• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Pasta Gigi Dari Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Dan Uji Aktivitas Antimikroba Terhadap Streptococcus Mutan Dan Candida Albicans

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Formulasi Pasta Gigi Dari Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Dan Uji Aktivitas Antimikroba Terhadap Streptococcus Mutan Dan Candida Albicans"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA RIGID CONNECTION

DAN SEMI-RIGID CONNECTION PADA SAMBUNGAN

BALOK DAN KOLOM PORTAL BAJA

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Penyelesaian

Pendidikan Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh :

MUTIA SHELBI 11 0424 022

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan

berkah, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Akhir ini dengan baik.

Tugas Akhir ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi

syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Sumatera Utara.

Adapun judul Tugas Akhir ini adalah “Analisis Sambungan Antara

Rigid Connection Dan Semi-Rigid Connection Pada Sambungan Balok Dan Kolom Portal Baja”.

Penyelesaikan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, serta

bimbingan dari berbagai belah pihak. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik

Sipil;

2. Bapak Ir. Syahrizal, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil;

3. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc, selaku Koordinator PPSE,

Departemen Teknik Sipil;

4. Bapak Ir. Torang Sitorus, MT, selaku Pembimbing, yang telah memberikan

arahan, dukungan, masukan, serta meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran

Beliau dalam membantu penulis menyelesaikan Tugas Akhir ini;

5. Bapak Ir. Sanci Barus, MT dan Ibu Rahmi Karolina, ST., MT, selaku Penguji,

(5)

6. Bapak/ibu seluruh Staff Pengajar, serta Pegawai Administrasi Departemen

Teknik Sipil;

7. Kedua Orang Tua penulis yang teristimewa, Ayahanda Yusuf Effendi dan

Ibunda Yunes Nelly, serta kedua Saudari penulis, kakanda Puji Maya Sari

dan adinda Ketty Wulandari, yang telah bersabar dan tak henti-hentinya

memberikan doa, motivasi, nasehat, serta dukungan. Terima kasih atas segala

pengorbanan, cinta, dan kasih sayang yang tiada batas untuk penulis;

8. Teman-teman seperjuangan penulis : Icha, Pipit, Nisa, Delima, Mazia, Dewi,

dan Dhilla, serta teman-teman Mahasiswa/i Angkatan 2011-2013 lainnya,

terima kasih atas bantuannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir ini masih

terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun, demi perbaikan untuk menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, Februari 2015

Hormat saya,

(6)

ABSTRAK

Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan

memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya

pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang

kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul. Dalam

perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan

mempengaruhi kekuatan sambungan dan kondisi kekakuan yang berbeda-beda

sesuai jenis dan fungsinya. Pada analisa mengenai sambungan antara balok dan

kolom ini, bertujuan untuk melihat apakah sambungan bersifat rigid atau

semi-rigid, dimana sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis

extended one way, dengan menggunakan profil baja IWF 350 x 175 x 7 x 11,

spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2). Alat sambung yang digunakan adalah baut

mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi A325. Peraturan yang digunakan

sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dengan

metode LRFD (Load and Resistance Factor Design), serta panduan dari American

Institute of Steel Construction (AISC). Dari hasil analisa dan perhitungan,

diperoleh nilai kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan,

berupa momen elastis My sebesar 1.865.136 kg.cm dan momen plastis Mp sebesar

2.018.040 kg.cm. Sedangkan momen tahanan nominal Mn sambungan baut yang

terjadi pada sambungan dengan menggunakan baut mutu biasa (Baut Hitam)

sebesar 1.424.201,21 kg.cm, dan baut Mutu Tinggi sebesar 3.357.047,09 kg.cm.

Dengan demikian, sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat

sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena

momen yang terjadi pada sambungan (pengaruh alat sambung) lebih kecil dari

momen yang disambung (pengaruh kekuatan penampang balok). Sedangkan

sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid

Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen

yang disambung.

Kata kunci : sambungan struktur baja, alat sambung, kekakuan

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR NOTASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

1.5 Pembatasan Masalah ... 4

1.6 Metodologi Penelitian ... 5

1.7 Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Umum ... 9

2.2 Material Baja ... 9

2.3 Sambungan Konstruksi Baja ... 12

2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connection) ... 14

(8)

2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing) ... 23

2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection) 24 2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja ... 26

2.4.1 Baut ... 26

2.4.1.1 Jenis Baut ... 26

2.4.1.2 Kekuatan Baut ... 36

2.4.1.3 Kriteria Perencanaan Baut ... 41

2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut ... 42

2.5 Hubungan Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 50

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN ... 53

3.1 Pendahuluan ... 53

3.2 Permodelan Sambungan ... 53

3.3 Data Perencanaan Sambungan ... 54

3.4 Analisis Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 55

3.4.1 Sambungan Baut ... 55

3.4.1.1 Filosofi Pendesainan ... 55

3.4.1.2 Tahapan Analisa ... 55

(9)

BAB IV ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA BALOK DAN KOLOM .... 72

4.1 Data Perencanaan ... 73

4.2 Perencanaan Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 73

4.2.1 Analisa Kekuatan Penampang Balok ... 74

4.2.2 Daerah Tegangan ... 75

4.2.3 Sambungan Baut Hitam ... 75

4.2.3.1 Diameter Baut ... 75

4.2.3.2 Momen Tahanan ... 77

4.2.3.3 Desain End Plate ... 80

4.2.3.4 Daerah Tekanan End Plate ... 81

4.2.3.5 Gaya Geser Pada Web Kolom ... 82

4.2.3.6 Gaya Geser Vertikal Baut ... 82

4.2.4 Sambungan Baut Mutu Tinggi ... 83

4.2.3.1 Diameter Baut ... 83

4.2.3.2 Momen Tahanan ... 85

4.2.3.3 Desain End Plate ... 88

4.2.3.4 Daerah Tekanan End Plate ... 89

4.2.3.5 Gaya Geser Pada Web Kolom ... 90

4.2.3.6 Gaya Geser Vertikal Baut ... 90

BAB V PENUTUP ... 92

5.1 Kesimpulan ... 92

5.2 Saran ... 93

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Jenis sambungan menurut perilaku sudut rotasi antara balok dan

kolom : (a) sendi; (b) kaku; (c) semi-kaku

Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum

Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan

Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen

Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC

Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada

sambungan kaku

Gambar 2.6. Sambungan rigid connection

Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada

sambungan sederhana

Gambar 2.8. Sambungan simple connection

Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada

sambungan semi-kaku

Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection

Gambar 2.11. Alat sambung baut

Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu

Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi

Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi pratarik

dan diberi pratarik

Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal

(11)

Gambar 2.17. Kegagalan tarik

Gambar 2.18. Kegagalan tumpu

Gambar 2.19. Tata letak baut

Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik

Gambar 2.21. Jenis-jenis las

Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las

Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul

Gambar 2.24. Ukuran las sudut

Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut

Gambar 2.26. Tebal efektif las sudut

Gambar 2.27. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke sayap

kolom)

Gambar 2.28. Sambungan balok ke kolom (sambungan baut)

Gambar 2.29. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke badan

kolom)

Gambar 3.1. Permodelan sambungan yang ditinjau

Gambar 3.2. Kekuatan sambungan

Gambar 3.3. Kemampuan perlawanan dari barisan baut

Gambar 3.4. Geometri Sambungan

Gambar 3.5. Cek tipikal tegangan pada badan

Gambar 3.6. Penyebaran kekuatan untuk tekanan pada badan

Gambar 3.7. Panjang untuk tekuk pada badan

Gambar 3.8. Gaya geser lokal pada badan

(12)

Gambar 3.10. Tegangan dan geser baut

Gambar 3.11. Cek tahanan dan tekuk stiffener

Gambar 3.12. Distribusi tegangan pada level beban berbeda

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural

Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan

Tabel 2.3. Tarikan baut minimum

Tabel 2.4. Sifat-sifat baut

Tabel 2.5. Jarak tepi minimum baut

Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut

(14)

DAFTAR NOTASI

Ab Luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (cm2)

As Daerah geser baut (dianjurkan daerah ulir, cm2)

Asg Luas kotor stiffener (cm2)

Asn Luas bersih stiffener yang berhubungan dengan sayap kolom (cm2)

Aw Luas badan kolom yang diperkenankan untuk tekuk (cm2)

Aw Luas geser efektif las (cm2)

B Lebar sayap kolom (cm)

Bb Lebar sayap balok (cm)

bp Lebar end plate (cm)

bsg Lebar stiffener (cm)

b1 Panjang penahan kekakuan berdasarkan 45o penyebaran melalui end

plate dari tepi las (cm)

c Jarak dari pusat berat ke serat terluar (cm)

d Tinggi badan antara las (cm)

db Diameter baut pada daerah tak berulir (cm)

Dc Tinggi penampang kolom (cm)

ex Jarak tepi (cm)

Fri Kekuatan akhir pada barisan baut i (kg)

Fu Kuat tarik pelat (kg/cm2)

fu Kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat (kg/cm2)

Kuat tarik baut (kg/cm2)

(15)

g Jarak horizontal antar pusat baut (cm)

hi Jarak dari pusat tekanan ke baris i (cm)

I Momen inersia (cm4)

L Panjang stiffener (cm)

Leff Panjang efektif garis lentur (cm)

Lt Panjang regangan efektif pada badan dengan asumsi pelebarannya 60o

dari baut ke pusat badan (cm)

M Momen (kg.cm)

n2 Perolehan panjang dari perbandingan 1 : 2,5 penyebaran melalui sayap

kolom dan radius kaki (cm)

(16)

pb Nilai minimum dari kuat tekan baut atau bagian sambungan

pc Kuat tekan rencana badan kolom

pc Kuat tekan stiffener

Pr Kemampuan perlawanan dari barisan baut, atau kelompok baut (kg)

Pri Kekuatan pada barisan baut i (kg)

ΣPt’ Jumlah kapasitas tegangan untuk semua baut dalam kelompok (kg)

(17)

Tb Tebal sayap balok (cm)

tb Tebal badan balok (cm)

Tc Tebal sayap kolom (cm)

tc Tebal badan kolom (cm)

tp Tebal pelat (cm)

ts Tebal stiffener (cm)

Tu Beban tarik terfaktor (kg)

tw Tebal badan kolom atau balok (cm)

V Beban geser (kg)

Vu Gaya geser terfaktor (kg)

Z Modulus plastik (cm3)

μ Koefisien gesek

φ Faktor reduksi tahanan

(18)

ABSTRAK

Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan

memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya

pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang

kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul. Dalam

perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan

mempengaruhi kekuatan sambungan dan kondisi kekakuan yang berbeda-beda

sesuai jenis dan fungsinya. Pada analisa mengenai sambungan antara balok dan

kolom ini, bertujuan untuk melihat apakah sambungan bersifat rigid atau

semi-rigid, dimana sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis

extended one way, dengan menggunakan profil baja IWF 350 x 175 x 7 x 11,

spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2). Alat sambung yang digunakan adalah baut

mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi A325. Peraturan yang digunakan

sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dengan

metode LRFD (Load and Resistance Factor Design), serta panduan dari American

Institute of Steel Construction (AISC). Dari hasil analisa dan perhitungan,

diperoleh nilai kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan,

berupa momen elastis My sebesar 1.865.136 kg.cm dan momen plastis Mp sebesar

2.018.040 kg.cm. Sedangkan momen tahanan nominal Mn sambungan baut yang

terjadi pada sambungan dengan menggunakan baut mutu biasa (Baut Hitam)

sebesar 1.424.201,21 kg.cm, dan baut Mutu Tinggi sebesar 3.357.047,09 kg.cm.

Dengan demikian, sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat

sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena

momen yang terjadi pada sambungan (pengaruh alat sambung) lebih kecil dari

momen yang disambung (pengaruh kekuatan penampang balok). Sedangkan

sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid

Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen

yang disambung.

Kata kunci : sambungan struktur baja, alat sambung, kekakuan

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk

satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan.

Sambungan pada suatu konstruksi berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang

bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung.

Adapun gaya-gaya yang bekerja pada sambungan antara lain gaya normal, gaya

geser, momen, dan torsi (Charles G. Salmon & John E. Johnson, 1997).

Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan

memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya

pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang

kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul.

Sambungan-sambungan tersebut direncanakan harus dapat menahan

gaya-gaya yang akan bekerja padanya akibat adanya beban luar maupun berat

sendirinya. Syarat-syarat perencanaan lainnya yang berlaku pada sambungan

diantaranya : kekakuan, kekuatan, keindahan, ekonomis, dan praktis.

Dalam perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan

digunakan mempengaruhi kekuatan sambungan nantinya. Setiap sambungan

memiliki kondisi kekakuan yang berbeda-beda sesuai jenis dan fungsinya.

Kekakuan tersebut mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi gaya-gaya

(20)

Pada konstruksi beton, perihal sambungan tidak terlalu dipermasalahkan,

karena hubungan antara titik temu struktur secara keseluruhan bersifat monolit

(menyatu secara kaku). Berbeda dengan konstruksi baja maupun kayu,

sambungannya memerlukan perhatian khusus karena elemen-elemen struktur

yang mengalami penyambungan tidak bersifat monolit seperti halnya pada

konstruksi beton, terutama pertemuan antara balok dan kolomnya.

Rangka portal baja secara tradisional direncanakan dengan asumsi bahwa

sambungan antara balok dan kolomnya bersifat sendi atau kaku sepenuhnya (fully

rigid). Jika kondisinya sendi, berarti tidak ada momen yang tersalurkan antara

balok dan kolom; ini berarti sambungan tersebut tidak memiliki kekakuan rotasi

dan tidak dapat menyalurkan momen, namun dapat menyalurkan gaya aksial dan

gaya geser ke komponen yang disambungnya (Gambar 1.1a). Selain itu,

sambungan kaku sepenuhnya memiliki kekakuan rotasi dan dapat menyalurkan

seluruh gaya yang terjadi antara balok dan kolom (Gambar 1.1b). Namun, sifat

dan perilaku sambungan tidak dapat sepenuhnya dipahami. Kenyataannya,

sambungan juga memiliki tingkatan derajat kekakuan antara sendi dan kaku, yang

disebut semi-kaku (Gambar 1.1c).1

Gambar 1.1. Jenis sambungan menurut perilaku sudut rotasi antara balok dan

kolom : (a) sendi; (b) kaku; (c) semi-kaku1

1

Concepcion Diaz, et al., 2010, Review on The Modeling of Joint Behavior in Steel Frames,

(21)

Oleh karena itu, dilakukanlah suatu analisa mengenai sambungan antara

balok dan kolom pada suatu portal baja dengan menggunakan dua jenis alat

sambung baut (yaitu baut mutu biasa/baut hitam dan baut mutu tinggi), guna

melihat perbedaan perilaku dan kebutuhan sambungan antara keduanya, apakah

berupa sambungan jenis Rigid Connection (Sambungan Kaku) atau Semi-rigid

Connection (Sambungan Semi-kaku).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan

masalah yang akan diteliti antara lain :

1. Bagaimana merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom

pada suatu portal baja dari dua jenis alat sambung baut tersebut, kemudian

dilihat perbandingan antara keduanya.

2. Bagaimana menganalisa perilaku sambungan tersebut, apakah berupa

sambungan jenis Rigid Connection atau Semi-rigid Connection.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk :

1. Merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom pada suatu

portal baja dari kedua jenis alat sambung baut tersebut, kemudian dilihat

perbandingan antara keduanya.

2. Menganalisa perilaku sambungan tersebut, apakah berupa sambungan jenis

(22)

1.4 Manfaat

Manfaat dari pembahasan ini adalah dapat menganalisa dan merencanakan

kebutuhan sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan baut yang

berbeda jenis, melihat perbedaan antara keduanya, serta melihat apakah

sambungan tersebut berupa sambungan rigid atau semi-rigid, sehingga bisa

menjadi referensi tambahan dalam perencanaan konstruksi nantinya.

1.5 Pembatasan Masalah

Dengan mempertimbangkan efisiensi waktu dalam penulisan tugas akhir ini, maka

dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut :

1. Sambungan konstruksi yang direncanakan merupakan sambungan antara

Balok dan Kolom.

2. Material yang digunakan merupakan jenis baja spesifikasi Bj 37 (fy =

2400 kg/cm2).

3. Profil yang digunakan untuk komponen balok dan kolom adalah profil baja

IWF.

4. Alat sambung yang digunakan adalah baut, dengan ketentuan berupa baut

mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi spesifikasi A325.

5. Peraturan yang digunakan sebagai pedoman adalah peraturan SNI

03-1729-2002 untuk Struktur Baja dan perhitungan dengan metode LRFD

(23)

1.6 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah berupa study

literatur, dengan mengumpulkan bermacam-macam teori dan pembahasan melalui

buku-buku, peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI), dan panduan dari

American Institute of Steel Construction(AISC), serta jurnal-jurnal yang berkaitan

dengan permasalahan yang dibahas.

Kemudian, dilakukan pemilihan mutu bahan, jenis dan dimensi profil

untuk komponen struktur balok dan kolom yang akan digunakan, serta jenis dan

mutu alat sambung bautnya. Untuk selanjutnya, dilakukan analisa dan perhitungan

terhadap kebutuhan sambungan dengan menggunakan jenis baut yang berbeda,

berdasarkan acuan SNI 03-1729-2002 dan AISC, menggunakan metode analisa

perhitungan LRFD (Load and Resistance Factor Design). Dari hasil analisa dan

perhitungan yang diperoleh nantinya, akan dilihat perbandingan antara kedua jenis

sambungan tersebut, apakah berupa sambungan rigid atau semi-rigid.

Secara garis besar, tahapan metodologi penelitian ini dapat digambarkan

(24)

Gambar 1.2. Bagan metodologi penelitian

SELESAI MULAI

PENGUMPULAN DATA (Study Literatur)

PEMILIHAN KRITERIA DESAIN

ANALISA DAN PERENCANAAN SAMBUNGAN

MENGGUNAKAN BAUT

(Berdasarkan Acuan SNI 03-1729-2002 dan AISC,

menggunakan metode perhitungan LRFD) PRELIMINARY DESIGN

SAMBUNGAN KAKU

(RIGID CONNECTION)

SAMBUNGAN SEMI-KAKU

(SEMI-RIGID CONNECTION)

BAUT MUTU BIASA

(A307)

BAUT MUTU TINGGI

(25)

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk penyajian bahasan yang diteliti, tugas akhir ini dibagi atas 5 (lima) bab

dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Memuat gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan sebagai

tugas akhir, berupa penjelasan latar belakang penelitian, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisannya.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Berisi tentang penjelasan umum mengenai sifat dan perilaku baja, jenis

dan perilaku sambungan menurut kekakuan, berupa sambungan

momen, sambungan rigid, dan semi-rigid, mengenai alat sambung yang

digunakan dalam penyambungan konstruksi, serta bahasan mengenai

sambungan antara balok dengan kolom.

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN

Membahas tentang tahapan/langkah-langkah yang akan dilakukan

dalam menganalisa dan merencanakan sambungan, terdiri dari

pemilihan kriteria dan pemodelan sambungan, serta perencanaan dan

analisis sambungan yang menggunakan alat sambung baut.

BAB IV ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA BALOK DAN KOLOM

Merupakan pembahasan mengenai perencanaan sambungan yang

ditinjau, terdiri dari asumsi jenis, mutu, dan dimensi profil yang akan

digunakan, serta analisis dan perhitungan kebutuhan sambungan dengan

(26)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Memuat tentang kesimpulan yang diperoleh dari proses analisis dan

saran-saran mengenai tindakan yang ditempuh agar hasil yang

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk

satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan.

Sambungan tersebut berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada

titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung.

Pada konstruksi baja, selain memindahkan gaya-gaya yang terjadi,

fungsi/tujuan lain dilakukannya penyambungan yaitu :

 menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan konstruksi

sesuai kebutuhan.

 mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan

sebagainya).

 memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja di lapangan.

 memudahkan penggantian bila suatu bagian/batang konstruksi mengalami

rusak.

 memberikan kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang dapat

bergerak, misal peristiwa muai-susut baja akibat perubahan suhu.

2.2 Material Baja

Baja terbuat dari biji besi dan logam besi tua yang dicampur dengan bahan

tambahan yang sesuai, kemudian dilelehkan dalam tungku bertemperatur tinggi

(28)

mentah (pigs) atau besi kasar (pigiron). Besi kasar tersebut selanjutnya dicampur

logam lain untuk menghasilkan kekuatan, keliatan, pengelasan dan karakteristik

ketahanan terhadap korosi (karat) yang diinginkan (Joseph E.Bowles, 1985).

Sifat baja yang penting sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang

tinggi, keseragaman bahan-bahan penyusunnya, kestabilan dimensional, daktilitas

yang tinggi, kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan. Namun, baja

memiliki kekurangan seperti biaya perawatan yang besar, biaya pengadaan anti

api yang besar (fire proofing cost), ketahanan terhadap perlawanan tekuk kecil,

dan kekuatannya akan berkurang jika dibebani secara berulang/periodik (kondisi

leleh atau fatigue).

Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat

dikategorikan sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

1. Baja dengan persentase zat arang rendah (low carbon steel), dimana

kandungan arangnya lebih kecil dari 0,15%.

2. Baja persentase zat arang ringan (mild carbon steel), 0,15% - 0,29%.

3. Baja persentase zat arang sedang (medium carbon steel), 0,30% - 0,59%.

4. Baja dengan persentase zat arang tinggi (high carbon steel), 0,60% - 1,7%.

Baja untuk bahan struktur termasuk ke dalam baja yang persentase zat

arangnya ringan (mild carbon steel). Semakin tinggi kadar zat arang yang

terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya.

Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan antara

lain :

 Modulus elastisitas (E) = 200.000 MPa

(29)

 Nisbah poisson (μ) = 0,3

 Koefisien pemuaian (α) = 12 x 10-6 per oC

 Serta persyaratan minimum pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural

Jenis Baja Tegangan putus

Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002

Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja,

dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas

baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti

tergambar di bawah ini.

Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum

(30)

2.3 Sambungan Konstruksi Baja

Sambungan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam

perencanaan struktur baja. Hal ini dikarenakan bentuk struktur bangunan yang

begitu kompleks, salah satunya sambungan antara balok dan kolom.

Pada umumnya, sambungan antara balok dan kolom terdiri dari tiga

elemen yaitu : balok, kolom, dan alat penyambung. Ketiga elemen tersebut harus

direncanakan dengan matang agar struktur bangunan tersebut bertahan sesuai

dengan fungsinya.

Kegagalan dalam sambungan dapat mengakibatkan perubahan fungsi

struktur bangunan, dan yang paling berbahaya adalah keruntuhan pada struktur

tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, maka kekakuan sambungan antara balok

dan kolom tersebut harus memenuhi persyaratan.

Ada beberapa kriteria dasar yang umum dalam merencanakan sambungan,

antara lain (Ervina Sari, 2003) :

1. Kekuatan (strength)

Dari segi kekuatan, sambungan harus dapat menahan momen, gaya geser,

dan gaya aksial yang dipindahkan dari batang yang satu ke batang yang

lain.

2. Kekakuan (stiffness)

Kekakuan sambungan secara menyeluruh berguna untuk menjaga posisi

komponen struktur agar tidak bergerak atau berubah antara satu dengan

(31)

3. Kapasitas rotasi

Pada sambungan yang direncanakan untuk menahan momen plastis, titik

simpulnya dapat dibuat tidak terlalu kaku (rigid). Namun demikian, derajat

kekakuannya harus cukup untuk memungkinkan redistribusi momen yang

sesuai dengan asumsi analisis. Oleh sebab itu, sambungan perlu

direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kapasitas rotasi

yang cukup selama menyokong momen plastis.

4. Cukup ekonomis

Sambungan harus cukup sederhana agar biaya fabrikasinya murah, namun

tetap memenuhi syarat kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaannya.

Ditinjau dari segi kekakuannya, sambungan dapat dibagi menjadi (Ervina Sari,

2003) :

1. Sambungan defenitif, artinya tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak

alat-alat penyambungnya (menggunakan paku keling atau pengelasan).

2. Sambungan tetap, dimana bagian yang disambung tidak dapat bergerak

lagi (menggunakan paku keling atau pengelasan).

3. Sambungan sementara, dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat

penyambungnya (menggunakan baut).

4. Sambungan bergerak, sambungan ini memungkinkan pergerakan yang

dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian-bagian yang akan

(32)

Sambungan juga dapat digolongkan menurut (Ervina Sari, 2003) :

1. Metode alat penyambung, seperti : las, pin, baut, baut mutu tinggi, dan

paku keeling.

2. Kekuatan geser sambungan (connection, rigidity) :

a. Sambungan Kaku, dimana kapasitas momen disalurkan secara penuh

ke komponen yang disambung dan sudut yang terjadi antara

sambungan dipertahankan agar relatif konstan.

b. Kerangka Sederhana, dimana tidak terjadi perpindahan momen

diantara bagian-bagian yang disambung (momen yang terjadi kecil,

sehingga dapat diabaikan).

c. Sambungan Semi-kaku, kapasitas momen yang dipindahkan kurang

dari kapasitas momen penuh dari bagian-bagian konstruksi yang

disambung.

2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connections)

Karakteristik sambungan dapat dipahami berdasarkan gambaran rotasi akibat

adanya gaya yang diberikan. Rotasi yang terjadi membuat perubahan sudut

antara sambungan seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan

(33)

Berdasarkan kurva momen-rotasi (M-Ø), sambungan dapat

diklasifikasikan dalam tiga karakteristik seperti yang diilustrasikan pada

Gambar 2.3. Tiga karakteristik tersebut adalah (Joints in Steel Construction,

Moment Connections, 1995) :

1. Momen tahanan (moment resistance), yaitu berupa sambungan full

strength, partial strength, atau nominally pinned (tidak ada momen

penahan).

2. Rotasi kekakuan (rotational stiffnes), dimana sambungan berifat rigid,

semi-rigid, atau nominally pinned (dimana tidak ada rotasi kekakuan).

3. Kapasitas rotasi (rotational capacity), dimana sambungan perlu

berdeformasi dan memerlukan rotasi plastis dari suatu tahapan gaya

tanpa mengalami keruntuhan.

Kurva momen-rotasi adalah grafik hubungan antara momen (sumbu y)

dan rotasi (sumbu x) dari suatu sambungan. Momen (M) dalam hal ini

diakibatkan oleh beban yang bekerja pada bidang balok terhadap sambungan

dalam jarak tertentu. Rotasi (Ø) adalah perpindahan balok terhadap kolom

(34)

Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen

(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

Pada umumnya, kurva momen-rotasi dari sebuah sambungan dapat

memberikan beberapa sifat atau karakteristik sebagai berikut (Joints in Steel

Construction, Moment Connections, 1995) :

1. Kekakuan dari sebuah sambungan diidentifikasi dari kemiringan kurva.

2. Perilaku sambungan pada umumnya adalah non linier, dimana

kekakuan menurun sedangkan rotasi meningkat.

3. Pada Gambar 2.3c, daktilitas meningkat seiring meningkatnya rotasi.

Sebuah sambungan dapat dinyatakan ductile (elastis) jika memenuhi

(35)

Pada Gambar 2.3a, sehubungan dengan kekuatan (strength),

sambungan diklasifikasikan menjadi full strength, partial strength, dan

nominally pinned :

 Sambungan full strength didefinisikan sebagai sambungan dengan

moment resistance/tahanan M sama atau lebih besar dari moment

capacity/kapasitasnya (M ≥ Mcx). Kurva 1, 2, dan 4 menunjukkan

sambungan full strength.

 Sambungan partial strength didefinisikan sebagai sambungan moment

resistance/tahanan M sama atau kurang dari moment

capacity/kapasitasnya (M ≤ Mcx). Kurva 3 dan 5 termasuk ke dalam

klasifikasi partial strength.

 Sedangkan nominally pinned adalah sambungan yang cukup fleksibel

dengan momen resistance/tahanan tidak lebih 25% dari moment

capacity/kapasitasnya. Kurva 6 menggambarkan sambungan tipe

nominally pinned.

Pada Gambar 2.3b, kekakuan (rigidity) sama dengan kekakuan rotasi

dimana kurva 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan sambungan rigid. Sedangkan kurva

5 termasuk dalam klasifikasi sambungan semi-rigid. Dalam peraturan BS5950

dijelaskan bahwa garis putus-putus antara rigid dengan semi-rigid diperoleh

dari rumus 2EI/L.

Pada Gambar 2.3c, kurva 2, 4, dan 5 adalah sambungan ductile

(36)

elastis. Kurva 6 merupakan jenis sambungan nominally pinned, sehingga

merupakan sambungan sederhana.

Pedoman mengenai sifat yang diperlukan untuk perencanaan

sambungan pada rangka bangunan dari beberapa metode yang sedang populer

pada saat sekarang ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan

Perencanaan Sambungan

Catatan

Tipe Rangka Analisa Global Sifat Gambar 2.3 Contoh Metode

Simple/

Plastis Full strength 1,2,4 Bagian 2 Sendi plastis terbentuk

pada komponen Elastis-Plastis Full strength dan rigid 1,2,4 Bagian 2

Semi-BS 5950 mengacu pada metode perencanaan masing-masing sebagai “Kaku” dan “Semi-kaku” tetapi hal ini dapat membingungkan karena mencakup sifat-sifat selain kekakuan.

Lihat pada referensi The Steel Construction Institute, and British Constructional Steelwork Association Ltd (Joints in Simple Construction)

(37)

Dimana :

Full strength connection (sambungan kuat sepenuhnya), yaitu

sambungan dimana momen tahanannya setidaknya sama dengan

komponen yang disambung.

Partial strength connection (sambungan kuat sebagian), yaitu

sambungan dimana momen tahanannya lebih kecil dari komponen yang

disambung.

Rigid connection (sambungan kaku), yaitu sambungan yang

kekakuannya cukup untuk menahan sifat fleksibel rangka bangunan

akibat adanya momen lentur sehingga dapat diabaikan.

Semi-rigid connection (sambungan semi-kaku), merupakan sambungan

yang sangat fleksibel untuk dianggap bersifat kaku namun juga bukan

bersifat sendi.

Nominally pinned connection (sambungan sendi), yaitu sambungan

yang cukup fleksibel dianggap sebagai sendi untuk tujuan analisis.

Sambungan ini, secara defenisi, bukan merupakan sambungan momen

melainkan sambungan partial strength yang mampu melawan kurang

dari 25% Mcx, sehingga dianggap sebagai sambungan sendi.

Ductile connection (sambungan elastis), merupakan sambungan yang

kapasitas rotasinya dianggap sebagai sendi plastis.

Simple design (desain sederhana), merupakan metode pendesainan

rangka yang sambungannya diasumsikan tidak terjadi momen yang

mempengaruhi, baik sambungan itu sendiri maupun struktur secara

(38)

Continuous design (desain menerus), merupakan metode pendesainan

rangka yang sifat sambungannya tidak dimodelkan dalam analisa

rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungannya

bersifat rigid, atau analisa plastis dimana sambungannya full strength.

Semi-continuous design (desain semi-menerus), merupakan metode

pendesainan rangka yang sifat sambungannya dimodelkan dalam

analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungan

semi-kakunya dimodelkan sebagai rotasi pegas, atau analisa plastis

dimana sambungannya kuat sebagian dan dimodelkan sebagai sendi

plastis.

2.3.2 Sambungan Berdasarkan Karakteristik Kekakuan (Rigidity)

Selain Sambungan Momen di atas, menurut AISC-1.2 tentang perencanaan

tegangan kerja (working stress) dan AISC-2.1 tentang perencanaan plastis,

konstruksi baja dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan jenis sambungan

yang dipakai. Ketiga jenis ini adalah sebagai berikut (Charles G. Salmon dan

John E. Johnson, 1995) :

1. Jenis 1 AISC. Sambungan portal kaku (rigid connection), 2. Jenis 2 AISC. Sambungan kerangka sederhana (simple framing), 3. Jenis 3 AISC. Sambungan kerangka semi-kaku (semi-rigid

connection).

Gambar 2.4 memperlihatkan grafik persamaan garis balok dan

(39)

umumnya harus memikul momen ujung M1, yang sekitar 90% dari MFa atau

lebih; jadi derajat pengekangannya dapat dikatakan 90%. Sambungan

sederhana (Jenis 2) hanya dapat menahan 20% dari momen MFa atau kurang,

seperti yang ditunjukkan oleh momen M2, sedangkan sambungan semi-kaku

diperkirakan menahan momen sebesar M3, yang mungkin sekitar 50% dari

momen primer MFa.

Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)

2.3.2.1 Sambungan Kaku (Rigid Connection)

Sambungan ini memiliki kontinuitas penuh sehingga sudut pertemuan

antara batang-batang tidak berubah, yakni pengekangan (restraint) rotasi

sekitar 90% atau lebih dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan

sudut. Sambungan ini dipakai baik pada metode perencanaan tegangan

kerja maupun perencanaan plastis (Charles G. Salmon dan John E.

(40)

Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna

pada sambungan kaku

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe FR” (Fully

Restrained/terkekang penuh) dan dalam ASD-A2.2dikenal sebagai “Tipe

1”. Biasanya, sambungan jenis ini digunakan pada bangunan yang

strukturnya direncanakan tahan terhadap angin dan gempa (Jack C.

McCormac, 2008).

Gambar 2.6. Sambungan rigid connection

(Sumber : Jack C. McCormac, 2008, dan Dian Sukma Arifwan, 2007)

Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini dianggap memiliki

kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara

komponen-komponen yang disambung.

Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles

(41)

2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing)

Pengekangan rotasi di ujung-ujung batang pada sambungan ini dibuat

sekecil mungkin. Suatu kerangka dapat dianggap sederhana jika sudut

semula antara batang-batang yang berpotongan dapat berubah sampai

80% dari besarnya perubahan teoritis yang diperoleh dengan

menggunakan sambungan sendi tanpa gesekan (frictionless). Kerangka

sederhana tidak digunakan dalam perencanaan plastis, kecuali pada

sambungan batang-batang tegak lurus bidang portal yang harus mencapai

kekuatan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna

pada sambungan sederhana

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe PR” (Partially

Restrained/terkekang sebagian) dan dalam ASD-A2.2 dikenal sebagai

“Tipe 2”(Jack C. McCormac, 2008).

θ1 = 0

Ø ≈ 0

(42)

Gambar 2.8. Sambungan simple connection

(Sumber : Jack C. McCormac, 2008)

Menurut SNI 03-1729-2002, jenis sambungan ini dipakai untuk

menyambung suatu balok ke balok lainnya atau ke sayap kolom. Pada

sambungan ini, siku penyambung dibuat sefleksibel mungkin dan

sambungan pada kedua ujung komponen struktur dianggap bebas

momen.

2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection)

Pengekangan rotasi sambungan berkisar antara 20% - 90% dari yang

diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan semi-kaku

tidak dipakai dalam perencanaan plastis dan jarang sekali digunakan pada

metode tegangan kerja, terutama karena derajat pengekangannya sukar

ditentukan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

(43)

Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna

pada sambungan semi-kaku

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini juga termasuk ke dalam “Tipe

PR” (Partially Restrained/terkekang sebagian), dimana penggunaanya

tergantung pada proporsi tertentu dari kekangan penuh. Dalam

ASD-A2.2, desain sambungan semi-rigid menghendaki kapasitas momen pada

derajat pertengahan antara rigiditas “Tipe 1” dan fleksibilitas “Tipe 2”

(Jack C. McCormac, 2008).

Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection

(Sumber : Chen & Lui, 1991)

(a) single web angle (b) single plate (c) double web angle

(d) header plate (e) top and seat angle (f) top and seat angle with double web angle

(g) extended end plate (h) flush end plate (i) T - stub

(44)

Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini tidak memiliki

kekuatan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara

komponen-komponen yang disambung.

2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja 2.4.1 Baut

Pada suatu struktur yang terbuat dari konstruksi baja, baut merupakan suatu

elemen yang paling vital untuk diperhitungkan, karena merupakan alat

sambung yang paling sering digunakan.

2.4.1.1 Jenis Baut

Ada beberapa jenis baut yang digunakan dalam perencanaan sambungan,

antara lain (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

a. Baut Mutu Tinggi (ASTM A325dan A490)

panas sekitar 558 sampai 634 MPa yang tergantung pada diameter. Baut

A

490 juga diberi perlakuan panas tetapi dibuat dari baja paduan (alloy)

dengan kekuatan leleh sekitar 793 sampai 896 MPa yang tergantung pada

diameter baut.

Alat sambung ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan

digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus dan tebal seperti

(45)

Gambar 2.11. Alat sambung baut

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997)

Bagian ulirnya lebih pendek daripada bagian baut yang tidak

struktural, dan dapat dipotong atau digiling. Diameter baut kekuatan

tinggi berkisar antara ½ dan 1 ½ inchi. Diameter yang paling sering

digunakan pada konstruksi gedung adalah ¾ sampai 7/

8 inchi, sedang

ukuran yang paling umum digunakan dalam perencanaan jembatan

(46)

Pemasangan baut mutu tinggi

Kekuatan alat sambung baut mutu tinggi ditentukan oleh

dimensinya, tipe bautnya, kekuatan leleh (tensile strength), panjang ulir

di dalam elemen pelat, dan putaran untuk tarik awal. Pada

pemasangannya, baut mutu tinggi memerlukan pemberian gaya pratarik

yang memadai. Gaya pratarik harus sebesar mungkin tanpa

mengakibatkan deformasi permanen dan kehancuran dari baut. Sebagai

ganti tegangan leleh, digunakan istilah proof load, dimana beban

diperoleh dengan mengalikan luas tegangan tarik dengan tegangan leleh

yang ditetapkan berdasarkan regangan tetap 0,2% atau perpanjangan

0,5% akibat beban (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997).

Gaya pratarik yang ditetapkan AISC sama dengan 70% dari

minimum tensile strength seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3 dan

tarikan ini sama dengan proof load.

Tabel 2.3. Tarikan baut minimum

(47)

AISC menetapkan 3 (tiga) macam teknik umum untuk mencapai

besarnya pretension, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,

1997) :

 Metode calibrated wrench (kunci yang dikalibrasi)

Menggunakan kunci puntir manual (manual torque wrenches) dan

kunci otomatis (power wrenches) yang diatur agar berhenti pada

nilai puntir yang ditentukan, untuk menimbulkan tarikan baut

sedikitnya 5% di atas nilai yang ditunjukan dalam Tabel 2.3.

 Metode turn of the nut (putaran mur)

Gaya tarikan awal baut diperoleh dengan menetapkan rotasi mur

pada awal snug tig position (titik erat) yang menimbulkan besarnya

regangan tertentu pada baut. Mur dipandang berada pada “titik

erat” setelah “beberapa kejutan dari kunci kejut atau seluruh

kemampuan manusia dengan kunci mekanik biasa tidak dapat

memutarnya lagi”.

 Metode direct tension indication

Metode ini menggunakan alat berupa cincin pengeras (cincin

indicator) dengan sejumlah tonjolan keluar pada salah satu

mukanya. Cincin indicator dipasang antara kepala baut dan bahan

yang disambung dengan tonjolan keluar menumpu pada sisi bawah

kepala baut atau menumpu pada pelat nut face washer yang

diletakkan antara cincin indicator dan mur, sehingga terdapat gap

akibat cincin indicator tersebut. Tarikan baut ditentukan dari

(48)

Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan

tipe friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan

tipe tumpu.

a. Sambungan Tipe Tumpu

Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang

dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang

dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang

disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser

pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan.

Sambungan ini digunakan apabila kelebihan beban tidak penting

walaupun menyebabkan tangkai baut mendesak sisi lubang.

Untuk pembebanan lainnya, beban dipindahkan oleh gesekan

bersama dengan desakan pelat. Gelinciran hanya akan terjadi

sekali asalkan pembebanan bersifat statis dan tak berubah arah

dan setelah itu baut akan bertumpu pada bahan di sisi lubang.

Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu 2

2

Dody B., 2012, Desain Konstruksi Baja, diunduh dari http://dodybrahmantyo.dosen.narotama.

(49)

b. Sambungan Tipe Friksi

Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu

tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut

minimum yang disayaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya

geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam

bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan antara

bidang-bidang kontak. Tipe ini digunakan apabila gelinciran pada beban

kerja tidak dikehendaki. Pada tipe ini daya tahan gelincir

memadai pada kondisi beban kerja harus disediakan di samping

kekuatan sambungan yang memadai.

Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi 2

Apabila dikehendaki sambungan tanpa slip (tipe friksi), maka satu

baut yang hanya memikul gaya geser terfaktor Vu dalam bidang

permukaan friksi harus memenuhi (Agus Setiawan, 2008) :

Vu < φVn

Vu < φ . 1,13 μ . m . proof load

Dimana :

(50)

μ = koefisien gesek (0,35)

m = jumlah bidang geser

Proof load adalah gaya tarik awal yang diperoleh dari pengencangan

awal, memberikan friksi sehingga cukup kuat untuk memikul beban yang

bekerja.

Menurut Spesifikasi AISC setiap baut kekuatan tinggi harus

dipasang dengan cara yang sama hingga tarikan awalnya sama tanpa

memandang tipe sambungan apakah tipe geser atau tipe tumpu.

Penampilan pada beban kerja pada umumnya identik yaitu beban kerja

disalurkan melalui gesekan antara potongan yang disambung. Perbedaan

penampilan hanyalah akibat perbedaan faktor keamanan terhadap

gelincir.

b. Baut Hitam (ASTM A307)

Baut ini terbuat dari baja karbon rendah dan merupakan jenis baut

paling murah. Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan

yang paling murah karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada

suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur ringan, batang

sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (cat walk),

gording, rusuk dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang

bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat

penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut

(51)

c. Baut Sekrup (Turned Bolt)

Dibuat dengan mesin, berbentuk segi enam dengan toleransi yang

lebih kecil (sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan dengan baut hitam.

Digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang

yang dibor.

d. Baut Bersirip (Ribbed Bolt)

Terbuat dari baja paku keling biasa, berkepala bundar dengan

tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Bermanfaat pada sambungan

tumpu (bearing) dan sambungan yang mengalami tegangan berganti

(bolak-balik).

Tabel 2.4. Sifat-sifat baut

(52)

Perbandingan Baut Mutu Tinggi dan Baut Biasa

Pada sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan

baut mutu tinggi akan menambah kapasitas daya dukung sambungan itu,

bukan saja karena kekuatan bautnya, tapi juga karena pengaruh tarik

minimum dengan cara pemutaran mur oleh kunci momen yang telah

ditentukan standarnya berdasarkan baut yang digunakan. Pengaruh

adanya pratarik ini menyebabkan terjadinya gaya gesekan antara dua

elemen pelat yang disambung.

Untuk baut mutu biasa/hitam yang tidak mampu memikul pratarik

atau baut mutu tinggi yang tidak diberi pratarik (pretension) dimodelkan

menjadi suatu tampang kontinu dengan cara mengkonversi luasan baut

dan luasan pelat dimana masing-masing menerima tarik pada daerah atas

dan menerima tekan pada daerah bawah garis netral (tampang berbentuk

T terbalik).

Baut mutu tinggi tidak lagi seperti permodelan baut mutu biasa

akibat baut terlebih dahulu telah mengalami tarik minimum (gaya

pratarik). Artinya, semua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak

mengalami tekan. Ketika beban luar bekerja (momen luar), garis netral

berada di tengah-tengah kumpulan alat sambung (Sanci Barus dan

(53)

Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi

pratarik dan diberi pratarik

(Sumber : Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010)

Dimana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut 3:

Kemudian, tegangan pada serat paling atas dapat diperoleh dengan

menghitung inersia tampang luasan pengganti 3 :

- , maka

Hubungan Balok-Kolom, Jurnal, Universitas Sumatera Utara.

(54)

Dibandingkan dengan perilaku sambungan menggunakan alat

sambung baut mutu tinggi yang diberi pratarik, permodelan tampang

luasan pengganti tidak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan seluruh baut

telah terlebih dahulu diberi gaya pratarik (pretension) sebesar T. Akibat

pemberian gaya awal tersebut, maka seluruh baut mengalami tarikan dan

seluruh pelat mengalami gaya tekan.

Dengan demikian, perilaku penggunaan baut mutu tinggi berbeda

dengan baut mutu biasa yang tidak diberikan perilaku pratarik. Akibat

penguncian atau pemberian gaya pratarik pada baut mutu tinggi, timbul

gaya perlawanan geser yang akan memberikan faktor keamanan yang

lebih besar dibanding perilaku baut mutu biasa (Sanci Barus dan Robert

Panjaitan, 2010).

2.4.1.2 Kekuatan Baut

Sebelum memutuskan sambungan apa yang akan digunakan pada suatu

konstruksi, kita harus mengetahui kekuatan sambungan tersebut. Dalam

hal menentukan kekuatan sambungan baut, yang ditinjau adalah

ketahanan dari aspek geser, tarik, dan desak (tumpu), baik terhadap alat

sambungnya maupun material yang disambungkan.

Suatu baut yang memikul gaya terfaktor Ru, sesuai persyaratan

LRFD harus memenuhi persyaratan (Charles G. Salmon dan John E.

Johnson, 1997) :

Ru≤ φ Rn

(55)

Rn = tahanan nominal baut, dimana nilai setiap tipe

sambungan berbeda-beda

Nilai tahanan nominal baut tersebut diperoleh berdasarkan

tahanan-tahanan yang direncanakan dalam menghitung kekuatan baut,

yaitu (Dian S. Arifwan, 2007) :

1. Tahanan geser rencana :

Hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah

terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus

terhadap panjang baut seperti terlihat pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Pada kasus seperti ini, baut mengalami geser. Pada hubungan

tumpang tindih (lap joint) seperti ini, baut mempunyai kecenderungan

untuk mengalami geser di sepanjang bidang kontak tunggal antara kedua

pelat yang disambung. Karena baut menahan kecenderungan pelat-pelat

saling menggelincir pada bidang kontak dan karena baut mengalami

geser pada satu bidang saja, maka baut tersebut mengalami geser tunggal.

Pada hubungan lurus (butt joints) seperti terlihat pada Gambar

2.16, ada dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanannya di

(56)

sepanjang dua bidang tersebut dan disebut geser rangkap.

Gambar 2.16. Baut yang mengalami geser rangkap

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Kapasitas pikul beban atau kekuatan desain sebuah baut yang

mengalami geser tunggal maupun rangkap sama dengan hasil kali antara

jumlah bidang geser dengan tegangan geser putus di seluruh luas bruto

penampang melintangnya, sehingga (SNI 03-1729-2002) :

Dimana :

m = jumlah bidang geser

r1 = 0,5 ; untuk baut tanpa ulir pada bidang geser

r1 = 0,4 ; untuk baut dengan ulir pada bidang geser

= kuat tarik baut (MPa)

Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

2. Tahanan tarik rencana :

Sesuai dengan keadaan batas retak dalam tarik dan bentuk

kegagalan yang terlihat dalam Gambar 2.17, kekuatan nominal Rn pada

suatu penyambung dalam tarik adalah (SNI 03-1729-2002) :

(57)

Gambar 2.17. Kegagalan tarik

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Jarak antar baut S yang biasa menurut arah transmisi gaya paling

tidak harus sebesar 3 kali diameter dan tidak boleh kurang dari 22/3

diameter baut. Karena Rn merupakan kekuatan nominal yang

disyaratkan, yang sama dengan beban terfaktor P yang bekerja pada satu

baut dibagi dengan faktor resistansi φ, maka :

Dimana :

P = beban terfaktor yang bekerja pada satu baut

φ = 0,75

Fu = kuat tarik pelat

t = tebal pelat

db = diameter baut

Persyaratan untuk jarak ujung S1 pada arah gaya baut sedemikian

rupa sehingga tidak terjadi patahan adalah :

(58)

Dimana :

P = beban terfaktor per baut

φ = 0,75

Fu = kuat tarik pelat

t = tebal pelat

3. Tahanan tumpu (desak) rencana

Kekuatan batas tumpu berkaitan dengan deformasi di sekitar

lobang baut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.18. Kekuatan tumpu Rn

merupakan gaya yang bekerja terhadap sisi lobang yang akan memecah

atau merobek pelat. Semakin besar jarak ujung L diukur dari pusat

lobang ke pinggiran, semakin kecil kemungkinan terjadinya robekan.

Gambar 2.18. Kegagalan tumpu

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Meskipun baut dalam suatu hubungan telah memadai dalam

meneruskan beban yang bekerja dengan mengalami geser, namun masih

dapat gagal kecuali apabila material yang disambung dapat meneruskan

beban ke baut dengan baik. Distribusi sesungguhnya mengenai tekanan

(59)

tumpu pada material di sekeliling lobang tidak diketahui sehingga luas

kontak yang diambil adalah diameter nominal dikalikan dengan tebal

material yang disambung. Ini diambil dengan anggapan bahwa tekanan

merata terjadi pada luas segiempat.

Nilainya tergantung pada kondisi terlemah dari baut atau

komponen pelat yang disambung, dimana (SNI 03-1729-2002) :

Dalam perencanaan baut, ada beberapa ketentuan mengenai tata

letak/susunan baut pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) :

a. Jarak antar pusat lubang baut tidak boleh kurang dari 3 kali

dimana db adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir.

(60)

c. Jarak antara pusat lubang baut tidak boleh melebihi 15 tp atau 200

mm (tp adalah tebal pelat lapis tertipis pada sambungan).

d. Jarak dari pusat tiap lubang baut ke tepi terdekat suatu bagian

yang berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12

tp atau 150 mm.

3 db < S < 15 tp atau 200 mm

1,5 db < S1 < 12 tp atau 150 mm

Gambar 2.19. Tata letak baut

(Sumber : Agus Setiawan, 2008)

2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut

Pada umumnya, sambungan yang ada merupakan kombinasi geser dan

tarik. Contoh sambungan yang merupakan kombinasi geser dan tarik

terlihat pada Gambar 2.20. Pada sambungan (a), akibat adanya momen

maka baut tepi atas akan mengalami tarik yang sebanding dengan momen

yang bekerja. Sambungan ini digunakan bila momen tidak terlalu besar,

dan untuk momen yang besar biasanya digunakan sambungan (b), dimana

momen disalurkan melalui sayap dan diterima oleh baut-baut pada sayap

tersebut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).

S S1

S S

S1

(61)

Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

a. Sambungan Tipe Tumpu

Dalam perencanaan sambungan yang memikul kombinasi geser

dan tarik, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi (Agus

Setiawan, 2008) :

1. fuv = ≤ 0,5 . φ . fub . m tanpa ulir di bidang geser

≤ 0,4 . φ . fub . m dengan ulir di bidang geser

2. φ . Rnt = φ . ft . Ab >

b. Sambungan Tipe Friksi

Untuk sambungan tipe friksi, berlaku hubungan (Agus Setiawan,

2008) :

(

)

Dimana :

(62)

Proof load = 0,75 . Ab . proof stress

Ab = luas bruto baut

Tu = beban tarik terfaktor

n = jumlah baut

2.4.2 Las

2.4.2.1 Jenis Las

Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan, yaitu (Charles

G. Salmon dan John E. Johnson,1997) :

a. Las Tumpul (Groove Weld)

Berguna untuk menghubungkan batang-batang struktur yang

dipaskan pada bidang yang sama. Karena las tersebut harus

menyalurkan beban penuh batang-batang yang dihubungkannya,

maka las tersebut harus memiliki kekuatan yang sama dengan

batang-batang yang digabungkan.

b. Las Sudut (Fillet Weld)

Merupakan jenis las yang paling banyak digunakan karena hemat,

mudah dipabrikasi, dan adaptibilitasnya baik, serta tidak

membutuhkan presisi pada pengepasannya karena cukup

ditumpang-tindihkan.

c. Las Baji (Slot) dan Pasak (Plug)

Las baji dan pasak dapat digunakan secara tersendiri pada

sambungan atau dikombinasikan dengan las sudut. Manfaat

(63)

lewatan bila ukuran sambungan membatasi panjang yang tersedia

untuk las sudut atau las sisi lainnya, serta mencegah terjadinya

tekuk pada bagian-bagian yang saling tumpang tindih.

(a) Las tumpul (b) Las sudut

(c) Las baji (d) Las pasak

Gambar 2.21. Jenis-jenis las

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.4.2.2 Jenis Sambungan Las

Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las

adalah (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) :

a. Sambungan sebidang (butt joint), dipakai untuk pelat-pelat datar

dengan ketebalan sama atau hampir sama, dan tidak memiliki

eksentrisitas.

b. Sambungan lewatan (lap joint), untuk pelat dengan tebal yang

berlainan, mudah dibuat dan disesuaikan di lapangan.

(64)

c. Sambungan tegak (tee joint), untuk membuat penampang tersusun

seperti bentuk I, pelat girder, dan stiffner.

d. Sambungan sudut (corner joint), untuk penampang tersusun

berbentuk kotak pada kolom atau balok yang menerima gaya torsi

yang besar.

e. Sambungan sisi (edge joint), bukan jenis sambungan struktural

dan digunakan untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tidak

bergeser satu dengan lainnya.

Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.4.2.3 Kekuatan Las

Filosofi umum dari LRFD terhadap persyaratan keamanan suatu struktur

untuk las adalah sebagai berikut (SNI 03-1729-2002) :

Ru≤ φ Rnw

Dimana : Ru = beban terfaktor per satuan panjang las

φ = faktor reduksi tahanan

Rnw = tahanan nominal per satuan panjang las

(a) butt joint (b) lap joint

(65)

Nilai kuat rencana per satuan panjang masing-masing jenis las

diperoleh berdasarkan (SNI 03-1729-2002) :

a. Kuat las tumpul

 Bila sambungan dibebani gaya tarik atau gaya tekan aksial

terhadap luas efektif :

φ Rnw = 0,9 . te . fy (bahan dasar)

φ Rnw = 0,9 . te . fyw (las)

 Bila sambungan dibebani gaya geser terhadap luas efektif :

φ Rnw = 0,9 . te (0,6 . fy) (bahan dasar)

φ Rnw = 0,8 . te (0,6 . fuw) (las)

Dimana : fy, fu = tegangan leleh dan tegangan tarik putus

b. Kuat las sudut

φ Rnw = 0,75 . te (0,6 . fu) (bahan dasar)

φ Rnw = 0,75 . te (0,6 . fuw) (las)

c. Kuat las baji dan pasak

φ Rnw = 0,75 (0,6 . fuw) . Aw

Dimana : Aw = luas geser efektif las

(66)

2.4.2.4 Kriteria Perencanaan Las

Ada beberapa ketentuan mengenai perencanaan las pada suatu

sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) :

a. Las tumpul

 penetrasi penuh :

 terdapat penyatuan antara las dan bahan induk

sepanjang kedalaman penuh sambungan.

 tebal rencana las adalah ukuran las.

 penetrasi sebagian :

 kedalaman penetrasi lebih kecil daripada kedalaman

penuh sambungan.

Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul

(Sumber : Agus Setiawan, 2008)

b. Las sudut

 ukuran las ditentukan oleh panjang kaki (tw) seperti pada

(67)

Gambar 2.24. Ukuran las sudut

(Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002)

 ukuran minimum las sesuai dengan tabel berikut :

Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut

Tebal bagian paling tebal, t (mm) Tebal minimum las sudut, tw (mm)

t ≤ 7 3

7 < t ≤ 10 4

10 < t ≤ 15 5

15 < t 6

Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002

 ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi komponen yang

disambung adalah :

Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut

Gambar

Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan
Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen
Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC
Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna
+7

Referensi

Dokumen terkait