• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Cendawan Dan Mikotoksin Dalam Pakan Ayam Petelur Yang Dijual Di Pasar Tradisional Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Cendawan Dan Mikotoksin Dalam Pakan Ayam Petelur Yang Dijual Di Pasar Tradisional Kota Bogor"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI CENDAWAN DAN MIKOTOKSIN DALAM

PAKAN AYAM PETELUR YANG DIJUAL DI PASAR

TRADISIONAL KOTA BOGOR

KHUSNUL KHOTIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Cendawan dan Mikotoksin dalam Pakan Ayam Petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

KHUSNUL KHOTIMAH. Identifikasi Cendawan dan Mikotoksin dalam Pakan Ayam Petelur yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor. Dibimbing oleh AGUSTIN INDRAWATI dan HADRI LATIF.

Pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak ayam yang berperan dalam mendukung pertumbuhan dan produktivitasnya. Pakan dapat berfungsi sebagai substrat pertumbuhan untuk berbagai mikroorganisme, karena bahan pakan mengandung air, karbohidrat, protein termasuk enzim, lemak, mineral, dan vitamin sehingga bahan pakan tersebut mudah terkontaminasi cendawan. Kontaminasi cendawan dalam pakan ayam petelur dapat terjadi selama penyimpanan. Kontaminasi tersebut dapat mengakibatkan kerugian ekonomi berupa turunnya nilai harga jual pakan serta gangguan kesehatan berupa penyakit mikosis dan mikotoksikosis pada hewan dan manusia. Hal ini disebabkan oleh cendawan yang mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa mikotoksin. Salah satu jenis mikotoksin yang sering dijumpai adalah aflatoksin. Aflatoksin memiliki tingkat potensi bahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan mikotoksin lain, karena selain berpotensi menyebabkan karsinogenik, aflatoksin juga dapat menyebabkan mutagenik, teratogenik, dan bersifat imunosupresif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cendawan dan mikotoksin dalam pakan ayam petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor.

Identifikasi cendawan menggunakan slide culture metode Riddel dan deteksi mikotoksin menggunakan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukan dari 100 sampel pakan ayam petelur, ditemukan 13 jenis cendawan yang berpotensi sebagai kontaminan pada pakan ayam petelur adalah Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger, A. ochraceus, A. tamarii, A. terreus, Cladosporium cladosporioides, C. herbarum, Endomyces fibuliger, Eupenicillium ochrosalmonecum, Eurotium chevalieri, Fusarium verticillioides, dan Penicillium citrinum. Cendawan yang dominan ditemukan adalah A. flavus (36.9%) dengan kepadatan populasi per spesies sebanyak 10.3x105 cfu/g. Terdapat 8 dari 100 sampel pakan ayam petelur di Pasar Tradisional Kota Bogor yang memiliki kepadatan populasi cendawan di atas 104 cfu/g. Delapansampel tersebut kemudian diuji lanjut kandungan mikotoksinnya. Kandungan mikotoksinyang diukur adalah aflatoksin. Jenis kandungan aflatoksin yang ditemukan yaitu AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2. Semua sampel yang diuji

mengandung aflatoksin B1 dengan rataan konsentrasi 13.43 ppb. Kandungan

aflatoksin yang terdapat dalam pakan ayam petelur tersebut tidak melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia No 01-3929-2006. Walaupun demikian kandungan aflatoksin yang relatif rendah, harus tetap diwasapadai, hal ini disebabkan aflatoksin dapat terakumulasi dalam tubuh dan sulit didegradasi, sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang bersifat kronis.

(5)

SUMMARY

KHUSNUL KHOTIMAH. Identification of Fungi and Mycotoxin in Layer Feed Sold in Traditional Markets of Bogor. Supervised by AGUSTIN INDRAWATI and HADRI LATIF.

Feed is the main nutritional source for livestock supporting their growth and productivity. Feed can also function as substrate for the growth of various microorganisms because it consists of water, carbohydrates, proteins, including enzymes, fats, minerals, and vitamins, making it prones to fungal contamination. Fungal contamination in layer feed can occur during storage period. Such contamination leads to economic loss in the form of decreasing feed selling price, in addition to health problems such as mycosis and mycotoxicosis in human and animals. This is because of particular fungi which is capable to produce mycotoxin as secondary metabolic compound. One of the most familiar mycotoxins is aflatoxin which has higher potential risk than other mycotoxins because it can potentially cause carcinogenic, mutagenic, and terratogenic, in addition to having immunosuppressive nature. The present study was aimed to determine fungal species and mycotoxin in laying-hen feed sold in traditional markets in Bogor.

Fungal identification was carried out using slide culture following Riddell’s method while mycotoxin detection using high performance liquid chromatography (HPLC) method. Out of 100 samples, 13 fungal species were found as potential contaminant for layer feed, i.e. Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger, A. ochraceus, A. tamarii, A. terreus, Cladosporium cladosporioides, C. herbarum, Endomyces fibuliger, Eupenicillium ochrosalmonecum, Eurotium chevalieri, Fusarium verticillioides, and Penicillium citrinum. Aspergillus flavus was found dominantly (36.9%) with the population density per species of 10.3x105 cfu/g. This study found 8 out 100 samples of poultry feed in traditional market in Bogor whereas the population density were higher than 104 cfu/g, making aflatoxin test was carried out for the 8 samples to determine their mycotoxin content. Aflatoxin contents found were AFB1, AFB2, AFG1, and AFG2. All the tested samples

contained aflatoxin B1 with average concentration of 13.4 ppb. The aflatoxin

content did not exceed the maximum limit of residu permitted by Indonesian National Standard (SNI) No. 01-3929-2006, i.e. 50 ppb. Although the aflatoxin content was considered low, it was still should be aware of because aflatoxin could be accumulated in body and hardly degraded, and eventually could cause chronical health problems.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Kesehatan Masyarakat Veteriner

IDENTIFIKASI CENDAWAN DAN MIKOTOKSIN DALAM

PAKAN AYAM PETELUR YANG DIJUAL DI PASAR

TRADISIONAL KOTA BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)

2

(9)
(10)
(11)

5

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Identifikasi Cendawan dan Mikotoksin dalam Pakan Ayam Petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2014 hingga Juli 2015 di Laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Mikotoksin, Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Bekasi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Agustin Indrawati, M.Biomed dan Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi, selaku pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih juga kepada Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi, selaku dosen penguji luar komisi atas masukan serta saran yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Tinggi) Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui program Penelitian Unggulan Strategis Nasional. Terima kasih sebesar-besarnya kepada suami tersayang Saiyid Ridho Maritsa atas perhatiannya, dukungan, motivasi, serta do’anya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga tercinta almarhum Ayahanda H. Mahsun Zuhri, Ibunda Siti Indarti, Doni Wahyu Candra, Yudi Sugianto, Dewi Masitah, dan seluruh keluarga besar Bapak Saihudin atas do’a, dukungan serta kasih sayang yang diberikan. Terima kasih juga kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, dan seluruh staf dan pegawai Laboratorium Mikotoksin di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Bekasi, atas bantuan serta kerja samanya selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih kepada seluruh staf pengajar program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas semua ilmunya yang diberikan selama perkuliahan. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2013 program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Edi, Ai, dan Isti) serta teman-teman seperjuangan satu kost (Kakak Henny, Kakak Robika dan Mawar) dan seluruh teman-teman di organisasi HIMPAS, atas semua kebersamaan dan motivasi yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

7

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pakan Ayam Petelur 2

Kontaminasi Cendawan dalam Pakan 3

Mikotoksin 5

METODE 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 7

Prosedur Penelitian 8

Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Jenis-jenis cendawan 10

Karakteristik cendawan 12

Kandungan aflatoksin pada pakan ayam petelur 16

SIMPULAN DAN SARAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18

(14)

8

DAFTAR TABEL

1 Persyaratan mutu pakan untuk ayam ras petelur (layer) 2 2 Beberapa cendawan dan toksin yang dihasilkan serta pengaruhnya pada

hewan 7

3 Besaran sampel pakan ayam petelur yang diperoleh dari Pasar

Tradisional Kota Bogor 8

4 Jenis cendawan dalam pakan ayam petelur yang terdapat di 5 Pasar

Tradisional Kota Bogor 11

5 Rataan konsentrasi aflatoksin dalam pakan ayam petelur di Pasar

Tradisional Kota Bogor 17

DAFTAR GAMBAR

1 Suhu optimum pertumbuhan cendawan gudang 3

2 Mekanisme pencemaran kapang pada jagung 4

3 Struktur kimia dari aflatoksin 5

4 Identifikasi cendawan menurut metode Riddel 10

5 Persentasi jenis cendawan pada pakan ayam petelur 11

6 Aspergillus flavus 12

7 Aspergillus fumigatus 12

8 Aspergillus niger 13

9 Aspergillus ochraceus 13

10 Aspergillus tamarii 13

11 Aspergilus terreus 13

12 Cladosporium cladosporioides 14

13 Cladosporium herbarium 14

14 Endomyces fibuliger 14

15 Eupenicillium ochrosalmonecum 14

16 Eurotium chevalieri 15

17 Fusarium verticillioides 15

18 Penicillium citrinum 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis cendawan dalam pakan ayam petelur yang terdapat di 5 Pasar

Tradisional Kota Bogor 21

2 Sampel pakan ayam petelur yang memiliki kepadatan populasi

cendawan diatas 104 cfu/g 21

3 Metode pengujian aflatoksin menggunakan HPLC 21

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cendawan merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat berpotensi sebagai sumber kontaminan. Cendawan yang berasal dari genus Mucor, Rhizopus, Aspergillus, Cladosporium, Dictyostelium dan Saccharomyces merupakan golongan cendawan kontaminan (Susilowati dan Listyawati 2001). Menurut Ahmad (2009) golongan cendawan dari Aspergillus spp., merupakan cendawan gudang yang sering ditemukan dalam pakan. Tyasningsih (2010) melaporkan bahwa kehadiran Aspergillus spp., yang melebihi nilai ambang batas pada pakan dapat menyebabkan kasus aspergillosis pada unggas yang mengkonsumsinya.

Pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak yang berperan dalam mendukung pertumbuhan dan produktifitasnya. Menurut Jahan et al. (2006) ada 3 jenis bentuk pakan ayam yaitu mash (tepung), crumble, dan pellet. Pakan dalam bentuk tepung lebih mudah tercemar cendawan dibandingkan dalam bentuk butiran (Ahmad 2009). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi turunnya kualitas pakan di Indonesia ialah iklim (Rachmawati et al. 1999). Kondisi iklim tropis di Indonesia dapat mendukung pertumbuhan cendawan pada pakan selama penyimpanan (Tyasningsih 2010; Ahmad 2009). Pitt dan Hocking (1997) menyatakan bahwa Aspergillus spp., dan Eurotium spp., merupakan cendawan pencemar utama yang dapat hadir pada daerah beriklim tropis.

Beberapa jenis cendawan yang terdapat dalam pakan ayam petelur berpotensi menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa mikotoksin, salah satunya ialah aflatoksin. Menurut Lewis et al. (2005) terdapat dua jenis cendawan yang mampu menghasilkan aflatoksin yaitu A. flavus dan A. parasiticus. Bryden (2012) melaporkan bahwa mikotoksin dapat mempengaruhi keamanan pakan. Dampak yang ditimbulkan oleh mikotoksin meliputi aspek kesehatan dan ekonomi. Aspek kesehatan berupa mikotoksikosis akut sampai timbulnya kanker hati kronis pada manusia dan hewan. Aspek ekonomi berupa perubahan bahan pakan baik berupa fisik, biologi dan kimiawi, sehingga menurunkan kualitas dan nilai jual pakan (Hastiono 1983). Rocha et al. (2014) menyatakan bahwa mikotoksin merupakan penyebab karsinogenik pada hewan dan manusia. Bahri (1998) melaporkan bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersil terkontaminasi oleh aflatoksin B1 (AFB1), dari 193 sampel pakan unggas yang diuji, terdapat

13.5% yang positif mencapai konsentrasi 200 ppb. Ahmad (2009) melaporkan kandungan aflatoksin pada biji jagung di Indonesia berkisar antara 10-300 ppb. Kandungan maksimal aflatoksin menurut standar BSN (2006) dalam SNI No 01-3929-2006 ialah 50 ppb.

(16)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis cendawan dan mikotoksin dalam pakan ayam petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah kepadatan populasi cendawan dalam sampel pakan ayam petelur tidak melebihi dari 104 cfu/g dan jumlah kadar mikotoksin (aflatoksin) yang dihasilkan tidak melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan dalam SNI No 01-3929-2006 yaitu 50 ppb.

Manfaat Penelitian

Data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat serta pedagang pengumpul pakan ayam mengenai cemaran cendawan dan mikotoksin pada pakan ayam petelur. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk menanggulangi cemaran cendawan dengan meningkatkan kesadaran para pedagang pengumpul dan peternak untuk melakukan pencegahan terhadap cemaran cendawan.

TINJAUAN PUSTAKA

Pakan Ayam Petelur

Pakan merupakan sumber nutrisi bagi ternak yang terdiri dari beberapa bahan-bahan pakan yang memiliki kandungan nilai gizi yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Sarno (2007) melaporkan dari segi ekonomi, pakan memegang peranan penting dalam usaha atau produksi peternakan yaitu meliputi 60-70% dari total biaya produksi, sedangkan dari segi teknis, produktivitas dan kelangsungan hidup ternak sangat tergantung dari asupan pakan yang diberikan. Menurut Uzer et al. (2013) pakan yang dikonsumsi oleh ternak sangat menentukan pertumbuhan bobot badan sehingga berpengaruh terhadap efisiensi suatu usaha peternakan. Menurut BSN (2006) dalam SNI No 01-3929-2006 standar pakan ayam ras petelur (layer) disusun sebagai upaya untuk meningkatkan jaminan mutu (quality assurance), serta dapat diperdagangkan dan mutunya dapat mempengaruhi kinerja ayam ras yang sedang bertelur.

(17)

3 Tabel 1 Persyaratan mutu pakan ayam ras petelur (layer)

No Parameter (%) Persyaratan

1

Cendawan mampu tumbuh secara optimal saat kadar air bahan baku dalam pakan berkisar antara 15-20% dan disimpan pada suhu 30-32 oC. Beberapa cendawan mempunyai karakteristik suhu spesifik dalam mendukung pertumbuhannya secara optimal, seperti pada (Gambar 1) cendawan Aspergillus spp., yang akan tumbuh optimal di suhu 22-32 oC, Penicillium spp., disuhu 17-30 oC dan Fusarium spp., akan tumbuh optimal pada suhu 2-15 oC.

Gambar 1 Suhu optimum pertumbuhan cendawan gudang (Sumber: Medion 2009)

Kontaminasi Cendawan dalam Pakan

(18)

4

bahwa cendawan kontaminan yang sering dijumpai pada pakan dan bahan penyusun pakan adalah Aspergillus flavus. Cendawan ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang lembab (kelembaban di atas 70%) dan suhu antara 4-40 °C (optimum 25-32 °C) (Lai et al. 2014). A. flavus mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu aflatoksin. Ada 4 jenis aflatoksin yang sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin

G1 (AFG1), aflatoksin G2 (AFG2). Dari ke 4 jenis aflatoksin tersebut aflatoksin B1

memiliki efek toksik yang paling tinggi. Adapun cendawan lain penghasil aflatoksin adalah A. oryza, A. ochraceus, Penicillium puberulum, P. citrinum, dan

P. expansum.

Menurut Dharmaputra (2004) keberadaan mikotoksin pada pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ialah faktor biologi, yaitu biji-bijian yang telah tercemar cendawan dan cendawan penghasil toksin. Faktor lingkungan, meliputi suhu, kelembaban, dan kerusakan biji oleh serangga. Pemanenan, termasuk tingkat kemasakan biji, suhu, kelembaban, pendeteksian, dan pemipilan. Penyimpanan, antara lain suhu dan kelembaban ruang simpan, pendeteksian, dan pemisahan biji yang tercemar, dan pemrosesan, seperti pengeringan dan sortasi biji. Handayani dan Sulistyo (2000) melaporkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kontaminasi cendawan penghasil toksin dapat menyebabkan pakan tidak layak untuk dikonsumsi kembali oleh ternak, hal ini karena turunnya nilai pakan yang meliputi gizi, perubahan warna, perubahan rasa dan bau, serta adanya pembusukan sebagai akibat terjadinya perubahan komposisi kimia.

Proses kontaminasi cendawan dalam bahan pakan terutama jagung dapat dilihat pada Gambar (2) yaitu dimulai saat spora (konidia) cendawan beterbangan di udara terbawa oleh angin dan serangga, kemudian menempel secara langsung atau tidak langsung pada tanaman jagung, cendawan akan tumbuh optimal jika suhu dan kelembabannya sesuai dengan pertumbuhannya. Ketika jagung dipanen, cendawan dan mikotoksin yang dihasilkan sudah menginfeksi hasil panen. Spora cendawan sebagian juga terbawa oleh udara dan menjadi sumber infeksi selanjutnya (Ahmad 2009). Berikut mekanisme kontaminasi cendawan dalam salah satu bahan penyusun pakan disajikan pada Gambar 2.

(19)

5 Mikotoksin

Aflatoksin

Beberapa jenis cendawan dapat menghasilkan mikotoksin, salah satu jenis mikotoksin yang dapat dihasilkan ialah aflatoksin. Menurut Ahmad (2009) aflatoksin merupakan produk metabolit sekunder yang dihasilkan strain toksigenik Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Handajani dan Setyaningsih (2006) melaporkan aflatoksin memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi dibandingkan dengan mikotoksin lain. Aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang

mampu menjadi penyebab karsinogen pada manusia. Menurut Lanyasunya et al. (2005) aflatoksin selain berpotensi menyebabkan karsinogenik, aflatoksin juga dapat menyebabkan mutagenik, teratogenik, dan bersifat imunosupresif.

Aflatoksin diisolasi pertama kali pada awal tahun 1960 di Inggris dari penyakit yang disebut turkey“X” disease yang menyebabkan kematian mendadak lebih dari 100 000 kalkun dengan kelainan nekrosis hepatik fulminant tanpa sebab yang jelas. Sebab dari kematian ini diketahui setelah beberapa lama kemudian, bahwa kematian ini terjadi karena pakan unggas tersebut terkontaminasi oleh toksin dari cendawan Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Yenny 2006).

Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai kemiripan satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi kimiawinya dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Dikenal ada 4 jenis aflatoksin yaitu AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2. Berikut struktur kimia aflatoksin

disajikan dalam Gambar 3.

G

Gambar 3. Struktur kimia aflatoksin (Oliveria dan Corassin 2014)

Menurut Lewis et al. (2005) B dan G ini diberikan berdasarkan atas warna fluoresensi yang ditimbulkan pada medium agar yang dilihat di bawah sinar ultraviolet, seperti biru (blue atau B), dan hijau (green atau G). AFB2 dan AFG2

Aflatoksin B1 Aflatoksin B2

(20)

6

merupakan analog dari derivat dihidro dari AFB1 dan AFG1. Di antara ke 4 isomer

yang ditemukan, AFB1 merupakan yang paling toksik dan paling karsinogenik.

AFB2 bersifat karsinogenik ringan, karena enzim ini sebagian kecil diubah

menjadi AFB1.

Pengaruh Aflatoksin pada Tubuh

Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, aflatoksin menempati tempat penting karena akibat yang ditimbulkannya pada manusia maupun hewan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan hepatotoksisitas (Yenny 2006).

Ternak yang mengkonsumsi pakan yang sudah terkontaminasi aflatoksin akan menyebabkan bagian daging, telur ataupun susunya mengandung aflatoksin. Hal ini akan menimbulkan bahaya pada kesehatan manusia, terutama kanker hati, karena struktur aflatoksin sangat stabil, dengan beberapa cara perlakuan fisik maupun kimia tidak mengurangi toksisitasnya karena sulit terdegradasi (Iswari 2006). Adapun jenis kanker yang dapat disebabkan oleh AFB1 yaitu Karsinoma

hepatoselular. Menurut Yenny (2006), Karsinoma hepatoselular secara umum diderita 500 000 orang tiaptahunnya di dunia, dengan 80% kejadianditemukan di negara berkembang dengan five year mortality >95%. Karsinomahepatoselular ini merupakan penyebabmorbiditas dan mortalitas terutama di Cina danAfrika.

Proses masuknya aflatoksin ke dalam tubuh dapat melalui oral dan inhalasi. Menurut Ahmad (2009) setelah pakan yang terkontaminasi aflatoksin tertelan, usus menyerap aflatoksin bersama pakan, dan di dalam usus dua belas jari menjadi bagian utama penyerapan melalui difusi pasif. Tempat metabolisme utama aflatoksinadalah organ hati. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis dan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik) dan kanker (manusia dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan kerusakan organ dalam (pembesaran hati, limpa, ginjal), perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding.

Gremmels dan Dorne (2013) melaporkan senyawa aflatoksin B1 yang tinggi

(21)

7 Tabel 2 Beberapa cendawan dan toksin yang dihasilkan serta pengaruhnya

pada hewan.

Cendawan Toksin yang

dihasilkan

Pengaruh toksin

Aspergillus flavus Aflatoksin B1,

B2

Hepatotoksik, karsinogenik, mutagenik, imunosupresif

A. parasiticus Aflatoksin B1,

B2, G1, dan G2

Hepatotoksik,

karsinogenik,mutagenik, imunosupresif

A. ochraceus Okratoksin Karsinogenik, imunosupresif

Fusarium proliferatum Fumonisin Neurotoksik, hepatotoksik, hepatotoksik,karsinogenik

Penicillium verrucosum Okratoksin Karsinogenik, imunosupresif, neprotoksik

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 hingga Juni tahun 2015 di Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Mikotoksin, Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Bekasi.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu, pakan ayam petelur jenis mash, kantong plastik, alkohol 70%, media Dichloran 18 Glycerol Agar (DG18), Czapek Yeast Extract Agar (CYA), kloramfenikol, akuades, lactophenol cotton blue, metanol, standar aflatoxin (B2, B1, G2, dan G1) 1000 ng, NaCl p.a.

(22)

8

Prosedur Penelitian Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel

Sampel yang digunakan ialah pakan ayam petelur jenis mash yang diambil dari 10 pedagang pakan ayam petelur di 5 Pasar Tradisional Kota Bogor. Besaran sampel ditentukan pada tingkat kepercayaan 90% dan dihitung dengan menggunakan persamaan rumus perhitungan besaran sampel menurut Thrusfield (2006):

Dengan tingkat kepercayaan 90%, galat 10% dan asumsi prevalensi sebesar 50%, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

n =

n =

=

n = 100 sampel

Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh besaran sampel sebanyak 100 sampel yang berasal dari 10 pedagang di 5 Pasar Tradisional Kota Bogor. Sampel yang diambil pada setiap karung sebanyak 1 kg, kemudian dimasukan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label kode sampel, lokasi asal pasar pengambilan dan tanggal pengambilan. Secara lengkap besaran sampel yang diambil pada setiap Pasar Tradisional di Kota Bogor disajikan pada Tabel 1.

Tabel 3 Besaran sampel pakan ayam petelur yang di peroleh dari Pasar Tradisional Kota Bogor

Pasar Jumlah pedagang Jumlah sampel

Pasar Kebon Kembang (Pasar Anyar)

(23)

9 Isolasi Cendawan

Isolasi cendawan dilakukan berdasarkan metode dari Dharmaputra et al. (2013). Isolasi dimulai dari tahapan pengenceran berseri 10-1 hingga 10-5, kemudian setiap pengenceran dilanjutkan dengan metode cawan tuang.

Pakan ayam ditimbang sebanyak 25 g, kemudian dimasukan ke dalam gelas ukur 500 mL dan ditambahkan akuades steril hingga mencapai volume 250 mL, hasil pengenceran tersebut merupakan suspensi pakan 1:10-1. Kemudian, suspensi dipindahkan ke erlemenyer 500 mL dan dihomogenisasi menggunakan shaker pada kecepatan 150 rpm selama 1 menit. Sebanyak 10 mL dipindahkan ke erlemenyer 250 mL dan ditambahkan 90 mL akuades steril, kemudian dihomogen. Hasil suspensi yang diperoleh tersebut yaitu 1:100 atau 10-2. Seri pengenceran dibuat hingga suspensi pengenceran 10-5. Selanjutnya setiap pengenceran, dipindahkan ke dalam 3 cawan petri, masing-masing dipindahkan ke cawan petri sebanyak 1 mL dan ditambahkan 10 mL media DG18 cair. Cawan petri dihomogenisasi membentuk angka 8 agar tercampur dengan baik dan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 5-7 hari.

Cendawan/g dihitung menggunakan rumus Dharmaputra et al. (1999)

Populasi cendawan/g

X = volume suspensi pakan ayam yang dipindahkan ke setiap cawan petri Y = pengenceran yang memberikan koloni cendawan secara terpisah Z = rata-rata jumlah koloni cendawan dari 3 cawan petri

Pengamatan Makroskopis Cendawan

Setiap koloni cendawan yang tumbuh pada media Dichloran 18 Glycerol Agar (DG18), dimurnikan dalam media Czapek Yeast Extract Agar (CYA), Kemudian diinkubasi selama 7 hari dan diamati secara makroskopis meliputi warna koloni, diameter koloni, garis-garis radial dari pusat koloni ke arah tepi koloni, dan lingkaran-lingkaran konsentrasi. Identifikasi cendawan mengacu pada Pitt dan Hocking (1997), dan Gandjar et al. (1999).

Identifikasi Mikroskopis Cendawan

(24)

10

Berikut identifikasi cendawan menggunakan slide culture Metode Riddel disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Identifikasi cendawan menurut metode Riddel (Sumber: Dorry 1980) Variabel yang diamati dalam pengamatan mikroskopis ini yaitu bentuk spora, bentuk konidia, dan konidiofor.

Analisis Kadar Mikotoksin

Jenis mikotoksin yang diuji pada penelitian ini adalah aflatoksin. Jenis uji mikotoksin ini ditentukan setelah diketahui jumlah serta jenis cendawan yang paling dominan ditemukan. Analisis aflatoksin (B1, B2, G1, dan G2) menggunakan

metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang mengacu pada AOAC (2005) (Lampiran 2).

Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data deskriptif. Hasil identifikasi cendawan serta uji mikotoksin pada penelitian ini disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis jenis cendawan

Pada pakan ayam petelur di Pasar Tradisional Kota Bogor ditemukan berbagai jenis cendawan yang dapat berpotensi sebagai cendawan kontaminan. Cendawan kontaminan ini menjadi salah satu masalah tersendiri, karena cendawan ini mampu memproduksi toksin yang dapat menurunkan kualitas dalam pakan.

(25)

11

(+) Ada; (-) Tidak ada; (A,B,C,D,E,F,G,H,I,J) Pedagang pakan ayam petelur

Gambar 5 Persentase jenis cendawan pada pakan ayam petelur

Berdasarkan Gambar 5, Aspergillus flavus merupakan cendawan yang paling dominan ditemukan (36.9%) dengan jumlah kepadatan populasi per spesies sebanyak 10.3x105 cfu/g. Ahmad (2009) dan Djaenudin et al. (2004) juga melaporkan bahwa Aspergillus flavus merupakan cendawan yang umum ditemukan pada pakan. Hal ini disebabkan karena cendawan ini merupakan cendawan gudang dan mampu memproduksi aflatoksin selama penyimpanan pada kisaran suhu 11-41oC (Pitt dan Hocking 1997; Ahmad 2009).

(26)

12

Gambar 7 Aspergillus fumigatus (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 3 cm, berwarna hijau tua, terdapat lingkaran konsentrasi dan garis radial (b) Konidia berbentuk bulat hingga semibulat (c) Vesikel berbentuk bulat dan lebar.

lama penyimpanan pakan dapat berpengaruh (P<0.01) terhadap produk pakan, hal ini disebabkan oleh kehadiran cendawan kontaminan selama penyimpanan, sehingga terjadi penurunan kualitas dalam pakan. Handayani dan Sulistyo (2000) melaporkan bahwa kondisi lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang rendah dapat memicu pertumbuhan cendawan sehingga dapat mengkontaminasi pakan. Hal ini didukung oleh Bryden (2012) bahwa cendawan kontaminan mampu merusak struktur komoditas pakan secara fisik, kimia, dan biologis selama penyimpanan.

Lama penyimpanan pada pakan akan mempengaruhi sifat fisik dari pakan tersebut. Kualitas pakan yang disimpan akan turun jika melebihi batas waktu tertentu. Menurut Ratnani et al. (2009) hal demikian disebabkan karena adanya keterkaitan antara kondisi suhu dan kelembaban udara yang terdapat di dalam ruang penyimpanan, sehingga suhu dan kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar air, hal ini disebabkan karena saat kelembaban relatif rendah maka kandungan air pada bahan pakan akan menguap. Pernyataan ini diperkuat oleh studi lanjut yang dilakukan Retnani et al. (2010) bahwa kelembaban yang relatif rendah selama penyimpanan akan mendukung pertumbuhan cendawan yang akan menghidrolisa lemak. Semakin lama penyimpanan, maka kadar air meningkat, hal ini menyebabkan semakin tinggi serangan mikroorganisme penghasil enzim lipase yang mampu memecah lipid.

Karakteristik Cendawan

Setiap jenis cendawan memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda, baik secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil isolasi dan identifikasi 13 jenis cendawan disajikan pada Gambar 6 hinga Gambar 18 yang mengacu pada Pitt dan Hocking (1997) dan Gandjar et al. (1999).

a

(27)

13 lingkaran konsentrasi dan garis radial (b) Konidia berbentuk bulat (c) Vesikel berbentuk bulat (d) Konidiofor membentuk panjang hingga membengkok.

Gambar 9 Aspergillus ochraceus (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 2.5 cm, berwarna kuning, memiliki garis radial dan lingkaran-lingkaran konsentrasi (b) Konidia berbentuk bulat hingga semibulat (c) Konidiofor membentuk panjang hingga membengkok (d) Vesikel berbentuk bulat.

a

b c

a

b c

Gambar 10 Aspergillus tamarii (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 4 cm, berwarna coklat kekuningan, memiliki lingkaran konsentrasi dan garis radial (b) Konidia berbentuk bulat hingga semibulat (d) Vesikel berbentuk bulat hingga semibulat.

(28)

14

a

b c

a

b c

Gambar 12 Cladosporium cladosporioides (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 2.8 cm, permukaan berkerut dan berwarna abu-abu, memiliki lingkaran konsentrasi dan garis-garis radial (b) Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, dan membentuk rantai (c) Konidiofor memanjang dan tidak bersepta.

Gambar 13 Cladosporium herbarum (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 3 cm, berwarna gelap abu-abu, memiliki lingkaran konsentrasi dan garis radial (b) Konidia berbentuk elips atau silindris (d) Konidiofor memanjang dan bersepta.

Gambar 14 Endomyces fibuliger (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 6 cm, berwarna putih, terdapat lingkaran konsentrasi, dan garis radial (b) Konidia berbentuk bulat atau elips (d) Konidiofor pendek, bercabang, dan bersepta.

(29)

15

Gambar 18 Penicillium citrinum (Perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 1.5 cm, berwarna hijau hingga abu-abu, terdapat lingkaran konsentrasi dan garis-garis radial (b) Konidiofor panjang dan lurus (c) Konidia berbentuk bulat hingga semibulat.

Berdasarkan hasil identifikasi, dari 13 jenis cendawan, terdapat 9 cendawan yang dapat menghasilkan mikotoksin dan 4 cendawan yang tidak dapat menghasilkan mikotoksin. Jenis cendawan yang menghasilkan mikotoksin ialah Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger, A. ochraceus, A. terreus, Eupenicillium

a

Gambar 16 Eurotium chevalieri (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 4 cm, berwarna kuning cerah hingga kuning gelap kecoklatan, tidak terdapat lingkaran konsentrasi namun terdapat garis radial (b) Vesikel dan konidia berbentuk bulat (c) Askus berbentuk bulat (d) Askospora berbentuk bulat hingga lonjong (e) Konidiofor berbentuk panjang dan tidak bersepta.

Gambar 17 Fusarium verticillioides (perbesaran 10x100) (a) Koloni pada media CYA, berdiameter 3.5 cm, berwarna putih dan berserabut, memiliki lingkaran konsentrasi dan garis radial (b) Konidiofor pendek dan berbentuk botol (c) Fialid berbentuk rantai (d) Mikrokonidia bersepta, lurus, dan tidak memiliki khlamidospora, mikrokonidia terbentuk dari fialid dalam rantai panjang.

a

(30)

16

ochrosalmonecum, Eurotium chevalieri, Fusarium verticillioides, dan Penicillium citrinum. Jenis cendawan yang tidak mampu menghasilkan mikotoksin ialah A. tamarii, Cladosporium cladosporioides, C. herbarum, dan Endomyces fibuliger. Menurut Pitt dan Hocking (1997) Aspergillus flavus mampu menghasilkan aflatoksin B1 dan B2 yang dapat mengakibatkan hepatotoksik, karsinogenik,

mutagenik, dan imunosupresif. Cendawan ini dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-12 oC hingga 42-43 oC dengan suhu optimum 32 oC-33 oC. Cendawan A. fumigatus mampu menghasilkan fumitremorgen dan spora dari cendawan ini dapat menyebabkan penyakit paru-paru pada burung (aspergilosis). Spesies ini mampu tumbuh pada suhu pertumbuhan minimum 12 oC, optimum 40-42 oC, dan maksimum 55 oC. Cendawan A. niger, A. ochraceus, dan Eurotium chevalieri mampu menghasilkan okratoksin yang dapat mengakibatkan karsinogenik, imunosupresif, nefrotoksik. Cendawan A. niger dan A. ochraceus ini mampu tumbuh pada suhu minimum 6-8 oC, optimum pada suhu 35-37 oC, maksimum 45-47 oC, sedangkan cendawan Eurotium chevalieri ini dapat tumbuh pada suhu minimum 10-12 oC, optimum 30-35 oC, dan suhu maksimum 40-43 oC. Cendawan A. terreus mampu tumbuh pada suhu optimum 29-32 oC. Cendawan ini dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu territrem yang memiliki toksisitas yang signifikan, namun toksin ini belum banyak dilaporkan sehingga belum ada laporan tentang pengaruhnya terhadap kesehatan. Cendawan Eupenicillium ochrosalmoneum menghasilkan toksin citreoviridin, namun toksin ini belum ada yang meneliti sehingga belum ada laporan tentang pengaruhnya terhadap kesehatan baik pada ternak serta manusia. Cendawan Fusarium verticillioides mampu menghasilkan fumonisin, mikotoksin ini dapat mengakibatkan nefrotoksik, hepatotoksik, dan karsinogenik. Cendawan tersebut mampu tumbuh pada suhu optimum 22.5 oC-27.5 oC dan suhu maksimum 32 o C-37 oC. Cendawan Penicillium citrinum mampu menghasilkan citrinin yang dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Cendawan ini mampu tumbuh pada suhu minimum 5 oC, optimum pada suhu 26-30 oC, dan maksimum di atas 37 oC.

Kandungan Aflatoksin pada Pakan Ayam Petelur

Hasil penelitan menunjukkan bahwa dari 100 sampel pakan ayam petelur, terdapat 8 sampel yang memiliki kepadatan populasi cendawan di atas 104 cfu/g. Menurut BPOM (2009) nilai ambang batas maksimal cendawan pada produk serealia <104 cfu/g. Kepadatan populasi cendawan dari 8 sampel tersebut, semua merupakan jenis cendawan yang berpotensi menghasilkan aflatoksin (Tabel 5). Delapan sampel tersebut kemudian diuji lanjut kandungan mikotoksinnya. Kandungan mikotoksin yang diukur ialah aflatoksin. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh A. flavus dan A. parasiticus (Pitt dan Hocking 1997; Lewis et al. 2005). A. flavus mampu menghasilkan aflatoksin B1 dan B2,

sedangkan A. parasiticus mampu menghasilkan Aflatoksin B1, B2, G1 dan G2

(Rachmawati 2005). Berdasarkan data sebelumnya diketahui bahwa A. flavus

(31)

17 Tabel 5 Rataan konsentrasi aflatoksin pada pakan ayam Petelur di Pasar

Tradisional Kota Bogor

Aflatoksin n (positif) Konsentrasi (ppb)

Max Min Rataan STDEV

ditemukan ialah aflatoksin B1 dengan konsentrasi rataan sebesar 13.43 ppb (Tabel

5). Kandungan maksimal aflatoksin pada pakan ayam petelur menurut BSN (2006) dalam SNI No 01-3929-2006 ialah 50 ppb. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin pada pakan ayam petelur di Pasar Kota Bogor tidak melebihi nilai standar Nasional Indonesia. Walaupun demikian menurut Handajani dan Setyaningsih (2006) kandungan aflatoksin yang relatif rendah, harus tetap diwaspadai, hal ini disebabkan aflatoksin akan terakumulasi dalam tubuh dan sulit didegradasi, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan yang bersifat kronis.

Menurut Stuver (1998) aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling

banyak terdapat di alam dan paling toksik. Hal ini didukung oleh Widiyanti dan Sagi (2001) yang menyatakan bahwa aflatoksin B1 sangat berbahaya bagi manusia

dan hewan karena selain bersifat toksik, aflatoksin B1 juga bersifat mutagenik dan

teratogenik. Kontaminasi aflatoksin pada pakan ayam petelur selain berbahaya pada manusia dan hewan, juga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi seperti penurunan fertilitas (Ibeh et al. 2000), penurunan bobot ternak (Mani et al. 2001), dan penurunan produksi telur (Exarhos dan Gentry 1982). Alberts et al (2009) melaporkan bahwa, tahun 2004 kontaminasi aflatoksin pada pakan di USA mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan hingga US $85-100 juta.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Terdapat 13 jenis cendawan yang ditememukan pada pakan ayam petelur di Pasar Tradisional Kota Bogor, dan A. flavus merupakan cendawan yang paling dominan. Kandungan mikotoksinyang diukur adalah aflatoksin. Jenis kandungan aflatoksin yang ditemukan yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Delapan sampel

yang diuji mengandung aflatoksin B1 dengan rataan konsentrasi 13.43 ppb.

Kandungan aflatoksin yang terdapat dalam pakan ayam petelur tersebut tidak melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia No 01-3929-2006.

Saran

(32)

18

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Oficial Analytical Chemists. 2005. Official Method 991:31. Aflatoxins In Corn, Raw Peanuts and Peanut Butter Immunoaffinity Column (Aflatest). Washington (US):AOAC Int.

Ahmad RZ. 2009. Cemaran kapang pada pakan pengendalinya. J Balitbangtan. 28(1):1-21.

Alberts JF, Gelderblom WCA, Botha A, Van Zyl WH. 2009. Degradation of aflatoxin B1 by fungal laccase enzymes. Int J Food Microbiol. 135:47-52. Bahri S. 1998. Aflatoxin problems in poultry feed and its raw material in

indonesia. Media Vet. 5(2):7-13.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2006. SNI 3929:2006 tentang pakan Ayam Petelur (Layer). Jakarta (ID):Badan Standardisasi Nasional.

[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta (ID):BPOM.

Bryden WL. 2012. Mycotoxin contamination of the feed supplay chain: Implications for animal productivity and feed security. J Anim Feed Sci Tech. 173:134-158.

Dharmaputra OS, Gunawan AW, Wulandari R, Basuki T. 1999. Cendawan kontaminan dominan pada bedengan jamur merang dan interaksinya dengan jamur merang secra in vitro. J Mikrobiol Indones. 4(1):14-18.

Dharmaputra OS. 2004. Control of Storage fungi. Training Course on Prevention and Control of Mycotoxin in Food and Feedstuff. Bogor (ID):SEAMEO BIOTROP. hlm 17.

Dharmaputra OS, Ambarwati S, Retnowati I, Windayarani A. 2013. Kualitas fisik, populasi Aspergillus flavus, dan kandungan aflatoksin B1 pada biji kacang

tanah mentah. JFITI. 9(4):99-106.

Djaenudin G, Ahmad RZ, Istiana. 2004. Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium mikologi pada sampel bahan pakan, litter dan organ. Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner. Bogor (ID):Balai Penelelitian Veteriner. hlm 776-781.

Dorry YA. 1980. Laboratory Medical Mycology. Washington (US):Washington University.

Exarhos CC, Gentry RE. 1982 . Effect of aflatoxin on egg production. J Avian Dis. 26:191-195.

Ganjar I, Samson RA, van den Tweel-Vermeulen K, Oetari A, Santosa I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik. Jakarta (ID):Universitas Indonesia.

Gremmels JF, Dorne JL. 2013. Human and animal health risk assessments of chemicals in the food chain: Comparative aspects and future perspectives. J Toxicol Appl Pharm. 270:187-195.doi:10.1016/j.taap.2012.03.013. Handajani NS, Setyaningsih R. 2006. Identifikasi jamur dan deteksi aflatosin B1,

terhadap petis udang komersial. J Biodiversitas. 7(3):212-215.

(33)

19 Handayani S, Sulistiyo J. 2000. Analisis keragaman kapang pencemar pakan

unggas komersial. J Mikrobiol Indones. 5(2):36-38.

He J, Zhang KY, Chen D, Ding XM, Feng GD, Ao X. 2013.Effects of maize naturally contaminated with aflatoksin B1 on growth performance, blood

profiles and hepatic histopathology in ducks. J Livest Sci. 152:192-199.doi.org/10.1016/j.livsci.2012.12.019.

Iqbal SZ, Nisar S, Asi MR, Jinap S. 2014. Natural incidence of aflatoxins, ochratoxin A and zearalenone in chicken meat and eggs. J Food Control. 43:98-103. doi.org/10.1016/j.foodcont.2014.02.046.

Iswari K. 2006. Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak. Prosiding Peternakan. Sumatra Barat(ID): Balai Pengujian Teknologi Pertanian. hlm: 151-157. Ibeh IN, Saxena DX, Uraih N. 2000. Toxicity of aflatoxin: effects on spermatozoa,

oocytes, and in vitro fertilization. J Environ Pathol Toxicol Oncol. 19:357-361.

Jahan MS, Asaduzzaman M, Sarkar AK. 2006. Performance of broiler fed on mash, pellet and curumble. Int J Poult Sci. 5(3):265-270.

Lai X, Zhang H, Liu R, Lieu C. 2014. Potential for aflatoxin B1 and B2 production

by Aspergillus flafus strains isolated from rice samples. Saudi J Biol Sci. 30:2-5.doi:10.1016/j.sjbs.2014.09.013.

Lanyasunya TP, Wamae LW, Musa HH, Olowofeso O, Lokwaleput IK. 2005. The risk of mycotoxins contamination of dairy feed and milk on smallholder dairy farms in Kenya. PJN. 4(3):162-169.

Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya. Environ Health Perspect. 113:1763-1767.

Lee AN. 2004. Mycotoxins and their analysis. Training course on prevention and control of mycotoxin in food and feedstuff. Bogor (ID):SEAMEO BIOTROP.

Mani K, Sundaresan K, Viswanathan K. 2001. Effect of immunomodulators on the performance of broilers in aflatoxicosis. J Indian Vet. 78(12):1126-1129. Medion. 2009. Cendawan di jagung. [internet]. Tersedia dari:

https://info.medion.co.id/index.php/konsultasi-teknis/layer/tata-laksana/ jamur-di-jagung. [diunduh 25 Juli 2015].

Oliveira CD, Corassin CH. 2014. Animal health: Mycotoxins. Encyclopedia of Agriculture and Food Systems. 1:358-377.doi:10.1016/B978-0-444-52512-3.00200-X.

Pitt JI, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. New York (US):Springer Science.

Rachmawati S, Arifin Z, Zahari P. 1999. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) untuk mengurangi cemaran aflatoksin pada pakan ayam komersial. JITV. 4(1):65-70.

Rachmawati S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia persyaratan kadar dan pengembangan teknisk deteksinya. Wartazoa 15(1):26-37.

(34)

20

Retnani Y, Kurniawan D, Yusawisana S, Herawati L. 2010. Kerusakan lemak ransum ayam broiler yang menggunakan crude palm oil (CPO) dengan penambahan antioksidan alami bawang putih (Alium sativum) dan jintan (Cuminum cyminum Linn.) selama penyimpanan. JITP. 1(1):1-11.

Retnani Y, Putra ED, Herawati L. 2011. Pengaruh taraff penyemprotan air dan lama penyimpanan terhadap daya tahan ransum Broiler Finisher berbentuk pellet. Agripet. 11(1):10-14.

Rocha MEB, Freire FCH, Maia FEF, Guedes MIF, Rondina D. 2014. Mycotoxins and their effects on human and animal health. J Food Control. 36:159-165. Sarno, Hastuti D. 2007. Sistem pengadaan pakan ayam petelur di perusahaan. JIPI.

3(5):49-58.

Stuver S0. 1998. Towards global control of liver cancer. Cancer Biology. 8:299-306.

Susilowati A, Listyawati S. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminan Kultur In vitro di SubLab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS. J Biodiversitas. 2(1):110-114.

Thrusfield M. 2006. Veterinary Epidemiology Third Edition. Oxford (GB):Blackwell Science.

Tyasningsih W. 2010. Potensi pakan sebagai sumber pencemaran Aspergillus spp. Penyebab aspergilolosis pada unggas. J Med Vet. 3(1):31-34.

Uzer F, Iriyanti N, Roesdiyanto. 2013. Penggunaan pakan fungsional dalam ransum terhadap konsumen pakan dan pertumbuhan bobot badan ayam broiler. JIP. 1(1):282-288.

Widiyanti T, Sagi M. 2001. Pengaruh aflatoksin B1 terhadap pertumbuhan dan

perkembangan embryo dan skeleton fetus mencit (Mus musculus L). Biosmart. 3(2):28-35.

(35)

21 Lampiran 1 Persentasi Seluruh Jenis Spesies pada Setiap Pedagang

Pedagang Jumlah Spesies

(%)

Pasar kebon kembang PPA 1 8.8

Pasar kebon kembang PPA 2 13.1

Pasar kebon kembang PPA 3 13.7

Pasar Teknik Induk Bogor 12.7

Jumlah 100.0

Lampiran 2 Sampel Pakan Ayam Petelur yang Memiliki Kepadatan Populasi Cendawan diatas 104 cfu/g

Lokasi Kode

Lampiran 3 Metode Pengujian Aflatoksin Menggunakan HPLC (Sumber: AOAC 991.31)

A. Prinsip

Sampel diekstrak menggunakan Metanol-Air (4:1). Kemudian ekastrak difilter, dilarutkan dengan air, dan dipindahkan ke dalam affinity kolom yang berisi monoclonal antibody spesifik untuk aflatoxin B1, B2, G1,

dan G2. Aflatoxin diisolasi, dimurnikan, dan dipekatkan pada kolom dan

dilepaskan dari antibody menggunakan Metanol (CH3OH). Total aflatoxin

(36)

22 wadah menggunakan kertas saring Ø 24 cm (whatman 2V).

1.2Pengenceran Ekstrak

Dipipet 10 mL filtrat ke dalam wadah. Kemudian, diencerkan dengan 40 mL air dan kemudian dihomogenkan. Selanjutnya dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring glass microfiber 1.5 μm ke dalam wadah yang bersih.

1.3Proses Pemurnian Menggunakan Aflatest Immunoafinity Column Dipindahkan sebanyak 10 mL ekstrak hasil pengenceran. Kemudain dilewatkan ke dalam Aflatest immunoafinity column dengan laju air 1-2 tetes per detik hingga terbentuk gelembung udara keluar dari kolom. Selanjutnya, dilewatkan sebanyak 10 mL air ke dalam kolom dengan laju alir 2 tetes per detik , dilakukan sebanyak 2 kali. Kemudian ditempatkan kuvet kaca di bawah aflatest immunoafinity column, kemudian ditambahkan 1 mL metanol ke dalam syringe aflatest immunoafinity column dengan laju alir 1 tetes per detik. Ditampung hasil eluasi sampel pada gelas ukur. Selanjutnya, ditambahkan 1 mL air ke dalam gelas ukur yang berisi hasil eluasi sampel. Kemudian, sampel dimasukan ke dalam HPLC sebanyak 20 μL.

2. Preparasi Standar

2.1 Pembuatan larutan stok standar a) Larutran stok standar 0.26 ppm

dipipet 100 μL standar total aflatoxin 2.6 ppm dan ditambahkan 900 μL Metanol, dihomogenkan.

b) Larutan stok standar 0.026 ppm

dipipet 100 μL standar aflatoxin 0.26 ppm ditambahkan 900 μL Metanol Grade HPLC, dihomogenkan.

2.2 Pembuatan deret standar untuk kurva kalibrasi (untuk 1 g equivalent) a) Standard 13 ppb (5 B1;1.5 B2;5 G1;1.5 G2 ppb) x 1g = 13ng

(37)

23 sebanyak 20 μL ke dalam sistem HPLC dan kemudian direkam hasil pembacaan HPLC.

b) Standar 26 ppb (10 B1;3.0 B2; 10 G1;3.0 G2 ppb ) x 1g = 26 ng Diambil 100 μL larutan stok standar aflatoxin 0.26 ppm dan ditambahkan 900 μL metanol, kemudian dihomogenkan. Selanjutnya, dipipet sebanyak 200 μL dan ditambahkan 200 μL air, selanjutnya kembali dihomogenkan. Dimasukan standar sebanyak 20 μL ke dalam sistem HPLC dan direkam hasil pembacaan HPLC. c) Standar 52 ppb (20 B1;6.0 B2;20 G1;6.0 G2 ppb) x 1g = 52 ng

Diambil 200 μL larutan stok standar aflatoxin 0.26 ppm ditambahkan 800 μL metanol, kemudian dihomogenkan. Dipipet sebanyak 200 μL dan ditambahkan 200 μL air, selanjutnya dihomogenkan. Dimasukan standar sebanyak 20 μL ke dalam sistem HPLC dan direkam hasil pembacaan HPLC.

Bobot 1 g equivalent dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

W=50g x (10/100 mL) x (10/50 mL)

Lampiran 4 Komposisi Media Pertumbuhan Cendawan (Sumber: Dorry 1980) 1. Dichloran 18 Glycerol Agar (DG18)

Glucose 10 g

2. Potato Dextrose Agar (PDA)

Kentang 200 g

Gula pasir 10 g

Agar-agar 15 g

Akuades 1 L

3. Czapek Yeast Extract Agar (CYA)

K2HPO4 1 g

Czapek concentrate 10 mL Trace metal solution 1 mL Yeast extract 5 g

(38)

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 28 Agustus 1989 sebagai anak bungsu dari pasangan H. Mahsun Zuhri (Alm) dan Siti Indarti. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mulawarman, lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 penulis diterima di program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Tinggi) Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Gambar

Tabel 1 Persyaratan mutu pakan ayam ras petelur (layer)
Gambar 2 Mekanisme kontaminasi cendawan pada jagung (Ahmad 2009)
Gambar 3. Struktur kimia aflatoksin (Oliveria dan Corassin 2014)
Tabel 2 Beberapa cendawan dan toksin yang dihasilkan serta pengaruhnya    pada hewan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

dan total ruang pori tanah.Pemberian pupuk kandang sapi pada tanaman kacang tanah secara umum berpengaruh memper- baiki sifat kimia tanah berupa mening- katnya N-total,

Hipotesis penelitian ialah (1) pelengkungan cabang dan taraf dosis pupuk kandang yang memberikan pengaruh pada transisi pertumbuhan vegetatif ke generatif tanaman jeruk keprok

Fenomenologis memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda

Teacher Education Vol. Menurut Berry Brazelton, strategi mengedisiplinkan harus mencakup beberapa hal. Pertama, kelakuan buruk anak harus dihentikan. Kedua, mungkin anak

Setiap aplikasi dalam Visual Basic disebut dengan istilah project, dan setiap proyek bisa mengandung lebih dari satu file. Gambar 2.7

dan pembimbing II Ibu Nurbaity, M.Kom. Bank Syariah merupakan salah satu bank Islam yang fokus utama kegiatan usahanya adalah penyaluran dana berdasarkan prisip

Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan

[r]