MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MARXAN
DI PULAU MARATUA DAN PULAU KAKABAN,
KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh: Fikri Firmansyah
C64104011
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
IDENTIFIKASI WILAYAH KONSERVASI DENGAN
MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MARXAN DI PULAU
MARATUA DAN PULAU KAKABAN, KABUPATEN BERAU,
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
© Hak cipta milik Fikri Firmansyah, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
FIKRI FIRMANSYAH. Identifikasi Wilayah Konservasi dengan Menggunakan Perangkat Lunak Marxan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan SYAMSUL BAHRI AGUS.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan habitat pesisir dan laut yang ada di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur dengan menggunakan data Aster. Selain itu penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengidentifikasi wilayah yang cocok untuk dijadikan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di wilayah kajian yang terletak antara 2º5´2.4″ - 2º18´57,6″ LU dan 118º30´14,4″ - 118º44´16,8″ BT.
Pemetaan habitat pesisir dan laut diperoleh dari hasil klasifikasi data Aster tahun 2004 yang terletak di wilayah kajian. Data tersebut diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) dengan menggunakan program ER Mapper 7.0. Peta tipe habitat pesisir dan laut digunakan sebagai salah satu input yang akan digunakan Marxan, suatu perangkat lunak sistem informasi geografis, untuk mengidentifikasi wilayah konservasi.
MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MARXAN DI
PULAU MARATUA DAN PULAU KAKABAN, KABUPATEN
BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh: Fikri Firmansyah
C64104011
SKRIPSI
Sebagai salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Kakaban, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur
Nama:
Fikri Firmansyah
NRP:
C64104011
Menyetujui,
Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
Tanggal lulus:
Pembimbing II
i
Puji syukur ke hadirat Illahi Robbi atas semua rahmat dan karunia yang telah
diberikan kepada penulis sehingga skripsi dari penelitian ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini berjudul Identifikasi Wilayah konservasi dengan menggunakan perangkat
lunak Marxan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten Berau Provinsi
Kalimantan Timur diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua, kakak, serta adik yang telah memberikan motivasi dan dukungan.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc. dan Bapak Syamsul Bahri Agus,
S. Pi, M. Si. selaku komisi pembimbing yang telah dengan sabar membimbing
penelitian dan penulisan skripsi penulis.
3. Joint Program Marine Berau (JPMB) TNC-WWF
4. Seluruh Warga Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
5. Fisheries Diving Club atas didikan dan pengajarannya selama ini 6. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i.
DAFTAR ISI... ii.
DAFTAR TABEL... ... iv
DAFTAR GAMBAR... v
1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA... 3
2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 3
2.2 Penginderaan Jauh dan Aster ... 5
2.3 Sistem Informasi Geografi... 7
2.4 Marxan ... 8
2.5 Kawasan Konservasi Laut ... 10
3. METODOLOGI PENELITIAN... 13
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13
3.2 Area of Interest (AOI)... 13
3.3 Alat dan Bahan... 16
3.4 Pengolahan Citra Satelit... 18
3.5 Alur Kerja Marxan... 19
3.6 Penentuan Kawasan Konservasi Laut ... 21
3.6.2 Nilai Target Konservasi dan Spesies Penalty
Factor (SPF)... 23
3.6.3 Input File Marxan... 24
3.7 Skenario Kawasan Konservasi Laut... 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 28
4.1 Identifikasi Habitat Berdasarkan Data Aster ... 28
4.2 Fitur Konservasi Pulau Maratua dan Kakaban ... 30
4.3 Fitur Cost Pulau Maratua dan Kakaban ... 35
4.4 Skenario Kawasan Konservasi Laut (KKL) ... 38
5. KESIMPULAN DAN SARAN... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA... 58
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Spesifikasi Sensor Aster ... 6 Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian...18
Tabel 3. Nilai Target dan SPF Wilayah Konservasi Pulau Weh
dan Pulau Aceh ... 23
Tabel 4. Target Konservasi Skenario Kawasan Konservasi Laut... 26
Tabel 5. Luas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Yang Terpilih
MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MARXAN
DI PULAU MARATUA DAN PULAU KAKABAN,
KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh: Fikri Firmansyah
C64104011
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
IDENTIFIKASI WILAYAH KONSERVASI DENGAN
MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MARXAN DI PULAU
MARATUA DAN PULAU KAKABAN, KABUPATEN BERAU,
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
© Hak cipta milik Fikri Firmansyah, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
FIKRI FIRMANSYAH. Identifikasi Wilayah Konservasi dengan Menggunakan Perangkat Lunak Marxan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan SYAMSUL BAHRI AGUS.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan habitat pesisir dan laut yang ada di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur dengan menggunakan data Aster. Selain itu penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengidentifikasi wilayah yang cocok untuk dijadikan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di wilayah kajian yang terletak antara 2º5´2.4″ - 2º18´57,6″ LU dan 118º30´14,4″ - 118º44´16,8″ BT.
Pemetaan habitat pesisir dan laut diperoleh dari hasil klasifikasi data Aster tahun 2004 yang terletak di wilayah kajian. Data tersebut diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) dengan menggunakan program ER Mapper 7.0. Peta tipe habitat pesisir dan laut digunakan sebagai salah satu input yang akan digunakan Marxan, suatu perangkat lunak sistem informasi geografis, untuk mengidentifikasi wilayah konservasi.
MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MARXAN DI
PULAU MARATUA DAN PULAU KAKABAN, KABUPATEN
BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh: Fikri Firmansyah
C64104011
SKRIPSI
Sebagai salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Kakaban, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur
Nama:
Fikri Firmansyah
NRP:
C64104011
Menyetujui,
Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
Tanggal lulus:
Pembimbing II
i
Puji syukur ke hadirat Illahi Robbi atas semua rahmat dan karunia yang telah
diberikan kepada penulis sehingga skripsi dari penelitian ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini berjudul Identifikasi Wilayah konservasi dengan menggunakan perangkat
lunak Marxan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten Berau Provinsi
Kalimantan Timur diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua, kakak, serta adik yang telah memberikan motivasi dan dukungan.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc. dan Bapak Syamsul Bahri Agus,
S. Pi, M. Si. selaku komisi pembimbing yang telah dengan sabar membimbing
penelitian dan penulisan skripsi penulis.
3. Joint Program Marine Berau (JPMB) TNC-WWF
4. Seluruh Warga Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
5. Fisheries Diving Club atas didikan dan pengajarannya selama ini 6. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i.
DAFTAR ISI... ii.
DAFTAR TABEL... ... iv
DAFTAR GAMBAR... v
1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA... 3
2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 3
2.2 Penginderaan Jauh dan Aster ... 5
2.3 Sistem Informasi Geografi... 7
2.4 Marxan ... 8
2.5 Kawasan Konservasi Laut ... 10
3. METODOLOGI PENELITIAN... 13
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13
3.2 Area of Interest (AOI)... 13
3.3 Alat dan Bahan... 16
3.4 Pengolahan Citra Satelit... 18
3.5 Alur Kerja Marxan... 19
3.6 Penentuan Kawasan Konservasi Laut ... 21
3.6.2 Nilai Target Konservasi dan Spesies Penalty
Factor (SPF)... 23
3.6.3 Input File Marxan... 24
3.7 Skenario Kawasan Konservasi Laut... 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 28
4.1 Identifikasi Habitat Berdasarkan Data Aster ... 28
4.2 Fitur Konservasi Pulau Maratua dan Kakaban ... 30
4.3 Fitur Cost Pulau Maratua dan Kakaban ... 35
4.4 Skenario Kawasan Konservasi Laut (KKL) ... 38
5. KESIMPULAN DAN SARAN... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA... 58
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Spesifikasi Sensor Aster ... 6 Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian...18
Tabel 3. Nilai Target dan SPF Wilayah Konservasi Pulau Weh
dan Pulau Aceh ... 23
Tabel 4. Target Konservasi Skenario Kawasan Konservasi Laut... 26
Tabel 5. Luas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Yang Terpilih
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Pulau Maratua dan Kakaban ... 14
Gambar 2. Peta Area of Interest Pulau Maratua dan Pulau Kakaban ... 15
Gambar 3. Peta Planning Unit Pulau Maratua dan Pulau Kakaban ... 17
Gambar 4. Alur Kerja Marxan ... 20
Gambar 5. Alur File Tabuler Untuk Input Marxan dengan Arc View dan Cluz ... 24
Gambar 6. Peta Habitat Pesisir dan Laut Pulau Maratua dan Kakaban... 29
Gambar 7. Histogram Penutupan Karang Keras di Pulau Maratua ... 30
Gambar 8. Peta Sebaran Fitur Konservasi di Pulau Maratua... 32
Gambar 9. Histogram Penutupan Karang Keras di Pulau Kakaban ... 33
Gambar 10. Peta Sebaran Fitur Konservasi di Pulau Kakaban... 34
Gambar 11. Peta Sebaran Fitur Cost di Pulau Maratua... ... 36
Gambar 12. Peta Sebaran Fitur Cost Pulau Kakaban ... 37
Gambar 13. Peta Skenario 1 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Maratua ... 40
Gambar 14. Peta Skenario 1 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kakaban... 41
Gambar 15. Peta Skenario 2 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Maratua ... 43
Gambar 16. Peta Skenario 2 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kakaban... 44
Gambar 17. Peta Skenario 3 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Maratua ... 46
Gambar 18. Peta Skenario 3 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kakaban... 47
Gambar 19. Peta Skenario 4 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Maratua...49
Gambar 20. Peta Skenario 4 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kakaban...50
Gambar 21. Peta Skenario 5 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Maratua...52
Gambar 22. Peta Skenario 5 Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kakaban...53
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem pesisir dan laut Indonesia, yaitu terumbu karang, padang lamun,
dan hutan mangrove menyediakan beraneka produk dan jasa yang bermanfaat
bagi hajat hidup manusia. Terlepas dari nilai pentingnya, ekosistem tersebut saat
ini berada dalam kondisi sangat mengkhawatirkan karena berbagai aktivitas
ekstraktif dan destruktif manusia demi keperluan pembangunan dan demi
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ekosistem terumbu karang mengalami
peningkatan kerusakan hingga 50% dalam 50 tahun terakhir (P2O LIPI, 2006),
hutan mangrove menyusut 52% hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun
(Wiryawan et al., 2007), begitupun dengan padang lamun.
Di wilayah Kalimantan Timur ada Pulau Maratua dan Kakaban yang
memiliki kekayaan sumberdaya pesisir dan laut yang unik (Ismuranty et al., 2004)
dan menjadi sumber penghidupan masyarakat di Kabupaten Berau. Wiryawan et
al. (2007) menuliskan sejumlah ancaman lingkungan yang membahayakan
kondisi ekosistem pesisir dan laut di kedua pulau tersebut, di antaranya adalah
kerusakan terumbu karang, konversi hutan mangrove, dan degradasi padang
lamun. Dengan demikian kedua pulau ini sangat menarik untuk kajian spasial
Kawasan Konservasi Laut (KKL).
Terkait dengan inisiasi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk
memperluas Kawasan Konservasi Laut dengan target 10 juta hektar pada tahun
2010 dan 20 juta hektar pada tahun 2020 (Sihite et al., 2007), penetapan KKL di
pengrusakkan ekosistem. Penetapan KKL juga dapat melindungi sejumlah habitat
penting untuk menjamin keberlanjutan penyediaan produk dan jasa dari
sumberdaya pesisir dan laut.
Data satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk membantu
pengidentifikasian habitat pesisir dan laut, salah satunya adalah data Aster. Data
tersebut memang diperuntukkan untuk observasi sumberdaya alam dengan
resolusi lebih tinggi dibandingkan dengan Landsat atau JERS-1
(aster-indonesia.com, 2009). Identifikasi habitat pesisir dan laut tersebut berguna
sebagai input data untuk program Marxan (Marine Reserve Design Using
Spatially Explicit Anealling). Marxan merupakan perangkat lunak Sistem
Informasi Geografis (SIG) yang sudah banyak digunakan di beberapa negara
termasuk Indonesia, untuk keperluan penetapan Kawasan Konservasi Laut (Ball
dan Possingham, 2004). Integrasi penetapan habitat berbasis data Aster dengan
perangkat Marxan diharapkan dapat menetapkan dengan tepat kawasan yang akan
dikonservasi, sehingga kestabilan ekosistem dan keberlanjutan sumberdaya pesisir
dan laut di Pulau Maratua dan Kakaban dapat terjaga dengan baik.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan memetakan habitat pesisir dan laut di Pulau Maratua
dan Kakaban dengan data Aster.
2. Menganalisis lokasi yang tepat dijadikan Kawasan Konservasi Laut di
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau Maratua dan Kakaban merupakan bagian dari Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Dari beberapa pulau yang ada di Kecamatan Maratua ada dua pulau yang memiliki ekosistem pesisir dan laut yang cukup unik yaitu Pulau Maratua dan Kakaban (Tomascik et al., 1997). Pulau Maratua merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di
semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau (Wiryawan et al., 2007) dan berbatasan langsung dengan Malaysia.
Pulau dengan luas 2.375,70 ha (Wiryawan et al. 2005) terletak di sebelah selatan Kota Tarakan. Pulau Maratua memiliki koordinat 118,6° BT dan 2,25° LU. Pulau Kakaban terletak di antara 02°10′09″ - 02°06′45″ LU dan 118°30′00″ - 118º33′39″BT dan memiliki luas 774,2 ha (Wasistha dan Basuki, 2000). Pulau ini terletak di sebelah barat daya Pulau Maratua.
Pulau Maratua memiliki bentuk seperti tapal kuda yang melintang dari utara ke selatan dengan bentuk morfologi, dataran dan perbukitan (Wiryawan et al., 2005). Kedua sisi Pulau Maratua dipisahkan oleh perairan dan memiliki jarak 6 km dengan panjang sisi barat 19 km dan sisi timur 10,6 km. Pulau yang
membentang dari utara ke selatan kemudian disambung oleh bentangan karang, membentuk atol semi tertutup yang membentang sepanjang 30,5 km dari utara ke selatan (Wasistha dan Basuki, 2000).
cincin utuh dengan laguna tertutup, sehingga akan nampak seperti angka sembilan jika dilihat dari udara (Wasistha dan Basuki, 2000). Pulau Maratua dan Kakaban memiliki beberapa habitat pesisir dan laut diantaranya terumbu karang, mangrove, lamun (Wiryawan et al., 2005).
Terumbu karang di Kabupaten Berau tersebar luas pada seluruh pulau dan gosong yang ada di bagian utara dan selatan Kabupaten Berau. Karang yang ada di bagian utara Kabupaten Berau adalah Gosong Mangkalasa, Gosong
Masimbung, Gosong Buliulin, Gosong Pinaka, Gosong Tababinga, Gosong Lintang, Gosong Muaras, dan Gosong Malalungun, sedangkan gosong yang ada di bagian selatan adalah Gosong Besar atau Sapitan, Gosong Dangalahan, dan Gosong Paninsinan. Tipe terumbu karang di Kabupaten Berau terdiri dari karang tepi, karang penghalang, dan atol. Atol yang ada di Kabupaten Berau hanya ada di bagian utara yaitu Pulau Kakaban, Pulau Maratua, dan Gosong Muaras. Luas Atol Kakaban adalah 19 km2, Atol Maratua 690 km2, dan Atol Muaras 288 km2 (Turak, 2003).
Dalam ekosistem pesisir dan laut, hutan mangrove memiliki arti penting karena memiliki fungsi ekologis, sosial dan ekonomi (Wiryawan et al., 2005). Secara keseluruhan luas hutan mangrove di Kabupaten Berau adalah 80.277 ha, terdiri dari mangrove sejati (bakau, api-api) 49.888 ha dan mangrove tidak sejati (nipah, nibung) 30.389 ha. Nipah khususnya mendominasi di sepanjang Sungai Berau, sedangkan bakau dan api-api di Delta Berau dan di sepanjang pantai. Di Pulau Maratua terdapat hutan mangrove seluas 369 ha (Bengen, 2003).
Maratua. Ada delapan spesies lamun yang ditemukan di KKL Berau dan
semuanya dapat ditemukan di Pulau Maratua yaitu: Enhalus acoroides, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,
Syringodium isoetifolium, Halophila ovate, dan Halodule pinifolia, dengan jenis yang dominan adalah Halodule uninervis dan Halodule pinifolia. Padang lamun di Pulau Maratua dapat ditemukan di Teluk Pea, Payung-payung, Bohebukut, dan Tanjung Bawa. Penutupan padang lamun di Pulau Maratua berkisar antara 5 sampai 80% (Kiswara, 2000).
2.2 Penginderaan Jauh dan Aster
Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi
tentang obyek, daerah, atau fenomena yang berada di permukaan bumi melalui
analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obyek atau
fenomena yang dikaji. Informasi tentang obyek, daerah, dan fenomena yang
diteliti didapat dari analisis data yang dikumpulkan oleh sensor jarak jauh. Pada
umumnya sensor dipasang pada wahana yang berupa pesawat terbang, satelit,
pesawat ulang-alik atau wahana lainnya (Lillesand dan Kiefer, 1990). Ada empat
komponen dalam sistem penginderaan jauh:
1. Matahari sebagai sumber energi berupa radiasi elektromagnetik.
2. Atmosfer merupakan media lintasan dari gelombang elektromagnetik.
3. Sensor yang merupakan alat yang berfungsi mendeteksi radiasi
gelombang elektromagnetik dari suatu objek dan mengubahnya ke dalam
bentuk sinyal yang dapat direkam.
Salah satu jenis sensor yang digunakan untuk observasi sumberdaya alam
adalah Aster. Nama tersebut merupakan singkatan dari Advanced Thermal
Emission and Reflection Radiometer. Aster merupakan sensor yang dipasang
pada Satelit Terra yang diluncurkan pada tahun 2000. Sensor ini terdiri dari
Visible and Near Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared
Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer (TIR), Intersected Signal
Processing unit dan master power unit. Salah satu kelebihan yang dimiliki citra
Aster adalah resolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra pendahulu dan
sekelasnya (mis. JERS-1 dan Landsat). Kelebihan ini dapat meningkatkan
keakurasian hasil analisa dengan menggunakan citra ini (Aster-Indonesia, 2009).
Aster memiliki spesifikasi seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi sensor Aster
Instrument VNIR SWIR TIR
Bands 1 - 3 4 – 9 10 -1 4
Spatial Resolution 15 m 30 m 90 m
Swath Width 60 km 60 km 60 km
Cross Track Pointing ± 318 km ± 116 km ± 116 km
Quantisation (bits) 8 8 12
Aster memiliki resolusi spasial 15 - 90 m dan akan kembali ke titik orbit
yang sama dalam waktu 60 hari (Satimaging corp, 2009). Resolusi spasial Aster
yang mencapai 15 m membuat Aster digolongkan ke dalam data satelit resolusi
spasial tinggi. Resolusi spasial yang tinggi akan membantu penginterpretasian
habitat. Oleh karena itu data Aster dapat digunakan untuk pemetaan habitat
Kolan, 2005; S. Andre´foue¨t et al., 2003; Pulliza, 2004), mangrove (Kato et al.,
2001), dan lamun (S. Andre´foue¨t et al., 2003; Pulliza, 2004).
2.3 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG), merupakan suatu sistem (berbasis
komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi
geografis. Sistem Informasi Geografis dirancang untuk mengumpulkan,
menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana
lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis
(Aronof, 1989). Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian
sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan
dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi
geografi secara konvensional.
Ada tiga kategori data atau informasi yang dapat digunakan dalam input
pada suatu SIG, yaitu (1) alfanumerik; (2) piktorial atau grafik; (3) data
penginderaan jauh dalam bentuk digital. Input data alfanumerik sangat mudah
karena sudah dapat dibaca oleh komputer. Untuk data piktorial atau grafik seperti
peta atau foto perlu penggunaan digitizer yang mengkonversi kenampakan
kedalam string nilai koordinat.
Data penginderaan jauh yang berupa citra dapat diintegrasikan dengan SIG
setelah melalui pemrosesan dengan piranti lunak tertentu yang masing-masing
mempunyai format remote sensing sendiri. Data citra biasanya berupa data raster
(format grid) yang harus diubah kedalam bentuk data vektor. Hal yang sangat
dikoreksi dan mempunyai referensi koordinat geografis sehingga memungkinkan
untuk diintegrasikan dengan data SIG (Dimyati, 1997).
Menurut Purwadhi et al. (1989), SIG dapat diaplikasikan untuk pengaturan
tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Aplikasi tersebut dapat
digunakan dengan menggunakan berbagai macam data, termasuk data
penginderaan jauh. Sistem ini berguna untuk analisis keadaan sebenarnya dan
membuat pemodelan di lingkungan perairan laut. Sistem Informasi Geografis
juga membantu para ahli untuk melakukan analis data dan menghasilkan peta
yang menunjukan hubungan spasial dari beragam jenis data geografis sehingga
memudahkan para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan wilayah
tertentu (Hall, 1995).
2.4 Marxan
Marxan (Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Anealling)
dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan SPEXAN untuk memenuhi
kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA) (Ball, I. R dan
Possingham, H. P., 2004). Ide yang mendasari pengembangan Marxan ini adalah
permasalahan perencana konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena
daerah perencanaan potensial yang luas sehingga banyak kemungkinan daerah
yang akan dipilih sebagai daerah konservasi. Marxan dalam hal ini dapat
memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan
skenario perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis. Dengan perangkat
lunak Marxan ini para perencana dapat mencoba berbagai skenario perencanaan
memilih skenario terbaik untuk perencanaan kawasan konservasi (Ball dan
Possingham, 2004).
Marxan dikembangkan untuk membantu desain sistem konservasi dan
sengaja didesain untuk ekosistem laut dan dikembangkan berdasarkan perangkat
lunak untuk daerah terestrial yang telah dikembangkan sebelumnya yaitu Spexan.
Marxan didesain untuk melakukan prosesnya secara otomatis, sehingga desainer
wilayah konservasi dapat mencoba berbagai skenario dan melihat seperti apa
hasilnya nanti (Meerman, 2005). Perangkat lunak Marxan ini bekerja
menggunakan algoritma simulated annealing. Algoritma tersebut memiliki prinsip
kerja yang terbagi menjadi tiga langkah yaitu iterative improvement, random
backward, dan repetition.
Ketiga langkah dari algoritma simulated annealing berfungsi untuk mencari
nilai cost yang paling rendah. Sehingga langkah tersebut dapat dianalogikan
seperti sebuah robot yang melakukan misi pencarian permukaan yang paling
rendah di suatu daerah. Robot yang memiliki empat lengan tersebut diturunkan
untuk mengukur tinggi permukaan secara langsung. Kemudian apabila daerah
yang diukur oleh lengan robot memiliki permukaan lebih rendah daripada
permukaan dibawah badan robot itu maka robot akan bergerak menuju permukaan
yang diukur oleh lengan robot yang memiliki tinggi permukaan lebih rendah,
langkah tersebut disebut dengan iterative improvement. Namun langkah ini masih
memiliki kelemahan yaitu, robot tidak dapat bergerak ke permukaan yang tinggi
dahulu untuk kemudian menemukan daerah yang permukaannya lebih rendah.
Untuk mengurangi kelemahan tersebut robot diperintahkan mundur terlebih
lembah yang baru, langkah ini disebut dengan random backward. Langkah
terakhir di dalam algoritma simulated annealing yaitu repetition, langkah ini
bertujuan untuk meningkatkan kesempatan untuk bertemu dengan daerah yang
permukaannya lebih rendah dengan mengulangi langkah iterative improvement
dan random backward, langkah ini dapat dianalogikan dengan peluncuran
beberapa robot berikutnya (Sihite et al., 2007).
2.5 Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area adalah daerah
intertidal (pasang-surut) atau subtidal (bawah-pasut) beserta flora fauna, sejarah
dan corak budaya dilindungi sebagai suaka dengan melindungi sebagian atau
seluruhnya melalui peraturan perundang-undangan (IUCN, 1994 dalam Bohnsack,
J. A., 2004). Kawasan Konservasi Laut merupakan kawasan pesisir, termasuk
pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif (Komnaskolaut, 2005). Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Area) merupakan kawasan laut yang dilindungi yang bertujuan agar ekosistem
sumberdaya ekosistem beserta sumberdaya kelautan di kawasan tersebut tidak
punah. Istilah lain yang digunakan untuk mendefinisikan KKL adalah Daerah
Perlindungan Laut (DPL). DPL menurut Wahyuni (2008) adalah Wilayah yang
dibuat untuk melindungi atau memperbaiki stok perikanan serta mempertahankan
produksi perikanan di sekitar lokasi DPL.
Kawasan Konservasi Laut (KKL) memiliki dua fungsi utama, yaitu: (1)
habitat-habitat utama (critical habitat) seperti daerah pemijahan (spawning
ground) dan daerah asuhan atau pembesaran (nursery ground), dan (2) stok ikan
(biota laut lainnya) dalam KKL dapat berfungsi sebagai tabungan atau jaminan
yang dapat menyangga fluktuasi dan penurunan populasi yang terjadi di luar KKL
akibat kesalahan manajemen maupun fluktuasi alamiah. Penetapan KKL haruslah
diartikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan
sumberdaya yang berkelanjutan. Salm et al. (2000) mengatakan bahwa
pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya pesisir mensyaratkan
bahwa sebagian wilayah tersebut dipertahankan kondisinya sealamiah mungkin.
Penetapan kawasan lindung dimaksudkan untuk mengamankan habitat kritis
untuk produksi ikan, melestarikan sumberdaya genetis, menjaga keindahan alam
dan warisan alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan berkelanjutan
mengharuskan adanya pemanfaatan yang bijaksana (wise use) dan pengelolaan
yang berhati-hati (causiusness) terhadap sumberdaya dan ekosistemnya sehingga
memberikan peluang pemanfaatan oleh masyarakat generasi mendatang.
Pembagian kawasan perlindungan perairan di Indonesia ditegaskan pada UU
No.5 Tahun 1990, yang membagi kawasan konservasi ke dalam dua kategori
umum yaitu (1) Kawasan Suaka Alam (KSA), terdiri dari Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa Laut; dan (2) Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yang terdiri dari
Taman Nasional Laut dan Taman Wisata Laut. Dalam rencana pengalokasian
kawasan konservasi, diperlukan minimal 3 tahapan dalam pemilihan lokasi
(1) Identifikasi habitat atau lingkungan kritis, distribusi ikan ekologis dan
ekonomis penting yang dilanjutkan dengan memetakan informasi tersebut
dengan menggunakan sistem informasi geografis.
(2) Penelitian untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya dan
mengidentifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan.
(3) Penentuan lokasi yang perlu diprioritaskan dapat dijadikan kawasan
konservasi, berdasarkan proses perencanaan lokasi.
3.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Maret 2008 sampai Maret 2009. Waktu
tersebut digunakan untuk survei lapang selama bulan Maret sampai Mei 2008
dan sisanya digunakan untuk pengolahan dan analisa data. Lokasi penelitian
lapang berada di Pulau Kakaban dan Pulau Maratua (Gambar 1), Kabupaten
Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
3.2 Area of Interest (AOI)
Area of Interest (AOI) yang akan dikaji dengan menggunakan algoritma
simulated annealing dibatasi hanya di sekitar gugusan karang Pulau Maratua dan
Pulau Kakaban saja (Gambar 2). Daerah yang berbatasan dengan daerah yang
masih terdapat terumbu karang dan tidak ke arah laut lepas tidak dimasukkan ke
dalam perhitungan. Area of Interest kemudian akan dibentuk menjadi planning
unit dengan satuan bentuk berupa heksagon.
Menurut Loss (2006) bentuk yang dapat diadopsi sebagai satuan dalam
planning unit yaitu segitiga, persegi empat, dan heksagon. Bentuk heksagon
dipilih karena merupakan bentuk yang paling natural dan lebih mendekati
lingkaran (Gaselbarcht et al, 2005 dalam Loss, 2006) sehingga memiliki rasio tepi
yang rendah. Selain itu, planning unit yang menggunakan heksagon akan
memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan planning unit lainnya
14
Pada Gambar 3 dapat dilihat planning unit di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban yang berada pada 2°5′2.4″ – 2°18′57.6″ LU dan 118°30′14.4″ – 118°44′16.8″ BT. Luas heksagon yang diterapkan pada planning unit untuk digunakan sebagai dasar perhitungan analisis KKL penelitian ini adalah 5 ha. Luas tersebut untuk heksagon yang memiliki bentuk sempurna. Dalam hal ini
ada juga bentuk heksagon yang tidak sempurna karena mengalami proses cropping untuk disesuaikan dengan AOI yang digunakan. Tiap heksagon yang dibentuk kemudian akan memiliki unit ID yang berbeda. Unit ID heksagon ini akan menjadi dasar penghitungan Marxan untuk menentukan wilayah KKL, setelah heksagon tersebut di input data fitur konservasi dan fitur cost.
3.3 Alat dan Bahan
Bahan penelitian berupa citra dan data yang dibutuhkan sebagai input
Marxan diperoleh dari Joint Program Marine Berau The Nature Conservancy
(TNC) – World Wildlife Fund For Nature (WWF). Citra yang digunakan
merupakan Citra Aster tahun 2004 yang telah terkoreksi. Daftar alat dan bahan beserta fungsinya dapat dilihat pada Tabel 2.
Data pola pemanfaatan diperoleh juga dari tim monitoring Joint Program
TNC-WWF melalui kegiatan monitoring resources use yang dilakukan setiap
satu bulan dua kaliuntuk mengetahui daerah tangkap nelayan dalam
memanfaatkan sumberdaya perikanan (fishing ground). Pemanfaatan habitat
[image:39.595.112.511.117.361.2]
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan Bahan Fungsi
Komputer Menyimpan dan memanipulasi data
Perangkat Lunak image processing Mengolah citra satelit
Perangkat Lunak Marxan Menghasilkan alternatif solusi KKL
Extension tambahan untuk Arc View Mengolah data
Kamera dan video Dokumentasi
Scuba set Observasi lapangan
Global Positioning System Menentukan koordinat
Citra Aster tahun 2004 Input data marxan
Data hasil survei ekologi Input data marxan
Data pola pemanfaatan perikanan Input data marxan
Data dive site Input data marxan
3.4 Pengolahan Citra Satelit
Citra yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra Aster tahun 2004.
Citra yang didapat telah terkoreksi baik secara radiometrik maupun secara
geometrik. Citra Aster yang telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik
diklasifikasi dengan menggunakan ER Mapper dengan menggunakan proses
klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Proses klasifikasi ini
kemudian akan menghasilkan beberapa kelas habitat yang kemudian akan diolah
kembali dengan menjadi beberapa shape file yaitu mangrove, lamun, dan terumbu
karang dengan menggunakan program Arc view. Shape file tersebut kemudian
akan dijadikan fitur konservasi untuk merancang sebuah Kawasan Konservasi
3.5 Alur Kerja Marxan
Penelitian ini menggunakan perangkat Marxan sebagai alat untuk membantu
penentuan Kawasan Konservasi Laut. Metode ini telah banyak digunakan di
beberapa negara. Misalnya Australia. Indonesia juga telah menerapkan metode ini
untuk zonasi Taman Nasional wkatobi, Sulawesi Tenggara. Data yang digunakan
kemudian akan diintegrasikan dengan menggunaan perangkat Marxan. Alur kerja
Marxan dapat dilihat pada Gambar 4.
Marxan membutuhkan input berupa data spasial ekologi, pola pemanfaatan
dan pengelolaan. Informasi atau data tersebut diperoleh berdasarkan hasil survei
sebelumnya yang dilakukan oleh Joint Program Marine Berau TNC-WWF.
Kemudian data tersebut digunakan sebagai input Marxan sesuai dengan
kebutuhan dan keperluan yang akan dikembangkan sebagai skenario konservasi.
Target konservasi merupakan ekosistem utama di dalam KKL seperti
terumbu karang, padang lamun, gosong pasir, mangrove (Wiryawan, 2007).
Target konservasi ditetapkan sesuai dengan kebutuhan akan jenis ekosistem dan
biota yang dirasa perlu dikonservasi. Penentuan target konservasi dilihat
berdasarkan nilai estetika, nilai ekologis, dan nilai ekonomis tiap target
konservasi tersebut. Nilai-nilai tersebut menjadi bahan pertimbangan bahwa
target tersebut harus dikonservasi. Masing-masing nilai yang terkandung
diperoleh berdasarkan referensi literatur lain yang menyebutkan bahwa target
tersebut memiliki potensi nilai-nilai yang menjadi bahan pertimbangan.
20
Gambar 4. Alur Kerja Marxan
Area of Interest
Habitat Layer
Cost layer
Spesies Penalty Factor
Unit
Marxan
Dive site
Fishing GroundSelected
Unselected
i=1 n
i=1 n
Pola pemanfaatan perikanan merupakan sebuah bentuk kegiatan eksploitasi yang memiliki dampak terhadap suatu kawasan. Tiap daerah memiliki jenis pola pemanfaatan yang berbeda. Penentuan pola pemanfaatan dilakukan dengan cara meninjau secara langsung ke lapangan. Survei ekologi, pola pemanfaatan, dan status pengelolaan, dilakukan untuk memenuhi kebutuhan data sebagai input data dari marxan. Data-data yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan Marxan sehingga setelah itu akan didapatkan output berupa solusi alternatif.
3.6 Penentuan Kawasan Konservasi Laut (KKL)
Dalam penentuan kawasan konservasi perlu ditentukan efektivitas suatu wilayah yang dicalonkan untuk menjadi wilayah Kawasan Konservasi Laut. Efektivitas tersebut ditentukan oleh nilai fitur cost dan fitur konservasi yang digunakan sebagai input algoritma Marxan yang ditunjukkan pada persamaan (1). Penentuan Kawasan Konservasi Laut dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan algoritma simmulated annealing, dimana nilai hasil perhitungan yang memiliki nilai lebih rendah merupakan solusi yang lebih baik (Ball dan Possingham, 2000).
Total Cost = ΣCost + (BLM *ΣBoundary) + Σ(SPF*Penalty)...(1) Keterangan:
Cost: Nilai cost (biaya) yang terpilih di planning unit yang dapat diukur BLM: Boundary Length Modifier, adalah kontrol penting dari batas relatif
n
i=1
SPF: Spesies Penalty Factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty apabila target tiap-tiap spesies tidak terpenuhi Penalty: Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektif untuk setiap target
tidak terpenuhi, penalty ini opsional, dapat tidak dimasukan kedalam fungsi obyektif.
i: Unit ID poligon
n: Unit ID poligon terakhir
Nilai Σcost diatas merupakan nilai yang berasal dari fitur cost. Nilai tersebut diturunkan dari persamaan (2) yang diperoleh dari hasil percobaan Marxan sebelumnya dan merujuk pada rancangan Kawasan Konservasi Laut Pulau Weh (Herdiana et al., 2008)
3.6.1 Fitur Konservasi dan Fitur Cost
Fitur konservasi yaitu parameter ekologi baik berupa ekosistem, spesies tertentu, atau keanekaragaman biofisik lainnya yang direncanakan masuk ke dalam salah satu tujuan yang akan dikonservasi. Fitur konservasi yang digunakan untuk merancang kawasan konservasi laut Pulau Maratua dan Pulau Kakaban ada tiga buah yaitu mangrove, terumbu karang, dan lamun.
Fitur cost adalah data tentang kondisi sosial ekonomi yang keberadaannya di suatu satuan perencanaan akan menaikkan biaya pengelolaan daerah tersebut. Rancangan KKL dalam penelitian ini menggunakan data resource use sebagai fitur cost yang digunakan dalam perhitungan Marxan. Jumlah dan jenis fitur disesuaikan dengan tujuan pembentukan kawasan konservasi laut.
Dari hasil diskusi dan percobaan sebelumnya digunakan persamaan nilai cost seperti ditunjukkan pada persamaan (2) :
TCV = 2DS + 8RU...(2) Keterangan:
3.6.2 Nilai Target Konservasi dan Spesies Penalty Factor (SPF)
[image:44.595.114.514.448.642.2]Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan menggunakan Marxan membutuhkan input data berupa jumlah target yang akan dikonservasi dan nilai Spesies Penalty Factor dari tiap fitur konservasi yang digunakan sebagai target Marxan. Nilai-nilai tersebut didapatkan dari referensi penelitian sebelumnya. Namun nilai tersebut tidak otomatis digunakan secara langsung dalam penelitian yang berbeda, nilai tersebut butuh disesuaikan lagi dengan kondisi lingkungan penelitiannya. Herdiana, Campbel, dan Baird (2008) melakukan perencanaan kawasan konservasi laut di Pulau Weh dan Pulau Aceh, dan membagi membuat nilai target konservasi dan Spesies Penalty Factor-nya menjadi 32 kelas (Tabel 3).
Tabel 3. Nilai Target dan SPF Wilayah konservasi Pulau Weh dan Pulau Aceh
3.6.3 Input File Marxan
CLUZ yang merupakan singkatan dari Conservation Land Using Zoning adalah salah satu tools digunakan untuk menyiapkan data yang ada digunakan sebagai input Marxan.
Gambar 5. Alur File Tabuler Untuk Input Marxan dengan ArcView dan Cluz
Seperti yang tampak pada Gambar 5, secara umum proses penyiapan data untuk Marxan terfokus pada 3 buah shapefile. Shapefile yang dimaksud itu adalah Planning units (PU.shp), Abundance (Habitat.shp) dan Cost surface (Cost.shp). File tersebut dihasilkan setelah proses pembuatan heksagon lengkap dengan proses cropping dengan AOI dilakukan. Dari tiga file tersebut akan dibuat file tabuler yang akan digunakan sebagai input dalam menjalankan Marxan. File Planning units (PU.shp), Abundance (Habitat.shp) dan Cost Surface(Cost.shp) adalah shapefile heksagon dengan wujud yang serupa namun akan berbeda fungsi dan isi tabelnya. Untuk selanjutnya dalam uraian di bawah ini akan dibahas dan dijelaskan file dan tabel secara lebih detail.
menjadi input Marxan. Dari file-file tersebut, Bound.dat merupakan salah satu file arbitrary input Marxan disamping file Block.dat.
Abundance adalah tabel yang berisi seluruh data distribusi fitur konservasi (conservation features) yang berbeda. Tabel abundance dibuat dari pengolahan tabel atribut habitat.shp. Tabel target adalah tabel yang mendeskripsikan
informasi mengenai target fitur-fitur konservasi, jumlah dari setiap fitur koservasi yang ada di planning units berikut dengan statusnya. Planning units perlu dibuat untuk membatasi area yang akan di analisis atau yang akan dibuat perencanaan konservasinya. Karena tidak semua area yang ada pada setiap peta-peta parameter konservasi tersebut dipergunakan. Sebagai contoh, area yang akan direncanakan adalah wilayah laut, oleh sebab itu planning units hanya dibuat untuk wilayah tersebut, sementara wilayah daratan (main land) sebaiknya tidak diikutsertakan dalam proses analisis. Cost Layer akan merujuk pada Shapefile Cost.shp yang digunakan untuk menyimpan fitur-fitur yang merupakan parameter Cost dalam perencanaan kawasan perlindungan laut. Perlu diketahui bahwa biaya (Cost) dalam analisis Marxan menentukan individual planning units yang akan
digunakan dalam perhitungan solusi total. Besarnya cost dapat berdasarkan area planning units, cost sosial-ekonomi atau kombinasi dari keduanya. Miller et al. (2003) dalam Loos (2006) memberikan nilai cost berdasarkan tingkatan kewajaran dan pengaruh manusia dalam planning unit. Isi dari Boundary Length File adalah informasi panjang batas untuk planning unit yang berdekatan. Penggunaan informasi ini dalam analisis Marxan bersifat opsional.
fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan. Menurut
Possingham (2000) nilai BLM dipilih bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis yang dilakukan. Dengan kata lain pengaturan BLM ini dapat dilakukan dengan memperhatikan geometri daerah kajian dan dipilih dari BLM yang dapat menghasilkan fitur solusi yang lebih mengumpul. Pengaturan BLM yang fleksibel ini dapat memberian keleluasaan perencana kawasan konservasi dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan.
3.7 Skenario Kawasan Konservasi Laut.
Skenario Kawasan Konservasi Laut adalah alternatif solusi yang ditawarkan untuk merancang desain Kawasan Konservasi Laut. Skenario tersebut didapatkan dari hasil perhitungan Marxan berdasarkan target konservasi yang
[image:47.595.115.510.515.663.2]berbeda-beda. Target konservasi masing masing skenario dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Target Konservasi Skenario Kawasan Konservasi Laut Target Konservasi (%) Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Mangrove 30 20 20 25 25
Padang Lamun 20 20 30 15 25
Terumbu Karang 50 60 50 60 50
karang 50%. Skenario 2 memiliki target konservasi mangrove 20%. padang lamun 20%. dan terumbu karang 60%. Skenario 3 ditetapkan untuk
mengkonservasi kawasan mangrove 20%, padang lamun 30%, dan terumbu karang 50%. Skenario 4 memiliki target konservasi mangrove 25%, padang lamun 15%, dan terumbu karang 60%. Skenario 5 ditetapkan akan
mengkonservasi wilayah mangrove seluas 25%, padang lamun 25%, dan terumbu karang 50%. Persentase tersebut merupakan persentase dari total luas target yang menjadi fitur konservasi (data tentang keanekaragaman biofisik yang akan dilindungi) dalam Area of Interest.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Habitat Berdasarkan Data Aster
Hasil klasifikasi berupa sebaran dan luas beberapa tipe habitat ditunjukkan pada Gambar 6. Jumlah kelas yang digunakan pada awal proses pengklasifikasian dengan mengunakan ER Mapper adalah 40 kelas, yang kemudian disederhanakan menjadi delapan kelas. Tampilan peta klasifikasi habitat (Gambar 6) hanya menunjukkan enam tipe habitat karena Pulau Maratua dan Pulau Kakaban merupakan AOI penelitian. Dengan demikian dua kelas yang termasuk wilayah perbatasan wilayah terumbu karang ke arah luar pulau tidak diikutsertakan ke dalam peta habitat. Peta klasifikasi habitat tersebut menunjukan ada enam tipe habitat yaitu danau, gosong karang, terumbu karang, laguna, padang lamun, dan vegetasi darat. Enam tipe habitat tersebut tersebar dengan luas yang beragam.
Danau memiliki total luas 487,14 ha. Ada tiga buah danau yang terlihat pada Gambar 6, satu di Pulau Kakaban dan dua di Pulau Maratua. Habitat gosong karang yang ditunjukkan oleh warna biru memiliki luas 4.124,04 ha. Gosong ini banyak tersebar di sebelah tenggara Pulau Maratua. Terumbu karang terlihat mengelilingi Pulau Maratua dan Pulau Kakaban (Gambar 6). Habitat terumbu karang ditunjukan oleh warna kuning dengan luas 2.488,66 ha. Habitat laguna hanya ada di Pulau Maratua dan tidak ada di Pulau Kakaban. Luas laguna tersebut mencapai 8.307,11 ha. Habitat lamun yang ditunjukkan oleh warna hijau mencapai luas 114,29 ha, kemudian vegetasi darat yang ditunjukkan oleh warna biru gelap memiliki luas 2.942,86 ha.
[image:50.842.144.748.87.510.2]
Mangrove adalah salah satu fitur konservasi yang digunakan dalam
rancangan Marxan. Namun klasifikasi unsupervised dengan menggunakan ER
Mapper tidak dapat membedakan wilayah mangrove dan vegetasi darat yang
saling berhimpitan. Berdasarkan hasil klasifikasi data Aster, hanya terumbu
karang dan lamun yang menjadi fitur konservasi dalam rancangan wilayah KKL
dengan menggunakan Marxan, sedangkan untuk sebaran mangrove digunakan
sumber data lain yang disesuaikan dengan hasil ground check.
4.2 Fitur Konservasi Pulau Maratua dan Kakaban
Pulau Maratua memiliki tiga fitur konservasi yang digunakan dalam
rancangan Kawasan Konservasi Laut (KKL) yaitu terumbu karang, mangrove, dan
lamun. Survei terumbu karang di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban dengan
menggunakan protokol reef health di 14 lokasi pengamatan menunjukan hasil
berupa penutupan karang keras berkisar antara 23,3–77,8%. Histogram
penutupan karang keras di 14 lokasi pengamatan reef health di Pulau Maratua
dapat dilihat pada Gambar 7.
Penutupan karang keras yang paling tinggi ada di Tanjung Bahaba dengan
nilai mencapai 77,8%, sedangkan penutupan paling kecil berada di CCM
Paradise dengan nilai hanya 23,3%. Kisaran penutupan karang menunjukkan
kondisi terumbu karang yang tergolong kategori buruk sampai sangat baik,
berdasarkan kriteria Gomez and Yap (1988) in Kenchington.
Dari Gambar 8 kita dapat melihat bahwa terumbu karang tersebar di
perbatasan planning unit Pulau dan Atol Maratua. Hutan mangrove, merupakan
vegetasi pantai tropis yang yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2002), yang terdapat di Desa
Payung-payung Pulau Maratua memiliki luas 5,82 ha. Daratan di Pulau Maratua
ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi low land forest dan tumbuh mendominasi
hutan di Pulau Maratua.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh tim P2O LIPI pada tahun
2003 disebutkan bahwa penutupan padang lamun yang ada di Pulau Maratua
berkisar antara 5–80%. Ada tujuh jenis lamun yang ditemukan oleh tim, yaitu
Enhalus acoroides, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia, dengan
jenis yang dominan adalah Halodule uninervis dan Halodule pinifolia.
Berdasarkan hasil klasifikasi Citra Aster tahun 2004 didapatkan luas padang
lamun yang berada di Pulau Maratua mencapai 114,29 ha dan tersebar di beberapa
32
Berdasarkan hasil klasifikasi citra Aster untuk wilayah pesisir Pulau
Kakaban hanya didapatkan dua fitur konservasi, dari tiga yang direncanakan,
yaitu padang lamun dan terumbu karang. Menurut Ismuranty et al. (2006)
vegetasi mangrove di Pulau Kakaban berada di tepian Danau Kakaban, yang
tidak termasuk ke dalam planning unit sehingga tidak dikutsertakan dalam
penelitian ini.
Terumbu karang di Pulau Kakaban menyebar di sepanjang sisi luar Pulau
dan Atol Kakaban, survei terumbu karang dengan dengan menggunakan reef
health protocol di lima titik pengamatan menunjukkan bahwa penutupan karang
keras tertinggi ada di Kakaban 2 dengan nilai 59,7%. Penutupan karang keras
yang paling rendah di Pulau Kakaban teramati di Kakaban Timur sebesar 31%.
Persen penutupan karang keras di lima titik pengamatan yang ada di Pulau
Kakaban dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Histogram Penutupan Karang Keras di Pulau Kakaban
Padang lamun yang berada di Pulau Kakaban total luasnya mencapai 16,10
ha. Nilai tersebut didapat berdasarkan hasil klasifikasi citra. Gambar 10
menunjukkan sebaran terumbu karang juga menunjukkan sebaran lamun yang ada
di Pulau Kakaban. Pada gambar tersebut dapat dilihat lamun yang terdapat di
34
37
4.3 Skenario Kawasan Konservasi laut
Berdasarkan hasil olahan Marxan dengan menggunakan tiga fitur
konservasi dan dua fitur cost dihasilkan lima skenario Kawasan Konservasi Laut.
Tiap skenario memiliki wilayah terpilih KKL (selected area) dan tidak terpilih
(unselected area) dengan luas yang berbeda-beda. Kelima skenario tersebut
merupakan solusi alternatif yang ditawarkan Marxan untuk perancangan Kawasan
Konservasi Laut, masing-masing menawarkan target konservasi yang
berbeda-beda untuk tiap fitur konservasi yang digunakan. Lima skenario yang dihasilkan
merupakan hasil pengembangan dari banyak skenario lain yang hasilnya disajikan
pada Lampiran 1. Kelima skenario akhir yang terpilih merupakan skenario yang
telah memenuhi target konservasi yang ditetapkan seperti dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Skenario 1 yang dihasilkan Marxan untuk Pulau Maratua dan Pulau
Kakaban memiliki luas wilayah terpilih 3204 ha. Gambar 13 dan Gambar 14
merupakan peta skenario KKL yang dihasilkan Marxan di Pulau Maratua dan
Pulau Kakaban. Warna kuning merupakan area yang dipilih Marxan sebagai
wilayah KKL sedangkan warna merah merupakan area yang tidak terpilih.
Skenario 1 memiliki target konservasi mangrove 30%, padang lamun 20%, dan
terumbu karang 50%. Persentase tersebut merupakan persentase luas wilayah
dari masing-masing fitur konservasi yang ada di Pulau Maratua dan Pulau
Kakaban. Luas wilayah yang terpilih Marxan di Pulau Maratua mencapai
3201,81 ha sedangkan luas wilayah terpilih Marxan di Pulau Kakaban adalah
2.24 ha. Total luas wilayah terpilih di pulau Maratua dan Kakaban mencapai
Berdasarkan peta Skenario 1 KKL di Pulau Maratua (Gambar 13) dapat
dilihat area terpilih berada disekitar titik Sekean, Tanjung Juata, Langat-langat,
dan Payung-payung. Pengamatan kondisi terumbu karang tahun 2007 dengan
menggunakan Reef Health Protocol mengukur persen penutupan karang yang ada
di Sekean, Tanjung Juata, Langat-langat, dan Payung-Payung berkisar antara
42,3-59%. Diantara keempat titik tersebut Sekean memiliki nilai penutupan
karang keras yang paling tinggi dengan nilai 59%, sedangkan nilai penutupan
karang keras yang paling kecil berada pada titik payung-payung dengan nilai
penutupan 42,3% (Lampiran 3).
Turak (2003) menyebutkan ada beberapa genus karang keras yang di
temukan di Tanjung Juata diantaranya, Stylocoeniella, Pocillopora, Seriatopora,
Montipora, dan Acropora. Payung-payung memiliki jenis karang keras tidak jauh
berbeda dengan Tanjung Juata. Di Payung –payung masih dapat dijumpai genus
karang Acropora, Seriatopora, Alveopora, dan Goniopora (Turak, 2003).
Area terpilih Marxan di Pulau Kakaban untuk Skenario 1 hanya 3% dari
total wilayah yang ada di Pulau Kakaban. Area terpilih tersebut berada di sekitar
titik Kakaban 3 dan Kakaban bagian timur berdasarkan titik pengamatan Reef
Health Protocol. Berdasarkan pengamatan tersebut diketahu bahwa nilai
penutpan karang keras di Kakaban 3 adalah 55% dan di Kakaban bagian timur
adalah 31%.
Genus karang yang dapat ditemukan di kedua titik tersebut antara lain
Alveopora, Goniopora, Porites, Echinopora, Cyphastrea, Leptastrea, Montastrea,
41
Skenario 2 memiliki target konservasi mangrove 20%, padang lamun 20%,
dan terumbu karang 60%. Skenario tersebut menghasilkan luas wilayah terpilih
3682,29 ha. Peta skenario KKL yang dihasilkan Marxan ditunjukkan pada
Gambar 15 dan Gambar 16. Luas wilayah terpilih di Pulau Maratua adalah
3682,29 ha atau sebesar 25% dari AOI yang digunakan. Pulau Kakaban memiliki
5% wilayah terpilih atau sebesar 3,80 ha (Gambar 16) dari AOI yang ada di Pulau
Kakaban. Total luas wilayah terpilih di kedua pulau tersebut mencakup 25,68%
wilayah terpilih dari total wilayah kajian (planning unit).
Pada Skenario 2, Area terilih Marxan berada di sekitar titik Tanjung Juata,
Bakungan, Bakungan Kecil, Bakungan Besar, Sekean, Payung-payung, dan
Lumantang. Nilai Penutupan karang keras titik-titik pengamatan tersebut secara
berturut-turut mulai dari Tanjung Juata sampai Lumantang adalah 59%, 43,7%,
36,3%, 65,3%, 55%, 42,3%, dan 70%. Nilai penutupan karang keras tertinggi ada
di Lumantang sedangkan yang paling rendah ada di Bakungan Kecil. Genus
Karang yang dapat ditemui di antara ketujuh titik pengamatan tersebut antara lain
Acropora, Goniopora, Alveopora, Montipora, Goniastrea, Pocillopora, dan
Stylophora (Turak, 2003).
Pulau Kakaban memiliki 5% area terpilih Marxan sebagai KKL pada
Skenario 2. Area Tersebut berada di dekat titik Kakaban bagian timur dan
Kakaban 2 untuk pengamatan terumbu karang dengan menggunakan Reef Health
Protocol. Kakaban 2 memiliki nilai penutupan karang keras 59,7% dan Kakaban
bagian timur 31%. Genus karang yang dapat ditemui di kedua titik tersebut antara
lain, Stylocoeniella, Pocillopora, Seriatopora, Stylophora, dan Montipora (Turak,
43
Luas wilayah terpilih Skenario 3 mencakup 21,41% dari total luas wilayah
kajian yang ada di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban. Skenario 3 menggunakan
target konservasi mangrove 20%, padang lamun 30%, dan terumbu karang 50%.
Target konservasi tersebut menghasilkan 3275 ha area terpilih untuk menjadi
Kawasan Konservasi Laut. Peta kawasan konservasi Skenario 3 ditunjukkan oleh
Gambar 17 dan Gambar 18. Wilayah terpilih di Pulau Maratua adalah 3268,79
ha, dan di Pulau Kakaban 6,32 ha.
Skenario 3 Marxan di Pulau Maratua memilih area di sekitar titik Boha
Beong, Tanjung Juata, Sekean, dan Bakungan Kecil sebagai area terpilih kawasan
konservasi. Berdasarkan pengamatan Reef Health Protocol diketahu bahwa nilai
penutupan karang keras di Boha Beong 66%, Tanjung Juata 59%, Sekean 55%,
dan Bakungan Kecil 36,3% . Nilai penutupan karang keras paling besar di antara
keempat titik tersebut ada di Boha Beong sedangkan yang paling kecil ada di
Bakungan Kecil. Genus karang yang dapat ditemui di keempat titik tidak begitu
berbeda dengan yang ada di Skenario 1 dan Skenario 2 antara lain, Styloceniella,
Pocillopora, Seriatopora, Stylophora, Montipora, Acropora, Astreopora,
Euphyllia, Physogyra, dan Psammocora (Turak, 2003).
Area terpilih untuk Skenario 3 di Pulau Kakaban mencapai 8%. Area
tersebut berada di sekitar titik Kakaban 2 dan Kakaban bagian timur sama seperti
Skenario 2 namun dengan lus yang berbeda. Kakaban 2 memiliki nilai penutupan
karang keras 59,7% dan Kakaban bagian timur 31%. Genus karang yang dapat
ditemukan di kedua titik tersebut antara lain, Stylocoeniella, Pocillopora,
47
Target konservasi yang digunakan untuk Skenario 4 adalah mangrove 25%,
padang lamun 15%, dan terumbu karang 60%. Dari target tersebut Skenario 4
Marxan menghasilkan 24,65% dari total luas wilayah kajian di Pulau Maratua dan
Pulau Kakaban. Warna kuning yang ditunjukkan oleh Gambar 19 merupakan area
yang dipilih Marxan untuk menjadi wilayah KKL di Pulau Maratua. Area terpilih
KKL di Pulau Maratua adalah 3766,57 atau sebesar 25% dari total wilayah kajian
yang ada di Pulau Maratua. Area terpilih di Pulau Kakaban mencapai 6% dari
total wilayah kajian yang ada di Pulau Kakaban atau sebesar 4,58 ha. Area terpilih
Skenario 4 yang ada di Pulau Kakaban ditunjukkan oleh Gambar 20.
Skenario 4 Marxan di Pulau Maratua memilih 25 % dari total wilayah kajian
yang ada di Pulau Maratua, Area terpilih tersebut berada di sekitar titik, Tanjung
Juata, Sekean, Lumantang, Payung-payung, Boha Beong, Langat-langat,
Bakungan, dan Bakungan Kecil. Dari kedelapan titik tersebut Lumantang
memiliki nilai penutupan karang keras yang paling besar yaitu 70%. Bakungan
Kecil memiliki nilai penutupan karng keras yang paling kecil yaitu 36,3%. Genus
karang yang dapat ditemui delapan titik pengamatan tersebut antara lain,
Pocillopora, Seriatopora, Stylophora, Montipora, Acropora, Astreopora,
Galaxea, Psammocora, Pavona, Leptoseris, Pachyseris, dan Fungia (Turak,
2003).
Area terpilih di Pulau Kakaban untuk Skenario 4 mencapai 6% di sekitar
titik Kakaban bagian timur. Genus karang yang dapat ditemukan di titik ini antara
lain Stylocoeniella, Montipora, Acropora, Euphyllia, dan Astreopora (Turak,
49
Skenario 5 menggunakan target konservasi untuk mangrove 25%, padang
lamun 25%, dan terumbu karang 50%. Skenario 5 Marxan menghasilkan 20,44%
area terpilih dari total wilayah kajian yang ada di Pulau Maratua dan Pulau
Kakaban. Gambar 21 dan Gambar 22 menunjukkan KKL yang dihasilkan
Skenario 5. Hasil analisis Skenario 5 Marxan di Pulau Maratua menghasilkan
3119,74 ha atau 20% wilayah terpilih untuk menjadi Kawasan Konservasi Laut.
Di Pulau Kakaban terpilih 7,99 ha atau 10 % dari wilayah kajian yang ada di
Pulau Kakaban untuk menjadi Kawasan Konservasi Laut. Total luas wilayah
terpilih dari Pulau Maratua dan Kakaban adalah 3128 ha atau mencapai 20,44%
dari total wilayah kajian di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban.
Area terpilih Marxan pada Skenario 5 mencapai 20% di Pulau Maratua.
Area tersebut berada di sekitar Tanjung Juata, Sekean, Payung-payung, dan
Bakungan. Nilai penutupan karang keras Tanjung Juata 59%, Sekean 55%,
Payung-payung 42,3%, dan Bakungan 43,7%. Area terpilih di sekitar Sekean
memiliki wilayah yang paling besar dibanding ketiga titik yang lainnya. Namun
nilai penutupan karang keras yang paling tinggi ada di Tanjung Juata. Genus
karang yang dapat ditemukan di keempat titik pengamatan antara lain Acropora,
Stylocoeniella, Pocillopora, Astreopora, dan Galaxea (Turak, 2003)
Di Pulau Kakaban Marxan memilih 10% wilayah kajian. Area tersebut
berada disekita Kakaban bagian timur dan Kakaban 1. Kakaban bagian timur
memiliki nilai penutupan karang keras 31 % dan Kakaban 1 nilai penutupan
karang kerasnya adalah 55,7%. Genus karang yang dapat ditemui di Kedua titik
tersebut antara lain Alveopora, Goniopora, Porites, dan Echinopora (Turak,
53
Dari kelima hasil skenario Marxan total luas wilayah yang terpilih sebagai
wilayah rekomendasi wilayah KKL berkisar antara 20.44–25.27%. Skenario 5
dengan target konservasi mangrove 25%, padang lamun 25%, dan terumbu karang
50% menghasilkan luas area terpilih 20,44% dari wilayah kajian yang digunakan
Luas area tersebut merupakan luas wilayah terkecil yang dihasilkan Marxan dari
kelima skenario yang dihasilkan. Skenario 2 adalah skenario yang menghasilkan
area terpilih yang paling besar yaitu 3682,29 ha atau mencapai 25,27% dari total
wilayah kajian. Persentase luas wilayah yang dipilih oleh Marxan dapat dilihat
pada Tabel 5. Area yang dipilih oleh Marxan merupakan area dengan nilai cost
[image:74.595.132.467.379.504.2]yang kecil, dengan tujuan membuat rancangan KKL yang efektif untuk dikelola.
Tabel 5. Luas Kawasan Konservasi Laut (KKL) yang terpilih oleh Marxan
Skenario Luas Area Terpilih (%)
1 20.94
2 25.27
3 21.41
4 24.65
5 20.44
Selang persentase wilayah area KKL yang terpilih tersebut telah memenuhi
syarat pembentukan sebuah KKL. Menurut Beck (2003) sebuah wilayah
konservasi dapat dibentuk dengan wilayah 10-40% dari total area. KKL dengan
persentase wilayah antara 20,44-25,27% telah dapat memenuhi syarat
pembentukan sebuah kawasan Konservasi Laut. Persentase wilayah tersebut telah
memenuhi beberapa tujuan pembentukan KKL, yaitu KKL sebagai alat untuk
menjaga ethic (Ballantine, 1997 dalam NAS, 2001), KKL sebagai alat untuk
untuk memelihara keanekaragaman genetik (Trexler dan Travis, 2000 dalam
NAS, 2001).
Hasil kelima skenario di atas menunjukan bahwa kawasan DPL banyak
dilingkupi daerah terumbu karang untuk memenuhi target konservasi area
terumbu karang yang mencapai 50–60%. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menjaga stok ikan yang ada di sekitar kawasan, karena menurut Fish Base (2004)
60% dari stok ikan yang digunakan untuk konsumsi masyarakat berasal dari ikan
yang berasosiasi dengan terumbu karang.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pulau Maratua dan Pulau Kakaban memiliki beberapa tipe habitat pesisir
dan laut, beberapa diantaranya yang diidentifikasi dengan menggunakan data
Aster adalah Terumbu karang (2.488,66 ha), danau (487,14 ha), lamun (114,29
ha), gosong (4.124, 04 ha), laguna (8.307,11 ha), dan vegetasi darat (2.942,86
ha). Dari data Aster tersebut tipe habitat Terumbu karang dan lamun digunakan
sebagai fitur konservasi untuk merancang KKL di Pulau Maratua dan Kakaban.
Kawasan Konservasi Laut yang dihasilkan Marxan dalam penelitian ini
menghasilkan lima rancangan skenario kawasan konservasi laut. Dari kelima
hasil tersebut daerah terumbu karang yang terletak sekitar pinggir planning unit
baik itu di Pulau Maratua maupun di Pulau Kakaban menjadi kawasan yang
cenderung dipilih oleh Marxan, namun walaupun di dominasi didaerah terumbu
karang, kawasan tersebut telah dapat memenuhi target konservasi dari
masing-masing fitur konservasi yang lain.
Skenario yang dihasilkan Marxan akan terbagi menjadi dua wilayah
yaitu wilayah terpilih (selected area) dan tidak terpilih (unselected area). Wilayah
yang terpilih adalah wilayah yang direkomendasikan menjadi Kawasan
Konservasi Laut. Skenario 1 sampai Skenario 5 memiliki luas wilayah terpilih
5.2 Saran
Penentuan wilayah Kawasan Konservasi Laut dengan menggunakan
perangkat lunak Marxan membutuhkan fitur konservasi dan fitur cost. Fitur
tersebut digunakan untuk tahap pengidentifikasian tipe habitat dan sumber
degradasi lingkungan. Saran untuk penelitian selanjutnya di Pulau Maratua dan
Pulau Kakaban adalah menambahkan jumlah dan jenis data fitur konservasi dan
fitur cost sehingga ruang lingkup wilayah kajian dapat diperluas. Selain itu
disarankan untuk melakukan analisis lebih lanjut terhadap dengan melakukan
DAFTAR PUSTAKA
Aronoff, S. 1989. Geographic Information System : A Management Perspective. Canada : WDL Publication Ottawa.
Aster-Indonesia. 2009. ASTER. Jakarta. http://Aster-indonesia.com/ [16 Agustus 2009]
Andrefouet, S., Kramer, P., Pulliza, D. T., Joyce, K. E., Hochber, E. J., Perez, R. G., Mumby, P. J., Riegl B., Yamano, H., White , W.H., Zubia, M., Cr