ANALISIS DARfI'AK PENGHAl'USAN TAlUF IMI'OR SUSll
TERIUDAP DAYA SAlNG KOMODZTI SUSU SAP1 LOKAL
(Studi Kasus: l'eternak Anggota TPK Cibedug,
KPSBU J a m Barat)
PUTRI KLNANTY SLREGAR H34053288
DEPARTEMEN AGIUBISNIS
FAICULTA S EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
PUTRI KINANTY SIREGAR. H34053288. 2009. Analisis Dampak
Penghapusan Tarif Impor Susu terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokai (Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan WSALINA).
Peningkatan jumlah penduduk dan kesadarau masyarakat Indonesia terhadap pentingnya pangan yang bemilai gizi tinggi diduga semakin meningkatkan konsumsi susu masyarakat. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produksi, sehingga sebagian besar kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi oleh produk impor. Oleh karena itu, pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu.
Peran kebijakan pemerintah dalam ha1 perdagangan sangat mempengaruhi dinamika perkembangan peternakan sapi perah di tengah kondisi perdagangan bebas dan persaingan dengan susu impor. Salah satu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditi susu lokal adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 145/PMK.011/2008 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan oleh Industri Pengolahan Susu. Peraturan tersebut menunjukkan adanya penghapusan tarif impor terhadap susu dimana ha1 ini diduga akan semakin mengurangi daya saing susu sapi lokal.
Untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah tersebut, maka penelitian ini dilakukan di salah satu sentra penghasil susu di Indonesia yaitu Koperasi Peternak Sapi perah Bandung Utara (KPSBU) Jawa Barat. Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu yang dihasilkan oleh petemak anggota TPK Cibedug, KPSBU Jabar; dan (2) Menganalisis dampak penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing komoditi susu yang dihasilkan oleh petemak anggota TPK Cibedug, KPSBU Jabar.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga September 2009 sedangkan proses pengumpulan data dilakukan dari bulan April hingga Juli 2009. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu di KPSBU Jabar khususnya di Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) Cibedug, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Adapun jumlah peternak yang diteliti yaitu sejumlah 30 orang peternak yang dipilih berdasarkan metode accidental sampling.
Sejumlah tiga puluh orang sampel petemak dianggap sudah dapat mewakili keragaan struktur biaya usahaternak sapitperah diTPK Cibedug. Hal ini terkait dengan keragaman dari sifat populasi yang relatif homogen dalam ha1 struktur biaya pada usahatemak rakyat serta penyebaran populasi yang tidak terlalu luas.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekuntler. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan atiaiah l'olicy
.Inahsis Matrix (PAM) atau hlatriks Analisis Kehijnk;~~?. Analisis sensitivitas jugn
Hasil analisis dengan menggunakan matriks PAM menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar di TPK Cibedug,
KPSBU Jabar memiliki daya saing baik secara finansial maupun ekonomi walaupun dalam kondisi tarif impor susu sebesar no1 persen. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat yang lebih besar dari no1 yaitu Rp 604,35iliter dan keuntungan sosial sebesar Rp 1.058,20Aiter. Nilai PCR dan DRC yang lebih kecil dari satu yaitu 0,78 untuk PCR dan 0,66 untuk DRC juga menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah di daerah tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Perbedaan antara keuntungan sosial dan keuntungan privat terutarna disebabkan oleh harga bayangan komoditi susu yang didekati dengan susu impor relatif lebih tinggi dari harga finansialnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya kebijakan pemerintah yang bersifat mendorong daya saing susu sapi lokal, baik dari sisi kebijakan input maupun kebijakan output karena kebijakan yang ada saat ini tidak memberikan insentif bagi petenlak.
Selain itu, hasil analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya penghapusan tarif impor susu menyebabkan berkurangnya daya saing komoditi susu sapi lokal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai PCR dan DRC yang mengindikasikan adanya penurunan nilai keunggulan kompetitif dan komparatif. Peningkatan nilai tarif impor sebesar 15 persen menghasilkan nilai PCR dan DRC yang semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan tarif impor sebesar 15 persen akan meningkatkan daya saing pengusahaan sapi perah, walaupun kebijakan pemerintah dalam kondisi ini belun efektif dalam melindungi produsen lokal.
ANALISIS DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR SUSU
TERHADAP
DAYA SAING KOMODITI SUSU SAPILOKAL
(Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug,
KPSBU Jawa Barat)
Putri Kinanty Siregar H34053288
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBlSNlS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi: Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap Daya
Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Petemak Anggota
TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat)
Naina : Putri Kinanty Siregar
NRP : H34053288
Disetujui, Pembimbing
Dra. Yusalina. MSi
NIP 19650115 1990032001
Mengetahui
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
"
Analisis DampakPenghapusan Tarif Impor Susu Terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal
(Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat) adalah karya
sendiri dan belurn diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Surnber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuala Simpang, Aceh Tamiang pada tanggal 30
November 1987. Penulis adalah anak ke tiga dari lima bersaudara dari pasangan
Ayahanda Amri A. Siregar dan Ibunda Fatimah M.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Kuala Simpang pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di
SLTPN 1 Kuala Simpang serta pendidikan menengah atas di SMAN 1 Kuala
Simpang pada tahun 2005. Pada tahun 2004, Penulis tercatat sebagai pemenang
Lomba Remaja Putri Berprestasi Kabupaten Aceh Tamiang serta Juara Harapan
pada tingkat propinsi NAD.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2005. Selarna mengikuti pendidikan, penulis
tercatat sebagai presenter wakil Indonesia dalam The 71h International Student
Summit di Jepang pada tahun 2007 serta penerima Program Beasiswa Unggulan
Pertukaran Pelajar ke Universiti Malaysia Sabah (UMS) pada tahun 2008. Penulis
juga pernah menerima penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi Departernen
Agribisnis dan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ekonomi dan Manajemen tahun
2008, penerima hibah dikti untuk PKM bidang pengabdian masyarakat (2008),
dan Penghargaan Pemudali Berprestasi Bidang Lingkungan Hidup dari salah satu
lembaga politik pada tahun 2008. Pada tahun 2007, penulis juga pernah
memperoleh Juara 1 LKTM (Lomba Karya Tulis Mahasiswa) Bidang Seni tingkat
Nasional serta Juara 2 LKTM Bidang Sosial tingkat IPB.
Penulis juga tercatat sebagai Sekretaris Komisi-A DPM-FEM (2008-
2009), staf Project Department IAAS (2007-2008), staf Divisi Dana dan Usaha Lensa (2006-2007), staf ekstemal FORCES (2006-2007), anggota Global NEFA
(Global Network for Environment, food, and agriculture) (2007-sekarang), serta
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulispanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat,
rahmat serta karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
"Analisis Dampak Penghapusan Tarif hnpor Susu Terhadap Daya Saing Komoditi
Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa
Barat) ini dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing
serta dampak penghapusan tarif impor susu lokal dengan studi kasus pada
petemak anggota Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) Cibedug, Koperasi Petemak
Sapi perah Bandung Utara (KPSBU) Jabar.
Skripsi ini merupakan hasil penulisan terbaik yang pemah dibuat penulis
karena penulis mencurahkan sebagian besar waktu dan kesungguhannya untuk
menghasilkan tulisan ini. Penelitian ini dilakukan sebaik-baiknya guna
mendapatkan hasil analisis yang berguna baik bagi penulis maupun pihak lainnya.
Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi berbagai pihak yang
membutuhkan seperti yang diharapkan penulis.
Bogor, Oktober 2009
UCAPAN
TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, arahan, dukungan d m
doa dari banyak pihak yang akan selalu penulis kenang dan syukun. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dra. Yusalina, MSi selaku dosen pembimbing yang telah sangat sabar dalam mengarahkan dan membimbing penulis.
2. Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran
demi perbaikan skripsi ini.
3. Yanti Nuraeni Muflikh, SP, M.Agribus selaku dosen penguji dari wakil komisi pendidikan yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik
dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4. Ir. Anita Ristianingrurn, MSi yang telah menjadi pembimbing akademik serta seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis
5. Ibunda tercinta Fatimah M. dan Ayahanda Amri A. Siregar, kedua abangku Rachmat Fachnany Siregar, SP dan Agung Prasatya S.Pi, serta adik-adikku
tersayang Wita Wulandari Siregar dan Raja Sakti Siregar atas dukungan dan
kepercayaan serta doa yang tiada henti. Terima kasih karena telah menjadi
satu-satunya alasan mengapa Uty selalu berusaha melakukan yang terbaik.
6. Ketua GKSI sekaligus Ketua KPSBU Jabar, Bapak Dedi Setiadi atas waktu
dan kesempatan yang diberikan untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
7. Feryanto William Karo-karo, SP atas bantuan dan arahan yang telah diberikan.
8. Teman-teman seperjuangan di Lembang, Tika dan kak Icha untuk petualangan
hebat yang kita lakukan.
9. Keluarga besar Ki Nenda, Nin, Emak, Pak Yayan Sekeluarga, Teh Nening
Sekeluarga, dan Adi atas kebersamaan dan bantuan selama ini.
10. Keluarga besir pengurus, penyuluh (Pak Imam, Pak Toto, Pak Dikdik, dll),
staff WSBU Jabar, serta para peternak responden.
1 I Dr. Rimbawan beserta seluruh stet' Direktorat Kernahasiswaan atas pel:!jaran
12. Keluarga besar CCC family tercinta, Tujuh Bidadari, JAHE dan Teman-teman di Wisma Padasuka serta Asrama Aceh pocut Baren atas kasih sayang dan
semangat yang kalian berikan serta kesediaan untuk berbagi arti kehidupan.
13.Teman-teman Agribisnis angkatan 42, adik-adik 43, 44, dan 45. Suatu
kehormatan karena bisa menjadi bagian dari keluarga Agribisnis.
14. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada seluruh pihak yang tidak mungkin
disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian
skripsi ini.
Bogor, Oktober 2009
DAFTAR IS1
DAFTAR TABEL
...
xiii...
DAFl'AR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN...
xvI PENDAHULUAN
...
11
.
1. Latar Belakang...
11.2. Perumusan Masalah
...
61.3. Tujuan
...
71.4. Manfaat
...
71.5. Ruang Lingkup
...
8...
I1 TINJAUAN PUSTAKA 9...
2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah 9 2.2. Produksi Susu...
102.3. Pemasaran Susu
...
11...
2.4. Kebijakan Impor Susu. .
132.5. Penelltian Terdahulu
...
14111 KERAh'GKA PEMIKIRAN
...
...
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis.
.
3.1.
1. Analisis Daya Saing...
3.1.2. Teori Perdagangan Internasional...
3.1.3. Kebijakan Pemerintah...
...
.
3.1.3 1. Kebijakan Output...
3.1.3.2. Kebijakan Input 3.1.4. Metode Penentuan Harga Bayangan...
3.1.4.1. Harga Bayangan Nilai Tukar...
...
3.1.4.2. Harga Bayangan Output 3.1.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan...
Peralatan...
3.1.5. Policy Analysis.
Matrix ( P A M ) . . . . 3.1.6. Anallsis Sensitivitas...
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional...
...
IV METODOLOGI PENELITIAN 37 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...
374.2. Metode Penentuan Sampel
...
37. .
. .
...
4.3. Desain Penelitian 38...
4.4. Data dan Instrumentasi...
38...
4.5. Metode Pengumpulan Data 38 4.6. Metode Pengolahan Data ... 38V KEADAAN UWIUM LOK/lSI PENEI. ITIrlN
...
47... ... 5.1. Cambarall Umum Desa Cikole
. .
.
.
475.1.2. Kondisi Penduduk. Pendidikan. dan Mata
Pencaharian
...
5.2. Gambaran Umum Koperasi Petemak Sapi Perah Bandung Utara(KPSBU) Jawa Barat
...
5.3. Gambaran Umum Responden...
5.3.1. Status Usahaternak Sapi Perah
...
5.3.2. Umur...
5.3.3. Pendidikan...
5.3.4. Pengalaman Beternak...
...
5.3.5. Jenis dan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi
...
5.3.6. Pemeliharaan Ternak
5.3.7. Pakan
...
5.3.8. Tenaga Kerja...
...
5.3.9. Cara Penjualan Hasil Ternak
...
.
5.3.1 0 Produktivitas Sapi Perah
5.4. Pemasaran Susu
...
VI
.
HASlL DAN PEMBAHASAN...
6.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
...
...
6.1.1. Keunggulan Kompetitif
...
6.1.2. Keunggulan Komparatif
6.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah
...
6.2. Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu...
6.2.1. Analisis Sensitivitas untuk Melihat Perubahan Daya Saing Susu Akibat Penghapusan Tarif Impor Susu dari Lima Persen Menjadi No1 Persen
...
6.2.2. Analisis Sensitivitas Jika Tarif Impor Ditetapkan...
15 Persen
.
...
VII KESIMPULAN DAN SARAN
...
7.1. Kesimuulan
7.2. Saran
...
DAFTARTABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah Populasi Sapi Perah, Produksi, dan Konsumsi Susu di
Indonesia (2001-2008)
...
2 2. Perkernbangan Ekspor dan Impor Susu dan Produk SusuIndonesia (2004-2007)
...
33. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)
...
39 4. Perkiraan Jumlah Ternak di Desa Cikole Tahun 2008...
47 5. Karakteristik Penduduk Desa Cikole Berdasarkan MataPencaharian Tahun 2008
...
49 6. Komposisi Populasi Sapi Perah di TPK Cibedug Tahun 2008...
52 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur...
54 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidik an... 559. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Pengalaman
Beternak
... ...
...
55 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah KepemilikanSapi Laktasi
...
5611. Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usahaternak Sapi Perah
Responden
...
.
..
.
.. ..
. ..
.
..
. . . .... . .. . .. .
...
... . .. ... . . .. . . . .. . ... ... ....
... .
....
. .
...
.
..
.
58 12. Hasil Tabulasi PAM pada Kondisi Tarif Impor No1 Persen(RpILiter)
.
....
..
. . . .. .
..
.
.. . . .. . . .. . . .. . . .. .
. .
...
. .
..
. . .
. .
. .
. .
.
. . ... . .
6 1 13. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan...
6314. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan pada
.
.
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
...
1. Jalur Pemasaran Susu di Indonesia Tahun 2005 12
2. Dampak Subsidi Positif terhadap Produsen dan Konsumen
...
Barang Impor 23
3. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable
...
25...
4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable 26 5. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Dampak
Penghapusan Tarif lmpor Susu terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug,
KPSBU Jawa Barat)
...
36DAF'TAR LAMPIRAN
Nomor
1. Populasi Sapi Perah Anggota GKSI Daerah Jawa Barat
Tahun 2008
...
2. Jurnlah Sapi Laktasi, Produksi, dan Produktivitas Sapi PerahPetemak Responden Tahun 2009
...
3. Harga Fztll Cream Milk Powder (FCMP) Januari-Maret 2009
..
4. Perhitungan Harga Sosial Komoditi Susu Sapi pada KondisiTarif Impor No1 Persen, Lima Persen, dan 15 Persen
...
5. Harga Susu Sapi Segar di Tingkat Petemak pada Kondisi TarifImpor No1 Persen, Lima Persen, dan 15 Persen
...
6. Biaya Produksi Susu Bulanan Masing-masing Petemak...
Responden Tahun 2009
....
7. Biaya Produksi Susu Total Petemak Responden Tahun 2009 8. Dafiar Harga beberapa Input dan Kuantitas Penggunaan
...
9. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestikdan Asing
...
10. Tabel Perhitungan Standart Convertion Factor (SCF) danShadow Price Exchange Rate (SER) Tahun 2008
...
11. Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Komoditi Susu Segar dalam Komponen Domestik dan Asing dengan Kondisi Tarif Impor No1 Persen
...
12. Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Komoditi Susu Segar dalam Komponen Domestik dan Asing dengan Kondisi Tarif Impor Lima Persen
...
13. Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Komoditi Susu Segar dalam Komponen Domestik dan Asing dengan Kondisi Tarif
...
Impor 15 Persen
...
14. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor No1 Persen
...
15. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen
...
16. ~ a b e l PAM untuk Kondisi Tarif Impor 15 Persen
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangIndonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki
karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Hasil proyeksi Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia
hingga tahun 2015 terus meningkat yaitu dari 219,8 juta pada tahun 2005 menjadi
247,6 juta pada tahun 2015'. Peningkatan jumlah penduduk tersebut diduga akan
memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan permintaan produk pangan
masyarakat. Selain itu, perkembangan masyarakat ke arah yang lebih maju baik dalam ha1 pendapatan maupun tingkat pengetahuan mengenai pentingnya nilai
gizi pangan, diperkirakan akan semakin meningkatkan preferensi konsumsi
pangan yang bemilai gizi tinggi.
Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan
adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu
per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kgkapita pada tahun 2001 dan
meningkat menjadi 6,8 kgkapita pada tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi
Petemakan 2009)'. Tabel 1 menunjukkan jumlah populasi sapi perah, produksi
dan konsumsi susu di Indonesia.
Menurut Tabel 1, konsumsi susu masyarakat Indonesia tens meningkat
dari 883.758 ton pada tahun 2001 menjadi 1.758.243 ton pada tahun 2007. Akan
tetapi, kecepatan peningkatan konsumsi susu nasional tersebut tidak selaras
dengan peningkatan produksi susu nasional. Produksi susu yang tidak
berkembang tersebut dapat dilihat dari jumlah populasi sapi yang tidak
berkembang cukup baik, akan tetapi relatif tetap (stagnant), bahkan produksi dan
produktivitas susu menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke
tahun. Hal tersebut menyebabkan kurangnya supply susu domestik untuk
meinenuhi permintaan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah melakukan
impor susu dari beberapa negara pengekspor susu antara lain Australia, Perancis,
dan Selandia baru.
'~ntara-sumbar. 5 Juni 2009. I'crtu~,lbuhan Penduduk Indonesia Cenderuog i'umn. i,ttp:;iwww.a~~tara-sumbar.com. [ I 0 Oktobe: 20091
Tabel 1. Jumlah Populasi Sapi Perah, Produksi, dan Konsumsi Susu di Indonesia (2001-2008)
Keterangan :
*
Tidak termasuk data beberapa propinsi**
Angka Sementara- Data tidak tersedia
Sumber : Direktorat Jenderal Petemakan (2009)
Selain melakukan impor, Indonesia juga mengekspor susu olahan ke
beberapa negara tetangga. Akan tetapi, volume impor susu Indonesia jauh lebih
besar daripada volume ekspornya. Pada Tabel 2, terlihat bahwa ekspor susu
olahan dan impor susu mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Susu yang
diimpor tersebut dalarn bentuk Skim Milk Powder (SMP) dan Anhydrous Milk Fat
(AMF). Bersadarkan data dari tahun 2003-2006, volume ekspor susu dan produk
susu tertinggi dicapai pada tahun 2003 sebesar 49.593.646 kg dengan nilai US $
54.830.373. Volume impor tertinggi juga dicapai pada tahun 2005 sebesar
173.084.444 kg dengan nilai US $ 399.165.422. Tingginya volume impor
disebabkan karena rendahnya produktivitas peternak dan produksi susu nasional
yang belum mampu memenuhi permintaan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan
Tabel 2. Perkembangan Ekspor dan Impor Susu dan Produk Susu Indonesia (2004-2007)
Snmber : Direktorat Jenderal Petemakan (2009)
Pengembangan sektor petemakan khususnya usahatemak sapi perah perlu
dilakukan karena kemampuan pasokan susu petemak lokal saat ini baru mencapai
25 persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal
Petemakan 2007). Besamya jumlah impor susu nasional menunjukkan prospek
pasar yang sangat besar dalam usaha petemakan sapi perah untuk menghasilkan
susu segar sebagai produk substitusi impor.
Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa
wilayah Indonesia merniliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan
agribisnis persusuan serta besarnya kekurangan pasokan susu dalam negeri,
banyak sekali kerugian yang diperoleh Indonesia akibat dilakukannya impor susu.
Di antara kemgian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya
kesernpatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari rnenganggumya atau tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis
persususan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh
pernerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikernbangkan secara baik3.
Oleh karena itu, pengembangan usaha sapi perah mempakan salah satu altematif
dalam rangka pernenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat
ketergantungan nasional terhadap impor susu
Seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan persusuan di
Tndonesia dibagi men~adi tiga tahap perke~llbangan. yaitu Tahap I (penode sebelum tahun 1980) tlisehiit rase perkenlbal~gail sapi pcrah, Tahep 11 (periode
' ~ i r a n j a n ~ Online. 5 Desember 2008. Persusuan Indonesia: Kondisi, Permasalahan, dan Arah Kebijakan. www.ciranjangaonline.com
[image:18.595.82.498.77.245.2]1980 - 1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap 111
(periode 1997 sampai sekarang) disebut periode stagnasi (Firman 2007). Stagnasi
tersebut menyebabkan sampai saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi
kebutuhan susu dalam negeri. Hal itu terjadi akibat banyaknya kendala dalam
pengembangan usaha ternak sapi perah. Oleh karena itu, analisis terhadap daya
saing komoditi susu lokal dirasa perlu untuk melihat apakah komoditi tersebut
layak untuk dikembangkan di Indonesia dalam rangka pernenuhan konsumsi
dalam negeri.
Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga dan
biaya input, struktur industri, serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor.
Faktor-faktor itu dapat dibedakan atas: (1) Faktor yang dapat dikendalikan oleh
unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan
pengembangan; (2) Faktor yang dapat dike~dalikan oleh pemenntah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan,
kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3)
Faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas
permintam domestik; dan (4) Faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti
lingkungan alam (Malian et al. 2004). Dengan demikian, apabila pemerintah dan
p e l a h usaha mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan
komoditas susu segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu
impor.
Pasar produk susu segar di Indonesia memiliki struktur pasar oligopsoni
dengan IPS (Industn Pengolahan Susu) sebagai konsumen utama. Hal ini
menyebabkan koperasi susu dan petemak memiliki posisi tawar yang lemah
dalam memasok dan menentukan harga susu kepada IPS~. Lemahnya posisi tawar
petemak terhadap IPS yang lebih cendemng untuk menggunakan bahan baku
impor mempakan salah satu kendala utama. Hal ini menimbulkan risiko yang ,
besar dalam usaha temak sapi perah dimana hukum permintaan dan penawaran
berlaku dalam penentuan harga susu. Hal ini juga diperkuat oleh Suhartini (2001)
yang menge~nukakan bahwa mckanismc pcnentuan harga yang terjadi di pasar
susu cenderung ditetapkan secara sepihak oleh IPS.
Peran kebijakan pemerintah dalam ha1 perdagangan sangat mempengaruhi
dinamika perkembangan petemakan sapi perah di tengah kondisi perdagangan
bebas dan persaingan dengan susu impor. Salah satu kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi daya saing komoditi susu lokal adalah Peraturan Menteri
Keuangan No. 145/PMK.011/2008 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah
Atas Impor Barang dan Bahan oleh Industri Pengolahan Susu untuk Tahun
Anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 miliar untuk periode November-Desember
2008. Sementara pada 2009, kebijakan ini tetap dilanjutkan sesuai dengan UU
No. 41 tentang APBN tahun 2009. Peraturan tersebut menunjukkan adanya
penghapusan tarif impor terhadap susu dirnana hal ini diduga akan semakin
mengurangi daya saing susu lokal. Untuk menganalisis dampak kebijakan
pemerintah tersebut, maka penelitian ini dilakukan di salah satu sentra penghasil
susu di Indonesia.
Menurut Ditjennak (2009), pada tahun 2008
,
Jawa Barat merupakan salahsatu sentra penghasil susu terbesar ke-dua di Indonesia setelah Jawa Timur.
Sekitar 40 persen populasi temak sapi perah Indonesia ada di Jawa Barat dan 32
persen produksi susu segar nasional dihasilkan oleh Propinsi Jawa Barat (GKSI,
2007). Salah satu sentra penghasil susu di Jawa Barat adalah Kabupaten
Bandung. Menurut hasil wawancara dengan pihak GKSI, Kabupaten Bandung
merupakan penghasil susu terbesar di seluruh Indonesia.
Salah satu sentra pengembangan sapi perah yang cukup besar di
Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Lembang. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Disnakkan Kabupaten Bandung (2008), populasi temak sapi perah
di Kecamatan Lembang pada tahun 2007 be jumlah 16.275 ekor yang terdiri dari
1.627 ekor jantan dan 14.648 ekor betina. Produksi susu sapi di Kecamatan
Lembang berjumlah 35.758.700 liter per tahun dengan produksi susu harian rata-
rata 11,07 liter per hari per ekor.
Koperasi Peternak Sapi perah Bandung Utara (KPSBU) merupakan salah
satu koperasi yang berperan penting dalam pengembangan usahatemak sapi perah
di Lembang. Koperasi ini inenipaknn tempat bcmaung petemak yang terscbar di
penyuluhan petemakan, kesehatan temak, pembibitan sapi perah, pertokoan
(WASERDA), pengumpulan susu, pengolahan susu, dan pemasaran susu.
1.2. Perurnusan Masalah
KPSBU merupakan salah satu koperasi yang sudah bertahan cukup lama
dan memiliki jumlah anggota dan jumlah temak yang relatif cukup banyak.
KPSBU berdiri sejak tahun 1971 dengan jumlah anggota 6.092 orang dan jumlah
ternak 15.947 ekor pada tahun 2006 serta produksi harian 121.000 kg pada tahun
2007. KPSBU telah memasok susu ke perusahaan-perusahaan pengolahan susu
skala besar yaitu PT. Frisian Flag Indonesia dan PT. Danone Dairy Indonesia
(KPSBU 2006).
KPSBU Jabar dalam 10 tal~un terakhir, mampu meningkatkan produksi
susunya dari 56 ton per hari pada 1996 menjadi 110 ton per hari pada 2006~.
Menurut penelitian Baga (2008), jika dilihat indeks keberhasilan aspek bisnis atau
usaha dan aspek organisasi, KPSBU Jabar merupakan koperasi terbaik dari 30
koperasi sampel. Selain itu, menurut GKSI (Lampiran 1) pada tahun 2008
KPSBU merupakan Koperasi di Kabupaten Bandung dengan jumlah petemak dan
temak terbanyak kedua di setelah KPBS Pengalengan, akan tetapi memiliki total
produksi dan produktivitas tertinggi di Jawa Barat.
Permasalahan susu bukan hanya jumlah produksi yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga terdapat masalah lain seperti
rendahnya posisi tawar koperasi dan petemak. Menurut GKSI, Jawa Barat harga
susu lokal tahun 2008 perlitemya Rp 3.400, sedangkan harga susu impor
mencapai Rp 4.000-5.000 per litemya. Di sa~nping itu IPS juga tetap menuntut
penurunan harga beli susu di tingkat petemak dan koperasi, bahkan sejak 11
Desember 2008 harga pembelian susu oleh IPS mengalami penurunan6. Hal ini
karena sejak Bulan Desember tahun 2008, pemerintah menghapus tarif impor susu
untuk mengatasi masalah tingginya harga susu di tingkat konsumen.
Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi IPS tersebut diduga memiliki
efek yang berlawanan terhadap produsen susu lokal. Penuniila~l tarif impor susu
' ~ r a b o w o HE, Radius 1)B. 12 Juli 2007. Peningka;an ProJuksi P c l u ~ n g Rcbut Pasnr Susu Lokal. Pi!uran Rakyat. Kompcrs
diduga akan berpengaruh terhadap posisi tawar peternak sapi perah dalam negeri
karena harga susu impor yang sebagian besar adalah bahan baku IPS, seperti
halnya susu segar yang dihasilkan peternak lebih murah. Rendahnya harga susu
impor dapat digunakan oleh IPS untuk menekan harga beli susu segar dari
peternak melalui koperasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis secara
kuantitatif untuk mengetahui dampak penghapusan tarif impor tersebut terhadap
daya saing komoditi susu lokal serta merumuskan strategi kebijakan yang sesuai
dalam meningkatkan daya saing usahatemak sapi perah.
Berdasarkan pennasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam
kajian ini adalah :
1) Bagaimana daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) d m dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu yang dihasilkan oleh petemak
anggota TPK Cibedug, KPSBU Jabar?
2) Bagaimana dampak penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing
komoditi susu yang dihasilkan oleh peternak anggota TPK Cibedug, KPSBU
Jabar?
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1) Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif d m kompetitif) dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu yang dihasilkan oleh peternak
anggota TPK Cibedug, KPSBU Jabar.
2) Menganalisis dampak penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing
komoditi susu yang dihasilkan oleh petemak anggota TPK Cibedug, KPSBU
Jabar.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah :
1) Bagi penulis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan serta
berguna untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam menganalisis
dampak kebijakan pemerintah terhadap penysahaan komoditi tertentu.
2 ) Tersedianya hasil kajian mengenai ilampnk penghapusan tarif impor terhaclap
3) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan, instansi dan lembaga terkait lainnya dalarn merumuskan kebijakan daya saing komoditi di era globalisasi dan berbasis pada ekonomi lokal pada khususnya dan
pemberdayaan masyarakat dan sumberdaya yang tersedia pada urnumnya.
1.5. Ruang Lingkup
Kajian ini, lebih difokuskan untuk mengukur tingkat daya saing usaha
petemakan pada tingkat usahatemak skala kecil dan sangat kecil (kepemilikan
sapi laktasi sebanyak satu sampai semhilan ekor per peternak), dan bukan pada
skala besar (industri) pengolahan. Adapun yang menjadi batasan kajian ini
adalah sebagai berikut :
1) Kajian ini difokuskan di Kabupaten Bandung Barat terutama petemak yang
berada di wilayah k e j a KPSBU Jabar khususnya di Tempat Pelayanan
Koperasi (TPK) Cibedug, desa Cikole.
2) Pengukuran daya saing koperasi susu perah atau komoditi susu hanya
dilakukan pada level usahatemak.
3) Dilihat dari ruang lingkup, studi ini terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usahatemak sapi perah yang ada di TPK
Cibedug. Data ini juga terbatas pada penggunaan data cross section yang
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Peternakan Sapi PerahBerdasarkan Swat Keputusan menteri Pertanian No. 75likptsNm/lO/l982
tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam
Negeri, usahatemak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, petemakan
sapi perah rakyat yaitu usahatani sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha
sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa)
atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran.
Kedua, perusahaan petemakan sapi perah, yaitu usahaternak sapi perah untuk
tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10
ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor
sapi perah campuran.
Erwidodo (1998) menyatakan bahwa petemakan sapi perah di Indonesia
umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalatn skala kecil, sedangkan
usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi
perah yang baru turnbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari
80 persen petemak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor,
17 persen petemak dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor, dan
tiga persen kepemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor. Hal itu menunjukkan
bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usahatemak
sapi perah skala kecil, sisanya 28 dan delapan persen diproduksi oleh usahatemak
sapi perah skala menengah dan usahatemak sapi perah skala besar (Swastika et al.
2005)
Petemakan sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan
pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari
Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi
Fries-Holland (FIX) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa irii dipelihara di
Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi
dibandingkan sapi jenis lainnya (Sudono 1999). Kondisi petemakan sapi perah di
Indonesia snat ini adalah skala ~lsahanya kecil (dua sampai lima ekor), motif
utama, masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan
permodalan yang masih lemah (Erwidodo & Hasan 1993).
2.2. Produksi Susu
Menurut Direktorat Jenderal Petemakan (2006), susu adalah hasil
pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat
digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi
kompnen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah
dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui
kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing. Produksi air susu ini
dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein
yang tinggi.
Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor
genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering,
masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur
dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu
tertinggi sapi yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu
80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan
susu 92 sampai 98 persen (Schmidt dan Hutjuers 1998).
Usaha petemakan sapi perah di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada
daerah-daerah tertentu. Berkaitan dengan pengkonsentrasian usaha petemakan
sapi perah tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha petemakan sapi
perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu: (1) wilayah yang
memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial
ekonomi yang tinggi dan (2) wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi
mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah. Pada dasamya, tipe wilayah (1)
merupakan dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas,
dan tipe wilayah (2) menggambarkan pedesaan yang terletak di dataran tinggi dan
bersuhu sejuk. Beberapa kelemahan yang timbul dari karakteristik tcrsebut addah
kepada Loper susu dan ada juga yang langsung dijual ke Industri Rumah Tangga
Industri Rumah Tangga tersebut mengolah susu segar dari petemak menjadi susu
pasteurisasi, kemudian hasil susu pasteurisasi tersebut langsung dijual kepada
konsumen.
SMP dan AMF
F
F
Keterangan SMP : Skirn Milkpowder AMF: Anhydrous Milk Fat SS : Susu Segar
IPS : Industri Pengolahan Susu
I
IPS Hilir,
l A A A
Konsumen Akhir
Peternak Koperasi
IPS Hulu
SS SS
Loper
.
Gambar 1. Jalur Pemasaran Susu di Indonesia Tahun 2005
Sunber : Jumal Penelitian Dinas Pertanian (2005), (lalam Kuraisin (3000)
F
Industri Rumah Tangga
. . . .. ....
[image:27.595.82.492.158.655.2]2.4. Kebijakan Impor Susu
Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari upaya
Pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat lintas sektoral,
perlindungan atau proteksi terhadap usaha petemakan rakyat dan penyediaan
fasilitas kredit serta permodalan dalarn meningkatkan skala usaha dan populasi
sapi perah di tingkat keluarga peternak. Akan tetapi, produksi susu di Indonesia
belurn mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga pemerintah mengambil
kebijakan untuk melakukan impor susu dari negara lain terutama dari negara
Australia. Pemerintah melakukan impor bahan baku susu dalam bentuk bubuk
untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri. Susu tersebut diimpor dalam bentuk SMF (Skim Milk Powder) dan AMF (Anhydrous Milk Fat). Susu yang diimpor akan diolah kembali oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dan oleh non
Industri Pengolahan Susu (Kuraisin 2006).
Dalam rangka menjamin absorpsi susu domestik sebagai input IPS, pada
tahun 1982 pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri,
yakni Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri
Pertanian No. 236/KpbNII/1982, No. 341MSW711982, dan No.
521/KptslUm/7/1982 tentang Usaha Peningkatan Produksi dan Pemasaran Susu
dalam Negeri menetapkan mengenai kebijakan rasio impor. Melalui kebijakan
ini, pemerintah menentukan jumlah bahan baku susu yang diimpor berdasarkan
jumlah bahan baku susu domestik yang diserap ole IPS. Kebijakan tersebut
kemudian dikukuhkan dengan INPRES Nomor 2 Tahun 1985 mengatur tentang
pemasaran susu segar dari petemak ke IPS
.
Kebijakan ini menetapkan inshumenrasio impor dimana IPS wajib menerima Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) dan
bukti serap sebagai pengaman harga SSDN dan harga bahan baku impor.
Pada era liberalisasi perdagangan, mang gerak untuk memproteksi industri
persusuan nasional menjadi semakin sewpit. Pemerintah kemudian dihadapkan
pada opsi untuk merubah proteksi rasio impor yang me~pEikan non tarriftrade
barrier menjadi bentuk tarif impor. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan
beban tarif sebesar lima persen untuk impor serllua bahan baku susu ol;iha~i.
Sejak tlitandatanganinya kesepnkatan antara Pemerintah R1 dcngon IiVIF
itu sistem rasio bukti serap juga telah dihapus. Selain itu, pemerintah juga
menghapus kebijakan lisensi impor bagi importir terdafiar pada tahun yang sama
dan mengeluarkan izin bagi para importir umurn untuk melakukan impor bahan baku susu dan produk susu olahan (Arnaliah 2008).
Pemberlakuan ketentuan-ketentun tersebut, sesungguhnya menjadikan
komoditas susu memasuki era pasar bebas AFTA (Asean Free Trade Area),
meskipun seharusnya baru dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa
komoditas susu memasuki pasar bebas lebih awal dari kesepakatan waktu yang
telah ditetapkan, sehingga harus memiliki daya saing kuat untuk mengantisipasi
masuknya bahan baku susu impor. Karena itu, harga SSDN yang berlaku hams
merupakan harga pasar yang kompetitif, terutama jika dipertimbangkan anmman
dari produsen susu terbesar dunia dari negara tetangga seperti Australia dan New
Zealand.
Sejak bulan November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan
kurangnya supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah melakukan program peningkatan daya saing industri susu di dalam
negeri yaitu dengan memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk
oleh pemerintah atas impor barang dan bahan olah industri pengolahan susu
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.011/2008). Hal ini berimplikasi
pada semakin mudah dan murahnya mendapatkan susu segar impor oleh IPS.
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Anapu et al. (2003) yang diacu dalam Pearson
et al. (2004) mengenai Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras di Kabupaten
Minahasa, Sulawesi Utara, membagi responden ke dalam tiga kelompok
berdasarkan luas lahan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketiga sistem
usahatani yang menjadi fobs penelitian menerima keuntungan privat positif,
yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan tarif impor. Keuntungan sosial
menjadi negatif ketika biaya sosial lahan yang didefinisikan sebagai keuntungan
sosial dari komoditas alternatif terbaikny:~, diperhitungkan. Hal ini bisa terjadi
karena usahatani kacang tanah. niemiliki keuntungan sosial yang lebih besar dari
padi. Kabupaten Minahasa ~uenliliki keunggulan komparatif dnlam usahatani
insentif bagi usahatani padi, mendistorsi sumberdaya sehingga jauh dari alokasi
efisiennya.
Wiendiyati et al. (2002) yang diacu dalam Pearson et al. (2004) juga
melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Biaya
Transportasi Antar Pulau terhadap Keuntungan Usahatani Kedelai di Kabupaten
Ngada, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
dampak intervensi pemerintah, yaitu berupa pemberlakuan tarif terhadap kedelai
impor untuk merangsang produksi domestik. Analisis PAM menunjukkan bahwa
usahatani kedelai menguntungkan baik secara privat maupun sosial. Petani memiliki insentif yang tinggi untuk memproduksi kedelai, dan kedelai memiliki
keunggulan kompetitif atas komoditas altematifhya, kacang merah. Kedelai juga
menguntungkan secara sosial menunjukkan bahwa Kabupaten Ngada lebih
~nemiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai dibanding kacang
merah. Selain itu, tingkat keuntungan yang positif menunjukkan bahwa
penerapan tarif impor kedelai tidak diperlukan, dan hanya menciptakan distorsi
bagi sektor pertanian.
Koerdianto (2008) melakukan penelitian mengenai Analisis Daya Saing
dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sayuran Unggulan
(Kasus Kecarnatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat). Hasil analisis dengan menggunakan PAM
menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di kedua tempat penelitian
menguntungkan baik secara finansial maupun secara ekonomi. Dampak
kebijakan output terhadap usahatani tomat dan cabe merah menyebabkan
usahatani tomat dan cabe merah di kedua tempat penelitian menerima harga aktual
output lebih kecil dari harga sosialnya. Hasil analisis terhadap kebijakan input
menunjukkan bahwa pemerintah memberikan subsidi atas input asing (tradable)
dan domestik.(nontradable), sehingga petani menerima harga aktual input tersebut
lebih murah dari yang seharusnya dibayarkan jika tanpa adanya kebijakan. Secara
urnum kebijakan pelnerintah terhadap input-output yang ada lebih
nicnyntungkan usahntnni kedua komoditas terscbut di Kecamntan Lembang.
Persamaan penelitian i r ~ i dengan kctiga penelitiar~ di atas adalah
kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditi. Perbedam terdapat pada
komoditi yang menjadi objek penelitian serta lokasi penelitian. Selain itu,
penelitian Anapu et al. dan Wiendiyati et al. yang diacu dalam Pearson et al.
(2004) menganalisis dampak kebijakan pemberlakuan tarif impor, sementara
penelitian ini menganalisis dampak penghapusan tarif impor.
Penelitian mengenai daya saing susu pernah dilakukan oleh Kuraisin
(2006) dengan judul Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan
Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Studi Kasus di Desa Tajurhalang,
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor). Berdasarkan hasil analisis dengan
menggunakan Policy Analysis Matrih (PAM), diketahui bahwa usahatani sapi
perah di desa Tajurhalang menguntungkan secara finansial dan ekonomi.
Kebijakan pemerintah dalam hal pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-
obatan serta kebijakan tarif impor lima persen terhadap komoditi susu
menyebabkan surplus produsen berkurang. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas,
pada saat terjadi peningkatan harga pakan temak sebesar 30 persen, p e n m a n
harga susu sebesar adalah sebesar lima persen. Sementara itu, analisis sensitivitas
gabungan menunjukkan bahwa usahatani sapi perah di Desa Tajurhalang tetap
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.
Meskipun terdapat beberapa persamaan antara penelitian yang dilakukan
oleh Kuraisin (2006) dengan penelitian ini, namun penelitian ini lebih
menekankan pada efek kebijakan penghapusan tarif impor susu terhadap daya
saing komoditi susu sapi lokal. Berbedanya lokasi penelitian juga dapat
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis3.1.1. Analisis Daya Saing
Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor
yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor) dapat dilihat dari sisi
permintaan dan penawaran (Bhagwati 1987; Krugman & Obstfeld 1991; Salvatore 1995, diacu dalam Malian et al. 2003). Sisi permintaan menunjukkan bahwa ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan negara importir,
kebijakan devaluasi, dan kebijakan perdagangan negara pesaing. Sementara dari
sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar
riil, kapasitas produksi, impor bahan baku, dan kebijakan deregulasi (Malian et al.
2003). Di samping itu, perbedaan sumberdaya, teknologi dan efisiensi antar
negara akan mempengaruhi biaya produksi dan daya saing suatu di pasar
intemasional.
Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi
suatu dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di
pasar Intemasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak
1992). Menurut Kadariah et al. (1999), efisien atau tidaknya produksi suatu yang
bersifat tradable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya apakah
biaya produksi riil yang terdin dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup
rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas
yang relevan (Borderprices).
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu
adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan
tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan
keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusaham dapat dilihat dari dua
indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya
saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif
digunakan utituk memherikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan
usaha ternak. Sapi perah dengan produk susu sebagai konloditi knrnersial, tli~nana
keunggulan komparatif digunakan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonorni
Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan
spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu
konsep ini juga digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten atau
propinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo (1817) yang
dikenal dengan nama hukurn keunggulan komparatif (the law of comparative
advantage) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa
sekalipun suatu negara mengalami kemgian atau ketidakunggulan absolut dalam
memproduksi suatu
,
jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdaganganyang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien
akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor yang mempunyai
keunggulan komparatif, maka negara tersebut sebaiknya mengimpor yang
mempunyai kemgian absolut lebih besar. Berdasarkan inilah negara tersebut akar,
mengalami kemgian komparatif (Sdvator 1994).
Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja mempakan satu-
satunya faktor produksi.
Teori
nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atauharga dari suatu sama dengan atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja
yang dipakai untuk memproduksi
.
Hal ini secara tidak langsung menyatakanbahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja digunakan
dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua
,
dan (2) tenaga kerjahomogen.
Teori
nilai tenaga ke rja ini merupakan kelemahan dari model Ricardian,karena (1) tenaga kerja bukan merupakan satu-satunya faktor produksi, juga tidak
digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua
,
dan (2) tenagakerja tidak homogen.
Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara
atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan
mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) menyebutkan beberapa
faktor yang mempengmhi keunggulan komparatif, yaitu : 1 . Perubahan dalam sumberdaya alam
2. Perubahan faktor-faktor biologi
3. Pcrubahan harga input
4. I'erubahan teknologi
. Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan suatu ha1 yang tidak
stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola
secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya
dengan dukungan tenaga kerja, modal serta dari segi pengolahannya.
Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk
mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian
aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa
perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia
nyata (Salvator 1994).
Pada awalnya konsep keunggulm kompetitif dikembangkan oleh Porter
pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan
intemasional yang ada. Simatupang (1995) menyebutkan, secara operasional
keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok
barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik
di pasar domestik maupun di pasar intemasional, pada harga yang sama atau lebih
baik dari yang ditawarkan pesaing seraya memperoleh laba paling tidak sebesar
ongkos penggunaan (Opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Simatupang
(1995), menyebutkan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang
berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah munglun atau
pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan
keadaan pasar global saat ini. Untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha
produksi pertanian pada saat ini hams lebih berorientasi pada konsumen atau
lebih benvawasan menjual.
Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh
keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi
juga ditentukan oleh kerpampuan untuk memasok produk dengan atribut
(karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen (Simatupang 1995). Analisis
keungylan kompetitif merupakal alat untuk mengukur keuntungan privat
(private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang diliitung
berdasarkan harga pasar dan liilai tukar uang resn~i yang berlaku. Dalam ha1 ini,
memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari i n t e ~ e n s i pemerintah.
Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan
komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah
memberikan proteksi terhadap yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut,
misalnya melalui jaminan harga, kemudahan penzinan dan kemudahan fasilitas
lainnya (Sudaryanto et at. 1993). Walaupun demikian konsep keunggulan
kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan
terhadap keunggulan komparatif, &an tetapi merupakan konsep yang sifatnya
saling melengkapi.
3.1.2. Teori Perdagangan Internasional
Menurut Salvator (1994), kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara
menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian
yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk memaksimumkan
kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut akan diterima
oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang meyebabkan
negara-negara melakukan perdagangan intemasional adalah : 1) adanya perbedaan
dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya, sehingga negara-negara
akan mernperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda
secara relatif terhadap perbedaan sumberdaya tersebut, dan 2) negara-negara yang
melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale
dalam produksi, artinya suatu negara &an lebih efisien jika hanya menghasilkan
sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan
dengan jika memproduksi berbagai jenis-jenis barang.
Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan intemasional
bertitik tolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara &an mengekspor
yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah,
dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam
sektor-sektor yang mempunyai keunzgulan komparatif. Banyak ahli berpendapat
bahwa ckspor suatu terjadi karena adanya penawaran domestik sang bcrlehih
(e.~cess srzrppply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pcngekspor
akan melakukan impor suatu karena adanya pennintaan domestik yang berlebih
(excess demand) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan
masyarakat terhadap suatu tertentu.
3.1.3. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan diartikan sebagai tujuan dan metode yang digunakan
pemerintah untuk mempengaruhi variabel ekonomi seperti harga, penerimaan
nasional, nilai tukar dan sebagainya. Kebijakan pernerintah ditetapkan dengan
tujuan untuk meningkatkan ekspor atau sebagai usaha untuk melindungi produk
dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut
biasanya diberlakukan untuk input d m output yang menyebabkan terjadinya
perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga
privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan
bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditi
terdiri dari dua bentuk yaitu bempa subsidi dan hambatan perdagangan.
Kebijakan subsidi terdiri dari subsisi positif dan subsidi negatif (pajak),
sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan quota (Salvator, 1994).
Menurut Salvator (1994), subsidi mempakan pembayaran dari atau untuk
pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran
untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk
melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar
berbeda dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan
yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu
,
yang berupa pajak dan kuotadengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara
internasional (tradable goods) dan unruk menciptakan perbedaan harga di pasar
internasional dengan harga di pasar domestik.
Terdapat dua bentuk kebijakan perdagangan yaitu kebijakan ekspor dan
kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk melindungi konsumen dalam
negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia,
yaitu dengnli penetapan pajak ckspor haik per unit barang yang diekspor maupun
secara keseluruhan. Kebijakan impor dilakukan untuk melindur~gi produsen
harga pasar dunia, sehingga kebijakan yang dilakuJtan adalah berupa pengenaan
tarif impor atau kuota impor.
Menurut Paramartha et al. yang diacu dalam Dhiany (2008), penetapan kebijakan pertanian berpengaruh terhadap para pelaku ekonomi, seperti:
1) Kebijakan harga input akan berdampak pada petani
2) Kebijakan harga output akan berdampak pada petani, pedagang besar, dan pedagang eceran
3) Kebijakan produksi akan berdampak pada kuantitas output, input, dan harga input
4) Kebijakan konsumsi akan berdampak pada permintaan suatu komoditi
5) Kebijakan perdagangan akan berdampak pada ekspor bersih, impor bersih, dan
neraca pembayaran
6) Kebijakan distribusi akan berdampak pada identifikasi surplus konsumen,
surplus petani, dan biaya penyetor pajak
7) Kebijakan sosial akan berdampak pada identifikasi penerima dan pembuat
kebijakan
3.1.3.1 Kebijakan Output
Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat
diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap
(a) S
+
PI, S
(b) S
+
PE(e) S + CI (d) S
+
CEKeterangan :
Pw : Harga di Pasar Internasionat Pd : Harga di Pasar Domestik
[image:38.595.74.485.55.681.2]S
+
PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S+
CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang imporGambar 2. Dampak Subsidi Positif terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor
Sumber : Monke and Pearson (1989)
Gambar 2(a) inen~pakan gamb.!r subsidi positif untuk produsell barring
iinpor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat
dari QI menjadi Q2 namun kondisi akan tetap pada Q3 karena kebijakan subsidi ini
teidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun
dari Q3 ke Q2. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pd - Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan
diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar QICAQ~, sedangkan
opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar
QtCBQ2. Dengan adanya subsidi tersebut, maka akan terjadi kehilangan efisiensi
sebesar CAB.
Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya
subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi
dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada
peningkatm output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi
menurun dari QI ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4, Tingkat
subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.
Gambar 2(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen pada barang
impor. Harga di pasar dunia (Pw) lebih tinggi daripada harga domestik (Pd).
Tingkat subsidi positif sebesar Pw - Pd kepada konsumen menyebabkan produksi
menurun dari Q1 menjadi Q2, tetapi konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4
karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah.
Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2.
Transfer pemerintah sebesar PwGHPd yang terdiri dari dua bagian, yaitu
transfer dari produsen dan konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari
pemerintah ke konsumen sebesar ABHG. Dengan demikian akan terjadi
inefisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output
turun dari Q2 menjadi QI menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar QzFAQl
atau sebesar Pw x (Q2 - Q1), sedangkan besarnya input yang dapat dihemat adalah sebesar, QzBFQl sehingga terjadi ipefisiensi sebesar AFB. Di sisi konsumsi
opporttinity cost akibat meningkatnya konsumsi dari Q3 menjadi Q4 adalah
sebesar Pw x (Qq - Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kematnpuan membayar konsumcn scbesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefisiensi scbesar EGI-I. Dengan
Gambar 2(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut
harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang
lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q1
menjadi Qz. Perubahan ini akan menyebabkan opportuni[y cost sebesar Pw
x
(Q2- Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu
QICAQZ, dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA.
3.1.3.2 Kebijakan Input
Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan non
tradable. Pada input yang diperdagangkan (non tradable), intervensi pemerintah
berupa hambatan perdagangan tidak tampak. Adapun perubahan yang terjadi
akibat adanya intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan kebijakan
perdagangan akan mengakibatkan perubahan harga barang, jumlah barang,
surplus produsen dan konsumen berubah (Monke and Pearson, 1989). Perubahan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. a. Kebijakan Input Tradable
QZ QI Qt Qz
[image:40.595.72.490.220.779.2](a) S - PI (b) S + PI
Gambar 3. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Sumber : Monke and Pearson (1989)
Gambar 3(a) ~i~enunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya
produksi meningkat sehingga pada tingkat output yang sama, output domestic
ekonomi yang hilang yaitu ABC. Perbedaan antara nilai output yang hilang dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut adalah sebesar
[image:41.595.68.488.287.809.2] [image:41.595.74.476.316.545.2]QBCQI.
Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Pada kondisi perdagangan bebas, harga yang berlaku adalah sebesar
Pw dan produksi yang dihasilkan adalah QI. Adanya subsidi pada input tradable
menyebabkan biaya produksi sernakin rendah dan penggunaan input lebih intensif
sehingga kurva penawaran bergeser ke bawah (S') dan produksi mengalami
kenaikan dari Q1 menjadi Q2. Inefisiensi yang terjadi adalah sebesar ABC yang mempakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah ouput meningkat
yaitu QlACQz dengan penerimaan output yang meningkat yaitu QIABQ2.
b. Kebijakan Input Non Tradable
4
Qz QI (a) S - N
QI Qz
(b) S
+
N
Keterangan :
Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi
PC : Harga di tingkat konsurnen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi
Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable
Sumber : Monke and Pearson (1989)
Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak
terhadap input, harga dan jumlah kcsein1bangii:l tlari pen:iwarao input nor1
trcrdnble berada pada Pd dan Q I . Adanya pajak sebesar PC-Pd menyebabkan
menjadi Pp dan harga yang. diterima konsumen naik menjadi PC. Efisiensi
ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BEA dan dari konsumen adalah BCA.
Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap
input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non
tradable berada pada Pd dan
QI.
Harga yang diterima produsen menjadi lebihrendah yaitu PC. Efisiensi yang hilang dari produsen adalah sebesar ACB dan
inefisiensi konsumen adalah sebesar ABE.
3.1.4. Metode Penentuan Harga Bayangan
Analisis keunggulan komparatif dalam konsep daya saing menggunakan
harga bayangan, sedangkan analisis keunggulan kompetitif menggunakan harga
pasar. Dalam Gittinger (1986), harga bayangan adalah suatu harga yang lebih
dekat menggambarkan biaya imbangan terhadap masyarakat. Langkah-langkah
yang dikemukakan untuk mengubah atau menyesuaikan harga pasar (harga
finansial) menjadi harga bayangan (nilai ekonomi), yaitu:
1. Penyesuaian Pembayaran Transfer Langsung
Pembayaran transfer langsung adalah pembayaran yang bukan penggunaan
sumberdaya nyata tetapi hanya transfer dari klaim pada sumber nyata
seseorang dan transaksi kredit yang mencakup pinjaman, peneri