ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA RIGID CONNECTION
DAN SEMI-RIGID CONNECTION PADA SAMBUNGAN
BALOK DAN KOLOM PORTAL BAJA
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Penyelesaian
Pendidikan Sarjana Teknik Sipil
Disusun oleh :
MUTIA SHELBI 11 0424 022
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan
berkah, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir ini dengan baik.
Tugas Akhir ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara.
Adapun judul Tugas Akhir ini adalah “Analisis Sambungan Antara
Rigid Connection Dan Semi-Rigid Connection Pada Sambungan Balok Dan Kolom Portal Baja”.
Penyelesaikan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, serta
bimbingan dari berbagai belah pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik
Sipil;
2. Bapak Ir. Syahrizal, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil;
3. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc, selaku Koordinator PPSE,
Departemen Teknik Sipil;
4. Bapak Ir. Torang Sitorus, MT, selaku Pembimbing, yang telah memberikan
arahan, dukungan, masukan, serta meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
Beliau dalam membantu penulis menyelesaikan Tugas Akhir ini;
5. Bapak Ir. Sanci Barus, MT dan Ibu Rahmi Karolina, ST., MT, selaku Penguji,
6. Bapak/ibu seluruh Staff Pengajar, serta Pegawai Administrasi Departemen
Teknik Sipil;
7. Kedua Orang Tua penulis yang teristimewa, Ayahanda Yusuf Effendi dan
Ibunda Yunes Nelly, serta kedua Saudari penulis, kakanda Puji Maya Sari
dan adinda Ketty Wulandari, yang telah bersabar dan tak henti-hentinya
memberikan doa, motivasi, nasehat, serta dukungan. Terima kasih atas segala
pengorbanan, cinta, dan kasih sayang yang tiada batas untuk penulis;
8. Teman-teman seperjuangan penulis : Icha, Pipit, Nisa, Delima, Mazia, Dewi,
dan Dhilla, serta teman-teman Mahasiswa/i Angkatan 2011-2013 lainnya,
terima kasih atas bantuannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, demi perbaikan untuk menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, Februari 2015
Hormat saya,
ABSTRAK
Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan
memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya
pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang
kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul. Dalam
perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan
mempengaruhi kekuatan sambungan dan kondisi kekakuan yang berbeda-beda
sesuai jenis dan fungsinya. Pada analisa mengenai sambungan antara balok dan
kolom ini, bertujuan untuk melihat apakah sambungan bersifat rigid atau
semi-rigid, dimana sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis
extended one way, dengan menggunakan profil baja IWF 350 x 175 x 7 x 11,
spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2). Alat sambung yang digunakan adalah baut
mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi A325. Peraturan yang digunakan
sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dengan
metode LRFD (Load and Resistance Factor Design), serta panduan dari American
Institute of Steel Construction (AISC). Dari hasil analisa dan perhitungan,
diperoleh nilai kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan,
berupa momen elastis My sebesar 1.865.136 kg.cm dan momen plastis Mp sebesar
2.018.040 kg.cm. Sedangkan momen tahanan nominal Mn sambungan baut yang
terjadi pada sambungan dengan menggunakan baut mutu biasa (Baut Hitam)
sebesar 1.424.201,21 kg.cm, dan baut Mutu Tinggi sebesar 3.357.047,09 kg.cm.
Dengan demikian, sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat
sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena
momen yang terjadi pada sambungan (pengaruh alat sambung) lebih kecil dari
momen yang disambung (pengaruh kekuatan penampang balok). Sedangkan
sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid
Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen
yang disambung.
Kata kunci : sambungan struktur baja, alat sambung, kekakuan
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR NOTASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 3
1.4 Manfaat ... 4
1.5 Pembatasan Masalah ... 4
1.6 Metodologi Penelitian ... 5
1.7 Sistematika Penulisan ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Umum ... 9
2.2 Material Baja ... 9
2.3 Sambungan Konstruksi Baja ... 12
2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connection) ... 14
2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing) ... 23
2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection) 24 2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja ... 26
2.4.1 Baut ... 26
2.4.1.1 Jenis Baut ... 26
2.4.1.2 Kekuatan Baut ... 36
2.4.1.3 Kriteria Perencanaan Baut ... 41
2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut ... 42
2.5 Hubungan Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 50
BAB III METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN ... 53
3.1 Pendahuluan ... 53
3.2 Permodelan Sambungan ... 53
3.3 Data Perencanaan Sambungan ... 54
3.4 Analisis Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 55
3.4.1 Sambungan Baut ... 55
3.4.1.1 Filosofi Pendesainan ... 55
3.4.1.2 Tahapan Analisa ... 55
BAB IV ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA BALOK DAN KOLOM .... 72
4.1 Data Perencanaan ... 73
4.2 Perencanaan Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 73
4.2.1 Analisa Kekuatan Penampang Balok ... 74
4.2.2 Daerah Tegangan ... 75
4.2.3 Sambungan Baut Hitam ... 75
4.2.3.1 Diameter Baut ... 75
4.2.3.2 Momen Tahanan ... 77
4.2.3.3 Desain End Plate ... 80
4.2.3.4 Daerah Tekanan End Plate ... 81
4.2.3.5 Gaya Geser Pada Web Kolom ... 82
4.2.3.6 Gaya Geser Vertikal Baut ... 82
4.2.4 Sambungan Baut Mutu Tinggi ... 83
4.2.3.1 Diameter Baut ... 83
4.2.3.2 Momen Tahanan ... 85
4.2.3.3 Desain End Plate ... 88
4.2.3.4 Daerah Tekanan End Plate ... 89
4.2.3.5 Gaya Geser Pada Web Kolom ... 90
4.2.3.6 Gaya Geser Vertikal Baut ... 90
BAB V PENUTUP ... 92
5.1 Kesimpulan ... 92
5.2 Saran ... 93
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Jenis sambungan menurut perilaku sudut rotasi antara balok dan
kolom : (a) sendi; (b) kaku; (c) semi-kaku
Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum
Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan
Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen
Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC
Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada
sambungan kaku
Gambar 2.6. Sambungan rigid connection
Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada
sambungan sederhana
Gambar 2.8. Sambungan simple connection
Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada
sambungan semi-kaku
Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection
Gambar 2.11. Alat sambung baut
Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu
Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi
Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi pratarik
dan diberi pratarik
Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal
Gambar 2.17. Kegagalan tarik
Gambar 2.18. Kegagalan tumpu
Gambar 2.19. Tata letak baut
Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik
Gambar 2.21. Jenis-jenis las
Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las
Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul
Gambar 2.24. Ukuran las sudut
Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut
Gambar 2.26. Tebal efektif las sudut
Gambar 2.27. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke sayap
kolom)
Gambar 2.28. Sambungan balok ke kolom (sambungan baut)
Gambar 2.29. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke badan
kolom)
Gambar 3.1. Permodelan sambungan yang ditinjau
Gambar 3.2. Kekuatan sambungan
Gambar 3.3. Kemampuan perlawanan dari barisan baut
Gambar 3.4. Geometri Sambungan
Gambar 3.5. Cek tipikal tegangan pada badan
Gambar 3.6. Penyebaran kekuatan untuk tekanan pada badan
Gambar 3.7. Panjang untuk tekuk pada badan
Gambar 3.8. Gaya geser lokal pada badan
Gambar 3.10. Tegangan dan geser baut
Gambar 3.11. Cek tahanan dan tekuk stiffener
Gambar 3.12. Distribusi tegangan pada level beban berbeda
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural
Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan
Tabel 2.3. Tarikan baut minimum
Tabel 2.4. Sifat-sifat baut
Tabel 2.5. Jarak tepi minimum baut
Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut
DAFTAR NOTASI
Ab Luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (cm2)
As Daerah geser baut (dianjurkan daerah ulir, cm2)
Asg Luas kotor stiffener (cm2)
Asn Luas bersih stiffener yang berhubungan dengan sayap kolom (cm2)
Aw Luas badan kolom yang diperkenankan untuk tekuk (cm2)
Aw Luas geser efektif las (cm2)
B Lebar sayap kolom (cm)
Bb Lebar sayap balok (cm)
bp Lebar end plate (cm)
bsg Lebar stiffener (cm)
b1 Panjang penahan kekakuan berdasarkan 45o penyebaran melalui end
plate dari tepi las (cm)
c Jarak dari pusat berat ke serat terluar (cm)
d Tinggi badan antara las (cm)
db Diameter baut pada daerah tak berulir (cm)
Dc Tinggi penampang kolom (cm)
ex Jarak tepi (cm)
Fri Kekuatan akhir pada barisan baut i (kg)
Fu Kuat tarik pelat (kg/cm2)
fu Kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat (kg/cm2)
Kuat tarik baut (kg/cm2)
g Jarak horizontal antar pusat baut (cm)
hi Jarak dari pusat tekanan ke baris i (cm)
I Momen inersia (cm4)
L Panjang stiffener (cm)
Leff Panjang efektif garis lentur (cm)
Lt Panjang regangan efektif pada badan dengan asumsi pelebarannya 60o
dari baut ke pusat badan (cm)
M Momen (kg.cm)
n2 Perolehan panjang dari perbandingan 1 : 2,5 penyebaran melalui sayap
kolom dan radius kaki (cm)
pb Nilai minimum dari kuat tekan baut atau bagian sambungan
pc Kuat tekan rencana badan kolom
pc Kuat tekan stiffener
Pr Kemampuan perlawanan dari barisan baut, atau kelompok baut (kg)
Pri Kekuatan pada barisan baut i (kg)
ΣPt’ Jumlah kapasitas tegangan untuk semua baut dalam kelompok (kg)
Tb Tebal sayap balok (cm)
tb Tebal badan balok (cm)
Tc Tebal sayap kolom (cm)
tc Tebal badan kolom (cm)
tp Tebal pelat (cm)
ts Tebal stiffener (cm)
Tu Beban tarik terfaktor (kg)
tw Tebal badan kolom atau balok (cm)
V Beban geser (kg)
Vu Gaya geser terfaktor (kg)
Z Modulus plastik (cm3)
μ Koefisien gesek
φ Faktor reduksi tahanan
ABSTRAK
Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan
memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya
pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang
kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul. Dalam
perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan
mempengaruhi kekuatan sambungan dan kondisi kekakuan yang berbeda-beda
sesuai jenis dan fungsinya. Pada analisa mengenai sambungan antara balok dan
kolom ini, bertujuan untuk melihat apakah sambungan bersifat rigid atau
semi-rigid, dimana sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis
extended one way, dengan menggunakan profil baja IWF 350 x 175 x 7 x 11,
spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2). Alat sambung yang digunakan adalah baut
mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi A325. Peraturan yang digunakan
sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dengan
metode LRFD (Load and Resistance Factor Design), serta panduan dari American
Institute of Steel Construction (AISC). Dari hasil analisa dan perhitungan,
diperoleh nilai kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan,
berupa momen elastis My sebesar 1.865.136 kg.cm dan momen plastis Mp sebesar
2.018.040 kg.cm. Sedangkan momen tahanan nominal Mn sambungan baut yang
terjadi pada sambungan dengan menggunakan baut mutu biasa (Baut Hitam)
sebesar 1.424.201,21 kg.cm, dan baut Mutu Tinggi sebesar 3.357.047,09 kg.cm.
Dengan demikian, sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat
sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena
momen yang terjadi pada sambungan (pengaruh alat sambung) lebih kecil dari
momen yang disambung (pengaruh kekuatan penampang balok). Sedangkan
sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid
Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen
yang disambung.
Kata kunci : sambungan struktur baja, alat sambung, kekakuan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk
satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan.
Sambungan pada suatu konstruksi berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang
bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung.
Adapun gaya-gaya yang bekerja pada sambungan antara lain gaya normal, gaya
geser, momen, dan torsi (Charles G. Salmon & John E. Johnson, 1997).
Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan
memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya
pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang
kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul.
Sambungan-sambungan tersebut direncanakan harus dapat menahan
gaya-gaya yang akan bekerja padanya akibat adanya beban luar maupun berat
sendirinya. Syarat-syarat perencanaan lainnya yang berlaku pada sambungan
diantaranya : kekakuan, kekuatan, keindahan, ekonomis, dan praktis.
Dalam perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan
digunakan mempengaruhi kekuatan sambungan nantinya. Setiap sambungan
memiliki kondisi kekakuan yang berbeda-beda sesuai jenis dan fungsinya.
Kekakuan tersebut mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi gaya-gaya
Pada konstruksi beton, perihal sambungan tidak terlalu dipermasalahkan,
karena hubungan antara titik temu struktur secara keseluruhan bersifat monolit
(menyatu secara kaku). Berbeda dengan konstruksi baja maupun kayu,
sambungannya memerlukan perhatian khusus karena elemen-elemen struktur
yang mengalami penyambungan tidak bersifat monolit seperti halnya pada
konstruksi beton, terutama pertemuan antara balok dan kolomnya.
Rangka portal baja secara tradisional direncanakan dengan asumsi bahwa
sambungan antara balok dan kolomnya bersifat sendi atau kaku sepenuhnya (fully
rigid). Jika kondisinya sendi, berarti tidak ada momen yang tersalurkan antara
balok dan kolom; ini berarti sambungan tersebut tidak memiliki kekakuan rotasi
dan tidak dapat menyalurkan momen, namun dapat menyalurkan gaya aksial dan
gaya geser ke komponen yang disambungnya (Gambar 1.1a). Selain itu,
sambungan kaku sepenuhnya memiliki kekakuan rotasi dan dapat menyalurkan
seluruh gaya yang terjadi antara balok dan kolom (Gambar 1.1b). Namun, sifat
dan perilaku sambungan tidak dapat sepenuhnya dipahami. Kenyataannya,
sambungan juga memiliki tingkatan derajat kekakuan antara sendi dan kaku, yang
disebut semi-kaku (Gambar 1.1c).1
Gambar 1.1. Jenis sambungan menurut perilaku sudut rotasi antara balok dan
kolom : (a) sendi; (b) kaku; (c) semi-kaku1
1
Concepcion Diaz, et al., 2010, Review on The Modeling of Joint Behavior in Steel Frames,
Oleh karena itu, dilakukanlah suatu analisa mengenai sambungan antara
balok dan kolom pada suatu portal baja dengan menggunakan dua jenis alat
sambung baut (yaitu baut mutu biasa/baut hitam dan baut mutu tinggi), guna
melihat perbedaan perilaku dan kebutuhan sambungan antara keduanya, apakah
berupa sambungan jenis Rigid Connection (Sambungan Kaku) atau Semi-rigid
Connection (Sambungan Semi-kaku).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah yang akan diteliti antara lain :
1. Bagaimana merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom
pada suatu portal baja dari dua jenis alat sambung baut tersebut, kemudian
dilihat perbandingan antara keduanya.
2. Bagaimana menganalisa perilaku sambungan tersebut, apakah berupa
sambungan jenis Rigid Connection atau Semi-rigid Connection.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk :
1. Merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom pada suatu
portal baja dari kedua jenis alat sambung baut tersebut, kemudian dilihat
perbandingan antara keduanya.
2. Menganalisa perilaku sambungan tersebut, apakah berupa sambungan jenis
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembahasan ini adalah dapat menganalisa dan merencanakan
kebutuhan sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan baut yang
berbeda jenis, melihat perbedaan antara keduanya, serta melihat apakah
sambungan tersebut berupa sambungan rigid atau semi-rigid, sehingga bisa
menjadi referensi tambahan dalam perencanaan konstruksi nantinya.
1.5 Pembatasan Masalah
Dengan mempertimbangkan efisiensi waktu dalam penulisan tugas akhir ini, maka
dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut :
1. Sambungan konstruksi yang direncanakan merupakan sambungan antara
Balok dan Kolom.
2. Material yang digunakan merupakan jenis baja spesifikasi Bj 37 (fy =
2400 kg/cm2).
3. Profil yang digunakan untuk komponen balok dan kolom adalah profil baja
IWF.
4. Alat sambung yang digunakan adalah baut, dengan ketentuan berupa baut
mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi spesifikasi A325.
5. Peraturan yang digunakan sebagai pedoman adalah peraturan SNI
03-1729-2002 untuk Struktur Baja dan perhitungan dengan metode LRFD
1.6 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah berupa study
literatur, dengan mengumpulkan bermacam-macam teori dan pembahasan melalui
buku-buku, peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI), dan panduan dari
American Institute of Steel Construction(AISC), serta jurnal-jurnal yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas.
Kemudian, dilakukan pemilihan mutu bahan, jenis dan dimensi profil
untuk komponen struktur balok dan kolom yang akan digunakan, serta jenis dan
mutu alat sambung bautnya. Untuk selanjutnya, dilakukan analisa dan perhitungan
terhadap kebutuhan sambungan dengan menggunakan jenis baut yang berbeda,
berdasarkan acuan SNI 03-1729-2002 dan AISC, menggunakan metode analisa
perhitungan LRFD (Load and Resistance Factor Design). Dari hasil analisa dan
perhitungan yang diperoleh nantinya, akan dilihat perbandingan antara kedua jenis
sambungan tersebut, apakah berupa sambungan rigid atau semi-rigid.
Secara garis besar, tahapan metodologi penelitian ini dapat digambarkan
Gambar 1.2. Bagan metodologi penelitian
SELESAI MULAI
PENGUMPULAN DATA (Study Literatur)
PEMILIHAN KRITERIA DESAIN
ANALISA DAN PERENCANAAN SAMBUNGAN
MENGGUNAKAN BAUT
(Berdasarkan Acuan SNI 03-1729-2002 dan AISC,
menggunakan metode perhitungan LRFD) PRELIMINARY DESIGN
SAMBUNGAN KAKU
(RIGID CONNECTION)
SAMBUNGAN SEMI-KAKU
(SEMI-RIGID CONNECTION)
BAUT MUTU BIASA
(A307)
BAUT MUTU TINGGI
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk penyajian bahasan yang diteliti, tugas akhir ini dibagi atas 5 (lima) bab
dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Memuat gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan sebagai
tugas akhir, berupa penjelasan latar belakang penelitian, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisannya.
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Berisi tentang penjelasan umum mengenai sifat dan perilaku baja, jenis
dan perilaku sambungan menurut kekakuan, berupa sambungan
momen, sambungan rigid, dan semi-rigid, mengenai alat sambung yang
digunakan dalam penyambungan konstruksi, serta bahasan mengenai
sambungan antara balok dengan kolom.
BAB III METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN
Membahas tentang tahapan/langkah-langkah yang akan dilakukan
dalam menganalisa dan merencanakan sambungan, terdiri dari
pemilihan kriteria dan pemodelan sambungan, serta perencanaan dan
analisis sambungan yang menggunakan alat sambung baut.
BAB IV ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA BALOK DAN KOLOM
Merupakan pembahasan mengenai perencanaan sambungan yang
ditinjau, terdiri dari asumsi jenis, mutu, dan dimensi profil yang akan
digunakan, serta analisis dan perhitungan kebutuhan sambungan dengan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Memuat tentang kesimpulan yang diperoleh dari proses analisis dan
saran-saran mengenai tindakan yang ditempuh agar hasil yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk
satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan.
Sambungan tersebut berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada
titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung.
Pada konstruksi baja, selain memindahkan gaya-gaya yang terjadi,
fungsi/tujuan lain dilakukannya penyambungan yaitu :
menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan konstruksi
sesuai kebutuhan.
mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan
sebagainya).
memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja di lapangan.
memudahkan penggantian bila suatu bagian/batang konstruksi mengalami
rusak.
memberikan kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang dapat
bergerak, misal peristiwa muai-susut baja akibat perubahan suhu.
2.2 Material Baja
Baja terbuat dari biji besi dan logam besi tua yang dicampur dengan bahan
tambahan yang sesuai, kemudian dilelehkan dalam tungku bertemperatur tinggi
mentah (pigs) atau besi kasar (pigiron). Besi kasar tersebut selanjutnya dicampur
logam lain untuk menghasilkan kekuatan, keliatan, pengelasan dan karakteristik
ketahanan terhadap korosi (karat) yang diinginkan (Joseph E.Bowles, 1985).
Sifat baja yang penting sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang
tinggi, keseragaman bahan-bahan penyusunnya, kestabilan dimensional, daktilitas
yang tinggi, kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan. Namun, baja
memiliki kekurangan seperti biaya perawatan yang besar, biaya pengadaan anti
api yang besar (fire proofing cost), ketahanan terhadap perlawanan tekuk kecil,
dan kekuatannya akan berkurang jika dibebani secara berulang/periodik (kondisi
leleh atau fatigue).
Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat
dikategorikan sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :
1. Baja dengan persentase zat arang rendah (low carbon steel), dimana
kandungan arangnya lebih kecil dari 0,15%.
2. Baja persentase zat arang ringan (mild carbon steel), 0,15% - 0,29%.
3. Baja persentase zat arang sedang (medium carbon steel), 0,30% - 0,59%.
4. Baja dengan persentase zat arang tinggi (high carbon steel), 0,60% - 1,7%.
Baja untuk bahan struktur termasuk ke dalam baja yang persentase zat
arangnya ringan (mild carbon steel). Semakin tinggi kadar zat arang yang
terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya.
Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan antara
lain :
Modulus elastisitas (E) = 200.000 MPa
Nisbah poisson (μ) = 0,3
Koefisien pemuaian (α) = 12 x 10-6 per oC
Serta persyaratan minimum pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural
Jenis Baja Tegangan putus
Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002
Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja,
dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas
baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti
tergambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum
2.3 Sambungan Konstruksi Baja
Sambungan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam
perencanaan struktur baja. Hal ini dikarenakan bentuk struktur bangunan yang
begitu kompleks, salah satunya sambungan antara balok dan kolom.
Pada umumnya, sambungan antara balok dan kolom terdiri dari tiga
elemen yaitu : balok, kolom, dan alat penyambung. Ketiga elemen tersebut harus
direncanakan dengan matang agar struktur bangunan tersebut bertahan sesuai
dengan fungsinya.
Kegagalan dalam sambungan dapat mengakibatkan perubahan fungsi
struktur bangunan, dan yang paling berbahaya adalah keruntuhan pada struktur
tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, maka kekakuan sambungan antara balok
dan kolom tersebut harus memenuhi persyaratan.
Ada beberapa kriteria dasar yang umum dalam merencanakan sambungan,
antara lain (Ervina Sari, 2003) :
1. Kekuatan (strength)
Dari segi kekuatan, sambungan harus dapat menahan momen, gaya geser,
dan gaya aksial yang dipindahkan dari batang yang satu ke batang yang
lain.
2. Kekakuan (stiffness)
Kekakuan sambungan secara menyeluruh berguna untuk menjaga posisi
komponen struktur agar tidak bergerak atau berubah antara satu dengan
3. Kapasitas rotasi
Pada sambungan yang direncanakan untuk menahan momen plastis, titik
simpulnya dapat dibuat tidak terlalu kaku (rigid). Namun demikian, derajat
kekakuannya harus cukup untuk memungkinkan redistribusi momen yang
sesuai dengan asumsi analisis. Oleh sebab itu, sambungan perlu
direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kapasitas rotasi
yang cukup selama menyokong momen plastis.
4. Cukup ekonomis
Sambungan harus cukup sederhana agar biaya fabrikasinya murah, namun
tetap memenuhi syarat kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaannya.
Ditinjau dari segi kekakuannya, sambungan dapat dibagi menjadi (Ervina Sari,
2003) :
1. Sambungan defenitif, artinya tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak
alat-alat penyambungnya (menggunakan paku keling atau pengelasan).
2. Sambungan tetap, dimana bagian yang disambung tidak dapat bergerak
lagi (menggunakan paku keling atau pengelasan).
3. Sambungan sementara, dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat
penyambungnya (menggunakan baut).
4. Sambungan bergerak, sambungan ini memungkinkan pergerakan yang
dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian-bagian yang akan
Sambungan juga dapat digolongkan menurut (Ervina Sari, 2003) :
1. Metode alat penyambung, seperti : las, pin, baut, baut mutu tinggi, dan
paku keeling.
2. Kekuatan geser sambungan (connection, rigidity) :
a. Sambungan Kaku, dimana kapasitas momen disalurkan secara penuh
ke komponen yang disambung dan sudut yang terjadi antara
sambungan dipertahankan agar relatif konstan.
b. Kerangka Sederhana, dimana tidak terjadi perpindahan momen
diantara bagian-bagian yang disambung (momen yang terjadi kecil,
sehingga dapat diabaikan).
c. Sambungan Semi-kaku, kapasitas momen yang dipindahkan kurang
dari kapasitas momen penuh dari bagian-bagian konstruksi yang
disambung.
2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connections)
Karakteristik sambungan dapat dipahami berdasarkan gambaran rotasi akibat
adanya gaya yang diberikan. Rotasi yang terjadi membuat perubahan sudut
antara sambungan seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan
Berdasarkan kurva momen-rotasi (M-Ø), sambungan dapat
diklasifikasikan dalam tiga karakteristik seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 2.3. Tiga karakteristik tersebut adalah (Joints in Steel Construction,
Moment Connections, 1995) :
1. Momen tahanan (moment resistance), yaitu berupa sambungan full
strength, partial strength, atau nominally pinned (tidak ada momen
penahan).
2. Rotasi kekakuan (rotational stiffnes), dimana sambungan berifat rigid,
semi-rigid, atau nominally pinned (dimana tidak ada rotasi kekakuan).
3. Kapasitas rotasi (rotational capacity), dimana sambungan perlu
berdeformasi dan memerlukan rotasi plastis dari suatu tahapan gaya
tanpa mengalami keruntuhan.
Kurva momen-rotasi adalah grafik hubungan antara momen (sumbu y)
dan rotasi (sumbu x) dari suatu sambungan. Momen (M) dalam hal ini
diakibatkan oleh beban yang bekerja pada bidang balok terhadap sambungan
dalam jarak tertentu. Rotasi (Ø) adalah perpindahan balok terhadap kolom
Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen
(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)
Pada umumnya, kurva momen-rotasi dari sebuah sambungan dapat
memberikan beberapa sifat atau karakteristik sebagai berikut (Joints in Steel
Construction, Moment Connections, 1995) :
1. Kekakuan dari sebuah sambungan diidentifikasi dari kemiringan kurva.
2. Perilaku sambungan pada umumnya adalah non linier, dimana
kekakuan menurun sedangkan rotasi meningkat.
3. Pada Gambar 2.3c, daktilitas meningkat seiring meningkatnya rotasi.
Sebuah sambungan dapat dinyatakan ductile (elastis) jika memenuhi
Pada Gambar 2.3a, sehubungan dengan kekuatan (strength),
sambungan diklasifikasikan menjadi full strength, partial strength, dan
nominally pinned :
Sambungan full strength didefinisikan sebagai sambungan dengan
moment resistance/tahanan M sama atau lebih besar dari moment
capacity/kapasitasnya (M ≥ Mcx). Kurva 1, 2, dan 4 menunjukkan
sambungan full strength.
Sambungan partial strength didefinisikan sebagai sambungan moment
resistance/tahanan M sama atau kurang dari moment
capacity/kapasitasnya (M ≤ Mcx). Kurva 3 dan 5 termasuk ke dalam
klasifikasi partial strength.
Sedangkan nominally pinned adalah sambungan yang cukup fleksibel
dengan momen resistance/tahanan tidak lebih 25% dari moment
capacity/kapasitasnya. Kurva 6 menggambarkan sambungan tipe
nominally pinned.
Pada Gambar 2.3b, kekakuan (rigidity) sama dengan kekakuan rotasi
dimana kurva 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan sambungan rigid. Sedangkan kurva
5 termasuk dalam klasifikasi sambungan semi-rigid. Dalam peraturan BS5950
dijelaskan bahwa garis putus-putus antara rigid dengan semi-rigid diperoleh
dari rumus 2EI/L.
Pada Gambar 2.3c, kurva 2, 4, dan 5 adalah sambungan ductile
elastis. Kurva 6 merupakan jenis sambungan nominally pinned, sehingga
merupakan sambungan sederhana.
Pedoman mengenai sifat yang diperlukan untuk perencanaan
sambungan pada rangka bangunan dari beberapa metode yang sedang populer
pada saat sekarang ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan
Perencanaan Sambungan
Catatan
Tipe Rangka Analisa Global Sifat Gambar 2.3 Contoh Metode
Simple/
Plastis Full strength 1,2,4 Bagian 2 Sendi plastis terbentuk
pada komponen Elastis-Plastis Full strength dan rigid 1,2,4 Bagian 2
Semi-BS 5950 mengacu pada metode perencanaan masing-masing sebagai “Kaku” dan “Semi-kaku” tetapi hal ini dapat membingungkan karena mencakup sifat-sifat selain kekakuan.
Lihat pada referensi The Steel Construction Institute, and British Constructional Steelwork Association Ltd (Joints in Simple Construction)
Dimana :
Full strength connection (sambungan kuat sepenuhnya), yaitu
sambungan dimana momen tahanannya setidaknya sama dengan
komponen yang disambung.
Partial strength connection (sambungan kuat sebagian), yaitu
sambungan dimana momen tahanannya lebih kecil dari komponen yang
disambung.
Rigid connection (sambungan kaku), yaitu sambungan yang
kekakuannya cukup untuk menahan sifat fleksibel rangka bangunan
akibat adanya momen lentur sehingga dapat diabaikan.
Semi-rigid connection (sambungan semi-kaku), merupakan sambungan
yang sangat fleksibel untuk dianggap bersifat kaku namun juga bukan
bersifat sendi.
Nominally pinned connection (sambungan sendi), yaitu sambungan
yang cukup fleksibel dianggap sebagai sendi untuk tujuan analisis.
Sambungan ini, secara defenisi, bukan merupakan sambungan momen
melainkan sambungan partial strength yang mampu melawan kurang
dari 25% Mcx, sehingga dianggap sebagai sambungan sendi.
Ductile connection (sambungan elastis), merupakan sambungan yang
kapasitas rotasinya dianggap sebagai sendi plastis.
Simple design (desain sederhana), merupakan metode pendesainan
rangka yang sambungannya diasumsikan tidak terjadi momen yang
mempengaruhi, baik sambungan itu sendiri maupun struktur secara
Continuous design (desain menerus), merupakan metode pendesainan
rangka yang sifat sambungannya tidak dimodelkan dalam analisa
rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungannya
bersifat rigid, atau analisa plastis dimana sambungannya full strength.
Semi-continuous design (desain semi-menerus), merupakan metode
pendesainan rangka yang sifat sambungannya dimodelkan dalam
analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungan
semi-kakunya dimodelkan sebagai rotasi pegas, atau analisa plastis
dimana sambungannya kuat sebagian dan dimodelkan sebagai sendi
plastis.
2.3.2 Sambungan Berdasarkan Karakteristik Kekakuan (Rigidity)
Selain Sambungan Momen di atas, menurut AISC-1.2 tentang perencanaan
tegangan kerja (working stress) dan AISC-2.1 tentang perencanaan plastis,
konstruksi baja dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan jenis sambungan
yang dipakai. Ketiga jenis ini adalah sebagai berikut (Charles G. Salmon dan
John E. Johnson, 1995) :
1. Jenis 1 AISC. Sambungan portal kaku (rigid connection), 2. Jenis 2 AISC. Sambungan kerangka sederhana (simple framing), 3. Jenis 3 AISC. Sambungan kerangka semi-kaku (semi-rigid
connection).
Gambar 2.4 memperlihatkan grafik persamaan garis balok dan
umumnya harus memikul momen ujung M1, yang sekitar 90% dari MFa atau
lebih; jadi derajat pengekangannya dapat dikatakan 90%. Sambungan
sederhana (Jenis 2) hanya dapat menahan 20% dari momen MFa atau kurang,
seperti yang ditunjukkan oleh momen M2, sedangkan sambungan semi-kaku
diperkirakan menahan momen sebesar M3, yang mungkin sekitar 50% dari
momen primer MFa.
Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)
2.3.2.1 Sambungan Kaku (Rigid Connection)
Sambungan ini memiliki kontinuitas penuh sehingga sudut pertemuan
antara batang-batang tidak berubah, yakni pengekangan (restraint) rotasi
sekitar 90% atau lebih dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan
sudut. Sambungan ini dipakai baik pada metode perencanaan tegangan
kerja maupun perencanaan plastis (Charles G. Salmon dan John E.
Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna
pada sambungan kaku
(Sumber : Ervina Sari, 2003)
Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe FR” (Fully
Restrained/terkekang penuh) dan dalam ASD-A2.2dikenal sebagai “Tipe
1”. Biasanya, sambungan jenis ini digunakan pada bangunan yang
strukturnya direncanakan tahan terhadap angin dan gempa (Jack C.
McCormac, 2008).
Gambar 2.6. Sambungan rigid connection
(Sumber : Jack C. McCormac, 2008, dan Dian Sukma Arifwan, 2007)
Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini dianggap memiliki
kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara
komponen-komponen yang disambung.
Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles
2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing)
Pengekangan rotasi di ujung-ujung batang pada sambungan ini dibuat
sekecil mungkin. Suatu kerangka dapat dianggap sederhana jika sudut
semula antara batang-batang yang berpotongan dapat berubah sampai
80% dari besarnya perubahan teoritis yang diperoleh dengan
menggunakan sambungan sendi tanpa gesekan (frictionless). Kerangka
sederhana tidak digunakan dalam perencanaan plastis, kecuali pada
sambungan batang-batang tegak lurus bidang portal yang harus mencapai
kekuatan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).
Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna
pada sambungan sederhana
(Sumber : Ervina Sari, 2003)
Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe PR” (Partially
Restrained/terkekang sebagian) dan dalam ASD-A2.2 dikenal sebagai
“Tipe 2”(Jack C. McCormac, 2008).
θ1 = 0
Ø ≈ 0
Gambar 2.8. Sambungan simple connection
(Sumber : Jack C. McCormac, 2008)
Menurut SNI 03-1729-2002, jenis sambungan ini dipakai untuk
menyambung suatu balok ke balok lainnya atau ke sayap kolom. Pada
sambungan ini, siku penyambung dibuat sefleksibel mungkin dan
sambungan pada kedua ujung komponen struktur dianggap bebas
momen.
2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection)
Pengekangan rotasi sambungan berkisar antara 20% - 90% dari yang
diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan semi-kaku
tidak dipakai dalam perencanaan plastis dan jarang sekali digunakan pada
metode tegangan kerja, terutama karena derajat pengekangannya sukar
ditentukan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).
Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna
pada sambungan semi-kaku
(Sumber : Ervina Sari, 2003)
Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini juga termasuk ke dalam “Tipe
PR” (Partially Restrained/terkekang sebagian), dimana penggunaanya
tergantung pada proporsi tertentu dari kekangan penuh. Dalam
ASD-A2.2, desain sambungan semi-rigid menghendaki kapasitas momen pada
derajat pertengahan antara rigiditas “Tipe 1” dan fleksibilitas “Tipe 2”
(Jack C. McCormac, 2008).
Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection
(Sumber : Chen & Lui, 1991)
(a) single web angle (b) single plate (c) double web angle
(d) header plate (e) top and seat angle (f) top and seat angle with double web angle
(g) extended end plate (h) flush end plate (i) T - stub
Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini tidak memiliki
kekuatan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara
komponen-komponen yang disambung.
2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja 2.4.1 Baut
Pada suatu struktur yang terbuat dari konstruksi baja, baut merupakan suatu
elemen yang paling vital untuk diperhitungkan, karena merupakan alat
sambung yang paling sering digunakan.
2.4.1.1 Jenis Baut
Ada beberapa jenis baut yang digunakan dalam perencanaan sambungan,
antara lain (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :
a. Baut Mutu Tinggi (ASTM A325dan A490)
panas sekitar 558 sampai 634 MPa yang tergantung pada diameter. Baut
A
490 juga diberi perlakuan panas tetapi dibuat dari baja paduan (alloy)
dengan kekuatan leleh sekitar 793 sampai 896 MPa yang tergantung pada
diameter baut.
Alat sambung ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan
digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus dan tebal seperti
Gambar 2.11. Alat sambung baut
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997)
Bagian ulirnya lebih pendek daripada bagian baut yang tidak
struktural, dan dapat dipotong atau digiling. Diameter baut kekuatan
tinggi berkisar antara ½ dan 1 ½ inchi. Diameter yang paling sering
digunakan pada konstruksi gedung adalah ¾ sampai 7/
8 inchi, sedang
ukuran yang paling umum digunakan dalam perencanaan jembatan
Pemasangan baut mutu tinggi
Kekuatan alat sambung baut mutu tinggi ditentukan oleh
dimensinya, tipe bautnya, kekuatan leleh (tensile strength), panjang ulir
di dalam elemen pelat, dan putaran untuk tarik awal. Pada
pemasangannya, baut mutu tinggi memerlukan pemberian gaya pratarik
yang memadai. Gaya pratarik harus sebesar mungkin tanpa
mengakibatkan deformasi permanen dan kehancuran dari baut. Sebagai
ganti tegangan leleh, digunakan istilah proof load, dimana beban
diperoleh dengan mengalikan luas tegangan tarik dengan tegangan leleh
yang ditetapkan berdasarkan regangan tetap 0,2% atau perpanjangan
0,5% akibat beban (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997).
Gaya pratarik yang ditetapkan AISC sama dengan 70% dari
minimum tensile strength seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3 dan
tarikan ini sama dengan proof load.
Tabel 2.3. Tarikan baut minimum
AISC menetapkan 3 (tiga) macam teknik umum untuk mencapai
besarnya pretension, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,
1997) :
Metode calibrated wrench (kunci yang dikalibrasi)
Menggunakan kunci puntir manual (manual torque wrenches) dan
kunci otomatis (power wrenches) yang diatur agar berhenti pada
nilai puntir yang ditentukan, untuk menimbulkan tarikan baut
sedikitnya 5% di atas nilai yang ditunjukan dalam Tabel 2.3.
Metode turn of the nut (putaran mur)
Gaya tarikan awal baut diperoleh dengan menetapkan rotasi mur
pada awal snug tig position (titik erat) yang menimbulkan besarnya
regangan tertentu pada baut. Mur dipandang berada pada “titik
erat” setelah “beberapa kejutan dari kunci kejut atau seluruh
kemampuan manusia dengan kunci mekanik biasa tidak dapat
memutarnya lagi”.
Metode direct tension indication
Metode ini menggunakan alat berupa cincin pengeras (cincin
indicator) dengan sejumlah tonjolan keluar pada salah satu
mukanya. Cincin indicator dipasang antara kepala baut dan bahan
yang disambung dengan tonjolan keluar menumpu pada sisi bawah
kepala baut atau menumpu pada pelat nut face washer yang
diletakkan antara cincin indicator dan mur, sehingga terdapat gap
akibat cincin indicator tersebut. Tarikan baut ditentukan dari
Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan
tipe friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan
tipe tumpu.
a. Sambungan Tipe Tumpu
Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang
dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang
dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang
disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser
pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan.
Sambungan ini digunakan apabila kelebihan beban tidak penting
walaupun menyebabkan tangkai baut mendesak sisi lubang.
Untuk pembebanan lainnya, beban dipindahkan oleh gesekan
bersama dengan desakan pelat. Gelinciran hanya akan terjadi
sekali asalkan pembebanan bersifat statis dan tak berubah arah
dan setelah itu baut akan bertumpu pada bahan di sisi lubang.
Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu 2
2
Dody B., 2012, Desain Konstruksi Baja, diunduh dari http://dodybrahmantyo.dosen.narotama.
b. Sambungan Tipe Friksi
Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu
tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut
minimum yang disayaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya
geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam
bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan antara
bidang-bidang kontak. Tipe ini digunakan apabila gelinciran pada beban
kerja tidak dikehendaki. Pada tipe ini daya tahan gelincir
memadai pada kondisi beban kerja harus disediakan di samping
kekuatan sambungan yang memadai.
Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi 2
Apabila dikehendaki sambungan tanpa slip (tipe friksi), maka satu
baut yang hanya memikul gaya geser terfaktor Vu dalam bidang
permukaan friksi harus memenuhi (Agus Setiawan, 2008) :
Vu < φVn
Vu < φ . 1,13 μ . m . proof load
Dimana :
μ = koefisien gesek (0,35)
m = jumlah bidang geser
Proof load adalah gaya tarik awal yang diperoleh dari pengencangan
awal, memberikan friksi sehingga cukup kuat untuk memikul beban yang
bekerja.
Menurut Spesifikasi AISC setiap baut kekuatan tinggi harus
dipasang dengan cara yang sama hingga tarikan awalnya sama tanpa
memandang tipe sambungan apakah tipe geser atau tipe tumpu.
Penampilan pada beban kerja pada umumnya identik yaitu beban kerja
disalurkan melalui gesekan antara potongan yang disambung. Perbedaan
penampilan hanyalah akibat perbedaan faktor keamanan terhadap
gelincir.
b. Baut Hitam (ASTM A307)
Baut ini terbuat dari baja karbon rendah dan merupakan jenis baut
paling murah. Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan
yang paling murah karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada
suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur ringan, batang
sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (cat walk),
gording, rusuk dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang
bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat
penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut
c. Baut Sekrup (Turned Bolt)
Dibuat dengan mesin, berbentuk segi enam dengan toleransi yang
lebih kecil (sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan dengan baut hitam.
Digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang
yang dibor.
d. Baut Bersirip (Ribbed Bolt)
Terbuat dari baja paku keling biasa, berkepala bundar dengan
tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Bermanfaat pada sambungan
tumpu (bearing) dan sambungan yang mengalami tegangan berganti
(bolak-balik).
Tabel 2.4. Sifat-sifat baut
Perbandingan Baut Mutu Tinggi dan Baut Biasa
Pada sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan
baut mutu tinggi akan menambah kapasitas daya dukung sambungan itu,
bukan saja karena kekuatan bautnya, tapi juga karena pengaruh tarik
minimum dengan cara pemutaran mur oleh kunci momen yang telah
ditentukan standarnya berdasarkan baut yang digunakan. Pengaruh
adanya pratarik ini menyebabkan terjadinya gaya gesekan antara dua
elemen pelat yang disambung.
Untuk baut mutu biasa/hitam yang tidak mampu memikul pratarik
atau baut mutu tinggi yang tidak diberi pratarik (pretension) dimodelkan
menjadi suatu tampang kontinu dengan cara mengkonversi luasan baut
dan luasan pelat dimana masing-masing menerima tarik pada daerah atas
dan menerima tekan pada daerah bawah garis netral (tampang berbentuk
T terbalik).
Baut mutu tinggi tidak lagi seperti permodelan baut mutu biasa
akibat baut terlebih dahulu telah mengalami tarik minimum (gaya
pratarik). Artinya, semua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak
mengalami tekan. Ketika beban luar bekerja (momen luar), garis netral
berada di tengah-tengah kumpulan alat sambung (Sanci Barus dan
Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi
pratarik dan diberi pratarik
(Sumber : Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010)
Dimana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut 3:
Kemudian, tegangan pada serat paling atas dapat diperoleh dengan
menghitung inersia tampang luasan pengganti 3 :
- , maka
Hubungan Balok-Kolom, Jurnal, Universitas Sumatera Utara.
Dibandingkan dengan perilaku sambungan menggunakan alat
sambung baut mutu tinggi yang diberi pratarik, permodelan tampang
luasan pengganti tidak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan seluruh baut
telah terlebih dahulu diberi gaya pratarik (pretension) sebesar T. Akibat
pemberian gaya awal tersebut, maka seluruh baut mengalami tarikan dan
seluruh pelat mengalami gaya tekan.
Dengan demikian, perilaku penggunaan baut mutu tinggi berbeda
dengan baut mutu biasa yang tidak diberikan perilaku pratarik. Akibat
penguncian atau pemberian gaya pratarik pada baut mutu tinggi, timbul
gaya perlawanan geser yang akan memberikan faktor keamanan yang
lebih besar dibanding perilaku baut mutu biasa (Sanci Barus dan Robert
Panjaitan, 2010).
2.4.1.2 Kekuatan Baut
Sebelum memutuskan sambungan apa yang akan digunakan pada suatu
konstruksi, kita harus mengetahui kekuatan sambungan tersebut. Dalam
hal menentukan kekuatan sambungan baut, yang ditinjau adalah
ketahanan dari aspek geser, tarik, dan desak (tumpu), baik terhadap alat
sambungnya maupun material yang disambungkan.
Suatu baut yang memikul gaya terfaktor Ru, sesuai persyaratan
LRFD harus memenuhi persyaratan (Charles G. Salmon dan John E.
Johnson, 1997) :
Ru≤ φ Rn
Rn = tahanan nominal baut, dimana nilai setiap tipe
sambungan berbeda-beda
Nilai tahanan nominal baut tersebut diperoleh berdasarkan
tahanan-tahanan yang direncanakan dalam menghitung kekuatan baut,
yaitu (Dian S. Arifwan, 2007) :
1. Tahanan geser rencana :
Hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah
terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus
terhadap panjang baut seperti terlihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
Pada kasus seperti ini, baut mengalami geser. Pada hubungan
tumpang tindih (lap joint) seperti ini, baut mempunyai kecenderungan
untuk mengalami geser di sepanjang bidang kontak tunggal antara kedua
pelat yang disambung. Karena baut menahan kecenderungan pelat-pelat
saling menggelincir pada bidang kontak dan karena baut mengalami
geser pada satu bidang saja, maka baut tersebut mengalami geser tunggal.
Pada hubungan lurus (butt joints) seperti terlihat pada Gambar
2.16, ada dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanannya di
sepanjang dua bidang tersebut dan disebut geser rangkap.
Gambar 2.16. Baut yang mengalami geser rangkap
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
Kapasitas pikul beban atau kekuatan desain sebuah baut yang
mengalami geser tunggal maupun rangkap sama dengan hasil kali antara
jumlah bidang geser dengan tegangan geser putus di seluruh luas bruto
penampang melintangnya, sehingga (SNI 03-1729-2002) :
Dimana :
m = jumlah bidang geser
r1 = 0,5 ; untuk baut tanpa ulir pada bidang geser
r1 = 0,4 ; untuk baut dengan ulir pada bidang geser
= kuat tarik baut (MPa)
Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir
2. Tahanan tarik rencana :
Sesuai dengan keadaan batas retak dalam tarik dan bentuk
kegagalan yang terlihat dalam Gambar 2.17, kekuatan nominal Rn pada
suatu penyambung dalam tarik adalah (SNI 03-1729-2002) :
Gambar 2.17. Kegagalan tarik
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
Jarak antar baut S yang biasa menurut arah transmisi gaya paling
tidak harus sebesar 3 kali diameter dan tidak boleh kurang dari 22/3
diameter baut. Karena Rn merupakan kekuatan nominal yang
disyaratkan, yang sama dengan beban terfaktor P yang bekerja pada satu
baut dibagi dengan faktor resistansi φ, maka :
Dimana :
P = beban terfaktor yang bekerja pada satu baut
φ = 0,75
Fu = kuat tarik pelat
t = tebal pelat
db = diameter baut
Persyaratan untuk jarak ujung S1 pada arah gaya baut sedemikian
rupa sehingga tidak terjadi patahan adalah :
Dimana :
P = beban terfaktor per baut
φ = 0,75
Fu = kuat tarik pelat
t = tebal pelat
3. Tahanan tumpu (desak) rencana
Kekuatan batas tumpu berkaitan dengan deformasi di sekitar
lobang baut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.18. Kekuatan tumpu Rn
merupakan gaya yang bekerja terhadap sisi lobang yang akan memecah
atau merobek pelat. Semakin besar jarak ujung L diukur dari pusat
lobang ke pinggiran, semakin kecil kemungkinan terjadinya robekan.
Gambar 2.18. Kegagalan tumpu
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
Meskipun baut dalam suatu hubungan telah memadai dalam
meneruskan beban yang bekerja dengan mengalami geser, namun masih
dapat gagal kecuali apabila material yang disambung dapat meneruskan
beban ke baut dengan baik. Distribusi sesungguhnya mengenai tekanan
tumpu pada material di sekeliling lobang tidak diketahui sehingga luas
kontak yang diambil adalah diameter nominal dikalikan dengan tebal
material yang disambung. Ini diambil dengan anggapan bahwa tekanan
merata terjadi pada luas segiempat.
Nilainya tergantung pada kondisi terlemah dari baut atau
komponen pelat yang disambung, dimana (SNI 03-1729-2002) :
Dalam perencanaan baut, ada beberapa ketentuan mengenai tata
letak/susunan baut pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) :
a. Jarak antar pusat lubang baut tidak boleh kurang dari 3 kali
dimana db adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir.
c. Jarak antara pusat lubang baut tidak boleh melebihi 15 tp atau 200
mm (tp adalah tebal pelat lapis tertipis pada sambungan).
d. Jarak dari pusat tiap lubang baut ke tepi terdekat suatu bagian
yang berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12
tp atau 150 mm.
3 db < S < 15 tp atau 200 mm
1,5 db < S1 < 12 tp atau 150 mm
Gambar 2.19. Tata letak baut
(Sumber : Agus Setiawan, 2008)
2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut
Pada umumnya, sambungan yang ada merupakan kombinasi geser dan
tarik. Contoh sambungan yang merupakan kombinasi geser dan tarik
terlihat pada Gambar 2.20. Pada sambungan (a), akibat adanya momen
maka baut tepi atas akan mengalami tarik yang sebanding dengan momen
yang bekerja. Sambungan ini digunakan bila momen tidak terlalu besar,
dan untuk momen yang besar biasanya digunakan sambungan (b), dimana
momen disalurkan melalui sayap dan diterima oleh baut-baut pada sayap
tersebut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).
S S1
S S
S1
Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
a. Sambungan Tipe Tumpu
Dalam perencanaan sambungan yang memikul kombinasi geser
dan tarik, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi (Agus
Setiawan, 2008) :
1. fuv = ≤ 0,5 . φ . fub . m tanpa ulir di bidang geser
≤ 0,4 . φ . fub . m dengan ulir di bidang geser
2. φ . Rnt = φ . ft . Ab >
b. Sambungan Tipe Friksi
Untuk sambungan tipe friksi, berlaku hubungan (Agus Setiawan,
2008) :
(
)
Dimana :
Proof load = 0,75 . Ab . proof stress
Ab = luas bruto baut
Tu = beban tarik terfaktor
n = jumlah baut
2.4.2 Las
2.4.2.1 Jenis Las
Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan, yaitu (Charles
G. Salmon dan John E. Johnson,1997) :
a. Las Tumpul (Groove Weld)
Berguna untuk menghubungkan batang-batang struktur yang
dipaskan pada bidang yang sama. Karena las tersebut harus
menyalurkan beban penuh batang-batang yang dihubungkannya,
maka las tersebut harus memiliki kekuatan yang sama dengan
batang-batang yang digabungkan.
b. Las Sudut (Fillet Weld)
Merupakan jenis las yang paling banyak digunakan karena hemat,
mudah dipabrikasi, dan adaptibilitasnya baik, serta tidak
membutuhkan presisi pada pengepasannya karena cukup
ditumpang-tindihkan.
c. Las Baji (Slot) dan Pasak (Plug)
Las baji dan pasak dapat digunakan secara tersendiri pada
sambungan atau dikombinasikan dengan las sudut. Manfaat
lewatan bila ukuran sambungan membatasi panjang yang tersedia
untuk las sudut atau las sisi lainnya, serta mencegah terjadinya
tekuk pada bagian-bagian yang saling tumpang tindih.
(a) Las tumpul (b) Las sudut
(c) Las baji (d) Las pasak
Gambar 2.21. Jenis-jenis las
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
2.4.2.2 Jenis Sambungan Las
Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las
adalah (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) :
a. Sambungan sebidang (butt joint), dipakai untuk pelat-pelat datar
dengan ketebalan sama atau hampir sama, dan tidak memiliki
eksentrisitas.
b. Sambungan lewatan (lap joint), untuk pelat dengan tebal yang
berlainan, mudah dibuat dan disesuaikan di lapangan.
c. Sambungan tegak (tee joint), untuk membuat penampang tersusun
seperti bentuk I, pelat girder, dan stiffner.
d. Sambungan sudut (corner joint), untuk penampang tersusun
berbentuk kotak pada kolom atau balok yang menerima gaya torsi
yang besar.
e. Sambungan sisi (edge joint), bukan jenis sambungan struktural
dan digunakan untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tidak
bergeser satu dengan lainnya.
Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las
(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)
2.4.2.3 Kekuatan Las
Filosofi umum dari LRFD terhadap persyaratan keamanan suatu struktur
untuk las adalah sebagai berikut (SNI 03-1729-2002) :
Ru≤ φ Rnw
Dimana : Ru = beban terfaktor per satuan panjang las
φ = faktor reduksi tahanan
Rnw = tahanan nominal per satuan panjang las
(a) butt joint (b) lap joint
Nilai kuat rencana per satuan panjang masing-masing jenis las
diperoleh berdasarkan (SNI 03-1729-2002) :
a. Kuat las tumpul
Bila sambungan dibebani gaya tarik atau gaya tekan aksial
terhadap luas efektif :
φ Rnw = 0,9 . te . fy (bahan dasar)
φ Rnw = 0,9 . te . fyw (las)
Bila sambungan dibebani gaya geser terhadap luas efektif :
φ Rnw = 0,9 . te (0,6 . fy) (bahan dasar)
φ Rnw = 0,8 . te (0,6 . fuw) (las)
Dimana : fy, fu = tegangan leleh dan tegangan tarik putus
b. Kuat las sudut
φ Rnw = 0,75 . te (0,6 . fu) (bahan dasar)
φ Rnw = 0,75 . te (0,6 . fuw) (las)
c. Kuat las baji dan pasak
φ Rnw = 0,75 (0,6 . fuw) . Aw
Dimana : Aw = luas geser efektif las
2.4.2.4 Kriteria Perencanaan Las
Ada beberapa ketentuan mengenai perencanaan las pada suatu
sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) :
a. Las tumpul
penetrasi penuh :
terdapat penyatuan antara las dan bahan induk
sepanjang kedalaman penuh sambungan.
tebal rencana las adalah ukuran las.
penetrasi sebagian :
kedalaman penetrasi lebih kecil daripada kedalaman
penuh sambungan.
Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul
(Sumber : Agus Setiawan, 2008)
b. Las sudut
ukuran las ditentukan oleh panjang kaki (tw) seperti pada
Gambar 2.24. Ukuran las sudut
(Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002)
ukuran minimum las sesuai dengan tabel berikut :
Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut
Tebal bagian paling tebal, t (mm) Tebal minimum las sudut, tw (mm)
t ≤ 7 3
7 < t ≤ 10 4
10 < t ≤ 15 5
15 < t 6
Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002
ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi komponen yang
disambung adalah :
Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut