotranspirasi potensial (mm hari-1)
: radiasi ekstraterestrial (MJ m-2 hari-1)
: temperatur udara maksimum pada hari tertentu (℃ : temperatur udara minimum pada hari tertentu (℃ ̅� : temperatur udara rata-rata pada hari tertentu (℃
Evapotranspirasi aktual dalam menghitung evaporasi pada intersepsi tajuk dihitung dengan rumus (Neitsch et al. 2011):
Apabila � < ��� :
�� = �� = � , ��� = ��� � − ��
Apabila � > ��� :
6
�� : evapotranspirasi aktual (mmH2O)
� : evapotranspirasi potensial (mmH2O) � � : evaporasi tajuk (mmH2O)
��� : jumlah akhir air bebas yang tertahan pada tajuk (mmH2O) ��� � : jumlah awal air bebas yang tertahan pada tajuk (mmH2O)
Informasi lengkap mengenai konsep, teori, dan formula dari SWAT untuk menentukan nilai transpirasi dan evaporasi tanah aktual dalam menduga debit mengacu pada Neitsch et al. (2011).
Mulai
Gambar 2 Diagram aliran proses pemodelan SWAT SWAT Model Setup
a. Delineasi DAS
7 b. Pembentukan dan pembatasan threshold HRU (Hydrologic Response Unit)
HRU merupakan suatu unit informasi yang memiliki satu kesamaan (homogenitas) unik dan memberikan respon hidrologi terhadap DAS. HRU dalam SWAT terbagi ke dalam informasi penggunaan lahan, tanah dan kelas kemiringan lereng (0−8%, 8−15%, 15−25%, 25−40% dan > 40%). Kombinasi informasi penggunaan lahan/tanah/kelas kemiringan lereng ditimpal (overlay) menjadi kesatuan informasi dan terdistribusi dalam DAS yang telah terdeliniasi, serta dalam masing-masing sub-DAS nya. Kelas kemiringan lereng dihasilkan berdasarkan data DEM yang digunakan (Winchell et al. 2013). Informasi Penggunaan lahan (land use), tanah (soil) dan kemiringan lereng (slope) ditimpal, kemudian threshold distribusi dari HRU dalam DAS berdasarkan nilai default (land use/soil/slope class: (20/10/20) %) sebagaimana direkomendasikan dalam manual guide SWAT (Winchell et al. 2013).
c. Write input table
Write input table merupakan perintah untuk menghasilkan ArcSWAT geodatabase table yang digunakan sebagai input variabel penggerak yaitu curah hujan dan iklim ke dalam database SWAT, kemudian penulisan parameter-parameter default SWAT kedalam ArcSWAT tabel geodatabase.
d. Membangun weather generator
Data curah hujan yang kosong, atau tidak dilakukannya observasi disimulasikan oleh weather generator (wgn). Weather generator mensimulasikan data iklim yang kosong atau tidak dilakukan observasi dengan menginput nilai -99 pada data yang kosong tersebut agar weather generator mengisi data pada hari tersebut. Weather generator diisi berdasarkan parameter statistik yang dibutuhkan seperti dalam Arnold et al. (2012a) dengan acuan data observasi yang memiliki ketersediaan data seperti pada Tabel 2.
Kombinasi Stasiun Curah Hujan Efektif (Best Effective Stations)
Optimasi input data stasiun curah hujan diperoleh dengan memilih kombinasi stasiun efektif di sub-DAS Cirasea. Pemilihan stasiun efektif berdasarkan pada hasil performa model yang dihasilkan dengan menggunakan masing-masing input stasiun curah hujan yang terpisah. Sebagai contoh, proses running model pertama menggunakan satu stasiun Cibeurem sebagai input model, kemudian memberikan hasil simulasi debit dan dibandingkan dengan observasi debit sehingga dapat mengetahui performa model yang dihasilkan oleh stasiun curah hujan Cibeurem. Selanjutnya pada stasiun Cisonda dilakukan hal yang sama sehingga mengetahui respon terhadap performa model yang dihasilkan oleh stasiun Cisonda. Hal ini dilakukan sampai semua stasiun sudah diketahui responnya masing-masing terhadap performa model. Performa model dapat diketahui berdasarkan r2 dan NS. Pembagian Skenario
8
(S1) dilakukan untuk memperoleh kombinasi stasiun curah hujan efektif pada DTA Majalaya dan Cengkrong. Masing-masing kombinasi input dan konseptual model digabungkan ke dalam bagian multiple dataset yang selanjutnya dianalisis berdasarkan DTA, dan juga performa masing-masing model saat sebelum dan sesudah dilakukan kalibrasi dan validasi model.
Tabel 4 Pembagian skenario dan kombinasi data
Sumber Error Skenario/Dataset
Optimasi Input CH I1: masing-masing stasiun curah hujan di input terpisah I2: semua stasiun curah hujan digunakan
I3: kombinasi Stasiun curah hujan efektif digunakan Konseptual Model a: delineasi sub-DAS threshold 3000 Ha
b: delineasi sub-DAS threshold 757 Ha Multiple Dataset S1a: a+I1
S1b: b+I1
Proses kalibrasi merupakan pencocokan nilai parameter-parameter terhadap suatu model yang sudah memiliki konseptual dan input model yang tepat. Kalibrasi dilakukan secara deterministik dan stokastik. Kriteria performa model deterministik ditentukan berdasarkan simulasi terbaik oleh r2 dan NS, sedangkan secara stokastik performa model dijelaskan oleh p-factor dan r-factor.
Kalibrasi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan prosedur SUFI-2 (Sequential Uncertainty Fitting version 2) dalam SWAT CUP. SUFI-2 merupakan kalibrasi semi-automatic yang dilakukan untuk mendapatkan rentang nilai kalibrasi yang terbaik (Abbaspour 2015).
Input parameter dilakukan berdasarkan 4 percobaan (K1 sampai K4). Setiap percobaan kalibrasi dan validasi dalam menduga parameter, diberikan pada setiap skenario (S2 sampai S3). Percobaan K1 (Tabel 5) merupakan set parameter yang disarankan untuk dikalibrasi berdasarkan Abbaspour et al. (2015). Percobaan K2 merupakan regionalisasi parameter dari K1 seperti yang dilakukan oleh Ashraf Vaghefi et al. (2013) yang dilakukan berdasarkan lokasi DTA. Selanjutnya percobaan kalibrasi K3 (Tabel 6) dilakukan untuk membandingkan banyaknya jumlah parameter terhadap hasil pendugaan parameter. Parameter tersebut seperti pada Rouholahnejad et al. (2014) dan juga berdasarkan “SWAT_Absolute Value.txt” yang ada di SWAT-CUP. Kemudian percobaan keempat (K4) dilakukan dengan menerapkan regionalisasi parameter yang dilakukan pada percobaan kalibrasi ketiga (K3). Hal ini dimaksudkan agar mengetahui bagaimana hasil dari regionalisasi parameter terhadap kalibrasi yang dilakukan dengan banyak parameter.
9 diberikan berada pada rentang batas atas dan batas bawah pada iterasi pertama. Iterasi dilakukan sebanyak 4 sampai 5 kali, dengan masing-masing iterasi dilakukan sebanyak 500 kali sebagaimana direkomendasikan dalam Abbaspour (2015).
Tabel 5 Kalibrasi dengan set input parameter K1
Parameter Batas bawah Batas atas
r__CN2.mgt -0.35 -0.35
r__GWQMN.gw -0.8 -0.8
r__GW_REVAP.gw -0.8 0.8
r__REVAPMN.gw -0.8 0.8
r__SOL_AWC(1).sol -0.8 0.8
r__ESCO.hru -0.8 0.8
r__SLSUBBSN.hru -0.4 0.4
r__OV_N.hru -0.4 0.4
r__HRU_SLP.hru -0.4 0.4
v__MSK_CO1.bsn 0 10
v__MSK_CO2.bsn 0 3
v__MSK_X.bsn 0 0.3
Tabel 6 Kalibrasi dengan set input parameter K3
Parameter Batas bawah Batas atas
r__CN2.mgt -0.35 -0.35
v__SHALLST.gw 0 50000
v__DEEPST.gw 0 50000
r__CH_N2.rte -0.8 0.8
r__CH_K2.rte -0.8 0.8
r__ALPHA_BNK.rte -0.6 0.6
r__SOL_AWC().sol -0.5 0.5
r__SOL_K().sol -0.8 0.8
r__SOL_BD().sol -0.4 0.4
r__SOL_ALB().sol -0.4 0.4
v__ROCK().sol 0 50
v__SOL_ZMX.sol 0 3500
v__ANION_EXCL.sol 0.01 1
v__SOL_CRK.sol 0 1
r__SLSUBBSN.hru -0.4 0.4
r__OV_N.hru -0.4 0.4
r__HRU_SLP.hru -0.4 0.4
v__ESCO.hru 0.8 1
v__EPCO.hru 0 1
10
Tabel 6 Lanjutan
Parameter Batas bawah Batas atas
v__MSK_CO1.bsn 0 10
v__MSK_CO2.bsn 0 10
v__MSK_X.bsn 0 0.3
v__SURLAG.bsn 0.04 24
v__CH_K1.sub 0 300
Hasil simulasi terbaik berdasarkan pada objective function NS (Nash-Sutcliffe efficiency coefficient), dan r2 (koefisien determinasi Pearson). Simulasi terbaik diperoleh berdasarkan NS, sedangkan r2 digunakan untuk mengetahui korelasi antara variabel simulasi dan observasi. Parameter r2 dijadikan pertimbangan sebagai bahasan dalam mengetahui performa model.
NS mengukur efisiensi dari model, kecocokkan dari model terhadap ragam dari data observasi (Mamo dan Jain 2013), yang didefinisikan dengan persamaan berikut:
� = − ∑∑�= � − �
�− ̅ � �=
� : Nash-Sutcliffe Coefficient of Efficiency
� : variabel debit simulasi � : variabel debit observasi
̅ � : rata-rata variabel debit observasi
Nilai NS berkisar antara −∞ sampai 1. NS = 1 menunjukkan bahwa model benar-benar tepat sempurna dibandingkan dengan data observasi. NS = 0 menunjukkan bahwa prediksi model memiliki akurasi sebesar nilai rataan dari data observasi, sedangkan NS<0 menunjukkan data rataan observasi merupakan prediktor yang lebih baik dibandingkan dengan model. Kriteria nilai NS terhadap model disajikan dalam Tabel 7 (Moriasi et al. 2007).
Tabel 7 Kriteria performa model
Kriteria NS
Sangat baik 0.75 < NS < 1.00
Baik 0.65 < NS < 0.75
Memuaskan 0.5 < NS < 0.65
Kurang memuaskan NS ≤ 0.50
11 Secara stokastik hasil kalibrasi SWAT-CUP merupakan rentang dugaan parameter dan juga rentang hasil model dalam grafik 95PPU (95 Percent Prediction Uncertainty) yang menunjukkan besarnya ketidakpastian dan performa model. Secara kuantitatif dijelaskan berdasarkan parameter statistik yaitu nilai p-factor dan r-factor. P-factor menunjukkan persentase dari data observasi yang berada pada luasan 95PPU, besarnya dari 0 sampai 1. Nilai 1 menunjukkan semua data observasi berada pada luasan 95PPU, artinya ketidakpastian dari suatu model dapat dipetakan secara sempurna pada data observasi. Nilai r-factor adalah rata-rata lebar 95PPU band dibagi dengan simpangan baku dari variabel observasi, besarnya berkisar antara 0 sampai takhingga, menunjukkan bagaimana ketebalan 95PPU band, atau menggambarkan besarnya ketidakpastian. Abbaspour et al. (2015) merekomendasikan nilai p-factor > 0.7 dan nilai r-factor <1.5.
Validasi Model
Proses validasi dilakukan sama dengan proses kalibrasi namun dengan membandingkan data observasi tahun yang berbeda, sebagai ukuran keabsahan kalibrasi model tanpa melakukan optimasi parameter. Ukuran keabsahan parameter yang dikalibrasi dengan menggunakan parameter r2 dan NS (deterministik) dilakukan dengan menggunakan satu set parameter terbaik kalibrasi iterasi terakhir sebagai input parameter pada periode validasi, dengan melakukan simulasi dan iterasi satu kali. Sementara untuk mengetahui performa p-factor dan r-factor (stokastik), dilakukan dengan menggunakan rentang parameter yang sama pada saat kalibrasi iterasi terakhir, dengan iterasi satu kali, dan jumlah simulasi yang sama saat kalibrasi (500 kali). Hasil dari 95PPU masing-masing validasi deterministik dan stokastik menunjukkan hasil dari validasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hujan Rata-rata Daerah Menggunakan Metode Centroid Sub-DAS
12
Gambar 3 Titik centroid subdas dan titik stasiun curah hujan Sub-DAS Cirasea pada delineasi sub-DAS 3000 Ha (kiri) dan delineasi sub-DAS 757 Ha (kanan)
Interpolasi yang dilakukan pada Gambar 3 dengan threshold delineasi sub-DAS 757 Ha akan memberikan input curah hujan yang lebih beragam secara spasial. Misalnya pada Gambar 3 dengan delineasi sub-DAS 757 Ha, seluruh area subdas 33 akan menggunakan nilai curah hujan stasiun hujan Cisonda, sementara subdas 39 akan menggunakan nilai curah hujan stasiun hujan Cibeurem. Oleh karena itu, input curah hujan yang dilakukan pada DTA Majalaya akan lebih beragam pada delineasi sub-DAS 757 Ha dibandingkan dengan delineasi sub-DAS 3000 Ha. Hasil interpolasi curah hujan pada delineasi sub-DAS 3000 Ha dan 757 Ha disajikan pada Tabel 8 sampai Tabel 11.
Tabel 8 Stasiun curah hujan yang digunakan saat threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha dengan semua stasiun curah hujan sebagai input
Subdas Luas (Ha) Stasiun curah hujan DTA
1 367.25 Ciparay -
2 5075.85 Ciparay -
3 3006.11 Cipaku -
4 175.39 Ciparay -
5 2141.82 Ciparay -
6 675.38 Cipaku -
7 232.43 Cipaku Majalaya
8 7130.07 Cisonda Cengkrong
9 3071.33 Paseh Majalaya
10 366.87 Cipaku Majalaya
13 Tabel 9 Total luas daerah subdas yang menggunakan stasiun curah hujan yang sama pada threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha (DTA Majalaya dan Cengkrong)
Stasiun curah hujan DTA Luas Total (Ha)
Cisonda Cengkrong 7130.07
Cipaku Majalaya 599.3
Paseh Majalaya 3071.33
Cibeurem Majalaya 15599.09
Tabel 10 Stasiun curah hujan yang digunakan saat threshold delineasi sub-DAS 757 Ha dengan semua stasiun curah hujan sebagai input
Sub
Tabel 11 Total luas daerah subdas yang menggunakan stasiun curah hujan yang sama pada threshold delineasi sub-DAS 757 Ha (DTA Majalaya dan DTA Cengkrong)
Stasiun curah hujan DTA Luas Total (Ha)
Cisonda Cengkrong 6655.98
Ciparay Cengkrong 474.09
Cipaku Majalaya 1048.53
14
Tabel 11 Lanjutan
Stasiun curah hujan DTA Luas Total (Ha)
Paseh Majalaya 5539.85
Cibeurem Majalaya 9978.5
Gambar 4 Hyetograph (mm) dan hydrograph (m3/s) pada DTA Majalaya dan Cengkrong dengan penerapan threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha (atas) dan 757 Ha (bawah)
2000 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (mm)
(m3/s) Threshold3000 Ha
Pcp Majalaya Pcp Cengkrong
2000 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (mm)
(m3/s) Threshold757 Ha
Pcp Majalaya Pcp Cengkrong
15 Tabel 9 dan 11 menyajikan besarnya kontribusi suatu stasiun curah hujan terhadap luasan subdas pada DTA Majalaya dan Cengkrong. Berdasarkan Tabel 9 dan 11 stasiun Cisonda berkontribusi besar terhadap DTA Cengkrong sedangkan stasiun Cibeurem berkontribusi terhadap DTA Majalaya. Besarnya akumulasi rata-rata curah hujan pada kedua DTA diilustrasikan dengan Gambar 4. Curah hujan rata-rata daerah (Gambar 4) dibandingkan secara deskriptif dengan debit observasi untuk melihat pola curah hujan terhadap debit dari tahun 2000−2010. Berdasarkan Tabel 9 dan 11 serta Gambar 4 dapat diketahui bahwa kontribusi stasiun curah hujan dapat mempengaruhi jumlah akumulasi dari curah hujan yang terjadi pada kedua DTA.
Hasil interpolasi Tabel 8 sampai Tabel 11 menggambarkan bahwa stasiun Chichona sama sekali tidak berkontribusi sebagai input curah hujan karena tidak menjadi stasiun yang terdekat pada setiap titik centroid subdas pada threshold 757 Ha dan 3000 Ha. Meskipun demikian, selain berdasarkan lokasi stasiun curah hujan terhadap titik centroid, juga dilihat performa setiap stasiun untuk mengetahui kualitas data dari setiap stasiun dan menerapkan skema diskriminasi data.
Skenario Multiple Dataset
Skenario S1a dan S1b
Performa model dikatakan layak apabila nilai parameter statistik NS > 0.5 dan r2 > 0.5 (Moriasi et al. 2007). Tabel 12 dan Tabel 13 menunjukkan performa model sebagai respon dari masing-masing stasiun curah hujan. Setiap stasiun curah hujan memberikan respon yang kurang baik (NS <0.5 dan r2<0.5).
Tabel 12 Koefisien determinasi (r2) antara debit observasi dan debit simulasi pada DTA yang menggunakan masing-masing data curah hujan
Stasiun curah hujan M (S1a) M (S1b) C (S1a) C (S1b)
16
Kombinasi stasiun terefektif (Best Effective Stations) sebagai input curah hujan yaitu stasiun Chichona, Cipaku, dan Ciparay. Hal ini dikarenakan stasiun-stasiun tersebut memberikan performa model yang konsisten pada kedua DTA Majalaya dan Cengkrong, dan juga dipertimbangkan pada kedua nilai parameter statistik yaitu NS dan r2. Untuk mengetahui konsistensi dari stasiun curah hujan, dibatasi dengan memberikan threshold NS > -1.5 dan r2 > 0.14 sehingga dengan mudah dapat mengetahui kombinasi stasiun terefektif.
Stasiun curah hujan Chichona, dan Ciparay memiliki ketersediaan data tahun 1998 sampai tahun 2007. Sementara itu, stasiun Cipaku memiliki ketersediaan data tahun 2002 sampai tahun 2014 (Tabel 2). Untuk mengisi data yang kosong, digunakan weather generator, sehingga weather generator memiliki intervensi dalam menduga debit selain dari data observasi curah hujan. Hal ini menjadi suatu hipotesis bahwa weather generator dapat menduga curah hujan dengan baik karena telah mengisi data kosong selama lebih dari 3 tahun.
Perbandingan antara hasil performa model yang bersumber dari data observasi dan data dugaan dari weather generator dilakukan dengan membandingkan periode tahun tahun 2000−2010 dan tahun 2000−2007. Hal ini dikarenakan pada periode tahun 2000−2007 hanya sedikit digunakan weather generator sebagai pengisi data yang kosong. Perbandingan tersebut dilakukan pada skenario S1b yang disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15.
Tabel 14 Performa model pada dua periode berdasarkan r2 2000 − 2007 2000 – 2010
Tabel 15 Performa model pada dua periode berdasarkan NS 2000 − 2007 2000 – 2010
17 stasiun Chichona lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun Cibeurem. Hal ini dikarenakan hasil pembangunan weather generator stasiun Chichona yang menggunakan data observasi sebagai acuan dalam menghasilkan parameter statistik yang dibutuhkan dalam weather generator stasiun Chichona, memiliki hasil debit simulasi yang lebih baik dibandingkan dengan hasil debit simulasi dari data observasi stasiun Cibeurem. Oleh karena itu, weather generator dapat menduga dengan baik data curah hujan yang kosong, sehingga stasiun Chichona dipertimbangkan sebagai input stasiun curah hujan meskipun ketersediaan data nya lebih rendah dari pada stasiun Cibeurem.
Skenario S2a, S2b, S3a, dan S3b
Tabel 16 Hasil kombinasi stasiun curah hujan terhadap simulasi debit pada masing-masing DTA
DTA Skenario r2 NS
Majalaya S2a 0.24 -10.3
Cengkrong S2a 0.39 -2.12
Majalaya S2b 0.30 -4.93
Cengkrong S2b 0.40 -1.71
Majalaya S3a 0.30 -0.74
Cengkrong S3a 0.35 -0.07
Majalaya S3b 0.39 -0.53
Cengkrong S3b 0.42 0.03
Tabel 16 merupakan perbandingan hasil model sebelum kalibrasi antara input kombinasi stasiun curah hujan efektif dan semua input stasiun curah hujan, dengan membandingkan tingkat kedetailan model terhadap hasil. Kombinasi seluruh stasiun curah hujan (S2a dan S2b) sebagai input data curah hujan memberikan hasil yang relatif masih kurang optimal, terutama pada DTA Majalaya. Sementara itu, pada input stasiun curah hujan efektif, hasil meningkat pada kedua skenario (S3a dan S3b). Oleh karena itu, kombinasi stasiun curah hujan efektif akan memberikan model yang lebih optimal sebelum dilakukan kalibrasi.
18
Kalibrasi dan Validasi
Setiap percobaan kalibrasi, dilakukan pada masing-masing skenario model untuk mengetahui respon parameterisasi yang diberikan terhadap model pada dua DTA yang berbeda yaitu Majalaya (M) dan Cengkrong (C). Masing-masing hasil dari setiap percobaan kalibrasi disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 5. Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa skenario yang memiliki nilai r2 dan NS paling optimal sebelum dan sesudah kalibrasi yaitu S3b (input stasiun curah hujan efektif dengan delineasi sub-DAS 757 Ha). Hal ini berarti bahwa kombinasi stasiun efektif dengan tingkat kedetailan yang lebih tinggi dapat mengoptimalkan hasil model sebelum dan sesudah kalibrasi. Oleh karena itu, skema diskriminasi data pada tahap pengaturan model merupakan tahap yang penting sebelum dilakukannya kalibrasi dan validasi.
Tabel 17 Hasil kalibrasi dan validasi model dengan menggunakan set parameter (K1 sampai K4)
K1 K2 K3 K4
Model Awal Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi
Skenario r2 NS r2 NS r2 NS r2 NS r2 NS r2 NS r2 NS r2 NS r2 NS
S2a (M) 0.24 -10.3 0.33 -3.51 0.47 -12.30 0.33 -3.5 0.46 -12.27 0.36 -2.7 0.48 -9.69 0.33 -2.37 0.54 -7.83 S2a (C) 0.39 -2.12 0.45 -0.93 0.1 -1.69 0.46 -1.05 0.13 -1.56 0.41 -0.08 0.12 -0.74 0.41 -0.7 0.06 -1.07 S2b (M) 0.3 -4.93 0.38 -1.87 0.36 -4.92 0.38 -1.84 0.36 -4.84 0.33 -1.24 0.39 -2.54 0.37 -1.31 0.37 -3.23 S2b (C) 0.4 -1.71 0.47 -0.73 0.13 -1.69 0.46 -0.78 0.14 -1.47 0.4 0.06 0.09 -1.03 0.44 -0.05 0.11 -0.86 S3a (M) 0.3 -0.74 0.44 0.03 0.08 -1.59 0.41 0.23 0.11 -0.83 0.47 0.34 0.06 -0.72 0.47 0.37 0.05 -0.60 S3a (C) 0.35 -0.07 0.29 -0.09 0.51 -0.12 0.31 0.17 0.59 -0.19 0.28 -0.19 0.44 0.09 0.21 0.1 0.48 0.20 S3b (M) 0.39 -0.53 0.44 0.14 0.37 -0.98 0.42 0.26 0.38 -0.42 0.47 0.39 0.35 -0.44 0.45 0.35 0.37 -0.39 S3b (C) 0.42 0.03 0.49 -0.09 0.44 -0.14 0.47 0.25 0.52 0.17 0.47 -0.13 0.40 0.01 0.46 0.3 0.51 0.24
Gambar 5 Boxplot/whisker masing-masing percobaan kalibrasi dan validasi terhadap seluruh skenario model
20
Gambar 6 Hydrograph 95PPU bulanan antara debit observasi dan simulasi
-1
DTA Majalaya skenario S3b kalibrasi K4
95PPU band Observasi Simulasi
DTA Cengkrong skenario S3b kalibrasi K4
21 Tabel 18 Performa model terhadap masing-masing DTA
Majalaya Cengkrong
Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi
p-factor 0.25 p-factor 0.25 p-factor 0.38 p-factor 0.43 r-factor 0.31 r-factor 0.39 r-factor 0.30 r-factor 0.47
r2 0.45 r2 0.37 r2 0.46 r2 0.51
NS 0.35 NS -0.39 NS 0.30 NS 0.24
Secara deskriptif pendugaan debit dilakukan dengan baik hanya pada tahun tertentu untuk masing-masing DTA (Gambar 6). Pendugaan pada DTA Majalaya memiliki simulasi debit yang overestimate pada periode validasi. Hasil validasi DTA Majalaya secara kuantitatif (Tabel 18) menunjukkan bahwa nilai NS periode validasi (-0.39) memiliki hasil yang tidak konsisten dibandingkan dengan periode kalibrasi. Hal ini berarti bahwa model tidak dapat menduga secara konsisten pada DTA Majalaya. Pendugaan pada DTA Cengkrong memiliki hasil yang konsisten antara periode kalibrasi dan validasi, karena pada Tabel 18 nilai r2 dan NS pada periode kalibrasi dan validasi secara signifikan tidak berbeda jauh. Walaupun demikian, performa model masih belum memiliki kriteria yang dapat dikatakan memuaskan pada DTA Cengkrong karena pendugaan debit yang dilakukan masih memiliki nilai NS < 0.5 dan r2 < 0.5 pada kedua periode.
Analisis ketidakpastian dan performa model stokastik dapat digambarkan dengan grafik 95PPU atau secara kuantitatif menggunakan parameter statistik p-factor dan r-factor. Performa model memiliki kriteria yang tidak layak, karena memiliki p-factor < 0.7 sementara ketidakpastian model memiliki nilai yang baik karena r-factor < 1.25. Namun, untuk melakukan analisis ketidakpastian, tentu saja harus menggunakan model yang memiliki performa yang sudah dikatakan layak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa model yang dihasilkan pada kedua DTA masih memiliki kriteria yang tidak layak untuk menduga debit dalam jangka waktu 10 tahun. Hal ini disebabkan karena jangka waktu yang sangat panjang, dengan kurangnya kedetailan informasi yang diberikan pada input model dan konseptual model. Input model diantaranya ialah perubahan penggunaan lahan, sementara konseptual model yang dimaksud diantaranya ialah pembagian parameter menjadi periode musim kering dan musim basah seperti yang dilakukan oleh Zhang et al. (2015) dan juga konseptual pothole model yang dilakukan oleh Faramarzi et al. (2015).
Penelitian ini berfokus untuk melakukan optimasi model SWAT sehingga memiliki model yang paling optimal dari setiap alternatif yang ada dengan menggunakan kombinasi stasiun curah hujan yang efektif dan dengan metode kalibrasi yang optimal. Penelitian ini belum sampai pada tahapan selanjutnya agar model memiliki kriteria yang layak sehingga model dapat digunakan untuk analisis lanjut seperti pengaruh perubahan lahan, kualitas air dan penerapan pengelolaan pada DAS.
22
kembali dengan memperhatikan konsistensi model dalam jangka waktu yang panjang.
Harus disadari bahwa kuantifikasi yang dilakukan dalam model SWAT akan menduga hasil sejumlah output variabel angka yang tepat, apabila pengukuran input model (curah hujan) dan output model (observasi debit) dilakukan dengan benar. Bagaimanapun menurut Abbaspour (2015) pernyataan sangat naif yaitu ketika model yang diperoleh cukup baik menduga variabel observasi kemudian kita mengasumsikan bahwa proses dalam model entah bagaimana dianggap tepat mengarah pada variabel observasi tersebut. Permasalahannya ialah seringkali proses kombinasi yang salah dalam model mungkin juga akan memberikan hasil simulasi yang baik. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, semakin banyaknya variabel (yang mewakili proses yang berbeda) yang kita masukan kedalam objective function (variabel debit observasi), maka semakin besar kita menghindari proses yang salah. Dalam penelitian ini, hal tersebut telah dilakukan dengan mensimulasikan model dalam jangka waktu yang panjang dan juga dengan dua DTA bersamaan dikalibrasikan sebagai variabel dalam objective function berdasarkan NS seperti yang sudah dilakukan oleh Zhang et al. (2008).
23
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Skema diskriminasi data dilakukan untuk memilih input stasiun curah hujan (input model) dan threshold delineasi sub-DAS (konseptual model) yang optimal. Pemilihan input stasiun curah hujan dilakukan berdasarkan respon masing-masing stasiun curah hujan untuk menentukan kombinasi stasiun terefektif (best effective stations) yaitu stasiun Chichona, Cipaku dan Ciparay. Pemilihan threshold sub-DAS dilakukan untuk mengetahui kedetailan threshold delineasi sub-DAS yang paling optimal diantara 3000 Ha dan 757 Ha. Semakin detail delineasi yang dilakukan (757 Ha), akan memberikan hasil model yang lebih optimal dibandingkan dengan delineasi yang kurang detail (3000 Ha), sehingga kedetailan informasi menjadi hal penting dalam pemodelan. Sementara itu pada tahap kalibrasi, hasil yang optimal dilakukan dengan melakukan regionalisasi parameter untuk setiap DTA dan dengan menggunakan banyak parameter yang dioptimasi. Hasil pendugaan debit paling optimal sebelum dan sesudah dilakukan kalibrasi dan validasi model ialah pada input model kombinasi stasiun curah hujan efektif dengan penerapan threshold delineasi sub-DAS 757 Ha.
Saran
Skema diskriminasi diterapkan dalam penelitian yang menggunakan model SWAT agar mendapatkan pengaturan model yang optimal. Salah satu data input model yang dapat dilakukan diskriminasi ialah input stasiun curah hujan sebagai variabel penggerak yang sangat mempengaruhi performa model dalam pendugaan debit. Selanjutnya, disarankan dengan menerapkan threshold delineasi sub-DAS yang lebih detail apabila perangkat keras yang digunakan mendukung dalam proses pemodelan. Selain itu, skema diskriminasi data dilakukan secara otomatis dengan menciptakan atau mengembangkan perangkat lunak yang dapat memilih alternatif input dan konseptual model yang optimal secara otomatis misalnya, dengan memilih stasiun curah hujan efektif. Hal ini dilakukan agar pengguna dapat memperoleh berbagai kombinasi stasiun yang terbaik saat sebelum dan sesudah proses kalibrasi secara otomatis serta mengefisiensikan waktu pada penggunaan model dengan skala yang luas misalnya pada skala benua.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour, KC. 2015. User Manual for SWAT-CUP. Zürich, Switzerland: EAWAG Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology,
Dübendorf. Diunduh Januari 2016 tersedia pada:
http://swat.tamu.edu/media/114860/usermanual_swatcup.pdf
Abbaspour KC, Rouholahnejad E, Vaghefi S, Srinivasan R, Yang H, dan Kløve B. 2015. A continental-scale hydrology and water quality model for Europe: Calibration and uncertainty of a high-resolution large-scale SWAT model.
Journal of Hydrology (Elsevier-ScienceDirect). 524: 733-752.
doi:10.1016/j.jhydrol.2015.03.027
Abbaspour, KC, Faramarzi M, Ghasemi S, dan Yang H. 2009. Assessing the Impact of Climate Change on Water Resources in Iran. Water Resource Research
(American Geophysical Union-AGU). 45 (10): W10434.
doi:10.1029/2008WR007615
Abbaspour KC, Jing Y, Maximov I, Siber R, Bogner K, Johanna M, Juerg Z, dan Srinivasan R. 2007. Modeling Hydrology and Water Quality in the Pre-Alpine/Alpine Thur Watershed using SWAT. Journal of Hydrology (Elsevier
- ScienceDirect). 333 (2-4): 413-430. doi:10.1016/j.jhydrol.2006.09.014.
Adrionita. 2011. Analisis Debit Sungai dengan Model SWAT pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Jawa Barat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Arnold JG, dan William JR. 1987. Validation of SWRRB: Simulator for water resorces in rural basins. Journal of Water Resorces Planning and Management (American Society of Civil Engineers-ASCE). 113 (2): 243-256. doi:10.1061/(ASCE)0733-9496(1987)113:2(243)
Arnold JG, Moriasi DN, Gassman PW, Abbaspour KC, White MJ, Srinivasan R, Santhi C, Harmel RD, Van Griensven A, Van Liew MW et al. 2012b. SWAT: Model use, Calibration, and Validation. Transaction of ASABE (American Society of Agricultural and Biological Engineering). 55 (4): 1491-1508. doi:10.13031/2013.42256
Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, William JR, Haney EB, dan Neitsch SL. 2012a. SWAT Input/Output Documentation Version 2012. Texas (US): USDA - ARS dan Texas A&M Blackland Research Center, Texas Water Resource
Institute. Diunduh Januari 2016 tersedia pada:
http://swat.tamu.edu/media/69296/SWAT-IO-Documentation-2012.pdf
Arnold JG, Srinivasan R, Muttiah S, dan Allen PM. 1999. Continental Scale Simulation of the Hydrologic Balance. Journal of American Water Resource
Association. 35 (5): 1037-1051. doi:10.1111/j.1752-1688.1999.tb04192.x
Ashraf Vaghefi S, Mousavi SJ, Abbaspour KC, Srinivasan R, dan Yang H. 2013. Analyses of the impact of climate change on water resources components, drought and wheat yield in the semi-arid Karkheh River Basin in Iran.
25 Budiaman C. 2014. Alih Ragam Hujan Menjadi Debit di Sub DAS Ciliwung Hulu.
[Skripsi], Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Faramarzi M, Srinivasan R, Iravani M, Bladon DK, Abbaspour KC, Zehnder Alexander JB, dan Goss Greg G. 2015. Setting up a hydrological model of Alberta: Data discrimination analyses prior to calibration. Environmental
Modeling & Software (Elsevier - ScienceDirect). 74: 48-65.
doi:10.1016/j.envsoft.2015.09.006
Galván L, Olías M, Izquierdo T, Cerón JC, dan Fernández de Villarán R. 2014. Rainfall estimation in SWAT: An Alternative method to simulate orographic precipitation. Journal of Hydrology (Elsevier - ScienceDirect). 509: 257-265. doi:10.1016/j.jhydrol.2013.11.044.
Gassman PW, Reyes MR, Green CH, dan Arnold JG. 2007. The Soil and Water Assesment Tool: Hystorical Development, Application and Future Research Direction. Transaction of ASABE (American Society of Agricultural and
Biological Engineers ISSN 0001-2351). 50 (4): 1211-1250.
doi:10.13031/2013.23637
Kriswiyanto A. 2014. Karakteristik Penguasaan Lahan, Penggunaan Lahan, dan Muatan Sedimen di DAS Cisadane Hulu. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mamo KHM, dan Jain MK. 2013. Runoff and Sediment Modeling Using SWAT in
Gumera Catchment, Ethiopia. Open Journal of Modern Hydrology (Scirp -
Scientific Research Publisher). 3 (4): 196-205. doi:10.4236/ojmh.2013.34024.
Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew MW, Bingner RL, Harmel RD, dan Veith TL. 2007. Model Evaluation Guidelines fr Systematic Quantification of Accuracy in Watershed Simulation. Transaction of ASABE (American Society of
Agricultural and Biological Engineering ISSN 0001−2351). 50 (3): 885-900.
doi:10.1.1.532.2506.
Mulyana N. 2012. Analisis Luas Tutupan Hutan Terhadap Ketersediaan Green Water dan Blue Water di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu dengan Aplikasi Model SWAT. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry J, dan Williams JR. 2011. Soil and Water Assessment Tool-Theoretical Documentation Version 2009. Texas (US): USDA Agricultural Research Service and Texas A&M Blackland Research
Center, Temple. Diunduh Januari 2016 tersedia pada:
http://swat.tamu.edu/media/99192/swat2009-theory.pdf
Rouhani H, Willems R, dan Feyen J. 2009. Effect of Watershed Delineation and Areal Rainfall Distribution on Runoff Prediction Using The SWAT Model. Hydrology Research. 40 (6): 505-519. doi:10.2166/nh.2009.042 .
26
Schuol J, Abbaspour KC, Yang H, Srinivasan R, dan Zehnder AJB. 2008. Modeling
blue and green water availability in Africa. Water Resource
Research(American Geophysical Union-AGU). 44 (7): W07406.
doi:10.1029/2007WR006609.
Schuol J, Abbaspour KC, Srinivasan R, dan Yang H. 2008. Estimation of freshwater availability in the West African sub-continent Using the SWAT hydrologic model. Journal of Hydrology (Elsevier - ScienceDirect). 352 (1-2): 30-49. doi:10.1016/j.jhydrol.2007.12.025.
Winchell M, Srinivasan R, Di Luzio M, dan Arnold JG. 2013. ArcSWAT Interface for SWAT 2012 User's Guide. Texas (US): USDA-ARS and Texas A&M Blackland Research Center, Temple
Yunxiang L, Baolin S, Junying Y, Hui L, dan Qian Z. 2011. GIS Techniques for
Watershed Delineation of SWAT Model in Plain Polders. Procedia
Environmental Sciences (Elsevier - ScienceDirect). 10 (C): 2050-2057.
doi:10.1016/j.proenv.2011.09.321
Yusuf, Sri Malahayati. 2010. Kajian Respon Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Karakteristik Hidrologi pada DAS Cirasea Menggunakan Model MWSWAT. [Tesis], Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zhang D, Chen X, Yao H, dan Lin B. 2015. Improve Calibration Scheme of SWAT by Separating Wet and Dry Season. Journal of Ecological Modeling (Elsevier
- ScienceDirect). 301: 54-61. doi:10.1016/j.ecolmodel.2015.01.018
27
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 1 Agustus 1993 dari Ayah Kholid Rosyidi dan Ibu Ida Farida. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dimulai dengan memasuki TK PGRI pada tahun 1998−1999, SD Negeri Cijangkar pada tahun 1999−2003, SD Negeri Pintukisi pada tahun 2003−2005, SMP Negeri 6 Kota Sukabumi pada tahun 2005−2008, dan SMA Negeri 3 Kota Sukabumi 2008−2011. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan Departemen Manajemen Hutan.
Penulis selama masa kuliah menjadi anggota komunitas lingkungan IGAF (Indonesian Green Action Forum) yang diinisiasi oleh mahasiswa IPB dan juga mengikuti kegiatan dalam kampus seperti pencak silat Merpati Putih dan juga tergabung dalam klub asrama Cybertron saat TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Penulis gemar menghadiri seminar dan workshop bertema lingkungan hidup diantaranya ialah; International Workshop on Climate Change “Youth Action on Climate Change” di Melaka Malaysia tahun 2015, Forests Asia’s Summit 2014 di Jakarta, Seminar Nasional Ecological Expo 2014 di IPB, dan menjadi panitia dalam IPB green festival di IPB 2014. Penulis juga mempelajari GIS, dengan support oleh mata kuliah Analisis Spasial Lingkungan, dan Geomatika Inderajaya Kehutanan yang telah diambil, sehingga penulis mengembangkan minat pada hobi nya yaitu komputer dan software dalam GIS Analysis.