• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara harga diri dan religiusitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara harga diri dan religiusitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja."

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PADA REMAJA

Jeane Aryati

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara harga diri dan religiusitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Hipotesis yang diajukan adalah adanya korelasi negatif antara harga diri dan religiusitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah 114 remaja SMA/SMK yang berusia 16-18 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari tiga alat ukur, yaitu : skala harga diri, skala religiusitas dan skala perilaku seksual pranikah. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala harga diri diperoleh 21 item valid dengan koefisien reabilitas cronchbach alpha 0,851. Untuk skala religiusitas diperoleh 26 item valid dengan koefisien reabilitas cronchbach alpha 0,884. Sedangkan untuk skala perilaku seksual pranikah diperoleh 26 item valid dengan koefisien reabilitas cronchbach alpha 0,942. Uji hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda tidak dapat dilakukan dikarenakan data penelitian tidak linear. Hasil R Square menunjukkan angka sebesar 0,094 yang berarti sumbangan efektif kedua variabel bebas terhadap variabel terikat hanya sebesar 9,4%. Sehingga kemungkinan besar 90,6% disumbangkan oleh variabel lain diluar kedua variabel bebas tersebut.

(2)

RELATION BETWEEN SELF-ESTEEM AND RELIGIOUSITY TOWARD PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOUR IN ADOLESCENTS

Jeane Aryati ABSTRACT

This research is aimed to examine the relationship between self-esteem and religiousity toward premarital sexual behavior in adolescents. The proposed hypothesis is that there is a negative correlation between self esteem and religiousity toward premarital sexual behavior in adolescents. The subjects of the research were 114 adolescent in senior high school students aged 16-18 years old. The sample taking technique in this research uses purposive sampling. The data was collected through a scale questionnaire. The instrument of this research used three measurement which is a self-esteem scale, religiousity scale, and premarital sexual behavior scale. Based on validity and reliability examination on self-esteem has got 21 valid items with alpha cronchbach reliability 0,851. On religiousity scale has got 26 valid items with alpha cronchbach reliability 0,884. Meanwhile on premarital sexual behavior scale has got 26 valid items with alpha cronchbach reliability 0,994. The hypothesis testing used multiple linear regressions analysis can’t be performed because the research data is not linear. The results showed the number of R square is 0,094 which menas the effective contribution of the two independent variables on the dependent variable only 9,4%. So the odds are 90,6% contributed by other variables outside these two independent variables

(3)

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN RELIGIUSITAS

TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

PADA REMAJA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Jeane Aryati

119114175

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

MOTTO

“PRAY MORE, WORRY LESS”

(MATTHEW 6 : 34)

“Don’t worry about anything; instead, pray about

everything. Tell

God what you need, and thank Him for all He has done”

(7)

PERSEMBAHAN

Karya yang penuh perjuangan ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yesus, yang selalu memberikan kekuatan serta kesabaran

Papah yang selalu melihat ku dari atas sana, mamah yang selalu kuat, serta kedua ade ku atas dukungan, doa, materi, dan kasih sayang yang tak terhingga

(8)
(9)

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN RELIGIUSITAS TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

PADA REMAJA

Jeane Aryati

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara harga diri dan religiusitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Hipotesis yang diajukan adalah adanya korelasi negatif antara harga diri dan religiusitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah 114 remaja SMA/SMK yang berusia 16-18 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari tiga alat ukur, yaitu : skala harga diri, skala religiusitas dan skala perilaku seksual pranikah. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala harga diri diperoleh 21 item valid dengan koefisien reabilitas cronchbach alpha 0,851. Untuk skala religiusitas diperoleh 26 item valid dengan koefisien reabilitas cronchbach alpha 0,884. Sedangkan untuk skala perilaku seksual pranikah diperoleh 26 item valid dengan koefisien reabilitas cronchbach alpha 0,942. Uji hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda tidak dapat dilakukan dikarenakan data penelitian tidak linear. Hasil R Square menunjukkan angka sebesar 0,094 yang berarti sumbangan efektif kedua variabel bebas terhadap variabel terikat hanya sebesar 9,4%. Sehingga kemungkinan besar 90,6% disumbangkan oleh variabel lain diluar kedua variabel bebas tersebut.

(10)

RELATION BETWEEN SELF-ESTEEM AND RELIGIOSITY TOWARD PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOUR IN ADOLESCENTS

Jeane Aryati ABSTRACT

This research aimed to examine the relationship between self-esteem and religiosity toward premarital sexual behavior in adolescents. The proposed hypothesis is that there is a negative correlation between self-esteem and religiosity toward premarital sexual behavior in adolescents. The subjects of this research were 114 adolescents ranged from 16-18 years old in senior high school students. The sample taking technique in this research used purposive sampling. The data was collected through a scale questionnaire. The instrument of this research used three measurements which are self-esteem scale, religiosity scale, and premarital sexual behavior scale. Based on validity and reliability examination, self-esteem got 21 valid items with alpha cronchbach reliability 0,851. Religiosity scale got 26 valid items with alpha cronchbach reliability 0,884. Meanwhile, premarital sexual behavior scale got 26 valid items with alpha cronchbach reliability 0,994. The hypothesis test using multiple linear regressions analysis can’t be performed because the research data is not linear. The results showed the number of R square as 0,094 which means the effective contribution of the two independent variables on the dependent variable only 9,4%. So the odds are 90,6% contributed by other variables outside these two independent variables

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Harga Diri dan Religiusitas Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja” dengan baik. Penulis memohon maaf apabila dalam

pengerjaan skripsi masih terdapat kesalahan yang semestinya tidak dilakukan.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran, masukan dan koreksi yang bersifat membangun kearah yang lebih baik.

Penulis menyadari bahwa ada banyak orang-orang terkasih disekitar

penulis yang turut member dukungan dan bantuan agar penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan segenap hati, penulis mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widianto, M.Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Juga kepada seluruh staff dosen dan karyawan

yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, dan dukungan kepada penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik selama masa studi.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING..……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN MOTTO ………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… vi

ABSTRAK………. vii

ABSTRACT……… viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……… ix

KATA PENGANTAR……… x

DAFTAR ISI……….. xii

DAFTAR TABEL……… xviii

DAFTAR BAGAN………. xx

DAFTAR LAMPIRAN……….. xxi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Rumusan Masalah……….. 12

C. Tujuan Penelitian……… 12

D. Manfaat Penelitian………. 13

a. Manfaat Teoritik……….. 13

(15)

BAB II LANDASAN TEORI……... 14

A. Harga Diri……….. 14

1. Pengertian Harga Diri……….. 14

2. Aspek-aspek Harga Diri……… 15

B. Religiusitas………. 19

1. Pengertian Religiusitas………. 19

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas ………. 20

3. Dimensi Religiusitas ……… 21

C. Remaja ………. 23

1. Pengertian Remaja………... 23

2. Batasan Usia Remaja……… 24

3. Karakteristik Perkembangan Remaja ………. 25

4. Harga Diri……… 27

5. Religiusitas ………. 28

D. Perilaku Seksual Pranikah ……… 32

1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah ……… 32

2. Bentuk dan Tahapan Perilaku Seksual Pranikah ……… 32

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah …………. 34

4. Dampak Perilaku Seksual Pranikah ……… 35

5. Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah ... 36

E. Dinamika Hubungan ………. 37

F. Bagan Hubungan ……….. 42

(16)

BAB III METODE PENELITIAN ………. 44

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian……… 44

B. Identifikasi Variabel ………. 44

1. Variabel Tergantung……… 44

2. Variabel Terikat ……….. 44

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………. 44

1. Perilaku Seksual Pranikah ……….. 44

2. Harga Diri……… 45

3. Religiusitas ………. 45

D. Populasi dan Subjek Penelitian ………. 46

1. Populasi……… 46

2. Sampel………. 46

3. Metode Pengambilan Sampel ………. 47

E. Instrument Penelitian ……… 47

1. Skala Harga Diri ………. 47

2. Skala Religiusitas ……….. 49

3. Skala Perilaku Seksual Pranikah ……… 51

F. Validitas dan Reabilitas Alat Ukur……… 53

1. Uji Validitas Alat Ukur……… 53

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur……… 53

a. Seleksi Item ……….. 54

G. Prosedur Pengumpulan Data ………. 54

(17)

1. Uji Asumsi Analisis Data ... 65

a. Uji Normalitas ……….. 65

b. Uji Linearitas ……… 65

c. Uji Multikolineritas ………. 65

d. Uji Homoskesdastis ………. 66

2. Pengujian Hipotesis Penelitian ……….. 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 68

A. Persiapan Penelitian ………. 68

1. Pelaksanaan Penelitian ……… 68

B. Data Penelitian ………. 68

1. Data Demografis Subjek Penelitian ……… 68

2. Statistik Deskriptif ………. 70

a. Statistik deskriptif terkait harga diri ………. 70

b. Statistik deskriptif terkait religiusitas ……….. 73

c. Statistik deskriptif terkait perilaku seksual pranikah ………… 75

C. Hasil Penelitian ……… 77

1. Uji Asumsi ………. 77

a. Uji Normalitas ……….. 77

b. Uji Linearitas ……… 79

c. Uji Multikolinearitas ……… 80

d. Uji Homoskesdastisitas ……… 81

2. Uji Hipotesis ………. 83

(18)

BAB V PENUTUP ……….. 92

A. Kesimpulan ……….. 92

B. Keterbatasan Penelitian ... 93

C. Saran ………. 94

DAFTAR PUSTAKA ……….. 95

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Ciri-ciri seks sekunder ……….. 27

Tabel 2 : Blueprint skala harga diri (sebelum uji coba) ……….. 48

Tabel 3 : Blueprint skala religiusitas (sebelum uji coba) ………. 50

Tabel 4 : Blueprint skala perilaku seksual pranikah (sebelum uji coba) …….. 52

Tabel 5 : Blueprint skala harga diri (setelah seleksi item) ……….. 55

Tabel 6 : Hasil try out skala harga diri ……… 56

Tabel 7 : Skala harga diri……… 56

Tabel 8 : Blueprint skala religiusitas (setelah seleksi item) ……… 58

Tabel 9 : Hasil try out skala religiusitas ……….. 59

Tabel 10 : Skala Religiusitas………. 59

Tabel 11 : Blueprint skala perilaku seksual pranikah (setelah seleksi item)….. 61

Tabel 12 : Hasil try out skala perilaku seksual pranikah ………. 62

Tabel 13 : Skala Perilaku Seksual Pranikah………. 63

Tabel 14 : Data usia subjek penelitian ………. 69

Tabel 15 : Data jenis kelamin subjek penelitian ………. 69

Tabel 16 : Relasi romantis subjek penelitian ……….. 70

Tabel 17 : Hasil rata-rata subjek pada skala harga diri ……… 70

berdasarkan jenis kelamin Tabel 18 : Mean dan SD skala harga diri ………. 71

(20)

Tabel 21 : Hasil rata-rata subjek pada skala religiusitas ……….. 73

berdasarkan jenis kelamin

Tabel 22 : Hasil uji U pada skala religiusitas berdasarkan jenis kelamin …… 74

Tabel 23 : Mean dan SD skala religiusitas……… 74 Tabel 24 : Hasil rata-rata subjek pada skala perilaku seksual pranikah …….. 75

berdasarkan jenis kelamin

Tabel 25 : Hasil uji U pada skala perilaku seksual pranikah berdasarkan …… 76 jenis kelamin

Tabel 26 : Mean dan SD skala perilaku seksual pranikah ……….. 77 Tabel 27 : Uji normalitas harga diri, religiusitas dan ……….. 78

perilaku seksual pranikah

Tabel 28 : Hasil test linearity harga diri dengan perilaku seksual pranikah …. 79 Tabel 29 : Hasil test linearity religiusitas dengan perilaku seksual pranikah… 80

Tabel 30 : Hasil uji multikolineritas harga diri dan religiusitas ……….. 81 dengan perilaku seksual pranikah

Tabel 31 : Uji Glejser ……….. 82

(21)

DAFTAR BAGAN

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Skala Uji Coba ……… 99 Lampiran II : Reabilitas Skala ………. 116 Lampiran III : Skala Penelitian ……….. 125

(23)
(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Remaja adalah usia peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa dengan diikuti oleh perubahan fisik dan psikologis dan berusaha menemukan jalan hidupnya serta mulai mencari nilai-nilai seperti

kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan dan keindahan. Monks (2002) membagi remaja menjadi tiga kelompok usia, yaitu: (a) remaja awal, berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun; (b) remaja pertengahan,

dengan rentang usia 15 sampai 18 tahun; (c) remaja akhir, berkisar pada usia 18 sampai 21 tahun. Kaplan (1997) mengatakan usia remaja adalah

dimulai pada usia 11 – 12 tahun dan berakhir pada usia 18 – 21 tahun. Usia yang paling rentan dengan masalah seksual adalah pada masa usia 17 tahun. Bourgeois dan Wolfish (1994), remaja mulai merasakan dengan

jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan

kepuasan seksual. Remaja mengalami perubahan yang besar baik secara fisik, mental maupun sosial. Pada masa ini pula beberapa pola perilaku seseorang mulai dibentuk, termasuk identitas diri, kematangan seksual dan

keberanian untuk melakukan perilaku berisiko (Shaluhiyah, 2006; Bandura, 1989).

(25)

berbagai perilaku, termasuk hubungan intim (intercourse) (Imran,1999).

Perilaku seksual pranikah adalah tingkah laku, perasaan atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin (Chaplin, 2002). Bagi

kebanyakan remaja, pengalaman pertama mereka dalam perilaku seksual pranikah terjadi diantara umur 16 dan 18 tahun (Hurlock, 1967).

Hasil kajian BKKBN tahun 2010 mengatakan bahwa rata-rata dari

100 remaja di wilayah Jabodetabek, sekitar 54% pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Kejadian seks pranikah di Surabaya mencapai

47%, di Bandung dan Medan 52%. Perilaku seks bebas di kalangan remaja berefek pada kasus infeksi penularan HIV/AIDS yang cenderung berkembang di Indonesia. Fenomena seks bebas ditemukan pada

kelompok remaja sekolah maupun di kelompok remaja yang kuliah, hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa mahasiswi di Yogyakarta dari 1.660

responden sekitar 37% mengaku sudah kehilangan kegadisannya. Terjadi kehamilan rata-rata 17% per tahun (kehamilan yang tidak diinginkan), sebagian dari jumlah tersebut bermuara pada praktik aborsi. Grafik aborsi

di Indonesia termasuk kategori cukup tinggi dengan jumlah rata-rata per tahun mencapai 2,4 juta jiwa (Irmawaty, 2013).

Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan perilaku seks pranikah diantaranya adalah faktor keluarga, faktor teman sebaya, faktor pendidikan seks yang diberikan di sekolah, perkembangan teknologi

(26)

tinggi adalah hubungan orangtua - remaja, tekanan negatif teman sebaya,

pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media pornografi memiliki pengaruh yang signifikan, baik langsung maupun tidak langsung

terhadap perilaku seksual pranikah remaja.

Menurut Irawati (2002) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapan- tahapan tertentu yaitu

dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah,berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama

(sexual intercourse). Data yang ada menunjukkan bahwa 80% laki-laki dan 70% perempuan melakukan hubungan seksual selama masa pubertas dan 20% dari mereka mempunyai empat atau lebih pasangan

(Soetjiningsih, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisa (2013) menunjukkan

bahwa remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah memiliki tingkat religiusitas yang rendah. Religiusitas berpengaruh langsung dan tidak langsung pada perilaku seks pranikah remaja. Makin tinggi tingkat

religiusitas remaja maka makin rendah perilaku seks pranikahnya (Soetjinigsih, 2010). Darmasih (2009) menyatakan ada pengaruh

pemahaman tingkat agama terhadap perilaku seks pranikah pada remaja SMA di Surakarta. Semakin baik pemahaman tingkat agama, maka perilaku seks pranikah remaja semakin baik dan sebaliknya. Alasan

(27)

beberapa penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perilaku seksual

pranikah remaja menunjukkan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Hasil penelitian mengatakan bahwa semakin

tinggi religiusitas yang dimiliki seorang remaja maka semakin rendah perilaku seksual pranikah remaja yang muncul. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas yang dimiliki seorang remaja maka semakin tinggi

perilaku seksual pranikah yang muncul. Religiusitas ditunjukkan melalui ibadah keagamaan, seperti menjalankan nilai-nilai agama dan menghindari

perilaku-perilaku yang dilarang oleh ajaran agamanya.

Hal – hal tersebut diatas menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku remaja dalam melakukan hubungan seksual

pranikah salah satunya adalah faktor religiusitas.

Religiusitas adalah sikap batin (personal) setiap manusia

dihadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas dalam pribadi manusia (Dister, 1988). Sebagai sikap batin, religiusitas tidak dapat dilihat secara langsung namun bisa

tampak dari implementasi perilaku religiusitas itu sendiri. Keberagamaan sebagai keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada yang maha

kuasa yang memberikan perasaan aman (Monks dalam Ghufran, 2010). Menurut Glock dan Stark dalam ancok (1994) terdapat lima dimensi religiusitas yaitu: (a) dimensi keyakinan, (b) dimensi praktek agama, (c)

(28)

Kepribadian remaja seperti harga diri merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Myles (1983), harga diri merupakan aspek kepribadian yang turut andil dalam mengontrol perilaku

seksual remaja berpacaran. Harga diri yang besar nampaknya terkait dengan masalah keperawanan atau keperjakaan seorang remaja. Kalau anak perempuan memiliki harga diri yang lebih tinggi, mereka justru

jarang melakukan hubungan seks diusia remaja. Tetapi sebaliknya, anak laki-laki yang memiliki harga diri yang tinggi biasanya sudah tidak perjaka

lagi (Santrock, 2007). Perilaku seksual pranikah merupakan masalah yang menonjol pada masa remaja, karena memang pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan perkembangan seksual yang pesat dan muncul

dorongan utuk melakukan aktivitas seksual. Remaja yang memiliki harga diri rendah akan berisiko terkena depresi, anoreksia, obesitas, berbagai

masalah lainnya dan bahkan bunuh diri. Nunally dan Hawari (dalam Marini. L, 2005) menambahkan bahwa salah satu penyebab para remaja terjerumus pada seks bebas adalah kepribadian yang lemah. Adapun ciri

kepribadian yang lemah tersebut antara lain, daya tahan terhadap tekanan dan tegangan rendah, harga diri yang rendah, kurang bisa

mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresif serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik.

(29)

yang diikuti dengan perubahan sosial dan psikologis akan membawa

perilaku remaja dalam menilai diri sendiri dan mensejajarkan ‘siapa saya’ dengan ‘bagaimana orang lain melihat saya’ (Masters dan Johnson, 1992).

Perubahan fisik yang berbeda pada kedua jenis kelamin membawa penilaian yang berbeda pula terhadap perubahan sosial, psikologis dan perilaku yang terjadi pada diri sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri inilah

yang membentuk harga diri remaja berkaitan dengan masalah masalahnya salah satunya adalah masalah seksualitasnya. Minchinton (1993)

mendefinisikan harga diri adalah penilaian dari keberhagaan diri sebagai manusia terkait dengan perasaannya mengenai dirinnya sendiri, perasaannya terhadap hidup, dan perasaannya dalam kaitannya dengan

orang lain. Harga diri juga akan mempengaruhi remaja dalam mengontrol perilaku seksual remaja berpacaran. Tentu saja remaja yang memiliki

harga diri positif diharapkan lebih mampu mengontrol perilaku seksualnya, sehingga terhindar dari risiko yang harus dihadapi atau mengancam seperti kehamilan, penyakit kelamin yang menular, perasaan

berdosa, dan remaja akan lebih memilih perilaku berpacaran yang tidak bertentangan dengan norma sosial. Sebaliknya remaja yang kurang mampu

menghargai diri sendiri biasanya akan mengalami kesulitan untuk mengontrol dan mengendalikan diri ketika berada dalam situasi yang penuh rangsangan seksual dan cenderung mengambil keputusan

(30)

Hal – hal tersebut diatas menunjukkan bahwa harga diri merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku remaja dalam melakukan hubungan seksual pranikah secara langsung maupun secara tidak langsung.

Hasil ini sangatlah bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dilapangan.

Berdasarkan fenomena yang peneliti temukan di lingkungan yang

menjadi tempat penelitian adalah banyak remaja khususnya remaja SMA telah melakukan perilaku seks pranikah selama berpacaran. Baik yang ‘masih’ dalam tahap perilaku maupun yang telah melakukan seks

pranikah. Remaja yang melakukan perilaku seks pranikah berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada beberapa remaja mengatakan bahwa

mereka melakukan perilaku seks pranikah dikarenakan ikut-ikutan teman dan merupakan gaya pacaran remaja jaman sekarang. Selain itu mereka

juga mengaku taat dalam beribadah seperti rajin pergi ke gereja dan mengikuti kegiatan keagaamaan lainnya. Dalam hal sekolah, mereka juga mengaku tahu tentang akibat seks diluar nikah, mereka mendapat

pengetahuan dari sekolah serta dari internet. Dalam hal hubungan keluarga, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah

kekurangan kasih sayang dari orang tua mereka dan mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang agama dari orang tua mereka. Dari sepengetahuan dan sepengamatan peneliti terhadap beberapa subjek yang

(31)

yang dimiliki subjek, terlihat bahwa subjek seringkali mengupdate hal-hal

yang bersifat religius. Subjek juga terlihat biasa saja tampil di lingkungan masyarakat maupun sekolah walaupun masyarakat maupun teman-teman

sekolah subjek telah mengetahui bahwa subjek telah melakukan perilaku seksual pranikah.

Berdasarkan paparan diatas tentang perilaku seks pranikah dan

kaitannya dengan harga diri serta religiusitas, peneliti menemukan adanya perbedaan (kontradiksi) antara hasil beberapa penelitian dengan fakta

dilapangan yang merupakan awal dari masalah yang ingin diteliti. Menurut Soetjiningsih (2006) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja paling tinggi adalah

hubungan orangtua - remaja, tekanan negatif teman sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas) dan eksposur media pornografi. Peneliti

memutuskan untuk memfokuskan penelitian kepada dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu harga diri dan religiusitas. Fenomena yang terjadi di lingkungan yang akan diteliti

mengindikasikan adanya harga diri dan religiusitas yang tetap tinggi sehingga peneliti ingin membuktikan apakah benar subjek memiliki harga

diri dan religiusitas yang tinggi walaupun telah melakukan perilaku seksual pranikah.

Hasil penelitian mengatakan bahwa remaja yang memiliki

(32)

fakta yang peneliti temukan di lapangan. Salah satu penelitian mengatakan

bahwa religiusitas tidak behubungan dengan perilaku seksual dikarenakan faktor-faktor lain yang membuat perilaku seksual dikalangan remaja bersifat ‘biasa’, seperti tersedianya fasilitas yang tidak terbatas, tekanan

dari teman sebaya, kemudahan akses media internet, dll (Firminia dkk, 2012). Penelitian lain juga mengatakan bahwa religiusitas tidak menjamin

remaja untuk terhindar dari perilaku seksual pranikah karena perilaku keberagamaan yang mereka lakukan/tunjukkan bukan atas kepercayaan

yang kuat terhadap agamanya, melainkan karena semata-mata akan mendapat pahala atau dosa saja (Nugrahawati dkk, 2011). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap subjek yang mengatakan bahwa subjek

yang telah diketahui melakukan perilaku seksual pranikah, terlihat taat dalam beragama dan rajin dalam mengikuti kegiatan keberagamaan.

Remaja yang telah melakukan perilaku seksual pranikah akan memiliki harga diri yang rendah terlihat dari munculnya rasa bersalah, berdosa serta menyesal (Soetjiningsih, 2008). Penelitian ini bertolak

belakang dengan hasil wawancara terhadap subjek yang dilakukan oleh peneliti. Hasil wawancara mengatakan subjek terlihat tetap memiliki harga

diri yang tinggi dilihat dari keharmonisan keluarga, pengetahuan seksual yang didapat disekolah maupun dilingkungan dan keluarga serta religiusitas yang cukup tinggi. Tapi ada beberapa yang terlihat memiliki

(33)

kelompok teman sebaya tersebut. Tuntutan dan tekanan dari teman sebaya

membuat remaja harus melaksanakannya agar diakui sebagai anggota dalam kelompok (Hurlock, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat

(2013) menunjukkan bahwa tidak terdapatnya pengaruh antara harga diri terhadap perilaku seksual pranikah dikarenakan adanya perbedaan pengaruh antara subjek laki-laki dan perempuan. Wawancara yang

dilakukan oleh peneliti dilakukan terhadap subjek perempuan saja. Menurut pendapat Zimet (dalam Hartono, 2004), anak perempuan yang

memiliki harga diri tinggi jarang menginginkan melakukan hubungan seks, sedangkan anak laki-laki yang memiliki harga diri tinggi lebih ingin melakukan hubungan seks. Bagi subjek yang mendapat pendidikan seksual

yang baik disekolah, subjek mampu menyerap pelajaran tentang seksualitas namun mereka menyalahgunakan materi yang didapat

disekolah sehingga sebagian dari mereka masih ada yang melakukan perilaku seksual pranikah (Krisnawati, 2009).

Adanya perbedaan pula antara teori dan beberapa hasil penelitian.

Teori mengatakan bahwa harga diri rendahlah (tersirat dari adanya perilaku tekanan dari teman sebaya) yang membuat remaja melakukan

perilaku seks pranikah (Lingren, 1995) sedangkan hasil beberapa penelitian mengatakan bahwa dampak dari perilaku seks pranikah yang dilakukan remaja membuat harga diri mereka rendah (Soetjiningsih,

(34)

Peneliti mengambil 2 variabel bebas yaitu harga diri dan

religiusitas dalam penelitian ini karena terlihat ada hubungan dengan perilaku seksual pranikah remaja yang merupakan variabel tergantung,

baik secara langsung maupun tidak langsung. Religiusitas memiliki pengaruh secara langsung terhadap perilaku seksual pranikah, yaitu semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perilaku seksual

pranikah. Harga diri memiliki pengaruh langsung maupun secara tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Remaja perempuan

yang memiliki harga diri tinggi cenderung menghindari/meminimalisir adanya perilaku seksual pranikah, sedangkan harga diri yang cenderung tinggi bagi remaja laki-laki membuatnya semakin ingin untuk melakukan

perilaku seksual pranikah. Selain itu, remaja yang harga diri nya rendah cenderung mudah dipengaruhi teman sebayanya untuk melakukan perilaku

seksual pranikah. Secara tersirat religiusitas mungkin berhubungan dengan harga diri, yaitu religiusitas yang tinggi bisa menjadi salah satu gambaran bahwa seseorang mempunyai harga diri yang tinggi.

Kekhasan dari penelitian ini adalah pemilihan subjek penelitian serta tempat dilakukannya (lingkungan) penelitian. Peneliti mengambil

subjek remaja SMA/SMK di Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Barito Timur. Subjek penelitian yang peneliti temukan di tempat penelitian berbeda dengan subjek remaja SMA/SMK yang ada di Jawa maupun di

(35)

maka perilaku seks pranikah cenderung rendah. Subjek di Kalimantan

Tengah berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, tersirat secara tidak langsung memiliki harga diri serta religiusitas yang tinggi

tetapi tetap melakukan perilaku seks pranikah. Hal ini terlihat dari subjek mengaku taat dalam beribadah seperti rajin pergi ke gereja dan mengikuti kegiatan keagaamaan lainnya. Dalam hal sekolah, mereka juga mengaku

tahu tentang akibat seks diluar nikah, mereka mendapat pengetahuan dari sekolah serta dari internet. Dalam hal hubungan keluarga, mereka juga

mengatakan bahwa mereka tidak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua mereka dan mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang agama dari orang tua mereka. Selain itu, lingkungan penelitian juga

sebelumnya belum ada penelitian yang dilakukan di tempat tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara

harga diri dengan religiusitas pada perilaku seksual pranikah remaja.

C. TUJUAN PENELITIAN

(36)

D. MANFAAT PENELITIAN

a. Secara teoritik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan

psikologi remaja, dan menambah wawasan baru serta memperbaharui penelitian yang sudah ada bagi pembaca tentang perilaku seks pranikah pada remaja kaitannya dengan harga diri dan religiusitas. Selain itu

juga untuk membuktikan tinggi / rendahnya perilaku seksual pranikah pada remaja yang menjadi subjek dalam penelitian ini.

(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HARGA DIRI

1. Pengertian harga diri

Chaplin (2006) menyamakan istilah self esteem dengan self evaluation, yaitu suatu penilaian atau suatu pertimbangan yang dibuat seseorang mengenai diri sendiri.

Coopersmith (dalam Burn, 1993) menjelaskan bahwa harga diri adalah evaluasi atau penilaian yang dibuat individu mengenai

keberhagaan dirinya, yang ditampilkan dalam sikap penerimaan atau penolakkan dan menunjukkan keyakinan individu pada diri sendiri bahwa

ia mampu, berarti, berhasil dan berharga.

Rosenberg (dalam Burn, 1993) mendefinisikan harga diri sebagai suatu sikap positif atau negatif terhadap suatu objek khusus, yaitu “diri”.

Minchinton (1993) juga mendefinisikan harga diri adalah harga yang ditempatkan individu pada dirinya. Selanjutnya, Minchinton (1993)

memberikan penjelasan bahwa harga diri adalah penilaian dari keberhagaan diri sebagai manusia, berdasarkan pada setuju atau tidak setuju pada diri dan perilaku diri sendiri.

Menurut Frey dan Carlock (1984), harga diri merupakan suatu evaluasi. Harga diri mengacu pada penilaian mengenai positif, negatif,

(38)

dirinya dan memandang dirinya sama seperti orang lain. Mereka tidak

berpura-pura untuk menjadi sempurna, mereka menyadari kekurangannya dan mereka mengharapkan untuk dapat mengembangkan dan

meningkatkan dirinya.

Santrock (2003) mengatakan bahwa harga diri adalah dimensi penilaian (evaluatif) global dari kepribadian atau suatu penilaian atau

pencitraan diri yang mengacu pada suatu bidang ketrampilan yang berbeda dan penilaian diri secara umum.

Dari beberapa definisi dan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi perasaan dan penilaian individu terhadap dirinya, kehidupannya, dan kaitan dengan orang lain. Harga diri

tersebut mempunyai peran yang penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu.

2. Aspek-aspek Harga Diri

Minchinton (1993) menjabarkan 3 aspek harga diri, yaitu perasan

mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup, serta perasaan dalam kaitannya dengan orang lain.

a. Perasaan mengenai diri sendiri

Menerima diri, maksudnya individu mampu menerima dirinya secara nyata dan penuh, nyaman dengan dirinya sendiri,

(39)

Individu memandang bahwa dirinya mempunyai keunikan

tersendiri, menghargai setiap potensi yang dimiliki tanpa menghiraukan kemampuan yang tidak dimiliki oleh diri.

Menghormati diri sendiri. Individu memiliki self-respect dan keyakinan yang dalam bahwa dirinya penting, kalaupun bukan bagi orang lain, setidaknya bagi dirinya sendiri. Individu dengan

harga diri dapat memaklumi dan memaafkan dirinya sendiri; menyukai dirinya sendiri dengan ketidaksempurnaan yang dimiliki.

Menghargai keberhargaan dirinya. Individu mampu menghargai nilai personal sebagai individu sehingga tidak terpengaruh terhadap pendapat orang lain mengenai dirinya.

Individu tidak merasa lebih baik ketika dipuji dan tidak merasa lebih buruk jika dirinya dikritisi/dihina oleh orang lain. Perasaan

baik mengenai dirinya tidak bergantung pada keadaan kondisi luar. Memegang kendali atas emosi. Individu merasa terbebas dari perasaan yang tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa

marah, rasa takut, dan kesedihan. Emosi umum yang paling sering terjadi adalah rasa bahagia karena individu merasa senang dengan

dirinya dan kehidupannya.

Individu dengan harga diri yang tinggi dapat menerima dan mengapresiasikan dirinya sendiri dalam kondisi apapun, merasa

(40)

sendiri serta memiliki kontrol emosi yang baik dan terbebas dari

perasaan tidak menyenangkan, kemarahan, ketakutan, kesedihan dan rasa bersalah. Sedangkan, individu yang memiliki harga diri

rendah meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan intrinsik yang kecil, meragukan kemampuan dirinya, merasa bahwa keberhasilan yang diperolehnya merupakan sebuah prestasi, selalu

takut untuk mencoba segala sesuatu dan memiliki kontrol emosi yang buruk, merasa tidak bahagia, tertekan serta merasa dirinya

tidak berarti atau sia-sia. b. Perasaan terhadap Hidup

Menerima kenyataan. Perasan terhadap hidup berarti

menerimatanggung jawab atas sebagian hidup yang dijalaninya. Individu dengan harga diri yang tinggi akan dengan lapang dada

dan tidak menyalahkan keadaan hidup ini (orang lain) atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya itu terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusannya sendiri, bukan karena

faktor eksternal. Karena itu, ia akan membangun cita-cita atau harapan yang realistis dan sesuai kemampuan dirinya.

Memegang kendali atas diri sendiri. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi tidak berusaha untuk mengendalikan orang lain atau situasi yang ada. Sebaliknya, ia akan dengan mudah

(41)

Individu yang memiliki harga diri yang tinggi memiliki

suatu keyakinan bahwa ia memiliki rasa tanggung jawab dan merasa mampu mengontrol setiap bagian dirinya serta dapat

merancang, merencanakan dan mereliasasikan segala sesuatu yang diharapkan atau menjadi tujuan hidupnya secara optimal. Sedangkan, individu yang memiliki harga diri rendah merasa

bahwa kehidupan ini berada diluar kontrol dan tanggung jawab dirinya dan berjalan begitu saja, terkadang merasa lemah dan

merasa di bawah kontrol atau kendali orang lain juga kurang dapat merancang, merencanakan dan merealisasikan segala sesuatu yang diharapkan atau menjadi tujuan hidupnya secara optimal.

c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain

Menghormati orang lain. Individu percaya bahwa setiap

orang, termasuk dirinya, mempunyai hak yang sama dan patut dihormati. Saat seseorang merasa nyaman dengan dirinya maka ia akan menghormati orang lain sebagaimana adanya mereka.

Individu tidak akan memaksakan kehendak atau nilai-nilai atau keyakinannya kepada orang lain karena ia tidak membutuhkan

penerimaan dari orang tersebut agar ia merasa berharga.

Memiliki toleransi terhadap orang lain. Individu dapat menerima kekurangan orang lain, fleksibel dan bertanggung jawab

(42)

dihormati. Ia menghormati kebutuhan dirinya serta mengakui

kebutuhan orang lain.

Individu dengan harga diri tinggi dapat terlihat dari

bagaimana cara seseorang dalam bentuk rasa penghormatan, toleransi, kerja sama dan saling memiliki antara satu dengan yang lain. Sedangkan, individu yang memiliki harga diri rendah tidak

dapat merasakan arti pentingnya hubungan interpersonal, bersikap tidak toleran, kurang dapat bekerja sama, dan kurang rasa memiliki

antar satu sama lain.

B. RELIGIUSITAS

1. Pengertian Religiusitas

Fetze (1999) mendefinisikan religiusitas adalah sesuatu yang lebih menitikberatkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin dari agama maupun golongan. Karenanya doktrin yang dimiliki

oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.

Menurut Dister (1988), religiusitas adalah sikap batin pribadi

(personal) setiap manusia di hadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia.

Gazalba (dalam Ghufran, 2010) mengemukakan bahwa religiusitas umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus

(43)

mengikat seseorang atau kelompok orang yang dalam hubungannya

dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.

Erika (2012) religiusitas adalah suatu sistem nilai keberagamaan

yang menggambarkan kesatuan pandangan antara kebenaran dan keyakinan agama, penghayatan dan pemahaman terhadap ajaran agama yang terpantul ke dalam sikap dan perilaku seseorang.

Religiusitas didefinisikan sebagai manifestasi seberapa jauh individu penganut agama meyakini memahami, menghayati, dan

mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek (Djamaludin, 1995).

Jadi, berdasarkan beberapa teori dari para ahli diatas tentang

religiusitas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan suatu sistem nilai keberagamaan atau sikap batin pribadi yang dianut oleh

individu maupun kelompok yang didalam nya memuat aturan dan kewajiban serta dibutuhkan pemahaman dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Menurut Partini, S (dalam Ramayulis, 2004) pembentukan dan perubahan sikap keberagamaan dipengaruhi oleh dua faktor :

a. Faktor internal yaitu berupa kemampuan menyeleksi dan

(44)

b. Faktor eksternal yaitu berupa faktor dari luar diri individu yaitu

pengaruh lingkungan yang diterima.

3. Dimensi Religiusitas

Glock dan Stark (dalam Ancok dan Nashori, 1995) menyatakan bahwa ada lima dimensi keberagamaan yaitu keyakinan (ideologis),

penghayatan atau pengalaman (eksperensial), peribadatan atau praktek beragama (ritualistik), pengetahuan agama (intelektual), dan pengamalan

(konsekuensi).

a. Dimensi Keyakinan

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang

religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama

mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama tetapi

seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. Dimensi ini menunjukkan bagian religiusitas yang berkaitan

dengan apa yang harus dipercayai. b. Dimensi Praktek Beragama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan

(45)

terdiri dari dua kelas penting yaitu ritual dan ketaatan. Ritual

mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para

pemeluk melaksanakan. Kedua, ketaatan. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dari

kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. Dimensi ini menunjukkan perilaku yang diharapkan

seseorang yang menyatakan kepercayaannya pada agama tertentu. Perilaku disini bukanlah perilaku umum yang dipengaruhi keimanan seseorang, melainkan mengacu pada perilaku khusus

yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara ibadah. c. Dimensi Pengalaman

Dimensi ini berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Psikologi menamainya religious experience. Pengalaman agama ini bisa saja terjadi sangat moderat. Kebanyakan agama timur seperti Hindu dan Buddha menekankan dimensi ini. Selanjutnya ia mengalami ketenangan

batin dan menemukan makna hidup. d. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini memperhatikan informasi yang dimiliki

(46)

sikap seseorang dalam menerima atau menilai ajaran agamanya

berkaitan erat dengan pengetahuan agama yang dimilikinya, terbuka atau tertutupnya seseorang terhadap hal-hal yang

berlawanan dengan keyakinannya. e. Dimensi Konsekuensi atau Pengamalan

Dimensi konsekuensi menunjukkan akibat ajaran agama

dalam perilaku umum, yang secara tidak langsung maupun khusus ditetapkan agama (seperti dalam dimensi praktek

beragama). Inilah efek ajaran agama pada perilaku individu dalam kehidupannya sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.

C. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (dalam Rachmah, 2004) remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.

Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Pada masa ini sebenarnya

tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.

Menurut Santrock (2003), remaja (adolescence) adalah masa

(47)

kebanyakan budaya lain sekarang ini, masa remaja dimulai kira-kira usia

10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun.

Menurut Erickson (dalam Yusuf, 2004), remaja merupakan masa

berkembangnya identitas. Identitas merupakan vocal point dari pengalaman remaja, karena semua krisis normatif yang sebelumnya telah memberikan kontribusi kepada perkembangan identitas ini.

Menurut Salzman (dalam Yusuf, 2004), remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah

kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika isu-isu moral.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa

remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana terjadi perubahan pada setiap aspek dalam diri individu menuju

ke arah kematangan.

2. Batasan Usia Remaja

Masa remaja juga bisa dilihat dari batasan usia. Individu dikatakan berada dalam usia remaja apabila:

(48)

b. Menurut Undang-Undang Perburuhan, anak dianggap remaja

apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal.

c. Menurut UU Perkawinan no.1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 18 tahun untuk anak laki-laki.

d. Menurut DIKNAS, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah

menengah.

e. Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10 tahun dan berakhir saat remaja berumur 24 tahun.

f. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 1980, usia remaja ialah 14-24 tahun. (Sugiharta, 2004; Sarwono, 2008).

Jadi, menurut paparan diatas dapat disimpulkan bahwa batasan usia remaja di Indonesia adalah usia 16 tahun – 18 tahun.

3. Karakteristik Perkembangan Remaja

Pemahaman lebih lanjut mengenai masa remaja bisa dilihat dari

karakteristik perkembangan remaja sebagai berikut: (Hurlock, 2006; Yusuf, 2004)

a. Perkembangan fisik

(49)

dan matang pada akhir masa remaja. Perubahan eksternal seperti

perubahan tinggi badan, perubahan berat badan, terbentuknya proporsi tubuh yang matang, organ seks yang matang, tumbuhnya

ciri-ciri sekunder. Perubahan internal seperti kematangan pada sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh. Perubahan fisik yang utama

terlihat pada ciri seks primer dan ciri seks sekunder sebagai berikut:

i. Ciri-ciri seks primer

Pada masa remaja, pria ditandai dengan sangat cepatnya pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua,

kemudian tumbuh secara lebih lambat, mencapai ukuran matangnya pada usia 20 atau 21 tahun. Setelah testis mulai

tumbuh, penis mulai bertambah panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar. Matangnya organ-organ seks tersebut, memungkinkan remaja pria (sekitar usia 14-15 tahun) mengalami “mimpi basah” (mimpi berhubungan seksual). Pada

remaja wanita, kematangan organ-organ seksnya ditandai dengan

tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium (indung telur) yang sangat cepat. Pada masa inilah (sekitar usia 11-15 tahun), untuk pertama kalinya remaja wanita mengalami “menarche” (menstruasi

(50)
[image:50.595.83.519.162.631.2]

ii. Ciri-ciri seks sekunder

Tabel 1

Ciri-ciri Seks Sekunder pada Remaja

Wanita Pria

Tumbuh rambut pubik di sekitar kemaluan dan ketiak

Tumbuh rambut pubik di sekitar kemaluan dan ketiak

Bertambah besar buah dada Terjadinya perubahan suara Bertambah besarnya pinggul Tumbuh kumis

Tumbuh gondok laki (jakun)

4. Harga Diri

Guindon (2010) menjelaskan bahwa harga diri dibentuk melalui

serangkaian kejadian yang terjadi dalam kehidupan masing-masing individu yang terekam dan menjadi evaluasi atas apa yang mereka alami. Harga diri pada anak-anak mula terbentuk pada tahun pertama kehidupan

dan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman dan reaksi yang muncul atas pengalaman tersebut. Seorang anak yang mendapat pujian dan

pengasuhan pada masa awal pengalaman mereka, akan memiliki dasar untuk mengembangkan harga diri secara lebih positif. Sementara anak-anak yang dikritik, dibatasi, dihukum atas kesalahan atau ditertawakan,

(51)

Menurut Baldwin dan Hoffman (dalam Guindon, 2010), individu

yang memiliki harga diri yang rendah pada masa kanak-kanak akan mengalami banyak kesulitan pada saat mereka remaja, dan merasa

kekurangan dalam banyak domain. Sementara dukungan keluarga yang kuat memiliki efek positif pada harga diri remaja dan remaja dengan dukungan keluarga yang kurang akan mengalami kesehatan mental yang

buruk, perkembangan sosial yang terhambat dan memiliki kesejahteraan yang lebih buruk.

Sementara menurut Harter (dalam Guindon, 2010), remaja mendasarkan harga diri mereka pada opini dan reaksi dari teman sebaya. Saat anak-anak mereka memiliki hubungan pertemanan dengan sesama

jenis, namun pada saat hubungan pertemanan remaja berkembang dengan lawan jenis, bahkan dengan kelompok gender yang beragam. Maka

perbandingan dalam sosial meningkat (terjadi penilaian oleh teman sebaya) yang dapat berpengaruh pada harga diri secara umum.

Harga diri mengalami kemunduran pada usia awal remaja, lebih

khususnya bagi wanita yang dilaporkan secara signifikan mengalami tingkat harga diri yang paling rendah, sementara memiliki tingkat lebih

tinggi pada perasaan tertekan (Kearney-Cooke, dalam Guindon, 2010)

5. Religiusitas

(52)

berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin

dan kadang-kadang malas. Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (was-was) sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan

berbagai kegiatan ritual (seperti shalat) yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan. Pada masa remaja akhir, remaja sudah mulai melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Daradjat (1996) menjelaskan tentang religiusitas pada remaja dalam dua tahap perkembangan, yaitu :

1. Masa Remaja Awal (13 – 16 Tahun)

Perubahan jasmani pada masa remaja menimbulkan kecemasan tersendiri, kepercayaan kepada agama yang telah tumbuh sebelumnya

mungkin mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya. Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang-kadang

sangat kuat dan kadang-kadang menjadi ragu bahkan berkurang. Ibadah yang dilakukan kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas.

Perasaan remaja terhadap Tuhannya tergantung pada perubahan emosi yang sedang di alami. Kadang mereka membutuhkan Tuhan

terutama saat menghadapi bahaya, takut akan gagal, dan saat merasa berdosa. Tapi kadang ia kurang membutuhkan Tuhan ketika mereka senang, riang, atau gembira. Perkembangan kecerdasan

(53)

abstrak dari apa yang dilihat dan didengarnya. Maka pendidikan

agama tidak akan diterima begitu saja tanpa memahaminya. Disini remaja akan merasa butuh dengan ajaran dan ketentuan agama untuk

mengembalikan jiwanya kepada ketenangan dan kestabilan. 2. Masa Remaja Akhir (17 – 21 Tahun)

Pada masa ini remaja telah memasuki suatu tahap yang dalam

istilah agama disebut sebagai baligh-berakal, maka remaja merasa bahwa dirinya telah dewasa dan dapat berpikir logis. Remaja sedang

berusaha mencapai peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin mengembangkan agama pada tahap ini.

Sementara menurut Hurlock (1980), selama masa remaja terjadi

perubahan dalam minat religius secara lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan. Pola perubahan minat

tersebut dijelaskan sebagai berikut : a. Periode Kesadaran Religius

Pada saat remaja mempersiapkan diri untuk menjadi bagian

dari suatu kelompok keagamaan yang dianut orang tuanya, minat religiusnya meninggi. Sebagai akibat dari meningkatnya minat

ini, ia mungkin menjadi bersemangat mengenai agama sampai-sampai ia mempunyai keinginan untuk menyerahkan kehidupannya untuk agama dan malah meragukan keyakinan

(54)

keyakinan teman-temannya atau menganalisis keyakinannya

secara kritis sesuai dengan meningkatnya pengetahuan remaja. b. Periode Keraguan Religius

Berdasarkan penelitian secara kritis terhadap keyakinan masa kanak-kanak, remaja sering bersikap skpetis pada berbagai bentuk perilaku keberagamaan, seperti berdoa atau ibadah

lainnya, kemudian mulai meragukan isi religius, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan sesudah mati. Bagi sebagian

remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, namun pada sebagian lainnya berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul.

c. Periode Rekontruksi Agama

Lambat laun remaja membutuhkan keyakinan beragama

secara lebih matang, meskipun ternyata keyakinan pada masa kanak-kanak tidak lagi memuaskan. Jika hal ini terjadi maka remaja mulai memperkokoh keyakinan pada agama nya atau

(55)

D. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2008) dan pranikah berarti sebelum menikah.

Menurut Muat’din (dalah Rachmah, 2004), perilaku seksual adalah

segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis.

Soetjiningsih (2008) juga mengungkapkan bahwa perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja

sebelum mereka menikah.

Menurut Adikusuma (dalam Mertia, dkk, 2008), perilaku seks

bebas adalah hubungan seksual antara dua individu tanpa ikatan perkawinan.

Jadi perilaku seksual pranikah adalah segala bentuk tingkah laku

yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan sebelum menikah .

2. Bentuk dan Tahapan Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Purnawan (dalam Mertia dkk, 2008) aspek perilaku seksual bebas secara rinci dapat berupa :

(56)

menimbulkan perasaan erotisme. Fantasi seksual ini biasanya

didapatkan individu dari media atau objek yang dapat meningkatkan dorongan seksual.

b. Pegangan tangan, aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain.

c. Cium kering, berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir.

d. Cium basah, berupa sentuhan bibir ke bibir, sampai dengan leher e. Meraba, merupakan kegiatan bagian-bagian sensitive rangsang

seksual, seperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain.

f. Berpelukan, aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman, nyaman disertai rangsangan seksual (terutama bila mengenai

daerah aerogen/sensitif).

g. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki), adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.

h. Oral Sex, merupakan aktivitas seksusal dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.

i. Petting, merupakan seluruh aktivitas non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin).

(57)

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

Adapun faktor-faktor yang memicu perilaku seksual pranikah di kalangan remaja menurut Soetjiningsih (2006) adalah:

a. Hubungan orangtua – remaja, mempunyai pengaruh langsung dan tak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Makin baik hubungan orangtua – remaja maka makin rendah perilaku

seksual pranikah remaja.

b. Harga diri, berpengaruh secara tidak langsung terhadap perilaku

seks pranikah remaja, yaitu melalui tekanan teman sebaya. Remaja yang memiliki harga diri rendah cenderung mudah dipengaruhi tekanan negatif teman-teman sebayanya untuk melakukan perilaku

seksual pranikah.

c. Tekanan teman sebaya, berpengaruh secara langsung terhadap

perilaku seksual pranikah. Makin tinggi tekanan untuk berperilaku negatif dari teman sebaya maka makin tinggi pula perilaku seksual pranikah remaja.

d. Religiusitas, berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Makin tinggi tingkat religiusitas

remaja maka makin rendah perilaku seksual pranikahnya.

e. Eksposur media pornografi, makin tinggi eksposur media pornografi maka makin tinggi pula perilaku seksual pranikah

(58)

4. Dampak Perilaku Seksual Pranikah a) Harga diri pada remaja

Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi atau kecemasan

yang mendalam pada wanita yang bersangkutan (Sarwono, 2004). Keperawanan ternyata berkaitan erat dengan harga diri. Keputusan untuk melakukan hubungan seks tersebut tidak dengan konsekuensi

yang kecil, terutama untuk remaja wanita. Perasaan-perasaan negatif seperti hilangnya keperawanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa

berdosa, kotor, takut, khawatir, dan lainnya akan timbul setelah mereka melakukan hubungan seks pranikah (Conger, 1991). Hubungan seks tidak menyebabkan gangguan pada fisik saja, tetapi

juga gangguan psikis pada diri remaja putri yang telah melakukan hubungan seks pranikah. Gangguan psikis tersebut dapat berupa

perasaan terhina, rendahnya harga diri, bahkan depresi (Curran dalam Conger, 1991). Steinberg (1999) juga mengatakan bahwa harga diri merupakan konstruk yang penting dalam kehidupan

sehari-hari juga berperan serta dalam menentukan tingkah laku seseorang. Dalam hal ini remaja putri yang telah melakukan

hubungan seks pranikah akan menimbulkan perilaku yang berdampak pada harga dirinya. Dampak dari hubungan seks pranikah yang berkaitan dengan harga diri ditandai oleh perasaan ragu

(59)

rasa takut tidak di terima, serta penghinaan terhadap masyarakat

(Brock, 1990).

b) Religiusitas pada remaja

Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Orang yang

seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan yang ada pada wilayah

seksual. Maka dengan demikian, seseorang akan dengan mudah melanggar ajaran agamanya misalnya dengan melakukan perilaku seks bebas sebelum menikah (Gorman dalam Ritandiyono & Andisti,

2008). Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memandang agamanya sebagai tujuan utama hidupnya,

sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya sehari-hari. Hal ini berarti bahwa religiusitas yang ada dalam dirinya memiliki batas yang kuat sehingga dorongan seksual

berupa penyaluran hasrat seksual tidak dapat menembus wilayah religiusitas yang ada dalam dirinya (Maria dalam Ritandiyono &

Andisti, 2008).

5. Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah

(60)

merupakan pandangan remaja terhadap objek yang dilihat, serta bentuk

dari evaluasi perasaan dan kecendrungan mengambil tindakan (Sarwono, 2011). Pandangan bahwa seks adalah tabu membuat remaja enggan

berdiskusi tentang kesehatan reproduksinya dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tidak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri.

Kurangnya informasi tentang seks membuat remaja berusaha mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Informasi yang salah tentang

seks dapat mengakibatkan pengetahuan dan persepsi seseorang mengenai seluk-beluk seks itu sendiri menjadi salah. Hal ini menjadi salah satu indikator meningkatnya perilaku seks bebas di kalangan remaja saat ini.

Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya dibandingkan tidak tahu sama sekali, kendati dalam hal ini ketidaktahuan

bukan berarti tidak berbahaya (Selamiharja & Yudana, 1997).

E. Dinamika Hubungan antara Harga Diri dan Religiusitas Terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja.

Harga diri pada anak-anak mulai terbentuk pada tahun pertama

kehidupan dan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman dan reaksi yang muncul atas pengalaman tersebut. Harga diri pada masa remaja cenderung negatif karena adanya proses perubahan yang terjadi pada masa pubertas

(61)

mensejajarkan ‘siapa saya’ dengan ‘bagaimana orang lain melihat saya’

(Masters dan Johnson, 1992). Menurut Harter (dalam Guindon, 2010), remaja mendasarkan harga diri mereka pada opini dan reaksi dari teman

sebaya. Saat anak-anak mereka memiliki hubungan pertemanan dengan sesama jenis, namun pada saat hubungan pertemanan remaja berkembang dengan lawan jenis, bahkan dengan kelompok gender yang beragam. Maka

perbandingan dalam sosial meningkat (terjadi penilaian oleh teman sebaya) yang dapat berpengaruh pada harga diri secara umum.

Perilaku seks pranikah adalah salah satu perilaku berisiko pada remaja. Menurut Green dan Kreuter (2005), ada tiga faktor yang menyebabkan atau mempengaruhi perilaku berisiko pada remaja. Pertama

adalah faktor predisposing atau faktor yang melekat atau memotivasi. Faktor ini berasal dari dalam diri seorang remaja yang menjadi alasan atau motivasi

untuk melakukan suatu perilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, kepercayaan, kapasitas, umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Kedua adalah faktor enabling atau faktor

pemungkin. Faktor ini memungkinkan atau mendorong suatu perilaku dapat terlaksana. Faktor ini meliputi ketersediaan dan keterjangkauan

sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat/pemerintah terhadap kesehatan, keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan, tempat tinggal, status ekonomi, dan akses terhadap media informasi. Faktor ketiga

(62)

yang meliputi keluarga, teman sebaya, guru, petugas kesehatan, tokoh

masyarakat dan pengambil keputusan.Soetjiningsih (2006) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja

paling tinggi adalah hubungan orangtua - remaja, tekanan negatif teman sebaya (yang didalamnya tersirat harga diri), pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media pornografi memiliki pengaruh yang

signifikan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja.

Pada remaja, harga diri tinggi atau rendah di pengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor fisik (terutama pada remaja wanita), bagaimana perasaan mereka terhadap penampilan/fisik. Faktor fisik merupakan

prediktor utama yang menentukan harga diri pada remaja, diikuti dengan harga diri mengenai hubungan remaja dengan teman sebayanya (Harter

dalam Steinberg, 2002). Remaja wanita memiliki kecenderungan untuk fokus pada penampilan fisik, dating, dan penerimaan oleh teman sebaya dibandingkan dengan remaja putra. Faktor tinggi/rendahnya harga diri pada

remaja juga dipengaruhi oleh kelas sosial seperti pekerjaan orang tua, pendidikan serta pendapatan orang tua. Remaja yang harga dirinya rendah

cenderung mudah dipengaruhi tekanan negatif teman-teman sebayanya. Remaja yang mendapatkan harga dirinya melalui penerimaan oleh teman sebayanya dibandingkan dari orang tua atau guru, memperlihatkan masalah

(63)

sebaya memiliki harga diri rendah, penerimaan dari teman sebaya dapat

meningkatkan harga diri remaja itu sendiri. Remaja dengan harga diri tinggi akan mampu menilai diri nya sendiri, tidak tergantung pada kondisi

eksternal serta dapat menghargai dirinya, tidak terpengaruh terhadap pendapat orang lan. Sedangkan remaja dengan harga diri rendah tidak akan mampu menilai dirinya sendiri serta merasa diri tidak berharga sehingga ia

memerlukan orang lain untuk menilai dirinya dan cenderung percaya pada apa yang dinilai oleh orang lain. Hal ini lah yang menyebabkan remaja akan

mudah dipengaruhi oleh tekanan negatif dari teman sebaya. Menurut Lingren (1995) remaja dengan harga diri tinggi cenderung kurang atau tidak mudah dipengaruhi dan mempunyai kemampuan bertahan dari tekanan

negatif teman sebaya dan tekanan sosial lainnya, serta mampu menjalin dan mengembangkan hubungan baik dengan teman-teman baru yang signifikan

baginya. Jadi, semakin tinggi harga diri remaja, maka semakin rendah kecenderungan nya untuk melakukan perilaku seksual pranikah. BKKBN (2010) menyebutkan bahwa tiga kali lebih besar faktor yang paling

mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual adalah: 1) Teman sebaya yaitu mempunyai pacar, 2) Mempunyai teman yang setuju dengan

hubungan seks pra nikah 3) Mempunyai teman yang mempengaruhi atau mendorong untuk melakukan seks pranikah.

Menurut Hurlock (1980), selama masa remaja terjadi perubahan

(64)

Sebagai akibat dari meningkatnya minat ini remaja seringkali

membandingkan keyakinannya dengan keyakinan teman-temannya atau menganalisis keyakinannya secara kritis sesuai dengan meningkatnya

pengetahuan remaja. Apabila remaja gagal memahami keyakinan atau agamanya, maka ia dapat dengan mudah terpengaruh dengan keyakinan yang dianut oleh teman sebayanya baik itu positif maupun negatif. Ketika

remaja memasuki periode keraguan religius, remaja mulai meragukan isi religiusitas. Keraguan ini akan membuat remaja kurang taat pada agama atau

sebaliknya.Hal ini lah yang akan menentukan tingi atau rendahnya religiusitas pada remaja.

Pengaruh atau tekanan dari teman sebaya menjadi faktor

(65)

F. Bagan Hubungan

Harga Diri Religiusitas Teman Sebaya

Tinggi 1. Mampu menilai diri sendiri, tidak tergantung pada kondisi eksternal 2. Menghargai diri, tidak terpengaruh terhadap pendapat orang lain.

Mampu memahami keyakinan atau agamanya dengan baik

1. Harga diri tinggi : tidak mudah dipengaruhi oleh tekanan negatif teman sebaya

2. Religiusitas tinggi : memiliki pemahaman agama yang baik Rendah 1. Tidak mampu menilai

diri

2. Merasa diri tidak berharga

Tidak mampu memahami keyakinan nya sendiri

1. Harga diri rendah : mudah dipengaruhi oleh tekanan negative teman sebaya 2. Religiusitas rendah :

mudah untuk mengikuti keyakinan yang dimiliki oleh teman sebayanya

Gambar

Tabel 1 Ciri-ciri Seks Sekunder pada Remaja
BlueprintTabel 2  Skala Harga Diri (sebelum uji coba)
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari beberapa pengertian dan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah kemampuan seseorang dalam menerima informasi untuk dikembangkan menjadi

Capaian IPM Kabu- paten Sumedang tahun 2012 sebesar 72,95, shortfall sebesar 1,02 dan masuk kategori menengah atas.. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah

drop atau tidak digunakan. Soal yang valid adalah sebanyak 22 soal dan drop 8 soal dari. total 30 butir soal dengan tingkat

Kemudian, menyatakan ketentuan Pasal 38 juncto Pasal 55 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi atau Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Studi Regenerasi Kemampuan Batu Apung Sungai Pasak, Pariaman Sebagai Adsorben dalam Penyisihan Nitrit dari Air Tanah. Skripsi Jurusan Teknik Lingkungan

Atribut produk berpengaruh signifikan terhadap proses keputusan pembeian pada pengguna Yamaha N- Max di Yamaha Flagship Shop Bandung dengan kontribusi yang diberikan sebesar