Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting dan
ditunggu-tunggu bagi perjalanan hidup manusia karena telah dimulailah babak baru
kehidupan pria dan wanita dalam ikatan yang halal. Disamping membawa
kedua mempelai ke alam lain yang berbeda, perkawinan juga secara otomatis
akan mengubah status keduanya. Sudah menjadi kodrat alam, dua orang
manusia dengan dua jenis kelamin yang berlainan saling memiliki rasa suka
dan perasaan cinta yang tumbuh perlahan, seorang perempuan dan seorang
laki-laki ada daya tarik menarik satu sama lain untuk hidup bersama untuk
membina suatu keluarga dalam ikatan perkawinan.1
Setelah perkawinan, kedua belah pihak akan menerima beban yang
berat dan tanggung jawab sesuai diri masing-masing. Tanggung jawab dan
beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga mereka harus
memikul tanggung jawab yang besar tersebut dan harus melaksanakannya.
Dalam masalah perkawinan, islam telah berbicara banyak, dari mulai
bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Perkawinan
menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur, menurut istilah pula ialah
ijab dan qabul (aqad) yang menghalalkan hubungan suami istri antara lelaki
dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah untuk
1Wirjono Prodijokoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1960, hlm. 7
saling hidup bersama menghalalkan yang sebelunnya haram dilakukan.2
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik
untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan
hajat hidup manusia tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan
sentral yaitu rumah tangga.
Karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat
manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah
persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar.
Perkawinan merupakan fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan
untuk menikah, karena menikah merupakan naluri kemanusiaan. 3
Perkawinan dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum dan mempunyai
kekuatan hukum positif jika pernikahan tersebut dilakukan berdasarkan
hukum fositif yang berlaku dan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa
dengan tidak memandang profesi, suku bangsa, kaya atau miskin, dan
sebagainya dalam kenyatanya masih ada yang menyalah artikan apa
hakikatnya dari perkawinan, mereka mengatakan bahwa perkawinan
biasanya dilakukan oleh orang yang sudah berusia matang dan dapat dikatakan
telah dewasa perkawinan usia muda masih dianggap tabu dikalangan masyarat
Indonesia karena perkawinan biasanya dilakukan oleh orang yang berusia
cukup mapan.
2Abdurrahman, kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressindo, Jakarta , 1992, Hlm. 45
Mengingat betapa besar tanggung jawab, baik suami maupun istri
perlu memiliki kesiapan matang, baik fisik maupun psikis. Bagi laki-laki,
ketahanan fisik lebih dituntut, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.
Logikanya dia harus lebih siap dibanding wanita. Menurut kodratnya, laki-laki
dituntut untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya dari kebutuhan
sandang, pangan, papan, serta perlindungan dari segala ancaman. Dari segi
psikis (mental), baik laki-laki maupun perempuan, kesiapan mental tak kalah
pentingnya ketimbang kesiapan fisik. Mengingat kehidupan ini tidak selalu
ramah bahkan kadang kala kejam dan tidak seperti yang diharapkan bahkan
bisa saja sering terjadi konflik dalam rumah tangga, sangat mutlak diperlukan
kesiapan mental, kesabaran, dan keuletan.
Prinsip kematangan calon mempelai juga dimaksudkan karena
perkawinan itu mengandung tujuan luhur, suci dan sakral.4 Apapun itu
perkawinan merupakan jembatan pasagan dalam mencari keridhoan dan
penambahan iman, membuka rezeki, menambah pahala, menghalalkan sesuatu
yang sebelumya haram, meneruskan keturunan. Sudah sepantasnya memang
perkawinan harus di langsungkan oleh pria dan wanita yang sama-sama sudah
dewasa dari segi usia dan kematangan emosionalnya.
Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan
perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara
psikologis, sosial, maupun sosial biologis. Dalam hubungan manusia dengan
manusia, seseorang laki-laki membutuhkan seseorang perempuan begitupun
sebaliknya hal tersebut dapat disatukan dalam perkawinan, maka dengan
sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Pada dasarnya
perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianjurkan oleh agama apapun
untuk meneruskan proses reproduksi dan kelangsungan hidup manusia.
Sebagai suatu peristiwa hukum maka subjek hukum yang melakukan peristiwa
tersebut harus memenuhi syarat, salah satu syarat manusia sebagai subjek
hukum untuk dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah harus
sudah dewasa, mengingat hukum yang mengatur tentang perkawinan adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan
dalam undang-undang inilah yang harus ditaati semua golongan masyarakat
tanpa terkecuali, Undang-undang ini telah diatur secara pas untuk mengatur
secara pasti apa saja masalah yang ada didalam perkawinan.
Perkawinan merupakan faktor yang sangat penting sebagai salah satu
sendi dan susunan dalam kehidupan masyarakat indonesia. Tidak hanya itu
perkawinan juga merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat disegala
aspek lingkungan, yang dikukuhkan berdasarkan undang-undang dan agama
yang dipeluk.5 Perkawinan juga merupakan hal yang sangat penting dalam
berbagai aspek kebanyakan kehidupan masyarakat di Indonesia seluruhnya
memiliki peraturan yang didalamnya, perkawinan, keluarga yang terbentuk
didalamnya mencangkup reproduksi generasi sosial, generasi moral dan
generasi budaya.
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
berbunyi “Perkawinan ialah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Aturan ini juga
menopang terwujudnya dari tujuan perkawinan salah satunya tentang batas
usia minimal melakukan perkawinan.6
Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai perkawinan pada
usia muda atau di bawah umur banyak mendapat masalah dikemudian hari
yang pasti akan dijumpai oleh pasangan yang sudah berumah tangga, padahal
perkawinan yang sukses membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara
fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam
kehidupan berumah tangga
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia
muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka
yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat mempertahankan
dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu
sendiri. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam
Pasal 26 ayat 1 butir c UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak”. Pada prespektif hak anak
pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi
perhatian kita bersama sebagai orang tua, bahwa hal ini disebabkan anak-anak
yang terpaksa menikah muda, dalam usia yang masih tergolong anak dilihat
dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya seperti hak bermain,
hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya.
Cara berfikir dan mengambil keputusan dan tersebut yang akan
menganggu tumbuh kembang fisik dan mental anak karena sebagian
pikirannya dilakukan untuk mengerjakan hal-hal yang harusnya dilakukan
oleh orang dewasa, pola berfikir seperti itu dapat membuat anak tersebut bisa
saja salah mengambil keputusan dan bisa berakibat buruk.
Disisi lain, terjadinya perkawinan anak di bawah umur seringkali
terjadi atas dasar faktor ekonomi (kemiskinan), faktor diri sendiri, faktor
lingkungan dan aktor pergaulan.7 Dilihat dari faktor sosiologis yang terjadi
saat ini semakin bebas pergaulan anak masa ini memang sudah diluar batas
karena sudah banyak yang menyebabkan anak luar kawin, hal ini dilatar
belakangi oleh faktor intern dalam keluarga yaitu kurangnya pengawasan dari
orang tua dan faktor ekstern yaitu dari faktor sosiologis yang kurang baik yang
menyebabkan anak terjerumus dalam pergaulan bebas.
Sebagai wanita rendahnya batas usia wanita sebagaimana ditentukan di
dalam Pasal 7 (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”. Dari hal
tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal untuk
kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan
menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa
dan kekuatan fisik yang memadai.
Adanya penetapan umur 16 tahun bagi wanita untuk diizinkan kawin
berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa bagi seorang wanita, dengan
mengacu pada persyaratan ini, jika pihak calon mempelai wanita di bawah
umur 16 tahun, maka yang bersangkutan dikategorikan masih di bawah umur
dan tidak cakap untuk bertindak didalam hukum termasuk melakukan
perkawinan.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi
fisik, psikis dan mental, dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.8
Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam
pelaksanaannya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Sebenarnya untuk
mendorong agar orang melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah,
UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 6 ayat (2) telah mengaturnya dengan
berbunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua”.
Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21 tahun tidak perlu ada
izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Yang perlu memakai izin
orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang belum mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum berumur 16 (enam belas tahun).9
Dari alinea di atas ada 2 (dua) asas hukum yang terkandung, yaitu:
1. Asas suka sama suka
Asas Suka sama suka mengandung makna bahwa perkawinan hanya dapat
dilangsungkan bila kedua calon benar-benar bercita-cita mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tidak ada paksaan
dari pihak manapun baik orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat
sekitar.
2. Asas partisipasi keluarga
Asas Partisipasi Keluarga mengandung makna bahwa perkawinan harus
seizin orang tua, bila orang tua tersebut setuju dengan isi Pernyataan
Memberi Izin kepada anaknya untuk menikah, maka orang tua calon
mempelai tersebut membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan
tersebut, bukan nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua yang
telah mendidik dan membesarkannya. Bila orang tua sudah tidak ada lagi,
maka izin dimaksud diperoleh dari wali.
Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat
(1) UU No. 1 tahun 1974, namun dalam prakteknya masih banyak kita
jumpai banyak dari anak dibawah umur, yang mengajukan dispensasi
perkawinan anak dibawah umur untuk mengajukan permohonan tersebut
karena suatu sebab tertentu.
Dari adanya batasan usia ini dapat ditaksirkan bahwa Undang- Nomor
1 Tahun 1974 tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan dibawah umur.
Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya pasal 7 ayat 1
telah mengatur tentang batas usia perkawinan, namun perkawinan di bawah
umur masih banyak dilakukan sampai saat ini , maka Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini
diatur dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu
dengan adanya dispensasi dari pengadilan bagi yang belum mencapai batas
umur minimal tersebut pemohon dapat mengajukan ke Pengadilan Agama.
Meskipun dalam kehidupan di masyarakat atau dalam adat istiadat
tidak mengenal batasan umur dalam perkawinan, untuk mengetahui
alasan-alasan penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur yang menyebabkan
adanya pengajuan dispensasi nikah agar mendapatkan penetapan dari
Pengadilan Agama.
Dalam ajaran Islam, syarat sahnya perkawinan sangat penting untuk
menentukan sejak kapan suatu hubungan suami istri ini dihalalkan antara
seorang laki-laki dan perempuan untuk melakukan hubungan suami istri yang
sah dalam agama dan negara di Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam.10 Ketentuan agama ini sekurang-kurangnya mempengaruhi
sikap moral dan kadar hukum masyarakat. Begitu pula halnya dalam bidang
perkawinan, yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yang mayoritas
beragama islam. Mengingat betapa besarnya pengaruh agama terhadap
masalah perkawinan. Hal tersebut berarti bahwa perkawinan di bawah
umur-umur tersebut dilarang kecuali ada penyimpangan yang sifatnya darurat.
Undang-undang tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan
rumah tangga akibat umur para calon mempelai yang masih terlalu dini yang
notabene masih berjiwa labil dan juga untuk menjaga kesehatan reproduksi
wanita yang belum siap untuk mengandung calon bayi
Berdasarkan uraian diatas Penulis merasa tertarik untuk melakukan
suatu penelitian dan menganalisis secara mendalam dengan menyusun skripsi
yang berjudul “DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK’’ (Analisis Penetapan Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS).
B. Idetifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang uraian latar belakang masalah diatas yang
telah dijelaskan, maka dapat dibuat identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan dispensasi perkawinan anak dibawah umur pada Penetapan
Nomor 0350/PDT.P/2014/PA JS?
2. Apakah hasil penetapan dispensasi perkawinan anak dibawah umur
anak didalam Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak ?
C. Rumusan Masalah
Berdasarakan uraian latar belakang masalah diatas sesuai dengan
identifikasi masalah dapat penulis buat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
dispensasi perkawinan anak dibawah umur pada Penetapan Nomor
0350/PDT.P/2014/PA JS
2. Bagaimanakah hasil penetapan dispensasi perkawinan anak dibawah umur
Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS sudahkah merupakan bentuk perlindungan
anak didalam Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan hakim
dalam mengabulkan penetapan Nomor 0350/PDT.P/2014/PA JS
b. Untuk mengetahui hasil penetapan dispensasi perkawinan anak Nomor
0350/PDT.P/2014/PA.JS sudahkah merupakan suatu bentuk
tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak
2. Manfaat Pelitian
a. Secara teoritis, ditujukan untuk menambah pengetahuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya
dalam hal hukum perdata dan hukum acara perdata dalam bidang
hukum perkawinan.
b. Secara Praktis, ditujukan agar dapat menambah pengetahuan dan
wawasan yang lebih luas bagi penulis dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum perdata dan juga
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca atau
masyarakat umum terutama dalam masalah dispensasi perkawinan,
pengertian perkawinan, masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan
masukan bagi perbaikan, serta sebagai bahan masukkan bagi
pihak-pihak yang terkait dengan masalah skripsi ini dan pedoman atau
acuan bagi penelitii-peneliti berikutnya yang ingin membahas
mengenai perkawinan.
E. Kerangka teori
Untuk lebih memperjelas mengenai istilah yang akan digunakan, ada
baiknya istilah yang tersebut didefinisikan terlebih dahulu :
Perjanjian tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan segi perkawinan serta menampakannya kepada masyarakat umum”.11
Menurut Hilman Hadi Kusuma, “Perkawinan adalah kata bentukan dari kata dasar kawin yang diberi awalan per- dan akhiran –an, sehingga menjadi kata imubuhan perkawinan. Fungsi awal per kebanyakan menunjukan arti hal urusan, sehingga perkawinan berarti urusan kawin, perayaan kawin, dan sebagainya.12
Menurut Roihan A. Rasyid, “Dispensasi Kawin adalah dispensasi yang diberikan oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun, dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun”.13
Menurut Sarlito, “Perkawinan Anak dibawah umur adalah
Pernikahan dini oleh anak dibawah usia 19 tahun atau sedang mengikuti
pendidikan sekolah menengah atas ”.14
Menurut Dra. Suryana, Anak adalah rahmat dan amanah Allah yang sangat berharga, penguji iman orang tua , media beramal, bekal kebahagiaan dimasa depan, tempat bergantung dihari tua, penyambung cita-cita, dan sebagai mahluk yang harus di didik dengan baik agar dewasanya anak bisa meneruskan bangsa.15
F. Metode Peneletian
Untuk memperoleh hasil yang dari proposal ini sehingga berhasil
mencapai sasaran yang sesuai dengan judul yang telah diketengahkan maka
11Thalib, Sayuti, Hukum kekeluargaan di Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, UI, Jakarta, 1982, hlm. 47
12Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia menurut perundang-undanagan hukum adat, hukum agama, Mahdar Maju, Bandung 1990, hlm. 1
13Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 32
14Sarlito, Perkembangan Anak Masa ke Masa, Pustaka Dunia, Bandung, 1998, hlm. 56
metode penelitian dibuat untuk memperoleh mengumpulkan data-data yang
dianggap relevan menggunakan cara-cara dengan sebagai berikut : 1. Tahap Penelitian dan bahan penelitian :
Penelitian Kepustakaan (Library Research):
Adalah suatu cara untuk memperoleh data yang bersifat teoritis
terhadap bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku atau bahan lainnya
yang berhubungan dengan skripsi yang ditulis sehingga diperoleh data
sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan yang dapat berupa :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang berupa
ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan
penjelasan terhadap hukum primer, yang dapat berupa buku-buku,
artikel dimedia massa, karya ilmiah, penelitian hukum, dan lain
sebagainya.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
keterangan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum dan kamus Indonesia.
Analisis Data:
Semua data yang telah dikumpulkan oleh penulis baik data-data primer
maupun data-data sekunder telah diolah analisa data dengan cara
menganalisa, menafsirkan, menarik kesimpulan dan menuangkannya
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdapat dari 5 bab, dimana
masing-masing bab ada yang terdiri dari beberapa sub bab, yang isinya akan
penulis kemukakan secara ringkas, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
Dalam bab II ini, penulis akan menguraikan tentang beberapa
pengertian pokok yang berkaitan dengan pembahasan yang diangkat
dalam skripsi ini, yang meliputi pengertian perkawinan menurut
Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, syarat
sahnya perkawinan menurut Hukum Islam dan Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974, tujuan perkawinan menurut Hukum Islam dan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, serta pengertian perkawinan
dibawah umur dan pengertian dispensasi perkawinan anak dibawah
umur.
BAB III HUKUM DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan tentang dasar hukum
dispensasi perkawinan dibawah umur dalam Hukum Islam,
Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
wewenang Pengadilan Agama, prosedur mengajukan dispensasi
perkawinan, pengertian perkawinan dibawah umur, sebab dan akibat
adanya perkawinan dibawah umur.
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan anak
dibawah umur dan apakah hasil dari Penetapan Nomor
0350/Pdt.P/2014/PA.JS sudahkah merupakan bentuk perlindungan
anak didalam Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
BAB V PENUTUP
Bab V ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan
pembahasan skripsi serta saran-saran yang diberikan penulis sebagai
upaya pemecahan masalah, serta saran-saran yang diberikan penulis