• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGHUM

Oleh : ARVI FELICIA

F24102102

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Arvi Felicia. F24102102. Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum. Di bawah bimbingan : Ir. Sutrisno Koswara, MSi. 2006.

RINGKASAN

Sorghum bicolor (L.) Moench merupakan tanaman serealia yang tergolong dalam famili Graminae. Tanaman lain yang tergolong famili Graminae antara lain padi, jagung, tebu, gandum, dan barley. Sorghum memiliki istilah yang berbeda-beda tiap daerah. Sebagai contoh, sorghum dikenal dengan nama ’cantel’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ’jagung cantrik’ di daerah Jawa Barat, dan ’batara tojeng’ di Sulawesi Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk sereal sarapan berbasis sorghum dalam rangka turut mendukung program diversifikasi pangan Sasaran dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi sereal sarapan pagi berbasis sorghum yang paling disukai konsumen sehingga dapat dijadikan suatu model untuk pengembangan produk pangan non-beras/ non-gandum di Indonesia. Bentuk sereal sarapan yang akan dikembangkan adalah minuman sereal sarapan siap santap.

Penelitian ini terdiri dari empat tahap. Tahap pertama adalah pembuatan sorghum flakes. Proses pembuatan sorghum flakes yang paling efektif dan efisien berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut : sorghum dicuci bersih lalu ditambah air dengan perbandingan air : sorghum sebesar 2 : 1, lalu sorghum dimasak menggunakan retort selama 15 menit dengan suhu 120 oC. Setelah itu sorghum didinginkan selama kurang lebih 15-20 menit, kemudian dikeringkan menggunakan drum drier dengan jarak roller sekitar 0.5 mm. Sorghum kering hasil drum drier dikecilkan ukurannya menggunakan dry blender sehingga didapat serpihan-serpihan (flakes) sorghum.

Tahap kedua adalah pembuatan formula untuk sereal sarapan sorghum. Komposisi sereal sarapan yang akan diuji adalah gula, creamer, coklat bubuk, vanila, garam, CMC, dan sorghum flakes. Semua bahan-bahan dicampur dalam keadaan kering (dry mixing). Formula yang akan diuji berjumlah enam formula dengan 2 peubah, yaitu persentase jumlah gula dan coklat bubuk. Persentase gula terdiri dari tiga tingkat, yaitu 6%, 8%, dan 10%, sedangkan coklat bubuk terdiri dari dua tingkat, yaitu 0.5%, dan 0.75%.

Tahap ketiga adalah pemilihan formula paling optimum dilihat dari segi organoleptik menggunakan uji hedonik serta uji rangking. Sampel target yang digunakan adalah produk sejenis yang sudah ada dipasaran. Formula paling optimum yang didapat setelah uji organoleptik adalah formula dengan persentase gula 10 % dan coklat bubuk 0.5%.

(3)

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGHUM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh ARVI FELICIA

F24102102

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGHUM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh ARVI FELICIA

F24102102

Dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1984 di Bekasi

Tanggal lulus: 29 Mei 2006

Menyetujui, Bogor, Juni 2006

Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(5)

BIODATA PENULIS

Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Howardi Somali dan Noviriyani, dilahirkan di Bekasi, 15 Desember 1984. Penulis memiliki seorang adik perempuan bernama Marvelna Vidicia yang dilahirkan lima tahun kemudian. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Santo Markus Jakarta (1990-1996), SLTP Marsudirini Jakarta (1996-1999), SMU Kristen 1 BPK PENABUR KPS Jakarta (1999-2002), dan melalui jalur SPMB, penulis melanjutkan perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor - Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2002-2006). Selain pendidikan formal, penulis juga mengikuti pendidikan non-formal dalam bidang musik, bahasa, olahraga, teknologi informatika, serta desain grafis.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif menjadi pengurus di Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB - Komisi Literatur dan Persekutuan Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis juga turut mewakili IPB dalam kejuaraan tenis meja tingkat nasional “ITB Open” tahun 2004. Untuk menunjang pendidikan formal, penulis mengikuti berbagai seminar serta pelatihan yang diadakan di kampus maupun di luar kampus.

(6)

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum” merupakan tugas akhir yang disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu daan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penekanan karya tulis ini terletak pada aspek pengembangan produk dari sorghum sehingga dapat mendukung diversifikasi pangan yang merupakan program pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan terhadap aspek penerimaan konsumen terhadap produk yang dapat dilihat dari uji organoleptik.

Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi mahasiswa maupun pihak industri dalam mengembangkan produk sorghum. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima semua kritik dan saran dari pembaca. Kritik dan saran tersebut dapat dikirimkan melalui e-mail penulis, yaitu v_eagl3@yahoo.com. Akhir kata, penulis mengharapkan agar karya tulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2006

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas kasih, anugerah, dan penyertaanNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir. Sutrisno Koswara, MSi, sebagai Dosen Pembimbing, yang telah mendampingi serta membimbing penulis selama menempuh pendidikan sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula kepada Dr. Ir. M. Arpah, MSi dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr, selaku dosen penguji. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak Iyas serta bapak Sobirin yang telah banyak membantu penulis sewaktu bekerja di Pilot Plant Seafast Center dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada keluargaku tersayang (Papa, Mama, dan Vici) atas segala doa dan dukungannya, baik moral maupun materiil. Terima kasih pula atas doa dan dukungannya kepada oma, opa, semua oom dan tante, serta saudara-saudara sepupu. Begitu pula kepada Christian atas kesabaran, semangat, serta kasih sayangnya kepada penulis.

Tak lupa penulis mengucapakan terima kasih kepada koko Tata, LEADER, FAITH, para panelis, Joseph, Fajar, mba Santi, Yessica, Inggrid, Ratry, Hanna, Anita, Randy, Anissa, Pretty, Shinta, Ribka, dan seluruh teman-teman ITP ’39, atas kesediaannya berbagi suka duka bersama penulis serta membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

(8)

DAFTAR ISI

BIODATA PENULIS ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. SORGHUM ... 4

1. Botani Sorghum ... 4

2. Struktur Biji ... 6

3. Sifat dan Komposisi Kimia Biji Sorghum ... 7

4. Potensi Sorghum Sebagai Sumber Pangan ... 9

5. Pemanfaatan Biji Sorghum Non-Pangan ... 12

B. SEREAL SARAPAN (BREAKFAST CEREAL)... 12

C. TEKNOLOGI PEMBUATAN SEREAL SARAPAN... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN... 16

A. BAHAN DAN ALAT ... 16

B. METODE PENELITIAN... 16

1. Pendahuluan... 16

a. Pembuatan Sorghum Flakes... 16

b. Perhitungan Daya Serap Air ... 17

c. Perhitungan Waktu Rehidrasi... 18

d. Persiapan Bahan-Bahan Lain ... 18

(9)

3. Pengujian Organoleptik... 18

4. Analisis Kimia ... 19

a. Kadar Air... 19

b. Kadar Abu ... 19

c. Kadar Protein... 20

d. Kadar Lemak ... 20

e. Kadar Karbohidrat ... 21

f. Kadar Serat Kasar ... 21

g. Total Fenol ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 23

A. METODE PRODUKSI SORGHUM FLAKES... 23

B. PENETAPAN FORMULA ... 28

C. UJI ORGANOLEPTIK ... 29

D. ANALISIS KIMIA ... 32

1. Kadar Air... 33

2. Kadar Abu ... 34

3. Kadar Protein... 34

4. Kadar Lemak ... 34

5. Kadar Karbohidrat ... 35

6. Kadar Serat Kasar ... 35

7. Total Fenol ... 35

E. PERBANDINGAN PRODUK "S" DAN SAMPEL TARGET... 37

V. KESIMPULAN ... 40

A. KESIMPULAN ... 40

B. SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia... 7

Tabel 2. Perbandingan hasil flakes metode A, B, dan C... 28

Tabel 3. Formula produk sereal sarapan sorghum... 29

Tabel 4. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target ... 33

Tabel 5. Informasi nilai gizi pada label sampel target ... 33

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum ... 6

Gambar 2. Pembuatan sorghum flakes metode A... 23

Gambar 3. Hasil sorghum flakes metode A ... 24

Gambar 4. Pembuatan sorghum flakes metode B dan C... 25

Gambar 5. Hasil sorghum flakes metode B... 26

Gambar 6. Hasil sorghum flakes metode C... 27

Gambar 7. Mekanisme antioksidan fenolik... 36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekapitulasi data uji hedonik atribut aroma... 46

Lampiran 2. Hasil uji hedonik formula terhadap atribut aroma ... 47

Lampiran 3. Rekapitulasi data uji hedonik atribut rasa ... 48

Lampiran 4. Hasil uji hedonik formula terhadap atribut rasa ... 49

Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik secara keseluruhan (overall)... 50

Lampiran 6. Hasil uji hedonik formula secara keseluruhan (overall) ... 51

Lampiran 7. Data rekapitulasi hasil uji ranking secara overall... 52

Lampiran 8. Hasil uji ranking formula secara keseluruhan (overall) ... 53

Lampiran 9. Formulir kuesioner uji hedonik ... 54

Lampiran 10. Formulir kuesioner uji ranking ... 55

Lampiran 11. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target ... 56

Lampiran 12. Data daya serap air dan waktu rehidrasi... 57

(13)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik dalam jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau (Winarno, 2003). Ketahanan pangan harus dijaga dan diperjuangkan karena hal ini merupakan salah satu bagian dari ketahanan nasional yang memiliki peranan sangat penting. Salah satu cara untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional adalah dengan diversifikasi pangan.

Partisipasi aktif dari pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia diperlukan untuk menyukseskan program penganekaragaman pangan. Masyarakat harus mulai dapat melepaskan ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok dan beralih kepada sumber-sumber karbohidrat lainnya. Beberapa komoditi lokal yang berpotensi sebagai makanan pokok pengganti beras adalah jagung, ubi jalar, ubi kayu, garut, kimpul, sorghum, kentang, sagu, dan lain-lain.

(14)

Makanan adalah kebutuhan fisik, dan manusia cenderung memilih makanan yang akan dimakannya sesuai dengan selera mereka. Produk sereal sarapan siap santap merupakan salah satu produk pangan yang cukup digemari oleh masyarakat yang semakin menginginkan kepraktisan serta kemudahan. Hal ini disebabkan terutama karena keterbatasan waktu pada pagi hari untuk menyiapkan makanan sarapan. Seperti yang dikemukakan Faridi (2002) dalam skripsinya, alasan para pelajar Sekolah Dasar tidak makan pagi sebagian besar berkaitan dengan waktu. Seperti telah diketahui, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, dan lain-lain, hampir setiap hari terjadi kemacetan. Belum lagi diberlakukannya sistem 3 in 1 di tempat tertentu di Jakarta. Hal ini mendorong masyrakat untuk berangkat pagi sekali dan cenderung melupakan sarapan.

Melewatkan waktu sarapan dapat mengakibatkan efek negatif bagi tubuh. Energi (kadar gula darah) dalam tubuh berada dalam tingkat rendah saat kita bangun pagi. Oleh karena itu, tubuh membutuhkan energi dari makanan. Jika tubuh tidak mendapat pasokan energi tetapi ’dipaksa’ mengeluarkan energi (melakukan sesuatu pekerjaan), maka dalam jangka waktu pendek maupun panjang, tubuh akan mendapatkan efek negatif (Mathews, 1996). Kadar gula darah yang rendah dapat menurunkan tekanan darah dan melemahkan impuls syaraf sehingga tubuh menjadi lemas disertai pusing-pusing (hypoglycemia syndrom). Lebih lanjut, gangguan ini dapat meningkatkan kadar asam urat yang diduga berkontribusi cukup besar terhadap timbulnya encok (Sizer dan Whitney, 2000). Para ahli gizi merekomendasikan bahwa makan pagi sebaiknya memenuhi 20-25% dari kebutuhan nutrisi harian (Vergara, 2005; Mathews, 1996). Kebutuhan nutrisi ini berbeda-beda pada tiap individu, tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi tubuh, serta aktivitas fisik.

(15)

dikonsumsi atau hanya memerlukan sedikit waktu untuk persiapannya (kurang dari 3 menit).

B. TUJUAN

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SORGHUM 1.Botani Sorghum

Sorghum, Sorghum bicolor (L.) Moench, merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan lain-lain. Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk dalam genus Sorghum, ordo Cyperales, kelas Liliopsida/ Monokotiledon, divisi Magnoliophyta, superdivisi Spermatophyta, subkingdom Tracheobionta, dan kingdom Plantae. Sorghum memiliki istilah yang berbeda-beda tiap daerah. Sebagai contoh, sorghum dikenal dengan nama ’cantel’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ’jagung cantrik’ di daerah Jawa Barat, dan ’batara tojeng’ di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Sorghum memiliki banyak varietas, dari sorghum yang berwarna putih sampai sorghum yang berwarna merah kecoklatan (FSD, 2003). Tanaman sorghum dibagi dalam dua kelompok, yaitu sorghum yang berumur pendek (musiman) dan sorghum tahunan (Sorghum halepensis). Sorghum musiman terdiri atas empat keluarga, yaitu sorghum makanan ternak (sweet sorghum) dimana batangnya mengandung gula sehingga dapat dipakai untuk membuat sirop dengan cara memeras batangnya dan kemudian direbus; sorghum penghasil biji-bijian (grain sorghum) dimana batang dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak; sorghum sapu (broom sorghum) yang banyak ditanam di Amerika Serikat dan dapat dimanfaatkan untuk membuat sapu dan sikat; serta yang terakhir adalah sorghum rumput (grass shorgum) yang dikenal sebagai rumput Sudan di Indonesia memiliki sifat tahan kering. Sorghum tahunan tidak menghasilkan biji, namun dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak (Rismunandar, 1989).

(17)

segersang gurun sampai ke tanah-tanah basah. Pada umumnya sorghum akan berhasil baik pada tanah ringan (berpasir) sedangkan pada tanah-tanah berat tanaman ini masih dapat tumbuh baik asal keadaan drainasenya baik. Sorghum tidak terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah tetapi pH tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5.5-7.5. Tanaman sorghum tahan terhadap kekeringan dan pemupukan berat. Dengan kedua sifat ini prospek produksi sorghum mudah ditingkatkan (Rismunandar, 1989; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Tanaman sorghum termasuk tanaman yang tahan kekeringan karena daun sorghum dilapisi dengan sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin ini memiliki fungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air di dalam tubuh tanaman. Selain dapat menghadapi kekeringan, tanaman sorghum juga mempunyai daya regenerasi yang cukup kuat serta lebih tahan terhadap serangan hama daripada tanaman jagung. Meskipun demikian, petani sorghum tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap serangan hama dan penyakit tanaman sorghum karena ada beberapa hama yang dapat menyerang tanaman sorghum, antara lain ulat tanah, ulat buah jagung, kutu daun, Aphis maidis, walang kayu, tikus-tikus sawah, tikus tegalan, hama Merutu, dan rupa-rupa jenis burung, seperti burung betet (Rismunandar, 1989).

(18)

2.Struktur Biji

Biji sorghum berbentuk bulat lonjong dengan ukuran sekitar 4.0 x 2.5 x 3.5 mm dan berat dari 1000 biji sekitar 25-30 gram (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Biji sorghum mempunyai struktur yang hampir sama dengan serealia lainnya. Komponen utama biji sorghum adalah perikarp, testa, endosperm, dan embrio (FSD, 2003). Gambar penampang biji/ bulir sorghum dapat dilihat Gambar 1.

Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum (FSD, 2003)

Biji sorghum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) dimana seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Perikarp atau kulit luar merupakan bagian terluar dari biji yang melapisi endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Epikarp lebih lanjut dibagi menjadi epidermis dan hipodermis. Terkadang, zat pigmen terdapat dalam epidermis. Zat pigmen tersebut berwarna putih, kuning, jingga, dan merah (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Tepat di bawah endokarp, terdapat lapisan testa yang mengelilingi endosperm. Pada beberapa genotipe sorghum, testa sangat banyak mengandung pigmen. Keberadaan pigmen merupakan karakter genetika. Beberapa peneliti mengatakan bahwa senyawa polifenol kadar tinggi terdapat dalam testa.

(19)

kompleks, minyak, dan mengandung beberapa enzim hidrolisis. Endosperma peripheral terdiri dari sel berbentuk persegi panjang yang mengandung granula pati dan terselubung oleh matriks protein (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Dua bagian utama dari lembaga (germ) adalah embryonic axis dan scutellum. Scutellum merupakan jaringan penyimpanan yang kaya akan lemak, protein, enzim, dan mineral. Minyak pada lembaga sorgum kaya akan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) dan mirip seperti minyak jagung (FAO, 1995).

3.Sifat dan Komposisi Kimia Biji Sorghum

Kandungan nutrisi sorghum dibandingkan dengan beras, jagung, dan gandum dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar zat karbohidrat sorghum yang tinggi memungkinkan biji sorghum untuk dijadikan sebagai bahan baku tepung. Tepung sorghum mempunyai suhu gelatinisasi 68o – 78o C, sedangkan tepung jagung tergelatinisasi pada suhu 62o – 68o C. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa tepung sorghum merupakan bahan baku yang serbaguna karena tidak mudah menggumpal (tergelatinisasi) pada saat mengalami pemanasan (Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Pati merupakan bentuk karbohidrat yang paling banyak terdapat di sorghum. Sekitar 70-80% pati sorghum adalah amilopektin, sisanya adalah amilosa. Varietas waxy atau glutenous sorghum mengandung amilosa dalam jumlah sangat sedikit karena hampir 100% adalah amilopektin (FAO, 1995).

Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia (per 100g edible portion; 12% kadar air) (FAO, 1995).

(20)

Kandungan protein dalam sorghum cukup unggul jika dibandingkan dengan serealia lainnya. Kadar zat protein biji sorghum yang dihasilkan oleh tanaman dengan varietas-varietas biasa, rata-rata berada di bawah 10%, tetapi melalui penemuan-penemuan baru dengan jalan persilangan sudah dapat diperoleh varietas sorghum dengan hasil biji yang berkadar protein hingga rata-rata diatas 13%.

Protein pada sorghum dapat dikategorikan menjadi empat jenis berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin (larut alkohol), dan glutelin (larut asam atau basa). Meskipun tepung sorghum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein tepung sorghum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk gluten jika dibandingkan dengan terigu (Suarni, 2004). Menurut Suarni (2004), kandungan gliadin dan glutenin terigu seimbang, sehingga dapat membentuk gluten yang memiliki sifat elasitisitas tinggi ketika ditambahkan air. Oleh karena tepung sorghum tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu, maka tepung sorghum dapat digunakan untuk pembuatan produk makanan yang bebas gluten atau gluten free (Rooney, 2003; FSD, 2003; NSP, 2005).

Asam amino pada sorghum sangat bervariasi, tergantung pada lingkungan saat penanaman. Seperti halnya dengan serealia lainnya, kandungan asam amino lisin pada sorghum juga rendah, diikuti dengan threonin (Dogget, 1970). Komponen protein dan pati pada sorghum lebih lambat dicerna daripada seralia yang lain sehingga bermanfaat untuk penderita diabetes (NSP, 2005).

Sorghum mengandung Insoluble Dietary Fiber (IDF) yang tinggi dan kandungan Soluble Dietarty Fiber (SDF) yang rendah. Roti yang dibuat dengan biji sorghum dapat mengandung kira-kira 5 g serat makanan dalam setiap 56 gram roti (Anonim a, 2003).

(21)

penghilangan kulit luar biji sorghum menurunkan kandungan mineral biji sorghum. Seluruh biji sorghum cenderung memiliki kandungan fosfor, kalsium, dan seng yang rendah.

Sorghum juga kaya akan senyawa fenolik. Komponen fenolik pada sorghum dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yaitu asam fenolat dan flavonoid. Asam fenolat merupakan turunan asam benzoat atau asam sinamat, sedangkan tanin dan antosianin termasuk ke dalam flavonoid (Awika dan Rooney, 2004).

Tanin merupakan komponen fitokimia paling penting dan unik pada sorghum karena tanin memiliki efek positif dan negatif bagi kesehatan manusia. Adanya tanin dalam biji sorghum dapat mengikat protein sehingga mempengaruhi fungsi asam-asam amino serta menurunkan ketersediaan/ bioavailibilitas protein dalam tubuh manusia (Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Selain itu, tanin dapat berikatan dengan besi anorganik (seperti FeSO4) yang terdapat pada bahan pangan nabati membentuk ferotanat, sehingga mengurangi ketersediaan zat besi bagi tubuh karena senyawa yang berada dalam bentuk terikat tidak bisa diserap oleh usus halus.

Meskipun memiliki pengaruh negatif terhadap ketersediaan beberapa komponen nutrisi, senyawa fenolik memiliki pengaruh positif bagi kesehatan. Senyawa–senyawa polifenol ini memiliki daya antioksidan yang sangat besar, lebih besar dari vitamin E dan vitamin C yang selama ini dikenal sebagai antioksidan alami (Awika dan Rooney, 2004).

4.Potensi Sorghum Sebagai Sumber Pangan

Sesungguhnya, dari segi agronomi, sorghum tidak banyak memiliki masalah. Hal ini berbeda dengan jagung dimana jagung relatif lebih memiliki banyak masalah. Akan tetapi dari segi ekologi kemungkinan sorghum memiliki lebih banyak masalah karena sorghum bukan bahan makanan pokok dan yang terutama sekali adalah pemasarannya (Rismunandar, 1989).

(22)

Menurut artikel yang ditulis oleh P27-53 pada harian Suara Merdeka tahun 2004, harga biji sorghum di Jawa Tengah per kilogram adalah Rp. 800, sedangkan harga beras pada saat itu adalah Rp. 2350.

Indonesia sendiri kurang mengenal tanaman sorghum, apabila dibandingkan dengan negara-negara penghasil sorghum, maka hasil sorghum di Indonesia masih termasuk rendah. Hasil tertinggi yang dicapai 3-4 ton/ha. Hasil yang realtif rendah ini disebabkan oleh karena para petani umumnya masih menggunakan varietas-varietas yang hasilnya rendah dan cara bercocok tanam yang belum disempurnakan. Masalah pengembangan sorghum di Indonesia yang lainnya adalah terabaikannya perbaikan dan pengembangan tanaman sorghum dibanding padi atau tanaman pangan lain, budidaya di tingkat petani sangat terbatas karena kompetisi dengan padi atau tanaman lain, tidak tersedianya benih sorghum yang bermutu di pasar, banyaknya kelemahan pada varietas sorghum lokal, industri sorghum yang belum terbangun berkelanjutan (Batan, 2003)

Masalah penerimaan konsumen terhadap sorghum juga merupakan masalah yang dihadapi, khususnya untuk pengembangan diversifikasi pangan. Warna sorghum adalah faktor utama yang sangat mempengaruhi minat konsumen untuk memutuskan suka atau tidak suka. Selain warna, konsumen juga melihat rasa yang dihasilkanya, jika rasanya enak maka tidak menutup kemungkinan untuk menarik minat pembeli, sedangkan karakter yang lain seperti ukuran, bentuk, besar atau kecilnya hanya menjadi faktor sampingan (ICRISAT Center, 1981).

(23)

Melalui penumbukan secara tradisional, biji sorghum dibersihkan dari sekam kasar sehingga menghasilkan dedak kasar yang kemudian ditumbuk untuk memisahkan kulit arinya dan sekaligus melepaskan lembaganya dari biji dengan menghasilkan dedak halus (bekatul). Biji sorghum yang lunak dalam penumbukan kedua sudah terbelah-belah sehingga menghasilkan beras sorghum, sedangkan biji sorghum yang keras hingga penumbukan yang kedua masih dapat mempertahankan bentuknya yang pipih atau bulat sehingga dapat dijadikan brondong ( biji sorghum digoreng dengan minyak sedikit dan ditutup hingga menjadi brondong). Biji sorghum juga dapat dijadikan nasi sorghum dengan syarat kulit arinya harus benar-benar bersih, jika tidak rasanya akan pahit (Rismunandar, 1989).

Untuk membuat bir, dipilih biji dengan warna yang coklat sangat gelap, kadang-kadang dipilih yang berwarna ungu. Di Tanzania, Afrika Tengah dan Afrika Utara banyak menggunakan varietas sorghum ini untuk membuat bir. Di tempat lain yaitu di Buganda, biji sorghum yang dipilih untuk pembuatan bir ini adalah yang berwarna coklat dan rasanya pahit, sedangkan endospermanya sangat halus. Di beberapa tempat, biji yang berwarna putih merupakan salah satu pilihan yang sangat baik untuk membuat bir.

Tepung sorghum dapat berperan sebagai subtitusi tepung terigu pada pembuatan roti, mie, pasta, dan kue-kue kering. Menurut Suarni (2004), tepung sorghum dapat mensubtitusi tepung terigu hingga taraf 50-80% untuk membuat kue kering. Subtitusi perlu diikuti penambahan tepung maizena sebagai bahan perekat dan bumbu kue untuk menekan rasa sepat pada tepung sorghum.

(24)

5.Pemanfaatan Biji Sorghum Non-Pangan

Saat ini produk pangan olahan dari sorghum sangat jarang ditemukan di Indonesia. Mayoritas produksi sorghum di Indonesia diolah menjadi pakan ternak. Selain makanan ternak, sorghum dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri ethanol, lem, dan cat (Batan, 2003). Tepung sorghum juga dapat dimanfaatkan untuk membuat briket arang kayu yang digunakan untuk cetakan pengecoran besi, bahan untuk menggumpalkan peleburan alumunium, melicinkan pengeboran minyak bumi, pendingin bor, dan menahan perembesan air dari dinding sumur bor (Rismunandar, 1989). Sorghum juga berpotensi untuk diolah sebagai bioetanol pengganti bensin (Yudiarto dan Ali, 2006).

B. SEREAL SARAPAN (BREAKFAST CEREAL)

Sarapan merupakan kegiatan yang seringkali dilupakan atau sengaja diabaikan oleh sebagian orang. Berbagai alasan dilontarkan sebagai penyebab tidak melakukan kegiatan sarapan, antara lain kekurangan waktu untuk sarapan, kehilangan selera makan, keinginan untuk memperpanjang waktu tidur, atau ketakutan menjadi gemuk (Guthrie, 1986).

Menurut Tribelhorn (1991), produk sereal sarapan dapat dikelompokan berdasarkan sifat fisik alami dari produk. Jenis pertama adalah kelompok sereal tradisional yang memerlukan pemasakan (Traditional cereals that require cooking). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam bentuk biji mentah yang sudah diproses. Contoh serealia jenis pertama ini adalah gandum atau oat.

Jenis kedua adalah sereal tradisonal panas cepat saji (Instant traditional hot cereal). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam bentuk biji masak dan hanya memerlukan air mendidih untuk dapat dikonsumsi. Contoh sereal jenis kedua ini adalah gandum dan oat.

(25)

Jenis keempat adalah Ready-to-eat ceral mixes. Sereal jenis ini merupakan kombinasi dari bermacam-macam biji sereal, polong-polongan (legumes), atau oil seeds, serta buah-buahan kering. Contoh sereal jenis ini adalah Granola yang diproduksi oleh Quaker Oats Company.

Jenis kelima, atau jenis yang terakhir adalah produk sereal lainnya (Miscellaneous cereal products). Jenis ini merupakan produk sereal yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis sereal sarapan di atas karena adanya pengkhususan dari proses astau pengguna akhir. Contoh sereal jenis ini adalah makanan bayi dan cereal nuggets.

Sebagian besar produk serealia mengandung biji sereal dalam jumlah besar dan hanya sedikit bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan umumnya digunakan untuk memperbaiki tekstur sereal atau mengubah karakteristik fungsional dari produk akhir.

Mineral dan vitamin seringkali ditambahkan pada produk sereal sarapan, karena pada umumnya konsumen hanya mengkonsumsi produk tersebut pada pagi hari. Dengan demikian, produk sereal sarapan harus memenuhi kebutuhan nutrisi manusia.

Saat ini sereal sarapan yang paling digemari masyarakat adalah jenis ready-to-eat karena berkaitan dengan kepraktisan dan waktu penyajian yang cepat. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Nurjanah tahun 2000. Menurut Nurjanah (2000), jenis sereal sarapan yang paling banyak dikonsumsi/ disuka oleh konsumen adalah produk yang berupa minuman sarapan, produk ekstrusi, dan flakes. Semua produk ini merupakan produk instan dimana waktu persiapannya kurang dari 3 menit.

C. TEKNOLOGI PEMBUATAN SEREAL SARAPAN

(26)

pemasakan lebih lanjut, sampai metode yang cukup canggih dengan membuat produk ready-to-eat yang cepat saji. Saat ini, produk sereal sarapan yang banyak terdapat di pasar, adalah oatmeal, produk ekstrusi, flakes, bubur instan, serta minuman sarapan.

Pada awal perkembangannya, beberapa produk serealia yang dijual di pasaran berupa biji gandum dan oats yang digiling. Biji-bijian ini memerlukan pemasakan lebih lanjut oleh konsumen sebelum dikonsumsi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengurangi waktu pemasakan yang dilakukan oleh konsumen sehingga konsumen dapat lebih nyaman. Salah satu metode untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan precooking atau penggunaan bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan yang dapat digunakan adalah gum polisakarida, monogliserida, dan sebagainya. Dengan ditemukannya teknologi oven microwave, pemasakan sereal sarapan dapat lebih cepat (Tribelhorn, 1991; Roger, 1974).

Flake merupakan bentuk pertama dari produk sereal siap santap. Sercara tradisional, pembuatan produk flake dilakukan dengan mengukus biji serealia yang sudah dihancurkan (kurang lebih sepertiga dari ukuran awal biji) pada kondisi bertekanan selama dua jam atau lebih lalu dipipihkan di antara dua rol baja. Setelah itu dikeringkan dan di panggang pada suhu tinggi (Tribelhorn, 1991). Pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi merupakan prinsip dasar sereal sarapan instan berbentuk flake ini. Pati kering tersebut masih memiliki kemampuan untuk menyerap sejumlah air dalam jumlah yang besar. Setelah air terserap ke dalam pati, maka pati/ serealia tersebut dapat langsung dikonsumsi.

(27)
(28)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan adalah sorghum, gula pasir, non dairy creamer, coklat bubuk, garam dapur, bubuk vanilin, CMC, serta bahan-bahan untuk analisis kima.

Alat yang digunakan adalah retort, drum drier, panci, dry blender, roller, neraca, gelas piala, sudip, erlenmeyer, gelas ukur, buret, pipet Mohr, mikro pipet, sentrifus, spektrofotometer, serta alat-alat lain yang digunakan untuk analisis kima.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri dari empat tahap utama. Tahap pertama adalah pembuatan sorghum flakes, tahap kedua adalah formulasi sereal sarapan, tahap ketiga adalah uji organoleptik, dan tahap keempat adalah analisis kimia. Uji organoleptik dilakukan sebelum analisis kimia karena dalam pengembangan suatu produk baru, hal utama yang harus diperhatikan adalah penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Jika suatu produk memiliki banyak keunggulan tetapi tidak diterima oleh konsumen, makan produk tersebut dapat dikatakan gagal. Oleh karena itulah pada penelitian ini dilakukan pendekatan dari sisi penerimaan konsumen melalui uji organoleptik terlebih dahulu.

1. Pendahuluan

a. Pembuatan Sorghum Flakes

(29)

Tressler ini sudah mendapat paten dengan kode U. S. Patent 3,494,769; 10 Februari 1970.

Pada metode A, sorghum dicuci bersih kemudian direndam selama 2 jam lalu ditiriskan dan dikukus selama 40 menit. Sorghum yang sudah dikukus kemudian dipipihkan dengan menggunakan roller, setelah itudioven dengan oven pengering selama 12 jam..

Pada pembuatan sorghum flakes metode B, sorghum dicuci bersih kemudian dimasak menggunakan retort dengan suhu 120oC selama 15 menit dengan perbandingan air dan sorghum sebesar 2 : 1. Sorghum yang telah masak tersebut didinginkan selama 20 menit lalu dipipihkan dengan menggunakan roller kemudian dipanggang dengan oven panggang dengan suhu 300oF (148.89ºC) selama 12 menit.

Pada pembuatan sorghum flakes metode C, sorghum dicuci bersih kemudian dimasak menggunakan retort dengan suhu 120oC selama 15 menit dengan perbandingan air dan sorghum sebesar 2 : 1. Sorghum yang telah matang kemudian dikeringkan dengan drum drier dengan jarak antar roller sekitar 0.5 mm sehingga didapat lembaran-lembaran sorghum kering. Lembaran-lembaran tersebut dihancurkan dengan menggunakan dry blender Sayota® sehingga terbentuk serpihan-serpihan (flakes).

b. Perhitungan Daya Serap Air

Sebanyak 5 gram contoh yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam air mendidih selama 4 menit kemudian ditiriskan selama 10 menit. Segera setelah itu dipindahkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya dan ditimbang (A). Cawan beserta isinya dioven 100oC selama 3-5 jam sampai dengan berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (B).

(30)

c. Perhitungan Waktu Rehidrasi

Sebanyak 5 gram contoh ditambahkan 50 ml air mendidih kemudian dihitung waktu yang diperlukan sampai air membasahi seluruh bagian contoh tersebut, sehingga tidak ada lagi bagian yang keras.

d. Persiapan Bahan-Bahan Lain

Bahan-bahan lain yang diperlukan untuk pembuatan sereal sarapan adalah gula pasir, bubuk coklat, bubuk vanilin, creamer, dan garam. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari toko bahan-bahan kue, sedangkan CMC diperoleh dari toko kimia Setiaguna, Bogor.

2. Penetapan Formula

Proses formulasi dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan yang telah dipersiapkan yang terdiri dari gula, coklat, creamer, garam, vanila, CMC, dan sorghum flakes. Bahan-bahan tersebut dicampur dengan perbandingan tertentu yang diperoleh dengan cara trial and error dengan panduan beberapa literatur. Produk komersial sejenis yang sudah ada di pasaran digunakan sebagai sampel target untuk membuat formulasi sereal sarapan.

3. Pengujian Organoleptik

(31)

Pengolahan data uji ranking dilakukan dengan menggunakan Friedman test, sedangkan pengolahan data uji hedonik menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji ANOVA menyatakan bahwa sampel yang diujikan berbeda nyata terhadap skor kesukaan pada taraf kepercayaan 0.05, maka dilakukan uji lanjutan (post hoc). Uji lanjutan untuk skala hedonik menggunakan uji Duncan. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang nyata diantara ketujuh sampel yang diujikan.

4. Analisis Kimia

a. Kadar Air (AOAC, 1984)

(32)

%

Mula-mula bahan ditimbang dalam labu Kjedahl kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Selanjutnya dengan penambahan batu didih, larutan didihkan 1-1.5 jam sampai cairan jadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan perbandingan 2 : 1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor lemak tersebut ditimbang sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat dihitung dengan rumus :

(33)

e. Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat ditentukan by difference

f. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984))

Serat kasar ditentukan dengan metode gravimetri. Sampel dihaluskan dan aduk merata. Sebanyak 2 gram sampel, diekstraksi lemaknya dengan sokhlet. Pindahkan sampel ke dalam erlenmeyer 600 ml, tambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Tutup dengan pendingin balik. Didihkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Saring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal dalam Erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Cuci residu dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus). Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam Erlenmeyer kembali dengan spatula. Sisanya dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam Erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan selama 30 menit. Saring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Cuci lagi residu dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15 ml. Keringkan kertas saring dengan isinya pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), dinginkan

a : bobot residu kertas saring yang telah dikeringkan (g)

g. Total Fenol (AOAC, 1984)

(34)

senyawa radikal. Pengukuran total antioksidan bahan pangan dapat dilakukan dengan mengukur total fenolik menggunakan reagen Folin.

Pada tahap persiapan sampel, 0.2 gram bahan kering sampel ditambah 200 ml metanol lalu dikocok selama satu jam dengan menggunakan shaker. Setelah itu dimasukkan ke tabung sentrifus dan disentrifus selama 15 menit, 3000 rpm. Supernatan diambil dan disaring dengan kertas Whatman no.1 untuk mendapatkan filtrat. Larutan standar dibuat dari asam tanat dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm

(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. METODE PRODUKSI SORGHUM FLAKES

Tahap awal pembuatan makanan sarapan ini adalah pembuatan sorghum flakes (serpihan sorghum). Pada intinya, sorghum flakes dibuat dengan cara memipihkan biji sorghum, akan tetapi diperlukan teknik-teknik khusus untuk mendapatkan biji sorghum pipih yang dapat menjadi instan. Pada penelitian ini terdapat tiga metode untuk membuat sorghum flakes, yaitu metode A, B,

Gambar 2. Pembuatan sorghum flakes metode A

Tahap awal pembuatan sorghum flakes metode A setelah biji sorghum dicuci bersih adalah perendaman selama 2 jam lalu pengukusan. Perendaman dan pengukusan dimaksudkan untuk mengempukkan biji sorghum sehingga mudah untuk dipipihkan. Sorghum pipih kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 70oC. Diagram alir proses pembuatan sorghum flakes dengan menggunakan metode A dapat dilihat pada Gambar 2.

(36)

3). Menurut Potter & Hotchkiss (1995), tekstur bahan menjadi kering dan kasar akibat air bebas yang berada di permukaan bahan lebih cepat menguap dibandingkan dengan air yang diikat secara kimia bahan tersebut. Adanya tekanan dan panas dari oven pengering menyebabkan air yang berada pada bahan pangan menguap dan komponen-komponen volatil pun juga ikut menguap.

Gambar 3. Hasil sorghum flakes metode A

Sorghum flakes yang dibuat dengan menggunakan metode A tidak memiliki daya rehidrasi yang cukup baik. Waktu rehidrasi sorghum flakes metode A lebih dari sepuluh menit, sedangkan daya serap airnya bernilai 221.675 %. Hal ini diduga karena gelatinisasi yang tidak sempurna. Gelatinisasi adalah perubahan granula pati akibat pemanasan yang terus-menerus dalam waktu lama sehingga granula pati membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali ke bentuk semula. Gelatinisasi diperlukan untuk membuat makanan menjadi instan. Pati kering yang sudah tergelatinisasi memiliki kemampuan untuk menyerap air kembali (rehidrasi) dengan mudah (Winarno, 1992).

(37)

Biji sorghum

Gambar 4. Pembuatan sorghum flakes metode B dan C

Menurut Freeman, et al. (1968), granula pati biji sorghum hanya dapat menyerap air sangat sedikit pada suhu ruang, dan kemampuan granula untuk mengembang juga kecil. Kemampuan granula pati biji sorghum untuk menyerap air akan meningkat pada suhu tinggi. Oleh karena itu dalam perbaikan metode pembuatan sorghum flakes selanjutnya, gelatinisasi dilakukan dengan cara memasak biji sorghum dalam air.

(38)

selama kurang lebih 20 menit. Langkah ini bertujuan untuk meratakan kadar air pada sorghum masak.

Sorghum masak kemudian dipipihkan dengan menggunakan roller pada metode B, lalu dipanggang pada suhu 300oF (148.89oC) selama 12 menit. Pemanggangan meliputi reaksi bersama antara transfer panas dan transfer massa dimana energi panas dipindahkan ke dalam bahan pangan melalui permukaan pemanas dan udara di dalam oven, kemudian kandungan air (massa) dipindahkan dari bahan pangan ke udara di sekelilingnya (Fellows, 2000).

Gambar 5. Hasil sorghum flakes metode B

Pemanggangan tidak hanya bertujuan untuk mengurangi rasa ’mentah’, tetapi juga membantu flakes menyerap air ketika direhidrasi. Hal ini dapat terjadi karena saat pemanggangan terbentuk pecahan pada flakes yang membentuk saluran-saluran kapiler. Saluran kapiler ini menarik air ketika flakes diseduh (Roger, 1974).

Hasil flakes yang didapat melalui proses metode B (Gambar 5) terlihat cukup memuaskan. Flakes memiliki sifat crispy dan terbentuk pula flavor panggang (baked flavor) sehingga flakes tersebut dapat langsung dikonsumsi. Waktu rehidrasi flakes sekitar tiga menit dan nilai daya serap air sebesar 445.15 %.

(39)

Sorghum masak yang dipipihkan menggunakan roller sangat lengket sehingga menempel pada plastik yang pada awalnya bertujuan untuk mencegah sorghum menempel pada roller saat dipipihkan. Sorghum yang sudah pipih tersebut sangat sulit dipindahkan ke loyang. Kelengketan diduga karena tingginya kadar amilopektin dalam biji sorghum.

Gambar 6. Hasil sorghum flakes metode C

Penelitian dilakukan kembali untuk membuat sorghum flakes yang cukup baik dengan alat yang ada. Modifikasi dilakukan pada langkah pembuatan sorghum flakes dari sorghum masak. Hasil modifikasi ini diberi nama pembuatan sorghum flakes dengan metode C. Pembuatan sorghum flakes metode C dilakukan dengan menggunakan drum drier. Langkah penanganan bahan dari biji sorghum sampai menjadi sorghum masak sama seperti pada pembuatan sorghum flakes metode B.

(40)

mengering akan terkikis oleh pisau (doctor blade) yang berada disepanjang permukaan drum dengan arah melintang.

Produk akhir yang berupa lapisan tipis dengan tebal sekitar 0.5 mm ditampung di bawah permukaan drum. Lapisan tipis tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan dry blender sehingga terbentuk serpihan-serpihan sorghum/ flakes. Sorghum flakes yang dibuat dengan menggunakan metode C ini dapat dilihat pada Gambar 6. Flakes memiliki waktu rehidrasi sekitar 2.5 menit dan daya serap air sebesar 503.617 %. Hasil perbandingan flakes yang diproduksi menggunakan metode A, B, dan C, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan hasil flakes metode A, B, dan C

Karakteristik Produk

Proses formulasi dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan yang telah dipersiapkan yang terdiri dari gula, coklat, creamer, garam, vanila, CMC, dan sorghum flakes. Bahan-bahan tersebut dicampur kering (dry blending) dengan perbandingan tertentu yang diperoleh dengan cara trial and error dengan panduan beberapa literatur. Formulasi ini juga melibatkan produk komersial sejenis sebagai sampel target.

(41)

Tabel 3. Formula produk sereal sarapan sorghum (dalam % dari 150 ml air yang ditambahkan)

Gula Coklat Creamer Garam Vanila CMC Sorghum Kode

6 0.5 5 0.15 0.05 0.15 10 238

6 0.75 5 0.15 0.05 0.15 10 343

8 0.5 5 0.15 0.05 0.15 10 352

8 0.75 5 0.15 0.05 0.15 10 810

10 0.5 5 0.15 0.05 0.15 10 956

10 0.75 5 0.15 0.05 0.15 10 682

Sampel target 762

C. UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan satu formula terbaik (formula paling disuka oleh panelis) dari keenam formula yang diuji. Uji organoleptik pada penelitian ini mencakup uji hedonik dan ranking dimana kedua uji tersebut termasuk ke dalam kategori uji afektif atau uji kesukaan.

(42)

Jumlah panelis uji afektif pada penelitian ini berjumlah 39 panelis tidak terlatih. Menurut Resurreccion (1998), minimal diperlukan 25 panelis untuk uji afektif di laboratorium untuk meminimalisasi standar deviasi. Berbeda dengan uji pembedaan dimana perbedaan diantara sampel yang disajikan sangat kecil, uji kesukaan menyajikan sampel dengan perbedaan yang nyata untuk menghasilkan suatu hasil yang berbeda nyata antara sampel yang diujikan (Resurreccion, 1998).

Panelis harus mengurutkan sampel berdasarkan tingkat kesukaannya secara keseluruhan pada uji ranking. Oleh karena sampel berjumlah 7, maka nilai ranking berkisar 1-7. Ranking 1 adalah sampel yang paling disuka, dan ranking 7 adalah sampel yang paling tidak disuka. Hasil uji ranking (Lihat Lampiran 8) menunjukkan bahwa sampel yang paling disuka adalah sampel dengan kode 682, sedangkan panelis paling tidak menyukai sampel dengan kode 762 (sampel target).

Uji ranking merupakan uji yang paling mudah, tetapi data yang dihasilkan tidak menyajikan perbedaan yang ada antar sampel atau homogenitas antar sampel. Untuk itulah dilakukan uji hedonik untuk mendukung uji ranking tersebut (Moskowitz, 2000).

(43)

taraf kepercayaan 0.05. Nilai rata-rata hedonik atribut aroma keenam formula berkisar 2.49 sampai 3.21 (suka sampai agak suka), sedangkan nilai rata-rata hedonik atribut aroma sampel target sebesar 3.77 (netral).

Hasil uji hedonik terhadap atribut rasa juga menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 0.05 terhadap ketujuh sampel yang diuji, sehingga dilakukan uji lanjutan menggunakan uji Duncan. Subset yang terbentuk pada uji Duncan terhadap atribut rasa berjumlah dua subset (Lihat Lampiran 4). Sampel target tidak berbeda nyata terhadap sampel dengan kode 352, 810, 343, dan 283, tetapi berbeda nyata terhadap sampel dengan kode 956 dan 682 pada taraf kepercayaan 0.05.

Panelis cenderung mendeteksi atribut rasa berdasarkan tingkat kemanisan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji Duncan yang menempatkan sampel dengan gula 10% pada subset pertama dan sampel dengan gula 6% dan 8% pada subset kedua. Dari hasil ini pula dapat disimpulkan bahwa panelis cenderung lebih suka produk dengan rasa manis yang tinggi karena sampel dengan gula 10% memiliki nilai rataan paling rendah, dimana semakin rendah nilai rataan, tingkat kesukaan produk semakin tinggi.

Secara keseluruhan (overall), ketujuh sampel yang diuji menggunakan uji ANOVA memiliki perbedaan nyata pada taraf kepercayaan 0.05. Menurut hasil uji lanjut Duncan, sampel target berbeda nyata dengan sampel berkode 810, 352, 956, dan 682, tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel 238 dan 343. Hasil uji hedonik secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 6. Sampel dengan kode 682 dan 956 memiliki nilai rataan yang sama, yaitu 2.95. Dengan demikian, tingkat kesukaan panelis terhadap kedua sampel ini adalah ”agak suka”. Tingkat kesukaan panelis terhadap kedua sampel ini paling tinggi. Hal ini dibuktikan dengan nilai rataan yang paling rendah di antara sampel-sampel lainnya. Kesukaan panelis terhadap sampel target memiliki nilai ”netral”.

(44)

memiliki rasa yang baik, maka selanjutnya yang akan terjadi adalah produk tersebut tidak akan sukses di pasar. Oleh sebab itu, kunci dalam pengembangan produk pangan baru adalah tingkat kesukaan konsumen terhadap produk pangan.

Uji afektif yang dilakukan di laboratorium dapat digunakan sebagai referensi atau langkah awal sebelum melangkah ke uji konsumen. Dengan uji afektif, kita dapat memperkirakan bagaimana penerimaan produk di pasar. Banyak perusahaan pangan yang hanya melakukan uji afektif di laboratorium tanpa menggunakan uji pasar dalam pengembangan produknya.

Jika dilihat dari uji ranking, terdeteksi produk/ formula yang paling disuka dari segi organoleptik adalah sampel dengan kode 682 (Gula 10%, coklat 0.75%). Akan tetapi, jika dilihat dari uji ANOVA atribut sampel secara keseluruhan, terlihat bahwa sampel dengan kode 682 tidak berbeda nyata dengan sampel berkode 956 (Gula 10%, coklat 0.50%). Oleh karena harga bahan baku sampel dengan kode 956 lebih murah, maka ditetapkan bahwa sampel dengan kode 956 merupakan produk yang paling optimum. Untuk selanjutnya, sampel dengan kode 956 ini disebut dengan produk ”s”.

D. ANALISIS KIMIA

Analisis kimia dilakukan terhadap formula paling optimum yang didapat setelah uji organoleptik. Formula yang dimaksud adalah sampel dengan kode 956 (produk ”s”) yang mengandung gula 10%, coklat 0.50%, garam 0.15%, vanila 0.05%, CMC 0.15%, sorghum flakes 10%. Analisis kimia juga dilakukan terhadap sampel target sebagai pembanding. Hasil rekapitulasi analisis kimia dapat dilihat pada Tabel 4.

Pada

(45)

yang dipakai adalah data hasil analisis yang dilakukan oleh penulis, bukan berdasarkan data yang tercantum pada label sampel target.

Tabel 4. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target (dalam % berat kering)

Tabel 5. Informasi nilai gizi pada label sampel target

1. Kadar Air

Kandungan air dalam bahan pangan beraneka ragam, dimana Brown (2000) mengatakan bahwa kandungan air rata-rata bahan pangan berkisar antara 0 hingga 95 persen. Kadar air produk “s” adalah 5.42%. Jumlah ini relatif tinggi untuk sebuah produk kering seperti makanan sarapan yang dikembangkan dalam penelitian ini. Sebagai pembanding, kadar air sampel target adalah 2.34%.

Tingginya kadar air produk ”s” disebabkan penyimpanan bahan baku yang kurang baik. Bahan-bahan yang digunakan untuk formulasi merupakan bahan-bahan kering yang higroskopis, sehingga mudah sekali menyerap air. Oleh karena itu butuh suatu tempat penyimpanan dan

Parameter Produk "s" Sampel target

Kadar air (%) 5.42 2.34

Kadar abu (%) 1.73 3.03

Kadar protein (%) 4.14 5.03

Kadar lemak (%) 1.69 4.77

Kadar Karbohidrat (%) 87.02 84.83 Kadar serat kasar (%) 0.87 1.90

Parameter Nilai

(46)

tempat pencampuran yang dikontrol kelembaban serta suhunya sehingga meminimalkan transfer air dari udara ke bahan.

2. Kadar Abu

Abu mengacu pada residu inorganik yang tersisa setelah oksidasi sempurna dari komponen organik bahan pangan. Nilai kadar abu hasil analisis produk ”s” adalah 1.73%. Nilai ini merupakan persentase nilai mineral yang terdapat pada sampel.

Kadar abu sampel target memiliki nilai dua kali lipat dari produk ”s”. Hal ini diduga karena sampel target sudah difortifikasi dengan mineral, terutama kalsium, yang terlihat dari komposisi pada label kemasan sampel target.

3. Kadar Protein

Protein merupakan makromolekul yang terdiri dari satu atau lebih polipeptida. Setiap polipeptida terdiri dari rantai asam amino dimana satu sama lain dihubungkan oleh ikatan peptida (Walsh, 2002). Menurut FAO (1995), komponen terbesar kedua dari sorghum adalah protein. Kadar protein produk ”s” adalah 4.14 %. Kadar protein produk ”s” ini tidak berbeda jauh dengan sampel target yang memiliki kadar protein 5.03%.

4. Kadar Lemak

(47)

5. Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Pada sorghum, bagian terbesar dari karbohidrat adalah pati. Sekitar 70-80 % pati sorghum adalah amilopektin, dan sisanya adalah amilosa. Kadar karbohidrat dapat ditentukan by difference, yaitu dengan menjumlahkan kadar protein, lemak, abu, air, lalu dikurangkan dengan 100%. Kadar karbohidrat yang terdeteksi pada produk ”s” dan sampel target tidak terlalu berbeda jauh. Kadar karbohidrat pada produk ”s” adalah 87.02%, sedangkan pada sampel target adalah 84.83%.

6. Kadar Serat Kasar

Serat adalah suatu karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, sehingga dapat mencapai usus besar dan dicerna oleh bakteri probiotik. Hal ini menjadikan serat bersifat prebiotik. Konsumsi serat yang cukup setiap harinya dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon karena mempersingkat waktu transit makanan. Serat juga menjaga kesehatan mikroflora usus, mencegah hipertensi dan penyakit batu empedu, serta mencegah obesitas (Anonim b, 2004).

Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih. Serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan pentosan. Kadar serat kasar pada produk ”s” adalah 0.87%.

Kadar serat kasar sampel target memiliki kadar hampir dua kali lipat dari produk ”s”. Hal ini diduga karena sampel target sudah difortifikasi dengan serat yang terlihat dari label kemasan sampel target.

7. Total Fenol

(48)

(AH) bekerja dengan mekanisme yang terlihat pada Gambar 7. Antioksidan fenolik (AH) bereaksi dengan oksida lipid dengan cara memberikan atom hidrogen secara terus menerus kepada radikal lipida (Reaksi 1 dan 2 pada Gambar 7). Reaksi berikutnya berkompetisi dengan rantai reaksi propagasi (Reaksi 5 dan 6 pada Gambar 7).

Sebelum dianalisis menggunakan metode Folin Ciocalteu, komponen fenolik pada sampel harus diekstraksi dahulu. Menurut Shahidi dan Naczk (1995), tidak ada pelarut yang memberikan hasil memuaskan dalam mengekstraksi atau mengisolasi semua jenis dari komponen fenol pada makanan. Hal ini disebabkan karena sifat alami dari komponen fenolik pada bahan pangan yang bervariasi, dari yang memiliki bentuk kimia sederhana sampai sangat terpolimerisasi. Selain itu, interaksi komponen fenolik dengan karbohidrat, protein, dan komponen bahan pangan lainnya mengakibatkan komponen fenolik sulit diekstrak.

ROO+ AH ROOH + A (1) RO + AH ROH + A (2) ROO+ A ROOHA (3) RO + A ROA (4) RO + RH ROOH + R (5) ROO+ RH R + ROOH (6) Gambar 7. Mekanisme antioksidan fenolik

(49)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26

Gambar 8. Kurva standar asam tanat

Penenturan total fenol menggunakan asam tanat sebagai standar, sehingga hasil total fenol dinyatakan dalam miligram Asam Tanat Ekivalen (ATE) per gram sampel. Kurva standar asam tanat dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil analisis, terdeteksi kadar fenol sampel yang larut dalam metanol sebesar 0.42 mg ATE/g.

E. PERBANDINGAN PRODUK ”S” DENGAN SAMPEL TARGET

Perbandingan produk ”s” dengan sampel target dilakukan dengan maksud untuk melihat kekurangan atau kelebihan produk ”s” terhadap sampel target. Hasil perbadingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Zat gizi produk “s” (seperti kadar abu, protein, lemak, dan serat) relatif lebih rendah daripada zat gizi sampel target. Perkiraan penyebab rendahnya zat gizi ini sudah dibahas pada bagian D dari bab Hasil dan Pembahasan.

Nilai kalori produk “s” lebih kecil dari sampel target. Hal ini terutama dipengaruhi dari rendahnya kadar lemak produk “s”. Jika kadar lemak produk “s” dinaikkan menjadi 5%, maka total kalori produk “s” tidak jauh berbeda dengan sampel target. Meskipun total kalori sampel target lebih tinggi dari total kalori produk ”s”, jumlah kalori tersebut masih tidak mencukupi untuk kebutuhan kalori ideal saat makan pagi, yaitu 20-25% dari total kalori kebutuhan satu hari (Vergara, 2005; Mathews, 1996). Jikalau kebutuhan kalori

(50)

seseorang 2000 kkal per hari, maka dibutuhkan kalori sebesar 400-500 kkal untuk makan pagi. Oleh karena itu, sebaiknya untuk sarapan tidak hanya mengkonsumsi sereal sarapan saja, tetapi sereal tersebut dikombinasikan dengan makanan atau minuman lain, seperti susu.

Tabel 6. Perbandingan produk “s” dengan sampel target

Atribut Produk "s" Sampel Target air (g per ukuran penyajian)

serat kasar (g per ukuran penyajian)

0.26 0.57

kalori (kkal per ukuran penyajian) 113.95 120.72 Waktu rehidrasi / waktu penyajian < 3 menit < 3 menit

Hedonik rasa * 2.69 3.69

Hedonik aroma * 2.85 3.77

Hedonik overall * 2.95 4.05

Ranking * 3.28 5.38

* Nilai tersebut merupakan rata-rata dari penilaian panelis. Semakin rendah nilainya, semakin disuka produk tersebut. Hasil penilaian ini dapat dilihat lebih lengkap di Lampiran 1 – Lampiran 8.

Keterangan : Ukuran penyajian atau serving size adalah 30 gram.

Havard Health Publications (2005) mengutarakan bahwa kriteria utama makanan sereal sarapan adalah serat dan flavor. Paling sedikit 6 gram serat terkandung pada makanan sarapan. Baik produk ”s” maupun sampel target tidak memenuhi kriteria tersebut, sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi sumber serat lain seperti buah-buahan atau sayur-sayuran untuk melengkapi kebutuhan serat.

(51)

makanan instan atau makanan siap santap membutuhkan waktu kurang dari tiga menit dalam penyajiannya.

(52)

V. KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Proses pembuatan sorghum flakes menggunakan metode A menghasilkan sorghum flakes yang keras, kasar, tidak crispy, dan memiliki daya rehidrasi yang kurang baik. Sorghum flakes metode A memiliki waktu rehidrasi lebih dari 10 menit dan daya serap airnya adalah 221.675 %. Sorghum flakes yang dibuat menggunakan metode B memiliki tekstur crispy dan flavor panggang (baked flavor), sehingga dapat langsung dikonsumsi dingin (tanpa diseduh). Sorghum flakes ini memiliki waktu rehidrasi sekitar 3 menit dan daya serap airnya adalah 445.15 %. Kerenyahan sorghum flakes metode C kurang dibanding dengan sorghum flakes metode B. Sorghum flakes ini memiliki waktu rehidrasi sekitar 2.5 menit (kurang dari 3 menit) dan daya serap air 503.617 %. Sorghum flakes metode C ini dipakai untuk tahap formulasi dengan pertimbangan kemudahan pembuatan serta ketersediaan alat.

Formula sereal sarapan yang paling optimum dilihat dari segi organoleptik adalah formula dengan komposisi sebagai berikut : gula 10%, coklat 0.50%, garam 0.15%, vanila 0.05%, CMC 0.15%, sorghum flakes 10% (Persentase bahan-bahan dilihat dari persentase bahan dalam 150 ml air). Formula ini memiliki kadar air 5.42%, kadar abu 1.73%, kadar protein 4.14%, kadar lemak 1.69%, kadar serat kasar 0.87%, total kalori 113.95 kkal, serta total fenol sebesar 0.42 mg ATE (Asam Tanat Ekivalen) per gram sampel.

B. SARAN

Permasalahan yang muncul pada pembuatan sorghum flakes metode B adalah kelengketan sorghum. Masalah ini mungkin dapat diatasi dengan menambah minyak saat perebusan. Mungkin dengan memasak sorghum, air, dan minyak dengan perbandingan sorghum : air : minyak = 2 : 3 : 1, kelengketan sorghum dapat berkurang.

(53)

menjadi suatu adonan kemudian dipanggang. Selain itu, flakes mungkin dapat juga dibuat dengan teknologi ekstrusi.

Untuk merealisasikan produk ini sehingga dapat menjadi satu produk jadi yang siap dipasarkan, perlu juga dilihat lebih lanjut konsistensi produk ini setelah diseduh dengan air panas. Selain konsistensi, distribusi partikel, kestabilan partikel setelah diseduh dengan air panas, juga perlu diteliti.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a, 2003. About Food Sorghum (Milo). http://www.sorghumgrowers.com/ consumer.htm#food. [9 November 2003].

Anonim b. 2004. Dietary Fiber and Resistant Starch. http://www.gograins.grdc. com.au/grainsnutrition/ie/bri.css.

AOAC, 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Agricultural Chemist. AOAC, Inc., Washington.

Awika, J. M. Dan L. W. Rooney, 2004. Review : Sorghum Phytochemicals and Their Potential Impact on Human Health. J.Phytochemistry, 65: 1199-1221.

Batan, 2003. Pemuliaan Tanaman Sorghum. http://www.batan.go.id/ p3tir/ Sorghum.htm. [9 November 2003].

Brown, A., 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wadsworth, Belmont.

Carpenter, R. P., D. H. Lyon, dan T. A. Hasdell., 2000. Guidelines for Sensory Analysis in Food Product Development and Quality Control. An Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland.

Doggett, H. 1970. Sorghum. Longmans Green & Co. Ltd. Cambridge

FAO (Food and Agriculture Organization), 1995. Sorghum and Millets in Human Nutrition. FAO Food and Nutrition Series, No. 27. FAO, Roma.

Faridi, A., 2002. Hubungan Sarapan Pagi dengan Kadar Glukosa Darah dan Konsentrasi Belajar pada Siswa Sekolah Dasar. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fellows, P. J., 2000. Food Processing Technology : Principles and Practice. Woodhead Publishing, England.

Freeman, J. E., N. W. Kramer, S. A. Watson, 1968. Gelatinization of Starches from Corn (Zea mays L.) and Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench). Effects of Genetic and Environmental Factors. Crop.Sci. 8: 409-413.

FSD (Food Security Department), 2003. Sorghum: Post-harvest Operations. http://www.fao.org/inpho/compend/text/ch07.htm.[9 November 2003].

(55)

Guthrie, H. A. Introductory Nutrition. Times Mirror / Mosby College Publishing, Missouri –USA.

Havard Health Publications, 2005. Breakfast and Your Health. http://health.msn.com/dietnutrition/default.aspx. [1 Juni 2006].

ICRISAT Center. 1981. Proceedings of the International Symposium on Sorghum Grain Quality. ICRISAT. India

Mathews, R., 1996. Importance of breakfast to cognitive performance and health. Perspectives in Applied Nutrition, 3 (3): 204-212.

Moskowitz, H. R., 2000. R&D-Driven Product Evaluation in the Early Stage of Development. Di dalam : Brody, A. L. dan J. B. Lord (Eds.). Developing New Food Products for a Changing Marketplace. CRC Press, Boca Raton.

National Sorghum Producers (NSP), 2005. Sorghum’s Food Characteristics. http: //www.sorghumgrowers.com\Uses+&+Products\Food. [20 Oktober 2005].

Nurjanah, E., 2000. Analisis Karakteristik Konsumen dan Pola Konsumsi Sereal Sarapan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

P27-53, 2004. Wonogiri Kembangkan Sorghum. Artikel di dalam Suara Merdeka, 31 Agustus 2004.

Poste, L. M., Mackie, D. A., Butler, G., dan Larmond, E. 1991. Laboratory Methods for Sensory Analysis of Food. Agriculture Canada Publication, Canada.

Potter, N. N., J. H. Hotchkiss. 1995. Food Science 5th edition. Chapman & Hall, New York.

Resurreccion, A. V., 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. An Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg- Maryland.

Roger, D., 1974. Breakfast Ceral Technology. Noyes Data Corporation, New Jersey.

Rooney, L. W., 2003. Food and Nutritional Quality of Sorghum and Millet. Project TAM 226, Texas A&M University, Texas.

Rismunandar, 1989. Sorghum Tanaman Serba Guna. Sinarbaru, Bandung.

Shahidi, F. dan M. Naczk, 1995. Food Phenolics : Source, Chemistry, Effects, and Application. Techomic Publishing Company, Inc., Pensylvania.

(56)

Suarni, 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum Untuk Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian, 23(4).

Suprapto dan R. Mudjisihene, 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tribelhorn, R. E., 1991. Breakfast Cereals. Di dalam : Lorenz, K. J. dan K. Kulp (Eds.). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. pp : 741-762.

Vergara, H. J., 2005. Breakfast is Important. El Paso Times. http://www.borderlandnews.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20050914/LIV ING/509140325/1004. [29 Mei 2006].

Walsh, G., 2002. Proteins Biochemistry and Biotechnology. John Wiley & Sons, West Sussex – England.

Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F. G., 2003. Hasil-hasil Simposium Penganekaragaman Pangan Prakarsa Swasta dan Pemda Menuju Keanekaragaman Pangan Masyarakat indonesia. Di dalam : Hariyadi, P., B. Krisnamurti, F. G. Winarno (Eds.). Penganekaragaman Pangan Prakarsa Swasta dan Pemda. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan, Jakarta. pp : i – vi.

Youssef, A. M. M., H. Bolling, E. K. Moustafa, Y. G. Moharram, 1988. Extraction, Determination and Fractionation of Sorghum Polyphenols. Food Chemistry 30 (1988) : 103-111

(57)
(58)
(59)

Lampiran 2. Hasil uji hedonik formula terhadap atribut aroma

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.014.

(60)
(61)

Lampiran 4. Hasil uji hedonik formula terhadap atribut rasa

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.572.

(62)

Gambar

Gambar 8. Kurva standar asam tanat..................................................................37
Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum (FSD, 2003)
Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia (per 100g edible portion; 12% kadar air) (FAO, 1995)
Gambar 2. Pembuatan sorghum flakes metode A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dari penelitian ini adalah peningkatan mutu dan daya saing melalui pengembangan proses, dan desain peralatan produksi pangan berbasis cokelat untuk

Tujuan penelitian ini dirancang untuk: (1) mengembangkan media pembelajaran berbasis video animasi pada mata pelajaran mekanika teknik materi konstruksi rangka

Tujuan penelitian ini dirancang untuk: (1) mengembangkan media pembelajaran berbasis video animasi pada mata pelajaran mekanika teknik materi konstruksi rangka

Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya produk pangan sarapan berbentuk flakes berbahan baku tepung pisang modifikasi yang memiliki sifat indeks glikemik

dalam rangka mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU dan agar mampu mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/import. Upaya tersebut

Dalam pembuatan makanan formula yang berbasis kacang hijau dapat ditambahkan dengan bahan pangan tambahan lainnya yaitu pisang, telur, nasi dan wortel guna membantu dalam

Berdasarkan kesimpulan penelitian yang diperoleh, dalam rangka turut mengembangkan pemikiran yang terkait dengan peningkatan prestasi belajar biologi maka disarankan, model

Pemilihan tema program binaan yang disepakati: Diversifikasi Produk Olahan Pangan Berbasis Tepung-Tepungan oleh kedua belah pihak telah menyiratkan pentingnya memahami bahan tepung