• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN REGULASI DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN REGULASI DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN REGULASI DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA

REMAJA

SKRIPSI

Oleh:

Reski Fazrian

201210230311116

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

i

HUBUNGAN REGULASI DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA

REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Reski Fazrian

201210230311116

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Hubungan regulasi diri dengan perilaku seksual pada remaja

2. Nama Peneliti : Reski fazrian

3. NIM : 201210230311116

4. Fakultas : Psikologi

5. Pergurruan tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

6. Waktu penelitian : 2 – 18 Juli 2016

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan dewan penguji pada siding ujian skripsi tanggal 4 Agustus 2016.

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si ( )

Anggota Penguji : Siti Maimunah, S.Psi., MM. MA ( )

Dr. Nida Hasanati, M.Si ( )

Yudi Suharsono, S.Psi., M.Si ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si Siti Maimunah, S.Psi., M.A

Malang, Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Reski Fazrian

NIM : 201210230311116

Fakultas / jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :

1. Tugas Akhir dengan judul “Hubungan Regulasi Diri dengan Perilaku Seksual pada

Remaja” adalah hasil karya saya, dan dalam naskah Tugas Akhir ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh Gelar Akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

2. Apabila ternyata di dalam naskah Tugas Akhir ini terbukti terdapat unsur-unsur

PLAGIARISME, saya bersedia TUGAS AKHIR INI DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan ketentuan hokum yang berlaku.

3. Tugas Akhir ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS

ROYALTI NON EKSKLUSIF.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar–benarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Malang, 4 Agustus 2016

Mengetahui

Ketua Program Studi Yang menyatakan,

Materai Rp 6.000

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya yang telah melimpakan kasih sayang, beribu-ribu kenikmatan, kesehatan, ketenangan, kesabaran, keyakinan serta kejernihan pikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah strata 1, yaitu skripsi yang berjudul “Hubungan regulasi diri dengan perilaku seksual pada remaja”, yang sesuai harapan penulis.

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT, suri tauladan umat manusia hingga akhir jaman Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan umat yang senantiasa istiqomah di jalan-Nya. Penyusun sadar sepenuhnya karena bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak yang dengan tulus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu menyelesaikan skripsi ini, maka skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang berperan serta dalam membantu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya selaku penulis pada kesempatan kali ini juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Muhammadiyah Malang yang telah memberikan dukungan.

2. Ibu Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si, selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan

waktu, memberi arahan dan bimbingannya tanpa lelah, hingga akhir pembuatan skripsi ini.

3. Ibu Siti Maimunah, S.Psi., M.A, selaku pembimbing kedua yang telah menuntun

meluangkan waktu, dan memberikan arahan serta bimbingan untuk kelancaran pembuatan skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Shohib, S.Psi., M.Si, selaku dosen wali yang telah menuntun dan

memberikan semangat serta motivasi yang tiada habisnya kepada saya.

5. Bapak H. Rusdin, Ibu Hj. Sulastri, saudara tercinta Trisdian Hadi Jaya, Raka Rahmana

Putra, yang tidak pernah lelah mendoakan, memberikan semangat dan dukungan yang tidak pernah putus dalam bentuk moril dan materil. Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya dan saudara-saudara saya.

6. Seluruh subjek yang berkontribusi besar dalam proses pelaksanaan penelitian ini.

7. Hana Lintang Puspasari, yang selalu memberikan bantuan, motivasi, semangat dan

dukungan yang tiada habisnya dalam proses pembuatan skripsi ini, terima kasih banyak.

8. Teman-teman Fakultas Psikologi UMM, khususnya kelas B 2012 yang telah memberikan

motivasi. Khususnya, Mughny Ilman Wali Rusdi, S.Psi, Mochammad Faza Bahrussofa, S.Psi, M. Thoyyib Ghani, S.Psi, Dani Hamdani, dan Nabila Nur Fajrina yang telah menjadi rekan dan sahabat penulis.

9. Spartan Basketball Club dan Alumni SMA Negeri 1 Tanjung Selor, khusunya Kai,

Rafsan, Arif, Didi, Nova, Dian, Purwa, Sang, terima kasih atas semua bantuan dan motivasi yang selalu kalian berikan pada saya selama proses pengerjaan skripsi ini.

10.Seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini, maaf karena saya tidak bisa menyebutkan

(6)

v

Semoga Allah SWT memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi yang berkecimpung dalam bidangnya.

Penulis menyadari bahwa naskah skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga diharapkan kritik dan saran yang membangun yang dapat diberikan kepada penulis. Walaupun demikian, diharapkan naskah skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi serta inspirasi bagi pembaca maupun peneliti selanjutnya.

Malang, 4 Agustus 2016 Penulis,

(7)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...i

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI…………...vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

HUBUNGAN REGULASI DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA ... 1

Perilaku Seksual ... 5

Regulasi Diri ... 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Diri ... 6

Fase-fase Regulasi Diri ... 7

Proses Regulasi Diri ... 7

Remaja ... 8

Hubungan Regulasi Diridengan Perilaku Seksual ... 8

Hipotesa ... 10

METODE PENELITIAN ... 11

Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 11

Prosedur Penelitian dan Analisis Data ... 12

HASIL PENELITIAN ... 13

DISKUSI ... 15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI... 18

REFERENSI ... 19

(8)

vii

DAFTAR TABEL

Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 10 Tabel 1. Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ………..… 11

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian ………....………... 13

Tabel 3. Penghitungan T-Skor Skala Regulasi Diri & Skala Perilaku Seksual ...……….. 13

Tabel 4. Mean Regulasi Diri & Perilaku Seksual Ditinjau dari Jenis Kelamin …………. 14

Tabel 5. Mean Aspek Regulasi Diri & Aspek Perilaku Seksual ……… 14

(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

Blueprint Skala Regulasi Diri dan Skala Perilaku Seksual ... 23 LAMPIRAN 2

Skala Try Out Regulasi Diri dan Perilaku Seksual ... 27 LAMPIRAN 3

Hasil AnalisiS Validitas dan Reliabilitas Skala Regulasi Diri dan Perilaku Seksual ... 33 LAMPIRAN 4

Skala Penelitian Regulasi Diri dan Perilaku Seksual ... 36 LAMPIRAN 5

Tabulasi Data ... 41 LAMPIRAN 6

Hasil Analisis Korelasi Pearson – Product Moment ... 57 LAMPIRAN 7

(10)

1

HUBUNGAN REGULASI DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

Reski Fazrian

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

reskifazrian@yahoo.com

Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki pengaruh besar dalam aspek-aspek kehidupan. Namun, seiring dengan berkembangnya gaya hidup, kini remaja dianggap sebagai individu yang rentan terkena berbagai permasalahan yang berhubungan dengan perilaku seksual beresiko, seperti seks bebas, kehamilan pranikah, aborsi, dan l\ain-lain. Salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan perilaku seksual remaja adalah regulasi diri. Penelitian ini mencari hubungan antara regulasi diri dengan perilaku seksual pada remaja. Penelitian ini melibatkan remaja berusia 17 – 22 tahun di Bulungan, Kalimantan Utara yang berjumlah 290 subjek. Analisis yang digunakan dalam penelitian

ini adalah analisis korelasi pearson – product moment, hasil yang diperoleh sebesar

-0,357 dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara regulasi diri dengan perilaku seksual. Maknanya, semakin tinggi regulasi diri maka remaja cenderung menghindari berperilaku seksual yang beresiko, begitu pula sebaliknya. Nilai korelasi antara regulasi diri dengan perilaku seksual pada

remaja sebesar 12,7% (r2 = 0,127), sedangkan 87,3 % dipengaruhi oleh variabel lain yang

tidak diteliti dalam penelitian ini.

Kata kunci: Regulasi diri, perilaku seksual, remaja

Adolescent are the future generation who have great influence in other aspects of life. However, along with the development of lifestyle, adolescents are now considered as an individual who is susceptible to various problems associated with risk sexual behavior, such as sex, pregnancy, abortion, and many more. One of the factors that were related to adolescent sexual behavior is self-regulation. This research aims to know the relationship between self-regulation with sexual behavior in adolescents. The study involved adolescents aged 17 – 22 years in Bulungan, North Kalimantan, totaling 290 subjects. The analysis used in this study is the pearson - product moment analysis, the results obtained at -0.357 probability value 0.000 <0.05. It can be concluded that there is a negative relationship between self-regulation with sexual behavior. Meaning, the higher the self-regulation that adolescents tend to avoid risky sexual behavior, and vice versa. Correlation between the value of self-regulation with sexual behavior in adolescents was

12.7% (r2 = 0.127), whereas 87.3% influenced by other variables not examined in this

study.

(11)

2

Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang dapat memiliki pengaruh yang sangat besar pada tiap-tiap aspek kehidupan. Selain itu, orang dewasa berharap bahwa remaja akan menjadi individu yang dapat bersaing, baik dalam dunia pendidikan maupun sosial. Namun, seiring dengan berkembang pesatnya dunia teknologi dan makin berkembangnya gaya hidup dalam lingkungan remaja, kini remaja dianggap sebagai individu yang rentan terkena masalah perilaku seksual beresiko, seperti seks bebas, kehamilan dini, aborsi, dan lain-lain.

Secara bersamaan, remaja juga mengalami masa pubertas, remaja mulai bereksplorasi, bereksperimen, dan berfantasi dengan dunia seksual, remaja juga diselimuti oleh rasa ingin tahu yang sangat besar (Santrock, 2012). Seiring dengan tahapan usia tersebut, remaja mencari dan menerima informasi dari berbagai sumber yang mudah didapati, seperti televisi, majalah, dan internet sehingga remaja makin tergoda dengan hal-hal yang berbau seksual. Terlebih lagi dengan adanya konsep di masyarakat bahwa seksualitas adalah suatu hal yang tabu untuk dibicarakan sehingga informasi yang diterima oleh remaja sangat sedikit. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin jika remaja hanya mengetahui cara berperilaku seksual tetapi tidak mengetahui konsekuensinya.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (2013) usia 15 – 19 tahun menunjukkan 0,7% (6.018 remaja perempuan) pernah melakukan hubungan seksual pranikah dan 4,5% (6.835 remaja laki-laki) pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Bahkan, 16,9% (100 remaja perempuan) setuju mengenai hubungan seksual pranikah dan 45,5% (817 remaja laki-laki) setuju mengenai hubungan seksual pranikah. Penelitian Waylen dkk. (2010) menunjukkan bahwa 24,5% remaja pernah berpegangan tangan dan 16,2% berciuman. 40,9% remaja usia 12 tahun berpegangan tangan, 32,6% berciuman, dan 34,2% berpelukan. 11,8% remaja usia 12 tahun tidur bersama pasangan dan

4,9% melakukan petting dan cenderung melakukan hubungan seksual, kurang dari 1%

perempuan melakukan seks oral dan hubungan seksual, dan 1% laki-laki melakukan seks oral dan hubungan seksual. Selanjutnya, data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012 (2013) menunjukkan bahwa Kota Malang sebagai kota ke-2 dengan kasus HIV/AIDS terbanyak se-provinsi Jawa Timur yaitu 1.602 kasus. Selanjutnya, data penyebaran HIV/AIDS disebabkan oleh faktor heteroseksual dengan 4.912 kasus (71,19%).

Bulungan terletak di provinsi Kalimantan Utara yang merupakan daerah pemekaran dari provinsi Kalimantan Timur. Saat ini, belum ditemukan ada data-data mengenai prevalensi perilaku seksual beresiko yang ada di Tanjung Selor. Oleh karena itu, peneliti menggunakan data-data lama, yaitu saat Bulungan masih bergabung dengan wilayah Kalimantan Timur. Hal ini dilakukan untuk menunjang hasil observasi yang dilakukan. Berdasarkan data yang ditemukan dari Departemen Kesehatan tentang Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur (2012) diketahui bahwa 5 laki-laki dan 15 perempuan mengidap HIV, 15 laki-laki dan 19 perempuan mengidap penyakit infeksi menular seksual. Cukup banyaknya pengidap HIV dan penyakit menular seksual di Bulungan dikarenakan Kalimantan Timur merupakan wilayah sentral industri, sehingga terjadi mobilitas penduduk dari luar provinsi yang mungkin akan menjadi pemicu meningkatnya HIV/AIDS, NAPZA, dan perilaku seksual yang tidak aman. Selanjutnya, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Bulungan, peneliti memperoleh bahwa aktivitas seksual di kalangan remaja banyak di temui pada malam hari di tempat

terbuka, seperti café, pinggiran sungai Kayan, dan beberapa tempat yang “remang-remang”.

(12)

3

menjadi tempat remaja untuk menyalurkan dorongan seksualnya, ditemukan alat kontrasepsi bekas pakai.

Anas (2010) menjelaskan bahwa kebiasaan berperilaku seksual secara aktif sampai dengan melakukan hubungan seks pranikah dapat membahayakan kesehatan reproduksi remaja, seperti terjadinya pendarahan, kanker atau tumor rahim, atau rusaknya alat reproduksi sehingga tidak mampu hamil lagi karena struktur alat-alat reproduksinya telah rusak. Hal ini

disebabkan organ reproduksi belum berfungsi secara optimal sehingga human papilloma virus

mudah berkembang dan akan beresiko terkena kanker rahim, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi dan HIV/AIDS.

Secara psikologis, Karmila (2011) menjelaskan bahwa remaja yang berperilaku seksual beresiko memiliki beban emosional yang tinggi sehingga muncul rasa bersalah dan dosa,

munculnya rasa cemas, memiliki self-respect yang rendah, rendah diri, bosan setelah menikah

karena telah melakukan hubungan seks sebelum menikah, munculnya ketakutan yang tidak

wajar, munculnya perilaku obsessive compulsive, seperti mandi berulang kali karena

diselimuti oleh perasaan bersalah yang berlebihan karena telah melakukan perbuatan dosa, dan munculnya gejala psikopatologis, seperti masturbasi yang berlebihan.

Selain itu, menurut Purwanto (2016), informasi yang mengandung unsur seksual akan memicu keinginan remaja untuk melakukan hal yang sama. Hal ini sangat berbahaya karena informasi tersebut akan merusak pikiran remaja sehingga mereka akan terus membayangkan

apa yang mereka lihat. Hal ini terjadi dikarenakan bagian otak bernama prefrontal cortex

(PFC) mengecil, PFC merupakan bagian otak terdepan yang merupakan kontrol sehingga remaja memiliki etika. Mengecilnya PFC diakibatkan aktifnya sistem limbik pada otak, sistem limbik merupakan sistem yang mengontrol emosi dan perasaan sehingga mengaktifkan zat dopamin. Dopamin memberikan rasa senang, penasaran, serta kecanduan. Jika hormon dopamin berlebihan, maka dopamin akan membanjiri PFC dan menyebabkan berkurangnya fungsi PFC, bahkan hilang. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi remaja menghilang dan memicu hal-hal negatif.

Saat ini pemerintah sedang mengupayakan untuk menekan angka perilaku seksual yang terjadi pada remaja dengan cara memberikan pendidikan seksual sejak dini, namun remaja nampaknya kesulitan untuk memperdalam mengenai seksualitas. Hal ini dikarenakan identitas seksual remaja masih dibentuk melalui keluarga, kelompok teman sebaya, media, sekolah, dan lembaga yang lain. Seharusnya remaja secara terbuka menggali lebih dalam mengenai seksualitas dalam bentuk kelas yang di desain khusus untuk pendidikan seksual (Santrock, 1995). Penelitian deskriptif kualitatif Suwarti & Pinandita (2014) menunjukkan beberapa alasan remaja melakukan perilaku seksual antara lain karena remaja tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai seksualitas, memiliki keyakinan bahwa aktivitas seksual bersama pasangan harus dilakukan karena semua remaja pernah melakukannya, laki-laki dan perempuan yang belum pernah melakukan hubungan seksual adalah individu yang rendah diri, dan harus tunduk dengan tekanan teman sebaya karena ingin status yang tinggi dalam kelompok. Hal ini pendidikan seksual saja tidak cukup untuk menghindarkan remaja dari perilaku seksual beresiko. Oleh karena itu, Waylen dkk. (2010) dalam penelitiannya menyarankan untuk mengidentifikasi faktor pelindung atau kemampuan yang harus dimiliki remaja agar terhindar dari perilaku seksual beresiko.

Hasil penelitian Atwood dkk. (2012) pada 420 remaja Bangkok berusia 13 – 14 tahun

menunjukkan bahwa penolakan efikasi diri dan sikap menunda seks berkorelasi negatif

(13)

4

menyentuh tubuh bagian atas, menyentuh tubuh bagian bawah, dan melakukan hubungan seksual. Tidak hanya itu, Boislard dkk. (2013) juga mengatakan bahwa faktor-faktor internal pada remaja, seperti harga diri rendah, motivasi yang rendah, isolasi dan defisit sosial yang tinggi akan mengarahkan remaja pada perilaku seksual dini. Penelitian Greene, Eitle, & Eitle (2015) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kontrol diri yang tinggi selama masa remaja awal akan terhindar dari perilaku seksual dini dan memiliki pasangan seksual yang sedikit.

Penelitian Raffaelli & Crockett (2003) menunjukkan bahwa karakteristik individu yaitu regulasi diri merupakan faktor prediktor remaja terlibat dalam pengambilan keputusan beresiko yang berhubungan dengan seksual karena pengambilan keputusan pada masa remaja dipengaruhi oleh teman sebaya, baik pengaruh positif maupun negatif. Regulasi diri merupakan suatu mekanisme dari dalam diri remaja untuk mengarahkan dan mengontrol perilaku agar tujuan yang telah disusun dapat tercapai dengan baik (Suwarti & Pinandita, 2014). Lebih lanjut bahwa regulasi diri bukan merupakan kemampuan mental (Zimmerman, 2002), melainkan proses pengarahan atau instruksi diri untuk mengubah kemampuan mental menjadi suatu bentuk aktivitas (Suwarti & Pinandita, 2014).

Remaja yang memiliki regulasi diri yang baik akan melewati fase-fase dalam regulasi diri. fase-fase dalam regulasi diri (Zimmerman, 2002), yaitu fase pemikiran, fase kinerja, dan refleksi diri. Remaja akan melewati dua sub-proses yaitu analisis tugas untuk menetapkan tujuan secara strategis dan motivasi diri yang berawal dari keyakinan diri mengenai kemampuan dan konsekuensi dari hasil belajar Selanjutnya, remaja akan melakukan kontrol diri dengan strategi khusus, menggunakan perbandingan, instruksi diri, dan fokus. Sejalan

dengan itu, remaja juga melakukan observasi diri (self-monitoring) untuk mengetahui

kesuksesan atau kegagalannya. Pada fase refleksi diri, remaja akan melakukan evaluasi diri yang mengacu pada perbandingan kinerja remaja dengan standar perilaku, baik kinerja sebelumnya dan kinerja orang lain. Akhirnya, setelah melewati fase-fase tersebut remaja akan melakukan penyesuaian terhadap lingkungannya (adaptif). Selain itu, remaja juga dapat memunculkan reaksi defensif yaitu sikap acuh terhadap lingkungannya.

Salah satu perubahan yang muncul pada masa remaja yaitu perubahan kognitif. Piaget (dalam Santrock, 2012) menjelaskan bahwa remaja secara aktif membangun kognisinya dan tidak begitu saja menerima informasi dari lingkungan eksternalnya. Remaja tidak langsung menerima stimulus-stimulus dari lingkungan eksternalnya. Stimulus-stimulus dari lingkungan eksternal akan diolah kembali dalam kognisi remaja. Oleh sebab itu, remaja memerlukan regulasi diri agar remaja mampu secara selektif merespon stimulus yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Proses pengolahan informasi dari stimulus yang diterima dapat dijelaskan dari

proses-proses dalam regulasi (Miller & Brown, 1991), yaitu; (1) Receiving, yaitu menerima

informasi yang relevan dari berbagai sumber. Remaja akan mencari dan menerima informasi

yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya; (2) Evaluating, yaitu melakukan

evaluasi terhadap informasi yang diterima dan membandingkannya dengan norma-norma yang ada. Remaja melakukan evaluasi dengan cara membandingkan informasi dengan

pengalaman sebelumnya; (3) Triggering, yaitu remaja untuk melakukan perubahan dengan

cara berfikir maupun berperilaku secara kreatif dalam menanggapi suatu masalah; (4)

Searching, yaitu memilih suatu solusi dari berbagai jenis solusi yang tersedia; (5)

Formulating, yaitu menyusun suatu strategi untuk menyelesaikan permasalahan dengan

melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyelesaian masalah tersebut; (6)

Implementing, yaitu menerapkan strategi yag telah dirancang sebelumnya; (7) Assesing, yaitu

(14)

5

strategi dalam mengubah cara pandang orang atau dapat juga diketahui dengan efektivitas strategi dalam menambah informasi orang lain.

Konsep-konsep mengenai regulasi diri yang telah dijelaskan menunjukkan bahwa remaja perlu memiliki regulasi diri agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif) sesuai hukum di Indonesia dan norma yang ada di masyarakat, mampu selektif selama hidup di lingkungan sosialnya, dan mampu bertahan dari tekanan teman sebaya dan kelompoknya, dan terhindar dari perilaku seksual beresiko.

Akhirnya, sebagai remaja yang berpendidikan akan lebih baik jika melakukan aktivitas yang positif yang dapat menghindarkan remaja dari perilaku seksual. Oleh karena itu, regulasi diri diperlukan agar remaja mampu mengarahkan dan mengontrol perilakunya dalam lingkungan sosial dan gaya hidup yang semakin bebas agar mereka dapat mengarahkan dorongan-dorongan seksual dalam diri ke arah yang positif. Selain itu, dengan adanya regulasi diri, remaja mampu menginterpretasikan stimulus atau informasi mengenai seksualitas, mempertimbangkan konsekuensi yang diperoleh jika melakukan perilaku seksual beresiko, dan mampu mengatur respon diri sehingga mampu bersikap sesuai hukum dan norma di masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara regulasi diri dengan perilaku seksual remaja. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan akan menjadi referensi bagi remaja, orang tua, serta sekolah bahwa belajar meregulasi diri adalah aspek penting yang harus dimiliki oleh remaja yang mulai bereksperimen dengan dunia seksualitas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang seksualitas.

Perilaku Seksual

Menurut Eaton dkk. (2010), perilaku seksual merupakan perilaku yang meningkatkan resiko tertular infeksi seksual dan mengalami kehamilan, termasuk berhubungan seks pranikah, memiliki banyak pasangan seksual, berhubungan seks dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan, dan perilaku seksual yang tidak aman.

Menurut Waylen et al. (2010), perilaku seksual merupakan kontak fisik antara laki-laki dengan perempuan yang memiliki urutan perilaku dari memeluk, berpegangan tangan, berciuman, menyentuh payudara atau alat kelamin, dan akhirnya oral seks atau berhubungan seksual.

Menurut Sarwono (2011), perilaku seksual merupakan segala bentuk perilaku yang muncul akibat adanya dorongan-dorongan seksual dari dalam diri individu.

Jadi, perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang berupa kontak fisik antara laki-laki atau perempuan dengan pasangannya yang timbul akibat dorongan seksual dari dalam diri untuk mencapai kenikmatan erotis yang diinginkan.

Adapun bentuk-bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007), yaitu:

1. Kissing, yaitu berciuman yang dimulai dari ciuman singkat sampai dengan berciuman

dengan memainkan lidah yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti berciuman sambil meraba-raba bagian sensitif.

2. Necking, yaitu mencium daerah sekitar leher ke bawah dan memeluk yang lebih

(15)

6

3. Petting, yaitu menyentuh bagian sensitif pada tubuh pasangan, seperti menyentuh lengan,

dada, payudara, kaki, dan terkadang daerah kemaluan , baik dari dalam maupun luar pakaian.

4. Intercourse, yaitu masuknya alat kelamin pria (penis) yang ereksi ke dalam alat kelamin

wanita (vagina) untuk memperoleh kepuasan seksual.

Menurut Santrock (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu penggunaan alat kontrasepsi yang tidak efektif, prestasi akademik yang rendah, harga diri yang rendah, tingkat depresi yang besar, aktivitas seksual yang lebih sering, status sosial-ekonomi yang rendah dan gaya kelekatan yang saling dihindari. Menurut Suryoputro, Ford, & Shahuliyah (2006), faktor yang mempengaruhi perilaku seksual antara lain dukungan sosial dan faktor individu, seperti gaya hidup, harga diri, kontrol diri, dan pengetahuan seputar kesehatan reproduksi. Selain itu, regulasi diri merupakan faktor prediktor remaja terlibat dalam pengambilan resiko seksual (Raffaelli & Crockett, 2003; Santrock, 2007).

Regulasi Diri

Mc Cown (2013) menjelaskan bahwa regulasi diri adalah komponen kunci dari teori sosial kognitif, yang melibatkan pengalaman diri yang dihasilkan oleh pikiran, perasaan, dan perilaku yang sistematis yang dirancang untuk mempengaruhi pengetahuan untuk mencapai tujuannya.

Miller (2015) mendefinisikan bahwa regulasi diri adalah seperangkat perilaku yang meliputi kesadaran, pengetahuan, dan kontrol kognitif, kemampuan remaja untuk mengelola waktu dan sumber daya, kemampuan mengatur usaha, dan kemampuan untuk mengenali, identifikasi, dan menggunakan sumber-sumber bantuan.

Alfiana (2013) mendefinisikan regulasi diri merupakan kemampuan diri remaja untuk mengembangkan, mengaplikasikan, dan menjaga perilaku untuk mencapai tujuan yang telah disusun.

Berdasarkan definisi regulasi diri yang telah dijelaskan dapat dipahami bahwa regulasi diri merupakan pengarahan dan kontrol perilaku yang berdasarkan pada kesadaran dan pengetahuan untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan menjaga kestabilan perilaku agar dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.

Regulasi diri menjadi penting karena hubungan remaja, perilaku, dan lingkungan yang bersifat adaptif dan berubah akan menjadi suatu proses pembelajaran yang akan terus maju dan selalu tumbuh dan berkembang (Zimmerman, 2002).

Friedman & Schustack (2006), konsep regulasi diri meyakini bahwa standar internal perilaku dapat mengukur kesuksesan maupun kegagalan remaja. Bandura (dalam Friedman & Schustack, 2006) percaya bahwa standar internal perilaku akan terinternalisasikan melalui

modelling dari orang tua, guru, maupun teman sebaya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Diri

Bandura (dalam Alwisol, 2011) mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang

mempengaruhi terbentuknya regulasi diri secara internal, yaitu self-monitoring, penilaian

tingkah laku, dan respon diri. Selain itu, terdapat faktor regulasi diri secara eksternal melalui 2 (dua) cara, yaitu memberikan standar kepada remaja untuk melakukan evaluasi diri dan yang memberikan penguatan pada tingkah laku yang diharapkan.

(16)

7

a. Self-monitoring terjadi ketika remaja memiliki keterampilan untuk mengetahui

kemampuan yang ia lakukan untuk mencapai tujuannya. Biasanya, self-monitoring

meningkat jika remaja mengalami kegagalan (Zimmerman, 2002).

b. Penilaian tingkah laku yaitu kemampuan remaja untuk melihat kesesuaian tingkah laku

dengan sumber model. Penilaian tingkah laku terjadi ketika remaja melakukan pengamatan dari sumber-sumber model yang ada yang berupa standar pribadi (Alfiana, 2013), dan perbandingan sosial (Bandura, 1991).

c. Respon diri yang terjadi ketika remaja melewati faktor pertama dan kedua, kemudian

memberikan reward maupun punishment pada tingkah lakunya sendiri (Bandura, 1991;

Bandura, dalam Alwisol, 2011).

2. Faktor Eksternal

a. Faktor eksternal yang memberikan standar pada remaja untuk melakukan evaluasi diri.

Remaja akan mengembangkan kemampuan evaluasi diri melalui modelling terhadap

srtandar-standar yang ada, seperti guru, orang tua, dan pengalaman remaja saat berinteraksi dengan lingkungannya (Bandura, 1991).

b. Faktor yang memberikan penguatan pada tingkah laku yang diharapkan. Faktor pertama

dan kedua dapat berjalan bersamaan ketika remaja akan mencapai standar tingkah laku tertentu, maka penguatan akan dibutuhkan agar tingkah laku tersebut akan dipilih oleh remaja, serta memunculkannya dikemudian hari (Bandura, 1991).

Fase-fase Regulasi Diri

Menurut Zimmerman (2002), terdapat 3 (tiga) fase dalam regulasi diri yaitu fase pemikiran, fase kinerja, dan fase refleksi diri:

1. Fase Pemikiran

Dalam fase pemikiran terdapat dua proses, yaitu analisis tugas dan motivasi diri. Analisis tugas melibatkan penetapan tujuan dan perencanaan strategis, sedangkan motivasi diri berasal dari keyakinan remaja mengenai kemampuan dan konsekuensi dari perilaku (Bandura, dalam Zimmerman, 2002).

2. Fase Kinerja

Dalam fase kinerja terdapat dua proses, yaitu kontrol diri dan observasi diri. Kontrol diri mengacu pada pengerahan strategi khusus yang dipilih selama fase pemikiran. Jenis-jenis dari metode kontrol diri yaitu menggunakan perbandingan, instruksi diri, fokus, dan strategi. Observasi diri mengacu pada rekaman peristiwa pribadi untuk mengetahui

penyebab dari peristiwa saat ini. Self-monitoring merupakan bagian dari observasi diri

yang mengacu pada penelusuran kognitif, seperti frekuensi kegagalan remaja saat berperilaku.

3. Fase Refleksi Diri

(17)

8

untuk memodifikasi strategi perilaku yang efektif, sedangkan reaksi defensif merujuk pada upaya untuk melindungi citra diri dengan menghindari informasi.

Proses Regulasi Diri

Menurut Miller & Brown (1991) dan Brown (1998), terdapat 7 (tujuh) langkah yang diperlukan remaja agar dapat meningkatkan regulasi diri, yaitu;

1. Receiving

Menerima informasi yang relevan dari berbagai sumber. Remaja akan mencari dan menerima informasi yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya

2. Evaluating

Melakukan evaluasi terhadap informasi yang diterima dan membandingkannya dengan norma-norma yang ada. Remaja melakukan evaluasi dengan cara membandingkan informasi dengan pengalaman sebelumnya.

3. Triggering

Kecenderungan remaja untuk melakukan perubahan dengan cara berfikir maupun berperilaku secara kreatif dalam menanggapi suatu masalah.

4. Searching

Memilih suatu solusi dari berbagai jenis solusi yang tersedia.

5. Formulating

Menyusun suatu strategi untuk menyelesaikan permasalahan dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyelesaian masalah tersebut.

6. Implementing

Menerapkan strategi yang telah dirancang sebelumnya.

7. Assesing

Melakukan evaluasi terhadap strategi yang telah diterapkan dengan cara mengukur efektivitas strategi dalam mengubah cara pandang orang atau dapat juga diketahui dengan efektivitas strategi dalam menambah informasi orang lain.

Remaja

Menurut Hurlock (1980), remaja adalah masa dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa dan masa dimana individu tidak berada dibawah tingkatan orang-orang dewasa melainkan memiliki kedudukan dan hak yang sama.

Menurut Santrock (2007), remaja (adolescence) merupakan masa transisi antara masa

kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

Jadi, remaja merupakan masa perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan biologis berupa pubertas, perubahan intelektual, dan sosio-emosional.

(18)

9

Menurut Hurlock (1980), remaja mengalami perubahan pada emosi yang tergantung pada perubahan fisik dan psikologis, perubahan tubuh, minat, peran, nilai-nilai, sering menuntut kebebasan tapi takut bertanggung jawab. Selain itu, stereo negatif menunjukkan bahwa remaja adalah individu yang merusak dan tidak dapat dipercaya sehingga orang dewasa takut untuk bertanggung jawab pada perilaku remaja tersebut.

Hurlock (1980) melanjutkan bahwa yang terpenting yaitu masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Remaja semakin dekat dengan masa dewasa sehingga ia berupaya keras untuk meninggalkan stereotip negatif yang mengarah ke dirinya. Namun, remaja tidak boleh bertindak seperti orang dewasa sehingga remaja memusatkan diri pada perilaku yang berhubungan dengan status dewasa, seperti merokok, narkoba, dan perilaku seksual beresiko.

Hubungan Regulasi Diri dengan Perilaku Seksual Remaja

Miller (2015) mendefinisikan bahwa regulasi diri adalah seperangkat perilaku yang meliputi kesadaran, pengetahuan, dan kontrol kognitif, kemampuan remaja untuk mengeola waktu dan sumber daya, kemampuan mengatur usaha, dan kemampuan untuk mengenali, identifikasi, dan menggunakan sumber-sumber bantuan.

Regulasi diri atau yang dikenal dengan kontrol diri adalah penangkal internal yang kuat pada remaja (Mikulincer & Shaver, 2012). Adapun remaja yang memiliki regulasi diri yang baik menurut Gailliot & Baumeister (2007) yaitu dapat mengelola uang dengan baik, memiliki manajemen waktu yang baik, dan dapat mengontrol dorongan seksual dalam diri mereka. Menurut Hofmann, Schmeichel, & Baddeley (2012), remaja yang memiliki regulasi diri yang baik mampu menggambarkan tujuannya, mengetahui informasi dari tujuannya tersebut, mampu mengontrol informasi dari tujuannya, tidak mudah terpengaruh oleh rangsangan yang menarik perhatian, melindungi tujuan dan standar dari campur tangan orang lain, mampu mengatur pikirannya sendiri.

Hofmann, Schmeichel, & Baddeley (2012) melanjutkan, remaja yang gagal dalam meregulasi

diri disebabkan oleh kurangnya standar dan self-monitoring, kurangnya motivasi, dan

kurangnya kemampuan diri. Hal ini sangat membahayakan, mengengingat ketidakmampuan remaja untuk meregulasi dirinya merupakan awal dari gangguan kontrol seksual (Wiederman, dalam Gailliot & Baumeister, 2007). Jadi, remaja yang menderita kecanduan seksual adalah remaja yang tidak mampu mengontrol perilaku seksualnya. Remaja yang melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual memiliki kontrol diri diri yang rendah sehingga remaja tidak mampu menahan godaan dan memiliki hasrat seksual yang tidak terkontrol atau impulsif untuk terlibat dalam kegiatan seksual dengan orang lain selain pasangannya sendiri (Gailliot & Baumeister, 2007). Raffaelli & Crocket (2003) juga menjelaskan bahwa remaja dengan regulasi diri yang rendah lebih mungkin terlibat dalam pengambilan resiko seksual. Remaja dengan regulasi diri yang rendah mengembangkan pola perilaku seksual yang lebih beresiko daripada remaja yang memiliki regulasi diri yang baik.

(19)

10

Oleh karena itu, regulasi diri diperlukan agar remaja mampu mengarahkan dan mengontrol perilakunya dalam lingkungan sosial dan gaya hidup yang semakin bebas agar mereka dapat mengarahkan dorongan-dorongan seksual dalam diri ke arah yang positif. Selain itu, dengan adanya regulasi diri, remaja mampu menginterpretasikan stimulus atau informasi mengenai seksualitas, mampu mengatur respon diri sehingga mampu bersikap sesuai hukum dan norma di masyarakat, dan mempertimbangkan konsekuensi yang diperoleh jika melakukan perilaku seksual beresiko.

Menurut Sarwono (2007), indikator perilaku seksual seperti yang disebutkan diatas yaitu;

kissing, yaitu berciuman yang dimulai dari ciuman singkat sampai dengan berciuman dengan

memainkan lidah yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti berciuman

sambil meraba-raba bagian sensitif; necking, yaitu mencium daerah sekitar leher ke bawah

dan memeluk yang lebih mendalam; petting, yaitu menyentuh bagian sensitif pada tubuh

pasangan, seperti menyentuh lengan, dada, payudara, kaki, dan terkadang daerah kemaluan ,

baik dari dalam maupun luar pakaian; intercourse, yaitu masuknya alat kelamin pria (penis)

yang ereksi ke dalam alat kelamin wanita (vagina) untuk memperoleh kepuasan seksual.

Hipotesa

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara regulasi diri dengan perilaku seksual. Semakin tinggi regulasi diri maka remaja cenderung tidak berperilaku seksual yang beresiko, begitu juga sebaliknya.

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Regulasi Diri Proses instruksi diri untuk mengarahkan dan mengontrol perilaku.

Proses Regulasi Diri

- Receiving

- Evaluating

- Triggering

- Searching

- Formulating

- Implementing

- Assesing

- Remaja memahami tentang perilaku seks dan bahayanya.

- Remaja mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma di masyarakat.

- Remaja mampu berfikir dan berperilaku secara kreatif dalam menanggapi masalah perilaku seksual.

- Mampu mempertahankan diri dari perilaku seksual.

- Remaja tidak terpengaruh dengan perilaku seksual.

- Remaja mampu bertahan dari pergaulan yang mengarah ke perilaku seksual. - Remaja mampu mengevaluasi perilakunya

(20)

11

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, yaitu penelitian yang mempelajari hubungan antara dua variabel atau lebih untuk menyelidiki sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi variabel lain (Noor, 2011). Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan antara regulasi diri dengan perilaku seksual pada remaja.

Subjek Penelitian

Subjek yang berpatisipasi dalam penelitian ini yaitu berjumlah 290 remaja berusia 17 – 22 tahun. Penelitian ini dilakukan di Bulungan, Kalimantan Utara. Karakteristik sampel yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu remaja berusia 17 – 22 tahun dan pernah atau sedang berpacaran.

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu responden yang terpilih

menjadi anggota sampel atas dasar pertimbangan peneliti sendiri, atau sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya (Darmawan, 2013). Proses pengambilan sampel pada penelitian

yaitu dengan bantuan google forms, dimana peneliti melampirkan pernyataan yang

menunjukkan bahwa peneliti sesuai dengan kriteria yang diinginkan, seperti usia dan status (pernah atau sedang berpacaran).

Variabel dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) variabel yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Variabel bebas (X) dalam penelitian ini yaitu regulasi diri, sedangkan variabel terikat (Y) yaitu perilaku seksual.

Regulasi diri adalah kesediaan remaja untuk mengontrol, melakukan seleksi, memodifikasi, dan mengelola pikiran, perilaku, lingkungan, dan mengarahkan perilakunya berdasarkan

tujuan yang telah dibuat. Regulasi diri akan diukur dengan menggunakan Self-regulation

Questionnaire (SRQ), yaitu skala Likert yang disusun oleh Frederick Kanfer (Kanfer, 1970a,

1970b), kemudian Miller & Brown (1991) merumuskan kembali berdasarkan 7 (tujuh) proses

regulasi diri, yaitu receiving, evaluating, triggering, searching, formulating, implementing,

dan assesing. SRQ memiliki 63 aitem dengan mengacu pada aspek yang telah dirumuskan

oleh Miller & Brown (1991). Reliabilitas SRQ tampaknya sangat baik (α = 0.91).

Perilaku seksual adalah segala bentuk tindakan remaja terhadap rangsangan seksual, seperti

touching, kissing, necking, petting, intercourse yang timbul melalui dorongan seksual dari

dalam diri remaja. Perilaku seksual akan diukur dengan menggunakan skala Likert yang di modifikasi dari skala yang disusun oleh Prastiwi (2016). Sebelumnya, item dalam skala perilaku seksual yang disusun oleh Prastiwi (2016) berjumlah 34 item, namun setelah dilakukan modifikasi berjumlah 27 item.

Tabel 1. Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian

Alat Ukur

(Skala) Jumlah Valid Indeks Validitas Indeks Reliabilitas

Skala Regulasi Diri 34 item 0,366 – 0,719 0,924

(21)

12

Skala regulasi diri terdiri dari 63 item setelah melalui reduksi selama 5 kali menggunakan SPSS, item yang gugur sebanyak 29 item yaitu item nomor 6, 7, 9, 10, 14, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 31, 32, 36, 37, 39, 44, 46, 48, 50, 51, 56, 57, 58, 59, 60, dan 63. Berdasarkan hasil analisis diatas, diketahui bahwa indeks validitas skala regulasi diri berkisar antara 0,366 – 0,719, sedangkan indeks reliabilitas skala regulasi diri yaitu 0,924.

Skala perilaku seksual terdiri dari 27 item setelah dilakukan analisis menggunakan SPSS, item yang gugur berjumlah 2 item yaitu item nomor 1 dan 3. Setelah mendapatkan hasil tersebut, dilakukan proses reduksi untuk menyaring item-item dan diketahui bahwa tidak ada item yang gugur. Berdasarkan hasil analisis ini diketahui bahwa indeks validitas skala perilaku seksual berkisar antara 0,443 – 0,832, sedangkan indeks reliabilitas skala perilaku seksual yaitu 0,947.

Prosedur dan Analisa Data

Secara umum, prosedur pelaksanaan penelitian ini memiliki 3 (tiga) tahapan yaitu, tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisa data. Pada tahap persiapan, peneliti mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan penelitian, seperti pemilihan judul, latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, mencari teori yang berhubungan dengan variabel penelitian, penyusunan kerangka berpikir dan hipotesis,

mempersiapkan alat ukur, melakukan try out (uji coba) skala, melakukan entry data dan

melakukan analisis validitas dan reliabilitas skala SRQ dan perilaku seksual, dan bimbingan

hasil try out pada dosen pembimbing.

Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan penelitian, pada tahap ini peneliti melakukan pengambilan data dengan menyebarkan skala SRQ dan perilaku seksual yang telah disetujui oleh dosen pembimbing. Skala disebarkan kepada satu sampai dengan lima subjek yang berusia 17 – 22 tahun yang ada di kota Tanjung Selor, Kalimantan Utara yang menurut peneliti sesuai dengan kriteria subjek penelitian sampai dengan jumlah yang diinginkan, yaitu 290 subjek, mengumpulkan dan memasukkan data-data yang telah di isi oleh subjek ke

program Microsoft Excel, melakukan skoring pada data-data yang telah terkumpul,

melakukan uji normalitas data, melakukan uji linieritas, dan melakukan analisa korelasi

pearson – product moment. Selanjutnya, peneliti melakukan interpretasi berdasarkan hasil

analisa yang telah diperoleh dan membahasnya sesuai dengan kerangka pemikiran serta teori. Terakhir, peneliti membuat kesimpulan berdasarkan hipotesis dan tujuan penelitian.

Tahap ketiga adalah tahap penulisan laporan penelitian. Setelah peneliti menyelesaikan penelitiannya, peneliti membuat laporan penelitian sesuai dengan panduan yang telah di buat.

Dalam penelitian ini, analisa data yang digunakan yaitu analisa korelasi pearson – product

moment. Pearson – product moment merupakan teknik analisis data yang digunakan untuk

menguji hipotesis hubungan antara variabel independen dengan satu variabel dependen, bukan untuk menguji hubungan sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependen (Sugiyono, 2014). Korelasi diukur dengan suatu koefisien (r) yang mengindikasikan seberapa banyak relasi antardua variabel (Darmawan, 2013).

Prosedur pearson – product moment hanya melibatkan dua buah variabel, yaitu satu variabel

(22)

13

HASIL PENELITIAN

Setelah memasuki tahap kedua dari penelitian, maka diperoleh hasil yang akan dijelaskan dengan tabel-tabel dibawah ini. Tabel yang pertama merupakan tabel yang berisi mengenai karakteristik subjek yang berpartisipasi dalam penelitian tentang hubungan antara regulasi diri

dengan perilaku seksual remaja berdasarkan hasil sampling dengan metode quota sampling.

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian

Jenis Kelamin Frekuensi Presentase

Laki-laki 90 31%

Perempuan 200 69%

Jumlah 290 100%

Usia 17 tahun 18 tahun 19 tahun 20 tahun 21 tahun 22 tahun 2 10 61 66 76 75 0,7% 3,4% 21% 22,8% 26,2% 25,9%

Jumlah 290 100%

Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa penelitian ini di dominasi oleh subjek dengan jenis kelamin perempuan daripada laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari kolom frekuensi yang menunjukkan bahwa subjek laki-laki sebanyak 90 orang (31%) dan subjek perempuan sebanyak 200 orang (69%). Jika ditinjau dari segi usia, subjek-subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini berusia 17 – 22 tahun dengan frekuensi usia 17 tahun sebanyak 2 orang (0,7%), 18 tahun sebanyak 10 orang (3,4%), 19 tahun sebanyak 61 orang (21%), 20 tahun sebanyak 66 orang (22,8%), 21 tahun sebanyak 76 orang (26,2%), dan 22 tahun sebanyak 75 orang (25,9%).

Berdasarkan hasil uji kenormalan data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa Sig. = 0,584 atau > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal. Selanjutnya, hasil uji linieritas menunjukkan bahwa Sig. = 0,805 atau > 0,05. Berdasarkan hasil uji kenormalan data dan uji linieritas, maka data-data yang diperoleh berdistribusi normal dan linier, karena nilai probabilitas > 0,05.

Tabel 3. Penghitungan T-Skor Skala Regulasi Diri & Skala Perilaku Seksual

Kategori Interval Frekuensi Presentase

Regulasi diri

- Tinggi T – skor > 50 149 51,4%

- Rendah T – skor < 50 141 48,6%

Total 290 100%

Perilaku seksual

- Beresiko

- Tidak beresiko T – skor > 50 T – skor < 50 144 146 49,7% 50,3%

Total 290 100%

(23)

14

sedangkan, 141 (48,6%) memiliki kategori regulasi diri yang rendah. Selanjutnya, berdasarkan hasil penghitungan skor skala perilaku seksual, diketahui bahwa dari 290 subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 144 (49,7%) memiliki perilaku seksual yang beresiko, sedangkan 146 (50,3%) memiliki perilaku seksual yang tidak beresiko. Berdasarkan penghitungan skor regulasi diri dan perilaku seksual, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek yang memiliki regulasi diri yang tinggi, memungkinkan sebagian besar subjek tidak memiliki perilaku seksual yang beresiko.

Tabel 4. Mean Regulasi Diri & Perilaku Seksual Ditinjau dari Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Mean Kategori

Regulasi diri

- Laki-laki 2,826 Tinggi

- Perempuan 2,831 Tinggi

Perilaku seksual

- Laki-laki

- Perempuan 2,194 1,821 Tidak beresiko Tidak beresiko

Berdasarkan hasil kategorisasi regulasi diri dan perilaku seksual ditinjau dari jenis kelamin, diketahui bahwa subjek laki-laki dan perempuan memiliki kategori regulasi diri yang tinggi.

Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata atau mean laki-laki (X = 2,826) dan perempuan (X =

2,831). Selain itu, dari tabel diatas juga diketahui bahwa subjek laki-laki dan perempuan memiliki perilaku seksual yang tidak beresiko. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata atau

mean laki-laki (X = 2,194) dan perempuan (X= 1,821).

Tabel 5. Mean Aspek Regulasi Diri & Aspek Perilaku Seksual

Aspek Mean Kategori

Regulasi diri - Receiving - Evaluating - Triggering - Searching - Formulating - Implementing - Assesing 2,659 2,761 2,832 2,914 2,819 2,78 2,973 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Total X 2,819 Tinggi

Perilaku seksual - Kissing - Necking - Petting - Intercourse 2,174 2,133 1,987 1,767 Rendah Rendah Rendah Rendah

Total X 2,015 Rendah

Berkaitan dengan kategorisasi berdasarkan aspek pada regulasi diri dan perilaku seksual, diketahui bahwa regulasi diri terdiri dari 7 (tujuh) aspek, sedangkan perilaku seksual terdiri

dari 4 (empat) aspek. Pada variabel regulasi diri, aspek receiving memiliki kategori tinggi

(24)

15

triggering memiliki kategori tinggi dengan X= 2,832, aspek searching memiliki kategori

tinggi dengan X = 2,914, aspek formulating memiliki kategori tinggi dengan X = 2,819,

aspek implementing memiliki kategori tinggi dengan X= 2,78, dan aspek assessing memiliki

kategori tinggi dengan X= 2,973. Selanjutnya, pada variabel perilaku seksual, aspek kissing

memiliki kategori rendah dengan X= 2,174, aspek necking memiliki kategori rendah dengan

X = 2,133, aspek petting memiliki kategori rendah dengan X = 1,987, dan aspek intercourse

memiliki kategori rendah dengan X = 1,767. Berdasarkan kategorisasi ditinjau dari

masing-masing aspek pada variabel regulasi diri dan perilaku seksual, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek dalam penelitian ini memiliki proses regulasi diri yang baik. Selain itu, sebagian besar subjek tidak melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual yang beresiko.

Tabel 6. Hasil Analisis Korelasi Product Moment

N r r2 p Alpha Kesimpulan

290 -0,357 0,127 0,000 0,05 Signifikan

Berdasarkan hasil analisis korelasi pearson – product moment, diperoleh nilai koefisien

korelasi (r) sebesar -0,357 yang berarti arah hubungan regulasi diri dengan perilaku seksual pada remaja adalah negatif. Selain itu, nilai signifikansi (p) yaitu 0,000 < 0,05, yang berarti kedua variabel memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan taraf kesalahan 0,05. Nilai

korelasi (r2) antara regulasi diri dan perilaku seksual sebesar yaitu 0,127 atau 12,7%.

Sementara itu, 87,3% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

DISKUSI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa terdapat hubungan negatif yang siginifikan antara regulasi diri dengan perilaku seksual. Dimana jika semakin tinggi regulasi diri, maka remaja cenderung menghindari perilaku seksual beresiko. Sebaliknya, jika regulasi diri rendah maka remaja cenderung berperilaku seksual yang beresiko.

Penelitian ini menunjukkan bahwa regulasi diri berhubungan negatif dengan perilaku seksual pada remaja untuk tidak terlibat dalam perilaku seksual beresiko. Hal ini dikarenakan remaja mampu berupaya untuk mengontrol dirinya, seperti Eisenberg dkk. (2010), yang menjelaskan bahwa pusat dari kemampuan regulasi diri adalah membangun upaya kontrol diri, termasuk kemampuan untuk menghambat respon yang dominan, kemampuan untuk merencanakan, dan kemampuan untuk mendeteksi kesalahan. Remaja yang berupaya untuk melakukan kontrol diri mampu untuk mengalihkan perhatiannya dan berfokus pada perilaku yang perlu dilakukan, menghambat perilaku yang tidak diperlukan, mampu mengintegrasikan informasi yang diterima, perencanaan, dan mampu mengatur emosi dan perilaku. Hal ini merupakan refleksi dari 7 (tujuh) proses regulasi diri (Miller & Brown, 1991; Brown, 1998), yaitu

receiving yang akan membuat remaja memahami tentang perilaku seksual dan bahayanya,

evaluating yang akan membuat remaja mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma di

masyarakat, triggering yang akan membuat remaja mampu berfikir dan berperilaku secara

kreatif dalam menanggapi masalah perilaku seksual, searching yang akan membuat remaja

mampu memilih solusi dapat menahan diri dari perilaku seksual beresiko, formulating yang

akan membuat remaja mampu merancang strategi untuk mengatasi dorongan seksual dalam

(25)

16

dirancang untuk menahan diri dari godaan yang mengarah ke perilaku seksual beresiko, dan

assesing yang membuat remaja mampu mengevaluasi perilakunya sendiri, sehingga remaja

dapat berperilaku adaptif dengan lingkungannya.

Eisenberg dkk. (2010) meyakini bahwa upaya kontrol diri berpusat pada anterior cingulate

gyrus dan melibatkan daerah prefrontal cortex. Hal ini sejalan dengan penjelasan Steinberg

(2007) bahwa pengambilan keputusan beresiko pada masa remaja dapat dibahas dari segi perkembangan ilmu saraf. Pengambilan keputusan beresiko pada masa remaja merupakan interaksi antara dua jaringan otak. Pertama, jaringan sosioemosional yang sangat sensitif

terhadap stimulus sosial dan emosional, yang sangat penting untuk pengolahan reward, dan

direnovasi pada masa pubertas remaja. Hal ini terletak di daerah limbik dan paralimbik pada

otak, yang mencakup amigdala, ventral striatum, orbitofrontal cortex, medial prefrontal

cortex, dan superior temporal sulcus. Kedua, jaringan kontrol kognitif yang membantu fungsi

eksekutif seperti perencanaan, berpikir ke depan, dan regulasi diri. Jaringan kontrol kognitif

terletak di daerah luar otak, yang mencakup lateral prefrontal dan parietal cortices dan

bagian-bagian anterior cingulate cortex yang saling terhubung. Pengambilan keputusan yang

beresiko pada masa remaja merupakan hasil dari kompetisi antara jaringan sosioemosional dan jaringan kontrol kognitif. Beberapa remaja yang mengambil keputusan beresiko dikarenakan jaringan sosioemosional yang tumpang tindih. Ditambah lagi dengan tipikal remaja yang menghabiskan begitu banyak waktunya dengan teman sebaya. Ketika jaringan sosioemosional tidak di aktifkan, maka jaringan kontrol kognitif memainkan peran yang cukup kuat untuk melakukan kontrol atas perilaku yang impulsif atau beresiko. Namun, jika kedua jaringan diaktifkan maka kecenderungan pengambilan keputusan beresiko dapat diatur meskipun dibawah kondisi yang tinggi dalam jaringan sosioemosional.

Temuan Quinn & Fromme (2010) menunjukkan bahwa regulasi diri dapat menjadi faktor protektif remaja dan selalu berkembang setelah usia 21 tahun. Regulasi diri dapat menjadi faktor protektif remaja agar terhindar dari permasalahan yang berhubungan dengan alkohol dan hubungan seksual tanpa kondom pada mahasiswa. Remaja yang mempunyai regulasi diri yang tinggi melibatkan kapasitas untuk perencanaan, penetapan tujuan, dan menunda kepuasan. Dalam permasalahan yang berhubungan dengan perilaku seksual beresiko, regulasi diri berupaya untuk menghindari individu atau kelompok sosial yang menawarkan kesempatan untuk terlibat dalam praktek seksual yang tidak aman (Quinn & Fromme (2010). Oleh karena itu, kepekaan terhadap stimulus menjadi suatu hal yang penting agar kemampuan regulasi diri lebih relevan, terutama dalam konteks seksual beresiko.

(26)

17

nyaman bagi remaja. Artinya, remaja yang memiliki regulasi diri yang tinggi berupaya untuk meminimalisir dorongan-dorongan seksual dalam dirinya, yang merupakan hasil refleksi dari tahapan atau proses dalam regulasi diri.

Secara keseluruhan, nilai korelasi antara regulasi diri dengan perilaku seksual sebesar 12,7%. Kecilnya nilai korelasi antara regulasi diri dengan perilaku seksual dapat ditemukan dari penjelasan Santrock (2012) yang menjelaskan bahwa remaja mulai mengembangkan interaksi dengan teman sebaya dan pada masa ini interaksi dengan teman sebaya menjadi akrab dan mereka juga mengalami pacaran dan eksplorasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual. Berkaitan dengan kriteria subjek, subjek dalam penelitian ini termasuk dalam remaja akhir yaitu usia 18 – 22 tahun, yang oleh Santrock (2007) mulai ditandai dengan minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas yang lebih menonjol daripada masa remaja awal. Secara seksual, remaja merupakan masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang, memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak dapat dipuaskan, memikirkan apakah dirinya menarik secara seksual, dan cara melakukan hubungan seks (Santrock, 2007). Kalichman (dalam Santrok, 1995) percaya bahwa kesulitan remaja dalam membentuk suatu identitas seksual dikarenakan tidak adanya kesempatan untuk memperdalam tentang seksualitas itu sendiri. Pada saat ini, identitas seksual remaja masih dibentuk melalui keluarga, kelompok teman sebaya, media, sekolah, dan lembaga sosial yang lain. Seharusnya remaja secara terbuka menggali lebih dalam mengenai seksualitas dalam bentuk kelas yang di desain khusus untuk pendidikan seksual (Santrock, 1995).

Berdasarkan kategorisasi berdasarkan nilai rata-rata antara laki-laki dan perempuan, hasil menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki regulasi diri yang tinggi, serta memiliki perilaku seksual yang rendah. Namun, jarak antara rata-rata regulasi diri dengan rata-rata perilaku seksual tidak terpaut sangat jauh. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Raffaeli & Crocket (2003) yang menunjukkan bahwa keterlibatan remaja dalam perilaku seksual beresiko dapat dipengaruhi oleh regulasi diri, tapi bukan berarti bahwa remaja yang memiliki regulasi diri yang baik tidak melakukan perilaku seksual, melainkan remaja yang memiliki regulasi diri yang baik tidak mengembangkan suatu pola untuk melakukan perilaku seksual yang lebih beresiko, dibandingkan remaja dengan regulasi diri yang buruk. Oleh karena itu, nilai korelasi regulasi diri dengan perilaku seksual hanya sebesar 12.7%. Selain itu, bukti bahwa regulasi diri yang baik belum tentu mencerminkan perilaku seksual yang tidak beresiko dapat dilihat dari tabel 5 yang berisi nilai rata-rata dari masing-masing aspek regulasi diri dan aspek perilaku seksual. Kategorisasi seluruh aspek regulasi diri menunjukkan kategori yang tinggi, dan kategori dari seluruh aspek perilaku seksual menunjukkan kategori rendah, namun nilai rata-rata antara aspek regulasi diri dengan aspek perilaku seksual tidak terlampau jauh. Uniknya, dari tabel 5 terlihat bahwa ada penurunan nilai rata-rata dari aspek pada perilaku seksual, yang berarti bahwa subjek dalam penelitian ini cenderung tidak

mengembangkan pola perilaku seksual ke arah petting dan intercourse, melainkan cenderung

sebatas kissing dan necking.

(27)

18

bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah seksual pada remaja meliputi faktor kontekstual, seperti status sosial ekonomi, pengasuhan orang tua, teman sebaya, dan prestasi akademik. Hal ini dapat menjadi alasan mengenai kecilnya perbedaan frekuensi dan skor perilaku seksual yang diperoleh oleh subjek dalam penelitian ini.

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, maka regulasi diri dapat dikatakan sebagai salah satu faktor protektif remaja agar terhindar dari perilaku seksual yang beresiko. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak adanya verifikasi data pada skala

penelitian, proses screening untuk status subjek penelitian yang idealnya dalam penelitian ini

status subjek yaitu pernah atau sedang berpacaran. Selain itu, item-item dari skala perilaku

seksual memiliki kalimat yang kurang normatif sehingga subjek faking dalam mengerjakan

skala perilaku seksual.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa regulasi diri dan perilaku seksual pada remaja memiliki korelasi yang negatif, yang berarti semakin tinggi regulasi diri maka remaja cenderung tidak melakukan perilaku seksual, sebaliknya jika semakin rendah regulasi diri maka remaja cenderung melakukan perilaku seksual beresiko. Selain itu, regulasi diri juga dapat menjadi faktor protektif remaja agar terhindar dari perilaku seksual yang beresiko. Sehingga, diharapkan dengan adanya kesediaan remaja dalam melakukan regulasi diri, maka angka perilaku seksual beresiko dapat diminimalisir.

Implikasi dari penelitian ini ditujukan kepada remaja agar dapat meningkatkan regulasi dirinya sehingga terhindar dari perilaku seksual beresiko. Remaja dapat dikatakan memiliki regulasi diri yang tinggi, apabila mereka dapat beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan hukum, norma, dan budaya yang ada di masyarakat, mampu selektif selama hidup di lingkungan sosialnya, konsisten dengan tujuan yang ingin di capai, mampu menahan diri, mampu bertahan pada tujuan ketika banyak rangsangan atau godaan dari lingkungannya, mampu mengesampingkan dorongan seksual ke arah yang positif.

Implikasi lain dari penelitian ini adalah agar keluarga, sekolah, dan media yang merupakan lingkungan eksternal memberikan pengarahan dan teladan yang baik kepada remaja, agar

mereka mendapatkan role model yang baik yang nantinya akan menjadi standar pribadi

mereka untuk berperilaku dan beradaptasi dengan lingkungan.

Saran bagi peneliti selanjutnya yang meneliti mengenai regulasi diri dan perilaku seksual beresiko agar lebih mempertimbangkan teknik pengambilan sampel. Selain itu, dapat melakukan verifikasi data, seperti domisili subjek (jika dilakukan disuatu tempat), mengetahui tentang populasi berpartisipasi dalam penelitian. Kemudian, bagi peneliti selanjutnya yang berkeinginan untuk melanjutkan penelitian ini agar lebih spesifik dalam menjelaskan dinamika hubungan antara regulasi diri dengan perilaku seksual beresiko. Selain itu, melakukan upaya preventif dengan cara melakukan penelitian eksperimental dengan

menggunakan Self-regulation Learning pada subjek yang berada dalam usia aktif secara

(28)

19

REFERENSI

Adicondro, N., & Purnamasari, A. (2012). Efikasi diri, dukungan sosial keluarga dan self

regulated learning pada siswa kelas VIII. Jurnal Psikologi Indonesia, 8, (1), 17 – 27.

Alfiana, A. D. (2013). Regulasi diri mahasiswa ditinjau dari keikutsertaan dalam organisasi

kemahasiswaan. Jurnal Ilmiah Psikologi terapan, 1, (2).

Alwisol. (2011). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press.

Anas, S. H. (2010). Sketsa Kesehatan Reproduksi Remaja. Jurnal Studi Gender & Anak, 5,

(1), 199 – 214.

Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. (2012, Januari/Desember). Copy editor.

Atwood, K. A., Zimmerman, R., Cupp, P. K., Fongkaew, W., Miller, B. A., Byrnes, H. F., Chamratrithirong, A., Rhucharoenpornpanich, O., Chaiphet, N., Rosati, M. J., & Chookhare, W. (2010). Correlates of precoital behaviors, intentions, and sexual

initiation among Thai adolescents. The Journal of Early Adolescence, 32, (3), 364 –

386.

Bandura, A. (1991). Social Cognitive Theory of self-regulation. Organizational Behavior and

Human Decision Processes, 50, 248 – 287.

Banun, F. O. S, & Setyorogo, S. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku

seksual pranikah pada mahasiswa semester V STIKes X Jakarta Timur. Jurnal

Ilmiah Kesehatan, 5, (1).

Boislard, M. A. P., Dussault, F., Brendgen, M., & Vitaro, F. (2013). Internalizing and

externalizing behaviors as predictors of sexual onset in early adolescence. The

Journal of Early Adolescence, 33, (7), 920 – 945.

Brown, J. M. (1998). Self-regulation and the addictive behaviors. New York: Plenum Press.

Darmawan, D. (2013). Metode penelitian kuantitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. (2013). Profil Kesehatan Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Eaton, D.K., Kann, L., Kinchen, S., Shanklin, S., Ross, J., Hawkins, J., Harris, W. A., Lowry, R., McManus, T., Chyen, D., Lim, C., Whittle, L., Brener, N. D., & Wechsler, H.

(2010). Youth Risk Behavior Surveillance – United States, 2009. Morbidity and

Mortality Weekly Report, 59, (5), 1 – 142.

Eisenberg, N., Eggum, N. D., Sallquist, J., & Edwards’, A. (2010). Relation of self-regulatory/control capacities to maladjustment, social competence, and emotionality. In R. H. Hoyle (Ed.), Handbook of personality and self-regulation. UK: Wiley-Blackwell.

Fajrina, A., & Hartati, S. (2014). Nurse morale and self-regulation corellation at mental

hospital Dr. Amino Gondhohutomo Semarang. Empati, 3, (4), 1 – 12.

Friedman, H. S., & Schustack, M. W. (2006). Kepribadian: Teori klasik dan riset modern

(29)

20

Gailliot, M. T., & Baumeister, R. F. (2007). Self-regulation and sexual restraint: Dispositionally and temporarily poor self-regulatory abilities contribute to failures at

restraining sexual behavior. Personality and Social Psychology Bulletin, 33, (2), 173

– 186.

Greene, K. M., Eitle, D., & Eitle, T. M. (2015). Developmental assets and risky sexual

behaviors among american Indian youth. The Journal of Early Adolescence, 1 – 24.\

Hofmann, W., Schmeichel, B. J., & Baddeley, A. D. (2012). Executive functions and

self-regulation. Trends in cognitive sciences, 16, (3), 174 – 180.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu kedekatan sepanjang rentang

kehidupan edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Karmila, M. (2011). Kecemasan dan dampak dari perilaku seksual pranikah pada mahasiswa.

Skripsi. Program Studi Srata 1 Sarjana Psikologi Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Khairunnisa, A. (2013). Hubungan religiusitas dan kontrol diri dengan perilaku seksual

pranikah remaja di MAN 1 Samarinda. eJournal Psikologi, 1, (2), 220 – 229.

Latipah, E. (2010). Strategi self regulated learning dan prestasi belajar: Kajian meta

analisis. Jurnal Psikologi, 37, (1), 110 – 128.

Mikulincer, M. E., & Shaver, P. R. (2012). The social psychology of morality: Exploring the

causes of good and evil. American Psychological Association.

Miller, D. (2015). Learning how students learn: an exploration of self-regulation strategies in

a two-year college general chemistry class. Journal of College Science Teaching, ,44,

(3), 11 – 16.

Miller, W. R., & Brown, J. M. (1991). Self-regulation as a conceptual basis for the

prevention and treatment of addictive behaviours. Sydney: Maxwell Macmillan

Publishing.

Noor, J. (2011). Metodologi penelitian: Skripsi, tesis, disertasi, & karya ilmiah. Jakarta:

Kencana.

Purwanto, T. (2016). Perancangan kampanye bahaya efek blue film terhadap otak. Skripsi.

Program Studi Strata 1 Desain Komunikasi Visual Universitas Pasundan Bandung. Puspitasari, C. (2012). Tingkat pengetahuan remaja perempuan dan laki-laki tentang seks

bebas di kelas X MAN I Surakarta. Skripsi. Program Studi Diploma III Kebidanan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.

Quinn, P. D, & Fromme, K. (2010). Self-regulation as a protective factor against risky

drinking and sexual behavior. Psychol Addict Behavior, 24, (3), 376 – 385.

Raffaelli, M., & Crockett, L. J. (2003). Sexual risk taking in adolescence: The role of

self-regulation and attraction to risk. Developmental Psychology, 39, (6), 1036 – 1046.

Rahayu, N., Yusad, Y., & Lubis, R. M. (2013). Pengaruh kegiatan penyuluhan dalam Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) terhadap pengetahuan dan sikap remaja tentang seks pranikah di SMAN 1 Lubuk Dalam Kabupaten Siak Sri Indrapura tahun

(30)

21

Ridder, D. T. D., Lensvelt-Mulders, G., Finkenauer, C., Stok, F. M., Baumeister, R. F. (2012). Taking stock of self-control: A meta-analysis of how trait self-control relates to a

wide range of behaviors. Personality and Social Psychology Review, 16, (1), 76 – 99.

Santrock, J. W. (1995). Perkembangan masa hidup edisi kelima jilid II. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). Remaja edisi kesebelas. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2012). Perkembangan masa hidup edisi ketigabelas jilid I. Jakarta: Erlangga.

Sarwono. (2007). Psikologi remaja. Jakarta: PT. Raja Gravido Persada.

Sarwono. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Soejoeti, S. Z. (2001). Perilaku seks di kalangan remaja dan permasalahannya. Media

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 11, (1).

Steinberg, L. (2007). Risk taking in adolescence: New perspectives from brain and behavioral

science. Current Directions in Psychological Science, 16, (2), 55 – 59.

Stinson, J. D., Robbins, S. B., & Crow, C.W. (2011). Self-regulatory deficits as predictors of sexual, aggressive, and self-harm behaviors in a psychiatric sex offender population.

Criminal, Justice and Behavior, 38, (9), 885 – 895.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. (2013). Kesehatan reproduksi remaja.

Jakarta: Penulis.

Suset

Gambar

Tabel 3. Penghitungan T-Skor Skala Regulasi Diri & Skala Perilaku Seksual ...……….. 13
Gambar 1.
Tabel 1. Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sumbangan efektif intensitas mengakses media pornografi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja sebesar 56%, sisanya terdapat 44% faktor lain yang mempengaruhi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA

Remaja yang telah melakukan perilaku seksual pranikah akan memiliki harga diri yang rendah terlihat dari munculnya rasa bersalah, berdosa serta menyesal

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kesaradan beragama dengan perilaku seksual pranikah pada remaja, yang ditunjukkan dengan r =

Dari hasil analisis deskriptif diperoleh bahwa pengetahuan agama menunjukkan pengetahuan normatif remaja mengenai perilaku seksual remaja dalam perspektif agama dalam

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan lingkungan dengan perilaku seksual remaja menunjukkan dari 75 responden didapatkan bahwa remaja

Alasan remaja melakukan perilaku seksual yang berupa kebutuhan untuk dicintai menandakan bahwa individu memiliki harga diri yang rendah dan tidak mampu menerima sehingga memerlukan

Hubungan antara Kontrol Diri terhadap Perilaku Seksual Siswa SMK Istiqomah Muhammadiyah 4 Samarinda Kontrol diri mampu menjelaskan perilaku seksual pada remaja sebesar 51,8%,